Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Enam Moda Angkutan di Jakarta yang Tinggal Kenangan
ABANG becak, abang becak di tengah jalan. Cari muatan untuk mencari makan. Putar-puter, putar-puter kaki mengayuh. Pergi jauh keringat pun lalu jatuh. .. Sebait lirik lagu Abang Becak yang dipopulerkan Iin dan Bimbo di atas, mengingatkan kita kepada becak sebagai angkutan umum yang melintas zaman, tak hanya di ibukota tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Belakangan, muncul wacana untuk menghidupkan lagi becak yang selama ini termarjinalkan, khususnya di Jakarta. Sebagaimana diketahui, kemunculan becak mulai marak sejak 1936. Namun, pada medio 1970, angkutan beroda tiga yang digerakkan dengan tenaga manusia ini mulai dilarang beroperasi ibukota oleh Gubernur Ali Sadikin . Bukan hanya becak yang sempat marak namun perlahan menghilang. Enam moda angkutan ini juga tinggal kenangan. Delman Ketika Batavia belum marak angkutan bermotor, moda transportasi tradisional delman masih jadi primadona. Angkutan yang diciptakan seorang insinyur Belanda, Charles Theodore Deeleman pada medio abad 18 itu, mulai merajai transportasi di Batavia sejak awal abad 29. “Jalur terpanjang delman kala itu adalah Pasar Ikan-Pasar (Stasiun) Beos-Pasar Mangga Besar-Pasar Tanah Abang-Pasar Palmerah-Pasar Rawa Belong-Pasar Kebayoran Lama-Pasar Lebak Bulus-Pasar Ciputat-Parung-Jampang-Bogor,” tulis Windoro Adi dalam Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi. Tapi seiring bermunculannya angkutan-angkutan bermotor, transportasi delman kian terpinggirkan, sampai hanya sebatas angkutan wisata di beberapa tempat yang ramai dikunjungi turis, seperti Monas, misalnya. Gubernur DKI Sutiyoso pada 2007 malah juga ikut melarang eksistensi delman di dalam Monas. Diikuti pelarangan lainnya di mana delman tak boleh beroperasi di sekitaran pagar luar Monas pada 2016. Pelarangan ini kemudian dikaji lagi dan dilakukan uji coba perizinan delman di kawasan Monas selama dua pekan pada Desember 2017 lalu. Trem Moda transportasi yang mirip kereta api ini pernah jadi primadona sejak zaman Hindia Belanda. Trem pertama kali hadir di Batavia (sebutan lama Jakarta) sejak tahun 1869 yang dioperasikan Pemerintah Kota Batavia. “Awalnya trem itu ditarik dengan kuda, makanya dulu disebutnya Trem Kuda. Baru pada 1899 muncul trem uap yang stasiun pengisian uapnya ada di Kramat, Pasar Senen,” ujar penggiat sejarah kereta api dan trem, Adhitya Hatmawan, beberapa waktu lalu. Pada 1933, trem uap dihapuskan dan diganti trem listrik. Namun, peminatnya berangsur berkurang terlebih sejak Indonesia merdeka. Angkutan trem dihapuskan pada 1960 oleh Presiden Sukarno di masa pemerintahan Wali Kota Jakarta Sudiro (kakek aktor Tora Sudiro), untuk mengurangi kemacetan. Sementara transportasi massal utama di ibukota digantikan armada-armada bus PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta) yang sejak 1959 mengambilalih operasi trem dari Batavia Verkeers Maatschappij (BVM) lewat nasionalisasi. Oplet Semenjak 1930, masyarakat Jakarta sudah mengenal angkutan kota (angkot) bernama Oplet. Di era 1960-an hingga 1970-an, angkot ini jadi salah satu moda transportasi terpopuler dan paling diminati lantaran menjangkau beberapa daerah pinggiran Jakarta. Angkot ini juga makin lekat sebagai kenangan gara-gara lagu Barang Antik dan Oplet Tua yang ditembangkan Iwan Fals, hingga sinetron Si Doel Anak Sekolahan . Ada beberapa asal-muasal penyebutan Oplet. Salah satunya dari sebutan mobil Opelette yang dirilis produsen mobil Jerman, Opel pada 1932, serta penyebutan lidah masyarakat dari asal kata Chevrolet, produsen mobil asal Amerika Serikat. Padahal, angkot Oplet tak hanya diproduksi Opel dan Chevrolet, melainkan juga dari Morris dan Austin. Oplet mulai punah sejak 1980. Dalam Manusia & Keseharian: Burung-Burung di Bundaran HI, Sindhunata menyebut Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo meniadakan Oplet pada September 1980 dan menggantinya dengan Mikrolet. Helicak Moda transportasi bermotor roda tiga ini jadi kenangan tersendiri bagi masyarakat Jakarta. Desainnya yang unik mirip helikopter dan dihadirkan sebagai pengganti becak. Oleh karena itu, namanya hasil penggabungan Helikopter dan Becak. “Pertama kali diluncurkan 24 Maret 1971 untuk mengganti fungsi becak di masa Gubernur Ali Sadikin,” tulis Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 1 yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemprov DKI Jakarta. Transportasi ini awalnya menggunakan desain body dan dilengkapi mesin Vespa asal Italia. Pemprov DKI mulanya menyediakan 400 unit. Sebagaimana becak, driver -nya berada di belakang, sementara penumpangnya di kabin depan. Sayangnya, desain seperti ini pula yang jadi salah satu faktor menghilangnya Helicak secara perlahan. Selain karena pengemudinya sering kepanasan dan kehujanan, penumpang juga rawan terluka jika kecelakaan karena posisinya ada di depan. Mulai 1987, Helicak dilarang beredar lagi di wilayah DKI Jakarta. Bus Tingkat Kalau di Inggris masih lestari, keberadaan bus tingkat di Jakarta tinggal kenangan. Angkutan massal nan unik ini eksis di Jakarta sejak 1968 yang dioperasikan Perum PPD. Awalnya bus tingkat bermerk Leyland Titan PD3-11 ini dibeli dari Inggris. Kemudian digantikan model baru Leyland Atlantean pada 1983. Tak hanya dari Inggris, bus-bus tingkat merk Volvo B55 asal Swedia juga sempat menyemarakkan transportasi massal ini. Sayangnya pada medio 1990, angkutan unik ini tinggal kenangan karena perawatan dan spare part -nya tidak murah. Belakangan, bus tingkat sempat eksis lagi di Jakarta, meski sebatas untuk wisata yang dioperasikan TransJakarta. Bemo Ada gula, ada semut. Ada Ganefo, ada bemo. Bemo mulai ada di Jakarta pada 1962, jelang perhelatan Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Pemerintah melakukan pengadaan kendaraan unik beroda tiga ini sebagai pembaruan transportasi sekaligus menggantikan becak. Namun, pada 1970-an dengan bertambahnya moda-moda transportasi lain, operasi bemo mulai dibatasi. Pada 1995 lewat peremajaan Angkutan Pengganti Bemo, izin operasi bemo perlahan dicabut meski tetap masih ada yang berkeliaran di beberapa wilayah Jakarta. Perda DKI Nomor 5 Tahun 2004 kemudian menyatakan bemo tidak lagi termasuk transportasi umum resmi. Terakhir pada 6 Juni 2017 lewat Surat Edaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 84, bemo resmi dilarang beroperasi di seluruh wilayah ibukota.
