Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi
Heinrich Himmler sedang berpidato pada Oktober 1944. (Bundesarchiv/Wikipedia Commons). MUSISI Ahmad Dhani membuat lagu dan video klip “Prabowo Hatta: We Will Rock You” sebagai dukungan kepada calon presiden Prabowo Subianto. Selain Dhani, video klip tersebut dibintangi finalis Indonesian Idol: Nowela, Husein, dan Virzha. Dalam akun resmi facebook , Prabowo berterimakasih dan menyatakan “video ini semakin menambah semangat juang kami.” Namun, yang mengejutkan, dalam video itu Dhani memakain baju mirip petinggi Nazi-Jerman: Heinrich Himmler. Entah apa yang ada dalam benak Dhani ketika memilih dan memakai baju itu? Heinrich Himmler (1900-1945) merupakan salah satu orang paling berkuasa di Nazi-Jerman dan arsitek genosida. Setelah bertugas dalam tentara Jerman sampai akhir Perang Dunia I, dia menjalani berbagai pekerjaan, termasuk menjual pupuk dan beternak ayam. Pada awal 1920-an, dia bergabung dengan Partai Nazi. Pada 1929, Himmler diangkat sebagai kepala SS singkatan dari Schutzstaffel (skuadron pelindung). Inti satuan yang bakal menjadi SS dikenal dengan Stosstruppe (pasukan serbu) Adolf Hitler, beranggotakan delapan orang dan dikepalai sopir kesayangan Hitler, Julius Schreck. Dari awal yang kecil itu, SS tumbuh hingga berkekuatan 910.000 orang, angka yang menakjubkan tapi hanya sepersepuluh jumlah tentara reguler Jerman pada masa jayanya. “Pertumbuhan sejati SS berawal pada 1929 ketika Heinrich Himmler, seorang yang santun dan teliti, tapi juga ambisius dan kejam, ditunjuk menjadi Reichsfuhrer (pemimpin) SS,” tulis Bruce Quarrie dalam Wafen SS. Ahmad Dhani memakain baju mirip petinggi Nazi-Jerman, Heinrich Himmler. Pada 1934, Himmler juga menjadi kepala Gestapo, polisi rahasia, yang ditakuti di Jerman dan wilayah pendudukan Jerman di Eropa selama Perang Dunia II. Gestapo dibebaskan dari kekangan hukum sehingga bisa menangkap siapa saja dengan alasan apa saja. “Himmler terobsesi dengan kemurnian ras Jerman dan mendorong ‘program pemuliaan’ ras Arya,” tulis bbc.co.uk . “Pecahnya Perang Dunia II mendorong Himmler untuk mengejar tujuan rasial lain, yaitu penghapusan orang Yahudi dan apa yang disebut sub-humans (ras manusia kelas bawah, red. ) lainnya.” Karena itu, tulis historylearningsite.co.uk , Himmler bertanggung jawab atas kamp-kamp konsentrasi Jerman (dia mendirikan kamp pertama di Dachau pada 1933) dan kamp-kamp kematian di Eropa Timur.” Setelah Jerman menginvasi Polandia, Himmler diberi kendali total menganeksasi negara tersebut. Dalam setahun, lebih dari satu juta orang Polandia dan 300 ribu Yahudi dipaksa keluar Polandia dan digantikan pemukim Jerman. Ketika Jerman menginvasi Uni Soviet pada 1941, Himmler mengendalikan kepolisian dan administrasi politik di wilayah-wilayah pendudukan, melalui kekuasaanya: SS dan sistem kamp konsentrasi. Pada 1943, Hitler mengangkat Himmler sebagai menteri dalam negeri. Dalam posisi ini, dia mengawasi “Solusi Akhir” –upaya memusnahkan semua orang Yahudi di Eropa– dan mengelola sistem kerja paksa. “Ironisnya, bagi seseorang yang berhubungan dengan pertumpahan darah begitu banyak, Himmler sendiri hampir pingsan saat melihat darah,” tulis historylearningsite.co.uk. Ketika kekalahan Nazi-Jerman mendekat, Himmler berupaya negosiasi dengan Sekutu. Hitler marah dan melucutinya. Setelah penyerahan Jerman, Himmler melarikan diri dengan identitas palsu, tapi ditangkap Sekutu. Pada 23 Mei 1945, dia bunuh diri di tahanan.* Tulisan ini diperbarui pada 11 Juni 2020.
- Pengunduran Diri Jenderal Soedirman
Presiden Sukarno memeluk Panglima Besar Jenderal Soedirman di Istana Yogyakarta, 10 Juli 1949. (IPPHOS). SEBAGAI pernyataan penutup dalam debat calon presiden 22 Juni 2014, Joko Widodo membacakan kutipan Panglima Besar Jenderal Soedirman: “Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh dan tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia). Maka sebenarnya menjadi kewajiban bagi kita sekalian yang senantiasa tetap mempertahankan tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk tetap memelihara agar supaya hak milik nasional republik itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimana pun juga.” Menurut AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia , kutipan tersebut merupakan bagian dari surat Soedirman tertanggal 1 Agustus 1949 kepada Presiden Sukarno yang ditulisnya ketika sakit. Ketika itu, terjadi krisis politik-militer di Yogyakarta. Sesuai Persetujuan Roem-Royen, Sukarno mengeluarkan perintah gencatan senjata pada 3 Agustus 1949. “Sudirman termasuk salah seorang perwira yang menentang perjanjian Roem-Royen, karena curiga akan terulangnya kembali kelicikan Belanda,” tulis Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Volume 1. “Tambahan lagi ia masih dalam keadaan sakit payah, dan merasakan bahwa ia telah mendekati hari-harinya yang terakhir. Ia ingin tinggal bersama pasukan gerilya dan para petani sampai tiba harinya yang menentukan.” Pada 2 Agustus 1949 pagi, Soedirman memanggil Nasution dan mengajaknya turut menghadap Sukarno di istana Yogyakarta. Soedirman hendak mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan gencatan senjata. “Kami tak bisa lagi mengikuti politik pemerintah, kami terpaksa mengundurkan diri,” kata Soedirman. “Saya tegaskan bahwa itulah pendirian semua Panglima,” kata Nasution dalam “Kepemimpinan Pak Dirman,” termuat di Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman. “Kalau itu pendirian APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), maka Sukarno-Hatta yang akan lebih dulu mengundurkan diri, kami bersedia mengikuti pimpinan APRI meneruskan perjuangan,” tegas Sukarno. Seketika, kenang Nasution, airmata pun mengalir. Tak ada lagi pembicaraan. Mereka bersalaman dan berpisah. Sorenya, Nasution dipanggil ke tempat Soedirman. Ajudannya menyerahkan surat pengunduran diri. Surat itu belum dinomori. Nasution membacanya lebih dulu sebelum mengantarkannya ke Sukarno. Setelah itu, Nasution menghadap Soedirman yang terbaring sakit di tempat tidur. Dia menyatakan, “lebih penting persatuan pimpinan APRI dengan Sukarno-Hatta daripada soal strategi perjuangan. Bagaimanapun baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal.” Soedirman sependapat dengan Nasution. “Surat itu tak jadi dikirimkan. Tapi surat itu sampai kini jadi dokumen historis,” kata Nasution. Menurut Roeslan Abdulgani dalam “Peranan Panglima Besar Sudirman dalam Revolusi Indonesia,” termuat di Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, meskipun menentang politik perundingan, Soedirman tetap menunjukan sikap loyal terhadap apa saja yang menjadi keputusan pemerintah. “Dalam hal ini, beliaulah yang selalu menandaskan: tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara, tulis Roeslan.*
