top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bukan Churchill Biasa

    DENGAN tongkat di tangan, seorang kakek tua berjalan sendiri menyusuri pantai. Raut wajahnya muram, seolah menanggung beban berat. Matanya menerawang dan tampak gelisah. Riak air laut datang. Winston Churchill (diperankan Brian Cox), perdana menteri Inggris, terpaku. Air laut itu berwarna merah. Dia membungkuk, nyaris terjatuh, untuk memastikan bahwa dia tak salah lihat. Topinya melayang dan jatuh ke air. Istrinya, Clementine (Miranda Richardson), menghampiri dan mengajaknya pulang. Tapi Churchill masih terpaku. Dia teringat masa beberapa dekade silam tatkala memimpin pasukan gabungan Inggris-Prancis dalam operasi amfibi di Galipoli, Turki, selama Perang Dunia I. Pikirannya kian kacau. Bersamaan dengan itu, scene berubah menjadi hitam-putih. Churchill pun melangkah pulang, melewati jasad-jasad tentara tak bernyawa yang berserakan. Scene gabungan ingatan masa lalu dan masa baru menutup bagian pembuka film. Kegusaran Adegan berganti. Kertas berserakan di ruang kerja Churchill, yang masih terlelap dalam tidurnya. Hari itu Perang Dunia II memasuki hari ke-1736. Para pemimpin negara Sekutu sepakat untuk membebaskan Prancis dengan jalan operasi amfibi berskala besar. Hal itulah yang menjadi beban pikiran Churchill. Churchill tak setuju opsi itu. Pengalamannya dalam operasi serupa di Galipoli selama Perang Dunia I, di mana Inggris dan sekutunya kehilangan banyak prajurit, memikirkan cara lain. Bahkan Churchill berdebat sengit dalam pertemuan dengan tiga jenderal Sekutu yang menjadi otak operasi bersandi Overlord. “Kita mesti hentikan operasi ini sebelum rencana operasi ini menjadi tragedi,” kata Churchill. Jenderal-jenderal itu menolak usulan itu. Mereka akan tetap menjalan operasi. Sejurus kemudian Raja Inggris George VI (James Purefoy) tiba dan mengakhiri perdebatan. Perdebatan demi perdebatan setelah itu menjadi scene utama film ini. Di kantor Ike, sapaan akrab untuk jenderal AS Eisenhower (John Slattery), Churchill kembali mencak-mencak begitu mendengar kabar operasi tinggal menunggu waktu. “Operasi Overlord bukan satu-satunya jalan,” kata Churchill, “Aku tak ingin membuat kesalahan yang sama. Menginvasi Prancis adalah permainan mematikan, dan harus dihentikan!” “Ini tugas mereka, bukan Anda,” sahut Ike. Sebagai militer, Ike hanya ingin menjalankan tugas. “Pasukan tak bertugas membuat perencanaan (politik). Kau hanya butuh kami menjalankan tugas.” Churchill makin gusar. Emosinya tak terkendali. Dia akhirnya menemui Raja George VI. Lagi-lagi, dia kecewa. Raja memutuskan operasi tetap berjalan. “Tugas saya bukan bertempur, bukan untuk mati. Saya harus tetap ada. Itu tugas saya,” kata sang raja. Churchill pun pasrah. Meski Ike menunda operasi sehari dari yang direncanakan, pendaratan Normandy tetap berjalan. Dengan berat hati, Churchill melakukan pidato radio yang didengarkan orang-orang di penjuru negeri. “Ini adalah perang untuk kemerdekaan. Kita tak pernah berpikir menyerah, saya pun tak pernah berpikir menyerah,” katanya. Asal Beda Ibarat singa, Churchill seorang yang cerdas, pemberani, dan punya hati. Tapi, sutradara Teplitzky justru tak hendak menghadirkan Churchill sesuai citra umum itu dalam karya biopiknya. Berkolaborasi dengan sejarawan Alex von Tunzelmann sebagai penulis naskah, Teplitzky justru menghadirkan Churchill sebagai seorang kakek berusia 70 tahun yang tak kuasa mengendalikan diri, yang terus dihantui kegagalan operasi amfibi di Galipoli. Churchill tak lebih dari seorang singa tua yang tak berdaya. Hanya bisa mengaum tanpa ada yang mempedulikan. Dia hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Posisi marjinal itulah yang ingin dihadirkan Teplitzky. Sang sutradara membumbui film ini dengan berderet konflik, baik konflik batin Churchill maupun dia dengan orang lain. Kalimat-kalimat dari deretan konflik itu, yang disusun secara serius, menjadi kekuatan utama film ini. Periodisasi singkat, hanya tiga hari sebelum D-Day berjalan, yang dipilih sutradara berandil besar mengoptimalkan drama. Meski tak variatif, adegan-adegan konflik tak bertele-tele. Peran apik Cox dan Miranda amat penting. Adegan-adegan juga menjadi lebih hidup dengan musicscoring apik dan pas di tiap scene . Namun, dominasi peran Churchill membuat Teplitzky terpeleset. Figur-figur lain tak lebih dari sekadar pemanis. Celakanya lagi, figur dominan di film ini hanyalah singa tua gundah yang disibukkan oleh perasaannya sendiri; sisi kebesaran Churchill hampir dibuang seluruhnya. Kebesaran Churchill dengan segala sepakterjangnya sebelum itu mendadak tak berarti dalam film ini. Selain topi dan cerutu, yang memang menjadi ciri khas Churchill, di film ini dia hanya tampak sebagai sosok murung, tempramental, dan sentimentilnya saja. Hanya bagian penutup saja yang agak baik, sedikit menolong film ini dari hina. Banyak kritikus film kecewa dan menilai miring film ini. Celakanya, keputusan untuk menampilkan sisi lain Churchill juga menabrak fakta. Dalam film, hingga Hari-H operasi amfibi, Churchill tak pernah tulus memberikan dukungan. Faktanya, Churchill memegang komitmen yang sudah diputuskan beberapa pemimpin negara Sekutu, termasuk dirinya. Operasi itu sendiri sudah dibicarakannya dengan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rosevelt sejak akhir 1942. Fakta bahwa dalam perjalanan waktu hampir dua tahun itu Churchill mendapat banyak masukan dan pengetahuan baru mengenai dunia militer sehingga mengoreksi pendiriannya sama sekali tak menjadi pertimbangan penulis naskah dan sutradara. Alhasil, Churchill di film ini hanyalah pecundang yang terpaksa menerima permintaan pidato radio saat operasi berjalan.

