Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pembantaian di Perkebunan Karet
RUMAH bergaya kolonial itu berada di tepi Kali Ciasadane. Tepatnya di atas tanah seluas kurang lebih 1 ha. Kendati cukup asri dan terawat, orang-orang di sekitarnya terlihat tidak begitu peduli. Alih-alih orang-orang yang lalu lalang, seorang petugas keamanan yang berjaga di situ pun tak tahu menahu tentang sejarah tempat tersebut. “Saya kurang paham, tapi dari penduduk asli sini saya dengar dulu kawasan ini merupakan lahan perkebun karet yang dipakai buat perang ya?”ujar sang petugas malah balik bertanya. Sejak era Hindia Belanda, Lengkong memang merupakan perkebunan karet produktif. Sekira tahun 1945, komplek perumahan para pegawai perkebunan karet tersebut lantas ditempati oleh satu kompi tentara Jepang yang baru saja pulang dari perang melawan tentara Amerika Serikat di palagan Pasifik. “Jadi wajar kalau para serdadu Jepang itu masih mencium hawa perang…”ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Dalam kondisi seperti itulah, pada 25 Januari 1946, pasukan TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) pimpinan Mayor Daan Mogot mendatangi kompi tentara Jepang itu. Kepada Kapten Abbe (komandan kompi), Mayor Daan meminta agar persenjataan mereka diserahkan saja kepada pihak TRI (Tentara Repoeblik Indonesia). Niat tersebut awalnya diamini oleh para tentara Jepang. Namun entah bagaimana ceritanya, di tengah jalan semuanya berubah. Saat sibuk melucuti senjata dan mengumpulkannya, tetiba terdengar sebuah tembakan yang memantik para prajurit Jepang itu untuk balik melawan. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. “Malah saya berpikir itu bukan pertempuran, tapi suatu pembantaian, mengingat dengan mudahnya serdadu-serdadu Jepang itu menghabisi pasukan TRI…” ujar Rushdy kepada Historia . Anggapan Rushdy itu sejatinya masuk akal, mengingat situasi pasukan TRI yang datang ke Lengkong memang serba minim. Selain kurang pengalaman tempur (kecuali delapan eks tentara Inggris pembelot), anak-anak AMT (Akademi Militer Tangerang) yang menjadi inti pasukan, juga tidak dibekali persenjataan memadai. “Ya bayangkan saja oleh anda, karaben Mannlicher Carcano buatan Italia yang menjadi pegangan kami, selain sudah kuno juga enggak ada pelurunya. Terpaksa pelurunya kami ambil dari senjata jenis lain lalu kami bubut supaya pas, tapi ya nembaknya jadi enggak bisa banyak. Satu picu satu peluru…,” ungkap Marzoeki Soelaiman (eks kadet AMT). Kocar-Kacir Rupanya saat para kadet AMT dan sekelompok kecil eks tentara Inggris yang membelot ke kubu TRI tengah mengumpulkan senjata, diam-diam dua peleton pasukan Jepang lainnya yang masih bersenjata lengkap melakukan pergerakan cepat sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar secara terkomando. “Mereka bergerak dari pos penjagaan arah barat laut dan dari pos sebelah selatan yang lolos dari pengawasan kami…” ujar Menot Syam (salah satu pelaku peristiwa tersebut) seperti diungkapkan kepada sejarawan Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian I) . Akibat sergapan mendadak itu, situasi di pihak TRI menjadi kacau balau. Alih-alih menghadapi dengan persenjataan yang sangat minim, mereka malah kocar-kacir ke berbagai arah untuk menyelamatkan nyawa masing-masing dan bertempur secara sendiri-sendiri. Dalam situasi seperti itulah, tetiba Mayor Daan Mogot lari dari arah markas induk tentara Jepang. “Tiaraaappp! Semuanya tiaraappp!” teriaknya. Menurut Moehkardi, Mayor Daan sepertinya menyadari bahwa pertempuran tersebut terjadi karena adanya kesalahpahaman. Karena itu di tengah serangan gencar dan ramainya pertempuran, dia masih sempat berteriak ke arah pasukan Jepang untuk menghentikan tembakan. Tentunya teriakan Mayor Daan tidak digubris dan serangan malah semakin gencar. Sementara itu dengan gerakan teratur dan pasti, pasukan Jepang berhasil menguasai keadaan. Bahkan mereka berhasil kembali menguasai senjata-senjata yang sebelumnya dirampas dan menggunakannya. Pertempuran brutal jarak dekat pun terjadi. Sial bagi pasukan TRI yang senjatanya tidak dilengkapi bayonet, mereka tentu saja menjadi sasaran empuk para prajurit Jepang yang pandai memainkan bayonet. Darah mengucur, mayat bergelimpangan. Daan Mogot Gugur Begitu menguasai keadaan, para prajurit Jepang terus memburu anak-anak AMT hingga ke sudut-sudut hutan karet. Mayor Daan sendiri menghindar ke arah timur. Namun baru beberapa meter bergerak, dia bertemu dengan beberapa kadet AMT yang tengah bertahan di sebuah lubang pertahanan. Di antaranya adalah Soedharno, Menot Syam dan Tatang Kustandi. “Kami betul-betul ada dalam situasi kritis: Mayor Daan sudah tertembak bagian paha kanannya sedang peluru kami sudah habis semua…” tutur Menot Syam. Mereka lantas menghindar ke arah timur. Di tengah gerakan mundur itulah mereka menemukan sebuah pertahanan yang dilindungi tumpukan pasir. Di situlah mereka lantas berdiskusi sejenak mengatur strategi. Sebagai komandan, Mayor Daan memerintahkan kadet Menot dan kadet Sudharno untuk kembali ke Tangerang dan meminta bantuan ke markas Resimen IV. Perintah itu lantas diiyakan. Hari sudah memasuki waktu magrib. Situasi kebun karet mulai gelap sedang desing peluru dan teriakan para prajurit Jepang masih terdengar. Menot dan Sudharno secara perlahan mulai merayap ke arah timur untuk mencapai jalan raya. Baru saja mereka bergerak sekira 25 meter dari tempat pertahanan yang menyisakan Daan dan beberapa kadet lainnya, tetiba terdengar langkah-langkah terburu-buru dan teriakan dalam bahasa Jepang. “Chaaappppp!!!” “Dor! Dor!” Menot sangat yakin suara pistol itu berasal dari pistol Nambu Taisho Kaliber 14 yang menjadi pegangan Mayor Daan. Selanjutnya terdengar suara gedebag gedebuk, seperti sedang terjadi pertarungan satu lawan satu. Beberapa saat kemudian terdengar suara Mayor Daan mengaduh. Belakangan Menot dan Soedharno meyakini bahwa teriakan Mayor Daan itu merupakan tanda bahwa sang komandan terhantam bayonet Jepang yang langsung mengakhiri hidupnya. Sejarah mencatat Mayor Daan Mogot memang gugur di Lengkong. Bersamanya ikut gugur pula dua perwira dari kesatuan Polisi Tentara Resimen IV Tangerang yakni Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo serta 34 kadet AMT, yang beberapa di antaranya masih sangat berusia muda. Sedangkan sisanya menjadi tawanan tentara Jepang. (Bersambung)
- Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto
Meski dikenal sebagai orang dekat Soeharto, namun langkah Herman Sarens tak selalu mulus. Kepalanya nyaris diterjang peluru oleh tangan Soeharto sendiri. Bagaimana mungkin? Herman Sarens menuturkannya dalam manuskrip otobiografi berjudul Cerita Seorang Tentara: Cuplikan Riwayat Kehidupan Herman Sarens Sudiro.
