Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit
KERAJAAN Majapahit mengatur hubungan perempuan dan laki-laki cukup ketat. Aturan itu ada dalam prasasti dan kitab perundangan-undangan Agama. Prasasti Cangu (1358 M) yang berisi peraturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo memuat pula keterangan yang menyiratkan hukuman berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana. Aturan itu mengambil contoh kasus seorang tukang perahu tambang. Ia tak akan dianggap bersalah bila menyebrangkan perempuan manapun bila sudah bersuami. Selama dia tidak berbuat astacorah, yaitu delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian. Pun jika ada perempuan tenggelam dan dipegang oleh tukang perahu. Misalnya, jika tukang perahu mengangkat dan memegangnya. Sementara dalam teks perundang-undangan Agama, terdapat bab mengenai paradara. Bab ini ada di antara 19 bab yang jika ditotal semuanya berjumlah 275 pasal. Secara harfiah paradara berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. Paling tidak ada 17 pasal dalam bab paradara. Di antaranya ketentuan bagi pemerkosa. Orang yang memperkosa istri orang lain, dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam kasta. Bila dia perempuan berkasta tinggi, yang dikategorikan sebagai perempuan utama, jumlah dendanya dua laksa . Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa . Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali . Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa. Kendati begitu, penerima denda menjadi hak sang suami. “Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” tulis arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa. Denda diberlakukan jika sang suami menghendaki denda uang. Hukuman lainnya, pelaku bisa dipotong tangannya oleh raja. Dia diusir dari desa tempat tinggalnya dengan membawa tanda ciri kalau dia pernah memperkosa istri orang. Jika yang diperkosa belum menikah, dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi, laki-laki ini disebut babi. Laki-laki ini dikenakan denda empat tali oleh raja. Adanya saksi juga bisa menjadi pertimbangan kuat dalam kasus pemerkosaan. Dalam hal ini bila seorang gadis diperkosa dan berteriak menangis, dan banyak orang yang menyaksikan, orang-orang ini bisa menjadi bukti. Adapun pelaku dikenakan pidana mati oleh raja. Sementara jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan, dia dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa . “Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi. Berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya juga bisa dianggap pelecehan seksual. Itu bila dilakukan di tempat sepi. Dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. “Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,” tulis Titi. Dendanya menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali. “Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya, pokonya dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya. Perbuatan strisanggrahana juga meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa. Sementara menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja. Meskipun dalam teks undang-undang Majapahit begitu tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesi juru jalir. Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Namun bisa dikatakan, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.*
- Menolak Feodalisme
Ketika bertandang ke rumah Gusti Putri, Sujatin mendapat suguhan minuman yang disajikan dalam cangkir biasa tanpa penutup. Tuan rumah menyuguhkannya tanpa menggunakan nampan. Suguhan itu berbeda dari yang diterima Gusti Putri, bangsawan Jawa yang merupakan wali murid Sujatin. Selain dibawa dengan nampan, minuman Gusti Putri disajikan dalam cangkir cantik yang dilengkapi penutup. Sujatin merasa diperlakukan tak setara. Sebagai bentuk protes, dia tak menyentuh suguhan itu sama sekali. Sejak lama, Sujatin penentang keras praktik feodalisme dalam budaya Jawa. Hal itu merupakan bagian dari fokus perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia dan memperbaiki hak serta nasib perempuan. Bersama beberapa rekannya sesama guru yang kebanyakan bekas anggota Jong Java, dia mendirikan perkumpulan Poetri Indonesia tahun 1926. Sujatin terpilih sebagai ketua. Ketika para perempuan pejuang dari berbagai daerah akan menghelat Kongres Perempuan I, Sujatin aktif memperjuangkannya. Bersama rekan-rekannya dia mondar-mandir untuk untuk menyiapkan kongres, mulai dari menyiapkan penginapan di kediaman kerabat yang bisa ditumpangi menginap, meminjam Gedung Joyodipuran kepada bangsawan Joyodipuro, sampai mencari taplak meja yang selaras. “Tak mungkin memperoleh cukup taplek warna hijau. Apa boleh buat, kekurangannya kupinjamkan dari persediaan pribadi yang kubeli dari lelang-lelang orang Belanda yang pindah rumah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku . Usai kongres, perjuangan Sujatin melawan feodalisme tetap berjalan. Dalam keseharian, penentangan itu antara lain berbentuk penolakan Sujatin menggunakan bahasa Jawa krama kepada bangsawan. Sujatin lebih senang menggunakan bahasa Indonesia (saat itu masih disebut bahasa Melayu) kepada semua orang yang dia temui meski kala itu penggunaannya di kalangan bangsawan belum umum. Sujatin tak peduli penggunaan bahasa Indonesianya menjadi perbincangan. “Aku tidak suka tingkat hidup manusia dibedakan melalui bahasa. Perbuatan itu sangat kasar menurutku, menusuk hati golongan rendah,” kata Sujatin dalam biografinya yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku . Selain soal penggunaan bahasa, Sujatin selalu menolak menyembah sultan Yogyakarata. Sujatin pernah mengajukan beberapa syarat ketika diminta Gusti Putri menjadi guru privat bagi anaknya. Selain disediakan kereta kuda untuk antar-jemput mengajar, Sujatin baru akan menerima permintaan Gusti Putri bila diperbolehkan duduk di kursi, agar setara, bukan duduk di lantai laiknya perlakuan bangsawan saat itu. Sujatin aktif memprotes perlakuan terhadap perempuan keraton. Sejak masih sekolah di HIS, dia tak pernah tertarik gaya hidup ala keraton lantaran persoalan selir. Menurutnya, itu sangat memalukan. “Hanya sebagai barang untuk diperdagangkan, diambil sebagai selir kapan saja raja masih suka, untuk diberikan pada laki-laki lain jika raja sudah merasa puas,” kata Sujatin sebagaimana dikutip Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia . Ketika menghadiri rapat PPII di Rembang, 1930, dia berpidato mengenai nasib buruh dan gadis yang dijadikan selir. Posisi selir, yang dia umpamakan sebagai “pelipur lara”, menurutnya amat hina dan menyedihkan. Pidato itu membuat Sujatin dipanggil polisi keesokan harinya. Kepala polisi memperingatkannya agar berhenti mengkritik keluarga keraton. Sujatin juga diancam akan dikucilkan atau diusir dari Yogyakarta atau Surakarta bila masih mengkritik kehidupan istana. Sementara, pidatonya tentang nasib buruh perempuan tak disinggung. Tukang Bikin Patah Hati Lelaki Sebagai aktivis, waktu Sujatin untuk kehidupan pribadi tak sebanyak perempuan kebanyakan. Kehidupan pribadinya pun harus dia jalani berbeda dari kebanyakan gadis kala itu, termasuk soal asmara. Saat mempersiapkan Kongres Perempuan I, dia sedang menjalin kasih dengan bekas anggota Jong Java yang sudah lama dikenalnya. Keduanya terpaksa menjalani hubungan jarak jauh lantaran sang pria harus melanjutkan studi ke fakultas hukum di Batavia. Saat kongres, pacar Sujatin kebetulan sedang libur kuliah sehingga bisa pulang kampung sekaligus menemui Sujatin. Keduanya sudah punya rencana jalan-jalan bareng ke Kaliurang dan nonton di bioskop. Namun karena teramat sibuk menyiapkan kongres, Sujatin tak sempat menemui si pacar. Akibatnya, si pacar merasa tak diacuhkan lalu mengambek. Ketika si pacar sudah kembali ke Batavia, Sujatin mengiriminya surat permintaan putus. “Baru diuji sekian hari saja karena persiapan kongres, sudah marah. Berarti kita tidak sehaluan, tidak cocok. Lalu untuk apa hubungan yang sudah nyata-nyata tak selaras diteruskan?” tulis Sujatin dalam surat itu. Hubungan asmara Sujatin kembali kandas menjelang kongres bulan Desember 1930 di Surabaya. Pacar Sujatin, seorang mahasiswa Technische Hooge School, sengaja ke Yogyakarta untuk mengunjunginya. Namun, Sujatin malah sibuk menyiapkan materi pidato “Pendidikan Wanita”. Si pacar yang datang jauh dari Bandung pun kecewa dan hubungan berakhir. Lantaran membuat dua lelaki patah hati, Sujatin sempat mendapat julukan “tukang bikin patah hati lelaki”. Tapi dia punya pendapat lain. “Aku bukan mematahkan hati lelaki. Aku sedang berjuang, demi kemerdekaan bangsa dan perbaikan derajat kaum wanita.” Sujatin akhirnya menikah dengan laki-laki yang mau memahami dan mendukung perjuangannya, Pudiarso Kartowijono, pada 14 September 1932. Sejak menikah, namanya lebih dikenal sebagai Sujatin Kartowijono.
