top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ordonansi (Ulama) Guru

    DALAM diskusi bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai,” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat (8/9), Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyatakan negara Singapura dan Arab Saudi berhasil melakukan deradikalisasi dengan cara membuat sertifikasi ulama. Pernyataan tersebut menuai kontroversi karena BNPT dianggap mengusulkan sertifikasi ulama. BNPT membantah dan berdalih sekadar memberi contoh. Wacana sertifikasi ulama mengingatkan pada Ordonansi Guru yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Menurut peraturan yang diberlakukan di Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar, dan setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol. “Peraturan itu dimaksudkan untuk mengawasi aktivitas para guru agama (kiai, ulama) yang selama ini menentang penguasa,” tulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia. Ordonansi itu, Mahmud Arif menambahkan, secara khusus untuk membatasi gerakan guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. “Dengan kata lain, pemerintah kolonial bersikeras, melalui berbagai kebijakannya, menolak peran Islam dalam kehidupan publik,” catat Mahmud Arif dalam Pendidikan Islam Transformatif. Karena selalu didesak oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan adanya rencana untuk memberlakukan peraturan itu di luar Jawa dan Madura, maka pada 1925 dikeluarkan peraturan guru yang baru. “Ordonansi ini diperlunak dengan hanya mempersyaratkan para ulama untuk melapor kepada pejabat pemerintah, tidak lagi meminta izin,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. “Rupanya peraturan baru tersebut dikeluarkan dengan tujuan yang sama dengan sebelumnya,” tulis Shaleh, “mengawasi guru agama, termasuk guru mengaji dan mubalig.” Tak lama kemudian, pemerintah mengusahakan ordonansi yang sudah diperlunak ini diterapkan di seluruh Nusantara, termasuk di Sumatera Barat. “Tetapi, para ulama Minangkabau yakin bahwa apabila ordonansi ini diberlakukan, maka kemerdekaan menyiarkan agama, bertablig, mengaji, berpondok, dan apa saja urusan agama akan hilang dengan sendirinya,” catat Kahin.   Perlawanan sengit terhadap ordonansi itu datang dari ulama terkemuka Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amarullah. Ayah buya Hamka ini memandang ordonansi tersebut sebagai ancaman langsung terhadap pengajaran dan penyebaran agama Islam. Dia mendesak Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain untuk menentang ordonansi itu. Pada 19 Agustus 1928 –Kahin menulis Agustus 1927– diadakan rapat akbar yang dihadiri sekira 800 ulama –Kahin menyebut lebih dari 2000 ulama– berpengaruh dari seluruh tanah Minangkabau. “Haji Rasul menyampaikan pidatonya tentang bahaya perpecahan di kalangan ulama dan mengingatkan adanya perlawanan terhadap Islam,” tulis Shaleh. “Pertemuan akhirnya memutuskan untuk menolak ordonansi guru tersebut.” Kendati gagal menerapkan Ordonansi Guru pada 1928, pemerintah kolonial memperkenalkan Ordonansi Sekolah Liar pada September 1932 untuk mengendalikan sekolah-sekolah swasta. Menurut Shaleh, penolakan ordonansi tersebut lebih luas, tidak terbatas pada kelompok muslim saja, tetapi juga kelompok atau organisasi lain yang menyelenggarakan sekolah swasta. Penolakan berbagai kalangan, mulai dari organisasi Islam moderat sampai radikal, terhadap sertifikasi ulama, mengulang sejarah: “… kalangan tradisionalis dan modernis, kelompok radikal dan kelompok moderat bekerja sama menentang kebijakan pemerintah tersebut (ordonansi guru),” tulis Kahin.