  • Gambar Tikus di Miras Manado

    AGAKNYA di antara sekian banyak kota besar Indonesia, adalah Manado yang paling kentara mewarisi kebudayaan Prancis dari masa Bataafsche Republiek, manakala istana raja di Amsterdam disinggasanai Louis Napoleon sebelum Napoleon Bonaparte dikalahkan Inggris dalam perang di Waterloo 1815 yang menyebabkan sang kaisar kehilangan tentaranya sekitar 25.000 orang. Kata-kata bahasa Prancis yang diserap bahasa Manado sejak masa itu misalnya saguer dari saguouier adalah nama minuman dari nira; fastiu dari fastidieux maknanya ‘membosankan’; capeo dari chapeau artinya ‘topi’; fasung dari façon maknanya ‘cara santun’: popoji dari poche artinya ‘saku’; jelus dari jaloux artinya ‘iri’, dll., dan tidak lupa katrili dari quadrille nama tarian rakyat. Sekarang katrili termasuk kesenian tradisional yang dilestarikan oleh pemerintah setempat melalui festival-festival. Pada umumnya orang di Manado dan Minahasa mengira bahwa katrili berasal dari budaya Portugis atau Spanyol, dua bangsa Barat yang telah lebih dulu mukim di Manado, Kema, Amurang sejak abad ke-16 dan kawin-mawin di sana lantas menurunkan anak-anak yang kemudian disebut borgo . Padahal sebenarnya katrili berasal dari tarian Prancis, masuk ke Manado pada awal abad ke-19, dibawa oleh tentara Prancis dalam pemerintahan Koninkrijk Holland lanjutan dari Bataafsche Republiek yang direkayasa oleh Prancis. Mulanya diceritakan bahwa tentara Prancis berjumlah 6000 orang menjadi tawanan Inggris setelah terjadi perang sengit pada Agustus 1811 di sekitar Salemba Matraman Jatinegara. Sebelumnya, salah seorang bawahan Daendels berdarah Spanyol yang diberi gelar comte di Paris diceritakan sebagai orang kuat yang hadir dalam pembuatan jalan pos Anyar-Panarukan. Panggilannya Don Lopez comte du Paris. Orang di Jawa melafalnya Ho Lopis kuntul Baris . Setelah Prancis dikalahkan Inggris ia pindah ke Manado, kawin dengan pribumi Minahasa, dan tewas di Amurang ketika tsunami melanda kota itu pertengahan abad ke-19. Dalam cerita tutur dikisahkan bahwa tsunami dahsyat itu baru reda setelah seorang zending bernama Graafland –dikenal sebagai penulis buku De Minahasa, Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand – berdoa di atas benteng peninggalan Portugis. Cerita ini masih dituturkan sampai 1940-an oleh orang-orang tua Minahasa di desa-desa sekitar atas Amurang antara Malenos, Ritey, Maliku. Nama Don Lopez yang comte itu sendiri dianggap sebagai salah seorang pewaris budaya Prancis yang memperkenalkan pribumi Minahasa memainkan katrili. Katrili asli adalah tarian untuk dua atau empat orang, terdiri dari lima bagian masing-masing (1) Le Pantalon mat 6/8, (2) L’Éte mat 2/4, (3) La Poule mat 6/8, (4) La Trenise mat 2/4, dan (5) La Pastourelle mat 2/4. Ujungnya dimainkan komposisi Finale . Dan, setelah itu diserukan kata-kata “Éternel, sauve le roi!” artinya “Tuhan jayakanlah raja!” Adalah komunitas Indo-Indo yang disebut borgo itu yang merasa paling memiliki tarian ini. Borgo sendiri sejak 1758 dimanfaatkan Belanda untuk menjaga pantai-pantai sekitar Manado, Tanawangko, Amurang dari pelanunan bajaklaut Pilipina. Setelah berjalan dua abad, maka pada 1925 di bawah kebijakan Residen Manado, H.J. Schmidt selaku RMWO 3de kl Eeresabel ex Officer NOIL diberi status kewarganegaraan khusus. Di banyak pesta para borgo biasa bersulang untuk menenggak miras sembari haha-hihi. Ketika miras dari Eropa sulit didapat, maka pribumi di Minahasa pun menyuling saguer menjadi anggur-putih. Sementara karena di botol anggur-putih yang asli ada gambar tikus, bahasa Prancisnya souris , maka orang kampung yang waktu itu belum bisa membaca dan menulis lantas menyimpulkan bahwa minuman yang bergambar tikus itu niscaya berkadar tinggi alkohol. Sampai sekarang orang di Minahasa menyebut anggur-putih adalah ‘Cap Tikus’. Dalam catatan Manado, ketika Pangeran Diponegoro ditahan di Fort Amsterdam, benteng peninggalan Portugis –sekarang tidak ada diratakan tanah oleh Jepang pada PD II– maka sang Pangeran yang mengharamkan miras dan bahkan pernah menyiram miras ke muka residen Yogyakarta, Smissaert, tapi dalam keadaan frustrasi di Manado ia menjadi akrab dengan anggur-putih. Residen Manado, Pietermaat, adalah biangkerok yang menjerumuskannya. Pietermaat sendiri dalam sumber Manado digambarkan sebagai seorang vrijdenker yang sangat memuja Descartes karena pandangannya “cogito ergo sum” tercerabut dari pola-pola ilmu pasti. Walaupun begitu, tak urung upaya syiar yang dilaksanakan oleh zending Jerman, yaitu Schwarz di Langoan dan Riedel di Tondano, dengan patron teologi Pietisme, toh berhasil menggiring pribumi Minahasa ke keyakinan baru berpengharapan dari pegangan biblikal bahasa Prancis “Je suis le chemis, le verite, et la vie,” maknanya “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Maka, bisa dimengerti, mengapa orang di Minahasa yang menyadari kalimat itu berasal dari Injil, gandrung memajang gambar Yesus di dinding rumahnya –yaitu Yesus historis dalam diskursif kristologi sebagai pribadi insani sekaligus pribadi ilahi– selaras dengan kredo yang dihafal umat pada setiap hari Ahad. Sekarang justru di Tondano sebagai tengah-tengahnya bumi Minahasa yang mayoritas Kristen, hidup dengan damai masyarakat Jaton, singkatan Jawa-Tondano yang seluruhnya muslim. Orang Jaton merupakan keturunan dari Kyai Mojo dan Diponegoro. Dalam Babad Menado diceritakan bahwa Ratnaningsih istri Diponegoro melahirkan putranya di Benteng Fort Amsterdam Manado, dan putranya itu diberi nama Menadurahman. Ketika sang pangeran dipindahkan ke Makassar, putranya itu dititipkan pada Kyai Mojo, kuatir kalau-kalau Menadurahman dibunuh Belanda. Maka ketika Diponegoro wafat di Benteng Fort Rotterdam Makassar pada 5 Agustus 1855, laki-laki berumur 25 tahun yang disebut-sebut sebagai putranya itu bukanlah Menadurahman. Dari catatan Manado juga, diceritakan bahwa zending Riedel berdialog dengan Kyai Mojo, dan di situ Sang Kyai menceritakan tentang wawasan Islam damai yang dicetuskan Sunan Kalijaga lewat piranti wayang. Bahwa peran Gareng dalam Punakawan, berasal dari bahasa Arab nala qarin artinya mencari teman mengiaskan Islam sebagai agama yang menggalang persaudaraan nan guyub. Berkaitan dengan itu, kalau ingin melihat jiwa persaudaraan dalam kerukunan bhinneka tunggal ika yang tulen, datanglah ke Tondano. Hebatnya, di Tondano pula ada sinagog, tempat sembahyang bani Yahudi. Kota ini sejuk: sejuk lahir sejuk batin. Di kasad sejuk lahir, ada pemandangan yang heboh. Bahwa dalam rangka menghangatkan tubuh di udara yang sejuk sebagian orang memilih habitual tercela bagate . Arti harafiah bagate adalah ‘mengait’ atau ‘mencantel’. Tapi arti kiasnya adalah ‘menenggak cap tikus’. Untuk itu sudah ada seruan dari pihak gereja agar berhenti bagate . Tapi malah ada mop juga yang mengisahkan tentang umat yang datang ke rumah pendeta hendak memberi salam natal sambil bertanya “Di mana Pak Pendeta?” Dan jawab istrinya, “Cari jo di got.” Maksudnya sang pendeta pun mabuk ‘cap tikus’ lantas tumbang terkulai dan tertidur di got. Orang yang lewat di situ menegur sang pendeta, “Jangan tidur di got.” Dan dalam keadaan masih mabuk sang pendeta menjawab, “Ngana pe got so?”

