Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dituduh Komunis, Gubernur Bali Dihilangkan
KORBAN pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) tidak hanya anggota dan simpatisan PKI. Tetapi juga orang-orang nasionalis atau Sukarnois seperti Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, yang dihilangkan dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. “Ayah saya bukan anggota atau simpatisan PKI. Ini dibuktikan dengan surat keterangan nomor 351 tahun 1989 yang menyatakan tidak terlibat Gerakan 30 September,” kata Anak Agung Gede Agung Bagus Sutedja, anak sang gubernur, dalam bedah buku Nasib Para Soekarnois: Penculikan Gubernur Bali Sutedja, 1966 di LBH Jakarta, 1 Oktober 2015. Bagus Suteja menyebut ayahnya yang lahir tahun 1923 sebagai pejuang kemerdekaan sejak tahun 1942 sehingga tercatat sebagai veteran sejak 29 Juli 1964. Menurut Aju, penulis buku, menghilangnya Gubernur Sutedja berlatar belakang konflik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali. Sutedja yang dekat dengan Sukarno dituduh masuk PKI. “Ada perseteruan internal di tubuh PNI antara kubu Sutedja dan kubu I Nyoman Mantik serta Wedastera Sujasa,” kata Aju. Dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, sejarawan Geoffrey Robinson menyebutkan bahwa Nyoman Mantik adalah seorang antikomunis yang kukuh. Sudah sejak tahun 1957 dia melancarkan serangan gencar terhadap PKI, mengingatkan bahaya kudeta komunis, dan menyerukan kepada Presiden Sukarno agar melarang partai ini. Pada 1958, ketika upayanya untuk menjadi gubernur dimentahkan oleh pilihan Sukarno kepada Sutedja, Mantik mulai menuduh Sutedja sebagai simpatisan komunis. Dalam kampanyenya, Mantik dibantu oleh sosok antikomunis yang ganas, Wedastera Suyasa. “Lebih daripada tokoh PNI lokal manapun, kedua eks pemuda inilah –Mantik dan Wedastera– yang bertanggung jawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah tahun 1958. Sesudah kudeta 1965, Mantik bekerja keras untuk ′meng-Golkar-kan′ PNI Bali, yang pada hakikatnya berarti membersihkan organisasi elemen-elemen Sukarnois yang berafilias dengan PNI,” tulis Geoffrey Robinson. Setelah G30S konflik semakin berkembang, apalagi setelah Sutedja pergi ke Jakarta. “Pada 9 Desember 1965, Anak Agung diisukan oleh lawan-lawan politik melarikan diri ke Jakarta. Itu tidak benar, karena ada undangan resmi dari ketua MPRS Chairul Saleh untuk hadir di Bandung dalam rangka sidang gabungan ke-10 MPRS. Juga menghadiri sidang-sidang akhir tahun dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45,” kata Bagus Sutedja. Selain itu, Bagus Sutedja mengatakan bahwa ayahnya dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara pada 10 Desember 1965. Presiden membutuhkan bantuannya. Sukarno pun mempercayai bahwa dia tidak terlibat G30S. Setelah pertemuan itu, dia tinggal di Jakarta. “Kemudian pada tanggal 29 Juli 1966, saksinya adik saya yang perempuan bersama almarhumah ibu saya, didatangi empat orang militer berseragam membawa senjata laras panjang dan pistol, membawa mobil Nissan warna abu-abu. Sejak saat itu, tidak tahu lagi bagaimana nasib Gubernur Sutedja,” kata Bagus Sutedja. Nursjahbani Kartjasungkana, aktivis hak asasi manusia yang mendorong Internasional People’s Tribunal 1965 menegaskan bahwa setelah G30S banyak orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI dibunuh atau ditahan atas tuduhan ikut terlibat dalam pemberontakan. Padahal, mungkin hanya karena dendam pribadi yang akhirnya mengakibatkan pembantaian. “Pemerintah tidak boleh melihat konflik 1965 semata-mata konflik ideologis. Ini ada aspek kemanusian. Paling tidak, bahwa pernah terjadi kejahatan HAM serius, as bad as genocide, ” kata Nursjahbani. Ketua Komnas HAM Bidang Internal, M. Imdadun Rahmat, menyambut baik hadirnya buku tentang G30S dari perspektif di luar pemerintah. “Masyarakat bisa menggunakan nalarnya untuk mencari kebenaran masing-masing,” katanya. Selain Gubernur Bagus Sutedja, buku ini juga menceritakan kisah enam kepala daerah lainnya yang dituduh terlibat G30S: Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, serta Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
- Orang Tondano Melawan Kompeni
KONGSI Dagang Belanda (VOC) tak ingin mengulangi kesalahan Spanyol di Minahasa. Akibat sewenang-wenang, Spanyol diusir penguasa setempat. Belanda memilih jalur persahabatan. Simon Cos merintis persahabatan itu pada 1655, setelah armada kecilnya berlabuh di Sungai Monango Labo. “Dengan diplomasi ‘topi di tangan’ serta ‘tepukan bahu’, mulailah Kompeni merayu dan membujuk penduduk,” tulis Bert Supit dalam Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua . Persahabatan itu membuahkan bantuan pendirian Benteng Nederlandsche Vastigheyt di Manado. Bagi Cos, Manado amat strategis sebagai pos terdepan Maluku dan penghasil beras, komoditas yang amat diperlukan Belanda. Pendirian benteng tersebut diprotes Makassar dan Spanyol, mitra niaga beras Tondano (sekarang ibukota Kabupaten Minahasa). Orang-orang Tondano pun menolak berhubungan dengan tamu barunya itu. Cos menaksir kekuatan Tondano sebesar 1.400 pria dewasa. Didukung serdadu Ternate dan Bolaang plus memanfaatkan alam, Cos menyerang Tondano pada Juni 1661. Setelah menutup Sungai Temberan yang menggenangi Tondano, Cos memimpin pasukan dengan empat perahu besar untuk menaklukkan Tondano. Rakyat Tondano telah siap bertempur dengan mempersiapkan peralatan perang, logistik, ribuan perahu untuk medan berawa. Pertempuran berjalan sengit. Perahu-perahu Tondano yang dilengkapi meriam mampu menyaingi kora-kora pasukan Belanda. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Cos segera insyaf bahwa taktiknya salah. Rumah-rumah Tondano dibangun di atas air menggunakan kayu. Penduduknya tak masalah dengan genangan air, meski yang kebanjiran menyingkir ke Toulour. “Belanda sama sekali tidak menduga bahwa rakyat tani primitif yang merumah di atas air ini dapat menyiapkan persediaan-persediaan perang yang demikian lengkap,” tulis Giroth Wuntu dalam Perang Tondano, 1661-1809 . Kegigihan Tondano menyulitkan pasukan Belanda, yang sama sekali tak bisa melakukan serangan darat akibat taktik genangan air, dan gagal dalam serangan air. Cos menghentikan ofensifnya untuk memilih taktik baru berupa pengepungan. Sambil mengepung, pasukan Belanda mengultimatum: meminta penduduk Tondano meninggalkan rumahnya di atas air dan pindah ke daratan di tepi danau, menyerahkan pemimpin-pemimpin perlawanan, dan membayar denda 50-60 budak. Ultimatum itu tidak diindahkan. Dengan tertunduk malu, Cos mengakhiri “petualangannya” dan membawa pulang pasukannya ke Manado. Sementara itu, jesuit Spanyol, Pater de Miedes memberi angin segar kepada Tondano. Dia mengorganisir kekuatan melawan Belanda dan menyuplai mesiu serta keperluan lain untuk serangan balasan. Pada 1663, Tondano dengan bantuan Spanyol dan berkekuatan lima kapal menyerang Belanda di Manado. Perlawanan mereka tak berlangsung lama karena Spanyol harus mengatasi bajak laut Tionghoa. Pada 2 Juni 1663, Spanyol menarik diri untuk konsentrasi ke Manila. Kepergian Spanyol membuat Tondano kehilangan sekutu politik, militer, dan mitra niaga. Seiring perjalanan waktu, para pemimpin Tondano akhirnya memutuskan mendekat ke Belanda karena beras menumpuk. Mereka terpaksa mematuhi poin pertama ultimatum Cos. Belanda menyambut baik keputusan itu. Jacob Geel, utusan Gubernur Antoni van Voorst ke Manado, mencatat penyerahan itu: “Akhirnya orang Tondano serta lain-lain yang jahat itu menjadi patuh pada Kompeni, dan telah membakar perkampungan mereka di atas air dan telah mulai membangun kembali satu perkampungan baru di daratan, di tempat yang ditunjuk oleh komandan kita.” “Dengan demikian berakhirlah Perang Tondano,” tulis Supit.
