Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Dia memiliki tubuh kecil dan pendek. Ada tanda kebiru-biruan di separuh muka bagian bawah.Matanya selalu awas dan menyorot liar. Demikian kesan M. Radjab tatkala bersua dengan Timur Pane. Radjab, wartawan Antara, utusan dari Kementerian Penerangan yang sedang bertugas mereportase perjuangan revolusi di Sumatera. Sementara Timur Pane, seorang pimpinan laskar yang punya reputasi: terkenal dan menggelisahkan di Sumatera Timur. Mereka bertemu di Prapat, kota tepi Danau Toba yang menjadi markas gerilya Timur Pane. “Katanya, ia sendiri sudah banyak menyembelih orang di medan pertempuran. Kenekatan inilah yang menjadikannya terkemuka, ditakuti dan namanya terkenal,” tutur Radjab dalam memoarnya Tjatatan dari Sumatera tertanggal 15 Juli 1947. Kepada Radjab, Timur Pane sesumbar. Dia mengaku sanggup merebut kota Medan yang dikuasai tentara Belanda dalam waktu 24 jam. Yang menggelikan, Timur Pane mengatakan punya persenjataan yang cukup untuk berperang selama delapan belas tahun. “Kadang-kadang saya mendapat kesan, bahwa omongannya melampaui garis kenyataan,” kenang Radjab. Jebolan Copet Sebelum merintis nama sebagai pejuang bersenjata, Timur Pane berkecimpung di lembah kriminal. Semula, dia adalah pedagang jengkol dan sayuran di pasar Sambu kota Medan. Karena lihai dan berani, Timur Pane menjadi jagoan kota dengan keterampilan khusus: mencopet. Pemuda-pemuda pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap ditampungnya sebagai anak buah. Kebanyakan tak bersekolah. Mereka biasanya dicap sebagai bandit atau bajingan. “Sekalipun kebanyakan tidak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, pemuda-pemuda ini adalah unsur yang penting dalam pertempuran-pertempuran di tahun 1945 sampai 1947. Merekalah yang mengetahui setiap lika-liku jalan dan lorong di kota itu,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. Di masa Indonesia merdeka, Timur Pane ikut ambil bagian. Kelompoknya berafiliasi dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), barisan kelaskaran PNI di Sumatera Utara pimpinan Selamat Ginting. Setelah peristiwa di Jalan Bali, pasukan Selamat Ginting membutuhkan logistik persenjataan dalam jumlah besar. Persoalan ini dapat diatasi karena bantuan dari anak buah Timur Pane. Pencarian senjata menyasar gudang-gudang Jepang yang terletak di Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, dan Sunggal. Cara mendapatkannya acapkali dilakukan dengan pencurian dan perampokan. Sejak Oktober 1945, kota Medan telah diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Para barisan pejuang Republik turun ke fron untuk merebut kota. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Pertempuran Medan Area. Timur Pane turut mengorganisasikan pasukannya dengan nama kelaskaran baru: Napindo Naga Terbang. Meski membawakan nama Napindo, Timur Pane tak selalu mematuhi pimpinan Napindo. Hasrat kriminalnya ikut terbawa di medan laga. Dalam pertempuran Medan Area, misalnya. Naga Terbang lebih sering berada di garis belakang untuk mencari keuntungan materi. “Pasukannya lebih suka menjarah kaum Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Aksi Sesuka hati Selain penjarahan, penyelundupan juga menjadi andalan utama mereka. Karena tak mampu menembus kota Medan, pasukan Timur Pane beralih fron ke Deli-Serdang yang kaya hasil bumi. Pane memilih Perbaungan sebagai markasnya. Di sanalah Pane leluasa mengendalikan beberapa perkebunan (terutama karet) yang diselundukan ke Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu dekat Lubuk Pakam. Kepiawaian berniaga itu membuat nama Naga Terbang menjadi besar dan kian tenar. “Pada pertengahan 1946, dia red.> red.> memimpin satu kekuatan bersenjata besar, yang dibangun dari sebuah geng Jalan Pemuda di Medan,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity . Dengan kekayaan yang dimilikinya, Naga Terbang “menggoda” banyak badan perjuangan lain untuk bergabung. Kekayaan itu pula yang menjadi senjata Naga Terbang untuk melenyapkan rival, dengan jalan membeli persenjataan mereka. Menurut Audrey Kahin, pasukan Timur Pane, Naga Terbang, mungkin barisan laskar yang terbesar dan bersenjata terbaik. Pada Desember 1946, Timur Pane keluar dari Napindo. Dia kemudian membentuk pasukan Marsose yang anggotanya kebanyakan dari etnis Batak-Toba. Pasukannya menyingkir ke pedalaman dan membangun basis pasukan yang besar di Prapat. Secara sepihak, Timur Pane menyatakan dirinya berpangkat jenderal mayor. Beberapa anak buahnya juga diangkat sebagai kolonel dan opsir menengah lainnya. “Tentara Marsose yang dipimpin Jenderal Mayor Timur Pane ini menyatakan dirinya telah masuk menjadi TNI dan dari pemimpin sampai anak buahnya memakai tanda pangkat militer,” tulis buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1952. Tak sampai disitu, Timur Pane juga menuntut pengakuan resmi pemerintah atas pasukannya. Dia mendatangi Mr. S.M. Amin gubernur muda Sumatera Utara. Sebuah permintaan dilontarkan agar gubernur menganggarkan sebesar 120 juta gulden setiap bulan untuk pasukan Marsose. Timur Pane meninggalkan ancaman akan terjadi banjir darah bila permintannya tak dipenuhi. Ulah Timur Pane memantik perhatian Panglima Komandemen Sumatera, Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Sebagaimana perintah Presiden Sukarno untuk menyatukan laskar dan tentara, pasukan Timur Pane terpaksa dilebur ke dalam TNI. Timur Pane menyetujui gagasan penyatuan. Sedangkan Suhardjo awalnya enggan. Alasannya, kesatuan Timur Pane dikenal tak disipilin. Dan lagi, Timur Pane tetap mempertahankan pangkat sebagai jenderal mayor. Namun mengingat besarnya jumlah laskar yang tergabung didalamnya maka penyatuan dipandang perlu agar dapat dikendalikan. Pada 29 Juni 1947, Panglima Suhardjo membubarkan pasukan Marsose. Sepekan kemudian, dibentuk kesatuan Legiun Penggempur untuk mewadahi para mantan pasukan Marsose. Jenderal Mayor Timur Pane resmi menjadi panglima Legiun Penggempur Komandemen Sumatera.