- Selamat Jalan Anak Muda Gaul
KABAR duka datang dari Shanty Sys di Kemang Timur, Jakarta Selatan. Suami Shanty, Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio atau lebih dikenal dengan Sys NS, meninggal dunia pada 23 Januari 2018 di usia 61 tahun. Sys populer tahun 1970-an sebagai anak muda gaul Jakarta. Lahir di Semarang, 18 Juli 1956, Sys hanya numpang lahir di sana karena tumbuh-besar sebagai anak Jakarta. Ketika ayahnya, RM Soerio Soebagio, dipindahtugaskan ke Semarang pada 1973, Sys berontak. Mulanya dia ikut pindah ke Semarang, tapi dua hari berselang kabur ke Jakarta. Ayahnya yang teguh pada pendirian akhirnya luluh dan menuruti keinginan Sys tetap di Jakarta. Sys lalu masuk SMA 3 Teladan, Setiabudi, Jakarta. Tapi prestasinya buruk, Sys sampai harus pindah sekolah sembilan kali. Dia yang di Jakarta tinggal menumpang pada kerabatnya kemudian juga tak betah. Setelah kabur, Sys memilih kembali ke tempat tinggal masa kecilnya di sebuah perkampungan di Kelurahan Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan. “Gue tidur di Pos Hansip. Urusan mandi dan ganti baju, numpang di rumah teman,” kata Sys seperti ditulis N Syamsuddin Ch. Haesy dan Gauri Nasution dalam Pop Biografi dan Kreatografi Sys NS. Di Pos Hansip “rumah” Sys itulah orang-orang sering bermain judi dan minum-minum. Sys larut ke dalamnya. Belakangan, dia hidup dari hasil permainan itu. Kalau sedang tak ada uang, Sys dengan halus memalak salah seorang pemenang judi greyhound. Uang itu lalu dia pakai untuk bermain greyhound. “Kalau menang, duitnya gue kembaliin. Tapi kalau gue kalah, anggap saja orang itu lagi sial,” ungkapnya. Dunia hitam Sys tak hanya judi. Suatu hari, seorang kawan Sys berkelahi dengan seorang anggota sebuah geng. Didorong rasa solidaritas, Sys lalu membacok anggota geng itu yang ternyata anak pejabat. Alhasil, Sys harus menginap di Komando Daerah Kepolisian (Komdak) Metro Jaya. Kabar buruk itu pun sampai ke telinga RM Soerio Soebagio. Meski marah besar, Soebagio tetap ke Jakarta untuk mengeluarkan Sys. Sejak itu, Sys tak ingin membuat ayahnya khawatir. Menggeluti Dunia Siaran Tahun 1970-an, radio naik daun. Radio amatir bermunculan dan menjadi tren kehidupan anak muda Jakarta. Pendengarnya kebanyakan kalangan anak muda golongan menengah ke atas. Dunia itulah yang kemudian dimasuki Sys. Radio pertama yang dimasukinya, ketika masih sekolah menengah, bernama Romeo Gembel (kependekan dari Gemar Belajar). Siaran radio itu dimaksudkan untuk menemani pendengarnya yang, kebanyakan usia sekolah menangah, sedang belajar. Di radio itu, Sys bukan sebagai penyiar, tapi bertugas menjual formulir pilihan lagu. Dari formulir ini, para pendengar bisa mengusulkan lagu-lagu favoritnya lalu diputar saat acara pilihan pendengar. Pada 1973, para pengelola Radio Prambors silang pendapat dan berujung pada keluarnya beberapa pengelola seperti Wawan, Budhie Pramono, dan Heroe Purnomo. Mereka lalu mendirikan Radio Audio Broadcasting Service (ABS) dengan menggunakan rumah orangtua Wawan, rekan Sys, sebagai tempat siaran. Tempat ini dulunya juga tempat siaran Romeo Gembel. Sys ikut bergabung. Popularitas ABS segera menyalip Prambors. Tapi karena mereka terlalu malas mengurus izin siaran, ABS akhirnya ditutup. Beberapa orang kembali ke Prambors. Sys dan 11 rekannya yang mayoritas masih pelajar kemudian mendirikan radio baru tapi tak bertahan. Tahun 1975, Sys mulai siaran di Prambors yang terletak di Jalan Borobudur. Pamornya naik bersamaan dengan perkembangan pesat radio Prambors. “Ditopang wajah ganteng bak selebriti, tak heran nama Sys meroket,” tulis Ilham Bintang dalam Mengamati Daun-Daun Kecil Kehidupan . Sys dikenal sebagai ikon pergaulan anak muda tahun 1970-an. Popularitas Sys berperan penting melejitkan kariernya. Dia kemudian dipercaya menjadi Ketua Umum Kasta (Kekerabatan Antar Siswa Se-Jakarta) Prambors. Sys memanfaatkan betul kesempatan yang ada dengan menggagas Jakarta Student Night pada 1976. “Tahun 1976, ketika personel Warkop menjadi lima sekawan yang kompak, bersamaan muncul pula tokoh Prambors muda, seperti Sys NS dengan aneka kreasi khas unjuk seni anak mudanya,” tulis Rudi Badil dalam Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main . Sys kemudian juga dipercaya menjadi Ketua Umum Laboratorium Seni Prambors. Dalam jabatan yang dia emban hingga 1978 itu Sys bekerjasama antara lain dengan Niki Kosasih, penulis drama radio Saur Sepuh dan manajer Warkop Prambors yang baru mulai dikomersilkan. Di tahun yang sama, Sys bersama Warkop tampil di acara “Dapur Musik Betawi” yang digagas Sys bersama Ais Ali Said. Bersama Muklis Gumilang, Sys lalu membuat “Sersan Prambors” untuk mengisi acara Prambors yang ditinggalkan Warkop. Di “Sersan Prambors” itulah Sys berhasil menarik Krisna Purwana, Pepeng, dan Nana Krip, yang merupakan pengisi Bahana Jokes di Radio Bahana, untuk siaran di Prambors pada 1984. Sukses menjalankan program radio, Sys kemudian menggandeng Rhoma Irama dan Camelia Malik mendirikan Radio Muara. Radio untuk pencinta dangdut ini menurut AC Nielsen menjadi radio paling banyak didengar. Alhasil, banyaknya pengalaman dunia radio yang dimiliki Sys membuatnya dipercaya menduduki Ketua Departemen Dana dan Usaha Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Pemenang Lomba Disko Tahun 1975, Sys mendirikan Mad Disco bersama Eddy Sadikin, Yoyok Sasmoyo, dan beberapa rekannya. Grup penghibur ini menerima order untuk acara pesta anak muda dengan bayaran 25ribu rupiah sekali tampil. Di tahun yang sama, Sys mengikuti Festival Discotheque seluruh Indonesia dengan modal peralatan yang dipinjam dari Mad Disco dan beberapa rekan lain. Selain alat musik, Sys menggunakan seekor monyet yang dicat untuk menemaninya tampil. Bersama si monyet, Sys melakukan aksi gila bergelantungan di tali sambil meramu musik. Bak tarzan dan monyetnya, Sys mengoperasikan mixer, memindah-mindahkan lagu ( mixing ) memakai kaki. Dengan penampilan yang atraktif dan kreatif itu, Sys memenangkan Best of Discotheque of Indonesia 1975. Hadiah motor yang didapatnya langsung dia sumbangkan untuk panti asuhan. Tapi kegembiraan Sys hanya berlangsung semalam. “Besokannya tuh monyet mampus. Gue sedih ngeliat temen gue ngedeejay mati stres,” kata Sys. Kegilaan-kegilaan Sys itu menjadi memori banyak orang yang menikmati masa muda tahun 1970-an. Hari ini, ikon pergaulan anak muda era 1970-an itu pergi yang takkan pernah kembali. Selamat jalan, Sys.
- Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera
KEPULAUAN Nusantara dengan letak yang strategis dan kekayaan luar biasa acap menjadi rebutan banyak kekuatan sejak lama, termasuk ketika Perang Pasifik dilancarkan Jepang. Pertempuran-pertempuran dahsyat macam Pertempuran Selat Makassar, Pertempuran Laut Jawa, atau rangkaian pertempuran dalam manuver “Lompat Katak”-nya Jenderal Douglas McArthur pasukan Amerika Serikat (AS) berlangsung di negeri yang kini bernama Indonesia. Arti penting itulah yang mendorong PM Inggris Winston Churchill merencanakan Operation Culverin, invasi ke sejumlah titik penting di Pulau Sumatera. Sebagaimana diuraikan John Ehrmann dalam Grand Strategy Vol. V: August 1943-September 1944 , Operasi Culverin –nama meriam kecil yang digunakan banyak negara Eropa pada abad ke-17– tercetus dari mulut Churchill di Konferensi Quadrant di Quebec, Kanada, 20 Agustus 1943. Dia menginginkan adanya operasi pendaratan amfibi di utara Pulau Sumatera pada Mei atau Juni 1944. Desakan itu tak lepas dari keinginannya agar komando Sekutu mau lebih memperhatikan kawasan Asia Tenggara dengan membuka front baru. “Kita harus menyerang dan merebut satu pijakan (di pantai Sumatera) terhadap Jepang, di mana Jepang mesti merebutnya lagi dengan susah payah jika mereka tak ingin perkapalan mereka (di Selat Malaka) terganggu oleh serangan udara dari Sumatera,” cetus Churchill, dikutip Ehrmann. Dalam rancangan konsepnya, operasi akan menyasar ke enam titik di wilayah Aceh sampai Sumatera Utara. Titik pertama, pantai Bireuen; Diamond Point (Lhokseumawe); Meulaboh; Pulau Simeuleu; dan terakhir Kota Medan. Manuver sabotase oleh pasukan kecil ke Pulau Weh juga masuk dalam rancangan itu. Untuk menjalankannya, Churchill mengandalkan pasukan British India di bawah Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Mountbatten. Pada 9 Februari 1944, surat perintah rahasia bernomor 65028/SD3 terkait Operasi Culverin dikirim ke markas Mountbatten di New Delhi dengan terusan kepada COS (Chief of General Staff) atau Kepala Staf Umum Sekutu, hingga ke komandan Grup Angkatan Darat (AD) ke-11 di Asia Tenggara Mayjen Ian Stanley Ord Playfair. Sebagaimana dikutip Michael Kerrigan dalam World War II Plans That Never Happened , surat perintah rahasia itu berisi instruksi untuk pelatihan dan pengorganisasian pasukan di India. Mountbatten mendukung gagasan Churchill. Bahkan, dia sampai menyurati koleganya dari AS yang memimpin AD Amerika di China-Burma (kini Myanmar)-India, Jenderal Joseph Stilwell. Namun, upaya Churchill dan Mountbatten sama-sama ditolak Joint Chief of Staff (JCS) atau Panglima Gabungan Kepala Staf dan Stilwell. “Serangan (terhadap Jepang) melalui Sumatra dan (Semenanjung) Malaya hanya akan menciptakan blokade bagi China. Mengingat komitmen FDR (Presiden AS Franklin D. Roosevelt) yang akan membangun kembali China pascaperang. Strategi apapun yang mengalihkan perhatian terhadap China tak bisa diterima,” ungkap Charles F. Bower dalam bukunya, Defeating Japan: The Joint Chiefs of Staff and Strategy in the Pacific War 1943-1945 . Dari sisi strategis, AS menolak Operasi Culverin karena JCS merasa sumber daya Sekutu belum cukup kuat untuk memukul Jepang di Sumatera yang masih kuat karena “nganggur”, tak seperti di front Pasifik Tengah. Bagi AS, Sekutu masih harus merontokkan Nazi Jerman di Eropa terlebih dulu sebelum mengalihkan fokus terhadap Jepang. Lagipula, di tahun itu masih sulit untuk bisa mendaratkan pasukan di pantai Sumatera karena medannya belum dikenal lebih dalam. Pertimbangan lain, Angkatan Laut Jepang di Singapura masih lumayan kuat. Tingkat kepraktisannya juga dipersempit dengan belum bisa direbutnya Burma dari tangan Jepang. Alhasil, rancangan operasi ini mentah di tengah jalan. Operasi Culverin “tutup buku” di pertengahan 1945 sebelum sempat terlaksan. Sekutu justru menggelar pendaratan di Malaya lewat Operasi Zipper dan Operasi Dracula untuk merebut Rangoon pada Mei 1945.
- Si Bung dan Para Burung
PRESIDEN Sukarno dikenal sebagai penyayang binatang, terutama burung. Ia paling tidak suka melihat burung terkurung dalam sangkar. Soal ini diketahui kalangan terdekatnya saja. Namun, banyak orang menyangka Sukarno, sebagai keturunan Jawa, tidak lepas dari hobi memelihara burung. Suatu hari datanglah dua lelaki Maluku ke Istana Negara. Mereka ayah dan anak. Kepada para pengawal presiden, mereka mengatakan ingin mempersembahkan seekor burung nuri raja yang indah kepada presiden. Bagaimana respons Sukarno? Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno, mengisahkannya dalam Sewindu Dekat Bung Karno . Alih-alih menolak, Sukarno menyambut tamunya dengan ramah. Ia menanyakan keluarga, perjalanan, dan kondisi daerah asal mereka. Diajaknya pula tamunya menikmati minum teh dengan kue. Setelah banyak bercerita, barulah Sukarno menanyakan soal burung nuri raja yang dibawa tamunya. “Jadi Bapak mau menghadiahkan burung ini kepada saya? Jika ya, saya boleh berbuat apa saja terhadap burung ini, bukan?” ujar Sukarno. “Ya Pak, tentu saja. Terserah Bapak mau diapakan burung ini,” jawab salah seorang tamu itu. “Nah kalau begitu, ikutlah saya,” ujar Sukarno sambil menuruni tangga Istana dan berdiri di pinggir taman. Sambil menoleh kepada si bapak itu, Sukarno lantas memerintahkan seorang pengawalnya untuk melepaskan burung yang indah itu ke alam bebas. Menyaksikan pemandangan tersebut, kedua tamu dari Maluku itu hanya bisa melongo. “Pak, burung ini akan jauh lebih senang bila ia lepas bebas dapat terbang ke manapun. Biarkan ia merdeka, seperti kita pun ingin merdeka selama-lamanya,” kata Sukarno. Masalah burung bagi Sukarno tak bisa dikompromikan. Siapapun yang memasung kebebasan burung, jika ia tahu, pasti akan ia suruh melepaskannya. Hal ini juga pernah dialami Letnan Satu C.H. Sriyono, anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakrabirawa dari Corps Polisi Militer (CPM). Ceritanya, saat bertugas di Istana Tampaksiring, Sriyono membeli seekor jalak bali. Supaya tidak ketahuan Sukarno, ia memasukan jalak bali itu ke salah satu kantong celananya. Namun tetap saja ketahuan. “Itu apa yang ada dalam saku celana kamu? Kok gerak-gerak?” tanya presiden. “Siap! Burung, Pak!” “Lepaskan!” “Siap!” Jalak bali pun bebas, terbang tinggi, meninggalkan pembelinya yang gondok luar biasa.*
- Macan Jawa di Final Piala Dunia