- Persahabatan Indonesia-Afghanistan
PRESIDEN Joko Widodo tetap melanjutkan lawatannya ke Afghanistan pada 29 Januari 2018 kendati terjadi bom bunuh diri di Kabul yang menewaskan 103 orang. Taliban menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu. Jokowi menjadi presiden kedua setelah Sukarno yang mengunjungi Afghanistan pada Mei 1961. Tiba di negara yang terletak di Asia Selatan dan Asia Tengah itu, Jokowi disambut hujan salju. Kunjungan ini sebagai balasan atas kedatangan Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani ke Indonesia pada 5 April 2017. Presiden Ashraf Ghani memberikan penghargaan Medal of Ghazi Amanullah kepada Jokowi sebagai penghormatan atas keberanian dan keteguhannya dalam memajukan hubungan bilateral Indonesia-Afghanistan, terutama dalam pembangunan perdamaian di Afghanistan. Sebagai bentuk dukungan perdamaian di Afghanistan, Indonesia membangun kompleks Indonesia Islamic Centre di Kabul yang akan dilengkapi fasilitas kesehatan. Sementara itu, di tanah air, politisi oposisi berkomentar miring. Mereka menuding kunjungan Jokowi untuk meraih simpati umat Islam yang berguna bagi pemilihan presiden 2019. Jokowi sebagai imam salat juga disebut sebagai pencitraan. Siapa pun yang menjadi presiden Indonesia sudah semestinya mengunjungi Afghanistan. Sebab, Afghanistan termasuk negara paling awal yang mengakui Republik Indonesia, yaitu pada 15 September 1947. Bahkan, Ahmad Subardjo, menteri luar negeri Indonesia pertama, menyebut “Mesir adalah negara pertama yang mengakui Republik Indonesia secara de jure . Setelah Mesir adalah Afghanistan.” Namun, menurut M. Zein Hassan, ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, semua negara Liga Arab yang telah merdeka, kecuali Yordania, telah mengakui de facto dan de jure Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Berbagai sumber menyebut urutan pengakuan dari negara-negara Liga Arab antara lain Mesir (1 Juni 1947), disusul Lebanon (Juni 1947), Suriah dan Irak (Juli 1947), dan Saudi Arabia (November 1947). Dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri , Zein Hassan menyebut pengakuan Afghanistan dimuat dalam harian Al-Ahram , 19 September 1947, yang menyiarkan “Pemerintah Afghanistan telah mengakui Republik Indonesia dan telah mengawatkan kepada dutanya di Washington DC supaya menyampaikan kepada Dr. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia.” Pada 4 November 1947, Zein menjadi penerjemah Sutan Sjahrir, utusan khusus presiden Republik Indonesia, dalam pertemuan dengan Sadik El-Mujaddidi, duta besar Afghanistan di Kairo, Mesir. “Dalam suasana gembira, Bung Sjahrir menyampaikan terima kasih kepada Afghanistan atas pengakuannya terhadap Republik Indonesia,” kata Zein. “Dengan demikian, Afghanistan adalah satu-satunya negara di luar negara-negara Liga Arab yang mengakui de facto dan de jure kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia sampai Belanda mengakuinya pada Desember 1949.” Setelah mengakui Republik Indonesia, Afghanistan mengirimkan perwakilan resmi ke Indonesia dengan menembus blokade Belanda. “Abdul Mounem dari Mesir sebagai Konsul Jenderal dan Abdurrachman dari Afghanistan sebagai Kuasa Politik berhasil menembus pengurungan Belanda dan dengan menumpang pesawat udara selamat tiba di Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia,” kata Ahmad Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional . Pemerintah Afghanistan juga meminta kepada Sutan Sjahrir supaya mengirimkan wakil Republik Indonesia ke Afghanistan. Pemerintah Indonesia pun menempatkan Abdul Kadir di Afghanistan. Namun, Belanda protes menyebut Indonesia melanggar Perjanjian Renville. Menteri Penerangan M. Natsir menjelaskan bahwa penempatan Abdul Kadir di Afghanistan sebagai tindak lanjut dari hubungan Indonesia dan Afghanistan yang dimulai sejak Afghanistan mengakui de jure Republik Indonesia pada 15 September 1947. Abdul Kadir berangkat ke Afghanistan pada 28 Desember 1947 sebelum Perjanjian Renville ditandatangani dan pertempuran antara Indonesia dan Belanda masih terjadi di sana-sini.*
- Gegara Sebuah Tembakan
SELAMA menjalankan perjuangan diplomasi di Mesir pada 1947, Haji Agus Salim (HAS) terlihat sering menggunakan sebuah jaket militer usang. Menurut diplomat senior M. Zein Hassan, kendati anggota delegasi Indonesia lainnya agak penasaran dengan kebiasaan orang tua tersebut, namun tak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan. Hingga suatu hari, dalam suatu situasi yang sangat sentimentil, HAS memberitahukan kepada Zein cs bahwa: “Baju inilah yang dipakai anakku ketika dia jatuh sebagai syahid karena dadanya ditembus pelor tentara Jepang…” demikian menurut HAS seperti dikutip Zein dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri . Menurut Siti Asia Salim (lebih akrab dipanggil Bibsy Soenharjo), “anakku” yang dimaksud HAS tak lain adalah Achmad Sjawket, kakaknya nomor lima. Sjawket merupakan kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) yang gugur dalam suatu tragedi berdarah di Lengkong pada 25 Januari 1946. “Dia memang terbunuh oleh peluru tentara Jepang,”ungkap anak kedelapan dari HAS itu. Informasi Intelijen Tangerang, 23 Januari 1946. Informasi intelijen itu diterima Letnan Kolonel Singgih (Komandan Resimen IV TKR Tangerang) dengan perasaan waswas. Disebutkan dalam laporan itu bahwa tentara Belanda yang sudah menduduki Parung, Bogor akan bergerak ke Lengkong guna melucuti pasukan Jepang yang bermarkas di wilayah tersebut. “Pak Singgih berpikir jika Lengkong dikuasai Belanda maka jalan terbuka bagi mereka untuk menyerang kedudukan Resimen IV di Tangerang…”ujar Marzoeki Soelaiman, salah satu eks kadet AMT. Singgih sejatinya sudah beberapa kali meminta Kapten Abbe, komandan tentara Jepang di Lengkong, untuk menyerahkan seluruh senjata kompinya. Namun selalu saat diminta, Abbe berkelit bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata-senjata itu tanpa sepengetahuan pihak Sekutu. Maka ditugaskanlah Mayor Daan Mogot (Wakil Direktur AMT) untuk memimpin operasi pelucutan tersebut. “Dipilihnya Daan Mogot karena dia secara pribadi kenal dengan Kapten Abbe…” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Jumat, 25 Januari 1946, pukul 14.000.Tiga truk bermuatan puluhan kadet (termasuk Achmad Sjawket) bergerak dari halaman gedung AMT. Ketiga truk itu diiringi dua jip berisi delapan pembelot India eks tentara Inggris , Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo Moekiman (Kantor Penghubung TKR), Letnan Satu Soebianto (Polisi Tentara Resimen IV) dan Letnan Satu Soetopo (Polisi Tentara Resimen IV). Kehadiran eks tentara Inggris yang dilengkapi seragam resmi mereka merupakan bagian dari tipu muslihat pihak TKR agar pihak Jepang percaya bahwa upaya pelucutan tersebut dilakukan sepengetahuan pihak Sekutu. Senja Berdarah Dua jam lamanya mereka menempuh perjalanan dari pusat kota Tangerang. Senja baru saja jatuh, kala mereka tiba di Lengkong. Setelah memarkir kendaraan-kendaraan di simpang empat, sekira 400 meter dari markas tentara Jepang yang dikelilingi