- Djohan Sjahroezah, Seorang Liyan di Bawah Panggung Pergerakan
Tokoh pergerakan bawah tanah acapkali tidak mendapat tempat dalam panggung sejarah. Namanya sayup-sayup terdengar, antara ada dan tiada. Dalam sejarah Indonesia nama Djohan Sjahroezah jarang disebut-sebut walaupun turut memainkan peran penting dalam perjuangan merintis kemerdekaan. “Sosok Djohan tidak meninggalkan jejak kekuasaan, melainkan jejak keluhuran,” ujar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam peluncuran buku Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah di Gedung Perintis Kemerdekaan Jakarta Pusat, Selasa, 15 September 2015. Sepak terjang aktivis pergerakan, jurnalis, dan politikus kelahiran Palembang kelahiran 26 November 1912 tersebut mulai terungkap dalam buku setebal 414 halaman karya Riadi Ngasiran, seorang jurnalis yang datang dari kalangan Nahdlatul Ulama. Pribadi Djohan sukar terkuak dan pembawaanya yang low profile , terkesan enggan dikenal. Dia tipikal pejuang bawah tanah yang lebih banyak berperan sebagai simpul jaringan akar rumput massa Partai Sosialis Indonesia (PSI). Anak sulung Djohan, Ilya Arslaan, dalam kesempatan yang sama juga mengakui sifat diam sang ayah. “Kalau di rumah beliau cenderung mendengarkan ketimbang berbicara. Kalaupun berbicara dia hanya membicarakan teman-temannya saja,” tutur Ilya. Menurut sejarawan Bonnie Triyana kegiatan politik Djohan Sjahroezah memang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah resmi. Dia memilih untuk berada di bawah tanah karena adanya represi dari pemerintah Belanda. “Selepas pemberontakan PKI tahun 1926, perlawanan terhadap otoritas kolonial membuat keadaan politik tidak memungkinkan bagi gerakan-gerakan perlawanan untuk tampil di muka,” kata Bonnie, pemimpin redaksi majalah Historia . Djohan adalah aktivis hasil pengaderan PNI-Pendidikan bentukan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Di PNI-Pendidikan, Djohan memulai pergulatannya dalam dunia pergerakan. Pada 1933, Djohan mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, selama 18 bulan. Pemerintah kolonial Belanda memenjarakannya karena tulisan-tulisannya yang menentang sistem kolonialisme termuat di Kedaulatan Ra’jat, suratkabar PNI-Pendidikan. Menurut Emil Salim, ketokohan Djohan lebih dikenal sebagai pencetak kader. Sebagai jurnalis, Djohan menjadi mentor bagi wartawan-wartawan muda seperti Adam Malik, Mochtar Lubis, Sukarni, dan lainnya. Pada 1937, Djohan bersama Adam Malik, Pandoe Kartawiguna, A.M Sipahutar, dan Sumanang mendirikan kantor berita Antara . Ketika pendudukan Jepang, Djohan adalah tokoh penting di balik pembentukan jaringan bawah tanah kaum antifasis di Surabaya. Menurut Bonnie, Djohan adalah politikus kawakan yang bisa merangkul semua golongan dan bergaul dengan berbagai kalangan kiri, termasuk dengan Tan Malaka yang justru secara politik berseberangan dengan Sjahrir. Dalam soal pertempuran di Surabaya, Djohan cenderung kepada memiliki sikap yang mendukung perlawanan arek-arek. Hal yang sama pula terjadi pada Tan Malaka yang mendukung pertempuran militan rakyat Surabaya. Sementara Sjahrir, melalui brosur Perdjoangan Kita mengeritik aksi heroik itu karena menelan banyak korban. “Djohan seperti matahari lain di kubu Sjahrir. Dia adalah sinar penerang yang lain,” kata Bonnie. Menjelang Pemilu 1955, Djohan menjabat sekretaris jenderal PSI, orang kedua setelah Sutan Sjahrir. Sekalipun sempat diwarnai perdebatan, Djohan-lah orang yang mencantumkan Marxisme sebagai ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PSI. Perhatiannya ditujukan terhadap kelas buruh dan tani yang berjuang mencapai kesejahteraan. Menurut Djohan ajaran Marxisme bukan monopoli kaum komunis dan diperlukan sebagai pisau analisa kondisi masyarakat tertindas. Namun Djohan menafsirkan cara perjuangan kelas yang tidak melalui pertentangan yang berpotensi menimbulkan kekerasan. “Cara memperjuangkan pertentangan kelas tidak dengan cara totaliter melainkan dengan jalan demokrasi. Karena itu, sosialisme PSI adalah adalah sosialisme kerakyatan,” ujar Emil Salim. Kuncinya, lanjut Emil, ada pada pendidikan kader. Mendidik kelas-kelas buruh dan tani. "Apabila kelompok yang tidak berdaya ini dididik menjadi kekuatan penyeimbang, maka dia akan bisa mencapai cita-citanya tanpa kekerasan. Inilah inti sosialisme kerakyatan yang menjadi visi dari Djohan Sjahroezah yang masih relevan hingga saat ini.” Kendati sempat duduk sebagai Sekjen PSI, Djohan tetap memilih untuk berada di bawah panggung politik. Karier politiknya secara formal berakhir seiring pembubaran PSI pada Agustus 1960. Setelah sempat dipenjara di Madiun bersama pemimpin PSI dan Masyumi atas tuduhan subversif terhadap pemerintah Sukarno, Djohan wafat pada 1968. “Sebagai orang yang berjuang di bawah tanah, Djohan berada di bawah panggung kekuasaan untuk menopang mereka yang terbaik berdiri di atas panggung. Namun kesalahan Djohan adalah terlalu lama di bawah panggung sehingga panggung tersebut terlanjur diisi oleh orang-orang yang tidak pantas berada di atasnya,” pungkas Bonnie.