DARI tiap gelaran Piala Dunia, hingga kini Indonesia masih dalam tahap hanya bisa bermimpi untuk ikut di dalamnya. Di Piala Dunia 1958, Indonesia sebetulnya berpeluang besar lolos, namun politik luar negeri Indonesia menghentikannya. Alhasil, untuk sementara negeri ini hanya bisa menghibur diri dengan klaim keikutsertaan di Piala Dunia 1938 meski masih Hindia Belanda. Hanya barang-barang buatan Indonesia yang hingga kini bisa tampil di Piala Dunia. Yang jarang diketahui, keterlibatan Macan Jawa di Piala Dunia 1974. Macan Jawa itu bahkan eksis sampai di partai final yang dimainkan Jerman Barat (Jerbar) vs Belanda. Namun, macan itu hanyalah motif dalam sekeping koin yang digunakan wasit Jack Taylor, yang memimpin partai final, sebagai alat pengundi sebelum kickoff. Gambar panthera tigris atau macan Jawa mengisi bagian depan sementara Garuda Pancasila beserta tulisan “Bank Indonesia” mengisi bagian belakang koin perak tersebut. Menurut keterangan di salah satu panel Ruang Numismatik Museum Bank Indonesia, “(Koin) Rp2000 tahun 1974 dibuat khusus dalam seri cagar alam dalam rangka kerjasama dengan WWF dan IUCN.” Selain dua lembaga konservasi tersebut, kerjasama melibatkan Bank Indonesia dan Royal Mint, perusahaan percetakan koin dan medali Kerajaan Inggris. Royal Mint membuat koin itu dengan ukuran diameter 38,61 milimeter dan berbobot 25,31 gram, kandungan peraknya 50 persen. Koin dibuat terbatas hanya tiga keping untuk dijual dalam rangka penggalangan dana konservasi alam. “Hasil penjualannya digunakan untuk program-program pelestarian (alam). Koinnya dicetak di Royal Mint sebagai pencetak koin dan medali terbaik dunia,” tulis Majalah Time and Tide edisi Oktober 1974. Kapten timnas Jerbar Franz Beckenbauer sempat penasaran terhadap koin yang bernama resmi Conservation Coin Collection WWF itu. Sesaat setelah wasit Taylor membunyikan peluit panjang tanda istirahat, dia menghampiri Taylor dan menanyakan dari mana koin itu didapat. Sayang, Taylor tak menjawabnya. “Taylor yang sepanjang kariernya menjadi wasit di tiga Piala Dunia, menyimpan peluit emas yang diberikan sebagai kenang-kenangan, bersamaan dengan koin yang dia gunakan untuk pengundian ( kickoff ) di Piala Dunia 1974,” tulis Mirror , 9 Juli 2010. Selain yang dikoleksi Taylor, sekeping koin ini yang lain sekarang berada di tangan Haris Budiman, seorang kolektor koin lawas di Indonesia. Dia membelinya dari situs jual-beli online eBay . “Saya sudah koleksi sejak 2013. Banyak yang saya beli (koleksi-koleksi koin) di eBay , padahal itu koin asli Indonesia,” ujar Haris kepada Historia . “Untuk koin Rp2000 atau (yang bergambar) macan Jawa dari bahan perak 50 persen harganya sekitar 35 dolar Amerika,” sambungnya. Haris mengaku punya sertifikat aslinya. Di blog yang dikelolanya, Numismatik Indonesia, dia menampilkan sertifikat keaslian koin yang bertandatangan Deputy Master of the Royal Mint John R. Christie. “Sertifikat keaslian yang diterbitkan Royal Mint, atas nama (pemerintah) Republik Indonesia, keterangan ini sebagai bukti bahwa Conservation Coin Collection ini dicetak Royal Mint atas kerjasama dengan World Wildlife Fund dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources,” demikian bunyi terjemahan keterangan berbahasa Inggris itu. Tak hanya terkait sepakbola, Macan Jawa menjadi bukti pertama Indonesia ikut menyokong WWF dan IUCN. Berbarengan dengannya, ia menandai keikutsertaan kembali Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia sejak absen pasca-Kualifikasi Piala Dunia 1958 gara-gara situasi politik. Koin istimewa itu menjadi “wakil” pertama di Piala Dunia sejak lepas dari jajahan Belanda. Kebanggaan lain, menyusul jelang Piala Dunia 1990 ketika Adidas selaku produsen bola resmi Piala Dunia memilih bola sepak produksi Solo –bersama bola asal Pakistan– menjadi salah satu bola yang digunakan di event empat tahunan itu. Menjelang Piala Dunia 1998, Adidas menggandeng Sinjaraga Santika Sport (SSS), produsen bola asal Majalengka, Jawa Barat yang telah mendapat lisensi FIFA, untuk memproduksi bola “Tricolore”. Kerjasama itu terus berlanjut hingga gelaran Piala Dunia 2014 yang menggunakan bola resmi “Brazuca”.
- Mengapa Rumah Cimanggis Harus Diselamatkan?
PERNYATAAN pers Hussein Abdullah, juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla, baru-baru ini yang mengatakan sejarawan mendadak perhatian pada Rumah Cimanggis yang akan dihancurkan untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), mendapat bantahan dari Komunitas Sejarah Depok. Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, mengatakan bahwa perhatian terhadap Rumah Cimanggis tidak tiba-tiba. Setidaknya sejak 2011 sejarawan dan pemerhati situs-situs sejarah telah bergerak untuk menyelamatkan situs-situs sejarah termasuk Rumah Cimanggis. Depok Heritage Community telah mendaftarkan Rumah Cimanggis ke kantor Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Serang dengan nomor registrasi 007.02.24.04.11. Pendaftaran ini adalah tindak lanjut dari kerja inventarisasi situs-situs sejarah di Depok yang dilakukan sejak tahun 2010. “Jadi, tujuh tahun lebih sebelum heboh UIII,” tegas Farah, dalam keterangan pers yang diterima Historia. Farah bilang, tentu saja pihaknya dan masyarakat Depok tidak perlu repot jika pemerintah menjalankan amanat UU Cagar Budaya No. 10 tahun 2011. Di sana tertulis, bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. “Kami para sejarawan dan masyarakat Depok tentu tidak perlu repot melakukan upaya-upaya memperhatikan, menginventarisasi, mengumpulkan informasi kesejarahan dan mendaftarkan situs sejarah,” ujarnya. Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok Heri Syaefudin merasa heran kenapa proyek UIII di kawasan RRI tidak disosialisasikan dengan warga Depok. Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok, kawasan RRI adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Yang santer terdengar justru berita pada tahun 2015 kawasan itu oleh Walikota Nurmahmudi disosialisasikan sebagai arboretum atau hutan kota yang bisa menjadi paru-paru dunia,” ujar Heri. Saat ini, kata Heri, Depok baru memenuhi sembilan persen RTH publik. Oleh karena itu, wacana RTH di kawasan RRI sangat dibutuhkan untuk memenuhi 30 persen kewajiban RTH. “Sekaligus bisa difungsikan sebagai kawasan resapan yang menahan run off jika musim hujan tiba dan dengan demikian mengurangi kemungkinan banjir ke Jakarta,” kata Heri. Sementara itu, sejarawan JJ Rizal menegaskan gerakan #SelamatkanRumahCimanggis berkonsentrasi lebih kepada bagaimana agar situs sejarah itu selamat, bukan pada upaya menolak keberadaan UIII. Sebab, bagi gerakan ini tak perlu mempertentangkan dua hal yang sebenarnya berfungsi sama, yaitu sebagai medium pendidikan. “Seperti juga universitas, bagi kami situs sejarah juga medium pendidikan,” kata Rizal. Apalagi yang akan didirikan adalah Universitas Islam Internasional yang disebut akan dijadikan pusat peradaban Islam. Menurut Rizal, Islam dan sejarah sangat dekat hubungannya. Al-Qur’an hampir dalam banyak kandungan bertutur tentang masa lalu. “Qur’an tak sekadar cerita tapi juga mengajak umatnya memahami makna peristiwa masa lalu agar berpikiran bukan hanya luas tetapi juga sehat. Sebab, dalam kandungan ajaran Islam masa lalu itu adalah sumber pelajaran,” jelas Rizal.