- Perdebatan di Kongres Perempuan
DENGAN khidmat, gadis-gadis anggota paduan suara menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia untuk menyambut para tamu. Layar panggung langsung menutup begitu mereka selesai menyanyi. Ketika layar kembali terbuka beberapa saat kemudian, deretan gadis berpakaian tradisional yang mewakili beberapa daerah di Indonesia telah berdiri di panggung. Para hadirin yang duduk di kursi-kursi dekat meja-meja bertaplak hijau langsung terkagum-kagum. “Hidup persatuan perempuan Indonesia!” kata mereka spontan. Suasana itu terjadi dalam pembukaan Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928. Kerjakeras panitia membuat acara itu terlaksana. “Sebagai panitia, kami harus hilir-mudik keliling kota menyelesaikan berbagai urusan. Kendaraan kami hanya sepeda. Tulis-menulis dilakukan dengan tangan karena mesin tik belum umum, mungkin hanya di kantor pemerintah,” ujar Sujatin, salah seorang panitia kongres, dalam biografinya, Mencari Makna Hidupku . Acara yang berlangsung di Gedung Joyodipuran itu dihadiri oleh mayoritas perempuan berusia 20-an tahun. Mereka kebanyakan kelas menengah-atas yang telah mengenyam pendidikan formal. Profesi mereka beragam, mulai guru, direktur asrama yatim piatu, hingga pedagang meski ada juga yang masih pelajar. Namun, kongres terbuka bagi perempuan non-pendidikan formal. Dua perempuan dari golongan ini yang hadir adalah Nyonya Soekonto dari Wanito Oetomo dan Marakati Drijowongso dari organisasi perempuan PSII. Nyonya Soekonto, yang berusia 39 tahun, merupakan ketua kongres. Dia dipilih karena paling tua. Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, unsur kejawaan sangat kuat dalam kongres pertama karena para panitia dan lokasi kongres yang berada di pusat kebudayaan Jawa, Mataram (kini Yogyakarta). Peserta lain yang belum mengenyam pendidikan formal adalah Marakati Drijowongso. Dia seorang pedagang kecil yang keadaan ekonominya sulit. Kemiskinan orangtuanya membuatnya tak bisa merasakan bangku sekolah. Meski begitu, dia aktif dalam organisasi wanita PSII sehingga menjadi salah satu wakil yang hadir dalam kongres. Kongres itu, menurut catatan Nyonya Toemenggoeng yang meliput, berjalan lancar. “Benar-benar tidak ada perdebatan: masing-masing pembicara mengucapkan gagasan-gagasannya sendiri,” tulisnya. Namun, kata Susan dalam buku yang sama, sempat ada perdebatan antara Siti Moedjijah, perwakilan dari markas besar Aisyiyah Yogyakarta, dengan beberapa perempuan penentang poligami. Perdebatan bermula ketika hak-hak perkawinan dibahas dalam pidato perwakilan organisasi-organisasi perempuan yang tak berlandaskan agama. Beberapa di antaranya, RA Soedirman, wakil dari organisasi Poetri Boedi Sedjati Surabaya. Dia mengatakan, “Sudah saatnya merebut hak-hak perempuan sebagai tujuan pokok gerakan kita.” Dominasi laki-laki atas perempuan, terutama dalam perkawinan, amat mengakhawatirkannya. RA Soedirman juga memberikan kritik pedas kebiasaan orang tua yang menikahkan anaknya dengan orang tak dikenal kemudian dalam pernikahan si perempuan harus tunduk pada suaminya. Djojoadigoeno, wakil Wanito Oetomo, juga membahas hal serupa. Menurutnya perempuan tidak mendapatkan hak setara dalam perkawinan. Diskriminasi terhadap perempuan dan upaya pembelaan terhadapnya itu pula yang menjadi isi pidato Djami dari Darmo Laksmi. Sedangkan Ny. Moegaroemah, wakilan Poetri Indonesia, mengkritik praktik perkawinan anak-anak dan mendesak para perempuan untuk bersatu melawan kebiasaan tersebut. RA Hardjodiningrat dari Wanita Katolik nimbrung ke dalam predebatan. Dia mengatakan pendekatan Katolik dalam perkawinan sebagai yang paling sempurna. Pandangannya diperkuat Djami, yang juga mengecam poligami. Mendengar banyak yang kritik mengenai perkawinan, Sitti Moendjijah berbicara membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami. Ketika Moendjijah membacakan pidatonya, anggota-anggota Aisyiyah bertepuk tangan mendukung pidatonya. Sementara, perwakilan dari Wanita Katolik saling mendekatkan kepala dan berbisik-bisik membicarakan isi pidato Moendjijah. Kata poligami yang menggema ketika Moendjijah berpidato, tulis Susan, bagai sengatan lebah bagi para perempuan muda dan membuat mereka sangat gelisah. Siti Soendari langsung mendebat pidato Sitti Moendjijah. Dia menyebut Moendjijah sebagai pembela standar ganda. Mendengar hal ini, Siti Moedjijah langsung menanggapi bahwa dirinya hanya menyampaikan apa yang diperbolehkan. Moendjijah juga membalas Siti Soendari dengan mengatakan bahwa Soendari terlalu banyak memandang dunia dengan kacamata merah muda. Panasnya suasana kongres membuat Nyonya Siti Zahra Goenawan, perwakilan Roekoen Wanodijo, berinisiatif melerai. Upaya perempuan yang datang dari Weltevreden (Jakarta) itu berhasil dengan tak dilanjutkannya perdebatan tentang poligami dan hak-hak perkawinan. Menurut Toemenggoeng dalam catatannya, para peserta kongres berusaha keras menunjukkan itikad baiknya untuk menciptakan persatuan perempuan. Ketegangan yang ada karena bahasan tentang perkawinan tak menghalangi tekad mereka untuk membentuk federasi Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Kongres itu, tulis Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, tak menitikberatkan perjuangan perempuan dalam urusan politik tetapi memajukan posisi sosial perempuan dan kehidupan keluarga. Hasil kongres menuntut pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah sekolah untuk anak perempuan, penjelasan taklik pada mempelai perempuan saat pernikahan, juga pembuatan aturan tentang pertolongan janda dan anak yatim piatu pegawai sipil.
- Ken Dedes Perempuan Utama
KEN Dedes kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya. Itu setelah kehadiran Ken Umang, Parameswari lain di samping singgasana Ken Angrok. Balatentara yang dapat diperintahnya juga tak ada lagi setelah Angrok merebut kekuasaan di Tumapel. Ia pun kehilangan kepercayaan dari ayah yang dicintai dan dipujanya dengan sepenuh hati. Sementara di dalam kandungannya, seorang bayi, anaknya dari musuh suaminya, sedang menunggu giliran untuk menjadi penguasa di Tumapel. Belum lagi Ken Umang pun tengah mengandung anak Ken Angrok. Di dalam kandungannya itu ada janin lain yang juga sedang menanti masanya untuk berkuasa di Tumapel. “Ken Dedes melihat kegelapan di hadapannya, dan ia tak rela. Untuk pertama kali ia biarkan airmatanya berlinang,” tulis Pramoedya Ananta Toer menggambarkan pergolakan hati Ken Dedes di akhir roman karyanya, Arok Dedes . Dalam Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai perempuan ardanareswari, yang artinya memiliki pertanda sebagai perempuan utama. Kendati begitu, dia juga dicitrakan seperti perempuan yang terombang-ambing oleh laki-laki. Dia terkesan tak banyak berperan ketika Tunggul Ametung dibunuh. Dia pun menjalin cinta dengan Ken Angrok tanpa ada pertentangan. “Ken Dedes terkesan perempuan yang pasrah. Dengan demikian akan bertentangan dengan kata marajaken karma amamadangi ,” tulis sejarawan Malang Suwardono dalam Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Citra Wanita Utama Ken Dedes adalah tokoh yang sulit diidentifikasikan. Dia hanya diceritakan dalam Pararaton. Tak ada di data teks lainnya. Bahkan, Ken Dedes tak disebut dalam Nagarakrtagama , hanya Ken Angrok sebagai awal silsilah keluarga Majapahit. Sama seperti Ken Angrok yang pernah dinyatakan sebagai tokoh mistis oleh CC. Berg. Ken Dedes pun dianggap tak pernah ada di dalam sejarah Jawa Masa Hindu-Buddha. “Membuang Ken Dedes dari sejarah Singhasari dan Majapahit sama halnya dengan mengambil satu mata rantai dalam sejarah Jawa,” bantah Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ketika ditemui di kediamannya. Kedudukan istimewa itu nampak terus ditegaskan oleh Pararaton. Beberapa kali serat itu menyatakan, Ken Dedes memiliki pertanda Stri Nareswari yang artinya perempuan utama, perempuan yang paling diunggulkan dari perempuan lainnya. Citra Ken Dedes sebagai perempuan yang perilakunya tercerahkan diperoleh gambarannya dalam Pararaton , sebagai perempuan yang telah mempelajari karma amamadangi . Karma amamadangi adalah perbuatan atau tindakan yang memperoleh penerangan atau perilaku yang tercerahkan. Pernyataan itu berkaitan dengan tanda istimewa yang dipunyai Ken Dedes, yakni Rahsya yang bersinar ( prabha ). Pertanda itu sempat disaksikan oleh Ken Angrok ketika Dedes turun dari kereta di Taman Boboji. Tanda itu, menurut Pararaton, hanya dimiliki orang tertentu yang mendapat karunia dewata. Tak sembarang