- Istana Putih
Istana Putih (Het Witte Huis) atau gedung Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta, 1955. (KITLV). GUBERNUR Jenderal Herman Willem Daendels (memerintah 1808-1811) ingin membangun pusat pemerintahan dan pertahanan yang baru dan lebih sehat. Mula-mula dia berencana memindahkannya dari Batavia ke Surabaya tapi batal. Dia akhirnya menetapkan di luar kota lama. “Ia berkeputusan memindahkan permukiman kota beberapa mil ke daerah pedalaman, yakni ke sebuah kota pinggiran yang disebut Weltevreden ,” tulis BHM Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia . Daendels menetapkan lokasi pembangunan Rumah Besar ( Groote Huis ) atau Istana Putih ( Het Witte Huis ) di timur Lapangan Parade ( Paradeplaats , kini Lapangan Banteng) yang sejak masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dijadikan pusat militer Hindia Belanda. “Tuan Besar Guntur”, demikian julukan Daendels, memerintahkan Kolonel JC Schultze untuk menjadi arsitek pembangunan. Sang kolonel menerjemahkan kemauan Daendels ke dalam tiga bangunan besar dua lantai bergaya Empire Style yang sedang tren di Paris. Ketiga bangunan (induk, sayap kanan, dan sayap kiri) berdiri sejajar menghadap Lapangan Parade. Di tengah proses pembangunan, Daendels dipanggil kembali oleh Napoleon pada 1811 dan dijadikan komandan benteng Modlin di Polandia. Pembangunan mandek. Pengganti Daendels, Jan Willem Janssens, hanya menutupi atap-atap yang belum selesai dengan rumbia. Baru ketika LPJ du Bus de Gisignies menjabat Gubernur Jenderal pada 1826, pembangunan berjalan kembali. Du Bus meminta Ir Tromp menjadi arsiteknya. Dua tahun kemudian proyek tersebut rampung. Papan bertulis –MDCCCIX-Condidit Daendels, MDCCCXXVIII-Erexit Du Bus– dipasang di samping tangga untuk menandakan waktu pembangunan. Bangunan induk dipakai sebagai istana atau tempat tinggal gubernur jenderal. Sementara bangunan sayap kiri dan kanan berfungsi sebagai kantor pemerintahan dan tempat menjamu tamu negara. Di kompleks ini terdapat istal yang menampung lebih dari 100 kuda berikut keretanya. Juga percetakan negara dan kantor pos. Pada masa pemerintahan Du Bus Hooggeregtshof, Mahkamah Agung ikut berbagi tempat di utara kompleks Istana Putih, sebelum pindah ke sebuah gedung di utara Koningsplein (kini Lapangan Monas) pada 1848. “Dewan Hindia Belanda, yang beranggotakan para petinggi Belanda, juga bersidang di sini,” tulis Alwi Shahab dalam Robinhood dari Betawi . Kompleks Istana Putih menjadi salah satu tempat paling menarik untuk bersantai dan berpesta pada abad ke-19. Di gedung sayap kiri berdiri kelab Concordia. Opera-opera macam Othello atau Verdi kerap dipentaskan. Ketika Jepang datang, Istana Putih dijadikan kantor keuangan pemerintahan pendudukan. Fungsi itu berlanjut ketika Indonesia merdeka. Istana Putih menjadi kantor Kementerian Keuangan.*
- Jimat Perang Tentara Sukarela
Ki Ageng Suryomentaram dan Gatot Mangkupraja. GEDUNG bioskop di daerah Cilacap penuh sesak pada 14 Desember 1943. Para pengunjung bukan hendak menonton film tapi mendengarkan wejangan dari tokoh kebatinan Jawa, Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Dalam wejangannya, Suryomentaram menjelaskan perlunya terus mengobarkan perlawanan terhadap Sekutu sebagai balas budi kepada Dai Nippon atau Jepang serta demi mewujudkan kemakmuran Asia Timur Raya. Selang dua hari, Suryomentaram kembali berpidato di hadapan ribuan orang di gedung Asia Bersatu, Purwokerto. Kali ini, dia menjelaskan Jimat Perang. “Rasa berani mati dan berani hidup dalam masa perang dapat berakibat menangnya perang. Sedangkan pada masa damai rasa itu dapat melaksanakan kebudayaan yang luhur,” ujar Suryomentaram, dikutip koran Tjahaja , 18 Desember 1943. “Perang dalam pelajaran Jawa bukan suatu keburukan, bahkan barang siapa mati dalam peperangan dialah mati mulia.” Sejak kehadiran Jepang, Suryomentaram menunjukkan simpati dan rasa terimakasih kepada Jepang yang menurutnya telah membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan kolonialisme. Dia dan teman-temannya juga menyatakan siap menerima pelatihan dan berjuang bersama Jepang melalui apa yang dia sebut Jimat Perang. “Dia diundang untuk berbicara melalui radio Jakarta dan diizinkan menggelar pertemuan untuk menyebarkan gagasan ini,” tulis Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaram, Javanese Prince and Philosopher (1892-1962),” dimuat jurnal Archipel , No. 57, 1993. Berkat intervensi Mr Sudjono, dia bertemu dengan para pemimpin nasionalis yang dipercaya Jepang: Sukarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara –lebih dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Dalam kesempatan ini, tulis Bonneff, dia berhasil meyakinkan Sukarno mengenai gagasan Jimat Perang. Namun Jepang masih skeptis mengenai pembentukan milisi bumiputera. Pada 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo berjanji memberi partisipasi politik lebih besar kepada orang Indonesia. Sebagai bagian dari rencana ini, Jepang membuka kemungkinan pembentukan pasukan sukarela. Markas Besar Tentara ke-16 memutuskan prakarsa pembentukan tentara bumiputera harus datang dari pemimpin Indonesia sendiri. Pada 17 September 1943, Suryomentaram menemui P.T.K. Yamauchi, gubernur militer Jepang di Yogyakarta, untuk memohon izin membentuk tentara