  • Public Enemy Bernama Scheele

    SEISI Istora Senayan kian riuh. Sorakan muncul dari berbagai sudut tribun penonton. Selain merupakan dukungan untuk pasangan ganda putra Muljadi/Agus Susanto, gemuruh yel-yel penonton juga berfungsi untuk mengintimidasi ganda lawan asal Malaysia, Tan Yee Khan/Ng Boon Hee. Mulyadi/Agus baru saja memenangkan set kedua 18-13 partai kedelapan final Thomas Cup 1967 yang dihelat pada 10 Juni itu. Di set pertama, pasangan Indonesia itu kalah 2-15. Istora menjadi saksi bisu kian panasnya situasi jelang set ketiga. Saat itu, Thomas Cup masih menggunakan sistem interzone dan challenge round . Sebagai juara bertahan, Indonesia cukup menunggu lawan di partai final challenge round . Lawan itu ternyata diisi Malaysia, yang belum lama rujuk dengan Indonesia akibat Konfrontasi. Meski tertinggal 1-3 di hari pertama, 9 Juni, Indonesia menyusul 3-4 di hari kedua via kemenangan di dua nomor tunggal putra oleh pemain muda Rudy Hartono dan Muljadi. Muljadi kembali turun di nomor ganda putra berpasangan dengan Agus. Gemuruh sorakan 12 ribu penonton tuan rumah jelang set ketiga pertandingan Muljadi/Agus membuat Herbert Scheele (sekretaris kehormatan merangkap honorary referee IBF) turun dari tribun kehormatan. Tanpa menghiraukan wasit Tom Bacher asal Denmark yang memimpin pertandingan, Scheele menghentikan pertandingan itu. “Ia merasa terganggu dengan ulah penonton Istora Senayan dalam memberikan dukungan kepada tim Indonesia,” ungkap Suharso Suhandinata dalam biografinya, Diplomat Bulutangkis: Peranannya dalam Mempersatukan Bulutangkis Dunia Menuju Olimpiade. Scheele, yang menginginkan pertandingan bulutangkis bisa setenang pertandingan tenis, risih terhadap psywar penonton Istora yang mengintimidasi pemain Malaysia. Ketidaknyamanan juga dirasakan para pemain Malaysia. “Fokus kami terganggu oleh 12 ribu kericuhan penonton,” kenang Tan Yee Khan di media Malaysia, The Star , 25 September 2010. “Kami ketakutan. Para penonton berdiri di kursi tribun dan berteriak-teriak. Saya juga melihat beberapa tentara (aparat keamanan) mengentak-entakkan popor senapan mereka,” timpal Yew Cheng Hoe, tunggal putra Malaysia yang juga tampil di final. Maka, sambil bertolak pinggang dan melambaikan satu tangan Scheele kemudian memanggil Padmo Sumasto, pimpinan panitia- cum- ketua PBSI. Gesture Scheele tak pelak menjadikannya sasaran amarah penonton. Scheele lantas mengumpulkan perwakilan pemain dan manajer tim masing-masing. Rundingan itu menghasilkan keputusan, sisa pertandingan dimainkan keesokan paginya dengan syarat tanpa penonton. Tim Indonesia menolak. Deadlock itu lalu dibawa ke markas IBF di London. Keputusan Scheele itu “resmi” menjadikannya public enemy (musuh publik) nomor satu masyarakat bulutangkis Indonesia. Kemarahan publik Indonesia terhadapnya bertambah ketika dalam sebuah kunjungan ke Wellington tak lama setelah itu Scheele melontarkan komentar terhadap Indonesia. “HAE Scheele mengatakan, pertandingan-pertandingan Thomas Cup ataupun Uber Cup tidak boleh lagi dimainkan di Indonesia. Dia menghentikan pertandingan Challenge Round (final) karena penonton Indonesia mengancam akan membunuh pemain-pemain Malaysia,” tulis Kompas, 14 Juni 1967. Sementara, sidang IBF di London pada 4 Juli 1967 memutuskan, lanjutan set ketiga partai kedelapan final Thomas Cup mesti digelar di tempat netral. “Orang-orang Eropa tidak familiar dengan atmosfer (penonton) di sini. Itu alasannya kenapa mereka bereaksi seperti itu,” kenang Rudy Hartono, dikutip Bernd-Volker Brahms dalam Badminton Handbook: Training, Tactics, Competition . Selandia Baru lalu terpilih menjadi tuan rumah pertandingan yang dihelat pada Oktober 1967 itu. “Tapi Indonesia tidak muncul. Skor menjadi 6-3 untuk kemenangan Malaysia,” ungkap Ferry Sonneville dalam biografinya Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Wisnu Subagyo. IBF menyatakan, skor itu merujuk pada kemenangan walk out (WO) untuk Malaysia atas Indonesia. Alhasil, Malaysia berhasil mengembalikan dominasi Thomas Cup-nya sejak 1949 sebelum direbut Indonesia, dan Indonesia gagal mempertahankan dominasi Thomas Cup yang selalu direbutnya sejak 1958. Kerugian besar itu menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai ikut berkomentar. “Kita harapkan Malaysia mempunyai sportivitas. Kalau Malaysia menerimanya (trofi Thomas Cup), berarti mereka tidak sportif. Sebab pertandingan belum selesai dan kita telah memperlihatkan kebesaran jiwa kita,” katanya dikutip Kompas , 20 Juli 1967. Toh, Malaysia dengan bangga membawa pulang Thomas Cup. Itu merupakan gelar keempatnya setelah Thomas Cup 1949, 1952, dan 1955. Siapa Herbert Scheele? Sebelum adanya “Insiden Scheele”, publik Indonesia jarang ada yang tahu siapa Scheele dan bagaimana dia bisa sampai dihormati dalam dunia bulutangkis. Menurut Brahms, Scheele dihormati publik bulutangkis dunia lantaran kiprahnya dalam memajukan olahraga itu. Lahir di Bromley, Kent, Inggris pada 1905, pria bernama lengkap Herbert August Edward (HAE) Scheele itu justru lebih dulu karib dengan tenis, kriket, dan hoki. Baru pada usia 22 tahun Scheele memutuskan main bulutangkis dengan mengikuti berbagai event lokal hingga usia 43 tahun. Scheele kemudian masuk ke jajaran pengurus bulutangkis Inggris. Kariernya terus menanjak hingga pada 1938 terpilih menjadi wakil sekretaris IBF (sejak 2006 berubah nama menjadi BWF/Federasi Bulutangkis Dunia). Usai Perang Dunia II, dia bersama koleganya membangun kembali IBF, bahkan seorang diri menyusun buku pedoman IBF setebal 400 halaman. Jabatannya naik menjadi sekretaris IBF. Di tengah usia yang terus menua, sebagai sekretaris kehormatan dan honorary referee Scheele kerap bertindak tegas, lugas, dan saklek terhadap aturan-aturan bulutangkis dunia berdasarkan pedoman IBF yang disusunnya. “Ensiklopedia Berjalan”, “Mr. Badminton” dan beragam julukan lain pun melekat pada pria yang pernah menerima gelar Order of the British Empire (OBE) dari Kerajaan Inggris itu. Reputasi Scheele perlahan mendapat penghormatan dari banyak pihak. “Seorang mantan pebulutangkis ternama pernah mengatakan tentang sosoknya: Di usia keemasan (sebagai pemain), kami bisa sangat tidak menghormatinya. Namun, sekarang saya sadar betapa besar kami berutang padanya. Dia Bapak Bulutangkis, tidak hanya untuk Inggris, tapi juga dunia,” kutip Richard Eaton dalam International Badminton: The First 75 Years. Publik Indonesia sendiri akhirnya bisa memaafkan Scheele. Terlebih, para petinggi bulutangkis tanah air. Salah satu petinggi PBSI, Suharso Suhandinata, bahkan turun tangan menyelamatkan Scheele keluar dari Istora pasca keputusannya menghentikan final Thomas Cup 1967. Keesokan harinya, Suharso ikut mengantar Scheele sampai hotel dan Bandara Kemayoran. Pada 1979, Scheele dan istrinya, Betty, mengunjungi Indonesia. Betty yang tahu kisah suaminya dalam Thomas Cup 1967, terkesan karena tak ada lagi sorakan penghinaan dari penonton Istora. “Publik (Indonesia) nampaknya sudah memaafkanmu,” celetuk Betty yang duduk di sebelah Scheele di meja honorary referee sebagaimana dimuat dalam biografi Suharso. Scheele baru pensiun dari IBF pada 1 Juli 1976, bertepatan dengan perhelatan Thomas Cup ke-10 di Bangkok, Thailand. Namun, hidup Scheele tetap tak jauh dari bulutangkis di mana dia kemudian menjabat penasihat wakil presiden IBF. Lima tahun berselang, 29 Maret 1981, Scheele mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Kent, Inggris karena kanker paru-paru. Namanya diabadikan dalam Hall of Fame BWF dan trofi. “Herbert Scheele Trophy mengabadikan namanya oleh BWF yang diberikan untuk figur-figur yang berjasa besar sejak 1986. Rudy Hartono (1986) dan Susi Susanti (2002) termasuk di antara para penerimanya,” tulis Brahms.