orang bisa menangkap pancaran sinar itu. Dengan demikian, dia adalah orang pilihan yang memperoleh karuna dewata. Siapa pun yang menikahi, betapapun nestapanya, dia akan menjadi raja besar. Panggah Ardiyansyah dalam “Mencari Ken Dedes Sisi Lain Rekonstruksi Majapahit dalam Sejarah Nasional Indonesia” yang disampaikannya dalam Seminar Sejarah Nasional 2017 baru-baru ini, menilai penggambaran karakter Ken Dedes ini setidaknya memberikan kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan penceritaan tokoh perempuan pada umumnya. Sesuai gelarnya sebagai parameswari, Dedes bisa dianggap sebagai pemberi legitimasi bagi laki-laki yang memperistrinya. “Menjadi pasangan Ken Dedes merupakan simbol bagi penguasaan tanah Jawa,” tulis Panggah. Terlepas dari penggambaran Ken Dedes yang seperti menjadi korban ambisi laki-laki dalam berebut kekuasaan, dia bisa dianggap sebagai figur matriarki dalam takhta Dinasti Rajasa. Berawal dari rahimnyalah raja-raja Singhasari hingga Majapahit dilahirkan. “Bagaimanapun, dia adalah pengecualian, karena catatan standar Asia Tenggara jarang membiarkan perempuan memainkan tak lebih dari peran minor dalam sejarah,” tulis Barbara Watson Andaya dalam The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia. Dwi Cahyono menambahkan, tidak diberitakannya Ken Dedes dalam prasasti mungkin karena dia bukanlah pewaris takhta dari raja terdahulu. Dia adalah putri seorang rohaniawan. Dalam sejumlah prasasti Jawa masa Hindu-Buddha, istri raja, baik permaisuri ataupun selir, disebut bersama dengan raja yang berkuasa. Misalnya, Pramodhawardhani bersama Rakai Pikatan. Mereka pun disebut dalam konteks legitimasi bagi posisi raja bersangkutan. Tak beda jauh dari itu, Pararaton memiliki gaya tersendiri untuk melegitimasi Ken Angrok dan keturunan Ken Dedes. Itu melalui kekuatan magis, yaitu kemaluan yang bersinar. Arkeolog Agus Aris Munandar pun sepakat bahwa Ken Dedes sebagai Stri Nareswari dapat disamakan dengan Mahamaya, ibunda pangeran Siddharta dari Kapilawastu. Dari rahimnyalah lahir tokoh besar yang dikenal oleh manusia seluruh dunia, Siddharta Gautama. “Ken Dedes dimetaforakan sebagai Mayadewi. Ia adalah ikon dari seorang dewi sempurna yang melahirkan tokoh agung pembawa ajaran Buddha,” tulis Agus Aris Munandar dalam “Menafsirkan Ulang Riwayat Ken Angrok dan Ken Dedes dalam Kitab Pararaton ” , Jurnal Manassa Berkala Ilmiah Pernaskahan Nusantara Volume 1, Nomor 1, 2011. Adapun kecantikan Ken Dedes dicitrakan oleh Pararaton sebagai perempuan yang luar biasa cantik. Tak ada yang menyamai kecantikannya, hingga termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumampel. Sosoknya secara legendaris selalu dihubungkan dengan lambang keluwesan, kecantikan, dan tabiat lemah lembut dari seorang perempuan Jawa Kuno. Bagi Suwardono, sikap diamnya Ken Dedes terhadap kejadian di sekelilingnya adalah wujud kekecewaannya. Itu atas sikap Tunggul Ametung yang tak bersusila. Sang Akuwu telah melakukan salah satu dari astacorah (delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian). “Ken Angrok berperangai buruk, tapi dia tahu mendekati anak brahmana seperti itu salah. Dia tidak memaksakan cinta pada Ken Dedes,” ujarnya ketika ditemui di kediamannya, di Malang.
- Totalitas Srikandi Lapangan Hijau
KETIKA dirawat di Rumahsakit Hasan Sadikin, Papat Yunisal kedatangan banyak teman. “Suatu malam, kakak kelas Yati Sumaryati (ibu pesepakbola Airlangga Sucipto) datang jenguk saya yang waktu itu dirawat karena sakit kuning. Dia datang pakai jeket (klub) Putri Priangan yang tulsannya ‘Sepakbola Wanita’. Saya tanya, itu dari mana jaketnya. Dia bilang dari klub yang ikut kejuaraan sepakbola wanita di Yogyakarta,” ujar Papat kepada Historia saat ditemui di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi, beberapa waktu lalu. Kedatangan Sumaryati itu menjadi tonggak penting dalam sejarah kehidupan Papat. Sejak itu, dia berhasrat pada sepakbola. Olahraga terpopuler di jagat itulah yang kemudian mematri namanya di antara segelintir perempuan lain dalam persepakbolaan perempuan di tanah air. Mendobrak Monopoli Sepakbola Lahir di Subang pada 11 Juni 1963 dari pasangan Otman Atmo dan Juhariah Sabur, darah olahraga Papat datang dari ayahnya. “Ibu itu desainer, sedangkan bapak awalnya kepala perkebunan di Subang. Tapi memang sebelumnya bapak aktif di kompetisi-kompetisi mahasiswa. Ikut sampai delapan cabang olahraga,” kata Papat. Sejak kecil, Papat telah bersentuhan dengan bulutangkis, basket, hingga hoki. Dia lalu mengambil pendidikan formal di Sekolah Guru Olahraga (SGO) Bandung. Namun, kecintaan Papat pada sepakbola baru muncul setelah dia sakit kuning. Rasa penasarannya yang besar terhadap sepakbola membuatnya bersemangat untuk cepat sembuh. Usai opname, Papat dan tiga temannya mendatangi ketua klub Putri Priangan, Indra Tohir. Mereka mengajukan diri untuk ikut bergabung dengan klub sepakbola wanita tertua di Indonesia itu (1969). “Senang banget dia waktu kedatangan empat calon pemain baru. Waktu itu kan ya terbilang susah untuk cari pemain (wanita),” tambahnya. Setelah melewati beberapa tes, Papat lulus masuk klub Putri Priangan pada 1979 dengan posisi penyerang. Dia ikut memperkuat klub itu ke sejumlah kejuaraan, mulai Kartini Cup, Pangdam Cup, hingga Galanita. Penampilan baiknya membuat dia kemudian terpilih masuk timnas (Galanita) PSSI putri pada 1981. Meski sepanjang sejarah keikutsertaannya di berbagai ajang internasional sejak 1979 timnas PSSI putri belum pernah menjadi juara, Papat ikut mengantarkan timnas PSSI putri menjadi runner up ASEAN Women’s Championship 1982 –prestasi tertinggi yang belum bisa disamai para pesepakbola putri generasi-generasi berikutnya. “Juaranya waktu itu tuan rumah Thailand,” kata Papat. Bagi Papat, prestasi itu lebih berkesan karena dia berhasil menjawab keraguan ofisial. “Yang paling saya ingat di kompetisi itu, saat bikin gol satu-satunya di pertandingan sebelumnya lawan Singapura yang awalnya saya di bangku cadangan. Saya merasa harus ngotot sama pelatih untuk minta dimainkan,” sambungnya. Kengototan Papat berbuah setelah pelatih memberinya kepercayaan untuk menggantikan rekan di menit-menit akhir. Dari sebuah situasi scrimmage , Papat mencetak gol penentu kemenangan 1-0. “Keunggulan saya itu power (duel fisik). Makanya saya tabrak semua pemain lawan yang menghadang untuk dapat bola. Golnya kemelut, bolanya saya dorong dengan badan ke gawang. Saya sempat enggak percaya bisa gol. Rasanya seperti ada lautan yang akan menimbun saya,” tuturnya. Kemenangan itu membawa Indonesia ke final melawan Thailand. Sayang, dalam pertandingan pada 28 Maret di National Stadium, Bangkok itu Indonesia kalah. “Timnas Kerajaan (Thailand) menang 4-1 di laga final melawan tim Indonesia dan menerima trofi Putri Maha Chakri Sirindorn yang diserahkan langsung Marsekal Armporn Kondee kepada kapten Wannipa Yeepracha,” tulis Bangkok Post , 29 Maret 1982. Karier Papat kian moncer usai kejuaraan itu, terutama di klub. Tak seperti kebanyakan pesepakbola perempuan yang menyudahi karier usai menikah, totalitas Papat tetap terjaga bahkan setelah menikah pada 1986. “Pernah saya baru 40 hari habis lahiran, sudah main saking antusiasnya kembali ke lapangan. Tapi saya tetap harus cek dokter dulu, apa masih layak bermain bola. Sama dokternya saya dikasih syarat harus pake gurita (stagen) yang benar-benar ngepres. Pas main, syukurnya enggak ada rasa sakit atau nyeri sama sekali,” kenang Papat. Papat pensiun dari timnas PSSI putri pada 1987 dan tiga tahun kemudian total gantung sepatu. Tapi kecintaannya pada sepakbola membuat Papat tak bisa jauh darinya. Pada 2004, dia mendirikan Sekolah Sepakbola (SSB) putri bernama Queen. Dia juga mengambil kursus kepelatihan sehingga punya lisensi C AFC. Itu semua dilakukan Papat bukan semata untuk kepuasan pribadi tapi juga untuk memajukan sepakbola putri. Budaya patriarki membuat sepakbola putri di Indonesia tak populer. Jangankan prestasi, kaum perempuan sendiri banyak yang tak meminati. Butuh upaya dua kali lipat untuk mendongkraknya lagi dan itu yang terus dilakukan Papat. Totalitasnya dalam sepakbola meski sudah pensiun membuat Papat kemudian dipercaya PSSI memegang manajerial timnas PSSI putri di beberapa level usia dan kompetisi sejak 2006. Lewat Kongres PSSI 2016, Papat masuk ke Komite Eksekutif PSSI. Di sela-sela kesibukannya mengajar di STKIP Pasundan, Papat aktif menggalakkan Pertiwi Cup. Pada 9 Desember 2017, Papat didaulat secara aklamasi menjadi ketua Asosiasi Sepakbola Wanita.