- Cerita Menarik di Balik Gelar Anumerta Raja Gowa
SUASANA siang di salah satu kantin di bawah kolong Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar cukup gerah. Beberapa dosen menikmati kopi dan bediskusi lepas. Topiknya beragam dari ekonomi, politik, hingga makna di balik nama. Sesekali diskusi diselingi candaan atau tertawa lebar terbahak-bahak. Akhirnya, tersebutlah beberapa nama raja dan bangsawan. Seperti nama raja di wilayah Pangkep, yakni Petta Tallese Lesee, yakni raja yang dikebiri agar fokus tetap berperang dan tidak memikirkan hal lain. Kamudian diurutlah beberapa nama raja. Salah seorang adalah pendiri Benteng Somba Opu, Tumapa’risi’ Kallonna. Nama lengkap raja ini adalah Daeng Matanre, Karaeng Mangutungi, Tumapa’risi’ Kallonna (Raja Gowa IX periode 1510-1546). Selama berkuasa, dia menciptakan undang-undang tata pemerintahan dan aturan perang. Gelar Tumapa’risi’ Kallonna dalam bahasa sehari-hari di Makassar artinya sakit leher. Beberapa pendapat mengatakan raja tersebut menderita penyakit gondok. Namun, sejarawan Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang menyangsikan itu. “Saya kira orang-orang Makassar adalah pelaut. Pusat kerajaan pun berada di pesisir laut, jadi masyarakat tak kekurangan garam. Jadi saya kira bukan gondok. Tapi jika itu sakit leher benar,” katanya. Raja ini kemudian digantikan anaknya, I Mario Gau’ Daeng Bonto, Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (Raja Gowa X periode 1546-1565). Raja ini memiliki keberanian dan keperkasaan tiada banding. Dia mudah bergaul dan pandai berdiplomasi. Dia juga memiliki kemasyhuran dan kekayaan yang melimpah. Tunipalangga yang kemudian menyempurnakan struktur Benteng Somba Opu dari tumpukan tanah liat menjadi dinding batu bata merah setengah matang. Tunipalangga dalam pengertian sehari-hari adalah pengganjal dan Ulaweng adalah emas. Jadi dalam pengertian bebas Tunipalangga Ulaweng adalah singgasana raja yang berlapis emas. Raja Gowa berikutnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tunibatta (Raja Gowa XI periode 1565-1575). Raja ini dikisahkan sebagai seseorang yang gemar berperang. Pada masa 20 hari pemerintahaannya dia mengobarkan perang terhadap Kerajaan Bone. Dia tewas dalam perang dan jenazahnya tergeletak di tanah. Pasukannya lari tercerai berai meninggalkan jasad sang raja. Raja Bone VII Latenrirawe Bonngkannge melalui penasihatnya yang termasyhur Kajao Lalido mengembalikan jenazah Tunibatta yang disambut penuh kebesaran oleh rakyat Gowa. Oleh karena raja tersebut tewas terpancung dalam peperangan maka diberilah gelaran Tunibatta (orang yang tertetak). Raja berikutnya adalah I Manggorai Daeng Mammeta, Karaeng Bontolangkasa’, Tunijallo (Raja Gowa XII periode 1565-1590). Pada masa pemerintahan ini, penulisan catatan-catatan kerajaan dilakukan dengan cermat. Penulisan kesustraan dalam Lontara Makassar mengalami kemajuan yang pesat. Perdamian dengan kerajaan Bone dilakukan. Dia juga yang memberikan tempat para pedagang Melayu di sekitar Benteng Somba Opu mendirikan rumah ibadah seperti masjid. Namun, persekutuan kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo (dikenal dengan nama persekutuan Tellu Boccoe) yang dipelopori kerajaan Bone dalam masa tenang itu dianggap sesuatu yang mengancam Gowa, maka Tunijallo pun marah. Pada 1585, Gowa akhirnya melancarkan serangan ke Bone yang berakhir gagal karena bantuan kerajaan dalam persekutuan Tellu Boocoe . Tak puas, lima tahun kemudian Gowa kembali menyerang Bone namun kandas di tengah jalan karena sang raja tewas diamuk pasukan sendiri. Dalam Lontara Gowa, dijelaskan bahwa sang raja tewas diamuk oleh saudara sesusunya sendiri bernama I Lolo Tamakkana. Maka karena kejadian itulah, sang raja diberi gelar Tunijallo (raja yang meninggal karena diamuk). Raja Gowa XII periode 1590-1593 adalah putra Tunijallo yakni I Tepu Karaeng Daeng Parambung, Karaeng ri Bontolangkasa’ Tunipasulu. Raja ini dikisahkan sebagai seorang yang memiliki perangai yang buruk. Bersikap sewenang-wenang, membunuh orang tanpa peradilan, mengganti pejabat kerajaan sesuka hati. Maka karena perangainya itulah sang raja mendapat gelar Tunipasulu (orang yang dikeluarkan atau diusuir keluar wilayah kerajaan). Dari sekian gelar anumerta sang raja itu, bukan berarti mengejek-ejek bangsawan, melainkan karena pencapaian akan minat pencatatan sejarah yang objektif. Menurut Edwar Poelinggomang, pada masa lalu para pencatat atau penulis lontara kerajaan terlebih disumpah atas nama raja dan adat agar menulis dengan objektif. Bahkan, kata Edwar, sebelum penulis lontara memulai tulisan maka dilakukan pula ritual khusus memohon keselamatan atas ketidaksopanannya menuliskan dengan terang nama asli sang raja. “Pada masa itu, seseorang tak dibenarkan menyebut nama asli seorang raja atau bangsawan, maka diberilah gelaran. Dan itu sangat membantu peneliti, karena peristiwa-peristiwa dibalik kekuasan tercatat dengan baik, dari gelar anumerta tersebut,” katanya.