- Daftar Panjang Kebakaran Situs Sejarah
KEBAKARAN yang melanda Museum Bahari Selasa (16/1) lalu telah menghapus sebagian jejak masa lalu perjalanan sejarah bangsa. Gedung A, C, dan D museum yang merupakan bangunan cagar budaya hampir ludes kecuali dinding-dindingnya. Bersama kebakaran itu, sejumlah koleksi museum ikut sirna pula. Celakanya, kecelakaan itu terjadi dengan penyebab yang tak jauh beda dari musibah-musibah lain sebelumnya. Kepala Museum Bahari Husnison Nizar mengakui, museumnya masih minim peralatan keamanan seperti sprinkle dan alat pendeteksi asap. Pembaruan instalasi listrik pun baru dalam tahap rencana dan penganggaran. “Ya kita hanya ada sedia APAR (alat pemadam api ringan). Tahun ini sebenarnya sudah kita anggarkan instalasi listrik, totalnya sekitar Rp800 juta,” tutur Husnison di lokasi, Selasa (16/1/2017). Kebakaran itu mendatangkan keprihatinan masyarakat. Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana langsung meninjau lokasi dan memberi simpati kepada Sonni, sapaan Husnison. “Kita turut prihatin. Yang namanya musibah, kita mana tahu kapan dan bagaimana datangnya. Tapi semoga ini bisa jadi pelajaran ke depannya agar tidak terjadi lagi. Kita juga siap bantu dan kalau ada apa-apa, mohon beritahukan saja ke kami,” cetus Putu, yang juga anggota Komisi X DPR RI, saat berbincang dengan Husnison di lokasi. Kebakaran Museum Bahari menambah panjang daftar musibah yang terjadi pada museum, cagar budaya, dan situs-situs bersejarah di Indonesia. Pada 11 Juli 2017, Istana Bala Putih di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga ludes dilahap api. Menurut saksi mata, kebakaran di istana yang didirikan tahun 1931 dan dijadikan tempat tinggal Sultan Kaharudin III itu diawali dengan suara ledakan. Api lalu merembet ke seluruh bangunan yang pada 1959 dihibahkan kepada pemerintah dan dijadikan Gedung Wisma Daerah itu. Di bulan dan tahun yang sama, kebakaran juga menghanguskan sebuah bangunan bersejarah peninggalan masa Hindia Belanda di Bandung. Kebakaran di bangunan yang kini dimiliki PT KAI Daerah Operasi II Bandung itu juga disebabkan korsleting yang terjadi di sebuah kontrakan dekat bangunan tersebut. Pada 19 Oktober 2015, bangunan bersejarah yang ditempati Polres Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan juga habis terbakar. Penyebabnya sama, hubungan arus pendek. Akibat kebakaran itu ruangan Bagian SDM, ruangan Sat. Binmas, ruangan SPKT ludes. Gedung yang didirikan pada 1738 itu semasa Hindia Belanda merupakan kediaman residen Selayar. Setelah dikuasai Laskar Pejuang Rakyat Indonesia Selayar (LAPRIS) dan dijadikan markasnya, gedung itu lalu dijadikan kantor Polres. Di tahun yang sama pula, 16 Juli 2015, kebakaran melumat kelenteng berusia 150 tahun Liong Hok Bio di Magelang. Api diduga berasal dari dupa di salah satu tempat persembahyangan kelenteng. Tiga bulan sebelumnya, 2 Maret 2015, nahas serupa menimpa Vihara Dharma Bhakti di Petak Sembilan, Jakarta Barat. Menurut penyelidikan, api berasal dari lilin dan dupa yang ada di sana. Vihara Dharma, sebagaimana dijelaskan jakarta.go.id , merupakan salah satu vihara tertua di ibukota. Awalnya, vihara yang berdiri pada 1650 itu bernama Kelenteng Guo Kun Guan. Belanda menghancurkan kelenteng itu pada 1748 usai Geger 1740. Tapi kapitan Tionghoa membangunnya kembali pada 1755 dengan nama Kelenteng Jin De Yuan. Kebakaran terhadap bangunan bersejarah juga terjadi pada rumah betang terpanjang dan tertua di Kalimantan Barat, Uluk Palin, pada 13 September 2014. Api diduga berasal dari kayu bakar yang digunakan warga setempat untuk memasak. Menurut catatan, rumah adat suku Dayak sepanjang 286 meter dan lebar 15 meter ini didirikan pada 1941. Rumah itu disekat 53 bilik untuk dihuni 560 jiwa. “Diharapkan musibah ini jadi pelajaran bagi pemerintah karena rumah betang bisa punah. Apalagi Uluk Palin ini bernilai sejarah tak ternilai. Meski arsitekturnya sudah diperbarui, nilai budayanya tak seperti dulu lagi,” ungkap Ketua Komunitas Masyarakat Pariwisata Kapuas Hulu Hermas R Maring, dikutip harian Kompas 15 September 2014. Pada tahun itu pula kebakaran menghanguskan kelenteng tertua di Banyuwangi, Jawa Timur, Hoo Tong Bio, pada 13 Juni. Api berasal dari tempat persembahyangan sisi kanan kelenteng. Akibatnya, beberapa dokumen sejarah dan prasasti pendirian kelenteng yang dibangun pada 1784 itu ikut musnah. Di kota pahlawan Surabaya, Gedung Balai Pemuda mengalami nahas serupa pada 20 September 2011. Api dari korsleting menghanguskan gedung yang berdiri pada 1907 itu. Pada masa kolonial, gedung bernama De Simpangsche Societeit itu merupakan tempat “dugem” orang-orang Belanda. Setelah direbut dan dijadikan markas Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada masa revolusi fisik, gedung itu kemudian diambilalih penguasa militer (kini Kodam) pada 1950. Tujuh tahun kemudian, gedung itu diserahkan ke Pemerintah Kota Surabaya, sekaligus mengubah namanya menjadi Balai Pemuda. Tujuh belas hari sebelum kebakaran Balai Pemuda, kebakaran menghanguskan Rumah Bolon di Museum Batak TB Silalahi –yang dibangun mantan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi pada 7 Agustus 2006– di Balige, Sumatera Utara. Lagi-lagi, api berasl dari korsleting. Kebakaran terhadap bangunan cagar budaya juga menghampiri Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada 21 Maret 2010. Akibatnya, koleksi kain adat, perabotan rumah tangga, hingga sejumlah alat-alat upacara adat ikut musnah. Hanya beberapa dokumen penting perihal istana yang selamat jilatan api. Dalam catatannya, bangunan yang oleh masyarakat setempat disebut Istana Si Linduang Bulan itu didirikan Sultan Alif Kalifatullah pada 1550. Dua abad kemudian, istana itu direstorasi karena beberapa bagiannya sempat runtuh. Kebakaran pada 2010 itu bukan kebakaran pertama Istana Pagaruyung. Selain pernah mengalaminya saat Perang Paderi (1821), istana itu kembali terbakar pada 3 Agustus 1961dan 21 Maret 2010.