  • Tidak Membakar Buku

    Sir Nevile Henderson (1882–1942). (Wikimedia Commons). Buku terjemahan 5   Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson mengundang reaksi. Halaman 24 buku itu tertulis: “Muhammad menjadi perampok dan perompak yang memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan di Mekah. Muhammad memerintahkan pembunuhan untuk menguasai Madinah.” Front Pembela Islam (FPI) melaporkan ke Polda Metro Jaya bahwa buku tersebut menghina Nabi Muhammad Saw . Pada 13 Juni 2012, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, pihak penerbit membakar buku itu. Pada masa kolonial Belanda, kasus serupa pernah terjadi namun tanpa pengerahan massa. Yang ada: polemik. Sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending  (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson terbit dan diresensi koran Java Bode. Peresensinya mengutip buku tersebut: “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya’…” Baca juga:  Kejaksaan Agung Membakar Buku-buku Komunisme Reaksi muncul. Koran  Pemandangan , dalam sanggahannya yang ditulis Anwar Tjokroaminoto, keberatan terhadap penyamaan itu. Menurutnya, Nabi Muhammad  tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler. Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab,” demikian Pemandangan, 4 Desember 1940. “Bagi kita lebih baik kalau kalimat-kalimat itu tidak ada, baik dalam terbitan berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Belanda.” Berbagai tulisan pun bertandangan ke meja redaksi Pemandangan , menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson. Koran lain seperti Tjaja Timoer ikut menyerang Java Bode . Namun Java Bode bersikukuh bahwa buku Henderson tak bermaksud menghina Nabi Muhammad . Seorang penulis bernama Depe menulis di Pemandangan , 12 Desember 1940, menguraikan dengan apik bagaimana sejarah persepsi Barat terhadap Nabi yang keliru. Dia beranggapan bahwa buku ini tak perlu dibaca bangsa Belanda maupun orang yang mengerti bahasa Belanda. “Perlunya, untuk menjaga jangan sampai orang mendapat salah faham tentang junjungan kita tadi seperti di zaman Abad Pertengahan.” Baca juga:  Buku Aksi Massa Tan Malaka Disita Polisi Munculnya polemik itu, bagi Pemandangan , memiliki hikmah. “Kita harus sanggup membicarakan benar-tidaknya lukisan itu secara objektif menurut ilmu pengetahuan dan sejarah. Umat Islam harus menjunjung agamanya dengan cara yang lebih nyata.” Belum reda masalah buku Henderson, muncul tulisan di AID De Preanger Bode  pada 8 April 1941 yang mengutip ulasan buku karya Karl Barth di koran Het Vaderland  yang terbit di Belanda. Dalam bukunya, Karl Barth menulis: “… Orang harus menganggap nasional sosialisme sebagai Islam baru, dan Hitler sebagai Nabinya,” yang harus dilenyapkan sebagaimana dulu “hancurnya benteng nabi palsu Muhammad .” Komisi Pemberantas Penghinaan Islam di bawah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melakukan penyelidikan. Hasilnya dikirimkan melalui kawat ke Dewan MIAI di Surabaya, yang berkesimpulan karya Barth menghina Islam. “Kita pun tetap merasa heran, mengapa di zaman seperti ini AID  seperti sengaja memuatkan tulisan serupa itu meskipun hanya berupa kutipan dari Het Vaderland  setahun yang lalu. Hendaknya segera diambil sikap atasnya, tenang, sabar, tenteram, tetapi tidak diam,” tulis Anwar Tjokroaminoto di Pemandangan,  17 April 1941. Baca juga:  Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu “Berbagai reaksi dari umat Islam terus dilakukan, bersifat legal berupa protes, mengirimkan mosi, mengirimkan delegasi menghadap yang berwajib, dan sebagainya,” tulis Badruzzaman Busyairi dalam RHO Djoenaidi: Pejuang, Pengusaha, dan Perintis Pers.  “Anggota-anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang beragama Islam juga berulang kali membicarakannya dalam sidang-sidang mereka di Volksraad . Akan tetapi semua ikhtiar itu nampaknya tidak memperoleh suatu penyelesaian yang memuaskan.” Organisasi Pembela Islam di Bandung melaporkan kepada Hoofd Parket  (Kejaksaan Agung) di Jakarta bahwa penghinaan “pers putih” kepada Islam sudah amat sering. Dalam pertemuan itu, dirumuskan tiga hal penting: pemerintah berikhtiar menyusun undang-undang penghinaan agama, melalui RPD ( Regerings Publiciteitsdienst , Dinas Penerangan) terus menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan apabila suatu saat menjumpai kasus penghinaan agama, Kejaksaan Agung membuka pintu selebar-lebarnya untuk pengaduan.

  • Tanggal Salawe (25 Desember 1881) di Cianjur

    SUATU pagi, Hari Natal Kedua, 26 Desember 1881, 26 jemaat Cianjur merayakan Perjamuan Kudus. Sebelumnya, utusan Injil (zendeling)  Christiaan Albers menerima peti berisi bermacam-macam hadiah dari Negeri Belanda. Albers merupakan zendeling  tertua di Jawa Barat. Dia tiba di Batavia pada 1863, kemudian ditugaskan di Cianjur hingga tahun 1886. Albers menceritakan perayaan Natal di Cianjur dalam suratnya kepada Pengurus Pusat Perhimpunan Pekabaran Injil Belanda (NZV) tanggal 4 Januari 1882. Surat tersebut diterjemahkan Th. van den End dan disertakan dalam buku Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963. Menurut Th. van den End, NZV lahir dari Perhimpunan untuk Memajukan Karya Pekabaran Injil yang didirikan di Rotterdam oleh sejumlah “sahabat zending” pada 2 Desember 1858. Pembentukan ini merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap haluan yang ditempuh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), lembaga pekabaran Injil terpenting di Negeri Belanda. Di Hindia Belanda, NZV menguasai daerah Priangan atas anjuran beberapa tokoh Kristen di Batavia. Pada 1863 para utusan NZV yang pertama menetap di Bandung dan Cianjur, termasuk Albers. Sementara di Cirebon dan Indramayu telah berdiri gereja dengan jemaat terdiri atas orang-orang Tionghoa, dengan dua utusan menetap di sana. “Orang Sunda ternyata menutup diri terhadap Injil, sedangkan orang Tionghoa memberi harapan,” tulis van den End. “Beberapa kali seorang utusan NZV menjalin hubungan dengan orang Baduy di Banten Selatan. Tapi pemerintah Hindia Belanda tak mengizinkan kegiatan pekabaran Injil di tengah kelompok terpencil yang menganut agama Jawa asli itu.” Tak heran jika Albers merasa senang perayaan Natal di wilayahnya berlangsung meriah. “Jadi, perlu dibuat pohon Natal,” kata Albers. Dibantu para jemaat, dia membuat pohon Natal dari batang pohon pisang yang besar, lalu dihiasi barang-barang cemerlang, dedaunan wiringin dan kamuring, bunga mawar, dan bunga-bunga lain yang beraneka warna dan bentuk. Setelah itu, pohon itu dihias 70 lebih lilin dan dimuati berbagai hadiah dari bawah sampai atas. Pukul setengah delapan para peserta pesta masuk. Pohon Natal itu berkilauan cahaya, sehingga memudarkan lampu-lampu lainnya. “Orang Sunda kita, besar-kecil, duduk di atas tikar di sepanjang dinding, sedangkan orang Eropa mengambil tempat di atas kursi dan bangku,” kata Albers. Setelah menyanyikan sebuah lagu, Albers membagikan hadiah. “Baju menjadi hadiah yang paling disenangi. Mereka yang tidak perlu diberi baju, seperti (janda) Nyonya Cohen, orang Tionghoa dan istrinya, mendapat cangkir. Anak-anak kami dan beberapa anak Eropa lainnya, jumlahnya enam orang, dan orang dewasa, mendapat hadiah masing-masing,” kata Albers. “Tak seorang pun bertangan kosong. Ini sungguh suatu kenikmatan!” Kegembiraan Albers melihat anak-anak dan sebagian orang Kristen memakai baju baru, sebelumnya juga diceritakan dalam suratnya tanggal 2 Januari 1880. “Saya menyadari bahwa (di Nederland) akan ada banyak tokoh yang anggun, arif, dan bijaksana, barangkali juga nona-nona yang serupa, menganggap ini menggelikan.” Albers menerima saja penilaian itu, tapi dia tetap gembira karena mereka harus berusaha keras agar dapat berpenampilan begitu. Untuk itu mereka terpaksa melakukan pengeluaran yang menurut ukuran mereka cukup besar. “Mereka mau melakukannya, karena hari itu merupakan Hari Raya Kristen, karena Natal bagi mereka merupakan pesta Kristen yang artinya dirasakan dalam hati. Menurut saya agama Kristen mulai memiliki tempat di hati mereka, dan selain adat Islam lahirlah adat Kristen. Bukankah pada Lebaran orang Islam memakaikan baju pada anak-anaknya? Ternyata orang Kristen melakukannya pada Natal. Tentu saja kejadian ini tak akan begitu memukau dan menarik bagi saya seandainya saya telah memberi perintah, isyarat, atau teguran. Sebaliknya, gejala ini sepenuhnya timbul dari jemaat sendiri.” Pada 1899, J. Verhoeven, zendeling yang bertugas di Majalengka (1878-1882), mencatat bahwa bagi orang Kristen Indonesia, termasuk orang Kristen Sunda, Natal menjadi pesta Kristen yang utama. “Orang Kristen Sunda menamakannya tanggal salawe (tanggal 25- Red ) , dan memandangnya sebagai lebaran mereka,” tulis Verhoeven. Pentingnya Natal di mata orang Kristen Sunda dibuktikan oleh kejadian yang berlangsung di jemaat Gereja Rehoboth di dekat Indramayu pada 1915. Van de Weg, zendeling  di Juntikebon Indramayu, menulis dalam suratnya tanggal 2 Februari 1916 bahwa jemaat mengabaikan gedung gerejanya hingga roboh dan tak mau memperbaikinya kalau tak mendapat upah. “Tapi, ketika mereka sadar bahwa gedung itu merupakan tempat perayaan Natal mendatang, dalam sekejap mata mereka membangun gereja baru.” Tapi, secara umum, sejak sekira tahun 1870-an para tenaga NZV sudah putus harapan. Mereka yakin, kegiatan pekabaran Injil di tengah orang Sunda tak akan membawa hasil yang berarti. Mereka pun menyarankan agar NZV beralih ke luar Pulau Jawa. Akhirnya pada 1913, setelah menerima usulan dari A.J. Bliek, zendeling di Jatinegara (1906-1926), Pengurus Pusat NZV memutuskan membuka medan kerja baru di Sulawesi Tenggara. Meski begitu, di Jawa Barat para zendeling tetap bertugas. Hingga 1932, terdapat 5.497 orang Kristen pribumi dan Tionghoa. Pada 1933, sesudah peninjauan, Dr H. Kraemer, utusan Lembaga Alkitab Belanda, menganjurkan agar Jemaat-jemaat di Tanah Pasundan dipersatukan dalam sebuah gereja mandiri, terlepas dari pemeliharaan sehari-hari NZV. Pada 14 November 1934, Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri.