- Ken Dedes Cinta Pertama Ken Angrok
MOTOR Devan Firmansyah, penggiat di Komunitas Jelajah Jejak Malang, memasuki areal pemakaman umum di Desa Polowijen, Malang. Dia mengarahkan motor bebeknya menyusuri jalan kecil yang kiri kanannya hanya terlihat nisan-nisan dan pohon kaboja. “Selamat datang di Setra Panawijen,” kata mahasiswa sejarah IKIP Budi Utomo, Malang itu. Setra marujuk pada tempat wingit. Setra biasanya berupa hutan yang pada masa Hindu-Buddha dijadikan tempat pembuangan atau pembakaran mayat. Banyak yang percaya lokasi itu pernah menjadi tempat bertapa Mpu Purwa, ayah Ken Dedes. Sejurus kemudian, Devan menunjukkan beberapa potongan bata kuno ketika melewati salah satu tikungan dalam kompleks makam yang luas itu. Sejarawan Malang Suwardhono mengiyakan kalau nama Polowijen yang kini dikenal, dulunya lebih dikenal dengan Panawijen. Kitab Pararaton menyinggungnya sebagai tempat tinggal seorang pendeta Bhrahama bersama seorang putrinya yang bernama Ken Dedes. Devan lalu menghentikan motornya di depan sebuah bangunan berpagar. Palang cagar budaya melindungi tempat itu. Situs Ken Dedes, begitu tempat itu dikenal. Apa yang ada di dalam pagar tak lebih dari sebuah bangunan baru, sebuah pendopo. Pendopo itu menghadap pada cungkup yang memayungi sebuah sumur. Di belakangnya ada cungkup kecil lain yang memayungi artefak, dikenal masyarakat dengan batu kenong. Lokasi ini nampaknya merupakan situs hunian keagamaan. Di sana pun sempat ditemukan beberapa fragmen bata merah. Menariknya, Situs Ken Dedes didukung pula dengan cerita tutur lokal. Suwardono, yang pernah menelitinya mengatakan, kisah itu berkaitan dengan riwayat putri Dedes, sebagai putri seorang penduduk di Panawijen dengan sosok pemuda dari daerah Dinoyo, Malang, yang bernama Joko Lulo. “Terdapat beberapa titik persamaan antara cerita rakyat Polowijen dengan naskah Pararaton , yang nantinya apabila keduanya dikonfirmasi akan terjalin sebuah peristiwa yang kontinuitas,” kata Suwardono, yang ditemui di kediamannya, di Kota Malang. Cinta Pertama Ken Dedes Sebagian penduduk Polowijen masih mewarisi riwayat nenek moyangnya. Ceritanya, pada zaman dulu di Desa Panawijen (kini Polowijen), Kota Malang hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Putri Dedes. Banyak yang datang melamar. Namun, tak ada satu pun yang dia terima. Datanglah lamaran dari seorang pemuda bernama Joko Lulo. Asalnya dari Desa Dinoyo. Parasnya buruk tapi kesaktiannya tinggi. Putri Dedes menolaknya dengan halus. Sebagai persyaratan, dia menyuruh Joko Lulo membuat sumur sedalam satu windu atau delapan tahun perjalanan. Di luar dugaan, Joko Lulo mampu membuat sumur itu dalam waktu singkat. Mau tak mau, Putri Dedes harus menerima pinangan Joko Lulo. Keluarga Joko Lulo meminta pertemuan pengantin hendaknya dilaksanakan pada waktu tengah malam. Artinya, sebelum suara tempat nasi terdengar, tanda pagi sudah datang. Permintaan ini diajukan demi menutupi wajah Joko Lulo yang buruk. Sayangnya, begitu hendak dipertemukan, tiba-tiba terdengar suara tompo , tempat nasi dari bambu, yang dibunyikan oleh para gadis Panawijen. Sebagian ada pula yang membakar jerami di sebelah timur. Akibatnya dalam waktu singkat ayam pun berkokok. Ketika cahaya mulai menerangi dan nampaklah wajah Joko Lulo yang buruk rupa. Melihat wajah asli Joko Lulo, Putri Dedes melarikan diri dan menceburkan dirinya ke dalam sumur windu. Joko Lulo pun menyumpahi warga Panawijen, kelak tak akan menikah hingga usia lanjut. Setelah mengeluarkan kutukan itu, Joko Lulo menyusul Putri Dedes menceburkan diri ke sumur. “Joko Lulo dan Putri Dedes menghilang tak diketahui rimbanya. Beberapa lama kemudian baru diketahui Putri Dedes sudah menjadi istri pembesar di Tumapel,” tulis Suwardono dalam hasil penelitiannya, Mutiara Budaya Polowijen . Setelahnya, alat-alat gamelan yang tadinya untuk menyambut kedatangan keluarga mempelai laki-laki berubah menjadi batu. Hingga kini terdapat tinggalan umpak batu di situs itu yang dipercaya sebagai alat gamelan yang membatu tadi. Bentuknya memang menyerupai gong. Sumur tempat Putri Dedes dan Joko Lulo menceburkan diri pun masih dikenal dengan nama Sumur Windu. Suwardono yakin Putri Dedes di Dewa Polowijen adalah tokoh yang sama dengan Ken Dedes yang pernah hidup di Desa Panawijen dalam Pararaton. “Hanya saja ada perubahan bunyi atas namanya, dari Dêdês, sebagaimana dalam Pararaton, menjadi Dedes dengan bunyi e pada kata ‘sentral’, menurut cerita tutur,” kata Suwardono . Dari tutur itu juga diketahuilah sebelum menjadi istri Tunggul Ametung, dia pernah dijodohkan dengan Jojo Lulo. Nama Joko Lulo tak ditemukan dalam Pararaton. Suwardono meyakini nama ini sebenarnya sebutan masyarakat Polowijen bagi Ken Angrok. Berdasarkan Pararaton, Ken Angrok dilahirkan oleh Ken Endok dengan ayah yang gaib. Dengan begitu, bisa dibilang Ken Angrok mempunyai ayah yang tak jelas. Sementara menurut Nagarakrtagama, hanya disebutkan ayahnya Sang Girinatha atau Siwa. Dalam kalangan bangsawan istana pun akan menimbulkan persepsi, leluhurnya, Ken Angrok, dikenal sebagai seseorang yang lahir tanpa ibu. “Jika mengikuti keduanya, akan didapatkan Ken Angrok lahir tanpa ayah dan ibu. Dalam lingkungan masyarakat Jawa ini disebut lola,” ujar Suwardono. Menurut Suwardono Joko Lulo yang buruk rupa dalam kisah tutur sebenarnya merujuk pada perilaku Angrok yang buruk. “Sebetulnya bukan mukanya, tapi perilaku,” katanya. Hal menarik lainnya dari kisah tutur ini adalah tempat asal Joko Lulo yang disebut dari Dinoyo. Di sekitar Desa Dinoyo ini terdapat Dukuh Karuman. Di sinilah Ken Angrok diaku dan mengaku sebagai anak Bango Samparan sebelum dia pergi berpetualang. “Ketika Ken Angrok dewasa, dia dikenal bukan sebagai pemuda dari Pangkur, tempat lahirnya, tetapi pemuda dari Karuman,” kata Suwardono. Bisa dimaklumi jika penduduk Polowijen lebih mengingat Dinoyo dibanding Karuman. Dinoyo adalah kota pemerintahan yang sudah dikenal sejak masa Kerajaan Kanjuruhan. Dinoyo bahkan masih dikenal hingga masa Mpu Sindok sebagai daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. “Sementara Karuman baru tercatat pada saat Pararaton digubah. Di dalam prasasti yang berkenaan dengan Malang tidak terdapat nama Desa Karuman,” ujar Suwardono. Lagipula, kata Suwardono, secara rasional tak mungkin Ken Dedes langsung jatuh cinta dan menerima begitu saja orang yang membunuh suaminya. Alasan yang masuk akal apabila Ken Dedes sudah mengenal Angrok jauh sebelum dia dilarikan oleh Tunggul Ametung. Begitupun Ken Angrok, alih-alih pertama melihat di Taman Boboji seperti