pohon-pohon karet, mereka semua turun lantas memasuki halaman markas dengan berjalan kaki tanpa memberlakukan formasi tempur. Mayor Daan Mogot didamping seorang penerjemah, Mayor Wibowo dan seorang serdadu India langsung masuk ke markas. Di sana mereka terlibat dalam suatu perundingan yang alot dan sedikit panas dengan Kapten Abbe beserta jajarannya. Sementara para pimpinan berunding, para kadet dengan dipimpin oleh Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo, bergerak ke barak-barak para prajurit Jepang. Mereka melucuti sekaligus mengangkut senjata-senjata dan mengumpulkannya di tengah lapangan. “Ketika para kadet memasuki barak-barak, serdadu Jepang pada umumnya dijumpai sedang dalam keadaan santai: ada yang sedang tidur-tiduran atau bermain kartu…tidak ada perlawanan sama sekali,” ujar Bratawinata (salah seorang kadet AMT) seperti dikutip Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian 1) . Setelah terkumpul dua tumpuk senjata, seorang kadet kemudian diperintahkan untuk memanggil masuk truk. Baru saja truk bergerak ke arah halaman markas, dor! Tetiba terdengar suara tembakan dari arah markas, disusul teriakan komando dari seorang perwira Jepang. “Gegara tembakan inilah, segala sesuatunya menjadi berbalik tidak menguntungkan buat rombongan para kadet dan tentara India…” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia . Para prajurit Jepang sontak balik menyerbu. Mereka yang tadinya sudah pasrah seolah menemukan kembali kekuatannya dan bergerak secara beringas. Para kadet yang hanya bersenjatakan senapan kuno buatan Italia Mannlicher Carcano kaliber 38, tentunya menjadi tak berdaya. Alih-alih bisa mengimbangi, mereka yang sebagian besar masih awam soal penggunaan senjata menjadi bulan-bulanan para prajurit Jepang yang disebut-sebut baru saja pulang dari palagan Pasifik. Menurut salah seorang pelaku sejarah eks kadet Ateng Yogasara, begitu komando pertama diteriakan oleh perwira Jepang, tanpa banyak bicara, prajurit-prajurit Jepang itu secara terkoordinasi menyerbu balik seraya melepaskan tembakan-tembakan gencar. Akibatnya, para kadet banyak yang langsung terkena tembakan: bergelimpangan di lapangan dan sela-sela pohon karet. Senja itu, Lengkong menjadi berdarah. “Kami bertempur betul-betul tanpa komando dan bergerak sendiri-sendiri…” ujar Ateng seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam bukunya. (Bersambung)
- Republic Day Mengukir Persaudaraan India-Indonesia
UNTUK ke-68 kalinya India menggelar upacara peringatan Republic Day, Jumat (26/1/2018) lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu tamu kehormatan dalam perayaan yang dilangsungkan di Rajpath, New Delhi itu. Momen itu juga pertamakali India mengundang lebih dari satu kepala negara jadi tamu kehormatan (10 kepala negara ASEAN) lantaran bersamaan dengan ASEAN-India Commemorative Summit 2018. Sebelumnya, India hanya mengundang satu kepala negara sahabat di setiap perayaan Republic Day. Perayaan ini dihelat untuk memperingati berlakunya Konstitusi India, 26 Januari 1950, sebagai penanda lahirnya India yang berbentuk republik berdasarkan demokrasi sekaligus pelantikan Presiden India pertama Rajendra Prasad. Menjadi kehormatan besar buat Indonesia, pasalnya tamu kehormatan pertama yang diundang pada 1950 adalah Presiden Sukarno beserta Ibu Negara Fatmawati. Terlepas dari tautan kedua bangsa yang sudah terjalin berabad-abad lampau, India menjadi satu dari sedikit negara yang mengakui serta mendukung kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Dipenuhinya undangan Republic Day, 26 Januari 1950, menjadi bab baru dalam persaudaraan India-Indonesia. Sukarno menjadi saksi perubahan India menjadi republik sekaligus pelantikan Prasad sebagai presiden. Sukarno dan Fatmawati duduk di kursi kehormatan di Rashtrapati Bhavan, kala Gubernur-Jenderal India yang terakhir, Chakravarti Rajagopalachari, membacakan teks proklamasi Republik Demokratik India pada pukul 10.18 pagi. “Seluruh dunia menyadari dalamnya makna kemerdekaan India. Namun saya kira tiada negara lain di dunia ini yang menyadari makna itu dengan lebih mendalam selain Indonesia,” cetus Sukarno dalam pidatonya di perayaan itu sebagaimana dikutip dari dokumen Kementerian Luar Negeri India, India’s Foreign Relations: Volume 2 . Atmosfer keakraban itu terus dilestarikan Sukarno sepulangnya dari India. Dalam surat-menyuratnya dengan Nehru, Sukarno menyatakan rasa terimakasihnya atas persaudaraan yang sangat terasa, tidak hanya dengan pemerintah, namun juga dengan rakyat India selama kunjungannya di India. “…Saya bisa lebih meyakini bahwa tiada kepalsuan terkait hubungan persaudaraan antara negara kita karena saya dan Padma (Fatmawati) selalu bertemu saudara di mana pun kami pergi saat di India…Kami dan seluruh rakyat Indonesia menantikan kunjungan balasan Anda . Jai Hind , Soekarno,” demikian bunyi potongan surat Sukarno kepada Nehru tanggal 14 Februari 1950 yang termuat dalam biografi Nehru Civilizing a Savage World karya Nayantara Sahgal. Sukarno sengaja menambahkan kosa kata “ Jai Hind ” atau “Jayalah India” –menjadi seruan populer dalam gerakan kemerdekaan India– sebagai pengingat pidatonya dan pidato Nehru kala menggelar pertemuan di Delhi University. Pertemuan itu bagian dari rangkaian lawatan Sukarno di India untuk menghadiri Republic Day. Nehru membalas surat itu pada 28 Februari dengan turut membubuhi kata, “ Merdeka ”. “…Sudah lama saya memikirkan bahwa sepanjang sejarah di masa lalu, telah menyatukan bangsa kita. Arah sejarah yang membantu bangsa kita untuk saling mengenal dan berhubungan. Duta besar kami, Dr Subbarayan akan segera ke Indonesia dan semoga saya bisa menitipkan sepasang field glasses pertama buatan India. Saya juga akan mencoba mencarikan (mainan) kereta api listrik untuk anak-anak Anda. Saya akan coba minta mencarikannya kepada Perwakilan Tinggiu kami di London. Merdeka . Jawaharlal Nehru,” demikian bunyi potongan surat balasan Nehru. Pada Maret 1952, kedua negara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan saling mendirikan kedutaannya baik di Delhi maupun Jakarta. Empat tahun berselang, Nehru membalas kunjungan Sukarno dengan menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Indonesia kembali mendapat kehormatan dalam perayaan Republic Day 2011. Mengikuti jejak Sukarno, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi tamu kehormatan dalam perayaan itu. Dalam pidatonya, Presiden India Pratibha Patil turut mengungkit kenangan Sukarno sebagai tamu kehormatan pertama. “Pada 26 Januari 1950 di momen proklamasi Republik India, kami merasa terhormat dengan kehadiran Presiden pertama Anda, Dr Sukarno dan Nyonya Fatmawati, sebagai tamu negara kehormatan. Hari ini, kami merasa bahagia dan terhormat pula bisa mengundang Anda sebagai tamu kehormatan pada Perayaan Republic Day ke-62. Kehadiran Anda di sini menjadi simbol semangat solidaritas bersama…,” kata Patil dalam petikan pidato itu, dikutip dari pratibhapatil.nic.in . Kini, tujuh tahun berselang, Presiden Jokowi menjadi kepala negara Indonesia ketiga yang hadir sekaligus jadi tamu kehormatan perayaan itu. Sembilan kepala negara ASEAN lain yang juga jadi tamu kehormatan: Raja Brunei Darussalam, Sultan Hassanal Bolkiah; PM Kamboja, Hun Sen; PM Laos, Thonglun Sisoulith; PM Malaysia, Najib Razak, Kanselir Myanmar, Aung San Suu Kyi; PM Singapura, Lee Hsien Loong; PM Thailand, Prayuth Chan-ocha; PM Vietnam, Nguyen Xuan Phuc; serta Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
- Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur
Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro sudah mengenakan pakaian dinasnya meski hari masih cukup pagi. Dia memutuskan berpatroli menuju kediaman Brigjen D.I. Pandjaitan. Dengan berkendara panser Saracens, Kepala Biro Mabes TNI AD itu tiba. Turun dari panser, Herman marah bukan main menyaksikan keadaan. Darah berceceran di pelataran depan sementara Pandjaitan tak ada di tempat. Kepanikan melanda seisi rumah. Istri Pandjaitan, Mariekke yang trauma dan takut malah mengusir Herman. Sebagaimana dicatat dalam Kunang-kunang di Langit Kebenaran , pada subuh 1 Oktober 1965 itu, Herman sebetulnya sudah mendengar rentetan tembakan dari arah rumah Pandjaitan dan berusaha mencari asal tempat kejadian. Tetapi pasukannya kesulitan melacak karena hari masih gelap. “Herman sudah diinstuksikan oleh Pak Yani, kalau ada apa-apa, segera cari Soeharto,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Bersama Wakil Asisten II Menpangad, Brigjen Muskita, Herman menuju markas Kostrad menjumpai Mayjen Soeharto. Namun Muskita yang pangkatnya lebih tinggi enggan melapor pada Soeharto. Mereka sudah tiga bulan tak saling bicara karena berselisih. Jadilah Herman –perwira menengah yang tak begitu dikenal– menghadap Soeharto. Di Kostrad, Herman memberitakan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal teras AD. Dia juga melaporkan adanya keberadaan pasukan liar bersyal merah (Cakrabirawa, red .) di sekitar lapangan Monas. Menurut Herman sebagaimana dituturkan Rushdy Hoesein, Soeharto menerimanya dalam kondisi kalut dan tertekan meski raut wajahya tetap tenang. Tanpa banyak bicara, Soeharto memerintahkan Herman menemui Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, sembari menitip sepucuk surat. Begitu membaca surat Soeharto, air muka Sarwo Edhie langsung berubah murka. “Keadaan sangat gawat, pasukan supaya dikonsinyir. Dan lekas temui saya di Kostrad,” demikian pesan Soeharto. Herman yang sempat dilucuti anak buah Sarwo ketika mengantar surat dilepaskan kembali. Sarwo Edhie kemudian memimpin RPKAD menuju Monas yang menjadi cikal bakal penumpasan PKI. Sementara itu, atas perannya mengantarai Soeharto dan Sarwo, berbuah mujur. Perlahan namun pasti karier Herman moncer menuju jenjang perwira tinggi. Pejuang Nekat Herman Sarens Sudiro yang lahir di Pandeglang, Banten, 24 Mei 1930 sejatinya adalah tentara lapangan. Nama Sarens diturunkan dari ayahnya Raden Soediro Wirio Soehardjo yang sempat diadopsi anak oleh orang Belanda campuran Prancis. Jiwa militer menitis dari sang ayah, yang di masa revolusi menjabat Kepala Perlengkapan Batalion IV, Resimen XI, Divisi Siliwangi. “Bapaknya Herman ditembak mati sama Belanda waktu agresi militer pertama,” ujar Rushdy. Sejak usia belasan, Herman sudah angkat bedil tatkala menjadi anggota Corps Pelajar Siliwangi di Banjar. Dia ikut rombongan hijrah Siliwangi menuju Jawa Tengah pasca Perjanjian Renville. Namun sebelum sampai Solo, kereta pengangkut tebu yang ditumpanginya diberondong tembakan tentara Belanda di tengah jalan. Herman yang terpisah dari kesatuannya bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di Cirebon. Komandan MBKD, Kolonel Sukanda Bratamenggala mengangkatnya sebagai letnan, pangkat yang lumayan tinggi untuk ukuran tentara pelajar. Atas perintah Sukanda, Herman pernah memimpin sebuah operasi militer skala kecil. Tanpa ragu, Herman menerima order komandannya. Dalam manuskrip berjudul Siliwangi Diantara Dua Agresi Militer Belanda, Herman mengurai penyerangan yang ditujukan terhadap basis tentara Belanda di Subang. Operasi penyerangan itu terbilang nekat karena dilakukan di sore hari dengan keyakinan pengawalan akan longgar. Benar saja. Ketika sedang lengah usai bermain bola, sekumpulan tentara Belanda digulung dengan bantuan rakyat setempat. Di alun-alun, puluhan tentara Belanda tergeletak. Senjata-senjata dijarah. Sebelum dipukul balik, pasukan Herman langsung mundur. Keesokan harinya, rumah-rumah di Subang dibakar tentara Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan, Mayor Herman Sarens menjadi komandan salah satu batalion Siliwangi. Batalion pimpinannya turut menumpas gerombolan Darul Islam membantu Batalion Kujang pimpinan Mayor Himawan Sutanto. Meski bukan sebagai ujung tombak, pasukan Herman berperan dalam pengamanan rakyat. “Tapi kata Himawan, Herman berlagak seperti yang membunuh para gerilyawan DI/TII itu: sama dia (Herman) mayat-mayat dijejerin, dikasih liat ke rakyat, sementara dia mengawasi dari panser,” tutur Rushdy yang sempat akrab dengan kedua perwira Siliwangi tersebut. Herman Sarens Sudiro di samping Jenderal TNI Sumitro saat Peristiwa Malari 1974. (Youtube). Di Antara Para Jenderal Karena punya pengalaman para dan tempur, Herman ditarik dari Bandung ke Jakarta. Dia melatih para penerjun dalam operasi penyusupan ke Irian Barat dan persiapan Dwikora. Dalam rangka konfrontasi, operasi militer berada di bawah Komando Operasi Tertinggi (KOTI) pimpinan Letjen TNI Ahmad Yani. Herman yang sudah berpangkat letnan kolonel, menjabat sebagai wakil kepala staf G7 yang mengurusi bidang logistik. “Waktu itu kita sudah memiliki Hercules, dia belajar bagaimana menerjunkan pasukan bukan hanya barang-barang,” kata Rushdy. “Ada kabar kalau Herman sempat jadi ajudan Yani. Jadi dia cukup dekat dengan Yani.” Berada di lingkaran pucuk pimpinan, Herman mengetahui bagaimana relasi di antara para jenderal-jenderal petinggi. Kepada Eros Djarot , Herman menurutkan bila Mayjen Mursjid tak sejalan dengan Ahmad Yani. Padahal Mursjid adalah Deputi I bidang operasi. Panglima AU Omar Dani pun demikian, tak sejalan dengan Yani. “Pada masa Soeharto, situasinya berbeda sekali. Siapa yang tidak setuju pada Pak Harto, akan disingkirkan,” kata Hermans Sarens kepada Eros Djarot dalam Prabowo sang Kontroversi . Hal yang sama pun terjadi pada Herman. Dia termasuk orang dekat Soeharto yang mulai naik tampuk kekuasaan sebagai presiden. Bintang satu melekat di pundak Herman saat menjabat Komandan Korps Markas Hankam pada 1970. Namun hubungan itu mulai surut karena Herman berkarib dengan Jenderal Sumitro. Memasuki dekade 1970-an, Sumitro yang menjabat Pangkopkamtib dikenal vokal dan mulai menyaingi ketokohan Soeharto. “Herman salah pilih teman. Herman dekat sama Pak Mitro pas Peristiwa Malari. Akibatnya, Pak Mitro pensiun, mengundurkan diri, dan berhenti,” kata Rushdy Hoesein. Tak lama pasca Malari, Herman pun menjadi salah satu dari sekian jenderal Orde Baru yang “didubeskan”. Itupun tak tanggung-tanggung. Herman dikirim jauh-jauh ke Afrika, sebagai duta besar Indonesia untuk Madagaskar.