sukarela. Namun ditolak. Suryomentaram mencoba jalan lain. Dia bersama delapan rekannya membentuk sebuah panitia yang disebut Manggala Sembilan untuk menyusun surat permohonan pembentukan tentara sukarela. “Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang, surat tersebut diserahkan kepada Asano, seorang anggota intelejen Jepang, yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo,” tulis Grangsang Suryomentaram dalam Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Dari usulan-usulan yang masuk, pemerintah pendudukan Jepang mantap membentuk pasukan sukarela. Seminggu setelah keputusan pembentukan tentara sukarela pada 3 Oktober 1943, Suryomentaram berpidato melalui radio Yogyakarta. Dia juga giat berkeliling Jawa untuk menggerakkan pemuda agar turut dalam pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Jimat Perang Suryomentaram cukup efektif memobilisasi pemuda untuk mendaftar menjadi pasukan sukarela. Dia juga membuka pendaftaran, namun pemerintah militer Jepang segera mengambil-alihnya. Gagasan mengenai pembentukan PETA memang masih simpangsiur. Dalam memoirnya, “The Peta and My Relations With The Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography” yang dimuat jurnal Indonesia , No. 5, 1968, Gatot Mangkupraja (1898-1968) mengklaim pembentukan PETA sebagai gagasannya. Banyak orang meragukannya. Bahkan timbul polemik. Salah satunya dari Grangsang Suryomentaram, yang membuat versi tandingan tentang peran ayahnya dalam tulisannya di Berita Buana , 19 Juli 1975. Tapi versi Grangsang juga bukan tanpa polemik. Di luar perdebatan itu, setelah Indonesia merdeka, tentara sukarela PETA menjadi modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia.*
- Humor ala Bakir
Ilustrasi pada Sair Ken Tambunan, sebuah cerita panji yang disalin oleh Muhammad Bakir pada 1897, berupa gambar seekor burung dengan tulisan syair pada bulu-bulunya. (Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional Sastra Betawi Akhir Abad ke-19). RAWANA mengadakan pesta. Ia memberi minuman kepada raksasa, berupa “brandi dan konyak syampanye, maka sekaliannya mabuk... Maka piala yang bertatahkan ratna mutu manikam pun diisi oranglah daripada minuman arak dan brem dan anggur sampanye dan brandi konyak”. Cuplikan adegan dalam Hikayat Sri Rama, yang disadur Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, terasa janggal bila pembaca berbekal bingkai cerita Ramayana . Naskah yang selesai disalin pada 17 Desember 1896 ini memang memuat cerita yang bersumber pada Ramayana . Namun Bakir menyisipkan kejadian aktual. Bahkan, dalam cerita wayang dan petualangan, dia memasukan nama-nama tempat di Jawa; Batavia, Gunung Gede, Muara Ancol, Muara Baru, Pasar Baru, dan Bekasi. Tujuannya, “memberikan aspek realis, modern, dan profan kepada cerita fiksi, kuno, dan sedikit banyak sakral,” tulis Henri Chambert-Loir dalam pengantar Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional: Sastra Betawi Akhir Abad-19 . Bakir merupakan seorang penyalin dan penggubah naskah Melayu. Dia menghasilkan 32 jilid naskah, dengan total lebih dari 6.000 halaman yang ditulis dalam kurun waktu 14 tahun. Selain itu, dia pemilik tempat penyewaan naskah (taman bacaan) yang pada abad ke-19 menjamur di wilayah Batavia. Lokasi penyewaan naskah Bakir beralamat di Kampung Pecenongan Langgar Tinggi, Gang Terunci. Gang itu kini berubah nama jadi Jalan Pintu Air V di kawasan Pecenongan. Tak ada jejak rumah lama dan keluarga Bakir yang tersisa. “Satu-satunya Langgar Tinggi yang masih dikenal di Jakarta dewasa ini berlokasi di kawasan Pekojan di tepi kali Angke,” tulis Dumarçay & Chambert-Loir dalam “Le Langgar Tinggi de Pekojan, Jakarta”, dimuat jurnal Archipel Vol. 30. Bakir memiliki kekhasan dalam karyanya. Salah satu ciri khas Bakir, menurut Chambert-Loir, adalah penggunaan lelucon sederhana terkadang kasar atau jorok serta efek kontras dari anakronisme (kerancuan waktu). Dalam Lakon Jaka Surkara , dia menyinggung Letusan Gunung Krakatau, Pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana (salah satu tokoh pewayangan) yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne. Aspek kontras juga muncul melalui pertentangan aspek luhur nan agung dan sakral pada tokoh pewayangan dengan dunia modern sehari-hari. Dalam Hikayat Asal Mulanya Wayang , dia menampilkan Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, “iseng-iseng maka lalu membaca kitabnya dengan suara yang keras seperti piring jatuh dari ubin.” Sementara dalam Hikayat Wayang Arjuna , Pendeta Durna “mendek-mendek lakunya seperti ayam jago mau bertelur rupanya.” Cerita-cerita, yang digubah maupun disalin Bakir, disewakan untuk dibaca keras-keras di depan khalayak. Ongkos sewanya 10 sen sehari-semalam. Terkadang humor Bakir yang bersifat lisan atau untuk dilafalkan juga dituliskan pelafalannya. Dalam satu jilid Hikayat Sultan Taburat , bunyi-berbunyi ditulis “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi anak panah “serawat serawit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”, dan pukulan di dada raja “kedabak kedabuk”. Cara berbicara anak kecil dan aksen orang Tionghoa juga dimasukkan. Pada jilid lain Hikayat Sultan Taburat tersurat kisah sesosok hantu Tionghoa yang mengeluh kepada temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet “tukang kebiri ayam” yang menyuap ibu gadis itu, “peluntungan tiada bel-laku, bial-lah aku kawin sama orang lain saja”. Sempalan humor yang digurat Bakir dibubuhkan di tengah cerita atau sisipan cerita. Pembubuhan ini dilakukan agar pembaca dan penikmat merasa dekat dengan cerita. Bakir yang hidup di masa transisi mengadaptasi karya sastra Melayu lama lalu menyampaikan kembali dengan gaya yang sesuai pada saat itu. “Tujuan Bakir menggunakan perbandingan cerita dengan situasi yang berubah pada masanya bertujuan agar masyarakat tetap mau menyewa naskahnya. Dengan demikian, ia dapat mempertahankan usaha penyewaan naskahnya yang menjadi sumber penghidupannya” ujar Dewaki Kramadibrata, dosen Program Studi Indonesia di Universitas Indonesia, kepada Historia .*