versi Pararaton, justru sejak di Panawijen dia sudah menyadari kecantikan Ken Dedes. “Makanya ketika Tunggul Ametung mati, yang membunuh jadi Kebo Ijo, Ken Angrok naik takhta, kalau nggak kenal duluan Ken Dedes nggak mungkin. Bukan kenalnya di Taman Boboji,” jelas Suwardono. Apalagi mengingat tabiat Ken Angrok yang nakal. Dalam penjelajahannya berkeliling wilayah timur Gunung Kawi, dia menggagahi gadis-gadis yang ditemuinya. Sementara Pararaton memberitakan di Panawijen ada seorang putri pendeta yang cantik jelita, yaitu Ken Dedes. “Eh ‘hidung’ kaya Ken Angrok masa nggak tahu di sana ada gadis cantik. Jelas sudah tahu,” kata Suwardono. Ketika pada akhirnya Ken Dedes dilarikan Tunggul Ametung, sang Akuwu Tumapel, Mpu Purwa, dalam kutuknya seperti sudah tahu akan ada balasan setimpal bagi yang melarikan putrinya. Joko Lulo, yang menurut Suwardono adalah Ken Angrok itu, pasti tak akan tinggal diam melihat perempuan yang dia cintai dibawa lari. Tunggul Ametung akan dibunuh dan Putri Dedes akan direbut kembali. “Makanya ketika dilarikan akuwu , akhirnya dia (Ken Angrok) dimanfaatkan, oleh bapaknya (Mpu Purwa) dan para brahmana,” tegas Suwardono.*
- Petaka Pasadena
BERBEDA dari pelatih Fransisco Maturana dan gelandang Gabriel Jaime Gomez yang amat gelisah, bek Andres Escobar Saldarriaga tetap tenang menjelang laga kedua Kolombia di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat (AS). Pemain kelahiran Medellin, 13 Maret 1967, itu tak ingin tekanan publik negerinya merusak konsentrasi untuk bermain sebaik mungkin. Kedewasaan sikap Escobar, anak emas klub Atletico Nacional (Medellin), membuat dirinya kerap menjadi teladan di dalam maupun luar lapangan. Publik menjulukinya “ El Caballero del Futbol ” atau “Pria Sejati dalam Sepakbola”. Laga Petaka Para pemain Kolombia punya tekanan lebih berat saat memasuki Stadion Rose Bowl, Pasadena, California pada 22 Juni 1994. Selain lawan yang akan dihadapi adalah tuan rumah, mereka harus memenangkan pertandingan itu jika tak ingin terdepak dari perhelatan. Sebab, di laga perdana melawan Rumania mereka kalah 1-3. Keinginan untuk terus berada dalam turnamen itulah yang membuat para pemain Kolombia bersemangat. Selain memiliki catatan baik selama kualifikasi, mereka semangat karena lawan yang bakal dihadapi secara kualitas masih kalah baik. “Saya sudah siap main bagus,” kata Faustino Asprilla, penyerang Kolombia andalan klub Parma, dalam dokumenter besutan jurnalis Richard Sanders, Escobar’s Own Goal . Namun, petaka menghampiri Kolombia di menit ke-35. Escobar salah mengantisipasi umpan silang pemain sayap AS John Harkes. Upayanya menghalau bola justru mengarahkan bola ke gawang sendiri yang dijaga kiper Oscar Cordoba. Kolombia akhirnya kalah 1-2. Meski menang 2-0 atas Swiss di pertandingan berikutnya, Kolombia gagal melaju ke babak kedua. Kegagalan Kolombia dinilai ganjil. Terutama, karena sebelumnya di babak kualifikasi Kolombia tampil trengginas. Publik negeri itu, utamanya media-media dalam negeri, melayangkan beragam kritik pedas yang lantas memicu banyak ancaman penculikan dan pembunuhan terhadap entrenador (pelatih) Francisco Maturana dan pemain Gabriel Jaime Gomez. “(Suratkabar) La Pensa mendeskripsikan kelompok pengancam itu sebagai ‘Skuad Kematian Bayangan’. Mereka mengancam Maturana dan Gomez lewat telepon. Polisi kemudian mengawal kediaman Maturana dan Gomez selama beberapa saat,” tulis Koran New York Times , 24 Juni 1994. Sementara, Escobar sekembalinya ke kota asalnya di Medellin, terakhir kali terlihat di dekat sebuah klub malam El Indio oleh sejumlah saksi mata pada dini hari 2 Juli 1994. Escobar yang berada di dalam mobilnya, disebutkan didekati dan kemudian terlibat percekcokan dengan tiga orang tak dikenal. Seketika, meletuslah 12 kali tembakan. “Disebutkan seorang saksi, salah satu penembaknya sebelumnya mengatakan, ‘Terima kasih untuk gol bunuh dirinya’. Kemudian mereka melepas tembakan 12 kali dan meneriakkan ‘gol’ saat menembak Escobar. Trio pelaku kemudian kabur dengan dua mobil,” ungkap suratkabar LA Times , 3 Juli 1994. Escobar meninggal di tempat dengan keadaan tubuh yang berdarah-darah di dalam mobil. Kepolisian Medellin menduga kuat bahwa pembunuhan Escobar ada kaitannya dengan perjudian dalam sepakbola. Entah diduga bahwa Escobar dan kawan-kawannya disuap untuk kalah dari AS dan Rumania, atau karena memang para penjudi dari kelompok Kartel Medellin tak terima mereka kalah banyak akibat kekalahan Kolombia dari AS gara-gara gol bunuh diri Escobar. “Dalam penjelasan yang paling dipercaya, Kartel Narkoba Medellin bertaruh uang yang sangat besar dan kalah dalam taruhan itu karena Kolombia gagal maju dari fase grup. Kartel itu mengambinghitamkan Escobar,” sebut Nicolae Sfetcu dalam buku Game Preview. Tidak hanya publik Kolombia yang geger. John Harkes, pemain AS yang secara tidak langsung menyebabkan gol bunuh diri Escobar, turut terpukul kala mendengar kabar duka itu. “Saya seperti mati rasa mendengar berita itu. Di Kolombia dia pemain yang dihormati, dikenal sebagai pria sejati. Kami olahragawan dan semestinya tidak begini kejadiannya,” kenang Harkes dalam kolom yang ditulisnya di situs theplayerstribune.com , 3 Juni 2016. “Jelas saya merasakan kesedihan. Keprihatinan saya untuk keluarganya. Hari itu anda tak bisa fokus. Di hotel malam itu, Anda berusaha untuk terus fokus pada pertandingan, namun tidak bisa. Anda berusaha menemukan jawabannya dan tetap tidak bisa,” ujarnya. Pun begitu dengan pihak FIFA, yang diwakili Sekjen Sepp Blatter. “Ini hari paling menyedihkan dalam sepakbola menurut saya, baik dalam Piala Dunia maupun dalam kompetisi apapun,” ucap Blatter, dikutip koran Orlando Sentinel , 3 Juli 1994. Tidak butuh waktu lama buat kepolisian menangkap pelakunya. Seorang tersangka, Humberto Castro Munoz dalam interogasi polisi, tak membantah bahwa dia membunuh Escobar. Castro dikenal sebagai sopir seorang gembong kartel Santiago Gallon Henao yang diduga, kehilangan banyak uang akibat kalah taruhan. Namun Castro dan kedua tersangka penembak Escobar lainnya, Hernan Dario Velez Correa dan Luz Mila Correa, menyanggah bahwa pembunuhan itu sudah direncanakan dan ada hubungannya dengan kartel narkoba. Castro sebagai tersangka utama, dijatuhi hukuman 43 tahun penjara. Akan tetapi karena kelakuan baik, pada 2015 ketiganya bebas bersyarat. Kenangan akan Escobar tetap abadi di setiap jiwa rakyat Kolombia. Sekitar 120 ribu orang mendatangi pemakamannya. Setiap tahun di hari kematiannya, publik Kolombia mengenangnya dengan membawa serta foto-fotonya ke berbagai pertandingan. Memorinya juga diabadikan dalam sebuah patung yang disingkap pada 2 Juli 2002 di kota kelahirannya yang dibuat seniman Alejandro Hernandez. Dalam sebuah kesempatan pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA mengundang para kerabat Escobar untuk mengenangnya dalam laga pembuka Brasil vs Kroasia di Rio de Janeiro, 2 Juli 2014 yang kebetulan juga menghadirkan gol bunuh diri bek Brasil, Marcelo Vieira. “Piala Dunia yang dibuka dengan gol bunuh diri menghadirkan kenangan sedih itu kembali. Namun hal seperti ini acap terjadi kapapun. Kami senang bisa ada di sini dan punya kesempatan berbagi kebahagiaan tentang apa makna sepakbola bersama semua orang yang ada di sini,” kata Maria Ester Escobar, kakak perempuan Escobar, dilansir situs resmi FIFA, 2 Juli 2014.*