  • Dreamsea, Pusat Data Naskah Kuno Se-Asia Tenggara

    MENGANTISIPASI kondisi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang minim perhatian, Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah (Syahid) meluncurkan program bertajuk Dreamsea pada Rabu (24/2/17) siang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Program itu didanai lembaga amal Arcadia. Dreamsea merupakan program digitalisasi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang digagas pada Desember 2017. Proses digitalisasi akan berjalan mulai Juni 2018 hingga 2022. Selama enam bulan pertama sejak Desember 2017, tim Dreamsea mempersiapkan protokol pendigitalan naskah kuno. “Target secara keseluruhan 240 ribu gambar karena kalau menyebut manuskrip, satu manuskrip bisa jadi 50 halaman, jadi ini gambar. Cara pengumpulan lewat Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara, untuk di Indonesia khususnya. Kemudian, di Asia Tenggara kita menggunakan jaringan asosiasi-asosiasi sejarah. Di Filipina, misalnya, Philippine Historical Association,” kata Prof. Dr. Oman Fathurahman, salah satu penggagas Dreamsea dari PPIM UIN Syahid, kepada Historia . Dalam proses pengumpulan naskah, Dreamsea akan menghimpun informasi keberadaan naskah dari Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang ada di tiap provinsi. Masyarakat umum juga bisa ikut berpartisipasi dengan memberitahu tim Dreamsea melalui media sosial sehingga informasi yang dihimpun dari masyarakat akan dikembalikan ke masyarakat dengan model akses terbuka. Siapa pun bisa mengakses pusat data Dreamsea untuk kepentingan penelitian. “ Openaccess tapi hanya untuk tujuan penelitian. Kalau misal sudah openaccess tapi digunakan untuk komersil jadi buku, ilustrasi lalu dijual, misalnya, itu ada hukumnya tersendiri. Itu perlindungan kami terhadap pemilik naskah,” kata Oman. Setiap laporan kebaradaan naskah kuno yang masuk, akan diseleksi tim Dreamsea dengan kriteria: naskah tersebut belum didigitalisasi lembaga pemerintah, milik masyarakat, beurumur cukup tua, paling baru usia naskah adalah 50 tahun mengikuti kriteria UU Cagar Budaya, memiliki nilai historis yang signifikan, dan kondisi naskah rentan rusak. “Kerentanan yang kami maksud itu, baik rentan karena alam atau karena ancaman sosial-politik,” kata Oman, yang saat di panggung sempat bercerita tentang fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk menghancurkan manuskrip yang dianggap menyimpang. Tim yang akan diberangkatkan untuk mendigitalisasi naskah kuno dibagi menjadi tim daratan dan kepulauan. Pembagian ini, kata Oman, selain memudahkan koordinasi juga untuk kepentingan penanganan naskah. “Karakter manuskrip yang ada di daratan itu berbeda dari yang ada di kepulauan.” Hasil dari pengumpulan dan digitalisasi naskah ini berupa pusat data naskah kuno se-Asia Tenggara dengan wujud gambar-gambar digital. Naskah-naskah kuno tersebut selanjutnya akan ditransliterasi oleh ahli aksara. “ Database ini akan jadi yang pertama mengumpulkan manuskrip di Asia Tenggara dalam bentuk digital. Dari berbagai bahasa, aksara, tradisi, akan menjadi onesearchdatabase .” Upaya Penyelamatan Catatan Sejarah Menurut Profesor Jan van der Putten dari CSMS, naskah kuno merupakan pusaka budaya yang sangat berarti dan dimaknai oleh komunitas pendukungnya. “Kalau kita membuat pendigitalan naskah, kita tidak hanya alih media tapi juga alih fungsi,” katanya. Pasalnya, yang didigitalkan adalah konten naskah sementara naskah asli tetap dipegang masyarakat pemilik. Jadi, makna sakral naskah beralih fungsi ketika dialihmediakan menjadi bahan digital yang berikutnya menjadi sumber penelitian. Putten menggarisbawahi pentingnya pendigitalan naskah kuno. Menurutnya, keberadaan naskah kuno menjadi sumber identitas suatu kebudayaan dan bila naskah itu hancur atau musnah maka musnah pula sebuah sumber identitas budaya. “Pra-nasional hubungan antarsuku lebih bebas. Dan salah satu harapan dari Dreamsea itu memperlihatkan hubungan internasional Indonesia- Filipina, misalnya.” Dengan mengukuhkan naskah-naskah ke bentuk digital dalam satu pusat data, hubungan antarsuku bisa lebih mudah diteliti. Pentingnya pendigitalan naskah juga diamini oleh Oman dan Suharja dari Ditjen Sejarah Kementrian Pendidikan. Menurut Suharja, pendigitalan naskah sangat penting terlebih tahun 2017 pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang melindungi objek kebudayaan, salah satunya naskah kuno. “Masih ada banyak naskah kuno di daerah. Direktorat Sejarah juga melakukan pengumpulan sumber-sumber Kerajaan Siak di Riau. Hal ini dilakukan supaya penulisan sejarah lokal dengan memanfaatkan manuskrip di daerah lebih berkembang,” kata Suharja. Upaya pendigitalan naskah kuno dan penelitian sejarah guna menggali eksistensi nenek moyang itu juga mendapat dukungan dari Muh. Syarif Bando, Kepala PNRI. Dirinya mendorong para peneliti untuk menggunakan arsip-arsip dan naskah kuno yang telah dihimpun berbagai lembaga perpustakaan sebagai bahan penelitian. “Naskah atau manuskrip tidak cukup berguna kalau hanya dihimpun lalu disimpan lagi, tapi (baru akan berguna) juga (bila) digunakan untuk meneliti eksistensi nenek moyang di masa lampau,” kata Syarif. Naskah kuno tak semata berguna sebagai bahan riset, kata Trinirmalaningrum dari Perkumpulan Skala, tapi juga referensi penting yang relevan dengan kehidupan masa kini. “Kami membaca naskah kuno. Kalau bicara bencana, kami bicara masa lalu,” kata Rini, panggilan Trinirmalaningrum. Dalam Naskah Bo Sangaji Kai , kata Rini, disebutkan bahwa Gunung Rinjani adalah anak Gunung Salamas. Naskah itu juga menyebutkan adanya bantuan orang-orang Arab dan Tionghoa ketika penduduk Nusa Tenggara menghadapi bencana besar. “Saya berharap naskah kuno dipromosikan secara masif untuk kesadaran bencana.”