- Ketika Si Bung Murka
Apa yang terjadi usai KRI Matjan Tutul dikeroyok oleh tiga kapal perang Belanda? Dalam pelariannya di atas KRI Harimau, Kolonel Sudomo dengan sigap segera mengirim kawat ke MBAL (Markas Besar Angkatan Laut) di Jakarta. Dia meminta agar MBAL mengontak MBAU (Markas Besar Angkatan Udara) agar secepatnya mengirimkan pesawat-pesawat pembom AURI untuk membantu posisi KRI Matjan Tutul. “Saya meminta mereka untuk membom saja kapal-kapal Belanda yang sedang mengejar tersebut, karena jelas mereka semua sudah memasuki wilayah perairan territorial Indonesia,” ujar Sudomo kepada Julius Pour dalam Laksamana Sudomo:Mengatasi Gelombang Kehidupan. Alih-alih terlaksana, permintaan Sudomo itu malah tak mendapat respon apapun. Mengetahui gelagat seperti itu, Asisten Operasi KASAD Kolonel Moersjid yang saat itu ada di dalam KRI Harimau, menjadi geram. Belakangan, diketahui bahwa meskipun kawat itu sampai ke MBAU, namun pihak AURI mengalami kesukaran teknis operasional untuk mewujudkan suatu permintaan yang sifatnya mendadak dan tidak terencana. Presiden Marah Begitu sampai di pangkalan, Kolonel Moersjid langsung terbang ke Jakarta. Setiba di ibu kota, dia lantas menemui Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution. Moersjid melaporkan semua yang dia alami di Arafuru, termasuk respon negatif AURI. Nasution menanggapinya dengan diam seribu basa. Moersjid kesal, lantas berkata kepada atasannya itu: “Jenderal takut melaporkan kenyataan ini?” Hening sejenak. Namun keluar juga ucapan dari Nasution “Hari ini akan ada sidang Dewan Pertahanan Nasional di Istana Bogor, silakan Kolonel ikut ke sana…” Empat hari setelah kejadian Insiden Arafuru, Moersjid melangkah ke ruang rapat di Istana Bogor. Di hadapan Presiden Sukarno dan para perwira tinggi, secara emosional dia menceritakan apa yang dia alami selama ada di palagan Arafuru. “Saya tak pedulikan semuanya. Pangkat saya hanya kolonel, pangkat paling rendah dari seluruh hadirin di ruangan tersebut. Saya nothing to lose , maka saya beberkan saja semuanya dengan lugas. Omong kosong AURI mampu menjaga wilayah udara Indonesia up to the minute , omong kosong karena tak seekor pun (pesawat) capung muncul ketika kapal kami diserang…” Mendengar laporan langsung dari Moersjid, wajah Presiden Sukarno menjadi merah padam. Nampak sekali Si Bung menjadi murka. Dia lantas membuat rapat terbatas bersama panglima dari ketiga angkatan: Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Saat memasuki ruang rapat itulah, tetiba Kasal R.E. Martadinata langsung menunjuk muka Kasau Suryadarma. “Mengapa AURI tidak membantu kapal saya?!” tanyanya sambil terlihat emosional. Suryadarma yang merasa tak pernah dilibatkan dalam operasi itu tentu saja tak bisa menerima begitu saja dirinya disalahkan. Menurutnya, tak ada alasan bagi AURI untuk menolak tugas jika memang sebelumnya sudah dikonfirmasi mengenai suatu operasi rahasia. “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada surat tembusan ke AURI bahwa ALRI sedang mengadakan operasi,” jawab Suryadarma dalam biografinya Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. Usai rapat, Suryadarma langsung menuju MBAU. Dari seluruh berita yang masuk melalui PHB Langgur ditemukan satu berita SOS yang berasal dari KRI Matjan Tutul (bukan dari KRI Harimau). Namun ketika dikonfirmasi oleh PHB Langgur, taka da respon sama sekali dari sana. Saat itu juga, PHB Langgur menindaklanjuti dengan melakukan cross-check ke PHB Cililitan, dilanjutkan dengan menanyakan kepada piket Komando Mandala. Namun piket Komando Mandala pun menyatakan tak tahu menahu tentang adanya kegiatan operasi tersebut. Suryadarma Diberhentikan Merasa tidak ada yang salah dengan AURI, dalam rapat kedua di Istana Merdeka bersama Bung Karno dan Kasad Nasution serta Kasal Martadinata, Kasau Suryadarma menyatakan bahwa AURI tak bisa disalahkan dalam kasus tersebut. “Bagaimana AURI bisa membantu kalau tidak tahu adanya kegiatan kalian. Kita harus lebih terbuka dalam merencanakan semua kegiatan operasi…” ujar Suryadarma. Apapun yang terjadi, Bung Karno terlanjur marah akibat Insiden Arafuru tersebut. Kepada ketiga kepala staf itulah, dia lantas bertanya: siapkah untuk melakukan aksi balas dendam kepada Belanda? Martadinata dan Nasution menyatakan siap. Hanya Suryadarma yang menyatakan tidak. Dalam biografinya, Suryadarma menyatakan tidak yakin dengan kekuatan personilnya. Jika keinginan Bung Karno, bahwa tentara kita harus diterjunkan secara besar-besaran di Irian itu artinya Indonesia sudah menyatakan perang terbuka kepada Belanda. Untuk perang terbuka, kata Suryadarma, PGT (Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara) tentu saja belum memiliki kemampuan itu. Mereka hanya bisa melakukan operasi terbatas saja. Soal perlengkapan komunikasi antar pasukan pun dinyatakan masih minim. Singkatnya, Suryadarma tidak ingin mengorbankan jiwa prajurit-prajuritnya secara sia-sia, hanya untuk menyenangkan hati Bung Karno. Kepada Si Bung, Suryadarma juga memaparkan bagaimana masalah akan terjadi jika pesawat-pesawat pembom AURI tidak mendapat pangkalan yang layak untuk menyerang posisi Belanda di Irian. “Kita memang punya Morotai, tapi terlalu jauh dari Irian. Adapun pangkalan udara Leftuan dan Langguran yang relatif dekat dengan Irian, kondisinya tidak memenuhi syarat untuk didarati oleh MIG-21…”ungkap Suryadarma. Alih-alih bisa menerima alasan Suryadarma, Bung Karno malah menarik Nasution dan Martadinata ke ruang sebelah. Mereka meninggalkan Suryadarma sendirian. Suryadarma sendiri mengakui dia sangat kecewa diperlakukan demikian oleh pimpinan tertingginya. Setelah beberapa lama, Bung Karno dan kedua kepala staf kembali ke ruangan di mana Suryadarma berada. Dengan suara berat namun tegas, ia menyatakan memberhentikan Suryadarma dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dan mengangkat Omar Dani sebagai penggantinya. Tentu saja, sebagai seorang tentara, tak ada sikap lain selain menerima pemberhentian itu secara lapang dada. Sepeninggal Suryadarma, operasi “balas dendam” pun dirancang. Awalnya aksi militer yang diberi sandi “Operasi Jayawijaya” itu akan dilakukan pada 12 Agustus 1962. Lantas karena banyak kendala, kemudian dimundurkan menjadi tanggal 19 Agustus 1962. Sebelum terjadi, empat hari pra operasi, markas besar PBB di New York mengumumkan bahwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda telah berhasil mencapai suatu kesepakatan: Belanda akan angkat kaki dari Irian Barat pada 1 Mei 1963, Maka otomatis Operasi Jayawijaya pun tidak jadi diselenggarakan.