- Mereka Ingin Sukarno Mati
YOGYAKARTA pasca dibom pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Belanda pagi itu. Jalan-jalan menjadi lengang. Beberapa mobil terbakar menjadi puing. Sementara arus pengungsi mengalir ke luar kota, sepasukan para komando Belanda bergerak perlahan menuju Gedung Agung di dekat Stasiun Yogyakarta. Sempat terjadi perlawanan kecil dari beberapa unit TNI, namun itu tak jua sanggup membendung pergerakan para penyerbu. “Desember 1948, Belanda menjatuhkan hadiah Natal tepat di atas cerobong asap dapurku: Jam 5.30 pagi hari Minggu, tanggal 19,” ujar Sukarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adam dalam Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia . Sejarah mencatat, Sukarno beserta 150 orang lainnya lantas resmi menjadi tawanan Belanda. Bersama tokoh-tokoh Republik lainnya, dia kemudian diasingkan ke Bangka. Puaskah Belanda? Sejatinya tidak. Menurut Sukotjo Tjokroatmodjo, dalam skenario Jenderal S.H. Spoor, Panglima Militer Tertinggi Belanda di Indonesia, Belanda sesungguhnya menginginkan Sukarno dilenyapkan dari muka bumi. “Mereka ingin Presiden Sukarno mati,” ujar eks komandan salah satu unit pasukan pengawal Presiden Sukarno tersebut. Pendapat Sukotjo berkelindan dengan uraian yang pernah dituliskan oleh Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 . Menurut Maulwi, kendati mendapat kemenangan besar dengan menguasai Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta, namun Spoor sangat kecewa ketika mendapat laporan bahwa Sukarno berhasil ditawan. Begitu kecewanya, hingga menurut Sukotjo, dia sempat berteriak: Kita kalah! Berdasarkan laporan intelijen militer Belanda, Spoor sangat yakin bahwa ketika Yogyakarta diserang maka Sukarno berserta jajarannya akan langsung mengadakan perjuangan gerilya. Bahkan oleh tim intelijen Belanda disebutkan: Sukarno-Hatta akan memimpin langsung perang gerilya dari suatu Markas Besar Komando Gerilya di Dungus, sebuah tempat yang terletak di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur. Maka dibuatlah skenario cermat, Markas Besar Komando Gerilya itu nantinya akan diserbu oleh Brigade Marinir Kerajaan Belanda dan Brigade Irene (suatu unit yang memiliki pengalaman dalam pertempuran di Normandia semasa Perang Dunia II). “Rencana Spoor, Bung Karno dan Bung Hatta akan dieliminasi (dilenyapkan) dengan dalih mereka terbunuh dalam kontak senjata,” ujar Maulwi. Alih-alih memimpin perang gerilya, Sukarno-Hatta malah membiarkan diri mereka menjadi tawanan. Itu jelas membuat jengkel Jenderal Spoor hingga menurut Roeslan Abdulgani dalam surat kabar Merdeka , 30 Desember 1989, Spoor memerintahkan secara khusus kepada Kapten Vosfeldt dari IVG (Dinas Rahasia Militer Belanda) yang megemudikan jip dan membawa Sukarno ke Lapangan Maguwo untuk “memberi peluang” sebesar-besarnya kepada Presiden RI itu untuk melarikan diri. Nyatanya kendati tidak dikawal secara ketat dan mobil jip secara sengaja dilarikan secara perlahan oleh Vosfeldt, Sukarno tak jua melompat untuk lari. Maka lenyaplah dalih tentara Belanda untuk menembak mati Sukarno dalam perjalanan dari Gedung Agung-Lapangan Maguwo. Sebagai catatan, Roeslan mendapatkan informasi tersebut dari sebuah dokumen laporan seorang perwira Belanda yang mengungkap rencana pembunuhan tersebut. Dokumen itu, kata Roeslan, tersimpan di sebuah museum Belanda. Rencana A gagal, sempat pula terbit rencana B. Dalam Zwolse Courant , 12 Mei 1998, Mr. J.M.A. Hubert Luns, eks Menteri Luar Negeri Belanda, membuat suatu pengakuan yang mengejutkan: mereka akan membunuh Sukarno di dalam pesawat Dakota yang menerbangkan para tawanan ke Medan. “Saya sempat berpikir untuk menyuruh orang melemparkan Sukarno dari pesawat terbang…Namun rasanya perbuatan itu tidak beradab,” demikian kata Hubert. Apakah rencana brutal itu memang serius? Hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.*
- Peta Sebagai Sumber Sejarah
SEKALI waktu, Alfonso de Albuquerque -pemimpin armada Portugis yang menyerang Malaka pada 1511- mengirim sebuah peta yang bertuliskan huruf Jawa kepada raja Portugal. Namun sayang, tulis Adrian B Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke -16 dan 17 , kapal yang membawa peta itu tenggelam di tengah jalan. Dalam catatan bangsa Portugis, peta sudah dikenal pelaut dari Nusantara untuk berlayar pada awal abad ke- 16. Penyataan Lapian itu menunjukkan masyarakat Nusantara sudah lama mengenal konsep ‘ruang’ dalam kerangka kekuasaan. “Sebenarnya kita sudah memiliki gagasan mengenai space sendiri, yang saya sebut sebagai pengetahuan geografi Nusantara. Dulu, kita memiliki konsep ruangan tradisional, sak pandelengan (satu sapuan mata - red ). Apa itu konsep sak pandelengan ? Jadi wajar ketika mengklaim wilayahnya tidak harus membuat demarkasi, didelineasi dengan alat sextan. Namun sejauh raja bisa memandang, itu milik dia,” ujar Uji Nugroho Winardi, sejarawan Universitas Gajah Mada yang khusus mendalami sejarah kartografi. Teknik pembuatan peta terus berkembang. Hal itu berujung dengan munculnya kartografi, ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang peta, mulai dari sejarah, perkembangan, pembuatan, pengetahuan, penyimpanan, hingga pengawetan serta cara-cara penggunaan peta.