  • Sepuluh Gempa Dahsyat di Indonesia Sepanjang Abad 20

    GEMPA berkekuatan 6,1 Skala Richter (SR) mengguncang Kabupaten Lebak, Banten, pada 23 Januari 2018. Pusatnya di 81 kilometer barat daya, kedalaman 10 kilometer, dan tidak berpotensi tsunami. Getarannya sampai ke Jakarta dan sekitarnya. Indonesia termasuk negara yang rawan gempa karena terletak di tengah-tengah Cincin Api Pasfik, di antara tiga pertemuan Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Tak heran sering terjadi guncangan ketika ada aktivitas subduksi di antara tiga lempeng itu yang tepatnya berada di sekitar Sumatera, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Indonesia Timur. Untuk kurun waktu sepanjang abad 20 (1900-2000) setidaknya sepuluh kali gempa dahsyat berkekuatan di atas 7,8 SR di sekujur wilayah Indonesia. Gempa Pulau-Pulau Batu Nias, 28 Desember 1935 Gempa tektonik pertama yang tercatat di Sumatera pada abad 20 terjadi di Pulau-Pulau Batu yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Guncangannya mencapai 7,7 SR dan memicu tsunami kecil. Menurut National Geophysical Data Center(NGDC) gempa ini juga merusak jaringan telepon dan rumah-rumah sampai ke Kepulauan Tanahbala, Sigata, Sibolga dan Kota Padang. Korbannya hanya dua orang luka-luka karena tertimpa reruntuhan rumah. Gempa Laut Banda, 1 Februari 1938 United States Geological Survey (USGS) atau Badan Survei Geologi Amerika Serikat mencatat gempa berkekuatan 8,4 SR berada di kedalaman 35 kilometer di Laut Banda. Tsunami kecil menerjang Pulau Banda dan Pulau Kai. Getarannya terasa sampai Kepulauan Aru, Kepulauan Tanimbar, Jakarta dan Darwin, Australia. Tak ada laporan korban meninggal atau luka-luka. Gempa Cilacap, 23 Juli 1943 Gempa berkekuatan 8,1 SR melanda pesisir selatan Pulau Jawa dari Cilacap, Garut, Yogyakarta sampai Solo. Dalam Bencana Alam dan Bencana Anthropogene, Sukandarrumidi mencatat 213 korban tewas, 2.096 terluka, dan 2.800 bangunan roboh di berbagai wilayah tersebut. Gempa Laut Seram, 24 Januari 1965 Gempa berkekuatan 8,2 SR yang terjadi sekira pukul 00.11 dini mengguncang Kepulauan Sanana, Maluku Utara. Gempa ini akibat subduksi Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik di Laut Seram. Data USGS menyebut 71 orang di kepulauan itu tewas akibat terjangan tsunami. Gempa Bima, 19 Agustus 1977 Dari laporan NGDC, gempa berkekuatan 8,3 SR mengguncang Bima, Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Sumbawa dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Gempa yang disusul tsunami setinggi 5,8 meter ini menewaskan 185 orang dan 1.100 lainnya terluka. Gempa Flores, 12 Desember 1992 Menjelang pergantian tahun, Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur digoyang gempa dengan magnitudo 7,8 SR di kedalaman 27,7 kilometer. Bencana ini memicu tsunami setinggi 25 meter ke sepanjang 300 meter pesisir Pulau Flores. USGS mencatat kerusakan yang juga berefek sampai ke Pulau Sumba dan Alor itu, menimbulkan 2.500 korban tewas dan 500 terluka. Gempa Banyuwangi, 3 Juni 1994 Gelombang tsunami setinggi 14 meter menerjang pesisir Banyuwangi, Jawa Timur dan timur laut Pulau Bali yang menewaskan sekira 250 orang. Tsunami tersebut, dari keterangan USGS, terpicu gempa berkekuatan 7,8 SR di Banyuwangi dengan kedalaman 18 kilometer. Guncangan gempa juga merusak beberapa rumah dan bangunan di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gempa Minahasa, 1 Januari 1996 Warga Minahasa, Sulawesi Utara di pagi pertama tahun 1996 sekira pukul 8 pagi didera gempa berkekuatan 7,9 SR. USGS menerangkan gempanya berasal dari kedalaman 24 kilometer. Guncangannya turut terasa sampai Ogotua, Palu, Poso, Bontang dan Samarinda. Gelombang tsunami menewaskan delapan orang. Gempa Biak, 17 Februari 1996 Pulau Biak di Papua diterjang gempa berkekuatan 8,2 SR sekira pukul 6 pagi. International Seismological Centre (ISC) mencatat, gempa ini memicu tsunami setinggi 7 meter. Dilaporkan 166 orang meninggal, 423 terluka dan lebih dari lima ribu kehilangan tempat tinggal. Gempa Bengkulu, 4 Juni 2000 Gempa dahsyat terakhir di abad ke-20 terjadi di Pulau Enggano, Bengkulu. Dari data ISC diketahui gempa yang berpusat di kedalaman 35 kilometer itu mencapai kekuatan magnitudo 7,9 SR. Korban mencapai 103 orang meninggal dan lebih dari 2.500 lainnya terluka. Di sisi lain laporan Peter Walker dari Federasi Palang Merah Internasional dan Masyarakat Bulan Sabit Merah menyatakan, ratusan korban meninggal bukan karena gempa, melainkan pengungsi gempa yang terkena penyakit pasca bencana. “Dampak gempa tidak begitu hebat, namun yang parah adalah mewabahnya malaria dan penyakit-penyakit lain,” ungkap Peter dikutip The Guardian , 6 Juli 2000.

  • Enam Moda Angkutan di Jakarta yang Tinggal Kenangan

    ABANG becak, abang becak di tengah jalan. Cari muatan untuk mencari makan. Putar-puter, putar-puter kaki mengayuh. Pergi jauh keringat pun lalu jatuh. .. Sebait lirik lagu Abang Becak yang dipopulerkan Iin dan Bimbo di atas, mengingatkan kita kepada becak sebagai angkutan umum yang melintas zaman, tak hanya di ibukota tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Belakangan, muncul wacana untuk menghidupkan lagi becak yang selama ini termarjinalkan, khususnya di Jakarta. Sebagaimana diketahui, kemunculan becak mulai marak sejak 1936. Namun, pada medio 1970, angkutan beroda tiga yang digerakkan dengan tenaga manusia ini mulai dilarang beroperasi ibukota oleh Gubernur Ali Sadikin . Bukan hanya becak yang sempat marak namun perlahan menghilang. Enam moda angkutan ini juga tinggal kenangan. Delman Ketika Batavia belum marak angkutan bermotor, moda transportasi tradisional delman masih jadi primadona. Angkutan yang diciptakan seorang insinyur Belanda, Charles Theodore Deeleman pada medio abad 18 itu, mulai merajai transportasi di Batavia sejak awal abad 29. “Jalur terpanjang delman kala itu adalah Pasar Ikan-Pasar (Stasiun) Beos-Pasar Mangga Besar-Pasar Tanah Abang-Pasar Palmerah-Pasar Rawa Belong-Pasar Kebayoran Lama-Pasar Lebak Bulus-Pasar Ciputat-Parung-Jampang-Bogor,” tulis Windoro Adi dalam Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi. Tapi seiring bermunculannya angkutan-angkutan bermotor, transportasi delman kian terpinggirkan, sampai hanya sebatas angkutan wisata di beberapa tempat yang ramai dikunjungi turis, seperti Monas, misalnya. Gubernur DKI Sutiyoso pada 2007 malah juga ikut melarang eksistensi delman di dalam Monas. Diikuti pelarangan lainnya di mana delman tak boleh beroperasi di sekitaran pagar luar Monas pada 2016. Pelarangan ini kemudian dikaji lagi dan dilakukan uji coba perizinan delman di kawasan Monas selama dua pekan pada Desember 2017 lalu. Trem Moda transportasi yang mirip kereta api ini pernah jadi primadona sejak zaman Hindia Belanda. Trem pertama kali hadir di Batavia (sebutan lama Jakarta) sejak tahun 1869 yang dioperasikan Pemerintah Kota Batavia. “Awalnya trem itu ditarik dengan kuda, makanya dulu disebutnya Trem Kuda. Baru pada 1899 muncul trem uap yang stasiun pengisian uapnya ada di Kramat, Pasar Senen,” ujar penggiat sejarah kereta api dan trem, Adhitya Hatmawan, beberapa waktu lalu. Pada 1933, trem uap dihapuskan dan diganti trem listrik. Namun, peminatnya berangsur berkurang terlebih sejak Indonesia merdeka. Angkutan trem dihapuskan pada 1960 oleh Presiden Sukarno di masa pemerintahan Wali Kota Jakarta Sudiro (kakek aktor Tora Sudiro), untuk mengurangi kemacetan. Sementara transportasi massal utama di ibukota digantikan armada-armada bus PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta) yang sejak 1959 mengambilalih operasi trem dari Batavia Verkeers Maatschappij (BVM) lewat nasionalisasi. Oplet Semenjak 1930, masyarakat Jakarta sudah mengenal angkutan kota (angkot) bernama Oplet. Di era 1960-an hingga 1970-an, angkot ini jadi salah satu moda transportasi terpopuler dan paling diminati lantaran menjangkau beberapa daerah pinggiran Jakarta. Angkot ini juga makin lekat sebagai kenangan gara-gara lagu Barang Antik dan Oplet Tua yang ditembangkan Iwan Fals, hingga sinetron Si Doel Anak Sekolahan . Ada beberapa asal-muasal penyebutan Oplet. Salah satunya dari sebutan mobil Opelette yang dirilis produsen mobil Jerman, Opel pada 1932, serta penyebutan lidah masyarakat dari asal kata Chevrolet, produsen mobil asal Amerika Serikat. Padahal, angkot Oplet tak hanya diproduksi Opel dan Chevrolet, melainkan juga dari Morris dan Austin. Oplet mulai punah sejak 1980. Dalam Manusia & Keseharian: Burung-Burung di Bundaran HI, Sindhunata menyebut Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo meniadakan Oplet pada September 1980 dan menggantinya dengan Mikrolet. Helicak Moda transportasi bermotor roda tiga ini jadi kenangan tersendiri bagi masyarakat Jakarta. Desainnya yang unik mirip helikopter dan dihadirkan sebagai pengganti becak. Oleh karena itu, namanya hasil penggabungan Helikopter dan Becak. “Pertama kali diluncurkan 24 Maret 1971 untuk mengganti fungsi becak di masa Gubernur Ali Sadikin,” tulis Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 1 yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakarta. Transportasi ini awalnya menggunakan desain body dan dilengkapi mesin Vespa asal Italia. Pemprov DKI mulanya menyediakan 400 unit. Sebagaimana becak, driver -nya berada di belakang, sementara penumpangnya di kabin depan. Sayangnya, desain seperti ini pula yang jadi salah satu faktor menghilangnya Helicak secara perlahan. Selain karena pengemudinya sering kepanasan dan kehujanan, penumpang juga rawan terluka jika kecelakaan karena posisinya ada di depan. Mulai 1987, Helicak dilarang beredar lagi di wilayah DKI Jakarta. Bus Tingkat Kalau di Inggris masih lestari, keberadaan bus tingkat di Jakarta tinggal kenangan. Angkutan massal nan unik ini eksis di Jakarta sejak 1968 yang dioperasikan Perum PPD. Awalnya bus tingkat bermerk Leyland Titan PD3-11 ini dibeli dari Inggris. Kemudian digantikan model baru Leyland Atlantean pada 1983. Tak hanya dari Inggris, bus-bus tingkat merk Volvo B55 asal Swedia juga sempat menyemarakkan transportasi massal ini. Sayangnya pada medio 1990, angkutan unik ini tinggal kenangan karena perawatan dan spare part -nya tidak murah. Belakangan, bus tingkat sempat eksis lagi di Jakarta, meski sebatas untuk wisata yang dioperasikan TransJakarta. Bemo Ada gula, ada semut. Ada Ganefo, ada bemo. Bemo mulai ada di Jakarta pada 1962, jelang perhelatan Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Pemerintah melakukan pengadaan kendaraan unik beroda tiga ini sebagai pembaruan transportasi sekaligus menggantikan becak. Namun, pada 1970-an dengan bertambahnya moda-moda transportasi lain, operasi bemo mulai dibatasi. Pada 1995 lewat peremajaan Angkutan Pengganti Bemo, izin operasi bemo perlahan dicabut meski tetap masih ada yang berkeliaran di beberapa wilayah Jakarta. Perda DKI Nomor 5 Tahun 2004 kemudian menyatakan bemo tidak lagi termasuk transportasi umum resmi. Terakhir pada 6 Juni 2017 lewat Surat Edaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 84, bemo resmi dilarang beroperasi di seluruh wilayah ibukota.