- Jalan Tarung Karaeng Karunrung
KARAENG Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa, menentang keputusan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVII (memerintah 1653-1669) yang menandatangani perjanjian damai Bongaya dengan Belanda pada 18 November 1667. Karunrung memilih terus berjuang. Karunrung yang bermukim di istana megah di Bontala, mempersiapkan diri. Pada 21 April 1668 pecahlah kembali perang. Pasukannya dengan cerdik menembus beberapa blokade pasukan dan menuju benteng Jumpandang –sekarang Fort Rotterdam– yang telah dikuasi Belanda . Dalam catatan hariannya, Speelman, komandan pasukan Belanda, tak menampik kehebatan dan kemampuan perang orang Makassar. “Pertempuran pertama sangat sengit dan banyak orang-orang Belanda mati dan luka-luka.” Aksi-aksi penyerangan Karunrung membuat pasukan Belanda dan sekutunya Arung Palakka dari Kerajaan Bone, kelimpungan. Menurut Guru Besar Universitas Hasanuddin, Mattulada dalam Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah , Arung Palakka pun menderita luka-luka. Sementara benteng-benteng yang dalam perjanjian Bongaya harus dihancurkan, malah diperkuat kembali oleh Karunrung. Serangan kedua pada 5 Agustus 1668, pasukan Makassar membuat gerakan pancingan yang menyusup ke Fort Rotterdam. Namun, Arung Palakka meyergapnya. Pasukan Makassar mundur teratur, dan terus dikejar pasukan Arung Palakka. Arung Palakka yang merasa sudah memukul mundur pasukan Karunrung, tiba-tiba di suatu titik dikepung oleh pasukan Makassar yang muncul dari persembunyian. Keadaan berbalik. Pasukan Arung Palakka terdesak. Kejadian ini terekam dalam catatan dan arsip pemerintah Belanda: “Arung Palakka dan pasukannya zouden in de pan gehakt zijn (akan musnah tergunting) andai kata tidak cepat dibantu oleh pasukan Belanda dan Ternate.” Berikutnya, serangan serempak terjadi pada 12 Agustus 1668. Namun, karena terburu nafsu dan perhitungan tidak begitu tepat, serangan itu tak mencapai sasaran. Akibatnya, 27 pucuk meriam jatuh ke tangan Belanda. Di balik Fort Rotterdam, kamp pertahanan Belanda keadaan begitu menyedihkan. Setiap hari tujuh hingga delapan pasukan meninggal. Lima orang dokter meninggal dunia, 15 orang pandai besi meninggal. Dalam tempo empat minggu 139 orang mati. Bahkan, Speelman sendiri sakit dan harus cuti sebulan. Menyerang Somba Opu Dalam keadaan genting itu, Belanda diam-diam memberangkat 108 pasukan yang sakit ke Jepana. Namun, dalam perjalanan 100 orang meninggal termasuk komandan benteng Van der Straen. Tetapi, Speelman melalui Kapten Dupon, meskipun dalam keadaan kepayahaan, tetap menghimpun kkekuatan untuk menggali parit-parit menuju benteng Somba Opu, tempat bermukim Sultan Hasanuddin. Speelman merencanakan penyerangan secara penuh ke benteng Somba Opu sembari menunggu bantuan dari Batavia. Pada April 1669, meriam-meriam bersakala ledak besar diarahkan ke Somba Opu. Saat bantuan mulai berdatangan, pada 15 Juni 1669, Speelman mengibarkan bendera merah untuk melakukan serangan total. Perang pun pecah. Pasukan pertahanan dari Somba Opu menyambutnya dengan gegap gempita. Sebanyak 30.000 peluru dimuntahkan Belanda ke jantung Somba Opu. Perang yang berlangsung selama tiga hari itu akhirnya dimenangkan Speelman. Dengan bantuan sekutu Belanda dari pasukan-pasukan Ambon, bendera perang Speelman dipancangkan di dinding Somba Opu. Tapi bendera kemenangan bukanlah akhir segalanya, dalam benteng perlawanan tak padam. Perkelahian antara orang per orang terjadi dengan sengitnya. Setapak demi setapak tanah dalam benteng Somba Opu dipertahankan hingga tetes darah terakhir. Sepuluh hari kemudian, pada 24 Juni 1669 Speelman barhasil mengambilalih secara penuh Somba Opu. Sebanyak 270 meriam besar dan kecil dirampas. Setelah itu, Somba Opu diratakan dengan tanah, ribuan pond mesiu meledakkan istana, mayat-mayat bergelimpangan bersama ledakan dan api menjilat kemana-mana. “Diambil alihnya Somba Opu oleh Speelman menjadi titik utama keruntuhan Kerajaan Gowa,” kata Sejarawan Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang. Padahal menurut Edwar, senjata pasukan Kerajaan Gowa merupakan yang tercanggih di masanya. Ada meriam putar yang sangat mahal. Dan tentu saja beberapa senjata yang diperoleh dari jalur niaga bebas. “Pasukan Makassar (Kerajaan Gowa) saat itu, tak memiliki strategi yang mumpuni. Pertempuran dilakukan harus saling berhadapan. Yang bersumbunyi dianggap pengecut, maka tak heran ada banyak pasukan yang tewas,” katanya. Akhirnya, Karunrung mengakui kekalahan. Perjanjian damai abadi diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669. Delegasi dari Gowa antara lain I Mappasomba mewakili Sultan Hasanuddin dengan 140 pengikutnya, dan Karunrung diwakili putranya.
- Komedi Omong
PEMILIHAN umum baru saja selesai. Rakyat sudah memilih siapa yang bakal jadi wakilnya di DPR dan DPRD. Ini, katanya, mekanisme demokrasi. Idealnya, wakil rakyat akan membawa aspirasi dan kepentingan rakyat yang diwakilinya, agar kehidupan mereka semakin lebih baik. Tapi terkadang masih ada kecurigaan terhadap wakil rakyat yang justru dianggap tak mewakili kepentingan rakyat. Dan celakanya hal itu sudah berlangsung sejak lama. Ia adalah cerita yang selalu berulang. Pada abad yang lalu, tepatnya 1918, terjadi keributan besar di kalangan Sarekat Islam. Pangkal perkaranya adalah keanggotaan HOS Tjokroaminoto di dalam Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk pemerintah kolonial pada 16 Desember 1916. Kubu kiri dalam Sarekat Islam menganggap Tjokro kompromi dengan pemerintah kolonial. Buat Tjokro, keikutsertaannya di dalam Volksraad adalah bentuk perlawanan terhadap praktik alienasi rakyat Hindia Belanda yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tjokro tak ingin rakyat Hindia Belanda cuma jadi obyek. Ia mesti jadi subyek di negerinya sendiri. Volksraad salah satu jalannya. Tapi menurut Semaoen, tokoh utama dari kubu kiri SI, Volksraad hanyalah “pertunjukan kosong, suatu akal dari kaum kapitalis mengelabui mata rakyat jelata untuk memperoleh untung lebih banyak”. Tak ada guna bagi Tjokro untuk bergabung di dalamnya. Dalam pamfletnya, Parlemen atau Soviet? (1921), Tan Malaka pernah juga mengkritik lembaga perwakilan rakyat. “Tiadalah kita sia-sia mengatakan yang anggota Dewan bukan wakil rakyat dan tiadalah kita heran, kalau keperluan mereka itu berlawanan dengan keperluan rakyat,” kata Tan. Bahkan, suatu kali dia pernah secara keras mengatakan kalau Volksraad itu tak ubahnya perkumpulan “komedi omong”. Dalam suasana demokrasi liberal tahun 1950-an, “komedi omong” cukup berkualitas. Perdebatan di Parlemen dan Konstituante menunjukkan kalau mutu politikus saat itu di atas rata-rata. Perdebatan yang terjadi di dalam Konstituante tentang dasar negara misalnya, membuktikan kalau negeri ini pernah punya parlemen yang cukup bermartabat. Lain lagi cerita di zaman Soeharto. Peran parlemen di zaman Orde Baru, bukan seperti “komedi