- Bukan Churchill Biasa
DENGAN tongkat di tangan, seorang kakek tua berjalan sendiri menyusuri pantai. Raut wajahnya muram, seolah menanggung beban berat. Matanya menerawang dan tampak gelisah. Riak air laut datang. Winston Churchill (diperankan Brian Cox), perdana menteri Inggris, terpaku. Air laut itu berwarna merah. Dia membungkuk, nyaris terjatuh, untuk memastikan bahwa dia tak salah lihat. Topinya melayang dan jatuh ke air. Istrinya, Clementine (Miranda Richardson), menghampiri dan mengajaknya pulang. Tapi Churchill masih terpaku. Dia teringat masa beberapa dekade silam tatkala memimpin pasukan gabungan Inggris-Prancis dalam operasi amfibi di Galipoli, Turki, selama Perang Dunia I. Pikirannya kian kacau. Bersamaan dengan itu, scene berubah menjadi hitam-putih. Churchill pun melangkah pulang, melewati jasad-jasad tentara tak bernyawa yang berserakan. Scene gabungan ingatan masa lalu dan masa baru menutup bagian pembuka film. Kegusaran Adegan berganti. Kertas berserakan di ruang kerja Churchill, yang masih terlelap dalam tidurnya. Hari itu Perang Dunia II memasuki hari ke-1736. Para pemimpin negara Sekutu sepakat untuk membebaskan Prancis dengan jalan operasi amfibi berskala besar. Hal itulah yang menjadi beban pikiran Churchill. Churchill tak setuju opsi itu. Pengalamannya dalam operasi serupa di Galipoli selama Perang Dunia I, di mana Inggris dan sekutunya kehilangan banyak prajurit, memikirkan cara lain. Bahkan Churchill berdebat sengit dalam pertemuan dengan tiga jenderal Sekutu yang menjadi otak operasi bersandi Overlord. “Kita mesti hentikan operasi ini sebelum rencana operasi ini menjadi tragedi,” kata Churchill. Jenderal-jenderal itu menolak usulan itu. Mereka akan tetap menjalan operasi. Sejurus kemudian Raja Inggris George VI (James Purefoy) tiba dan mengakhiri perdebatan. Perdebatan demi perdebatan setelah itu menjadi scene utama film ini. Di kantor Ike, sapaan akrab untuk jenderal AS Eisenhower (John Slattery), Churchill kembali mencak-mencak begitu mendengar kabar operasi tinggal menunggu waktu. “Operasi Overlord bukan satu-satunya jalan,” kata Churchill, “Aku tak ingin membuat kesalahan yang sama. Menginvasi Prancis adalah permainan mematikan, dan harus dihentikan!” “Ini tugas mereka, bukan Anda,” sahut Ike. Sebagai militer, Ike hanya ingin menjalankan tugas. “Pasukan tak bertugas membuat perencanaan (politik). Kau hanya butuh kami menjalankan tugas.” Churchill makin gusar. Emosinya tak terkendali. Dia akhirnya menemui Raja George VI. Lagi-lagi, dia kecewa. Raja memutuskan operasi tetap berjalan. “Tugas saya bukan bertempur, bukan untuk mati. Saya harus tetap ada. Itu tugas saya,” kata sang raja. Churchill pun pasrah. Meski Ike menunda operasi sehari dari yang direncanakan, pendaratan Normandy tetap berjalan. Dengan berat hati, Churchill melakukan pidato radio yang didengarkan orang-orang di penjuru negeri. “Ini adalah perang untuk kemerdekaan. Kita tak pernah berpikir menyerah, saya pun tak pernah berpikir menyerah,” katanya. Asal Beda Ibarat singa, Churchill seorang yang cerdas, pemberani, dan punya hati. Tapi, sutradara Teplitzky justru tak hendak menghadirkan Churchill sesuai citra umum itu dalam karya biopiknya. Berkolaborasi dengan sejarawan Alex von Tunzelmann sebagai penulis naskah, Teplitzky justru menghadirkan Churchill sebagai seorang kakek berusia 70 tahun yang tak kuasa mengendalikan diri, yang terus dihantui kegagalan operasi amfibi di Galipoli. Churchill tak lebih dari seorang singa tua yang tak berdaya. Hanya bisa mengaum tanpa ada yang mempedulikan. Dia hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Posisi marjinal itulah yang ingin dihadirkan Teplitzky. Sang sutradara membumbui film ini dengan berderet konflik, baik konflik batin Churchill maupun dia dengan orang lain. Kalimat-kalimat dari deretan konflik itu, yang disusun secara serius, menjadi kekuatan utama film ini. Periodisasi singkat, hanya tiga hari sebelum D-Day berjalan, yang dipilih sutradara berandil besar mengoptimalkan drama. Meski tak variatif, adegan-adegan konflik tak bertele-tele. Peran apik Cox dan Miranda amat penting. Adegan-adegan juga menjadi lebih hidup dengan musicscoring apik dan pas di tiap scene . Namun, dominasi peran Churchill membuat Teplitzky terpeleset. Figur-figur lain tak lebih dari sekadar pemanis. Celakanya lagi, figur dominan di film ini hanyalah singa tua gundah yang disibukkan oleh perasaannya sendiri; sisi kebesaran Churchill hampir dibuang seluruhnya. Kebesaran Churchill dengan segala sepakterjangnya sebelum itu mendadak tak berarti dalam film ini. Selain topi dan cerutu, yang memang menjadi ciri khas Churchill, di film ini dia hanya tampak sebagai sosok murung, tempramental, dan sentimentilnya saja. Hanya bagian penutup saja yang agak baik, sedikit menolong film ini dari hina. Banyak kritikus film kecewa dan menilai miring film ini. Celakanya, keputusan untuk menampilkan sisi lain Churchill juga menabrak fakta. Dalam film, hingga Hari-H operasi amfibi, Churchill tak pernah tulus memberikan dukungan. Faktanya, Churchill memegang komitmen yang sudah diputuskan beberapa pemimpin negara Sekutu, termasuk dirinya. Operasi itu sendiri sudah dibicarakannya dengan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rosevelt sejak akhir 1942. Fakta bahwa dalam perjalanan waktu hampir dua tahun itu Churchill mendapat banyak masukan dan pengetahuan baru mengenai dunia militer sehingga mengoreksi pendiriannya sama sekali tak menjadi pertimbangan penulis naskah dan sutradara. Alhasil, Churchill di film ini hanyalah pecundang yang terpaksa menerima permintaan pidato radio saat operasi berjalan.
- Gambar Tikus di Miras Manado
AGAKNYA di antara sekian banyak kota besar Indonesia, adalah Manado yang paling kentara mewarisi kebudayaan Prancis dari masa Bataafsche Republiek, manakala istana raja di Amsterdam disinggasanai Louis Napoleon sebelum Napoleon Bonaparte dikalahkan Inggris dalam perang di Waterloo 1815 yang menyebabkan sang kaisar kehilangan tentaranya sekitar 25.000 orang. Kata-kata bahasa Prancis yang diserap bahasa Manado sejak masa itu misalnya saguer dari saguouier adalah nama minuman dari nira; fastiu dari fastidieux maknanya ‘membosankan’; capeo dari chapeau artinya ‘topi’; fasung dari façon maknanya ‘cara santun’: popoji dari poche artinya ‘saku’; jelus dari jaloux artinya ‘iri’, dll., dan tidak lupa katrili dari quadrille nama tarian rakyat. Sekarang katrili termasuk kesenian tradisional yang dilestarikan oleh pemerintah setempat melalui festival-festival. Pada umumnya orang di Manado dan Minahasa mengira bahwa katrili berasal dari budaya Portugis atau Spanyol, dua bangsa Barat yang telah lebih dulu mukim di Manado, Kema, Amurang sejak abad ke-16 dan kawin-mawin di sana lantas menurunkan anak-anak yang kemudian disebut borgo . Padahal sebenarnya katrili berasal dari tarian Prancis, masuk ke Manado pada awal abad ke-19, dibawa oleh tentara Prancis dalam pemerintahan Koninkrijk Holland lanjutan dari Bataafsche Republiek yang direkayasa oleh Prancis. Mulanya diceritakan bahwa tentara Prancis berjumlah 6000 orang menjadi tawanan Inggris setelah terjadi perang sengit pada Agustus 1811 di sekitar Salemba Matraman Jatinegara. Sebelumnya, salah seorang bawahan Daendels berdarah Spanyol yang diberi gelar comte di Paris diceritakan sebagai orang kuat yang hadir dalam pembuatan jalan pos Anyar-Panarukan. Panggilannya Don Lopez comte du Paris. Orang di Jawa melafalnya Ho Lopis kuntul Baris . Setelah Prancis dikalahkan Inggris ia pindah ke Manado, kawin dengan pribumi Minahasa, dan tewas di Amurang ketika tsunami melanda kota itu pertengahan abad ke-19. Dalam cerita tutur dikisahkan bahwa tsunami dahsyat itu baru reda setelah seorang zending bernama Graafland –dikenal