- Rumah Penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok
Rumah sejarah Rengasdengklok. (disparbud.jabarprov.go.id). CALON presiden Joko Widodo mengunjungi Rumah Sejarah Rengasdengklok di Kampung Kali Jaya (dulu Kalimati) RT 001/09 Desa Rengasdengklok Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, pada tengah malam, 16 Juni 2014. Di tengah para pendukungnya, Jokowi membacakan piagam yang antara lain berisi: "Indonesia harus benar-benar merdeka. Tugas pemimpin adalah memerdekakan rakyat mereka." Rumah itu dianggap sebagai saksi sejarah perjalanan kemerdekaan Indonesia. Sehari sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda "menculik" Sukarno-Hatta serta Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, dan menempatkannya di rumah milik seorang tuan tanah Djiau Kie Siong. Menurut Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 , lokasi rumah Djiau Kie Siong berada di sisi tanggul Sungai Citarum. Saat itu, banjir sering melanda daerah bagian utara Karawang, terutama pada musim hujan. Aliran sungai yang tak terkendali mengakibatkan beberapa bagian wilayahnya tergerus erosi. "Karena khawatir rumahnya tergerus Sungai Citarum, pada tahun 1957 Djiau Kie Siong memindahkan bangunan rumahnya ke lokasi lebih aman. Sementara lokasi rumahnya yang lama, kini sudah berada di tengah aliran sungai Citarum," tulis Her Suganda. Kendati telah pindah, rumah Djiau Kie Siong dianggap sebagai rumah bersejarah tempat Sukarno-Hatta ketika diculik para pemuda. Menurut Mohammad Hatta dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 , pada tamasya sejarah ke Rengasdengklok yang diadakan Partai Komunis Indonesia dan Partai Murba setelah 17 Agustus (?), diperingati dengan khidmat suatu "peristiwa yang tidak pernah terjadi," tulis Hatta. "Digembar-gemborkan bahwa pada 16 Agustus 1945 atas dorongan pemuda diadakan di sana rapat antara Sukarno-Hatta dan pemimpin-pemimpin pemuda, yang menelorkan konsep Proklamasi Kemerdekaan." Menurut Hatta, golongan pemuda dalam Angkatan Pemuda Indonesia di bawah Sukarni dan Chairul Saleh menginginkan agar proklamasi Indonesia dilakukan "secara revolusioner", lepas dari segala yang berbau buatan Jepang. Bukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tetapi Sukarno sendiri sebagai pemimpin rakyat. Karena itulah, mereka menculik Sukarno-Hatta. Namun, Sukarno-Hatta bersikeras bahwa proklamasi kemerdekaan harus melalui PPKI. Lebih lanjut Hatta bercerita, pada tamasya itu diputuskan bahwa meja yang dipergunakan untuk "konferensi yang tidak ada itu" akan disimpan sebagai kenang-kenangan dalam museum sejarah di Yogyakarta atau Jakarta. Menurut Hatta, menyebut meja beserta satu set piring mangkok itu digunakan Bung Karno untuk makan hanyalah fantasi. "Waktu kami diculik oleh pemuda ke Rengasdengklok, rumah tuan tanah orang Tionghoa itu dikosongkan untuk kami dan yang empunya disuruh pindah ke tempat lain. Di mana dia tahu bahwa satu stel piring pinggan yang ditunjukannya itulah yang dipergunakan oleh Bung Karno?" Kendati demikian, seperangkat meja dan kursi dari rumah Djiau Kie Siong kini tersimpan di Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Bandung.*
- Operasi Birdcage
Operasi penyebaran pamflet oleh Sekutu. SEKUTU (Inggris) telah merencanakan langkah-langkah untuk menyelamatkan para tawanan dan interniran. Sebelum mengirimkan timnya, yakni Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang dibentuk pada Februari 1945, Sekutu terlebih dahulu melancarkan operasi pendahuluan. Operasi Birdcage ini ditujukan kepada tawanan perang, interniran, dan tentara Jepang. Menurut Christopher Chant dalam The Encyclopedia of Codenames of World War II , Operasi Birdcage merupakan operasi Sekutu menyebarkan pamflet-pamflet ke kamp-kamp di Asia Tenggara (Agustus 1945) untuk memberitahu para tahanan bahwa perang telah berakhir. Pamflet itu juga memerintahkan mereka untuk tetap mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan tentara Jepang sampai pasukan Sekutu mendarat untuk membebaskan mereka dari kamp-kamp. Jim Coyle dalam “End of World War II leaflets,” thestar.com (10 November 2011), menyebut untuk menjaga keselamatan tawanan perang –dan untuk mengangkat semangat mereka– pesawat Liberator membawa kargo berisi pamflet-pamflet dimaksudkan untuk menyebarkan berita kepada tawanan perang bahwa perang telah berakhir dan berjanji akan mengirim pasokan dan menyelamatan mereka sesegera mungkin. Pamflet itu juga memerintahkan tentara Jepang menyerah kepada Sekutu dan memastikan tawanan perang diperlakukan dengan baik. Pada 28 Agustus 1945, Bill Watson, ketika itu berusia 20 tahun, sebagai penembak udara (air gunner) dalam pesawat Liberator, lepas landas dari Kepulauan Cocos, menuju Singapura, untuk melaksanakan Operasi Birdcage. Pamflet dijatuhkan di atas kamp-kamp saat pesawat di ketinggian 500 meter. “Pesawat kami adalah pesawat Sekutu pertama di Singapura setelah perang. Kami menjatuhkan pamflet-pamflet tanpa masalah dan kembali,” kata Watson, dikutip Jim Coyle. Menurut sejarawan Aiko Kurasawa, sebelumnya Sekutu telah menyebarkan pamflet propaganda. Salah satu pamflet yang dijatuhkan di Filipina pada Februari 1945 berbunyi: “Hanya beberapa minggu yang lalu, Perdana Menteri Jepang, Koiso, ketika berbicara tentang invasi Amerika ke Luzon, berkata: ‘Ini adalah pertempuran yang menentukan peperangan.’ Sekarang pertempuran itu telah dimenangkan oleh Sekutu, dan Manila, ibukota Filipina, telah dibebaskan.” Jika melihat catatan yang disimpan di Kantor Catatan Publik Inggris (British Public of Record Office), Aiko menduga jumlah lembaran propaganda yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disebarkan pesawat terbang Sekutu sudah pasti banyak. “Saya tidak mengetahui apakah pamflet ini benar-benar sampai kepada rakyat Indonesia, karena diberitahukan pula bahwa orang Jepang berusaha keras untuk mengumpulkannya agar tidak dibaca orang-orang Indonesia. Namun, sangat tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang mendapat kesempatan untuk membacanya. Kasus ini bahkan akan lebih benar lagi di daerah-daerah yang seringkali mengalami serangan udara,” tulis Aiko, “Persiapan Kemerdekaan Pada Hari-Hari Terakhir Pendudukan Jepang,” termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia . Aiko tak menyebutkan apakah penyebaran pamflet propaganda tersebut bagian dari Operasi Birdcage. Sementara itu, menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali! , pesan pamflet yang ditujukan kepada penghuni kamp adalah petunjuk-petunjuk agar mereka tetap tinggal di dalam kamp masing-masing sampai tentara Sekutu datang serta pemberitahuan kiriman bantuan makanan dan obat-obatan. Pamflet untuk tentara Jepang, yang ditulis dalam bahasa Jepang, memberitahukan tentang penyerahan Jepang berikut instruksi-instruksi yang harus dipatuhi. Pesawat-pesawat yang menyebarkan pamflet menjatuhkan logistik ke kamp-kamp yang ditemukan, mengingat keadaan tawanan dan interniran sangat memprihatinkan. Bertepatan dengan penekenan secara resmi penyerahan Jepang pada 2 September 1945, untuk kali pertama kamp-kamp di Jakarta dan sekitarnya menerima paket-paket makanan, obat-obatan, dan pakaian yang diturunkan dengan parasut. Pesawat-pesawat Angkatan Darat dan Angkatan Laut Belanda dilibatkan dalam dropping logistik itu. Tentara Jepang yang menjaga kamp berusaha agar bantuan untuk para penghuni kamp dapat diterima dengan lancar. Mereka juga memperlakukan para tawanan dan interniran dengan lebih baik. “ Dropping bantuan RAPWI sangat menolong para penghuni kamp untuk merehabilitasi dirinya, terutama mereka yang dalam keadaan sakit,” tulis Saleh.*
- Di Balik Cerdik Licik Si Kancil
Salah satu cerita dongeng Si Kancil dan buaya. DALAM dongeng binatang di Indonesia, kancil adalah tokoh terpopuler. Cerita Kancil sudah lama ada dalam masyarakat Jawa, bahkan sebelum ada tradisi tulisan. Cerita Kancil sering dijadikan sarana pengajaran bagi anak-anak. “Tokoh binatang cerdik licik ini di dalam ilmu folklor (cerita rakyat) dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu,” tulis James Danandjaja dalam Folklor Indonesia. Menurut Sir Richard Windsted dalam A History of Classical Malay Literature, pada abad II SM pada suatu stupa di Barhut Allahabad India terukir adegan-adegan dongeng binatang, berasal dari cerita agama Budha, yang dikenal sebagai Jataka . Dongeng binatang ini kemudian menyebar ke luar India; ke arah barat menuju Afrika serta ke timur menuju Indonesia dan Malaysia bagian barat. Dongeng Si Kancil, tulis R.B. Dixon dalam The Mythology of All Races: Oceanic , terdapat di daerah-daerah di Indonesia yang mendapat pengaruh kuat Hinduisme dan erat hubungannya dengan kerajaan Jawa Hindu dari abad ke-7 sampai abad ke-13. Hipotesis Dixon, menurut James Danandjaja , diperkuat dengan fakta bahwa dongeng Si Kancil juga terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan Hindu. Sayangnya, dia tak menjelaskan kenapa dongeng Kancil dapat hidup sampai berabad-abad, atau apa fungsinya sebagai ungkapan kebudayaan dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda. Kendati telah lama menjadi folklor yang dituturkan secara lisan, kisah Si Kancil baru dibukukan pada abad ke-19. “Semua versi cerita kancil berbahasa Jawa, ceritanya dapat dilihat sebagai suatu siklus yang menceritakan seluruh riwayat hidup sang Kancil sejak lahir sampai meninggalnya,” tulis T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A. Versi cerita Kancil tertua adalah Serat Kancil Amongsastra karangan Kyai Rangga Amongsastra, penulis Kadipaten selama pemerintahan Pakubuwono V di Surakarta, yang dikarang pada 1822. Atas usaha Dr W. Palmer van den Broek, serat tersebut dicetak pada 1878. Buku induk lain dongeng Si Kancil diterbitkan G.C.T. van Dorp di Semarang pada 1871. Cerita Kancil ini lebih dikenal dengan Serat Kancil van Dorp karena tak diketahui penulisnya. Buku lainnya adalah Serat Kancil Salokadarma karya R.A. Sasraningrat, putra Pakualam Yogyakarta, yang berangka tahun 1891. Cerita Kancil dalam buku ini kehilangan cirinya seperti Kancil pada umumnya. Hal ini, menurut Abing Ganefara dalam skripsinya tentang SeratKancil Saloka Darma di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia tahun 1990, karena terdapat konsep-konsep ajaran mistik yang menonjol, sehingga peran binatang dalam cerita ini tak berbeda dari manusia sehari-hari. Misalnya, ada peran bercakap-cakap, mengajar, memberi nasihat, atau adu argumentasi sambil sesekali diselipi ajaran-ajaran mistik. Naskah yang dekat dengan Serat Kancil Salokadarma , menurut Behrend dan Titik, adalah Serat Kancil Amongraja di mana memuat ajaran moral, Islam, kebatinan, dan lain-lain disampaikan melalui wejangan . Tiada keterangan penulisan mengeni serat ini. Tapi melihat gejala bahasa dan terutama sasmitaning tembang yang diletakkan di awal pupuh baru, diperkirakan teks ini berasal dari lingkaran kesusastraan Pakualaman, Yogyakarta. Perbedaan isi Serat Kancil Amongraja dengan serat-serat lain terletak pada tokoh Kancil yang digambarkan sebagai seorang pemuda dengan ilmu pengetahuan luas. Dari penggambaran tersebut tidak tertangkap kesan bahwa Kancil adalah tokoh binatang. Kancil merupakan putra Raden Pathangkus dari Ampeldenta dan seorang dewi dari negara Wiradi. Pada usia 16 tahun, Kancil telah menguasai ilmu kebatinan, falak, Alquran, sastra, bahasa Arab dan Jawa, hingga undang-undang dan hukum Jawa-Belanda. Menurut James Danandjaja, dari semua peneliti tentang dongeng Kancil, yang menarik adalah karya Philip Frick McKean, The Mouse-deer (Kantjil) in Malayo-Indonesia Folklore: Alternative Analyses and the Significance of a Trickster Figure in South-East Asia . McKean menyimpulkan bahwa ideal folk (cerita rakyat) Jawa adalah selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng Si Kancil dapat diambil kesimpulan bahwa Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang dalam menghadapi kesukaran, selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah rumit tanpa ribut-ribut, dan tanpa banyak emosi. Benarkah demikian?