  • Empat Tokoh Islam di Indonesia

    Kiri-kanan: KH Ahmad Dahlan, Ahmad Surkati, KH Hasyim Asy'ari, dan Ahmad Hasan. (Betaria Sarulina/Historia). EMPAT tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. KH Ahmad Dahlan Melampaui Abduh ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan.” Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa. Baca juga: Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan KH Ahmad Dahlan Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Ahmad Surkati Mempercepat Kemerdekaan Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari. Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950  memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia. Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini. Ahmad Hasan Rujukan Kajian Islam Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi . Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam Hassan. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung. Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam  dan Al-Lisan . Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur. Baca juga: Sukarno Bilang Islam Sontoloyo Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX , Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan khurafat. Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif menulis. Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun. KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren “Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu. Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham pembaharuan. Baca juga: Ketika KH Hasyim Asy'ari Serukan Jihad Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadis pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai , Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren. Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926. Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?

  • Kiai Kasan Besari, Kakek Buyut Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto

    PADA akhir 1820, Kiai Kasan Besari mendapatkan pengakuan dari penghulu Surakarta sebagai kepala desa Tegalsari. Pada saat itulah dia mendapat pengakuan baik secara agama maupun politik. Namun, pernikahannya dengan Murtosiyah tak melahirkan putra yang meneruskan perjuangannya menyebarkan Islam. Sebagaimana para bangsawan keraton Kasunanan, putra-putra Kasan Besari dari jalur Murtosiyah ini mengabdi kepada pemerintahan Belanda. Salah satunya bernama Tjokronegoro. “Ia tidak menjadi kiai yang masyhur dan tidak memimpin sebuah pondok pesantren,” tulis Anhar Gonggong dalam HOS. Tjokroaminoto . Namun, saat Perang Jawa (De Java Oorlog) meletus, menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan , Kiai Kasan Besari bersimpati terhadap Diponegoro, tapi tidak aktif memberi dukungan. Baca juga:  Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan Kemungkinan besar karena beberapa anaknya menjadi pejabat pemerintah Belanda. Tjokronegoro sendiri tercatat pernah menjadi pejabat penting di lingkungan pemerintah Hindia Belanda yang pernah jadi bupati Ponorogo. Putra Tjokronegoro bernama Tjokroamiseno meneruskan jejak ayahnya dengan menjadi pamong praja dan pernah menjabat wedana di Kawedanan Kleco, sekarang masuk daerah Madiun, Jawa Timur.  Setelah terputus dua keturunan, darah keislaman dan politik Kiai Kasan Besari mengalir lagi pada putra kedua Tjokroamiseno: Tjokroaminoto, kelak dikenal Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Berbeda dengan buyut dan orangtuanya, putra Tjokroamiseno itu terang-terangan melawan Belanda. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah, padahal setiap orang saat itu mengidamkan posisi tersebut. Setelah berhenti sebagai juru tulis patih di Ngawi, dia bekerja serabutan, mulai jadi karyawan di sebuah Firma Kooy & Co. di Surabaya, calon masinis, ahli kimia di pabrik gula, dan menggeluti jurnalistik. Baca juga:  Rumah HOS Tjokroaminoto Raja Tanpa Mahkota “Perpindahan pekerjaan itu lebih didorong oleh kehedaknya untuk mencari suasana yang lebih dapat membangun daya kreativitasnya,” tulis Anhar Gonggong. Pilihan pekerjaan dan jalan hidup itu membuatnya bertentangan dengan orangtua, bahkan mertuanya yang pangreh praja, sampai meminta anaknya, Suharsikin, bercerai dengan Tjokroaminoto. Tapi mereka berdua bergeming. Meski menanggalkan kebangsawanannya, Tjokroaminoto dijuluki raja Jawa: raja tanpa mahkota. Dia juga menjadi tokoh Islam yang tenar dengan tulisannya, Islam dan Sosialisme dan menjadi pemimpin Sarekat Islam. Gaya kepemimpinannya membuat anak-anak muda seperti Sukarno, Semaoen, SM Kartasoewirjo, dan Tan Malaka menjadikannya guru. Bila sang kakek buyutnya, Kiai Kasan Besari jadi guru bagi para ulama, maka Tjokroaminoto adalah guru para pendiri bangsa.*