sebagai penulis buku De Minahasa, Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand – berdoa di atas benteng peninggalan Portugis. Cerita ini masih dituturkan sampai 1940-an oleh orang-orang tua Minahasa di desa-desa sekitar atas Amurang antara Malenos, Ritey, Maliku. Nama Don Lopez yang comte itu sendiri dianggap sebagai salah seorang pewaris budaya Prancis yang memperkenalkan pribumi Minahasa memainkan katrili. Katrili asli adalah tarian untuk dua atau empat orang, terdiri dari lima bagian masing-masing (1) Le Pantalon mat 6/8, (2) L’Éte mat 2/4, (3) La Poule mat 6/8, (4) La Trenise mat 2/4, dan (5) La Pastourelle mat 2/4. Ujungnya dimainkan komposisi Finale . Dan, setelah itu diserukan kata-kata “Éternel, sauve le roi!” artinya “Tuhan jayakanlah raja!” Adalah komunitas Indo-Indo yang disebut borgo itu yang merasa paling memiliki tarian ini. Borgo sendiri sejak 1758 dimanfaatkan Belanda untuk menjaga pantai-pantai sekitar Manado, Tanawangko, Amurang dari pelanunan bajaklaut Pilipina. Setelah berjalan dua abad, maka pada 1925 di bawah kebijakan Residen Manado, H.J. Schmidt selaku RMWO 3de kl Eeresabel ex Officer NOIL diberi status kewarganegaraan khusus. Di banyak pesta para borgo biasa bersulang untuk menenggak miras sembari haha-hihi. Ketika miras dari Eropa sulit didapat, maka pribumi di Minahasa pun menyuling saguer menjadi anggur-putih. Sementara karena di botol anggur-putih yang asli ada gambar tikus, bahasa Prancisnya souris , maka orang kampung yang waktu itu belum bisa membaca dan menulis lantas menyimpulkan bahwa minuman yang bergambar tikus itu niscaya berkadar tinggi alkohol. Sampai sekarang orang di Minahasa menyebut anggur-putih adalah ‘Cap Tikus’. Dalam catatan Manado, ketika Pangeran Diponegoro ditahan di Fort Amsterdam, benteng peninggalan Portugis –sekarang tidak ada diratakan tanah oleh Jepang pada PD II– maka sang Pangeran yang mengharamkan miras dan bahkan pernah menyiram miras ke muka residen Yogyakarta, Smissaert, tapi dalam keadaan frustrasi di Manado ia menjadi akrab dengan anggur-putih. Residen Manado, Pietermaat, adalah biangkerok yang menjerumuskannya. Pietermaat sendiri dalam sumber Manado digambarkan sebagai seorang vrijdenker yang sangat memuja Descartes karena pandangannya “cogito ergo sum” tercerabut dari pola-pola ilmu pasti. Walaupun begitu, tak urung upaya syiar yang dilaksanakan oleh zending Jerman, yaitu Schwarz di Langoan dan Riedel di Tondano, dengan patron teologi Pietisme, toh berhasil menggiring pribumi Minahasa ke keyakinan baru berpengharapan dari pegangan biblikal bahasa Prancis “Je suis le chemis, le verite, et la vie,” maknanya “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” Maka, bisa dimengerti, mengapa orang di Minahasa yang menyadari kalimat itu berasal dari Injil, gandrung memajang gambar Yesus di dinding rumahnya –yaitu Yesus historis dalam diskursif kristologi sebagai pribadi insani sekaligus pribadi ilahi– selaras dengan kredo yang dihafal umat pada setiap hari Ahad. Sekarang justru di Tondano sebagai tengah-tengahnya bumi Minahasa yang mayoritas Kristen, hidup dengan damai masyarakat Jaton, singkatan Jawa-Tondano yang seluruhnya muslim. Orang Jaton merupakan keturunan dari Kyai Mojo dan Diponegoro. Dalam Babad Menado diceritakan bahwa Ratnaningsih istri Diponegoro melahirkan putranya di Benteng Fort Amsterdam Manado, dan putranya itu diberi nama Menadurahman. Ketika sang pangeran dipindahkan ke Makassar, putranya itu dititipkan pada Kyai Mojo, kuatir kalau-kalau Menadurahman dibunuh Belanda. Maka ketika Diponegoro wafat di Benteng Fort Rotterdam Makassar pada 5 Agustus 1855, laki-laki berumur 25 tahun yang disebut-sebut sebagai putranya itu bukanlah Menadurahman. Dari catatan Manado juga, diceritakan bahwa zending Riedel berdialog dengan Kyai Mojo, dan di situ Sang Kyai menceritakan tentang wawasan Islam damai yang dicetuskan Sunan Kalijaga lewat piranti wayang. Bahwa peran Gareng dalam Punakawan, berasal dari bahasa Arab nala qarin artinya mencari teman mengiaskan Islam sebagai agama yang menggalang persaudaraan nan guyub. Berkaitan dengan itu, kalau ingin melihat jiwa persaudaraan dalam kerukunan bhinneka tunggal ika yang tulen, datanglah ke Tondano. Hebatnya, di Tondano pula ada sinagog, tempat sembahyang bani Yahudi. Kota ini sejuk: sejuk lahir sejuk batin. Di kasad sejuk lahir, ada pemandangan yang heboh. Bahwa dalam rangka menghangatkan tubuh di udara yang sejuk sebagian orang memilih habitual tercela bagate . Arti harafiah bagate adalah ‘mengait’ atau ‘mencantel’. Tapi arti kiasnya adalah ‘menenggak cap tikus’. Untuk itu sudah ada seruan dari pihak gereja agar berhenti bagate . Tapi malah ada mop juga yang mengisahkan tentang umat yang datang ke rumah pendeta hendak memberi salam natal sambil bertanya “Di mana Pak Pendeta?” Dan jawab istrinya, “Cari jo di got.” Maksudnya sang pendeta pun mabuk ‘cap tikus’ lantas tumbang terkulai dan tertidur di got. Orang yang lewat di situ menegur sang pendeta, “Jangan tidur di got.” Dan dalam keadaan masih mabuk sang pendeta menjawab, “Ngana pe got so?”
- Public Enemy Bernama Scheele
SEISI Istora Senayan kian riuh. Sorakan muncul dari berbagai sudut tribun penonton. Selain merupakan dukungan untuk pasangan ganda putra Muljadi/Agus Susanto, gemuruh yel-yel penonton juga berfungsi untuk mengintimidasi ganda lawan asal Malaysia, Tan Yee Khan/Ng Boon Hee. Mulyadi/Agus baru saja memenangkan set kedua 18-13 partai kedelapan final Thomas Cup 1967 yang dihelat pada 10 Juni itu. Di set pertama, pasangan Indonesia itu kalah 2-15. Istora menjadi saksi bisu kian panasnya situasi jelang set ketiga. Saat itu, Thomas Cup masih menggunakan sistem interzone dan challenge round . Sebagai juara bertahan, Indonesia cukup menunggu lawan di partai final challenge round . Lawan itu ternyata diisi Malaysia, yang belum lama rujuk dengan Indonesia akibat Konfrontasi. Meski tertinggal 1-3 di hari pertama, 9 Juni, Indonesia menyusul 3-4 di hari kedua via kemenangan di dua nomor tunggal putra oleh pemain muda Rudy Hartono dan Muljadi. Muljadi kembali turun di nomor ganda putra berpasangan dengan Agus. Gemuruh sorakan 12 ribu penonton tuan rumah jelang set ketiga pertandingan Muljadi/Agus membuat Herbert Scheele (sekretaris kehormatan merangkap honorary referee IBF) turun dari tribun kehormatan. Tanpa menghiraukan wasit Tom Bacher asal Denmark yang memimpin pertandingan, Scheele menghentikan pertandingan itu. “Ia merasa terganggu dengan ulah penonton Istora Senayan dalam memberikan dukungan kepada tim Indonesia,” ungkap Suharso Suhandinata dalam biografinya, Diplomat Bulutangkis: Peranannya dalam Mempersatukan Bulutangkis Dunia Menuju Olimpiade. Scheele, yang menginginkan pertandingan bulutangkis bisa setenang pertandingan tenis, risih terhadap psywar penonton Istora yang mengintimidasi pemain Malaysia. Ketidaknyamanan juga dirasakan para pemain Malaysia. “Fokus kami terganggu oleh 12 ribu kericuhan penonton,” kenang Tan Yee Khan di media Malaysia, The Star , 25 September 2010. “Kami ketakutan. Para penonton berdiri di kursi tribun dan berteriak-teriak. Saya juga melihat beberapa tentara (aparat keamanan) mengentak-entakkan popor senapan mereka,” timpal Yew Cheng Hoe, tunggal putra Malaysia yang juga tampil di final. Maka, sambil bertolak pinggang dan melambaikan satu tangan Scheele kemudian memanggil Padmo Sumasto, pimpinan panitia- cum- ketua PBSI. Gesture Scheele tak pelak menjadikannya sasaran amarah penonton. Scheele lantas mengumpulkan perwakilan pemain dan manajer tim masing-masing. Rundingan itu menghasilkan keputusan, sisa pertandingan dimainkan keesokan paginya dengan syarat tanpa penonton. Tim Indonesia menolak. Deadlock itu lalu dibawa ke markas IBF di London. Keputusan Scheele itu “resmi” menjadikannya