- Band Asal Bapak Senang Pengawal Sukarno
Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa, sedang bernyanyi bersama band ABS di Istana Bogor dalam acara ramah tamah Presiden Sukarno dengan undangan. (Repro Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967). SEHABIS makan siang bersama Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones di Cipanas, Sukarno memanggil Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP), dan bertanya: “Anak-anak ada atau tidak?” Anggota DKP segera menyanyi sambil memukul-mukul apa saja yang penting bersuara dan berirama. Sukarno dan Hartini, Howard Jones dan istrinya, serta anggota staf kedutaan menari lenso. Tanpa alat-alat musik, tari lenso berlangsung meriah. Setelah acara selesai, alat-alat dapur yang dipukuli semuanya penyok. “Wah, bagaimana ini nanti, Pak. Sebab alat-alat dapur ini saya pinjam dari tetangga sebelah,” kata pelayan dapur. “Beres, nanti diganti,” kata Mangil dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . Mulai saat itu, setiap ada pengawalan, Mangil selalu membawa kendang agar tak lagi merusak alat dapur. Mangil menyadari Sukarno senang menari lenso. Maka, dia membentuk sebuah band untuk melayani Bung Karno dalam acara santai, setelah acara resmi. Band ini dipimpin Iskandar Winata, pernah menjabat mayor polisi di bagian urusan kepegawaian Markas Besar Kepolisian. Awalnya, peralatan band buatan dalam negeri. Semua lagu kesukaan Sukarno dipelajari dengan baik. Pada kesempatan mendampingi Sukarno ke luar negeri, secara bertahap, Mangil membeli alat-alat band. Hanya drum yang diberi pengusaha Hasjim Ning. “Mereka tahu aku memerlukan hiburan, jadi ada satu korps khusus yang bisa menyanyi, menari, dan merangkap pemain musik pada setiap pertemuan,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Menurut Mangil, Sukarno senang dengan band ini karena tak pernah cocok dengan beberapa band yang pernah datang ke Istana. Band ini khusus menghibur Sukarno, kecuali kalau ada anggota pengawal yang memerlukannya untuk acara perkawinan dan lain-lain. Iskandar Winata memberikan nama band ini: ABS, Asal Bapak Senang. Dalam Sewindu Dekat Bung Karno , Bambang Widjanarko, ajudan presiden, menyebut betapa bosan mereka dan sebagian yang hadir karena dua sampai tiga jam nonstop membawakan satu irama: cha-cha . Beberapa kali mereka coba mengubah irama, yang masih cocok untuk mengiringi Sukarno. Namun Sukarno selalu membentak tak setuju dan memerintahkan kembali ke irama semula. Begitulah, mereka tak pernah lagi berusaha mengubah irama atau suasana berlenso Sukarno. “Sejak itu lahirlah istilah Asal Bapak Senang atau ABS,” kata Bambang. Suatu ketika, usai pertemuan Sukarno dengan ratusan mahasiswa, acara resmi beralih ke acara ramah-tamah. Sukarno memberi isyarat agar band mulai beraksi. “Ayo ABS bersiap, kita segera mulai,” kata Bambang. “Mbang, apa itu ABS?” tanya Sukarno. “O, itu hanya nama band-nya Pak Mangil, Pak.” Sukarno tak lagi menanyakan singkatan ABS. Mungkin juga sampai wafatnya Sukarno tak mengetahuinya. Sebaliknya, Sukarno memberi nama band itu Brul Apen . Arti harfiahnya, monyet-monyet yang terus mengerang dan cecowetan tiada henti. Dalam sebuah lawatan Sukarno ke Roma, ABS ikut serta. Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan masih ingat, di sebuah restoran ABS memukul meja dan apa saja untuk menyajikan musik yang disukai Sukarno. ABS pula yang “menguasai” acara sewaktu orang kaya terpandang menjamu Sukarno. Setelah ramah tamah, minum bersama, dan jamuan makan malam, semua hadirin diajak ke ballroom, di mana sekelompok musisi telah menanti. Sebagai pembuka terdengar lagu berirama waltz . Pasangan-pasangan mulai berdansa. Sukarno tetap duduk dan berbincang dengan tuan rumah. Bambang yang berada di belakang Sukarno tersenyum dalam hati. “Kali ini Bung Karno kena batunya, terpaksa hanya dapat melihat orang berdansa,” pikir Bambang. Setelah lagu pertama selesai, Sukarno segera memerintahkan para pengawalnya mengambil-alih alat musik dan memainkan cha-cha . “Maka di ballroom pinggir kota Roma itu segera terdengar permainan dan nyanyian kelompok ABS mengiringi Soekarno dan tamu lain berlenso,” kata Bambang. “Sampai seluruh acara selesai, musisi Italia tadi hanya memainkan irama waltz pertama, dan kami seniman seadanya – Die Brul Apen van BK – mengisi acara santai sampai bubar.” Mangil menegaskan, ABS betul-betul tidak berbau politik atau mempunyai tujuan lain. “Mulai tahun 1966,” kata Mangil, “kata-kata ABS yang tertulis di surat-surat kabar sudah lain artinya, sudah berbau politik.”*
- Meneliti Laut Hindia Belanda