  • Selamat Jalan Anak Muda Gaul

    KABAR duka datang dari Shanty Sys di Kemang Timur, Jakarta Selatan. Suami Shanty, Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio atau lebih dikenal dengan Sys NS, meninggal dunia pada 23 Januari 2018 di usia 61 tahun. Sys populer tahun 1970-an sebagai anak muda gaul Jakarta. Lahir di Semarang, 18 Juli 1956, Sys hanya numpang lahir di sana karena tumbuh-besar sebagai anak Jakarta. Ketika ayahnya, RM Soerio Soebagio, dipindahtugaskan ke Semarang pada 1973, Sys berontak. Mulanya dia ikut pindah ke Semarang, tapi dua hari berselang kabur ke Jakarta. Ayahnya yang teguh pada pendirian akhirnya luluh dan menuruti keinginan Sys tetap di Jakarta. Sys lalu masuk SMA 3 Teladan, Setiabudi, Jakarta. Tapi prestasinya buruk, Sys sampai harus pindah sekolah sembilan kali. Dia yang di Jakarta tinggal menumpang pada kerabatnya kemudian juga tak betah. Setelah kabur, Sys memilih kembali ke tempat tinggal masa kecilnya di sebuah perkampungan di Kelurahan Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan. “Gue tidur di Pos Hansip. Urusan mandi dan ganti baju, numpang di rumah teman,” kata Sys seperti ditulis N Syamsuddin Ch. Haesy dan Gauri Nasution dalam Pop Biografi dan Kreatografi Sys NS. Di Pos Hansip “rumah” Sys itulah orang-orang sering bermain judi dan minum-minum. Sys larut ke dalamnya. Belakangan, dia hidup dari hasil permainan itu. Kalau sedang tak ada uang, Sys dengan halus memalak salah seorang pemenang judi greyhound. Uang itu lalu dia pakai untuk bermain greyhound. “Kalau menang, duitnya gue kembaliin. Tapi kalau gue kalah, anggap saja orang itu lagi sial,” ungkapnya. Dunia hitam Sys tak hanya judi. Suatu hari, seorang kawan Sys berkelahi dengan seorang anggota sebuah geng. Didorong rasa solidaritas, Sys lalu membacok anggota geng itu yang ternyata anak pejabat. Alhasil, Sys harus menginap di Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya. Kabar buruk itu pun sampai ke telinga RM Soerio Soebagio. Meski marah besar, Soebagio tetap ke Jakarta untuk mengeluarkan Sys. Sejak itu, Sys tak ingin membuat ayahnya khawatir. Menggeluti Dunia Siaran Tahun 1970-an, radio naik daun. Radio amatir bermunculan dan menjadi tren kehidupan anak muda Jakarta. Pendengarnya kebanyakan kalangan anak muda golongan menengah ke atas. Dunia itulah yang kemudian dimasuki Sys. Radio pertama yang dimasukinya, ketika masih sekolah menengah, bernama Romeo Gembel (kependekan dari Gemar Belajar). Siaran radio itu dimaksudkan untuk menemani pendengarnya yang, kebanyakan usia sekolah menangah, sedang belajar. Di radio itu, Sys bukan sebagai penyiar, tapi bertugas menjual formulir pilihan lagu. Dari formulir ini, para pendengar bisa mengusulkan lagu-lagu favoritnya lalu diputar saat acara pilihan pendengar. Pada 1973, para pengelola Radio Prambors silang pendapat dan berujung pada keluarnya beberapa pengelola seperti Wawan, Budhie Pramono, dan Heroe Purnomo. Mereka lalu mendirikan Radio Audio Broadcasting Service (ABS) dengan menggunakan rumah orangtua Wawan, rekan Sys, sebagai tempat siaran. Tempat ini dulunya juga tempat siaran Romeo Gembel. Sys ikut bergabung. Popularitas ABS segera menyalip Prambors. Tapi karena mereka terlalu malas mengurus izin siaran, ABS akhirnya ditutup. Beberapa orang kembali ke Prambors. Sys dan 11 rekannya yang mayoritas masih pelajar kemudian mendirikan radio baru tapi tak bertahan. Tahun 1975, Sys mulai siaran di Prambors yang terletak di Jalan Borobudur. Pamornya naik bersamaan dengan perkembangan pesat radio Prambors. “Ditopang wajah ganteng bak selebriti, tak heran nama Sys meroket,” tulis Ilham Bintang dalam Mengamati Daun-Daun Kecil Kehidupan . Sys dikenal sebagai ikon pergaulan anak muda tahun 1970-an. Popularitas Sys berperan penting melejitkan kariernya. Dia kemudian dipercaya menjadi Ketua Umum Kasta (Kekerabatan Antar Siswa Se-Jakarta) Prambors. Sys memanfaatkan betul kesempatan yang ada dengan menggagas Jakarta Student Night pada 1976. “Tahun 1976, ketika personel Warkop menjadi lima sekawan yang kompak, bersamaan muncul pula tokoh Prambors muda, seperti Sys NS dengan aneka kreasi khas unjuk seni anak mudanya,” tulis Rudi Badil dalam Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main . Sys kemudian juga dipercaya menjadi Ketua Umum Laboratorium Seni Prambors. Dalam jabatan yang dia emban hingga 1978 itu Sys bekerjasama antara lain dengan Niki Kosasih, penulis drama radio Saur Sepuh dan manajer Warkop Prambors yang baru mulai dikomersilkan. Di tahun yang sama, Sys bersama Warkop tampil di acara “Dapur Musik Betawi” yang digagas Sys bersama Ais Ali Said. Bersama Muklis Gumilang, Sys lalu membuat “Sersan Prambors” untuk mengisi acara Prambors yang ditinggalkan Warkop. Di “Sersan Prambors” itulah Sys berhasil menarik Krisna Purwana, Pepeng, dan Nana Krip, yang merupakan pengisi Bahana Jokes di Radio Bahana, untuk siaran di Prambors pada 1984. Sukses menjalankan program radio, Sys kemudian menggandeng Rhoma Irama dan Camelia Malik mendirikan Radio Muara. Radio untuk pencinta dangdut ini menurut AC Nielsen menjadi radio paling banyak didengar. Alhasil, banyaknya pengalaman dunia radio yang dimiliki Sys membuatnya dipercaya menduduki Ketua Departemen Dana dan Usaha Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Pemenang Lomba Disko Tahun 1975, Sys mendirikan Mad Disco bersama Eddy Sadikin, Yoyok Sasmoyo, dan beberapa rekannya. Grup penghibur ini menerima order untuk acara pesta anak muda dengan bayaran 25ribu rupiah sekali tampil. Di tahun yang sama, Sys mengikuti Festival Discotheque seluruh Indonesia dengan modal peralatan yang dipinjam dari Mad Disco dan beberapa rekan lain. Selain alat musik, Sys menggunakan seekor monyet yang dicat untuk menemaninya tampil. Bersama si monyet, Sys melakukan aksi gila bergelantungan di tali sambil meramu musik. Bak tarzan dan monyetnya, Sys mengoperasikan mixer, memindah-mindahkan lagu ( mixing ) memakai kaki. Dengan penampilan yang atraktif dan kreatif itu, Sys memenangkan Best of Discotheque of Indonesia 1975. Hadiah motor yang didapatnya langsung dia sumbangkan untuk panti asuhan. Tapi kegembiraan Sys hanya berlangsung semalam. “Besokannya tuh monyet mampus. Gue sedih ngeliat temen gue ngedeejay mati stres,” kata Sys. Kegilaan-kegilaan Sys itu menjadi memori banyak orang yang menikmati masa muda tahun 1970-an. Hari ini, ikon pergaulan anak muda era 1970-an itu pergi yang takkan pernah kembali. Selamat jalan, Sys.

  • Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera

    KEPULAUAN Nusantara dengan letak yang strategis dan kekayaan luar biasa acap menjadi rebutan banyak kekuatan sejak lama, termasuk ketika Perang Pasifik dilancarkan Jepang. Pertempuran-pertempuran dahsyat macam Pertempuran Selat Makassar, Pertempuran Laut Jawa, atau rangkaian pertempuran dalam manuver “Lompat Katak”-nya Jenderal Douglas McArthur pasukan Amerika Serikat (AS) berlangsung di negeri yang kini bernama Indonesia. Arti penting itulah yang mendorong PM Inggris Winston Churchill merencanakan Operation Culverin, invasi ke sejumlah titik penting di Pulau Sumatera. Sebagaimana diuraikan John Ehrmann dalam Grand Strategy Vol. V: August 1943-September 1944 , Operasi Culverin –nama meriam kecil yang digunakan banyak negara Eropa pada abad ke-17– tercetus dari mulut Churchill di Konferensi Quadrant di Quebec, Kanada, 20 Agustus 1943. Dia menginginkan adanya operasi pendaratan amfibi di utara Pulau Sumatera pada Mei atau Juni 1944. Desakan itu tak lepas dari keinginannya agar komando Sekutu mau lebih memperhatikan kawasan Asia Tenggara dengan membuka front baru. “Kita harus menyerang dan merebut satu pijakan (di pantai Sumatera) terhadap Jepang, di mana Jepang mesti merebutnya lagi dengan susah payah jika mereka tak ingin perkapalan mereka (di Selat Malaka) terganggu oleh serangan udara dari Sumatera,” cetus Churchill, dikutip Ehrmann. Dalam rancangan konsepnya, operasi akan menyasar ke enam titik di wilayah Aceh sampai Sumatera Utara. Titik pertama, pantai Bireuen; Diamond Point (Lhokseumawe); Meulaboh; Pulau Simeuleu; dan terakhir Kota Medan. Manuver sabotase oleh pasukan kecil ke Pulau Weh juga masuk dalam rancangan itu. Untuk menjalankannya, Churchill mengandalkan pasukan British India di bawah Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Mountbatten. Pada 9 Februari 1944, surat perintah rahasia bernomor 65028/SD3 terkait Operasi Culverin dikirim ke markas Mountbatten di New Delhi dengan terusan kepada COS (Chief of General Staff) atau Kepala Staf Umum Sekutu, hingga ke komandan Grup Angkatan Darat (AD) ke-11 di Asia Tenggara Mayjen Ian Stanley Ord Playfair. Sebagaimana dikutip Michael Kerrigan dalam World War II Plans That Never Happened , surat perintah rahasia itu berisi instruksi untuk pelatihan dan pengorganisasian pasukan di India. Mountbatten mendukung gagasan Churchill. Bahkan, dia sampai menyurati koleganya dari AS yang memimpin AD Amerika di China-Burma (kini Myanmar)-India, Jenderal Joseph Stilwell. Namun, upaya Churchill dan Mountbatten sama-sama ditolak Joint Chief of Staff (JCS) atau Panglima Gabungan Kepala Staf dan Stilwell. “Serangan (terhadap Jepang) melalui Sumatra dan (Semenanjung) Malaya hanya akan menciptakan blokade bagi China. Mengingat komitmen FDR (Presiden AS Franklin D. Roosevelt) yang akan membangun kembali China pascaperang. Strategi apapun yang mengalihkan perhatian terhadap China tak bisa diterima,” ungkap Charles F. Bower dalam bukunya, Defeating Japan: The Joint Chiefs of Staff and Strategy in the Pacific War 1943-1945 . Dari sisi strategis, AS menolak Operasi Culverin karena JCS merasa sumber daya Sekutu belum cukup kuat untuk memukul Jepang di Sumatera yang masih kuat karena “nganggur”, tak seperti di front Pasifik Tengah. Bagi AS, Sekutu masih harus merontokkan Nazi Jerman di Eropa terlebih dulu sebelum mengalihkan fokus terhadap Jepang. Lagipula, di tahun itu masih sulit untuk bisa mendaratkan pasukan di pantai Sumatera karena medannya belum dikenal lebih dalam. Pertimbangan lain, Angkatan Laut Jepang di Singapura masih lumayan kuat. Tingkat kepraktisannya juga dipersempit dengan belum bisa direbutnya Burma dari tangan Jepang. Alhasil, rancangan operasi ini mentah di tengah jalan. Operasi Culverin “tutup buku” di pertengahan 1945 sebelum sempat terlaksan. Sekutu justru menggelar pendaratan di Malaya lewat Operasi Zipper dan Operasi Dracula untuk merebut Rangoon pada Mei 1945.

  • Si Bung dan Para Burung

    PRESIDEN Sukarno dikenal sebagai penyayang binatang, terutama burung. Ia paling tidak suka melihat burung terkurung dalam sangkar. Soal ini diketahui kalangan terdekatnya saja. Namun, banyak orang menyangka Sukarno, sebagai keturunan Jawa, tidak lepas dari hobi memelihara burung. Suatu hari datanglah dua lelaki Maluku ke Istana Negara. Mereka ayah dan anak. Kepada para pengawal presiden, mereka mengatakan ingin mempersembahkan seekor burung nuri raja yang indah kepada presiden. Bagaimana respons Sukarno? Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno, mengisahkannya dalam Sewindu Dekat Bung Karno . Alih-alih menolak, Sukarno menyambut tamunya dengan ramah. Ia menanyakan keluarga, perjalanan, dan kondisi daerah asal mereka. Diajaknya pula tamunya menikmati minum teh dengan kue. Setelah banyak bercerita, barulah Sukarno menanyakan soal burung nuri raja yang dibawa tamunya. “Jadi Bapak mau menghadiahkan burung ini kepada saya? Jika ya, saya boleh berbuat apa saja terhadap burung ini, bukan?” ujar Sukarno. “Ya Pak, tentu saja. Terserah Bapak mau diapakan burung ini,” jawab salah seorang tamu itu. “Nah kalau begitu, ikutlah saya,” ujar Sukarno sambil menuruni tangga Istana dan berdiri di pinggir taman. Sambil menoleh kepada si bapak itu, Sukarno lantas memerintahkan seorang pengawalnya untuk melepaskan burung yang indah itu ke alam bebas. Menyaksikan pemandangan tersebut, kedua tamu dari Maluku itu hanya bisa melongo. “Pak, burung ini akan jauh lebih senang bila ia lepas bebas dapat terbang ke manapun. Biarkan ia merdeka, seperti kita pun ingin merdeka selama-lamanya,” kata Sukarno. Masalah burung bagi Sukarno tak bisa dikompromikan. Siapapun yang memasung kebebasan burung, jika ia tahu, pasti akan ia suruh melepaskannya. Hal ini juga pernah dialami Letnan Satu C.H. Sriyono, anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakrabirawa dari Corps Polisi Militer (CPM). Ceritanya, saat bertugas di Istana Tampaksiring, Sriyono membeli seekor jalak bali. Supaya tidak ketahuan Sukarno, ia memasukan jalak bali itu ke salah satu kantong celananya. Namun tetap saja ketahuan. “Itu apa yang ada dalam saku celana kamu? Kok gerak-gerak?” tanya presiden. “Siap! Burung, Pak!” “Lepaskan!” “Siap!” Jalak bali pun bebas, terbang tinggi, meninggalkan pembelinya yang gondok luar biasa.*