public enemy (musuh publik) nomor satu masyarakat bulutangkis Indonesia. Kemarahan publik Indonesia terhadapnya bertambah ketika dalam sebuah kunjungan ke Wellington tak lama setelah itu Scheele melontarkan komentar terhadap Indonesia. “HAE Scheele mengatakan, pertandingan-pertandingan Thomas Cup ataupun Uber Cup tidak boleh lagi dimainkan di Indonesia. Dia menghentikan pertandingan Challenge Round (final) karena penonton Indonesia mengancam akan membunuh pemain-pemain Malaysia,” tulis Kompas, 14 Juni 1967. Sementara, sidang IBF di London pada 4 Juli 1967 memutuskan, lanjutan set ketiga partai kedelapan final Thomas Cup mesti digelar di tempat netral. “Orang-orang Eropa tidak familiar dengan atmosfer (penonton) di sini. Itu alasannya kenapa mereka bereaksi seperti itu,” kenang Rudy Hartono, dikutip Bernd-Volker Brahms dalam Badminton Handbook: Training, Tactics, Competition . Selandia Baru lalu terpilih menjadi tuan rumah pertandingan yang dihelat pada Oktober 1967 itu. “Tapi Indonesia tidak muncul. Skor menjadi 6-3 untuk kemenangan Malaysia,” ungkap Ferry Sonneville dalam biografinya Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Wisnu Subagyo. IBF menyatakan, skor itu merujuk pada kemenangan walk out (WO) untuk Malaysia atas Indonesia. Alhasil, Malaysia berhasil mengembalikan dominasi Thomas Cup-nya sejak 1949 sebelum direbut Indonesia, dan Indonesia gagal mempertahankan dominasi Thomas Cup yang selalu direbutnya sejak 1958. Kerugian besar itu menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai ikut berkomentar. “Kita harapkan Malaysia mempunyai sportivitas. Kalau Malaysia menerimanya (trofi Thomas Cup), berarti mereka tidak sportif. Sebab pertandingan belum selesai dan kita telah memperlihatkan kebesaran jiwa kita,” katanya dikutip Kompas , 20 Juli 1967. Toh, Malaysia dengan bangga membawa pulang Thomas Cup. Itu merupakan gelar keempatnya setelah Thomas Cup 1949, 1952, dan 1955. Siapa Herbert Scheele? Sebelum adanya “Insiden Scheele”, publik Indonesia jarang ada yang tahu siapa Scheele dan bagaimana dia bisa sampai dihormati dalam dunia bulutangkis. Menurut Brahms, Scheele dihormati publik bulutangkis dunia lantaran kiprahnya dalam memajukan olahraga itu. Lahir di Bromley, Kent, Inggris pada 1905, pria bernama lengkap Herbert August Edward (HAE) Scheele itu justru lebih dulu karib dengan tenis, kriket, dan hoki. Baru pada usia 22 tahun Scheele memutuskan main bulutangkis dengan mengikuti berbagai event lokal hingga usia 43 tahun. Scheele kemudian masuk ke jajaran pengurus bulutangkis Inggris. Kariernya terus menanjak hingga pada 1938 terpilih menjadi wakil sekretaris IBF (sejak 2006 berubah nama menjadi BWF/Federasi Bulutangkis Dunia). Usai Perang Dunia II, dia bersama koleganya membangun kembali IBF, bahkan seorang diri menyusun buku pedoman IBF setebal 400 halaman. Jabatannya naik menjadi sekretaris IBF. Di tengah usia yang terus menua, sebagai sekretaris kehormatan dan honorary referee Scheele kerap bertindak tegas, lugas, dan saklek terhadap aturan-aturan bulutangkis dunia berdasarkan pedoman IBF yang disusunnya. “Ensiklopedia Berjalan”, “Mr. Badminton” dan beragam julukan lain pun melekat pada pria yang pernah menerima gelar Order of the British Empire (OBE) dari Kerajaan Inggris itu. Reputasi Scheele perlahan mendapat penghormatan dari banyak pihak. “Seorang mantan pebulutangkis ternama pernah mengatakan tentang sosoknya: Di usia keemasan (sebagai pemain), kami bisa sangat tidak menghormatinya. Namun, sekarang saya sadar betapa besar kami berutang padanya. Dia Bapak Bulutangkis, tidak hanya untuk Inggris, tapi juga dunia,” kutip Richard Eaton dalam International Badminton: The First 75 Years. Publik Indonesia sendiri akhirnya bisa memaafkan Scheele. Terlebih, para petinggi bulutangkis tanah air. Salah satu petinggi PBSI, Suharso Suhandinata, bahkan turun tangan menyelamatkan Scheele keluar dari Istora pasca keputusannya menghentikan final Thomas Cup 1967. Keesokan harinya, Suharso ikut mengantar Scheele sampai hotel dan Bandara Kemayoran. Pada 1979, Scheele dan istrinya, Betty, mengunjungi Indonesia. Betty yang tahu kisah suaminya dalam Thomas Cup 1967, terkesan karena tak ada lagi sorakan penghinaan dari penonton Istora. “Publik (Indonesia) nampaknya sudah memaafkanmu,” celetuk Betty yang duduk di sebelah Scheele di meja honorary referee sebagaimana dimuat dalam biografi Suharso. Scheele baru pensiun dari IBF pada 1 Juli 1976, bertepatan dengan perhelatan Thomas Cup ke-10 di Bangkok, Thailand. Namun, hidup Scheele tetap tak jauh dari bulutangkis di mana dia kemudian menjabat penasihat wakil presiden IBF. Lima tahun berselang, 29 Maret 1981, Scheele mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Kent, Inggris karena kanker paru-paru. Namanya diabadikan dalam Hall of Fame BWF dan trofi. “Herbert Scheele Trophy mengabadikan namanya oleh BWF yang diberikan untuk figur-figur yang berjasa besar sejak 1986. Rudy Hartono (1986) dan Susi Susanti (2002) termasuk di antara para penerimanya,” tulis Brahms.
- Dreamsea, Pusat Data Naskah Kuno Se-Asia Tenggara
MENGANTISIPASI kondisi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang minim perhatian, Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah (Syahid) meluncurkan program bertajuk Dreamsea pada Rabu (24/2/17) siang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Program itu didanai lembaga amal Arcadia. Dreamsea merupakan program digitalisasi naskah-naskah kuno se-Asia Tenggara yang digagas pada Desember 2017. Proses digitalisasi akan berjalan mulai Juni 2018 hingga 2022. Selama enam bulan pertama sejak Desember 2017, tim Dreamsea mempersiapkan protokol pendigitalan naskah kuno. “Target secara keseluruhan 240 ribu gambar karena kalau menyebut manuskrip, satu manuskrip bisa jadi 50 halaman, jadi ini gambar. Cara pengumpulan lewat Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara, untuk di Indonesia khususnya. Kemudian, di Asia Tenggara kita menggunakan jaringan asosiasi-asosiasi sejarah. Di Filipina, misalnya, Philippine Historical Association,” kata Prof. Dr. Oman Fathurahman, salah satu penggagas Dreamsea dari PPIM UIN Syahid, kepada Historia . Dalam proses pengumpulan naskah, Dreamsea akan menghimpun informasi keberadaan naskah dari Jaringan Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang ada di tiap provinsi. Masyarakat umum juga bisa ikut berpartisipasi dengan memberitahu tim Dreamsea melalui media sosial sehingga informasi yang dihimpun dari masyarakat akan dikembalikan ke masyarakat dengan model akses terbuka. Siapa pun bisa mengakses pusat data Dreamsea untuk kepentingan penelitian. “ Openaccess tapi hanya untuk tujuan penelitian. Kalau misal sudah openaccess tapi digunakan untuk komersil jadi buku, ilustrasi lalu dijual, misalnya, itu ada hukumnya tersendiri. Itu perlindungan kami terhadap pemilik naskah,” kata Oman. Setiap laporan kebaradaan naskah kuno yang masuk, akan diseleksi tim Dreamsea dengan kriteria: naskah tersebut belum didigitalisasi lembaga pemerintah, milik masyarakat, beurumur cukup tua, paling baru usia naskah adalah 50 tahun mengikuti kriteria UU Cagar Budaya, memiliki nilai historis yang signifikan, dan kondisi naskah rentan rusak. “Kerentanan yang kami maksud itu, baik rentan karena alam atau karena ancaman sosial-politik,” kata Oman, yang saat di panggung sempat bercerita tentang fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk menghancurkan manuskrip yang dianggap menyimpang. Tim yang akan diberangkatkan untuk mendigitalisasi naskah kuno dibagi menjadi tim daratan dan kepulauan. Pembagian ini, kata Oman, selain memudahkan koordinasi juga untuk kepentingan penanganan naskah. “Karakter manuskrip yang ada di daratan itu berbeda dari yang ada di