Kapal Snellius dan pengambilan sampel karang oleh para peneliti. (Hendrik M. van Aken, "Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times", jurnal Oceanography Volume 18). SEJAK masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), penelitian laut sudah dilakukan, kendati terbatas pada eksplorasi rute komersial. Di masa setelahnya penelitian kelautan terus berkembang, terutama mengenai hidrografi (pemetaan laut) dan bilogi kelautan. Salah satunya melalui Ekspedisi Snellius. Pada 1925, Kapten J.L.H Luymes, hidrografer Angkatan Laut Belanda, mengusulkan kepada Perkumpulan Geografi Kerajaan Belanda (KNAG), sebuah lembaga swasta, agar melakukan ekspedisi penelitian laut dalam di bagian timur Nusantara. Tujuan utamanya untuk penelitian geologi, biologi, dan meteorologi. “Ekspedisi ini juga untuk menegaskan bahwa Hindia Belanda bukan hanya negara tropis yang paling baik pemerintahannya, namun yang terdepan secara ilmiah,” ujar Luymes, dikutip Hendrik M. van Aken, “Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” dalam jurnal Oceanography Volume 18. Untuk menjalankan misi tersebut, sebuah kapal penelitian rancangan L. Troost dibangun di Belanda dengan bantuan Kementerian Pertahanan Belanda. Pembangunannya dimulai 23 Februari 1928 dan diluncurkan pada 14 Agustus. Kapal berbobot 1055 ton dan panjang 62 meter ini dilengkapi laboratorium, pengukur kedalaman laut, ruang gelap, dan lain-lain. Kapal ini dinamai Snellius, merujuk ilmuwan Belanda, Willebrord Snellius (1580-1626). Ekspedisinya pun dinamakan Ekspedisi Snellius. P.M. van Riel, ketua departemen oseanografi dan meteorologi maritim dari Institut Meteorologi Kerajaan Belanda (KNMI), ditunjuk sebagai ketua ekspedisi. Dia ditemani beberapa peneliti seperti H. Boschma, Ph. H. Kuenen, A. Boelman, H. C. Hamaker, dan H.J. Hardon. Kapal Snellius, dinakhodai Mayor Laut F. Pinke dengan awak dari Angkatan Laut, meninggalkan pelabuhan Den Helder pada Maret 1929 dan tiba di Surabaya pada akhir Mei. Di Surabaya, 67 pelaut Indonesia menggantikan kru-kru Eropa untuk membantu pengumpulan sampel geologi dan biologi. Pada 27 Juli 1929, Snellius berlayar menuju pos-pos observasi di bagian timur Nusantara. Hampir di semua pos, tim ekspedisi melakukan pengukuran kedalaman laut dengan menggunakan teknik echo sounding ; mesin yang mengeluarkan gelombang suara lalu menangkap kembali gelombang suara tersebut setelah dipantulkan dasar laut. Selama ekspedisi mereka melakukan sekira 33.000 kali sounding , jauh lebih besar dibandingkan Ekspedisi Sibolga 30 tahun sebelumnya yang hanya 238 kali sounding . Dari hasil pengukuran di kawasan Laut Banda, mereka menetapkan Palung Banda sebagai bagian laut yang terdalam di Hindia lebih dari 7.400 meter. Laporan penelitian Scientific Results of the Snellius Expedition in The Eastern Part of the Netherlands East-Indies 1929-1930 Volume I juga mendata Laut Celebes (lebih dari 6.200 meter), Laut Sulu (5.500 meter), dan Laut Flores (lebih dari 5.100 meter). Meski fokus mendapatkan data-data hidrologi dan geologi, tim ekspedisi juga melakukan pengambilan sampel biologis dari tiap pos observasi, seperti sampel karang dan plankton. Ekspedisi Snellius, tulis Willem Vervoort dalam The Copepoda of The Snellius Expedition I, membawa pulang sekitar 800 sampel plankton dari 350 lokasi. Ekspedisi Snellius berakhir 15 November 1930. Selama 17 bulan perjalanan, tim ekspedisi mengunjungi 375 pos observasi. Hasil ekspedisi dipublikasikan dalam laporan 23 jilid. Pada 1984-1985, Ekspedisi Snellius II dilaksanakan, hasil kolaborasi pemerintah Indonesia dengan Belanda. Tujuannya meneliti keanekaragam hayati laut di Indonesia timur.
- Ngeri-ngeri Sedap Terasi
Henry Ogg Forbes bersama petugas ekspedisi di Port Moresby, Papua Nugini, 1885. (State Library Victoria/Wikimedia Commons ) HENRY Ogg Forbes, naturalis Skotlandia, menjelajahi Nusantara antara 1878-1883. Suatu hari, pada Minggu pagi, dia terlambat bangun di pondokannya di daerah Genteng, Lebak (sekarang, Bojong Genteng, Cijaku, Lebak, Banten). Dia terusik oleh bau busuk yang menyengat. Mulanya dia mengira daging unggasnya mulai membusuk. Namun, setelah diperiksa, daging itu baik-baik saja. Dia lalu memeriksa sekeliling pondokan, mungkin ada bangkai hewan. Akhirnya, dia menemukan sumber bau busuk itu di dapur: sebuah benda padat terbungkus rapat daun pisang. “Ya ampun, apakah ini?” tanya Forbes kepada pelayannya, sambil menyentuh benda itu hati-hati. “Oh! Tuan, itu trassi!” “Trassi? Demi Tuhan, apa itu trassi?” “Enak untuk dimakan, Tuan, terutama direbus.” “Apakah saya sudah memakannya selama ini?” “Tentu saja, Tuan. Itu enak sekali.” “Kamu orang bodoh! Apakah kamu ingin meracuni saya dan membunuh dirimu sendiri?” “Biar saya terkena gondok, Tuan, tetapi makanan itu memang enak sekali!” Forbes memuat percakapan tersebut dalam A Naturalist’s Wandering in the Eastern Archipelago from 1878 to 1883 , masuk dalam antologi Jawa Tempo Doeloe suntingan James R. Rush. Pelancong Skotlandia lainnya, John Crawfurd, juga mencatat mengenai pengolahan dan penggunaan ikan yang menurutnya aneh tapi umum dilakukan. “Pengolahan ini, dalam bahasa Melayu blachang dan dalam bahasa Jawa disebut trasi , adalah setumpuk ikan kecil, terutama udang, yang telah difermentasi, dan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Olahan berbau busuk ini, yang dapat membuat mual bagi orang asing, adalah saus umum di pulau Hindia, lebih umum daripada kecap dari Jepang. Penggunaannya meluas ke setiap negara tropis dari China sampai Bengal (India) ” tulisnya dalam History of the Indian Archipelago, Vol. I (1820). Namun Crawfurd menunjuk William Dampier, penjelajah dan penulis asal Inggris, sebagai orang yang menjelaskan pengolahan terasi dengan “akurasi yang sempurna”. Dalam A New Voyage Round the World (1688), Dampier menguraikan balachaun adalah komposisi yang berbau kuat namun hidangan yang disukai penduduk asli negeri ini. Cara membuatnya: campuran udang dan ikan kecil ditambah garam dan air ditumbuk dalam bejana, dan cairan yang keluar jangan dibuang karena masih bisa digunakan. Ikan hasil tumbukan itu disebut balachaun. Sedangkan cairannya disebut