omong” yang dituduhkan oleh Tan Malaka. Karena di masa itu, jangankan ngomong komedi, ngomong serius –yang sudah jadi tugasnya pun– jarang terjadi. Fungsi anggota DPR cuma jadi tukang stempel dan menjalankan tugas “3 D” alias “Datang, Duduk, dan Diam”. Citra DPR zaman Orba sebagai tukang stempel yang kerjaannya, mengutip Iwan Fals, “tidur waktu sidang soal rakyat” terlanjur melekat erat. Tak heran jika tak lama setelah Soeharto tumbang, DPR memperkuat dirinya. Menjadi lembaga legislatif yang bertaring runcing; kekuatan penyeimbang sekaligus pengawas jalannya pemerintah. Tapi lagi-lagi ada pertanyaan lain. Stephen Sherlock, Indonesianis dari Australia, menulis dalam buku Problems of Democratisation in Indonesia (2010), apakah parlemen di zaman reformasi ini sebuah forum (wakil) rakyat atau hanya sekadar perkumpulan kroni? Dan tenyata, kata dia, DPR lebih tampak sebagai paguyuban kroni politik ketimbang mewakili kepentingan rakyat. Mungkin untuk kali ini tuduhan Tan Malaka ada benarnya. Parlemen cuma tempat “komedi omong”. Kalau melihat profil beberapa anggota legislatif yang terpilih kali ini mungkin bikin kita sedikit cemas. Bagaimana tidak? Beberapa di antaranya jadi anggota DPR sekadar bermodal populer, dikenal orang banyak. Selebritas dan anak pejabat daerah bisa melenggang masuk Senayan. Sementara aktivis politik yang punya kapasitas harus bersabar menerima kekalahan. Tapi beginilah nasib rakyat Indonesia yang menganut “demokrasi elektoral”. Siapa suka, boleh pilih. Namun seapes-apesnya nasib, masih bolehlah kita berharap pada satu-dua wakil rakyat yang punya keberpihakan serta kepedulian pada kepentingan orang banyak. Kita juga berharap semoga para politikus di Senayan itu memegang teguh keyakinan bahwa politik adalah arena mempertarungkan gagasan demi perbaikan kehidupan bersama, bukan perbaikan nasib diri sendiri. Harapan yang sama kita gantungkan kepada dua calon presiden mendatang yang bakal kita pilih dalam pemilihan presiden 9 Juli ini. Semoga janji Capres bukan sekadar janji manis yang rutin kita dengar setiap lima tahun sekali. Kita tak mau Senayan jadi perkumpulan komedi omong, begitu pula tak ingin kelak negeri ini dipimpin oleh seorang presiden spesial komedi omong.* Majalah Historia Nomor 19, Tahun II, 2014
- Cerita di Balik Gambar Pattimura
Di dunia maya tersebar meme hubungan uang dan kemerdekaan, yang berbunyi: “Merdeka adalah saat Sukarno dan Hatta berbaris di dompet. Jika yang berbaris Pattimura berarti masih perjuangan.” Sukarno-Hatta adalah gambar di uang kertas nilai tertinggi, Rp100.000. Sedangkan gambar Kapitan Pattimura tercantum dalam uang kertas nilai terendah, Rp1.000. Ada cerita menarik di balik gambar Pattimura alias Thomas Matulessy (1783-1817), yang barang kali tidak banyak diketahui orang. Ternyata, gambar Pattimura yang awal berbeda dengan gambar di uang kertas Rp1.000. Menurut Des Alwi Abu Bakar dalam Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, gambar Pattimura yang pertama dilukis oleh Q.M.R. Verhuell, komandan Marinir Belanda yang menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Pattimura, pada 1817. Verhuell melukis Pattimura saat membuat berita acara pemeriksaan. Gambar Pattimura karya Verhuell tersimpan di Museum Angkatan Laut di Prince Hendrik Kade, Rotterdam, Belanda. Sementara itu, lanjut Des Alwi yang diangkat anak oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir (menjabat 1945-1947), gambar Pattimura yang diketahui secara luas dan tercantum dalam uang kertas Rp1.000 adalah karya pelukis Christian (Curis) Latuputty pada 1951 dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi para seniman yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dokumen Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudayaan Rakjat, Solo 22-28 Januari 1959, menyebut bahwa “Kongres telah menyusun suatu komposisi yang terdiri dari wakil-wakil Lekra di daerah, seperti Curis Latuputty, Hr. Bandaharo, Sugiarti Siswadi…” Thamrin Ely, yang pernah menjadi ketua delegasi Muslim pada Pertemuan Maluku di Malino 11-12 Februari 2002, membenarkan bahwa “Christian Latuputty seorang pelukis Lekra ( onderbouw PKI) melukis tokoh Pattimura. Dan M. Sapiya seorang militer yang diusulkan PKI menjadi anggota Konstituante menulis buku ( Sejarah Perjuangan Pattimura Pahlawan Indonesia , tahun 1951) yang dipakai sebagai bahan rujukan untuk menetapkan Pattimura alias Thomas Matulessy sebagai pahlawan nasional.” Pattimura ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. “Mereka semua sudah meninggal, dan kita orang Islam dan Kristen masih memperdebatkan tentang Kapitan Pattimura,” tulis Thamrin Ely dalam makalah “Jatuh Bangunnya Kearifan Lokal Maluku dalam Tantangan Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia” yang disampaikan pada Seminar Protestantisme oleh GPI di Ambon 26 Februari 2005. Menurut Des Alwi yang lahir di Banda Neira, Maluku, 17 November 1927, kepahlawanan Thomas Matulessy yang dapat menduduki Benteng Duurstede di Saparua beredar dari mulut ke mulut di Maluku pada abad ke-19. Meskipun Pattimura telah dihukum mati, tapi pemberontakan melawan Belanda berjalan terus. Setiap pemimpin pemberontakan selalu digelari Pattimura mengikuti jejak Kapitan Pattimura. Nama Pattimura juga dipakai sebagai nama keluarga atau nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan terutama di Seram Barat atau tempat terjadinya pemberontakan kecil melawan pemusnahan kebun-kebun cengkeh dan pala yang disebut hongi . “Sejarah hanya cerita dari mulut ke mulut, sehingga ada yang berpendapat seperti dari kalangan keluarga Islam di Seram, bahwa sosok Kapitan Pattimura adalah beragama Islam. Kekeliruan ini mungkin terjadi karena pangkat Pattimura selalu digunakan kepada mereka yang memberontak terhadap penjajahan Belanda,” terang Des Alwi. Menurut M. Sapija dalam Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia , nama Pattimura sebenarnya sebuah gelar. “Macam-macam tafsiran diberikan orang kepada gelaran ini. Ada yang mengatakan bahwa gelaran tersebut berarti ‘Patih yang murah hati’ (Di Maluku orang beranggapan, bahwa perkataan ‘Patih’ atau ‘Latu’ itu sama artinya dengan perkataan ‘Tuan’ atau ‘Kepala’ dalam arti pemimpin). Kami dapat menyetujui tafsiran ini,” tulis Sapija. Meributkan agama Pattimura mungkin tak akan ada habisnya. Yang pasti, penduduk Kristen dan Islam bersatu melawan Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Bahkan, salah satu pemimpin perlawanan –selain Pattimura, Anthone Rhebok, dan Philip Latumahina– adalah Said Perintah, raja Siri-Sori Islam. “Dan bila kita ingat bahwa Ulupaha adalah berasal dari negeri Seit (jazirah Hitu) yang penduduknya semua beragama Islam, maka dapatlah kita bayangkan bahwa dalam perjuangan Pattimura golongan Islam dan Kristen itu bersatu-padu menjadi satu front anti-penjajah yang dengan sendirinya harus dijadikan contoh bagi kita yang hidup pada masa sekarang,” tulis Sapija.