- Suku Laut Sriwijaya
ENAM manekin berambut gondrong, berikat kepala putih, bertelanjang dada hanya memakai kain penutup daerah vital, dan menyandang sebuah tombak. Mereka berdiri dalam sebuah replika rumah kayu: hunian suku laut. Siapakah suku laut itu? Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah meneliti suku laut yang replikanya ditampilkan dalam pameran “Kedatuan Sriwijaya” di Museum Nasional selama November 2017. Suku laut berdiam di pantai timur Sumatra. Mereka sudah berabad-abad lampau mendiami daerah rawa-rawa ini. “Merekalah para diaspora Austronesia, para penutur bahasa Austronesia. Mereka dari daerah Sambas, Kalimantan, yang kemudian menyeberang ke pantai timur Sumatra. Mereka mendiami daerah rawa ini. Mereka makan dari makanan yang hidup di air seperti ikan dan burung. Merekalah yang bisa disebut sebagai suku laut,” kata Bambang kepada Historia . Temuan arkeologis di pantai timur Sumatra banyak ditemukan bekas rumah tinggal berupa tonggak-tonggak kayu dari kayu nibung dan sisa perahu. Permukiman ini dari masa sebelum Sriwijaya hingga masa Sriwijaya. Selain sisa rumah tinggal, sisa perahu, juga ada perhiasan dan barang rumah tangga lainnya. Sebagai penghuni perairan dangkal, suku laut mengembangkan teknologi pembuatan perahu yang unik. Mereka menggunakan tali untuk mengikat papan-papan sebagai dinding perahu dan memberikan getah damar untuk mengisi celah di dinding perahu untuk menahan air masuk kedalam. “Suku laut kala itu, kurang lebih bisa dibandingkan dengan suku laut yang ada sekarang ini. Seperti bagaimana menentukan lokasi-lokasi yang banyak ikan, mereka cukup menempelkan telinga di dinding perahu. Kemudian, mereka memiliki kepercayaan jika di laut sudah muncul penampakan gajah mina, bentuknya seperti makara kalo kita mau masuk candi di kanan kiri ada seperti binatang gajah, maka itu berarti banyak ikan dan saatnya berburu ikan,” ujar Bambang, penulis Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra . Pada era Sriwijaya, suku laut menjadi bagian dalam armada perang Sriwijaya. “Ya, bahasanya, mereka dimobilisasi dalam keadaan perang,” ujar Bambang. Permulaan abad 13, seorang pelancong Tiongkok bernama Zhao Rugua (1170-1228) tiba di Sriwijaya. Dia mencatat mengenai kemampuan perang armada kerajaan di Selat Malaka. “Mereka jago bertempur di darat dan air. Ketika hendak memerangi negara lain, mereka menghimpun dan mengerahkan kekuatan yang diperlukan untuk kesempatan itu. Mereka (kemudian) menunjuk para kepala dan pemimpin. Kemudian semua menyediakan perlengkapan militer masing-masing dan perbekalan yang dibutuhkan,” tulis Pierre Yves Manguin, “Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir,”’ termuat dalam Kedatuan Sriwijaya . Dalam tulisannya, Zhao Rugua menceritakan bagaimana persiapan menjelang perang, termasuk menghimpun armada serta perahu-perahu perang. “Penguasa saat itu tidak mempunyai armada atau kekuatan sendiri. Namun, dia menghimpun armada berupa kapal atau perahu dari para orang kaya yang menjadi pengikutnya. Sementara tentara didapat raja-raja taklukan di pelosok,” tulis Pierre Yves Manguin. Sejak mula berdiri, Sriwijaya memang sudah memiliki armada yang mumpuni. Pada prasasti Kedukan Bukit, dikisahkan bahwa pada tanggal 5 paro bulan terang Jyestha, 19 Mei 682, Dapunta Hiyang kembali naik perahu dari daerah Minanga. Kali ini, ia bersama sekira dua puluh ribu tentara, dengan membawa 200 peti perbekalan. Armada perang ini akan merebut daerah bernama Mukha --p- . Sekira seabad kemudian, Sriwijaya sudah benar-benar memiliki angkatan laut yang mumpuni. “Pada abad ke-8 Sriwijaya dan saudaranya Mataram sudah berhubungan dengan Thailand dan India. Itu artinya sudah mempunyai kekuatan laut,” kata Bambang. Kekuatan armada perang Sriwijaya itu bergantung kepada kapal-kapalnya. Para nakhoda dari Melayu, berdatangan dari paya-paya bakau dan pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat Sriwijaya. “Meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang di kelilingi air dan penduduknya sedikit, kerajaan ini dapat mengumpulkan tenaga manusia dari kalangan orang Melayu pantai yang tinggal di sekitar perkampungan laut yang tersebar di selatan Selat Malaka,” tulis O.W. Wolters, “Warisan dan Prospek-Prospek Sriwijaya,” termuat dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII. Saat Sriwijaya tak berperang, suku laut menjalankan kehidupan sehari-harinya sebagai nelayan atau berdagang. “Tidak pernah ada cerita suku laut saat itu yang jadi perompak. Pernah pada waktu zaman Belanda, suku laut bisa memporak-porandakan patroli Belanda di laut, mungkin itu yang disebut oleh Belanda bahwa suku laut itu perompak. Ya, itu karena ulah Belanda sendiri yang ada di wilayah suku laut,” pungkas Bambang.
- Dari Gramofon hingga Music Streaming
ALUNAN lagu dari Jackson Five terdengar hingga ke rumah Muchlis Sarjana, kolektor turntable dan piringan hitam. Tak seperti suara lagu-lagu yang biasa dia dengar, alunan lagu yang sumbernya dari rumah tetangga Muchlis itu jauh lebih nyaring. Muchlis, kolektor piringan hitam sebanyak dua rak setinggi dua meter, kagum terhadap suara nyaring itu. Suara itu ternyata bersumber dari turntable, alat pemutar musik bermedium piringan hitam vinil. Turntable berbeda dari gramofon, alat yang digunakan untuk mendengarkan musik pada 1940-an hingga 1950-an. Untuk mendengarkan musik dari gramofon, penikmatnya harus memutar engkol karena sumber energinya bukan dari listrik. Gramofon juga tidak membutuhkan speaker dan amplifier karena suara dihasilkan langsung dari persentuhan jarum dengan piringan hitam berbahan shellac yang berputar dengan kecepatan 78 rotasi per menit (rpm). Di Indonesia, shellac populer pada 1950-an bersamaan dengan berdirinya Irama Record, label yang memproduksi musik melalui shellac. Pada 1948, para insinyur audio mulai memikirkan format baru media perekam musik. Pasalnya, materi shellac sangat ringkih, mudah tergores atau pecah. “Mereka mulai menemukan bahan yang disebut vinil, yang diputar dengan kecepatan 33 1/3 rpm. Di tahun-tahun berikutnya, teknologinya diperbarui. Vinil diputar dengan kecepaan 45 rpm,” kata Budi Warsito, pendiri Kineruku, perpustakaan yang menyediakan buku, musik, dan film, kepada Historia . Media baru itu masih berbentuk piringan hitam. Para insinyur audio pun merancang mesin pemutar baru untuknya, yakni turntable. Prinsip teknologi baru ini hampir sama dengan gramofon, hanya saja ia membutuhkan speaker dan amplifier untuk memaksimalkan produksi suara. Di Indonesia, vinil baru masuk pada akhir 1950-an dan mulai populer pada 1960-an. Pada 1960-an itulah Muchlis sering mendengar tetangganya memutar musik melalui turntable. Tetangga Mukhlis, seorang pegawai dinas pertanian dan orang paling kaya di kampung, satu-satunya pemilik turntable. “Tetangga saya di Salatiga punya yang bentuknya koper. Jadi (ketika – red .) dibuka sudah lengkap ada ampli dan speaker,” ujar Muchlis, yang pada akhir 1960-an mendapat warisan turntable itu dari tetangganya karena rusak, kepada Historia . Hanya orang-orang elit yang sanggup membeli turntable dan piringan hitam karena harganya relatif mahal. Kalangan ekonomi menengah ke bawah biasanya menikmati musik dari radio. Penemuan teknologi pita magnetik oleh Phillips pada 1963 menjadi jawaban kalangan menengah-bawah atas keinginan mereka mendengarkan lagu favorit. Kaset mulai masuk ke Indonesia awal 1970-an dan langsung mendapat sambutan baik. Meski kualitas suara yang dihasilkan konon tak sebagus vinil, kekurangan itu tertutupi oleh harga yang jauh lebih murah dan ringkas. “Kaset bajakan dulu harganya 250 rupiah, kalau yang asli 500,” kata Muchlis. Teman-teman Muchlis termasuk orang yang menikmati masa awal kaset, tahun 1970-an. Mereka suka mengoleksi kaset dan membawa sedikit koleksinya ketika nongkrong supaya bisa didengarkan bersama. Beberapa di antaranya bahkan ada yang meninggalkan kasetnya di rumah Muchlis. “Sonny, Marrantz, Technics mereka memproduksi cassettte deck dari akhir 1970-an hingga 1980-an. Produk kaset dek mereka sampai sekarang masih dicari orang. Artinya, orang Indonesia itu memang lebih banyak menikmati musik dari kaset,” kata Taufiq Rahman, pendiri Elevation Records yang aktif menulis esai tentang musik. Sambutan penikmat musik terhadap kaset semakin melonjak seiring perkembangan teknologi perangkat pemutarnya. Pada 1984, Sony menciptakan walkman. Pemutar kaset portabel itu memungkinkan orang mendengarkan musik di manapun berada. Penggunaan kaset mencapai puncaknya pada 1990-an. Terjadinya ledakan penggunaan kaset itu dikarenakan label besar dunia mulai masuk ke Indonesia. Mereka memproduksi kaset dengan jumlah besar dengan skema peredaran yang lebih masif dari tahun-tahun sebelumnya. Teknologi berikutnya, Compact Disc (CD), masuk ke Indonesia pada 1990-an. Meski diterima sebagai sarana mendengarkan musik, CD tak mendapat sambutan sebesar kaset. “Saya membeli CD pertama kali tahun 1997, harganya dua puluh ribu, kalau sekarang mugkin tiga ratus ribu. Jadi termasuk mahal, dan dia tidak pernah sepenuhnya menggantikan kaset,” kata Taufiq. Selain faktor harga, CD tak pernah menjadi sarana utama mendengarkan musik karena adanya pembajakan lagu via internet yang antara lain dimainkan oleh Napster . Sebelum CD sempat berkembang dan dicintai penikmat musik, penyebarluasan materi lagu dalam format MP3 di internet keburu menyerbu. Napster , situs berbagi file musik karya Shawn Fanning dan Sean Parker, mengubah cara orang menikmati musik hari ini. Kehadirannya berandil besar bagi kebangkrutan industri musik. Namun, Napster punya kelemahan dari sisi legal. Celah itu lalu dimanfaatkan sejumlah pihak seperti Spotify . Meski garis besar layanan musik streaming- nya itu meniru apa yang dilakukan Napster , Spotify melakukannya dengan cara legal. Ia menjalin kerjasama dengan musisi dan label, menyediakan lagu mereka lewat internet untuk dinikmati siapapun secara gratis. Koleksi lagu Spotify juga bisa diunduh atau didengarkan tanpa gangguan iklan, asal membayar biaya langganan. “Perlu hampir 20 tahun untuk industri rekaman sadar bahwa yang dibutuhkan era sekarang adalah musik streaming ,” kata Taufiq. Meski musik streaming kini begitu mudah dan murah diakses, piringan hitam dan kaset tak kehilangan pencinta.