“Kartografi itu kata yang genuine muncul di abad ke-19,” ujar Uji dalam Seminar Sejarah Nasional di Universitas Gajah Mada, 14-16 Desember 2017. Sejak menguatnya dunia pelayaran orang Eropa ke Asia, peta memiliki posisi penting. Ia dipandang sebagai pemantik munculnya kapitalisme. “Peta laut bikinan Petrus Pancius, diberi judul Insulae Moluccae Celeberrimae , dibuat tahun 1594. Ini digunakan kongsi dagang Belanda untuk iklan. Jadi berdasarkan peta ini, mereka mencari siapa yang mau tanam saham untuk mendanai pelayaran. Peta ini kemudian memacu munculnya kapitalisme. Peta ini diproduksi secara massal dan untuk pewarnaan, menggunakan tenaga perempuan dan anak-anak untuk mewarnai di rumah. Ini memutar roda ekonomi,” ujar Uji. Dalam penulisan sejarah, tidak banyak orang menggunakan peta sebagai sumber sejarah atau sumber kajian. Uji membagi dua penulisan sejarah yang memfokuskan pada peta, yaitu karya sejarah yang menelaah mengenai peta dan karya sejarah yang menggunakan peta sebagai kekuatan pada kajiannya. Karya paling awal adalah Boegineesche Zeekarten van den Indische Archipel dari Le Roux yang, terbit pada 1935. Le Roux menelaah peta laut orang Bugis. “Dia melakukan overview beberapa peta indigenous yang diproduksi orang Bugis. Peta ini disimpan di Utrecht, yang kemudian disebut peta bajak laut. Kemudian ada nama Jan O Broek, dia melakukan penamaan geografis, yang sekarang berkembang pesat menjadi toponimi. Toponimi adalah anak asli dari produk kartografi yang kawin-mawin dengan pengetahuan lain,” ujar Uji. Selain kedua nama tersebut, ada Ferjan Ommeling. Dia menyusun buku Colonial Cartography of the Netherland Indies 1816-1942 . Ferjan adalah anak Ferjan Ommeling Senior, orang yang berjasa bagi Indonesia karena mentransformasikan Indische Topografische Dienst menjadi Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Mengkaji peta atau menggunakan peta sebagai sumber sejarah menjadi nilai khusus bagi seorang sejarawan. Dengan mempelajari atau menguasai pembacaan peta, ia akan dapat “memanfaatkan peta untuk menulis berbagai jenis karya sejarah seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya; memahami sejarah keruangan suatu tempat; dan tema mengenai state formation , baik kolonial maupun nasional dan empire creation menjadi salah satu isu penting. Dalam hal ini, periode kolonial –terutama untuk kasus Indonesia– menjadi sangat penting dalam pembentukan teritori negara,” ujar sejarawan muda berkumis tebal itu. Pemahaman mengenai peta atau penggunaannya sebagai sumber kajian, dalam konteks Indonesia menjadi penting sebab hingga hari ini penghitungan pulau-pulau di seluruh Indonesia pun belum selesai.*
- Kesadaran Sejarah Tumbuhkan Kepedulian pada Kota
DALAM kurun 30 tahun terakhir, komunitas sejarah berkembang ke arah interaksi publik dengan masa lampau. Beriringan dengan perkembangan akses informasi kesejarahan, maka semakin luas pula komunitas sejarah yang dilakukan masyarakat atau kelompok yang terorganisir. Persoalan komunitas sejarah menjadi salah satu bahasan menarik dalam seminar nasional sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 15 Desember 2017. “Potensi kemunculan komunitas kota harus direspons oleh sejarawan. Karena identitas kota dibentuk atas cerita yang dibangun dari sejarah kota itu sendiri. Jika cerita yang muncul tidak mendukung kemunculan kota yang inklusif atau multikultur maka akan mematikan ruang kota buat banyak orang. Jadi, tugas moral sejarawan ada di situ. Jika kita sudah bersepakat untuk engage dengan orang untuk membangun civic culture , harus yang bersifat inklusif,” ujar Farabi Fakih, sejarawan UGM, kepada Historia . Beberapa tahun belakangan, Farabi mengakrabi beberapa komunitas yang ada di Indonesia, di antaranya adalah komunitas Kota Toea Magelang di Jawa Tengah dan komunitas Aluet di Bandung, Jawa Barat. Dia menilai komunitas-komunitas ini sudah berupaya merespons kota dengan segala ceritanya. Frasa “komunitas sejarah”, menurut Faye Sayer dalam Sejarah Publik , digunakan untuk menjelaskan proyek warisan budaya di Hungate, York, Inggris Raya. Ini adalah satu situs yang tidak memiliki komunitas menetap sejak 1930-an. Namun, terletak di jantung kota yang padat penduduk, dalam lingkungan huni yang memiliki warisan kesejarahan dan arkeologis yang kaya. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, di Inggris muncul gerakan sejarah publik seperti history workshop . Kemudian pada 1983, Bradford Heritage Recording Unit terbentuk atas usaha dewan kota dan pemerintah kota Bradford didanai komisi pemerintah yang menyediakan kerja sementara bagi penganggur. Komunitas ini merekam kisah-kisah penduduk yang multikultural dan memberikan kesempatan bagi komunitas lokal untuk terlibat dalam komunitas sejarah. Ujung dari gerakan yang luas ini, yang didukung pendanaan dari pemerintah dan riset akademik dalam komunitas sejarah, adalah bertumbuhnya perkumpulan lokal baru, dan menjadi bagian dari 654 perkumpulan sejarah lokal di Inggris hingga saat ini. Jika komunitas sejarah sudah begitu subur di Inggris, bagaimana dengan di Indonesia? “Pasca runtuhnya negara kolonial, penulisan sejarah di Indonesia tertarik sepenuhnya ke universitas. Jadi, bukan lagi dilakukan oleh masyarakat. Sementara kalau kita lihat dari sejarah kota sebelumnya, ditulis oleh orang-orang biasa, seperti guru, dokter, bagian dari kemunculan masyarakat sipil kolonial,” ujar Farabi yang membawakan makalah “Sejarah Kota sebagai Public History : Komunitas Menulis Sejarahnya Sendiri.” Di Amerika dan Eropa, sejarah publik sudah berkembang sedemikan rupa. Sejarah publik merupakan gerakan metodologi dan pendekatan yang mempromosikan studi dan praktik kolaboratif dari ilmu sejarah, yang praktisnya merangkum misi untuk membuat masyarakat paham dan berwawasan sejarah. Jadi, kalangan sejarawan ingin menarik masyarakat atau komunitas menjadi partisipan dalam produksi sejarah. “Penciptaan public history di Indonesia itu mulai tampak dalam konteks kemunculan komunitas pelaku sejarah. Pasca Orde Baru, mulai bermunculan kan beberapa komunitas, seperti komunitas tur sejarah,” ujar Farabi. Beberapa komunitas sejarah, dalam penelitian Farabi, sudah bergerak secara massif dengan menggelar kelas-kelas literasi seperti menggelar diskusi, menulis dan jalan-jalan. Kesadaran sejarah ini mahal. Banyak kota di Indonesia tidak memiliki masyarakat sipil yang kuat. Mereka abai dengan lingkungannya, seperti membiarkan jalanan hancur dan trotoar kotor. Sikap abai ini karena masyarakat setempat tak memiliki perasaan memiliki sebuah kota tempat dia bernaung. Pemunculan sikap peduli terhadap kota bisa dimulai dengan menghadirkan sejarah publik sebagai hasil kolaborasi sejarawan dan komunitas sejarah. “Sebagai contoh, bisa antara sejarawan dan orang-orang yang aktif di komunitas bisa menulis sejarah bareng. Mereka bisa saling melengkapi. Sejarawan bisa membantu mengenai masalah metodologi lalu akses sumber, dan komunitas bisa melengkapi perspektif. Komunitas ini kan sudah memiliki sudut pandang menciptakan masyarakat sipil yang kuat atau lingkungan yang inklusif,” ujar Farabi.