  • Toleransi Beragama ala Sunan Kudus

    Warga muslim dan Kristen di Tolikara, Papua, berdamai. Sebagai rasa syukur mereka mengadakan kenduri. Biasanya dengan bakar babi, namun diganti dengan sapi. “Seharusnya potong babi, tapi saudara muslim tidak makan babi. Jadi kami cari sapi,” ujar Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli, Pendeta Marthen Jingga, dikutip cnnindonesia.com . Toleransi seperti itu pernah dilakukan oleh Sunan Kudus. Bedanya, Sunan Kudus justru tidak menyembelih sapi untuk menghormati masyarakat Kudus yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Sapi adalah hewan yang disucikan oleh umat Hindu. Menurut Hasanu Simon dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Sunan Kudus lebih mengikuti gaya Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Dia tidak melakukan perlawanan frontal terhadap adat dan kebiasaan masyarakat yang masih berlaku. “Sunan Kudus sering menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera dalam Surat Sapi Betina, Surat Al-Baqoroh. Dalam acara-acara pesta Sunan Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena hal itu akan melukai hati pemeluk Hindu yang masih merupakan agama mayoritas penduduk Kudus. Sebagai gantinya Sunan Kudus akan menyembelih kerbau,” tulis Hasanu Simon. Kebiasaan Sunan Kudus ini, lanjut Simon, masih diikuti oleh sebagian masyarakat Kudus sampai sekarang. Banyak desa-desa di daerah Kudus yang sampai sekarang masih melarang sehingga peternakan kerbau di desa-desa tersebut masih berkembang, sementara di tempat lain ternak kerbau sudah diganti dengan sapi sejak dekade 1960-an karena kerbau membutuhkan pakan yang banyak dan tempat-tempat basah untuk berkubang. Menurut Solichin Salam dalam Menara Kudus , sebuah cerita rakyat di Kudus menyebutkan bahwa masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena dahulu Sunan Kudus pernah merasa dahaga, kemudian ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. “Maka sebagai rasa terima kasih Sunan Kudus, masyarakat di Kudus dilarang menyembelih binatang sapi,” tulis Solichin. Dalam Koridor , Mustofa Bisri (Gus Mus) menyebut bahwa figur Sunan Kudus dikenal sebagai ulama fiqh yang andal dan kukuh memegang prinsip; panglima perang dan ahli strategi politik –seperti ketika menjadi panglima perang Kerajaan Demak menaklukan Kerajaan Majapahit; dan ulama toleran dengan tidak menyembelih sapi untuk menghormati Kiai Telingsing, salah seorang pengikut Sunan Kudus yang semula beragama Hindu. Denys Lombard menguraikan bahwa Kiai Telingsing (The Ling Sing) adalah anak Sunan Sungging dengan seorang perempuan Tionghoa. Dia lahir di Tiongkok dan disuruh ayahnya datang ke daerah kudus untuk menyebarkan agama Islam, sebelum para wali pertama berdakwah dan sebelum Kesultanan Demak didirikan. “Sementara Sunan Kudus yang dipandang sebagai tokoh dari sejarah penyebaran Islam di Jawa, dan tak syak lagi merupakan tokoh kota Kudus yang paling tersohor, ternyata memandang Kiai Telingsing sebagai ‘kakak’ dan gurunya,” tulis Lombard, “Seputar Makam Kiyai Telingsing di Jawa Tengah,” termuat dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam suntingan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot. Makam Kiai Telingsing terdapat di Kampung Sunggingan Kudus Jawa Tengah. Sunggingan berarti "kampung tukang kayu" (dari kata sungging, juru ukir dan tukang kayu) karena menurut cerita lokal, Kiai Telingsing adalah tukang kayu yang bersama Sunan Kudus menyiarkan Islam di daerah itu dan menyebarkan teknik-teknik perkayuan.