- Final Piala Dunia Berujung Gempita dan Prahara
Perang Dunia II membuat Eropa absen 16 tahun menggelar Piala Dunia. Turnamen paling banyak menyedot perhatian publik dunia itu baru kembali ke Eropa pada 1954 ketika Swiss menjadi tuan rumah. Partai final menjadi momen paling menyita perhatian. Laga yang mempertemukan Jerman Barat, negeri yang baru lahir setelah perang, melawan Hungaria, salah satu kekuatan adidaya sepakbola Eropa pada 1950-an, itu bukan semata soal pertarungan di lapangan. Kekalahan Hungaria 2-3 menimbulkan dampak dahsyat di dalam negerinya. Di atas kertas, Hungaria lebih superior. Dalam babak penyisihan, di mana kedua negara sama-sama menempati Grup 1, Hungaria dengan mudah membantai Jerman Barat 8-3. Oleh karena itu, kemenangan Jerman Barat di final yang berlangsung di Wankdorf Staduim, Bern itu mencetuskan ungkapan Wunder von Bern atau Keajaiban Bern dari publik Jerman. Hungaria sebetulnya mendominasi awal pertandingan puncak yang dimainkan pada 4 Juli itu. Ferenc Puskas dan kawan-kawan memimpin dua gol lebih dulu dan bertahan hingga sebelum turun hujan. Namun “semesta” seakan berbalik memihak Jerman Barat, hujan lebat yang turun kemudian membuat Fritz Walter dkk. bangkit memberi perlawanan sengit. “Seiring dengan turunnya hujan deras disertai badai, dua gol tercipta dan membawa tim Jerman bangkit,” tulis Jose Eduardo de Carvalho dalam History of World Cups . Striker Helmut Rahn kemudian membalik keadaan menjadi 3-2 melalui sebuah gol di menit ke-84. Segenap pemain dan ofisial tim Jerman Barat berhamburan ke tengah lapangan untuk bereuforia. Terlepas dari beberapa keputusan kontroversial wasit William Ling asal Inggris, kemenangan itu juga disebabkan oleh lebih siapnya para pemain Jerman Barat tampil dalam situasi hujan berkat sepatu bola buatan Adi Dassler (Adidas). Sepatu buatan Adidas itu memiliki pul-pul di alas yang lebih tinggi sehingga memberi traksi yang dibutuhkan dalam kondisi lapangan berlumpur. “Teknologi (sepatu Adidas) memberi para pemain keuntungan yang mereka butuhkan untuk bertahan dalam lapangan yang licin,” terang Amber J Keyser dalam Sneaker Century: A History of Athletic Shoes . Publik Jerman Barat langsung bersuka cita dan turun ke jalan merayakan kemenangan itu. “Kami tidak tahu seberapa penting kemenangan ini atau apa yang sedang menunggu kami di Jerman. Kami baru menyadarinya ketika kembali ke Jerman, saat kami melintasi perbatasan,” kenang Horst Eckel, eks mittelfeld (gelandang) Jerman Barat di skuad Piala Dunia 1954 kepada Spiegel, 7 Juni 2006. Untuk kali pertama sejak kalah perang, rakyat Jerman kembali menemukan kebanggaan mereka sebagai sebuah bangsa. Jerman seolah lahir kembali. Gairah perekonomian Jerman Barat, yang sebelumnya kesulitan bernapas, seketika meroket. “Tim (Jerman Barat) merepresentasikan simbol identitas Jerman pascaperang. (Harian) Suddeutsche Zeitung contohnya, menggambarkan bahwa kemenangan itu menjadi cerminan awal keajaiban ekonomi dan pengaruh (politik) Republik Federal Jerman di Eropa,” ujar Sanna Inthorn dalam German Media and National Identity. Sebaliknya, buat Hungaria kekalahan di final itu mendatangkan beberapa konsekuensi terhadap para pemainnya. Klimaksnya, sebuah prahara gerakan anti-Soviet yang berujung pada revolusi kendati akhirnya gagal menumbangkan pemerintahan pro-Soviet. “Ini semua kesalahan kami. Kami mengira telah menang (saat unggul 2-0), kemudian kami membiarkan dua kebobolan yang bodoh dan membiarkan mereka (tim lawan) bangkit,” cetus Puskas, sebagaimana dikutip Jonathan Wilson di buku Behind the Curtain: Football in Eastern Europe. Kiper Gyula Grosics tak pernah menyangka dampak kekalahan itu sebegitu besar di negaranya, terutama di Ibukota Budapest. “Reaksi di Hungaria sangat buruk. Ratusan orang tumpah ke jalan-jalan setelah pertandingan. Dengan dalih sepakbola, mereka berunjuk rasa melawan rezim. Dalam unjuk rasa itu, saya yakin tertuai benih-benih pemberontakan 1956,” tutur Grosics. Grosics sendiri ditahan tak lama sesudah itu. Dia sempat melarikan diri ke luar negeri bersama keluarganya tapi akhirnya dipaksa pulang. Dia pasrah ketika diharuskan tetap bermain di klub lokal Tatabanya Banyasz SC. Puskas “dihukum” tak boleh keluar Budapest, termasuk jika klubnya, Budapest Honved, memainkan laga tandang. Kekalahan Hungaria menyemai benih-benih pemberontakan terhadap rezim Republik Rakyat Hungaria. Dua tahun berselang, antara 23 Oktober-10 November, revolusi akhirnya pecah di negeri itu. Dalam catatan Komite Khusus untuk Masalah Hungaria yang dipaparkan di Majelis Umum PBB pada 1957, tindakan agresif dan kekerasan yang dilakukan pemerintah untuk meredam revolusi tersebut memakan korban sampai 3000 jiwa dari rakyat sipil. Adapun 200 ribu lainnya terpaksa mengungsi. Dua pimpinan revolusi, Imre Nagy dan Pal Maleter, dieksekusi Polisi Rahasia Hungaria AVH.
- Celaka di Selat Sunda
ARKEOLOG maritim asal Australian National Maritime Museum (ANMM) James Hunter gundah. Bangkai kapal-kapal perang Dunia II di bawah Laut Jawa dan laut-laut lain di Asia Tenggara terancam bahaya. Mereka bukan terancam oleh alam tapi oleh tangan-tangan jahat pencuri dan penjarah. Dia tak pernah mengira kejahatan tersebut juga menyasar benda-benda bersejarah (baca: bangkai kapal perang semasa PD II). Setahu Hunter, dulu pencurian dan penjarahan hanya terjadi pada bangkai-bangkai kapal dagang kecil dan sedang. Hunter baru mengatahui pencurian dan penjarahan terhadap bangkai kapal perang setelah ANMM mendapat info dari komunitas selam Indonesia. “Saya sudah berkecimpung di bidang ini selama 20 tahun, dan saya belum pernah mendengar adanya perongsokan benda bersejarah, terutama lambung baja seberat 8000 ton, benar-benar dicolong. Saya tak bisa mempercayainya. Saya hampir menolak untuk mempercayainya,” ujarnya sebagaimana diberitakan www.theguardian.com . Dari sekian banyak bangkai kapal perang Australia yang jadi sasaran pencurian, bangkai kapal penjelajah ringan HMAS Perth paling berharga. Namun, ketika Hunter menyelam untuk mengetahui bangkai kapal sepanjang 169 meter itu, dia dibuat ngeri. Perth merupakan kapal AL Australia yang dibeli dari Inggris pada 1939. Kapal bernama HMS Amphion itu lalu dimodifikasi dan diberi nama baru HMAS Perth . Setelah menyelesaikan tugas di berbagai perairan Eropa dalam Perang Dunia II, Perth kembali ke perairan Australia. Ia lalu bergabung dalam armada ABDA Com (America, British, Dutch, Australia Command) atas permintaan pemerintah Australia. Perth mendapat tugas mengawal konvoi kapal-kapal sipil. Usai mengawal tiga kapal tanker Australia ke Fremantle, pada 14 Februari 1942 Perth berlayar ke Laut Jawa untuk bergabung dengan squadron kapal perang ABDA guna menghadapi Pertempuran Laut Jawa. Dalam perjalanan menuju markas squadron, Surabaya, Perth tiba di Tanjung Priok 10 hari kemudian dan langsung mendapat serangan pesawat-pesawat Jepang. Karena tak mengalami kerusakan berarti, Perth melanjutkan pelayaran ke Surabaya keesokan harinya. Pada 26 Februari, Perth bersama dua kapal penjelajah Belanda, sebuah kapal penjelajah berat AS USS Houston , sebuah penjelajah berat Inggris HMS Exeter , dua destroyer Belanda, empat destroyer AS, dan tiga destroyer Inggris berlayar menuju pantai utara Madura guna mencari konvoi kapal Pasukan Invasi Timur Jepang di bawah pimpinan Laksamana Takagi Takeo. Squadron ABDA itu berada di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman, yang berkedudukan di kapal penjelajah De Ruyter . Lantaran tak menemukan sasaran, kapal-kapal ABDA kembali ke Surabaya untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah Laksamana Karel Doorman menginformasikan bahwa armada Jepang sudah terlihat di utara dalam perjalanan menuju Jawa. Doorman memerintahkan mereka untuk segera mencegat. Pada 27 Februari malam, kapal-kapal Jepang membuka tembakan. Pertempuran Laut Jawa pun dimulai dan berlangsung hingga keesokan harinya. Perth memberi perlindungan kepada sebuah destroyer Belanda yang terkena torpedo. Setelah kapal Belanda itu tenggelam, Perth beralih melindungi HMS Exeter