  • Macan Jawa di Final Piala Dunia

    DARI tiap gelaran Piala Dunia, hingga kini Indonesia masih dalam tahap hanya bisa bermimpi untuk ikut di dalamnya. Di Piala Dunia 1958, Indonesia sebetulnya berpeluang besar lolos, namun politik luar negeri Indonesia menghentikannya. Alhasil, untuk sementara negeri ini hanya bisa menghibur diri dengan klaim keikutsertaan di Piala Dunia 1938 meski masih Hindia Belanda. Hanya barang-barang buatan Indonesia yang hingga kini bisa tampil di Piala Dunia. Yang jarang diketahui, keterlibatan Macan Jawa di Piala Dunia 1974. Macan Jawa itu bahkan eksis sampai di partai final yang dimainkan Jerman Barat (Jerbar) vs Belanda. Namun, macan itu hanyalah motif dalam sekeping koin yang digunakan wasit Jack Taylor, yang memimpin partai final, sebagai alat pengundi sebelum kickoff. Gambar panthera tigris atau macan Jawa mengisi bagian depan sementara Garuda Pancasila beserta tulisan “Bank Indonesia” mengisi bagian belakang koin perak tersebut. Menurut keterangan di salah satu panel Ruang Numismatik Museum Bank Indonesia, “(Koin) Rp2000 tahun 1974 dibuat khusus dalam seri cagar alam dalam rangka kerjasama dengan WWF dan IUCN.” Selain dua lembaga konservasi tersebut, kerjasama melibatkan Bank Indonesia dan Royal Mint, perusahaan percetakan koin dan medali Kerajaan Inggris. Royal Mint membuat koin itu dengan ukuran diameter 38,61 milimeter dan berbobot 25,31 gram, kandungan peraknya 50 persen. Koin dibuat terbatas hanya tiga keping untuk dijual dalam rangka penggalangan dana konservasi alam. “Hasil penjualannya digunakan untuk program-program pelestarian (alam). Koinnya dicetak di Royal Mint sebagai pencetak koin dan medali terbaik dunia,” tulis Majalah Time and Tide edisi Oktober 1974. Kapten timnas Jerbar Franz Beckenbauer sempat penasaran terhadap koin yang bernama resmi Conservation Coin Collection WWF itu. Sesaat setelah wasit Taylor membunyikan peluit panjang tanda istirahat, dia menghampiri Taylor dan menanyakan dari mana koin itu didapat. Sayang, Taylor tak menjawabnya. “Taylor yang sepanjang kariernya menjadi wasit di tiga Piala Dunia, menyimpan peluit emas yang diberikan sebagai kenang-kenangan, bersamaan dengan koin yang dia gunakan untuk pengundian ( kickoff ) di Piala Dunia 1974,” tulis Mirror , 9 Juli 2010. Selain yang dikoleksi Taylor, sekeping koin ini yang lain sekarang berada di tangan Haris Budiman, seorang kolektor koin lawas di Indonesia. Dia membelinya dari situs jual-beli online eBay . “Saya sudah koleksi sejak 2013. Banyak yang saya beli (koleksi-koleksi koin) di eBay , padahal itu koin asli Indonesia,” ujar Haris kepada Historia . “Untuk koin Rp2000 atau (yang bergambar) macan Jawa dari bahan perak 50 persen harganya sekitar 35 dolar Amerika,” sambungnya. Haris mengaku punya sertifikat aslinya. Di blog yang dikelolanya, Numismatik Indonesia, dia menampilkan sertifikat keaslian koin yang bertandatangan Deputy Master of the Royal Mint John R. Christie. “Sertifikat keaslian yang diterbitkan Royal Mint, atas nama (pemerintah) Republik Indonesia, keterangan ini sebagai bukti bahwa Conservation Coin Collection ini dicetak Royal Mint atas kerjasama dengan World Wildlife Fund dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources,” demikian bunyi terjemahan keterangan berbahasa Inggris itu. Tak hanya terkait sepakbola, Macan Jawa menjadi bukti pertama Indonesia ikut menyokong WWF dan IUCN. Berbarengan dengannya, ia menandai keikutsertaan kembali Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia sejak absen pasca-Kualifikasi Piala Dunia 1958 gara-gara situasi politik. Koin istimewa itu menjadi “wakil” pertama di Piala Dunia sejak lepas dari jajahan Belanda. Kebanggaan lain, menyusul jelang Piala Dunia 1990 ketika Adidas selaku produsen bola resmi Piala Dunia memilih bola sepak produksi Solo –bersama bola asal Pakistan– menjadi salah satu bola yang digunakan di event empat tahunan itu. Menjelang Piala Dunia 1998, Adidas menggandeng Sinjaraga Santika Sport (SSS), produsen bola asal Majalengka, Jawa Barat yang telah mendapat lisensi FIFA, untuk memproduksi bola “Tricolore”. Kerjasama itu terus berlanjut hingga gelaran Piala Dunia 2014 yang menggunakan bola resmi “Brazuca”.

  • Mengapa Rumah Cimanggis Harus Diselamatkan?

    PERNYATAAN pers Hussein Abdullah, juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla, baru-baru ini yang mengatakan sejarawan mendadak perhatian pada Rumah Cimanggis yang akan dihancurkan untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), mendapat bantahan dari Komunitas Sejarah Depok. Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, mengatakan bahwa perhatian terhadap Rumah Cimanggis tidak tiba-tiba. Setidaknya sejak 2011 sejarawan dan pemerhati situs-situs sejarah telah bergerak untuk menyelamatkan situs-situs sejarah termasuk Rumah Cimanggis. Depok Heritage Community telah mendaftarkan Rumah Cimanggis ke kantor Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Serang dengan nomor registrasi 007.02.24.04.11. Pendaftaran ini adalah tindak lanjut dari kerja inventarisasi situs-situs sejarah di Depok yang dilakukan sejak tahun 2010. “Jadi, tujuh tahun lebih sebelum heboh UIII,” tegas Farah, dalam keterangan pers yang diterima Historia. Farah bilang, tentu saja pihaknya dan masyarakat Depok tidak perlu repot jika pemerintah menjalankan amanat UU Cagar Budaya No. 10 tahun 2011. Di sana tertulis, bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. “Kami para sejarawan dan masyarakat Depok tentu tidak perlu repot melakukan upaya-upaya memperhatikan, menginventarisasi, mengumpulkan informasi kesejarahan dan mendaftarkan situs sejarah,” ujarnya. Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok Heri Syaefudin merasa heran kenapa proyek UIII di kawasan RRI tidak disosialisasikan dengan warga Depok. Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok, kawasan RRI adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Yang santer terdengar justru berita pada tahun 2015 kawasan itu oleh Walikota Nurmahmudi disosialisasikan sebagai arboretum atau hutan kota yang bisa menjadi paru-paru dunia,” ujar Heri. Saat ini, kata Heri, Depok baru memenuhi sembilan persen RTH publik. Oleh karena itu, wacana RTH di kawasan RRI sangat dibutuhkan untuk memenuhi 30 persen kewajiban RTH. “Sekaligus bisa difungsikan sebagai kawasan resapan yang menahan run off jika musim hujan tiba dan dengan demikian mengurangi kemungkinan banjir ke Jakarta,” kata Heri. Sementara itu, sejarawan JJ Rizal menegaskan gerakan #SelamatkanRumahCimanggis berkonsentrasi lebih kepada bagaimana agar situs sejarah itu selamat, bukan pada upaya menolak keberadaan UIII. Sebab, bagi gerakan ini tak perlu mempertentangkan dua hal yang sebenarnya berfungsi sama, yaitu sebagai medium pendidikan. “Seperti juga universitas, bagi kami situs sejarah juga medium pendidikan,” kata Rizal. Apalagi yang akan didirikan adalah Universitas Islam Internasional yang disebut akan dijadikan pusat peradaban Islam. Menurut Rizal, Islam dan sejarah sangat dekat hubungannya. Al-Qur’an hampir dalam banyak kandungan bertutur tentang masa lalu. “Qur’an tak sekadar cerita tapi juga mengajak umatnya memahami makna peristiwa masa lalu agar berpikiran bukan hanya luas tetapi juga sehat. Sebab, dalam kandungan ajaran Islam masa lalu itu adalah sumber pelajaran,” jelas Rizal.

bottom of page