  • Perang Jawa Libur Selama Ramadan

    PADA 21 Februari 1830 atau empat hari menjelang bulan puasa tiba, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, pegunungan perbatasan Bagelen dan Kedu. Kedatangannya berdasarkan kesepakatan yang dibuatnya bersama Jan Baptist Cleerens, pada 16 Februari 1830, di daerah Remokamal tepi kali Cincinggoling. Cleerens adalah utusan De Kock untuk menemui Diponegoro. Kabar kedatangan Diponegoro tercium masyarakat. Meski mendapat predikat musuh Belanda nomor wahid, masyarakat masih mengelu-elukannya. Dia datang diiringi 700 prajurit. Di sana dia tinggal di sebuah rumah besar, berdinding bambu, dan beratapkan daun kelapa. Rumah singgahnya itu terletak di sebuah kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih. "Pesanggrahan itu letaknya tepat di sebelah barat laut Wisma Keresidenan Kedu," kata Peter Carey dalam surel kepada Historia . Di pesanggrahan itu, pengikut Diponegoro membengkak menjadi 800 orang. Sebagian besar bersenjatakan tombak. Pasukannya sekarang tampil dalam balutan sorban dan jubah hitam, pemberian Cleerens. Setiap pagi selama bulan puasa, Diponegoro beserta 800 orang prajuritnya tetap giat berlatih olah kanuragan dan menjalankan ibadah. “Dia mempunyai suatu batu yang lebar dan lurus dekat Kali Progo untuk ngibadah (beribadah, red. ),” kata Peter Carey. Awal Maret 1830, Diponegoro berpesan kepada De Kock melalui Cleerens, bahwa selama bulan puasa dia takkan melakukan pembicaraan apapun soal perang. Jika ada pertemuan, itu pun hanya ramah-tamah biasa. De Kock menerimanya. De Kock bahkan bermanis muka kepada Diponegoro dengan memberinya seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang f10.000 yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa. Dia juga mengizinkan anggota keluarga Diponegoro yang ditawan di Yogyakarta dan Semarang, untuk bergabung dengan sang pangeran di Magelang. Bukan hanya De Kock yang menyambangi Diponegoro. Anggota staf senior De Kock, seperti ajudan sekaligus menantunya, Mayor F.V.H.A. de Stuers, dan Residen Kedu, Valck, sering berkunjung ke pesanggrahan Dipanegoro di Metesih sambil minta diberitahu apa saja keperluannya. Masyarakat Kedu pun banyak yang berkunjung di pesanggrahan pangeran. Mereka banyak yang membawakannya gula Jawa, meski sebenarnya Diponegoro tak suka makanan yang manis. Dia tetap menerimanya sebagai tanda penghormatan mereka kepadanya sebagai pemimpin Jawa ( lajering Jawa ). De Kock bertemu dengan Diponegoro dalam tiga kesempatan yang berbeda: dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan sekali ketika dia datang sendiri ke pesanggrahan pangeran. Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis. Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat. “Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) . Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro. Tumenggung Mangunkusumo, mata-mata yang ditanam residen Valck dalam kesatuan Diponegoro, melaporkan bahwa Diponegoro tetap kukuh dalam niatnya untuk mendapat pengakuan sebagai sultan Jawa bagian selatan. Tapi perwira senior Belanda lain menyatakan bahwa Diponegoro sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya  (ratu dan pengatur agama di seluruh Tanah Jawa). Mendengar kabar tersebut De Kock mengambil langkah tegas. Pada 25 Maret 1830, dua hari sebelum bulan puasa berakhir, dia memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, Louis du Perron dan A.V Michels, untuk mempersiapkan kelengkapan militer guna mengamankan penangkapan sang pangeran. Gencatan senjata yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis: Diponegoro ditangkap pada hari kedua lebaran, 28 Maret 1830.*

  • Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa

    Makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419). (M.J. (Marius) van Benthem Jutting/Tropenmuseum). SEBUAH naskah berisi ajaran Islam awal yang diajarkan kepada penduduk Nusantara tersimpan selama lebih kurang tiga abad di perpustakaan umum Marquis Cristino, Ferrara, Italia. Naskah kuna tersebut ditulis dalam aksara Jawa Kuna di atas lontar yang berjumlah 23 lembar, masing-masing berukuran 40 x 3.5 cm. Sebelum menjadi milik perpustakaan Marquis Cristino, naskah itu merupakan koleksi seseorang yang tak tertulis datanya. “Ketika buku ini ditulis, orang Islam di Jawa masih minoritas. Ini dapat dirujuk pada keterangan musafir Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Sedayu, tempat ditemukannya buku itu pada tahun 1515,” kata Abdul Hadi WM, guru besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, dalam seminar “Islam Indonesia dan Kebudayaan” yang dihelat di Universitas Paramadina, Jakarta, (19/6). Karena itu, ajaran fikih, tasawuf, dan ilmu kalam dalam buku itu tidak mendalam, serta etika yang diajarkan bersifat praktis. Naskah itu dibawa para pelaut Belanda dari pelabuhan Sedayu dekat Tuban menuju Eropa pada 1585. Beberapa sumber menyebut berbeda. Dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa , Hasanu Simon menduga naskah itu dibawa para pelayar Italia atau rombongan misi Katolik Roma. Beberapa tahun sebelum masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), antara 1598-1599, misionaris Katolik Roma pernah berkunjung secara teratur ke Pasuruan. Pada 1962, fotokopi naskah itu dikirim ke Leiden, Belanda. Harapannya ada ahli bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang mampu mengidentifikasi dokumen berharga itu. Akhirnya pada 1978, naskah itu diterbitkan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Martinus Nijhoff, Den Haag, dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics, oleh GJH Drewes. Buku tersebut diterjemahkan Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Alfikr Surabaya pada 2002 dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah . “Kropak Ferrara ditujukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan mereka yang masih di luar Islam,” tulis Hasanu Simon. Menurut Abdul Hadi, Drewes menisbahkan isi buku itu sebagai ajaran Maulana Malik Ibrahim (w. 1414). Sebab, pengarang buku menyebut dirinya khalifah , sebutan lazim di Jawa untuk ulama, pemimpin spiritual dan sekaligus imam masjid agung. Maulana Malik Ibrahim adalah imam masjid agung, sekaligus ulama dan pemimpin kerohanian. Judul risalah yang dimuat dalam naskah ini sama dengan judul risalah Imam al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah (Menjelang Hidayah). Tetapi versi Maulana Malik Ibrahim adalah ringkasan dan tak semua yang diajarkan Imam al-Ghazali dikemukakan. Hal menarik lain, lanjut Abdul Hadi, dalam risalah pendek ini dijumpai 122 kata serapan dari bahasa Arab dan Persia. Terdapat pula beberapa perkataan yang diserap dari bahasa Melayu. Ini membuktikan bahwa pada awal abad ke-15 islamisasi bahasa dan kebudayaan Jawa sudah berlangsung serta menyentuh persoalan pandangan hidup, gambaran dunia, sistem nilai, etika, etos kerja, dan sebagainya. Di saat bersamaan banyak istilah keagamaan dan spiritualitas Islam dialibahasakan ke bahasa Jawa. Maulana Malik Ibrahim membuka risalahnya dengan kalimat: “Pada akhir zaman, ketika hari kiamat akan tiba, ulama sejati dan orang taat pada ajaran agama akan lenyap dan diganti orang yang suka berbuat bidaah yang menyebabnya rancunya ajaran Islam bercampur dengan ajaran keliru dan sesat.” “Inikah yang sedang terjadi di Indonesia?” kata Abdul Hadi.*