- Lenong Menembus Lorong (Zaman)
SAMBIL membawa kaleng kerupuk, Beny (diperankan Benyamin Sueb) buru-buru keluar rumah. Dia bingung. Mimin (Aminah Cendrakasih), gadis tetangga yang “bertamu”, datang sambil membawa sapu dan marah-marah. “Biar lu lelaki, gue kaga takut,” kata Mimin. “Sabar..sabar! I kan lagi latian lenong,” timpal Beny sambil senyum. “Gue kaga peduli. Lo mau jungkir balik, kek, bukan urusan gue. Lo udeh bikin brengsek begini.” “Kita kan bertetangga, udah pantesnya saling tolong-menolong. Betul nggak?” “Iye kalo tetangga bener. Ini tetangga sarap, kaga punya otak, sedeng.” Adegan pertengkaran pemuda Benny dan gadis Mimin yang bertetangga itu merupakan cuplikan film Raja Lenong (1975) yang dibintangi antara lain oleh Benyamin Sueb, Aminah Cendrakasih, Hamid Arif, dan Wolly Sutinah (Mak Wok). Film besutan Syamsul Fuad itu mengisahkan kehidupan Beny yang berprofesi sebagai pemain lenong kerap harus menelan pahit-getir kehidupan lantaran pandangan miring masyarakat terhadap profesi itu. Namun dalam kehidupan riil, lenong justru betahan sebagai salah satu kesenian Betawi yang paling populer hari ini. Kemunculan lenong sebagai teater rakyat betawi diawali oleh beberapa pertunjukan lain di era kolonial seperti Komedie Stambul, gambang kromong, dan tontonan wayang baru seperti Wayang Sumendar, Wayang Senggol, dan Wayang Dermuluk. Kelompok sandiwara Dardanella yang populer kemunculannya juga terjadi pada masa itu. “Lenong baru tumbuh dan berkembang sekira tahun 1920-an. Itu teater yang dipengaruhi oleh Komedie Bangsawan dan Dardanella. Orang-orang Tionghoa tidak mau kalah. Mereka membuat teater yang seperti itu,” kata peneliti budaya Betawi Rachmat Ruchiyat. Sejalan dengan pernyataan Rachmat, penulis buku Seni Pertunjukan Kebetawian Julianti Parani mengatakan pada Historia, perkembangan Lenong di era kolonial didukung oleh kondisi Batavia yang multikultur. Selain orang Betawi, berbagai suku-bangsa mulai orang Eropa, Asia Timur, hingga budak-budak dari beberapa wilayah Nusantara mendiami Batavia. “Perkumpulan yang multikultural itu benar-benar bisa mendorong orang untuk berkesenian,” kata Julianti. Dalam kehidupan kolonial, sambung Julianti, selain terdapat penderitaan kaum terjajah, di lain sisi juga memberi ruang kepada pendidikan dan kesenian untuk berkembang. “Betawi itu semacam muncul karena ada hubungan dalam kehidupan perkotaan. Saya nggak mau bilang seni urban karena itu konotasinya lain. Tapi memang perkotaan yang membentuk kesenian Betawi. Meskipun ada cerita rakyat seperti Si Pitung, itu adalah wujud kesenian dari hububungan masyarakat dengan kolonial. Jadi ada satu tantangan dalam kehidupan kolonial yang membuat orang bergairah untuk berekspresi.” ujarnya. Lenong sebagai produk dari kondisi multikultural menampilkan cerita dari berbagai daerah. Dalam setiap penampilan lenong, terselip pantun-pantun dalam dialognya dengan musik gambang kromong sebagai pengiring. Penggunaan gambang kromong sebagai pengiring pertunjukan lenong diprakarsai oleh pemimpin penduduk Tionghoa di Batavia Nie Hoe Kong. Nie menggunakan peralatan gambang, soekong, hosiang, tehian, gihian, kongahian, suling, kecrek, dan ningnong –sebagian dari peralatan ini masih digunakan untuk mengiringi lenong Betawi hari ini– dalam pertunjukan musiknya. Bunyi “nong, nong, nong” yang dihasilkan gambang kromong inilah yang membuat masyarakat menyebut pertunjukan drama itu sebagai lenong. Namun, itu bukan-bukan satu-satunya versi kelahiran lenong. Menurut Ary Setyaningrum dalam skripsi berjudul “Dinamika Keseniang Lenong Betawi 1970-1990”, lenong berasal dari nama seorang saudagar Tionghoa, Li En Ong. Karena dia kerap menggelar pertunjukan untuk menghibur masyarakat, orang lalu menyebut pertunjukan itu dengan lenong. Dalam perkembangannya, lenong terbagi menjadi dua: lenong dines dan lenong preman. Lenong dines muncul lebih dulu, menceritakan kehidupan raja-raja zaman dulu. Disebut dines karena pertunjukannya lebih resmi dibanding lenong preman. Pertunjukannya pun menggunakan Bahasa melayu tinggi dalam dialognya. Sementara, lenong preman muncul pada 1960-an. lenong preman lebih banyak menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan bahasa Melayu dan pakaian sederhana. Kemunculan lenong preman menggusur kepopuleran lenong dines meski tetap tak mematikannya. Pada 1968, lenong sebagai teater rakyat saban bulan diangkat ke panggung Taman Ismail Marzuki. Penontonnya selalu penuh. Popularitas lenong meroket hingga akhirnya diangkat ke layar lebar. Bukan hanya itu, popularitas lenong juga melahirkan seniman-seniman terkenal seperti Mak Nori, Nasir, dan Bokir, yang kerap main dalam film horor Suzanna. “Kejayaan ini betahan hingga satu dekade,” kata Julianti.
- Para Sultanah di Kesultanan Aceh
KITAB Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari menyatakan seorang raja haruslah laki-laki. Namun, justru di Acehlah tempat kitab itu disusun pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta sesudah tahun 1641. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana. Namun, bila diperlukan, misalnya untuk menghindari perang saudara, seorang putri raja dapat menggantikan ayahnya. Ia tak boleh tampil dan harus tetap tersembunyi di belakang tirai apabila hendak berbicara dengan menteri-menterinya. Itu seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiyatuddin, sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang wafat. Putri Iskandar Muda ini, tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia , menjalankan pemerintahan yang lebih lunak. Perubahan-perubahan mendasar terjadi dalam kekuasannya. Ini akhirnya melahirkan struktur kerajaan yang sangat berbeda. Misalnya, dia memerintahkan untuk membuka semua pusat pendidikan tak cuma untuk laki-laki. “Ratu menganjurkan, bahkan kadangkala mewajibkan kaum perempuan belajar,” tulis A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Menurut Reid, sumber dari dalam maupun dari luar mengatakan Aceh di bawah pemerintahannya sangat tertib dan makmur. Dia pun berhasil menciptakan iklim yang sangat menguntungkan bagi pedagang luar negeri. Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa sultanah menerapkan hukum yang keras, seperti hukuman mati kepada orang yang mencuri milik kesultanan. Pieter Willemsz, pegawai Belanda yang berada di Aceh pada 1642, menyaksikan seorang penduduk Aceh dihukum mati karena mencuri seekor kuda kerajaan. Berdasarkan kesaksian Caspar Schmalkalden, seorang Jerman yang berkunjung ke Aceh pada 1647, hukum pencurian umum dibagi menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil biasanya diganjar dengan potong hidung atau kuping. Sedangkan pencurian besar dihukum dengan potong tangan dan kaki. Oleh karena itu, di jalanan Aceh, dia melihat banyak orang Aceh tak punya tangan dan kaki karena mencuri. Meski begitu mereka bisa berdiri, berjalan, bahkan berjoget dengan bantuan tongkat bambu. Sultanah ke-14 itu juga menerapkan hukum yang ketat bagi para pemabuk. Menurut catatan Jacob Compostel, seorang utusan Belanda di Aceh, seorang Eropa dipotong tangannya karena ketahuan mabuk-mabukan di Kota Aceh. Bahkan, sultanah menghukum dua orang Aceh yang mabuk-mabukan dengan menyuruh mereka menelan timah panas. Setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin yang memerintah sejak 1675-1678. Menurut Hasjmy dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin menduduki kursi kesultanan. Kaum wujudiyah menghanguskan istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Sabotase ini membuat pemerintahannya lumpuh. Untuk memperkuat kedudukannya, Nakiyatuddin merombak beberapa pasal dalam Kanun Meukuta Alam atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian. Hukuman mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku. Sultanan Zakiyatuddin dan Sultanah Kamal Shah. (Repro 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu ). Setelah Nakiyatuddin mangkat, Inayat Syah Zakiyatuddin menggantikannya sejak 1678-1688. Menurut Hasjmy sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Ketika memerintah, Zakiyatuddin mengikat perjanjian persahabatan dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan kekuasaan VOC. Dia juga bertindak cepat memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan. William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688, mencatat Zakiyatuddin menerapkan hukuman yang berbeda. Jika seseorang mencuri untuk pertama kalinya dan tanpa kekerasan, dia hanya dihukum cambuk. Sementara jika dengan kekerasan dan nilai curiannya besar, hukumannya potong anggota badan sampai diasingkan seumur hidup. Sultanah ke-16 ini meniadakan hukum kisas. Ia memilih menjalankan hukum adat, yaitu hukum sula (mati). Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Tak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat, pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang Kaya. “Empat Orang Kaya yang tinggal jauh dari istana mengangkat senjata menantang ratu yang baru dan para Orang Kaya yang lain dan membawa pasukan sekira 5000 atau 6000 menyerang ibu kota,” tulis Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, mengutip William Dampier. Opisisi itu menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki. Namun, sang ratu mengundurkan diri pada 1699 bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala. “Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid. Menurut Amirul Hadi, tak ada aturan baku yang jadi pedoman perihal apakah perempuan boleh naik takhta atau tidak. Kekaburan aturan ini justru memberi ruang yang fleksibel dalam suksesi raja-raja Aceh. Dari sejarahnya, Reid menekankan, peran perempuan di kawasan ini memang sangat besar. Ini menjadi modal utama dalam membentuk watak masyarakat yang toleran terhadap pemerintahan ratu. “Masyarakat Austronesia, termasuk Polinesia, Madagaskar, sebagaimana juga Indonesia dan Filipina barangkali lebih cenderung menempatkan perempuan dari keluarga bangsawan di singgasana daripada masyarakat di tempat lain,” tulisnya. Pendapat Reid itu ada buktinya. Antara paruh kedua abad ke-14 dan paruh pertama abad ke-15, Samudra Pasai diperintah oleh dua ratu: Nur Ilah yang wafat pada 1380 M dan Nahrasiyyah yang wafat pada 1428 M. Sejak abad ke-14, Kerajaan Bone di Sulawesi juga diperintah oleh enam ratu. Sementara Kesultanan Malaka tidak pernah menempatkan perempuan pada pemerintahan tertinggi. “Bukti-bukti historis ini juga yang akhirnya menjadi dasar kuat mengklaim, pemerintahan perempuan di kawasan ini merupakan fenomena biasa,” lanjut Amirul Hadi.*






