- Cara Gratis Dapat Kapal Perang
SUATU hari, India meluncurkan satelit barunya, tetapi jatuh di Samudra Hindia. Pecahannya terdampar di perairan Aceh. Begitu mendapat laporan, Asisten Operasi Kasum ABRI Laksda TNI Soedibyo Rahardjo segera mengirim pesawat C-130 Hercules untuk mengambil pecahan itu. Tak banyak yang tahu, rongsokan apa yang harus buru-buru diambil itu. Waktu diangkut, pilot mengomel, “rongsokan gini aja kok harus dibawa ke Jakarta.” Begitu mendarat di Halim Perdanakusumah, Soedibyo menyimpannya di gudang khusus. Dikunci dan dijaga ketat. “Saya yakin ada pihak-pihak yang berminat. Benar juga, pihak Amerika yang berminat, cuma tidak tahu kepada siapa mereka harus berhubungan,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral. Rupanya ada yang membisiki, “ We can talk to the Admiral. ” Akhirnya, Atase Pertahanan (Athan) Amerika Serikat mendatangi Soedibyo. “Admiral, apakah aparat Anda menemukan sesuatu?” “Tidak ada,” jawab Soedibyo. “Ini ada report satelite was in a shore of Aceh .” “ Ndak , ndak ada itu,” kata Soedibyo. Athan kemudian membuka gambar satelit lengkap dengan peta dan menunjukkannya kepada Soedibyo. “Oh, ini maksudnya,” jawab Soedibyo seolah-olah tidak tahu. “Ya, ini, kenapa?” “Ini bagian dari peluru kendali India. Yang kita ingin tahu metalurginya apa?” kata Athan. “Metal ya? Diganti metal tidak?” Tanya Soedibyo. Si Athan bingung, “Maksudnya apa?” “Ya, saya minta diganti kapal perang. You boleh ambil itu tapi kita dapat kapal,” kata Soedibyo. Athan kemudian melapor ke atasannya di Washington DC. Mereka setuju. “Kita diberi tiga kapal perang bekas, tetapi masih bisa beroperasi secara utuh. (Rongsokan, red ) diangkut, baru ketahuan sistemnya India. Itu kan dari Rusia. Jadi, mereka mendapatkan nilai intelijen yang besar. Senilai tiga kapal fregat gratis dari sana untuk TNI AL,” kata Soedibyo.
- Jatuh Bangun Tugu Proklamasi
JIP-jip berisi orang Inggris terparkir di dekat Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta sejak pagi 17 Agustus 1946. Para wartawan asing tak mau ketinggalan untuk meliput acara hari itu. Mereka datang untuk mengawasi jalannya peresmian Tugu Proklamasi. Segala perisapan peresmian sudah siap. Tugu Proklamasi sudah diselubungi kain merah putih. Karangan bunga dari toko Florida milik Nyonya Gerung dan ibunya menjadi hiasan yang mengelilinginya. Tapi, hingga pukul sembilan pagi persemian belum juga dimulai. Padahal, jip-jip itu sudah mengawasi sejak tiga jam sebelumnya. “Pada jam 09.00 pagi saya kena marah Bung Syahrir,” kata Johanna Tumbuan atau Johanna Masdani dalam memoarnya di buku kumpulan cerita perempuan, Sumbangsihku Bagi Pertiwi . Rupanya peresmian tak kunjung dimulai karena menunggu rombongan dari Jalan Kimia. Maria Ullfah ada di rombongan itu. Mereka tak bisa masuk ke halaman Tugu Proklamasi karena dihalangi oleh serdadu India (Sekutu). Malam sebelumnya, para mahasiswa menginap di Gedung Proklamasi sementara para perempuan akan datang dari Balai Kota. Karena rombongan lain tidak bisa memasuki halaman Tugu Proklamasi, peresmian dilakukan orang-orang yang sudah ada di tempat. Alih-alih bersedia meresmikan, Walikota Jakarta Suwiryo justru menyarankan agar peresmian diundur menjadi 18 Agustus 1946. Dia mengkhawatirkan kegiatan yang berbau kemerdekaan menimbulkan clash dengan Belanda dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Mr. Maramis dan Jusuf Jahja juga ikut memperingatkan Johanna agar berhati-hati karena rawan terjadi pertumpahan darah. Johanna menolak untuk mundur. “Kalau kaum pria tak berani melakukannya, kami wanita akan melakukannya!” Acara pun tetap dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1946. Perdana Menteri Sutan Sjahrir bersedia datang dari Yogyakarta untuk meresmikan tugu. Gagasan Perempuan Ide pembangunan Tugu Proklamasi datang dari para perempuan anggota Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan Wanita Indonesia. Kedua organisasi itu lalu membentuk panitia dengan Ibu Sukemi sebagai ketua peringatan dan Johanna Masdani sebagai ketua subpanitia. Beberapa perempuan yang menjadi anggota antara lain Mien Wiranatakusumah, Zubaedah, Nyonya Gerung, dan Emily Ratulangi. Desain tugu dirancang oleh Johanna dan disempurnakan oleh Kores Siregar. Pembangunannya ditangani Pak Toyib. Dana pembangunan tugu berasal dari sumbangan masyarakat. Johanna dan kawan-kawan mencarinya dengan cara berjalan kaki atau bersepeda dari rumah ke rumah. Lantaran dana yang terkumpul cukup banyak, hampir setengahnya lalu mereka kirim ke pejuang di garis depan. “Tugu Proklamasi yang bersejarah itu merupakan persembahan kaum wanita Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan,” kata Johanna. Dilupakan Sayangnya, keberadaan tugu tak dipahami banyak orang. ST Sularto dalam Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa menulis, pamor Tugu Proklamasi mulai menyurut sejak 1956 karena tak banyak dipedulikan orang. Johanna sampai terkejut ketika membaca berita di koran Keng Po , Minggu, 14 Agustus 1960. Berita itu memuat pernyataan Angkatan ’45 yang ingin menghancurkan Tugu Linggarjati. “Saya tak habis heran. Betapa mungkin? Apa yang kami buat adalah Tugu Proklamasi,” kata Johanna. Lebih lanjut Sularto menulis bahwa menurut Presiden Sukarno Tugu Proklamasi ini adalah Tugu Linggarjati. Johanna kontan membantahnya. “Persiapan kami lakukan sejak Juni 1946 sedangkan Linggarjati terjadi pada November 1946. Ini kan suatu kekeliruan besar,” katanya. Kesalahpahaman mengenai sejarah pembangunan tugu inilah yang melatarbelakangi penghancuran Tugu Proklamasi. Pada malam 15 Agustus 1960, Tugu dan Gedung Proklamasi dihancurkan. Johanna yang datang ke lokasi ditemani suaminya, kaget dan sedih. Dia terpana melihat tugu yang dia dan kawan-kawannya perjuangkan sudah rata dengan tanah. Bagaikan mimpi baginya. Bersama Maria Ullfah dan Lasmidjah Hardi, Johanna lalu menemui Gubernur Jakarta Sumarno. Dari Sumarno dia menerima marmer bekas Tugu Proklamasi yang bertuliskan “Dipersembahkan oleh wanita Repoeblik” dan tulisan Proklamasi dilengkapi peta Indonesia. Marmer itu sudah pecah menjadi tiga bagian. Pecahan marmer itu lalu dia simpan selama 12 tahun. Pada 1972, Johanna didatangi seorang kolonel atas perintah Dr. Soedjono. Sang utusan meminta pecahan marmer itu untuk pembangunan kembali Tugu Proklamasi. Pak Toyib kembali dipercaya untuk membangun ulang tugu itu. Pada 17 Agustus 1972, Menteri Penerangan Budiardjo meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun ulang itu. “Impian saya terwujud kembali ketika pada 17 Agustus 1972 tugu itu diresmikan kembali,” kata Johanna.