yang terbakar hebat dan akhirnya tenggelam. Squadron ABDA menghadapi pukulan berat, satu per satu kapalnya tenggelam, termasuk De Ruyter dengan Doormannya. “Pasukan itu tak pernah dilatih bersama sebagai kekuatan terpadu, tak memiliki doktrin dan sistem komunikasi umum, para prajuritnya menderita kelelahan pada hari pertempuran, dan komando tersebut tak pnya apapun untuk menandingi torpedo Long Lance Jepang yang sangat baik. Yang lebih penting, meski Doorman telah meminta dukungan udara, itu tak tersedia,” tulis Spencer C Tucker dalam World War II at Sea: An Encyclopedia, Vol. 1 . Perth dan Houston berhasil melepaskan diri dari pertempuran dan mundur ke Tanjung Priok –meski hal itu menyalahi aturan agar bertempur hingga kapal terakhir. Setelah mengisi bahan bakar, keduanya berlayar ke Cilacap via Selat Sunda. Pukul 19.00 tanggal 28 Perth yang berada lima mil di depan Houston , buang sauh. Keduanya kembali terlibat pertempuran dengan kapal-kapal Pasukan Invasi Barat Jepang di Teluk Banten. Perth dan Houston memberi perlawanan gigih meski dikepung dari berbagai arah. Perth membuat setidaknya empat kapal transport dan sebuah kapal penyapu ranjau Jepang menemui dasar laut. Ia hanya mengalami kerusakan ringan. Namun pada tengah malam, persediaan amunisi Perth menipis. Kapten Hector Waller (komandan kapal) memerintahkan Perth segera memasuki Selat Sunda dengan kecepatan penuh dan berbelok ke selatan menuju Pulau Toppers. Nahkoda kurang waspada dengan jalur barunya itu. Akibatnya, Perth kena hantam tiga torpedo Jepang berturut-turut. Sekira lima menit lepas dari permulaan 1 Maret, Perth tenggelam dan meninggalkan Houston sendirian bertempur. Perth lalu menjadi kuburan bagi 357 awaknya –termasuk Kapten Waller; 320 lain dari total 680 awak Perth selamat dan kemudian ditawan Jepang. Namun, kuburan itu kemudian terusik oleh para pencuri dan penjarah besi tua komersil yang memburu bangkai kapal-kapal perang Sekutu dalam Perang Dunia II. Dari selusinan kapal Sekutu yang tenggelam, bangkai Perth merupakan yang terakhir diketahui telah dijarah bagian-bagiannya. Baja bahan pembuat Perth dan kapal lain selama PD II punya harga tinggi di pasaran. Bangkai Perth pun hampir ludes, 60-70 badannya telah raib. "Dari rekaman video yang kami miliki terlihat sebagian besar struktur inti kapal sudah hampir semuanya hilang, senjata di menara depan juga sudah tidak ada, begitu juga sebagian besar dek atas kapal itu juga sudah hilang,” ujar Andrew Fock, penyelam ekspedisi pemerhati HMAS Perth, sebagaimana dilansir www.radioaustralia.net.au . Kondisi itu membuat banyak pihak di Australia geram. “Pencurian bangkai-bangkai kapal untuk tujuan komersil, yang sering menggunakan bahan peledak, membuat para veteran, sejarawan, dan politisi yang ingin melestarikan tempat peristirahatan terakhir para pelaut kecewa,” tulis www.theguardian.com . Mereka bahkan menuduh Canberra menyembunyikan informasi tersebut demi menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia. Pemerintah Australia sendiri kesulitan untuk menyelamatkan bangkai Perth lantaran berada di wilayah perairan Indonesia. Baik Australia maupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Unesco tentang underwater cultural heritage sehingga Perth belum secara resmi ditetapkan sebagai kuburan perang yang dilindungi. Akibatnya, beberapakali penyelaman riset terhadap Perth membuktikan bukan hanya bagian-bagian kapal itu saja yang terus raib tapi juga jasad-jasad para pelautnya.
- Dilema Mallaby
Jumat, 26 Oktober 1945. Gubernur R.M.T.A. Soerjo baru saja menandatangani kesepakatan dengan Brigadir A.W.S. Mallaby. Pertemuan yang terbilang sukses itu melahirkan empat kesepakatan: Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya. Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya. Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan. Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak. Menurut sejarawan Frank Palmos dalam Surabaya 1945 Sakral Tanahku , kesepakatan antara dua pihak itu lantas disiarkan secara luas oleh Radio Surabaya. Sementara semua puas. Untuk membuktikan adanya niat baik dari Pemerintah Jawa Timur, hari itu juga salah satu komandan kesatuan tentara Inggris yang mendarat di Tanjung Perak mendapat sambutan kalungan bunga. Namun rakyat Surabaya sendiri pada dasarnya tidak yakin Inggris akan konsisten melaksanakan kesepakatan itu. Kecurigaan itu terbukti benar. Begitu mendarat, secara sepihak Brigadir Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki 20 titik strategis di dalam kota. Sesungguhnya, penempatan seperti itu otomatis sudah melanggar kesepakatan: “… tidak bergerak melebihi radius 800 meter.” Sehari setelah perjanjian itu baru berlangsung, tiba-tiba sebuah pesawat melayang-layang di atas Surabaya. Pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman: “…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya. Rupanya, pihak Inggris sendiri tidak pernah kompak dalam memperlakukan orang-orang Indonesia. Ketika pemerintah RI di Jawa Timur membangun kesepakatan dengan Mallaby, diam-diam pasukan Inggris di Surabaya menerima perintah baru dari Mayor Jenderal Douglas Hawthorn ( Komandan Tentara Inggris untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok) untuk secepatnya menduduki Surabaya secara militer. Mallaby yang sudah terlanjur menempuh jalur diplomasi menjadi gamang dan kecewa. Dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946 , Richard McMillan menceritakan begitu mendapatkan satu pamflet yang disebar lewat udara langsung dari Jakarta,Kapten Douglas McDonald langsung memberikannya kepada Mallaby. Usai membacanya, sang jenderal terdiam seribu bahasa. “Apa yang hendak anda lakukan, Sir?” tanya McDonald. “Saya akan mematuhinya…” jawab Mallaby dalam nada pelan. “Tapi anda telah berjanji?Sebagai seorang perwira dan wakil Yang Mulia Raja Inggris anda sudah berjanji kepada mereka kita di sini bukan untuk melucuti senjata mereka, melaksanakan apa yang dijalankan komite-komite lalu pergi?” McDonald coba mendebat. Mallaby terdiam. Nampak sekali ia mengalami dilema. Lalu sambil memandang McDonald, ia berkata: “Siapa sebenarnya komandan brigade ini? Kamu atau saya?” Kendati terkesan “tidak ada masalah” sesungguhnya Mallaby merasa “marah” dengan keputusan para atasannya di Jakarta. Dalam satu suratnya kepada istrinya,Mollie (Margaret Catherine Jones), dia menyebut atasannya “telah merusak segalanya” dengan penyebaran pamflet tersebut. “Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,”tulisnya. Surat tersebut dibacakan oleh Anthony Mallaby (putra tunggal Mallaby-Mollie) di depan Des Alwi dalam suatu kunjungan ke London, Inggris pada 2005. Dari pihak Indonesia sendiri, penyebaran pamflet itu tentu saja sungguh mengejutkan. Satu jam setelah kejadian itu, Jenderal Mayor drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang ditandatangani oleh atasannya itu. “Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus mematuhi instruksi panglima saya.” demikian menurut Mallaby seperti dicatat oleh Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa. Sebagaimana orang-orang Surabaya lainnya, mereka berdua mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak Inggris. Terutama ketika Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menyita kendaraan-kendaraan milik orang-orang Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung baru dan menginstruksikan pamer kekuatan di tengah kota. Gubernur Soerjo terus berupaya untuk mencoba jalan tengah. Nyatanya, apa yang diusahakan Soerjo berjalan sia-sia. Situasi justru semakin memanas dan berujung kepada bentrok antara para pejuang Surabaya dengan tentara Inggris pada 28 Oktober 1945. Hingga hari ke-2 pertempuran, arek-arek Suroboyo telah membantai sekira 400 serdadu Inggris (termasuk 16 perwira). Sejarawan McMillan malah memiliki versi berbeda dan cara yang unik dalam menyebutkan jumlah korban: “Karena suatu “pamer kekuatan” menyebabkan 427 nyawa dari suatu pasukan yang memiliki kurang lebih 4.000 prajurit melayang begitu saja…” ungkap McMillan.