  • Salat Jumat KAA yang Bersejarah

    GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Heryawan menjadi khatib dalam salat Jumat (24/4) siang tadi. Dia membacakan naskah khotbah dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Arab di hadapan para pemimpin negara delegasi KAA yang melaksanakan salat Jumat bersejarah itu. Pada saat KAA, hari Jumat jatuh pada 22 April 1955. Salat Jumat dilakukan di masjid yang sama, Masjid Agung Bandung yang kini namanya menjadi Masjid Raya Bandung. Enampuluh tahun lalu Masjid Agung Bandung lebih meriah dari biasanya. Maklum, para delegasi peserta KAA yang beragama Islam turut beribadah disana, ditambah masyarakat Bandung sendiri yang menyemut disekitar masjid. Sebelum pukul 12.00, tampak Ali Sastroamidjojo beserta rombongan turun dari mobil Mercury, disusul delegasi dari Lebanon. Kemudian berturut-turut delegasi Syiria, dan Sudan tiba di masjid yang terletak Alun-alun Bandung itu. Kemudian tampak pula Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang kedatangannya disambut sorak-sorai jamaah salat Jumat. Lalu muncul pula mufti El Hussaini dari Palestina dan delegasi Turki beserta Irak. Bertindak sebagai khatib salat Jumat saat itu adalah Menteri Urusan Wakaf Mesir Ahmad Hassan El Bakoury. Dalam khotbah berbahasa Arab itu dia menekankan arti keadilan, keselamatan dan kemerdekaan. “Surat wal‘asri menjadi pokok acara pidatonya. Zaman akan merugikan manusia jika manusia tidak mempergunakan masa itu,” tulis majalah Merdeka , 30 April 1955. Pada khotbah kedua, khatib dadakan itu lebih banyak mendoakan negara-negara peserta untuk menjaga perdamaian. Yang menarik adalah kehadiran dua delegasi dari Republik Rakyat Tiongkok, yang beragama Islam pada salat Jumat tersebut. Kehadiran mereka seperti menegaskan pidato Zhou Enlai, ketua delegasi Tiongkok pada sidang hari kedua tentang kebebasan beragama di negerinya. Pada Selasa, 19 April 1955, Zhou berpidato dalam bahasa Tiongkok dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tentang jaminan kebebasan menjalankan praktik ibadah agama di negaranya. “Kami kaum komunis adalah atheis, tetapi kami menghormati semua mereka yang beragama. Di Tiongkok, selain hidup tujuh juta kaum komunis, juga hidup puluhan juta kaum Muslimin, Budha, Kristen dan Katholik. Dalam delegasi RRT terdapat pula seorang ulama Islam. Masa hasut-menghasut pertentangan agama haruslah lenyap, sebab yang beruntung bukanlah kita!,” kata Zhou Enlai seperti dikutip Roeslan Abdulgani dalam The Bandung Connection .*

  • Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Jawa

    BATU nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur dianggap sebagai bukti tertua kehadiran Islam di Pulau Jawa. Meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur. Masyarakat setempat menciptakan legenda bahwa nisan itu adalah kuburan seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang berperan dalam islamisasi Pulau Jawa. Tidak jauh dari Leran, terdapat nisan Maulana Malik Ibrahim, mubalig pertama yang datang dari India untuk menyebarkan Islam, yang meninggal pada 822 Hijriyah (1419 M). Karena itu, legenda lokal menghubungan Dewi Suwari dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai murid atau istri sehingga Dewi Suwari menjadi pribumi pertama yang memeluk Islam. Sajarah Banten yang ditulis tahun 1662 atau 1663, sebagai sumber tertulis tertua yang menyebut situs Leran, menyebutkan masa islamisasi Tanah Jawa di mana tokoh Leran, Putri Dewi Suwari ditunangkan dengan raja terakhir Majapahit. Menurut arkeolog Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, “Nisan Leran (Jawa) Berangka Tahun 475 H/1082 M dan Nisan-nisan Terkait,” termuat dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia , nisan Leran sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat, tetapi tidak terdapat –dalam teks tertulis, legenda, ataupun peninggalan purbakala– unsur apa pun yang mengaitkannya dengan konteks sejarahnya yang benar di abad ke-11. Segala data cenderung menempatkannya dalam satu periode yang kira-kira sama dengan abad ke-15, yaitu masa islamisasi awal Pulau Jawa. Nisan Leran baru diteliti secara ilmiah pada 1920-an oleh peneliti Belanda J.P Moquette dan peneliti Prancis, Paul Ravaisse. Dari hasil inskripsi oleh Moquette dan kemudian Ravaisse menyajikan beberapa perbaikan, terbaca bahwa nisan itu bukan milik Putri Dewi Suwari, tetapi “ini makam orang perempuan yang tidak berdosa, tidak menyimpang, bint Maymun bin Hibat Allah. Dia meninggal hari Jumat delapan Rajab, tahun empat ratus tujuh puluh lima.” Ravaisse membaca tahun meninggalnya 475 H (1082 M) yang lebih banyak diterima, sedangkan Moquette membacanya tahun 495 Hijriyah (1102 M). Jelas, tahun kematian Fatimah jauh sekali dengan Maulana Malik Ibrahim. Siapakah Fatimah binti Maimun? Ada peneliti, seperti N.A. Baloch dari Pakistan, yang beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran yang dibangun pada abad ke-10. Anggapannya didasari oleh keindahan tulisan kaligrafi kufi pada nisannya. “Saya tidak sependapat dengan Baloch karena tidak ditemukan kata sultanat sebelum namanya,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara . “Oleh karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Timur.” Sependapat dengan Uka, Kalus dan Guillot menyatakan bahwa “bint Maymun bin Hibat Allah rupanya berasal dari golongan sosial sederhana (dia tidak memiliki gelar apa pun!).” Selain nisan Fatimah sebagai nisan utama yang disimpan di Museum Trowulan, ternyata ada empat nisan lain. “Karena bentuk dan jenis batunya, nisan-nisan itu ternyata berkaitan erat dengan nisan utama. Tetapi inskripsinya jauh lebih rusak dan karena itu dikesampingkan selama ini,” tulis Kalus dan Guillot, yang meneliti nisan-nisan itu pada tahun 1999 dan 2000. Dengan demikian, kelima nisan itu harus dibahas satu kesatuan dan disebut “nisan-nisan Leran.” Berangkat dari sinilah, Kalus dan Guillot, mengemukakan pendapat yang mencengangkan. Menurut mereka, andaikata nisan-nisan itu dibuat di tempat, maka harus dianggap adanya sebuah bengkel di Leran. Namun, tidak mungkin tokoh sederhana itu (Fatimah, red ) menyebabkan adanya sebuah bengkel di daerah yang begitu terpencil. Tidak hanya itu, satu nisan memiliki takik (torehan yang agak dalam). Kalus dan Guillot membandingkan nisan bertakik itu dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode yang sama (abad ke-11) dari daerah sekeliling Laut Kaspia, yang diubah menjadi jangkar oleh tukang batu. “Kelima nisan Leran itu rupanya diambil dari pekuburan aslinya untuk dipakai sebagai tolak bara (pemberat, red ) pada sebuah kapal, sementara salah satunya digunakan sebagai jangkar. Menurut kami, itulah caranya batu-batu itu sampai ke Jawa,” tulis Kalus dan Guillot. Batu-batu itu sampai di Jawa kemungkinan besar antara abad ke-12 dan ke-14 karena pelabuhan Leran berhenti berfungsi pada abad ke-14. Dan di Nusantara, produksi lokal nisan baru muncul pada abad ke-14 di Trowulan, tempat yang tidak jauh dari Leran. Kalau demikian, apakah daerah asal batu-batu itu dapat dikenali? Kalus dan Guillot mengakui cukup sulit: “tulisannya bersifat unik meskipun beberapa unsurnya mengarah ke lingkungan Iran; teks inskripsinya mengingatkan pada Mesir namun bukan negeri itu saja; bingkai bersulur gelung menghasilkan kesimpulan yang sama; akhirnya jenis batunya sama sekali tidak mengarah kepada suatu sumber saja.” Kalus dan Guillot pun menyimpulkan “kehadiran Islam di Pulau Jawa tidak dibuktikan oleh nisan-nisan Leran; nisan tersebut terbawa ke sana secara kebetulan saja setelah diangkat dari tempat asalnya dan dipergunakan sebagai jangkar dan tolak bara (pemberat kapal) dalam sebuah kapal asing.” Memang, Kalus dan Guillot menegaskan “meninjau (baru atau ulang) prasasti kuno yang ada dapat mengguncang berbagai gagasan yang telah diterima sebagai kenyataan. Maka sejarah sebagaimana telah ditulis perlu dipertanyakan.”*

  • Pemerintah Kolonial Pernah Menunda Pemberangkatan Jemaah Haji

    TIMUR Tengah dalam keadaan rawan karena konflik yang berkepanjangan. Teror ISIS atau Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam Irak dan Suriah) menyasar Saudi Arabia, di mana Mekah berada, tempat kaum Muslim menunaikan ibadah haji. Kendati demikian, pemerintah Indonesia tetap mengirim jemaah haji ke Mekah. Hal ini berbeda dengan kejadian di tahun 1915. Pemerintah Hindia Belanda tidak mengirimkan jemaah haji karena pecah Perang Dunia pertama (1914-1918). Melalui Javasche Courant, 17 Mei 1915, pemerintah kolonial mengumumkan bahwa selama perang tidak dilaksanakan perjalanan ke Mekah dengan pertimbangan: biaya hidup di Hijaz terlalu mahal, perubahan kurs uang Turki terhadap gulden Hindia Belanda, dan maskapai pelayaran Belanda menetapkan tidak akan mengoperasikan kapal hajinya. “Keputusan tersebut sempat diprotes oleh pemerintah Turki yang turut serta dalam Perang Dunia I itu. Keikutsertaan Turki dalam perang tersebut telah menimbulkan keadaan yang luar biasa di Hijaz,” tulis Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia. Saat itu,Mekah yang merupakan daerah Hijaz adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani. Turki bergabung dengan Blok Sentral bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria, melawan Blok Sekutu, yaitu Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Keterlibatan Turki menyeret peperangan ke Timur Tengah. Selain tidak mengirim jemaah haji, pemerintah kolonial juga memulangkan jemaah haji yang biasa disebut koloni Jawah ( Ashhab al-Jawiyyin ) dari Jeddah. Karena maskapai pelayaran Belanda tidak beroperasi selama perang, pengangkutan jemaah haji itu dilakukan oleh konsorsium perusahaan Arab yang terdiri dari Said Umar Assagaf, Omar Nasif, dan Muhammad Ali, serta Alfred Holt di Liverpool, yang menetapkan Singapura sebagai pelabuhan haji. Jemaah haji yang berhasil dipulangkan sekira 5.000 orang. “Oleh karena kekurangan kapal, jemaah haji harus menunggu lama di Jeddah yang memerlukan banyak biaya. Sebagian di antara mereka bahkan terpaksa menandatangani kontrak kerja sebagai kuli kelapa sawit di Cocob,” tulis Shaleh. Jemaah haji yang terpaksa menetap di Hijaz itu karena tidak ada kapal haji atau karena selama ini tidak mempunyai tiket untuk pulang. Meskipun perang masih berlangsung, ada sekira 70 orang pada 1916 dan sepuluh orang pada 1917, yang tetap berusaha berangkat haji. Pada 1916, sebagian jemaah telah berada di Bombay, India. Karena tidak ada kapal haji yang akan ke Jeddah, pemerintah India meminta mereka kembali daripada tinggal di sana. “Rupanya beberapa orang calon haji nekat untuk melaksanakan haji pada masa peperangan tersebut melalui Bombay,” tulis Shaleh. Selanjutnya, entah mereka kembali ke Indonesia atau terus melanjutkan perjalanan menuju Jeddah. Yang jelas, ini membuktikan bagaimana jemaah Indonesia memiliki semangat yang menggebu untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Semangat itu terawat hingga kini.