- Ronggeng Deli, Hiburan Orang Melayu yang Mati Suri
TIGA pasang pria dan wanita berhadap-hadapan. Mereka menari sambil melepas rasa dalam balutan pantun. Saling sahut-menyahut, mencurahkan nyanyian isi hati. Gesekan biola dan akordion mengiringi dendang irama Melayu. Penyayi dan penonton tenggelam dalam alunan ria pertunjukan. Demikianlah suasana riuh Ronggeng Deli yang diadakan komunitas Melayu di anjungan Sumatra Utara Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, 2 September 2015. Ronggeng Deli dimulai sejak tanah Deli dibuka menjadi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Kesenian ini menjadi sarana mengungkapkan perasaan. Roman Merantau ke Deli karya Buya Hamka mengisahkan, kesenian ronggeng telah menjadi hiburan yang diminati masyarakat kebun. “Dan yang asyik menonton ronggeng itupun, bila sudah bersangatan asyiknya, ada yang tampil ke muka, sama-sama menari dengan sehelai selendang bersama perempuan ronggeng itu, sama-sama berbalas pantun! Demikianlah kehidupan di perkebunan, kehidupan dalam lingkungan Punale Sanctie ,” tulis Hamka. Pembeda Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa adalah seni berbalas pantun yang menjadi ciri khas orang Melayu. Selain itu, instrumen biola dan akordion memperlihatkan pengaruh Portugis yang menduduki Malaka pada abad ke-16. Umumnya, Ronggeng Deli dimainkan oleh tiga pasang penyanyi dan lima orang pemain musik. Ronggeng Deli semakin populer pada dekade 1920-1930-an. “ Ronggeng biasanya digelar di pasar malam atau hajatan. Sampai-sampai dipanggil ke istana untuk menghibur sultan dan pejabat Belanda,” tutur Totok Sam, seniman Ronggeng Deli generasi ketiga. Pantun-pantun yang dilantunkan berkisah tentang kehidupan, seperti percintaan, nasihat, hingga ratapan kepada Tuhan. Walaupun dilakukan berpasangan, Ronggeng Deli tidak memperbolehkan lelaki dan perempuan bersentuhan. “Jangan coba nyentuh, tak boleh. Menyanyi boleh, berjoget pun boleh. Tapi jangan coba nyentuh . Kalo di (Ronggeng) Jawa kan sampai bisa masuk duit ke tetek. Melayu identik dengan Muslim, itulah yang kami jaga,” terang Totok dengan logat Melayunya. Menurut peneliti dan pemerhati budaya Melayu, Rizaldi Siagian, Sultan Serdang-lah yang memberi perhatian besar terhadap Ronggeng Deli. “Sultan Serdang membagi-bagikan lahan kepada seniman dan memelihara kesenian Ronggeng Deli di istana. Liuk tari yang terdapat dalam Ronggeng Deli adalah cikal bakal dari tari Serampang Dua Belas,” kata Rizaldi. Menurut Rizaldi, ketika pendudukan militer Jepang, Ronggeng Deli terdekonstruksi. Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, kegiatan prostitusi disusupkan untuk melayani serdadu-serdadu Jepang. Hal ini kemudian menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Tuduhan Ronggeng Deli adalah seni erotis dan seronok tidak dapat terelakkan. Sejak itu, Ronggeng Deli kerap dipandang sebelah mata, meskipun masih diminati masyarakat Melayu Deli, khususnya di Medan. Di kota Medan, komunitas seniman Ronggeng Deli berbasis di pinggiran Sungai Deli (Jalan Raden Saleh), di mana banyak masyarakat Melayu bermukim. Namun seiring waktu, Ronggeng Deli kian meredup. Dalam pertunjukan Ronggeng Deli, semua orang dapat berpartisipasi. Penonton, jika senang hatinya dapat ikut berjoget. Hal ini kemudian terkontaminasi dengan budaya urban kota Medan yang semakin maju. Akibatnya, citra Ronggeng Deli semakin buruk di mata masyarakat. “Misalkan di setiap pertunjukan ronggeng, datanglah perempuan ntah dari mana-mana. Ikut dia nimbrung di situ. Tau-tau ada laki-laki yang sor (berminat) sama dia, usai nari dibawalah (kencan berlanjut). Tempat ronggeng tuh jadi buruk kan,” kata Totok. Selain itu, tulis Kompas 12 September 1992, citra Ronggeng Deli kemudian diidentikan dengan minuman keras. Banyak rumah-rumah yang menggelar pertunjukan ronggeng menjajakan minuman keras, seperti kamput (kambing putih) dan tuak. Hal ini acap kali membuat kegaduhan tengah malam karena banyak yang mabuk-mabukan. Pada pertengahan 1980-an, pemerintah Kota Medan menggusur permukiman Sungai Deli. Akibatnya, ruang publik pertunjukan Ronggeng Deli ikut tergusur. “Tempat mereka tampil di gusur, senimannya diusir dan terpencar. Jadilah Ronggeng Deli menjadi kesenian yang terbuang. Ironisnya yang membuang justru pemerintah yang tidak mengerti seni,” kata Rizaldi. “Padahal Ronggeng Deli itu adalah kesenian cerdas. Ia bisa menyatukan dan menyuarakan antaretnis Melayu Sumatera. Orang Batak, Karo, dan Mandailing punya tradisi pantun. Ketika itu dapat bergabung dalam ronggeng, mereka bisa kontribusikan menjadi karya-karya disini, ke dalam bahasa Melayu. Hal ini bisa menjadi pergaulan dan kritik sosial karena yang diungkapkan biasanya adalah problema-problema kehidupan. Di pagelaran ini, kita mencoba merevitalisasi kesenian Ronggeng Deli itu,” tutup Rizaldi.