- Hadiah untuk Sang Ratu
PADA akhir abad ke-19, Amsterdam ada di ambang perpecahan. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin menganga. Api konflik mengintip untuk berkobar hebat. Satu percikan saja, dipastikan dapat membakar salah satu kota terbesar di Belanda tersebut. Amsterdam ibarat api dalam sekam. Di tengah suasana panas itulah, pada 1896 sekelompok masyarakat Amsterdam dari kalangan atas dan bawah berinsiatif menurunkan tensi konflik. Caranya mereka membuka donasi untuk mempersembahkan sesuatu bagi Putri Wilhelmina yang baru saja dinobatkan sebagai ratu Belanda. Setelah terkumpul uang sejumlah 120.000 gulden, maka mereka memutuskan untuk membuat sebuah kereta kencana yang sangat indah. “Firma Spyker terpilih untuk menangani proyek pembuatan kereta kencana itu,” demikian menurut Thijs van Leewen dan Alberto Strofberg dalam Gouden Koets . Dua tahun kemudian kereta bersepuh emas itu pun terwujud. Kendati sangat indah dan anggun, tak ayal Sri Ratu sempat menolak pemberian itu. Rupanya gejolak demonstrasi menentang kehidupan mewah Tsar Nicolaas yang sedang marak di Rusia saat itu menjadi sebab penolakan tersebut. “Sri Ratu khawatir itu pun akan terjadi pada dirinya,” tulis Wim Hulsman dalam sebuah artikelnya di Reformatorich Dagblad edisi 21 September 2010. Sebagai bentuk penghormatan, maka diputuskan kereta kencana diabadikan di museum saja. Namun akhirnya Sri Ratu mau juga menerima persembahan cinta penduduk Amsterdam itu. Kali pertama dia mencoba kereta kencana terjadi pada 4 Februari 1901, beberapa hari sebelum pernikahannya dengan Pangeran Hendrik berlangsung. Puncaknya, kereta kencana itu digunakan dalam pesta pernikahan mereka. Sejak itulah, kereta kencana milik Sri Ratu Belanda menjadi simbol persatuan nasional. Benda mewah tersebut menyusuri zaman demi zaman dalam berbagai peristiwa yang sangat penting bagi Belanda. Untuk saat ini, kereta kencana secara rutin dikeluarkan jika Belanda memperingati Hari Pangeran (Prinsjesdag) yang jatuh pada tiap 21 September, di mana Sri Ratu mengumumkan anggaran pemerintahan untuk tahun mendatang. Selalu pada hari itu, Sri Ratu yang mengendarai kereta kencana tersebut dengan ceria dan ramah akan melambaikan tangannya kepada khalayak yang berderet sepanjang jalan seraya mengelu-elukannya. Namun tidak semua rakyat Belanda memiliki kebanggaan atas kebiasaan itu. Salah satunya adalah Marjolein van Pagee. Menurut jurnalis sejarah tersebut, menempatkan secara penting dan patriotis kereta kencana itu dalam sejarah Belanda, bisa menimbulkan kesan yang tidak baik terutama untuk rakyat yang tinggal di bekas koloni Belanda. Bagaimana tidak, kata Marjolein, lukisan yang tertera dalam badan kereta kencana menyiratkan betapa masih merasa digjayanya Belanda atas orang-orang Jawa (Hindia Belanda), Suriname dan Afrika. “Jika terus diakbarkan dalam suatu peringatan hari yang penting, saya pikir itu bisa menyiratkan pesan yang salah,” ujar Marjolein kepada Historia . Perlu diketahui, selain keindahanya kereta kencana itu juga memang mengandung kontroversi. Hal-hal yang mengundang kontroversi tersebut ada di badan kereta yang memperlihatkan lukisan berjudul “A Tribute from Colonies”. Di lukisan itu tergambar bagaimana seorang kuli kulit hitam dengan penuh dedikasi dan rendah diri menawarkan hasil kerja kerasnya kepada Sri Ratu dan para pembantunya yang berpakaian ala Yunani kuno. Lantas di sebelah kanannya ada juga gambar bagaimana Sri Ratu disambut dengan penuh kerendahan hati oleh seseorang yang berpakaian bangsawan Jawa, sementara seorang kuli Hindia membungkuk di belakangnya. Sungguh sulit menolakj jika semua gambaran itu dikatakan bukan sebuah bentuk perasaan superior bangsa Belanda terhadap negara-negara jajahannya yang digambarkan bersikap inferior. Karena itu sangat wajar jika Jeffry M. Pondaag dari Yayasan KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) menyebut kereta kencana tersebut alih-alih simbol persatuan melainkan sebagai simbol penindasan. Itulah yang membuat Jeffry bersikeras mengusulkan agar kereta kencana milik Sang ratu tersebut dikembalikan saja ke museum. “Karena ritual penggunaan kereta kencana itu dalam urusan kenegaraan dapat diartikan sebagai sebuah pola sikap dan bentuk kebijakan Kerajaan Belanda dalam setiap urusan kenegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Jeffry. Sebagai protes resmi, pada 2013 Jeffry lewat yayasan KUKB pernah membuat petisi terkait kereta emas ini dan banyak sekali didukung oleh masyarakat, baik dari kalangan keturunan Indonesia maupun dari warga Belanda asli. Tentu saja protes ini tak pernah mendapat sambutan dari pemerintah Belanda, kecuali sejak 2016 kereta kencana tidak lagi digunakan dengan alasan sedang mengalami renovasi. "Saya pikir dari julukan aslinya saja yakni "Upeti dari Koloni", kereta emas ini sangat bermasalah dan sangat rasis hingga tak layak lagi dibangga-banggakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda," ungkap Jeffry kepada Historia.





















