top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Dreamsea, Pusat Data Naskah Kuno Se-Asia Tenggara

Mendigitalisasi naskah kuno, mengabadikan khazanah budaya.

Oleh :
23 Jan 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Naskah kuno yang akan didigitalisasi Dreamsea.

MENGANTISIPASI kondisi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang minim perhatian, Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah (Syahid) meluncurkan program bertajuk Dreamsea pada Rabu (24/2/17) siang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Program itu didanai lembaga amal Arcadia.


Dreamsea merupakan program digitalisasi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang digagas pada Desember 2017. Proses digitalisasi akan berjalan mulai Juni 2018 hingga 2022. Selama enam bulan pertama sejak Desember 2017, tim Dreamsea mempersiapkan protokol pendigitalan naskah kuno.


“Target secara keseluruhan 240 ribu gambar karena kalau menyebut manuskrip, satu manuskrip bisa jadi 50 halaman, jadi ini gambar. Cara pengumpulan lewat Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara, untuk di Indonesia khususnya. Kemudian, di Asia Tenggara kita menggunakan jaringan asosiasi-asosiasi sejarah. Di Filipina, misalnya, Philippine Historical Association,” kata Prof. Dr. Oman Fathurahman, salah satu penggagas Dreamsea dari PPIM UIN Syahid, kepada Historia.


Dalam proses pengumpulan naskah, Dreamsea akan menghimpun informasi keberadaan naskah dari Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang ada di tiap provinsi. Masyarakat umum juga bisa ikut berpartisipasi dengan memberitahu tim Dreamsea melalui media sosial sehingga informasi yang dihimpun dari masyarakat akan dikembalikan ke masyarakat dengan model akses terbuka. Siapa pun bisa mengakses pusat data Dreamsea untuk kepentingan penelitian.


Openaccess tapi hanya untuk tujuan penelitian. Kalau misal sudah openaccess tapi digunakan untuk komersil jadi buku, ilustrasi lalu dijual, misalnya, itu ada hukumnya tersendiri. Itu perlindungan kami terhadap pemilik naskah,” kata Oman.


Setiap laporan kebaradaan naskah kuno yang masuk, akan diseleksi tim Dreamsea dengan kriteria: naskah tersebut belum didigitalisasi lembaga pemerintah, milik masyarakat, beurumur cukup tua, paling baru usia naskah adalah 50 tahun mengikuti kriteria UU Cagar Budaya, memiliki nilai historis yang signifikan, dan kondisi naskah rentan rusak. “Kerentanan yang kami maksud itu, baik rentan karena alam atau karena ancaman sosial-politik,” kata Oman, yang saat di panggung sempat bercerita tentang fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk menghancurkan manuskrip yang dianggap menyimpang.


Tim yang akan diberangkatkan untuk mendigitalisasi naskah kuno dibagi menjadi tim daratan dan kepulauan. Pembagian ini, kata Oman, selain memudahkan koordinasi juga untuk kepentingan penanganan naskah. “Karakter manuskrip yang ada di daratan itu berbeda dari yang ada di kepulauan.”


Hasil dari pengumpulan dan digitalisasi naskah ini berupa pusat data naskah kuno se-Asia Tenggara dengan wujud gambar-gambar digital. Naskah-naskah kuno tersebut selanjutnya akan ditransliterasi oleh ahli aksara. “Database ini akan jadi yang pertama mengumpulkan manuskrip di Asia Tenggara dalam bentuk digital. Dari berbagai bahasa, aksara, tradisi, akan menjadi onesearchdatabase.”


Upaya Penyelamatan Catatan Sejarah


Menurut Profesor Jan van der Putten dari CSMS, naskah kuno merupakan pusaka budaya yang sangat berarti dan dimaknai oleh komunitas pendukungnya. “Kalau kita membuat pendigitalan naskah, kita tidak hanya alih media tapi juga alih fungsi,” katanya. Pasalnya, yang didigitalkan adalah konten naskah sementara naskah asli tetap dipegang masyarakat pemilik. Jadi, makna sakral naskah beralih fungsi ketika dialihmediakan menjadi bahan digital yang berikutnya menjadi sumber penelitian.


Putten menggarisbawahi pentingnya pendigitalan naskah kuno. Menurutnya, keberadaan naskah kuno menjadi sumber identitas suatu kebudayaan dan bila naskah itu hancur atau musnah maka musnah pula sebuah sumber identitas budaya. “Pra-nasional hubungan antarsuku lebih bebas. Dan salah satu harapan dari Dreamsea itu memperlihatkan hubungan internasional Indonesia- Filipina, misalnya.” Dengan mengukuhkan naskah-naskah ke bentuk digital dalam satu pusat data, hubungan antarsuku bisa lebih mudah diteliti.


Pentingnya pendigitalan naskah juga diamini oleh Oman dan Suharja dari Ditjen Sejarah Kementrian Pendidikan. Menurut Suharja, pendigitalan naskah sangat penting terlebih tahun 2017 pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang melindungi objek kebudayaan, salah satunya naskah kuno.


“Masih ada banyak naskah kuno di daerah. Direktorat Sejarah juga melakukan pengumpulan sumber-sumber Kerajaan Siak di Riau. Hal ini dilakukan supaya penulisan sejarah lokal dengan memanfaatkan manuskrip di daerah lebih berkembang,” kata Suharja.


Upaya pendigitalan naskah kuno dan penelitian sejarah guna menggali eksistensi nenek moyang itu juga mendapat dukungan dari Muh. Syarif Bando, Kepala PNRI. Dirinya mendorong para peneliti untuk menggunakan arsip-arsip dan naskah kuno yang telah dihimpun berbagai lembaga perpustakaan sebagai bahan penelitian.


“Naskah atau manuskrip tidak cukup berguna kalau hanya dihimpun lalu disimpan lagi, tapi (baru akan berguna) juga (bila) digunakan untuk meneliti eksistensi nenek moyang di masa lampau,” kata Syarif.


Naskah kuno tak semata berguna sebagai bahan riset, kata Trinirmalaningrum dari Perkumpulan Skala, tapi juga referensi penting yang relevan dengan kehidupan masa kini. “Kami membaca naskah kuno. Kalau bicara bencana, kami bicara masa lalu,” kata Rini, panggilan Trinirmalaningrum.


Dalam Naskah Bo Sangaji Kai, kata Rini, disebutkan bahwa Gunung Rinjani adalah anak Gunung Salamas. Naskah itu juga menyebutkan adanya bantuan orang-orang Arab dan Tionghoa ketika penduduk Nusa Tenggara menghadapi bencana besar. “Saya berharap naskah kuno dipromosikan secara masif untuk kesadaran bencana.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page