- Dalam Sistem Tanam Paksa, Petani Ditindas Belanda dan Pejabat Bumiputera
KERUSAKAN yang diakibatkan Perang Diponegoro (1825-1830) memukul roda perekonomian Belanda. Keadaan demikian menyebabkan pemerintah Belanda harus mencari cara untuk kembali mendulang laba di tanah koloni. Pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan Gubernur Jenderal yang baru, Johannes van den Bosch untuk mengatasi kemelut ekonomi itu. Van den Bosch mengeluarkan satu sistem budidaya tanaman yang dikenal dengan kebijakan cultuurstelsel . Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1 , sistem ini memungkinkan eksploitasi pedesaan Jawa secara maksimal dan membuktikan bahwa koloni dapat memberikan hasil melebihi biayanya. Tiap desa harus menyerahkan seperlima bagian dari tanah dan pekerja taninya untuk ditanami produk natura (hasil bumi) yang sedang laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, teh, dan indigo. Tanaman pemerintah harus dirawat warga desa sampai masa panen. Mereka memanen dan menyetorkan hasilnya ke pabrik pengolahan atau gudang setempat. Desa akan menerima pembayaran uang hasil bumi yang ditaksir saat tanaman dagang masih berdiri di ladang. “Dengan sistem bonus dan insentif yang cerdik, Van den Bosch berhasil mengerahkan para Bupati Jawa untuk mengawasi penanaman, panen, dan pengangkutannya. Dia hanya memerlukan sejumlah kecil pegawai administrasi Belanda untuk mengawasi kelancaran seluruh sistem,” tulis Lombard. Dalam praktiknya, sistem budidaya tanaman ini dijalankan dengan aneka rupa penyelewengan. Transaksi kekuasaan antara pemerintah kolonial dan penguasa lokal membuat sistem budidaya menjadi tanam paksa. “Kesetiaan penguasa lokal kepada penguasa Belanda diimbangi dengan pembayaran gaji yang besar dan hadiah persentase dihitung dari panen tanaman dagang yang dihasilkan kabupaten masing-masing,” tulis Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa. “Kerja yang dituntut dari kaum tani diperlakukan sama seperti corvee (rodi atau kerja paksa).” Lama-kelamaan, ketentuan jumlah tanah dan tenaga tani yang dikerahkan lebih dari lima persen. Hal ini dilakukan oleh para bupati untuk memperoleh lebih banyak bonus persentase penjualan tanaman dagang. Van Niel mencatat, beberapa daerah melibatkan 90 persen keluarga tani untuk mengerjakan tanah pemerintah. Tidak pelak lagi, petanilah yang harus memanggul derita tanam paksa. “Terlalu banyak waktu dicurahkan untuk penanaman pemerintah sehingga menelantarkan tanaman padi. Apabila terjadi gagal panen selama setahun atau dua tahun maka terjadilah bencana kelaparan, muncul wabah penyakit, dan perpindahan penduduk ke daerah-daerah lain,” tulis Van Niel. Sementara itu, Lombard mencatat, selama empat dekade diterapkan, sistem tanam paksa menyumbangkan 800 juta gulden terhadap kas pemerintah Belanda. Roman Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli menggambarkan dengan jelas rupa penindasan yang dialami sekaligus ketidakberdayaan petani Jawa. Bupati dan pejabat desa sebagai penguasa lokal kerap mengeksploitasi petani untuk keuntungan mereka sendiri. Hal ini terjadi karena pertalian feodal mengikat petani sebagai kawula yang harus tunduk terhadap bupati. “Orang Jawa dianiaya!” kata Multatuli yang bernama asli Eduard Douwes Dekker. “Orang merasa biasa, bahwa beratus-ratus keluarga mendapat panggilan dari tempat jauh, untuk tanpa bayaran mengerjakan ladang-ladang milik bupati. Orang merasa hal biasa, bahwa mereka memberikan tanpa bayaran barang makanan untuk keperluan rumah tangga bupati. Dan jika bupati berkenan menyenangi seekor kuda, seekor kerbau, seorang anak gadis, seorang istri orang biasa, maka dianggap luar biasa atau mustahil jika orang itu tidak mau menyerahkan tanpa syarat apapun.” Kaum liberal Belanda menentang sistem tanam paksa dan secara bertahap dihapuskan pada 1870. Penolakan ini juga datang dari kalangan pengusaha yang tergiur keuntungan dan potensi usaha di Jawa. Pada tahun itu pula lahir Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang mengatur kepemilikan tanah negara seraya memberikan peluang masuknya modal swasta.
- Cerita Menarik di Balik Pembentukan Provinsi NTT
KONFERENSI Partai Katolik di Nele Sikka pada 1956 mengusung pembentukan Provinsi Flores. Hal ini karena Partai Katolik menang di Flores dalam pemilu pertama tahun 1955. Namun, delegasi komisariat Partai Katolik Timor yang dipimpin Frans Sales Lega menentang gagasan itu, dengan melontarkan pertanyaan: mengapa Flores tidak bergabung dengan Timor dan Sumba? Gagasan pembentukan Provinsi Flores gagal. Pada konferensi Partai Katolik di Ende tahun 1957, Lega mengusulkan satu provinsi untuk seluruh bekas Karesidenan Timor yang meliputi Timor, Flores, Sumba, dan pulau-pulau sekitarnya. Usul ini disetujui. Karesidenan Timor sendiri bagian dari Provinsi Sunda Kecil. “Nama Sunda Kecil kemudian diubah menjadi Nusa Tenggara oleh Menteri Moh. Yamin, mungkin untuk tidak menciptakan inferiority complex warganya,” kata Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Lega mendekati Kepala Daerah Timor, Stephanus Ndoen dan Dewan Perwakilan Rakyat Timor untuk memimpin perjuangan pembentukan provinsi baru. Di Kupang dibentuk delegasi untuk menemui Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata. Delegasi terdiri atas Tobing sebagai ketua, dengan anggota Lega sebagai juru bicara, N.D. Dillak, dan Piet Parera-Fernandez. “Saya ingat betul waktu, pada 1957 saya mengunjungi Pak Lega (dan rombongan) di Hotel Des Indes, Jalan Majapahit Jakarta,” kata Ben Mboi. “Sebagian besar rombongan belum pernah ke Jakarta. Mereka ketakutan menyeberang Jl. Majapahit karena padatnya lalu lintas plus trem.” Kepada Ben Mboi, Lega menceritakan pertemuannya dengan Mendagri Sanusi. “Berapa sarjana kamu punya untuk bikin provinsi?” tanya Sanusi kepada Lega. “Justru supaya kami bikin sarjana, kami mau bentuk provinsi,” jawab Lega yang balik bertanya, “Berapa sarjana di Indonesia ketika Proklamasi 17 Agustus 1945?” Sanusi tidak menjawab. Upaya lain ditempuh oleh Stephanus Ndoen dengan melakukan diplomasi olahraga. Timor mengirimkan kontingen yang terpisah dari kontingen Nusa Tenggara ke Pekan Olahraga Nasional IV tahun 1957 di Makassar. Lega memimpin kontingen Timor itu. Menurut Ben Mboi, nama-nama seperti Nani Manoe, Rudy Leiwakabessy, J.N. Manafe, kelompok pemanah dari Alor, atlet-atlet sepakbola (yang kebanjiran gol), dan atlet sepeda yang kesasar di Kota Makassar, adalah pelaku-pelaku sejarah yang berjuang agar Nusa Tenggara Timur mendapatkan pengakuan dan dapat mengatur rumah tangganya sendiri. “Merekalah ratusan pahlawan tak bernama yang memikul pasir dan batu bata awal bangunan yang bernama Nusa Tenggara Timur sekarang ini,” kata Mboi. Mendagri Sanusi kemudian datang ke Kupang untuk menyaksikan sendiri semangat kehidupan Timor, Flores, dan Sumba, untuk membentuk provinsi sendiri. Akhirnya, Provinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengesahannya berdasarkan UU No. 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958. Menurut Mboi yang menjadi Gubernur NTT ketiga (1978-1983), pembagiannya sangat berat beban ideologis. Bali, mayoritas beragama Hindu dan dikuasai Partai Nasional Indonesia; mayoritas penduduk NTB beragama Islam dengan kekuatan politik partai Islam (Masyumi dan Nahdlatul Ulama); dan NTT penduduknya 90 persen Kristen (55 persen Katolik, 35 persen Protestan) secara politis berbasis Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Kendati lahir bersamaan, namun peresmian ketiga provinsi itu berbeda-beda: Bali (14 Agustus 1958), NTB (17 Desember 1958), dan NTT (20 Desember 1958). Gubernur pertama NTT dijabat Lalamentik, sedangkan Lega menjabat bupati Manggarai. Untuk mengenang jasanya, Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandar udara di Ruteng, Manggarai.