- Bertani Zaman Kuno
TIKUS-tikus menyerang ladang. Seorang laki-laki nampak sedang membakar sesuatu. Asapnya diarahkan pada ladang yang sedang diserang tikus itu. Dia hendak menghalau tikus-tikus itu agar tak mengganggu ladangnya. Penggambaran itu terpahat pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada panil relief lainnya, babi muncul sebagai pengganggu. Ia pun ditombak oleh warga. Di panil lain digambarkan dua orang yang bertugas menjaga sawah. Mereka menunggu di dalam gubuk di tengah sawah. Ada pula seekor anjing yang berbaring di bawah gubuk itu. “Hama tikus diberantas pakai emposan , itu pakai daun kelapa yang kering dibakar tidak ada apinya, yang dipentingkan asapnya. Itu juga ada anjingnya disuruh jegok-jegok , nanti terus digropyok orang (tikusnya, red ),” kata Djaliati Sri Nugrahani, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada kepada Historia. Djaliati menjelaskan dalam banyak data prasasti disebutkan beberapa teknologi pertanian. Sejak lama masyarakat Jawa Kuno mengembangkan pertanian gaga atau menanam padi di tanah kering dan pertanian tadah hujan di lahan basah yang memanfaatkan hujan. Ada pula yang menggunakan irigasi. “Pakai sistem irigasi, ada petugas yang mengurus irigasinya. Mereka ini petugas hulu air . Hingga kini di Gunung Kidul juga masih ada padi gaga,” jelas Djaliati. Data arkeologis lainnya ditemukan pada penggalian di situs Liangan, Dusun Liangan, Purbosari, Ngadirejo, Temanggung. Di situs ini ditemukan bekas lahan pertanian kuno. Bahkan tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan teknik pertanian yang tak jauh berbeda dengan saat ini. Lahan pertanian itu dibentuk seperti sistem bedengan di masa kini. Di sana pun ditemukan sisa bulir padi yang menjadi arang dan sisa-sisa jagung. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa juga menyebut macam-macam jenis tanah yang dapat didayagunakan oleh petani Jawa Kuno. Paling sering disebut adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Terdapat juga padang rumput dan hutan. Dari segi nilainya, sawah menduduki tempat tertinggi, disusul ladang dan kebun. “Sesuai dengan nilai tanahnya, pemilikan atas tanah sawah tentunya mempengaruhi kedudukan seseorang di lingkungan wanua,” tulis Supratikno . Wanua mengacu pada suatu wilayah tempat tinggal para petani dan penduduk desa. Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mencatat baik suami maupun istri saling bekerja sama menanam padi dan tumbuhan pangan lainnya. Pada relief Karmawibhangga juga terdapat adegan yang melukiskan laki-laki dan perempuan pergi ke sawah atau ladang bersama. “Yang laki-laki membawa suatu benda di bahunya. Sementara yang perempuan menjinjing sesuatu, mungkin bekal mereka berupa makan dan atau minuman,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa . Adapun pada relief cerita Awadana dan Jataka di Candi Borobudur tergambar seorang laki-laki yang sedang membajak sawah menggunakan dua sapi. Ada pula penggambaran perempuan sedang menanam padi pada salah satu relief umpak di Situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pada relief umpak Trowulan juga terdapat pahatan seorang perempuan yang sedang menabur benih di ladang. Setelah dipanen padi biasanya diangkut ke lumbung padi. Pada relief Jataka dan Awadana terdapat pahatan beberapa laki-laki sedang mengikat padi dan seorang memikul dua ikat besar padi. “Padi itu mungkin akan dibawa ke lumbung,” tulis Titi. Proses selanjutnya mengolah padi menjadi beras. Masyarakat Jawa Kuno, biasanya para perempuan, menumbuk padi kering dengan lumpang dan alu. Pekerjaan ini digambarkan pada relief cerita Krsnayana di Candi Wisnu, Prambanan. Tak cuma teknik pengendalian hama, tapi jenis tanaman pertanian dan cara budidayanya juga tergambar dalam relief candi, khususnya dalam Karmawibhangga di Candi Borobudur. “Semua itu pun masih dipakai oleh masyarakat Jawa hingga beberapa dekade kemudian,” kata Djaliati.
- Tamu Istimewa Jagoan Eropa
PADA era 1950-an, sebagai salah satu “macan” Asia, Indonesia menjadi langgangan tempat tujuan klub-klub besar Eropa. Klub Prancis Stade de Reims menjadi salah satu klub yang mau jauh-jauh datang ke tanah air untuk menjajal tim-tim lokal dan juga timnas. Tepatnya 20 Juni-7 Juli 1956. Reims dulu beda dari Reims sekarang yang kilaunya mulai pudar lantaran hanya tampil di Ligue 2, kasta kedua Liga Prancis. Di era 1950-an, Reims merupakan salah satu tim tergagah di Eropa. Kala menyambangi Indonesia, Reims berstatus finalis European Cup (sebutan lama Liga Champions) edisi pertama 1955/1956. Sekira sepekan setelah kalah 2-3 dari Real Madrid di final European Cup, Reims tur ke Indonesia atas undangan klub Chung Hwa Tsing Nien Hui dalam rangka HUT ke-10. Entraineur (pelatih) Albert Batteux membawa serta tim utamanya, termasuk pemain bintang Raymond Kopa, yang statusnya sudah dibeli Real Madrid. Namun, data RSSSF (Record Sport Soccer Statistics Foundation) yang merujuk pada koran De Preangerbode , Juni 1956, mencatat Reims tak bisa membawa empat bintangnya: Rene Bliard, Raoul Giraudo, Michel Leblond, dan Robert Siatka. Mereka kebetulan terkena wajib militer. Setelah mendarat di Bandara Kemayoran pada 18 Juni 1956, Reims menggelar partai perdananya melawan Persija dua hari kemudian. Pertandingan berlangsung di Stadion Ikada (kini Lapangan Monas), Jakarta dan disaksikan sekira 40 ribu penonton. Tuan rumah, yang tak diperkuat Thio Him Tjiang dan Tan Liong Houw karena cedera, bonyok dihajar 11-1. Raymond Kopa turut menyumbangkan sepasang gol ke gawang Persija yang dikawal Freddie Davies. “Suatu angka kekalahan yang selama ini belum pernah dialami Persija. Gol satu-satunya dari Persija dibuat Hamdani dalam menit ke-11 babak pertama, di mana pihak tamu baru leading 2-0,” tulis Suara Merdeka , 21 Juni 1956. Usai menghajar Persija, tiga hari kemudian Reims menjajal timnas PSSI di Stadion Ikada. Suratkabar Java-Bode , 24 Juni 1956, menuliskan bahwa tidak hanya Kopa, Batteaux sang pelatih yang merangkap pemain, sampai ikut mencantumkan dirinya di starting eleven . Timnas PSSI juga turun full team , termasuk kiper Maulwi Saelan dan pilar andalan Andi Ramang serta Aang Witarsa. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyaksikan langsung pertandingan itu. Meski menang 5-1, laga tersebut lebih sengit bagi Reims dibanding saat melawan Persija. Para pemain Reims sampai ngambek tak mau melanjutkan laga gegara protes gol Aang Witarsa di menit ke-43. Menurut mereka, Aang Witarsa sudah offside . Gardien (kiper) Reims Rene-Jean Jacquet sampai melempar bola ke wasit Mohd. Sarim sebagai protes. Kericuhan antarpemain pun pecah. Penonton terbawa emosi, mereka menginvasi lapangan. Pertandingan ditunda beberapa saat. Aparat kepolisian akhirnya bisa mengondusifkan situasi. Setelah laga dilanjutkan, Kopa mencetak dua gol penutup kemenangan atas Ramang cs. Surabaya jadi tujuan Reims berikutnya. Di Stadion Tambaksari, klub Tionghoa Surabaya setidaknya menuai hasil lebih membanggakan ketimbang Persija dan timnas. Dalam pertandingan yang digelar 24 Juni 1956 sore itu, Reims menghadapi perlawanan alot tuan rumah dan hanya bisa menang 1-0 melalui gol Mohamed Maouche. “Arek-arek Suroboyo menghadapi lawan yang kuat (dengan) cukup ulet. Kiper Gwan Liep sore itu main bagus. Tionghoa Surabaya dapat memegang prestise untuk tidak menyerah mentah-mentah terhadap kesebelasan yang datang dari luar negeri,” tulis Suara Merdeka , 25 Juni 1956. Dari Kota Pahlawan, Reims melancong ke Parijs van Java untuk menghadapi Persib. Datang dengan kereta malam dari Surabaya ke Bandung pada 25 Juni, mereka mendapat sambutan meriah ofisial Chung Hua dan para penggemar bola se-Jawa Barat. “Mereka disambut dengan karangan bunga yang dililitkan orang Bandung ke leher mereka. Dari stasiun, pemain Prancis