kepulauan.” Hasil dari pengumpulan dan digitalisasi naskah ini berupa pusat data naskah kuno se-Asia Tenggara dengan wujud gambar-gambar digital. Naskah-naskah kuno tersebut selanjutnya akan ditransliterasi oleh ahli aksara. “ Database ini akan jadi yang pertama mengumpulkan manuskrip di Asia Tenggara dalam bentuk digital. Dari berbagai bahasa, aksara, tradisi, akan menjadi onesearchdatabase .” Upaya Penyelamatan Catatan Sejarah Menurut Profesor Jan van der Putten dari CSMS, naskah kuno merupakan pusaka budaya yang sangat berarti dan dimaknai oleh komunitas pendukungnya. “Kalau kita membuat pendigitalan naskah, kita tidak hanya alih media tapi juga alih fungsi,” katanya. Pasalnya, yang didigitalkan adalah konten naskah sementara naskah asli tetap dipegang masyarakat pemilik. Jadi, makna sakral naskah beralih fungsi ketika dialihmediakan menjadi bahan digital yang berikutnya menjadi sumber penelitian. Putten menggarisbawahi pentingnya pendigitalan naskah kuno. Menurutnya, keberadaan naskah kuno menjadi sumber identitas suatu kebudayaan dan bila naskah itu hancur atau musnah maka musnah pula sebuah sumber identitas budaya. “Pra-nasional hubungan antarsuku lebih bebas. Dan salah satu harapan dari Dreamsea itu memperlihatkan hubungan internasional Indonesia- Filipina, misalnya.” Dengan mengukuhkan naskah-naskah ke bentuk digital dalam satu pusat data, hubungan antarsuku bisa lebih mudah diteliti. Pentingnya pendigitalan naskah juga diamini oleh Oman dan Suharja dari Ditjen Sejarah Kementrian Pendidikan. Menurut Suharja, pendigitalan naskah sangat penting terlebih tahun 2017 pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang melindungi objek kebudayaan, salah satunya naskah kuno. “Masih ada banyak naskah kuno di daerah. Direktorat Sejarah juga melakukan pengumpulan sumber-sumber Kerajaan Siak di Riau. Hal ini dilakukan supaya penulisan sejarah lokal dengan memanfaatkan manuskrip di daerah lebih berkembang,” kata Suharja. Upaya pendigitalan naskah kuno dan penelitian sejarah guna menggali eksistensi nenek moyang itu juga mendapat dukungan dari Muh. Syarif Bando, Kepala PNRI. Dirinya mendorong para peneliti untuk menggunakan arsip-arsip dan naskah kuno yang telah dihimpun berbagai lembaga perpustakaan sebagai bahan penelitian. “Naskah atau manuskrip tidak cukup berguna kalau hanya dihimpun lalu disimpan lagi, tapi (baru akan berguna) juga (bila) digunakan untuk meneliti eksistensi nenek moyang di masa lampau,” kata Syarif. Naskah kuno tak semata berguna sebagai bahan riset, kata Trinirmalaningrum dari Perkumpulan Skala, tapi juga referensi penting yang relevan dengan kehidupan masa kini. “Kami membaca naskah kuno. Kalau bicara bencana, kami bicara masa lalu,” kata Rini, panggilan Trinirmalaningrum. Dalam Naskah Bo Sangaji Kai , kata Rini, disebutkan bahwa Gunung Rinjani adalah anak Gunung Salamas. Naskah itu juga menyebutkan adanya bantuan orang-orang Arab dan Tionghoa ketika penduduk Nusa Tenggara menghadapi bencana besar. “Saya berharap naskah kuno dipromosikan secara masif untuk kesadaran bencana.”
- Sepuluh Gempa Dahsyat di Indonesia Sepanjang Abad 20
GEMPA berkekuatan 6,1 Skala Richter (SR) mengguncang Kabupaten Lebak, Banten, pada 23 Januari 2018. Pusatnya di 81 kilometer barat daya, kedalaman 10 kilometer, dan tidak berpotensi tsunami. Getarannya sampai ke Jakarta dan sekitarnya. Indonesia termasuk negara yang rawan gempa karena terletak di tengah-tengah Cincin Api Pasfik, di antara tiga pertemuan Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Tak heran sering terjadi guncangan ketika ada aktivitas subduksi di antara tiga lempeng itu yang tepatnya berada di sekitar Sumatera, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Indonesia Timur. Untuk kurun waktu sepanjang abad 20 (1900-2000) setidaknya sepuluh kali gempa dahsyat berkekuatan di atas 7,8 SR di sekujur wilayah Indonesia. Gempa Pulau-Pulau Batu Nias, 28 Desember 1935 Gempa tektonik pertama yang tercatat di Sumatera pada abad 20 terjadi di Pulau-Pulau Batu yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Guncangannya mencapai 7,7 SR dan memicu tsunami kecil. Menurut National Geophysical Data Center(NGDC) gempa ini juga merusak jaringan telepon dan rumah-rumah sampai ke Kepulauan Tanahbala, Sigata, Sibolga dan Kota Padang. Korbannya hanya dua orang luka-luka karena tertimpa reruntuhan rumah. Gempa Laut Banda, 1 Februari 1938 United States Geological Survey (USGS) atau Badan Survei Geologi Amerika Serikat mencatat gempa berkekuatan 8,4 SR berada di kedalaman 35 kilometer di Laut Banda. Tsunami kecil menerjang Pulau Banda dan Pulau Kai. Getarannya terasa sampai Kepulauan Aru, Kepulauan Tanimbar, Jakarta dan Darwin, Australia. Tak ada laporan korban meninggal atau luka-luka. Gempa Cilacap, 23 Juli 1943 Gempa berkekuatan 8,1 SR melanda pesisir selatan Pulau Jawa dari Cilacap, Garut, Yogyakarta sampai Solo. Dalam Bencana Alam dan Bencana Anthropogene, Sukandarrumidi mencatat 213 korban tewas, 2.096 terluka, dan 2.800 bangunan roboh di berbagai wilayah tersebut. Gempa Laut Seram, 24 Januari 1965 Gempa berkekuatan 8,2 SR yang terjadi sekira pukul 00.11 dini mengguncang Kepulauan Sanana, Maluku Utara. Gempa ini akibat subduksi Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik di Laut Seram. Data USGS menyebut 71 orang di kepulauan itu tewas akibat terjangan tsunami. Gempa Bima, 19 Agustus 1977 Dari laporan NGDC, gempa berkekuatan 8,3 SR mengguncang Bima, Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Sumbawa dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Gempa yang disusul tsunami setinggi 5,8 meter ini menewaskan 185 orang dan 1.100 lainnya terluka. Gempa Flores, 12 Desember 1992 Menjelang pergantian tahun, Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur digoyang gempa dengan magnitudo 7,8 SR di kedalaman 27,7 kilometer. Bencana ini memicu tsunami setinggi 25 meter ke sepanjang 300 meter pesisir Pulau Flores. USGS mencatat kerusakan yang juga berefek sampai ke Pulau Sumba dan Alor itu, menimbulkan 2.500 korban tewas dan 500 terluka. Gempa Banyuwangi, 3 Juni 1994 Gelombang tsunami setinggi 14 meter menerjang pesisir Banyuwangi, Jawa Timur dan timur laut Pulau Bali yang menewaskan sekira 250 orang. Tsunami tersebut, dari keterangan USGS, terpicu gempa berkekuatan 7,8 SR di Banyuwangi dengan kedalaman 18 kilometer. Guncangan gempa juga merusak beberapa rumah dan bangunan di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gempa Minahasa, 1 Januari 1996 Warga Minahasa, Sulawesi Utara di pagi pertama tahun 1996 sekira pukul 8 pagi didera gempa berkekuatan 7,9 SR. USGS menerangkan gempanya berasal dari kedalaman 24 kilometer. Guncangannya turut terasa sampai Ogotua, Palu, Poso, Bontang dan Samarinda. Gelombang tsunami menewaskan delapan orang. Gempa Biak, 17 Februari 1996 Pulau Biak di Papua diterjang gempa berkekuatan 8,2 SR sekira pukul 6 pagi. International Seismological Centre (ISC) mencatat, gempa ini memicu tsunami setinggi 7 meter. Dilaporkan 166 orang meninggal, 423 terluka dan lebih dari lima ribu kehilangan tempat tinggal. Gempa Bengkulu, 4 Juni 2000 Gempa dahsyat terakhir di abad ke-20 terjadi di Pulau Enggano, Bengkulu. Dari data ISC diketahui gempa yang berpusat di kedalaman 35 kilometer itu mencapai kekuatan magnitudo 7,9 SR. Korban mencapai 103 orang meninggal dan lebih dari 2.500 lainnya terluka. Di sisi lain laporan Peter Walker dari Federasi Palang Merah Internasional dan Masyarakat Bulan Sabit Merah menyatakan, ratusan korban meninggal bukan karena gempa, melainkan pengungsi gempa yang terkena penyakit pasca bencana. “Dampak gempa tidak begitu hebat, namun yang parah adalah mewabahnya malaria dan penyakit-penyakit lain,” ungkap Peter dikutip The Guardian , 6 Juli 2000.





