- Konser Bon Jovi di Ancol Rusuh
Bon Jovi kembali menggelar konser di Gelora Bung Karno, Jakarta, 11 September 2015. Duapuluh tahun lalu, tepatnya 6 Mei 1995, band rock asal Amerika Serikat ini, menggebrak panggung konser di Stadium Ancol, Jakarta Utara. Pada tahun ini, konser band dunia di Jakarta dua kali lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. “Sejumlah nama mendunia mulai Roxette, Phil Collins, Bon Jovi, Take That, dan Wet Wet Wet mengisi album pertunjukan tahun lalu (1995) dengan meraup miliaran rupiah,” tulis majalah Warta Ekonomi , No. 33 Th VII/B Januari 1996. “Hanya konser Bon Jovi yang mampu menandingi pentas Phil Collins yang memamerkan perpaduan antara manajemen panggung, kemampuan musikal, dan olah vokal yang prima.” Phil Collins yang juga konser di Ancol dihadiri tak kurang dari 70.000 penonton. Sedangkan penonton Bon Jovi, menurut promotor lokal, sekira 60.000. Namun, menurut Mike Levin dalam majalah Billboard , 20 Mei 1995, “laporan-laporan media massa menaksir penonton mencapai 100.000.” Angka ini mungkin termasuk penonton di luar yang tak bertiket dan jumlahnya mencapai ribuan. Kerusuhan mewarnai kesuksesan konser Bon Jovi. Laura Jackson dalam Jon Bon Jovi: The Biography mencatat, kerusuhan pecah ketika ribuan penggemar tanpa tiket mencoba untuk memaksa masuk ke Stadium Ancol. Ini membutuhkan ratusan polisi untuk menguasai kekacauan itu, dan puluhan penggemar Bon Jovi terluka. Menurut Levin, tidak ada penonton luka serius, meskipun banyak yang pingsan karena terjebak dan terkena lemparan botol selama 30 menit. Pihak kepolisian menyatakan kerusuhan terjadi akibat penonton yang frustrasi karena tidak mendapatkan tiket. Kerusuhan ini bukan insiden serius, tapi kedepan konser yang menarik ribuan orang muda harus dievaluasi kembali. “Itu kerusuhan kedua di konser rock n roll Barat dalam beberapa tahun di ibukota Indonesia. Pada 1993, penonton mengamuk selama pertunjukan Metallica, memaksa pemerintah untuk melarang acara hard rock . Larangan itu telah tenang, namun para pejabat setempat mengatakan kerusuhan konser Bon Jovi mungkin memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pengaruh musik rock Barat,” tulis Levin. Apalagi, lanjut Levin, “Indonesia sedang belajar untuk pertama kalinya bagaimana menghadapi budaya kaum muda. Hukum Islam mencegah impor budaya dari Barat melalui sensor dan larangan televisi satelit. Sementara itu, pemuda Indonesia telah lama suka musik dan salah satu pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara untuk musik rock internasional.” Kerusuhan dalam konser Bon Jovi membuat Levin mempertanyakan masa depan musik rock n roll di Indonesia. Kekhawatiran itu telah usai bila melihat sekarang ini konser musik dari penyanyi atau band dunia di Indonesia selalu ramai dihadiri penonton.
- Aksara Menunjukkan Peradaban Nusantara
AKSARA-aksara Nusantara menginspirasi Edi Dolan, yang akrab dipanggil Edo, untuk berkarya membuat kaligrafi. Sebelumnya, dia membuat kaligrafi aksara Arab, namun sejak tahun 2005 dia mengembangkan kaligrafi aksara Sunda dan Jawa kuno. Dan ternyata, banyak orang yang tertarik dengan aksara Nusantara. Hal ini terlihat dari animo pengunjung yang menghadiri pameran aksara Nusantara di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. “Saat pameran di Yogyakarta, awalnya jadwal pameran selama satu minggu, namun diperpanjang sampai tiga kali,” kata Edo dalam diskusi, pemeran dan workshop “Aksara Ibu Peradaban” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 8 September 2015. Edo tidak menulis kaligrafi di kain kanvas atau kaca. Dia memilih kertas dari kulit pohon Paper mullberry atau disebut Saeh oleh orang Sunda. Dia membuat sendiri kertas dari pohon itu dengan cara ditumbuk-tumbuk setelah direbus. Hasilnya adalah kertas daluang . Daluang membuat karyanya terlihat seperti naskah-naskah kuno. Namun, dia belum menemukan bahan cat alami yang digunakan secara tradisional. Dia masih menggunakan pena atau pulpen. Dia pun kagum dengan karya orang zaman dulu. “Para leluhur kreatif, mencari media yang ada di sekitarnya salah satunya daluang ,” kata Edo. Edo menyalin beberapa naskah kuno seperti Bhagawadgita , atau mengubah naskah lain kedalam aksara kuno seperti Pancasila. Dia sedang membuat salinan naskah aksara Sunda kuno berjudul Sanghyang Siksa Kandang Kresian koleksi Perpustakaan Nasional. Dia menggunakan bahan lontar seperti naskah aslinya. Penggunaan aksara Latin menenggelamkan aksara Nusantara. Padahal, aksara Nusantara merupakan aksara asli Indonesia. Dia lahir dan berkembang di Indonesia. “Kita banyak aksara tapi tidak banyak yang menggunakannya,” kata seniman Edi Susanto. Edi pun menggunakan aksara-aksara Nusantara sebagai bahan kreasi seninya. Edi mengadakan sebuah pameran seni berupa instalasi dan lukisan yang mengusung aksara Jawa. Pameran itu bertema Java Script , diadakan pada 4-13 September 2015 di Galeri Nasional Indonesia. Edi sangat tertarik mempelajari aksara karena aksara memiliki peranan penting dalam peradaban manusia. “Aksara adalah alat komunikasi yang paling awal sejak masa dulu,” kata Edi. Keharusan mengembangkan aksara Nusantara juga diutarakan oleh Zulkipli dari Yayasan Alam Melayu Sriwijaya, lembaga yang bergerak dalam kebudayaan melayu Sriwijaya. Aksara menjadi bukti kejayaan sebuah peradaban. Baginya, kita tidak akan mengetahui kejayaan Sriwijaya jika tidak ditemukan prasasti Talang Tuo. “Tanpa bukti aksara kita akan lupa. Kita sedang ngobrol. Sejam lagi mungkin akan lupa apa yang diobrolkan,” kata Zulkipli.





