langsung ke Hotel Grand Preanger,” tulis Harian De Preangerbode , 26 Juni 1956. Di Bandung, Reims menerima perlawanan sengit tim Maung Bandung pada 27 Juni. Di bawah hujan deras yang mengguyur Stadion Siliwangi, Reims hanya menang 3-2. Tiga gol Reims disarangkan Maouche, Michel Hidalgo dan Jean Templin. Sementara, Reims kecolongan dwigol bikinan Atik dan Aang Witarsa dari titik putih. Timnas PSSI B juga berkesempatan menjajal jawara Negeri Napoleon itu di Stadion Banteng, Padang, Sumatra Barat dua hari kemudian. Dua gol dari Danu dan Witarsa memaksa pertandingan berakhir imbang 2-2. Hasil terburuk selama tur Reims ke Indonesia itu lantas membuat mereka meminta pertandingan ulang, pasca-duel kontra PSMS di Stadion Teladan, Medan, 1 Juli. Reims menang 6-1. Laga ulang kontra PSSI membuat Reims membatalkan tur tambahan ke Vietnam Selatan dan Thailand. Beruntung Reims tak perlu menunggu lama karena PSSI batal melakoni dua partai kandang-tandang (8 dan 22 Juli) kontra Taiwan yang mundur dari Kualifikasi Olimpiade 1956. Stadion Ikada kembali menjadi venue laga ulang PSSI vs Reims, 7 Juli 1956. Gigihnya perlawanan PSSI membuat skor 0-0 sampai turun minum. Pun begitu, timnas PSSI akhirnya tetap harus mengakui superioritas Reims. PSSI hanya mampu memperkecil kekalahan jadi 2-3 lewat tendangan penalti. “Liong Houw yang menjadi algojo berhasil mengubah angka menjadi 3-2 yang sampai pertandingan diakhiri tidak berubah. Di antara ribuan penonton yang membanjiri Stadion Ikada sore itu, tampak hadir Wakil Presiden Moh Hatta, para menteri dan beberapa anggota Korps Diplomatik,” tandas lansiran berita Suara Merdeka , 9 Juli 1956.*
- In Memoriam Eddie Lembong (1936-2017)
SAYA tak pernah lupa gaya menyisirnya yang rapi dan klimis, begitu pula dengan cara berpakaiannya yang kerap necis. Alur bicaranya teratur, diselingi nada meninggi kala membahas topik yang menurutnya penting. Selera humornya cukup baik: tak segan mengejek diri sendiri untuk mengundang tawa lawan bicaranya, seperti saat dia mengisahkan kemampuan berbahasa Inggrisnya pada awal merintis industri farmasi di era 1960-an. “Waktu itu bahasa Inggris saya saja belum bagus, blepotan. Saya bahkan pernah keliru menggunakan kata “fabric” untuk pabrik, padahal dalam bahasa Inggris “fabric” ya kain bukan pabrik. Pabrik kan factory,” kata dia terkekeh menertawakan diri sendiri. Terinspirasi nama pulau Pharos di dekat Teluk Alexandria, Mesir, pada 1971 Eddie dan seorang rekannya mendirikan pabrik obat Pharos. Tak lama berkongsi, dia memutuskan mengambil alih kendali Pharos sendirian, sekaligus menanggung beban utang yang membelit perusahaan. Tiga tahun jungkir-balik mempertahankan kapal usahanya tetap berlayar di tengah badai tagihan kreditur, laju Pharos kian kencang seiring membaiknya keuangan perusahaan. Tak ada lagi cerita didemo karyawan gara-gara telat bayar tunjangan hari raya seperti terjadi di awal berdirinya perusahaan. Tak hanya pabrik obat, Eddie juga membangun jaringan pemasaran produknya melalui apotek Century yang didirikan pada 1993. Apotek tersebut tak hanya menjual obat, tapi juga menyediakan layanan informasi bagi konsumen mengenai obat yang mereka beli. Pemberi informasi tak lain adalah farmasi atau apoteker, yang pada apotek konvensional seringkali hanya dipinjam namanya sebagai cara mendapatkan izin membuka usaha apotek. Dalam jangka waktu 20 tahun, usaha farmasinya mencapai sukses. Namun, sejak awal dia mafhum bahwa usaha di bidang farmasi tak hanya sekadar mencari untung, tapi juga mengemban misi sosial. Salah satu produk Pharos yang mendapat sambutan baik dari masyarakat karena manjur sekaligus murah adalah Pharolit, merk obat diare kebanggaan Eddie. Kesuksesan bisnis Eddie Lembong ditopang situasi politik dan ekonomi yang relatif stabil di era Soeharto. Tapi itu tak berlangsung selamanya. Pada 1997 krisis moneter datang menghumbalang, membuat banyak perusahaan tumbang. Kepiawaian Eddie menakhodai armada usahanya kembali diuji. Saat banyak pengusaha lain mengambil fasilitas pinjaman lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia tak tertarik mengambil se-sen pun dari tawaran tersebut. Terbukti keputusannya benar: saat banyak perusahaan lain dikejar utang, Pharos tetap melenggang tenang. Terpaan badai tak hanya menggoyahkan usahanya. Pada 13-14 Mei 1998 Jakarta terbakar diamuk massa, mengawali rangkaian tragedi rasial yang membawa luka mendalam bagi warga Tionghoa Indonesia. Eddie menyadari ada sesuatu yang salah pada hubungan antaretnis di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Sejak peristiwa tersebut, dia “banting setir” tak semata memikirkan bisnis lagi, tapi juga mencurahkan perhatiannya pada isu multikultural di tengah masyarakat Indonesia. Pada 5 Februari 1999, Eddie dan rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama mendirikan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI). Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras. Pemikiran Eddie tentang relasi antaretnis di Indonesia bukannya tanpa dasar. Dia selalu merujuk kepada konsep pemikiran kebangsaan yang pernah dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, yang kemudian terkenal sebagai tonggak awal lahirnya Pancasila, landasan bernegara dan berbangsa Indonesia, Sukarno mengemukakan konsep nasionalisme modern Indonesia, bukan etnonasionalisme yang sempit. Kendati demikian masih ada anggapan kuat bahwa warga Tionghoa bukan termasuk ke dalam warga negara Indonesia. Prasangka rasial semakin menguat dengan kesan ekslusif kalangan warga Tionghoa. Belum lagi tuduhan sebagai “economic animal” yang terlalu mementingkan urusan bisnis ketimbang urusan lainnya. Eddie ingin mengubah gambaran itu dengan jalan menumbuhkan dialog antaretnis di Indonesia. Berhenti dari INTI, Eddie terus mengejar cita-citanya. Pada 30 September 2006, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70, dia dan istrinya, Melly Saliman, mendirikan Yayasan Nabil, kependekan dari Nation Building. Melalui yayasan itu Eddie dan Melly mendukung banyak kegiatan mulai dari penelitian, penulisan buku, seminar dan pemberian anugerah tahunan Nabil Award bagi tokoh-tokoh yang dinilai telah menyumbangkan hidup serta karyanya untuk memperkokoh keberagaman masyarakat Indonesia. Melalui Yayasan Nabil, Eddie juga mengusahakan agar John Lie, perwira Angkatan Laut yang memainkan peranan penting dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, mendapat gelar Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diperoleh 9 November 2009. Tak hanya John Lie yang Tionghoa, Eddie juga mengajukan AR Baswedan dari tokoh Indonesia keturunan Arab sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini Baswedan belum kunjung ditetapkan jadi Pahlawan Nasional. Pengajuan dua nama itu mewakili dua kelompok etnis, yang pada masa Belanda termasuk golongan timur asing, namun memiliki sumbangsih bagi pembentukan bangsa Indonesia. Komitmen Eddie bisa dilihat dari usahanya menyokong riset dan penulisan biografi serta penyelenggaraan seminar kedua tokoh itu sebagai syarat pengajuan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut Eddie, kebudayaan yang berlaku pada masyarakat sebuah negeri turut berpengaruh pada maju atau mundurnya negeri tersebut. Rupanya dia terinspirasi dari buku yang disunting Samuel P. Huntington, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia . Dalam buku itu, Samuel sebagaimana sering dikutip oleh Eddie, menyajikan hasil riset terhadap dua negeri dari dua benua yang berbeda: Korea Selatan dan Ghana. Pada awal 1960, kedua negeri berada dalam keadaan ekonomi yang setara: sama-sama terbelakang. Setelah diamati selama 30 tahun, dua negara yang semula berada pada titik berangkat yang sama itu ternyata mengalami perkembangan yang berbeda saat memasuki era 1990-an. Korea