  • Hijrah Pangeran Diponegoro

    PADA 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat di tahanan pembuangan di Makassar. Keikhlasan dan kejujuran menjadi warna penting dalam episode akhir pemimpin utama Perang Jawa ini. Sikap keikhlasan tergambar dalam pengakuan Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), opsir pengawal asal Jerman yang mendampingi Diponegoro selama pelayaran ke Manado. Knoerle dipilih karena bisa berbahasa Jawa. Selama perjalanan, menumpang korvet Pollux (4 Mei-12 Juni 1830), Diponegoro sering bercakap-cakap dengan Knoerle di atas tikar. “Selama itu saya memanggilnya Kanjeng Tuwan Pangeran, dan ia memanggil saya dengan kowe . Saya tanya dia, dan ia mengatakan artinya keluar dari hati yang tulus (manah waras) dan saya harus menganggapnya sebagai rasa ungkapan persahabatan,” tulis Knoerle dalam jurnalnya, seperti dikutip Peter Carey dalam Kuasa Ramalan . Kepada Knoerle, Diponegoro berbicara mengenai misteri hidup, ketika dihadapkan pada pergantian roda nasib. Dia bercerita, sebelum Perang Jawa, dia memiliki 60 tukang hanya untuk memotong rumput demi kuda-kudanya di Tegalrejo. Namun, ketika menjadi buronan, untuk menghindari pasukan gerak cepat Belanda, dia hanya ditemani dua pengiring setianya, Banteng Wareng dan Joyosuroto. “Di sinilah orang yang dapat kehilangan seluruh dunia, tetapi tetap teguh mempertahankan kemanusiaannya,” tulis Peter Carey dalam catatan kuratorialnya untuk pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa dari Raden Saleh hingga Kini” yang akan diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, pada 6 Februari-8 Maret 2015. Carey menilai perjalanan hidup Diponegoro sebagai pergerakan menciptakan dunia baru, yang dalam konteks Islam disebut hijrah . Diponegoro memulai hijrahnya pada sore hari dari Tegalrejo ke Selarong pada 20-21 Juli 1825. Hijrah kedua saat dia ditangkap Jenderal de Kock di Magelang, 28 Maret 1830, yang menandai awal masa seperempat abad menjadi tahanan dan buangan. “Posisinya sebagai Ratu Adil ditukar dengan dua kamar yang menyedihkan dan membuat gerah di Fort Nieuw Amsterdam di Manado (1830-1833) dan kemudian di Fort Rotterdam Makassar (1833-1855),” tulis Carey. Perjalanan hijrah Diponegoro berikutnya, lanjut Carey, yaitu “dari ranah badaniah perang ke ranah intelektual kepenulisan dan meditasi serta seni.” Kreativitasnya tumbuh dengan menghasilkan 1.150 halaman otobiografi ( Babad Diponegoro ) dan mengembangkan ketrampilan kaligrafi dalam gambar-gambar diagram mistis (da rah) serta menyalin Al-Qur'an. “Mereka yang mengamati dengan jeli transisi ini berbicara tentang ‘ketenangan, keikhlasan, atau kepatuhan Sang Pangeran yang tak tergoyahkan’, emosi-emosi yang Pangeran sendiri gambarkan secara lebih puitis seperti ‘emas yang dihanyutkan air’ ( lir mas kintaring toyo ).” Membaca Babad Diponegoro , menurut Carey, terasa seolah-olah Sang Pangeran sedang duduk dan berbicara langsung kepada kita. Gaya ekspresinya bersemangat, lugas, dan jujur. Lihatlah pengakuannya saat menerima “penglihatan” dalam penampakan mistik Ratu Adil-nya bahwa dia tidak mampu berkelahi karena “tidak tahan melihat kematian”, atau kerelaannya memasukkan catatan mengenai kelemahannya yang “permanen” bila melihat perempuan. Dalam menggenapi takdirnya, menurut Carey, Diponegoro menjalaninya seperti dalam tradisi samurai Jepang yang disebut “kemuliaan kegagalan” ( the nobility of failure ), yaitu kemampuan untuk tetap setia kepada sesuatu yang ideal. Dalam kasus Diponegoro, yaitu “menjunjung tinggi agama Islam di seluruh pulau Jawa” ( mangun luhuripun agami Islam wonten ing Tanah Jawa sedaya ), meskipun dia tahu tidak akan berhasil. Sebagaimana telah diramalkan kakek buyutnya, Mangkubumi (bertakhta 1749-1792), ketika Diponegoro masih bayi (lahir 11 November 1785): “Ia akan menyebabkan kerusakan lebih dahsyat kepada Belanda daripada yang telah dia lakukan selama perang Giyanti (1749-1755) tetapi hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang tahu apa yang akan terjadi kelaknya.”*

bottom of page