nuke-mum, berwarna coklat pucat dan berasa sangat gurih, serta digunakan sebagai saus yang baik untuk unggas, tidak hanya oleh penduduk asli, tetapi juga oleh banyak orang Eropa, yang menganggapnya sama dengan kecap. “Orang-orang miskin makan balachaun dengan nasi,” tulis Dampier. Di Cirebon, nuke-mum kemungkinan besar adalah blendrang, perasan air rebon (udang) atau cai rebon. Makanan dari bahan ini disebut petis blendrang. Dari kata cai rebon inilah menjadi Cirebon. Berdasarkan Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari , Cirebon dulunya sebuah dukuh bernama Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Selain membabat belukar untuk dijadikan kebun dan ladang, penduduknya juga mendirikan industri rumahan membuat terasi dan blendrang dengan alat lumpang dan alu batu besar. Lama-kelamaan kegiatan ini terdengar oleh penduduk sekitarnya dari Pasambangan, Rajagaluh dan Palimanan. “Mereka berduyun-duyun datang membeli terasi dan cai rebon/petis blendrang. Sejak itulah dukuh itu disebut orang Dukuh Cirebon, pada tahun 1447,” tulis P.S. Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, catatan mengenai terasi tersua dalam Prasasti Karang Bogem tahun 1387 yang dikeluarkan penguasa yang tak disebutkan namanya, tetapi kemungkinan penguasa Lasem. Prasasti ini berhubungan dengan pendirian sebuah “lungguh” di suatu tempat yang disebut Karang Bogem di tepi laut. Dikatakan bahwa tanah itu mencakup satu jung sawah dan setengah jung tanah yang sudah dibuka, tetapi juga tambak-tambak yang ikannya dipakai untuk membuat terasi. “Dalam teks prasasti tertulis acan , bentuk yang sekarang ditemukan kembali dalam kata blacan yang juga berarti terasi,” tulis Lombard . Lombard juga mengutip buku F. de Haanberjudul Priangan, De Preanger-regentschappen onder het Nederlansch Bestuur tot 1811 , jilid I. F. De Haan menyebut adanya sebuah tanah milik raja kecil ( kroondomein ) di Pamotan di pantai selatanyang tugasnya membuat terasi untuk keraton (Mataram, red ). Bagi Lombard, ini “mengingatkan tanah milik yang disebut pada abad ke-14 dalam Prasasti Karang Bogem.” Tak semua orang suka terasi, termasuk Forbes. Meski dibujuk, dia tetap membuang terasi ke hutan. Dia mengancam akan menghukum pembantunya jika menemukan lagi terasi di pondokannya. Setelah itu, dia mengetahui bahwa terasi menjadi bumbu penyedap di setiap masakan, lokal maupun Eropa, yang dimakannya sejak datang ke Hindia. “Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa secara tidak sengaja saya sudah menyantap benda tersebut setiap hari tanpa merasa jijik sedikit pun,” kata Forbes.*
- Death Match
FC Start sesaat sebelum kick off melawan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi Jerman di Stadion Zenith, Kiev, Ukraina, 9 Agustus 1942. TAK terima atas kekalahan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi-Jerman, pemerintah pendudukan mengatur pertandingan ulang. Laga dihelat tiga hari kemudian di Stadion Zenit. Para pemain FC Start mendapat intimidasi. Panitia menunjuk perwira SS sebagai wasit dan memperingatkan para pemain Start akan konsekuensi yang bakal diterima bila mereka menang. Sejak peluit dibunyikan, Flakelf bermain kesetanan, kasar. Start sempat melayangkan protes, tapi diacuhkan. Dengan mengandalkan tembakan jarak jauh, Start kembali menang. Pemerintah pendudukan melarang pemberitaan pertandingan itu dan melakukan penangkapan. Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman, mendatangi toko roti Degtyarevskaya, tempat kebanyakan pemain Start bekerja dan juga tempat latihan. Mereka menangkap, menginterogasi, dan menyiksa banyak pemain Start. “Beberapa pemain sepakbola Ukraina ditahan karena punya kaitan dengan lembaga People’s Commissariat for Interior Affairs (NKVD) dan kemudian ditembak sebagai sandera,” tulis Volodymyr Ginda dalam “Beyond the Death Match: Sport under German Occupation between Repression and Integration, 1941-1944”, dimuat di Euphoria and Exhaustion: Modern Sport in Soviet Culture and Society suntingan Sandra Budy dkk. NKVD adalah badan intelijen dalam negeri Uni Soviet. Mereka yang menghadapi regu tembak adalah Ivan Kuzmenko (penyerang), Nikola Trusevich (kiper), dan Alexei Klimenko (bek) yang dianggap menghina Nazi dengan membuang bola padahal sudah berada di depan gawang. Pemain-pemain lain yang tak dieksekusi dikirim ke kamp Siratz. Pemerintahan Stalin menggunakan pertandingan itu sebagai alat propagandanya untuk memompa semangat rakyat melawan dan mengalahkan pendudukan Hitler. Media-media Soviet memberitakan aksi heroik para pesepakbola Ukraina dengan menyebut pertandingan itu “Death Match.” Harian Izvestiia , menurut Volodymyr Ginda, kali pertama mengangkatnya pada 6 Desember 1942. Seusai Perang Dunia II, “Death Match” terlupakan sepanjang rezim Stalin. Para pemain yang selamat pun bungkam lantaran takut dilabeli kolaborator Jerman. Baru pada 1962 “Death Match” muncul setelah badan propaganda Soviet mengangkat kisah itu ke layar lebar dengan judul Trity Taime –film ini menginspirasi Hollywood melahirkan Escape to Victory pada 1981. Selain film, sebuah monumen di Kiev didirikan untuk mengenang heroisme para pemain Start. Pada 2005, pemerintah Jerman memprotes bahwa tak pernah ada eksekusi terhadap para pemain. Tapi, otak mayoritas orang bekas Soviet telah lama diendapi pemberitaan propaganda Stalin dan penerusnya.*






