Selatan berkembang 15 kali lipat lebih pesat ketimbang Ghana. Para sarjana yang terlibat dalam penulisan buku tersebut menemukan fakta bangsa Korea memiliki ciri khas budaya yang tak dimiliki oleh Ghana, yakni hemat, kerja keras, rajing menabung (berinvestasi), menjunjung pendidikan, organisasi dan disiplin. Budaya yang telah built in di dalam masyarakat Korea Selatan mendorong mereka jauh lebih cepat mengubah diri daripada rakyat Ghana. Eddie terus mencari penyebab kenapa bangsa Indonesia tak seulet dan seliat bangsa Korea. Padahal dengan ragam kebudayaan tiap suku bangsa yang menghuni negeri ini, ada nilai-nilai positif yang bisa diambil dan diramu dengan nilai-nilai budaya suku bangsa lainnya. Eddie lantas menyebutkan sejumlah ciri khas dari suku bangsa di Indonesia, semisal suku Jawa dikenal ulet dan suku Batak pemberani, Bali terkenal dengan jiwa seninya. Menurutnya, aspek positif dari tiap suku bangsa itu bisa diramu menjadi karakter bangsa Indonesia. Memang sekilas terlihat kalau Eddie melakukan “stereotipe” pada setiap suku bangsa. Karena sifat-sifat tersebut sebetulnya melekat pada individu, tidak bisa mencerminkan keseluruhan suku bangsa. Hal yang perlu digarisbawahi dari pemikiran tersebut adanya itikad untuk menghormati keunikan pada setiap suku bangsa yang harus diberi tempat di dalam bingkai kebangsaan Indonesia. Artinya, setiap orang berhak membawa keunikannya masing-masing sebagai ciri khas, baik fisik maupun kultural, yang terwariskan dari mana suku bangsanya berasal. Seorang Jawa bisa tetap menjadi seorang Jawa, begitu pula seorang Tionghoa bisa tetap menampilkan diri sebagai seorang Tionghoa. Ini pula berlaku secara kolektif, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, bukan malah menyeragamkannya. Gagasan tersebut membutuhkan kondisi yang “ Political correctness”, sehingga situasi “plural monokulturalisme” bisa menuju situasi yang “multikulturalisme”. Karena bagaimana pun masyarakat bineka hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) yang menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights). Ketika diminta menulis biografinya, saya melihat secara prinsip ada kemiripan gagasan Eddie Lembong dengan ide “integrasi wajar” yang pernah dikemukakan oleh Siauw Giok Tjhan, ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ide pembauran itu bersaing dengan konsep asimilasi total yang diusung oleh kelompok Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang dimotori oleh Kristoforus Sindhunata dan Junus Jahja. Dalam konsep pembauran Giok Tjhan, seseorang lahir ke dunia membawa ciri khas yang telah melekat pada fisiknya. Dan ciri-ciri fisik tersebut, seperti bentuk mata, hidung, wajah dan warna kulit, tak pernah bisa diubah. Begitu pula dengan budaya yang diwariskan kepadanya. Maka dalam konsep integrasi wajar, seorang Tionghoa leluasa menjadi dirinya sendiri dan menampilkan ciri khas budayanya, asalkan dia tetap memiliki orientasi dan dedikasi kepada bangsa Indonesia. Berbeda dari konsep asimilasi total yang menyaratkan seorang keturunan Tionghoa sebisa mungkin harus melebur ke dalam masyarakat pribumi dengan mengganti nama dan menanggalkan ciri khas identitasnya yang terwaris dari budaya leluhur. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi, Baperki yang kerap diidentikan dengan PKI ikut dibubarkan dan dilarang. Konsep integrasi wajar pun turut lenyap bersamanya, betapapun gagasan pembauran ini terasa jauh lebih manusiawi dan egaliter. Stigma negatif itu membuat masyarakat trauma dan menghindari segala hal yang berbau kiri. Tidak terkecuali Eddie Lembong. Saat saya tulis analisis kesamaan pemikirannya itu, kontan saja editor mencoret nama Siauw Giok Tjhan dan Baperki dari naskah buku. Tapi setelah negosiasi dan berdiskusi panjang, akhirnya analisis tersebut tetap bisa disajikan di dalam buku. Ini bisa dipahami karena hingga sekarang gambaran tentang gerakan kiri beserta gagasan yang muncul dari kalangan mereka turut tercoreng bersama pabrikasi kisah sejarah monoversi produk Orde Baru. Bagaimana pun, konsep penyerbukan silang antarbudaya tersebut memang tak bisa dilepaskan dari pengalaman serta petualangan intelektual Eddie semasa hidupnya. Lahir sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara di Palasa, Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, 30 September 1936, Eddie dibesarkan oleh kedua orangtua yang disiplin dan mengutamakan pendidikan. Ayahnya, Joseph Lembong dan ibunya, Maria, datang dari keluarga imigran Tiongkok. Kedua orang tua mereka membawanya ke Indonesia untuk memulai hidup dan mencari peruntungan baru. Joseph datang pada usia 15 tahun sementara Maria diboyong orangtuanya pada umur tiga tahun. Leluhur keluarga ini berasal dari suku Han, suku terbesar di Tiongkok. Eddie dan saudara kandungnya sejak kecil sudah terbiasa hidup membaur dengan warga setempat yang mayoritas beragama Islam, sebagaimana mayoritas warga di Kecamatan Tinombo. Daerah itu, sebagai mana tempat-tempat lain di Sulawesi Tengah memiliki keberagaman yang cukup tinggi. Warga pendatang beretnis Arab dan Tionghoa tak lagi asing dan telah “direken” sebagai kelompok warga yang telah membaur dengan warga lainnya. Dua kelompok warga ini telah datang ke Sulawesi sejak berabad lampau dan menjadi kelas-kelas pedagang yang cukup berpengaruh. Pembauran yang berlangsung mulus dan damai itu membentuk pula karakter masyarakatnya yang egaliter, tak memandang latar belakang ras dan kedudukan. Suatu kali Eddie pernah berkisah tentang seorang kusir dokar di Manado yang ikut masuk ke dalam sebuah kedai minuman ketika penumpangnya, seorang berpangkat, mampir ke kedai yang sama. “Kalau di Jawa ini pemandangan yang tidak lazim,” kata dia. Setelah melalui pendidikan sekolah dasar sampai menengah di Gorontalo, Manado dan Jakarta, pada 1956 Eddie mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut dia, pada tahun itu pula UI memberlakukan penjatahan terhadap calon mahasiswa yang berminat mendaftar ke FKUI. Penjatahan itu bernuansa rasialis karena membedakan secara tegas komposisi penerimaan berdasarkan etnisitas, yakni 50 persen Tionghoa dan 50 persen pribumi. Namun kemudian jatah bagi pribumi bertambah jadi 60 persen, otomatis penerimaan bagi kalangan warga Tionghoa pun berkurang jadi 40 persen, membuat Eddie tak bisa lolos. Inilah kebijakan rasialis pertama yang berimbas pada jalan hidupnya. Atas bantuan kakaknya, Johannes Lembong (ayah Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, kini Kepala BKPM) yang saat itu sudah lebih dulu kuliah di Fakultas Kedokteran UI tingkat V, Eddie menghadap Dekan FKUI Prof. Dr. Djoened Poesponegoro. Dalam kesempatan itu Eddie memohon kepada Prof. Djoened untuk memberinya surat keterangan yang menyatakan prestasi akademisnya dalam ujian masuk itu bernilai baik. Surat itu diharapkan dapat berguna untuk melamar ke sekolah lain. Prof. Djoened pun memberi surat keterangan mengenai kemampuan akademis Eddie. Berbekal surat itu Eddie melamar ke Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB, dulu masih Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Kali ini Eddie beruntung, dia diterima kuliah di jurusan Farmasi ITB dan lulus sebagai sarjana farmasi pada 1964. Akhir 1965 dia menikahi Melly Saliman dan dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak, dua di antaranya meneruskan jejak bisnis Eddie Lembong di bidang farmasi. Sebelum meninggal pada 1 November yang lalu, Eddie masih sempat menggagas penerbitan tiga jilid buku tebal berjudul Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (2016). Dalam keadaan sakitnya, Eddie masih menyempatkan diri mengikuti berbagai kegiatan yang senapas dengan cita-citanya: mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural, setara dan berkeadilan. Selamat jalan Pak Eddie...
- Imajinasi Wajah Pahlawan Nasional
SEPULUH lukisan wajah Pahlawan Nasional karya pelukis Basoeki Abdoellah menjadi salah satu koleksi yang dipamerkan dalam eksebisi dokumentasi bertajuk "Lacak" di Museum Basoeki Abdullah, Cilandak, Jakarta Selatan, 7-22 November 2017. Pada sisi dinding pertama, lima lukisan dipajang sejajar, mulai dari Teuku Umar hingga Tuanku Imam Bonjol. Lima lukisan lainnya, mulai I Gusti Ngurah Rai hingga Robert Wolter Monginsidi, di dinding sebaliknya yang juga dipasang berjajar. “Jika lukisan-lukisan tersebut dijajar, saya merasakan kita tengah menyaksikan para ‘ avengers Indonesia’ ada di depan, tengah beraksi. Itulah nilai estetika lukisan-lukisan pahlawan yang dikreasi oleh Basoeki Abdullah,” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia . Pada 1975, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb mengadakan Proyek Biografi Pahlawan Indonesia. Tujuannya mengumpulkan dan menerbitkan materi-materi biografi Pahlawan Nasional. Sasaran dari publikasi ini adalah anak-anak sekolah dasar hingga menengah, mahasiswa, dan masyarakat umum. Menurut Klause H. Schreiner, “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional” termuat dalam Outward Appearancess, proyek itu sebetulnya berasal dari Lembaga Sejarah dan Antropologi pada masa Sukarno (1959) guna mengkoordinasikan semua sumber publikasi dan tulisan historis untuk mendapatkan historiografi nasional yang bertalian. Biografi tersebut berupa buklet bersampul gambar pahlawan dan tebal isinya mulai dari 50 hingga 200 lembar. Tidak ada yang tahu seperti apa wajah sebenarnya dari para pahlawan ini. Potret yang diwujudkan ini hanya menampilkan wajah yang kokoh. Pemerintah pun menunjuk pelukis Basoeki Abdullah untuk menjadi pelukis wajah pahlawan-pahlawan nasional itu. “Wajah-wajah pahlawan itu dilukis tahun 1976, dan tidak semua Pak Bas (panggilan Basoeki Abdullah, red ) tahu wajahnya. Imajinasi. Salah satu kasus adalah lukisan wajah Cut Nyak Dhien, itu jilbaban atau enggak . Nah, foto yang didapat Pak Bas bukan berjilbab. Mengenai lukisan Sisingamangraja diinspirasi dari pelukis sezaman. Dia karikaturis yang kemudian melukis dengan meriset di keluarga-keluarga Sisingamangaraja. Lukisan itu lalu diterima Sukarno. Nah, Pak Bas melihat itu lalu melukisnya,” terang Mikke. Karikaturis yang dimaksud adalah Agustin Sibarani. Menurut Mikke, Basoeki mampu menerjemahkan pesanan pemerintah Orde Baru yaitu mengedepankan nasionalisme. “Imajinasi Basoeki yang amat kuat dicampur dengan realisasi teknik yang mumpuni, membuat pemerintah nyaris tak punya pilihan yang lebih baik daripada Basoeki. Lukisan-lukisan Pahlawan Nasional karya Basoeki Abdullah yang dikerjakan kisaran 1976 ini telah menjadi representasi kepahlawanan di mata para siswa dan rakyat kebanyakan di Indonesia. Lukisan dari Pak Bas lalu menghiasi buku-buku mengenai sejarah Indonesia, dan untuk digunakan pula dalam buku-buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa),” ujar Mikke. Selama bertahun-tahun Mikke mengamati dengan cermat karya-karya Basoeki Abdullah, termasuk karya wajah pahlawan. Menurutnya, pemerintah Orde Baru berusaha menampilkan jiwa nasionalis dan patriotik melalui wajah-wajah Pahlawan Nasional. “Secara teknis, belasan lukisan tema pahlawan karya Basoeki Abdullah, sangat kuat, bahkan terdapat kesan yang melampaui citra aslinya. Jiwa maskulinitas sang figur tajam. Hal ini bisa dirasakan dari warna yang dipakainya. Warna coklat tua, biru dan hijau gelap, dengan kuning oker yang mencitrakan tanah dan air yang membentuk ras Melayu amat kental. Wajah mereka rata-rata keras dan raut muka serius dengan ciri khas masing-masing makin menguatkan kesan maskulin, meskipun di antaranya adalah tokoh perempuan. Goresan kasar yang dipakai dicampur dengan sedikit arsiran halus membuat lukisan mengesankan kelembutan dan kekerasan terpadu,” ujar pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini. Saat disinggung mengenai berapa besar proyek lukisan wajah pahlawan yang diterima Basokei Abdullah dari pemerintah, Mikke mengaku belum mendapat angka pasti. “Belum kutemukan informasinya. Rasionalnya begini, setiap pesanan lukisan sepanjang sejarah seni, biasanya pelukis mendapat sejumlah dana. Hal ini sudah dibuktikan pada masa revolusi ketika Sukarno memesan belasan lukisan potret pahlawan pada Sudjojono, Dullah, Harijadi, dll. Apalagi Basoeki Abdullah mengerjakan lebih dari 10 lukisan, pasti dapat ongkos kerja. Info mengenai jumlah dana belum diketahui. Hanya efeknya yang cukup menarik, setelah lukisan tersebut dikerjakan oleh Basoeki, nama dan eksistensinya makin kuat. Kedua, pekerjaan ini tentu memerlukan riset ala seniman, yaitu mencari data visual yang terdekat dengan wajah sang pahlawan,” ujar Mikke. Jika lukisan wajah pahlawan itu hasil imajinasi, tentu timbul pertanyaan, seperti apa wajah asli pahlawan tersebut. “Ini kan perlu mendekonstruksi lagi lukisan pahlawan itu. Misalnya, seperti Pattimura, apakah betul wajahnya seperti itu,” ujar Restu Gunawan, direktur kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain kesepuluh lukisan wajah Pahlawan Nasional itu, lukisan wajah Pattimura karya Basoeki Abdullah juga dipamerkan namun sebagai sampul majalah Pembinaan Pendidikan edisi November 1977.*
- Konsekuensi Persahabatan Atlet “Nazi”
POSTURNYA tegap dengan tinggi 184 cm. Bermata biru serta berambut pirang. Gambaran fisik sempurna sebagai figur ras arya itu ada pada Carl Ludwig “Luz” Long, seorang atlet Jerman. Long menjadi tumpuan harapan Jerman, yang pada medio 1930-an disemarakkan oleh ideologi Nazi, di Olimpiade Berlin 1936. Long diharapkan sebagai salah satu pemenang dalam “etalase” propaganda di perhelatan akbar olahraga itu. Sebagaimana lazimnya kompetisi, Long punya rival kuat dari Amerika Serikat (AS) di nomor lompat jauh. Dia adalah James Cleveland “Jesse” Owens, atlet berkulit hitam yang di nomor sebelumnya sempat “menampar” muka Der Fuhrer Adolf Hitler dua kali dengan merebut medali emas di nomor lari 100 dan 200 meter putra. Owens, pelari yang di negaranya sendiri pun kesulitan untuk menikmati hidup lantaran rasisme, dalam ideologi Nazi termasuk untermesch atau ras inferior. Klasifikasi itu juga disandang orang-orang Gipsi maupun Yahudi. “Saya tidak diundang untuk bersalaman dengan Hitler, tapi saya juga tidak diundang ke Gedung Putih untuk bersalaman dengan Presiden (AS, Franklin D Roosevelt, red. ),” ungkap Owens dalam Jesse Owens: A Biography karya Jacqueline Edmonson. Dalam perhelatan itu Owens total merebut empat medali. Selain dari nomor lari 100 dan 200 meter, dia juga mengalungi medali emas dari nomor estafet 400 meter dan lompat jauh. Di nomor terakhir itulah Owens bersaing ketat dengan Long. Long memang kalah, namun dia punya “kemenangan” tersendiri. Dia tak segan memberi selamat dan bahkan merangkul Owens di depan mata Hitler yang tengah berdiri di podium kehormatan Olympiastadion. Meski memiliki fisik sempurna menurut ideologi Nazi, Long muak dengan ideologinya Hitler itu dan dia jelas bukan anggota Nazi. Momen indah yang diabadikan banyak fotografer itu lalu dilestarikan dalam video dokumenter Olympia, Fest der Volker besutan Helene Bertha Amalie “Leni” Riefenstahl, sineas Jerman yang menaruh simpati terhadap Owens. Momen itu lantas menggemparkan publik Jerman. Owens sendiri terkejut dengan keberanian Long yang mau berteman dan merangkulnya, seorang yang dalam ideologi Nazi bahkan bukan dianggap manusia. “Butuh keberanian dari dirinya untuk berteman dengan saya di hadapan Hitler. Anda bisa meleburkan semua medali dan trofi yang saya punya, namun mereka takkan bisa membuat persahabatan berpelat emas 24 karat yang saya rasakan pada Luz Long di momen itu,” cetus Owens dikutip Jeff Burlingame dalam Jesse Owens: I Always Loved Running. Momen Long merangkul Owens itu jelas mendatangkan konsekuensi tersendiri. Terlebih, Long kerap menentang kebijakan anti-semitisme Hitler. Saat Perang Dunia II pecah, Long dikenakan wajib militer di Wehrmacht (Angkatan Darat Jerman) untuk dikirim ke front terdepan. Tapi Long tetap berteman dengan Owens. Dia mengirimi Owens sejumlah surat. Suatu hari, Long mengirim surat kepada Owens yang isinya beda dari surat-surat sebelumnya. “Hati saya mengatakan bahwa ini mungkin surat terakhir selama saya hidup. Jika benar begitu, saya mohon satu hal: Ketika perang selesai, pergilah ke Jerman dan temukan putra saya dan ceritakan tentang ayahnya. Ceritakan tentang masa-masa perang tidak memisahkann kita –dan ceritakan hal-hal yang sebenarnya bisa berbeda antara manusia dan dunia ini. Saudaramu, Luz,” demikian bunyi petikan surat tersebut yang disitir Jeremy Schaap dalam Triumph: The Untold Story of Jesse Owens and Hitler’s Olympic . Surat itu ternyata menjadi surat wasiat Long untuk Owens. Invasi Sekutu ke Pulau Sisilia, Italia membuat Long luka parah. Dia tewas tak lama kemudian di sebuah rumahsakit darurat militer milik tentara Inggris di Italia pada 10 Juli 1943. Jasadnya lalu dikebumikan di Pemakaman Perang Motta Sant’ Anastasia. Wasiat Long ditunaikan Owens selepas Perang Dunia II. Pada 1951, Owens berhasil menemukan putra Long, Kai-Heinrich Long. “Saya melihat sosok Luz lagi di wajah putranya,” tandas Owens.






















