Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
INDONESIA adalah negara dengan jumlah pahlawan terbanyak di dunia. Saat ini sebanyak 173 nama menghiasi album Pahlawan Nasional. Jumlahnya akan terus bertambah. Sebabnya, setiap tahun menjelang Hari Pahlawan, selalu ada nama baru. Sejak kapan ritual gelar pahlawan ini bermula? Sejarawan Prancis Denys Lombard mencatat , ide untuk memunculkan sosok pahlawan digagas pada penghujung 1950. Saat itu ada keinginan merehabilitasi semua korban kesewenang-wenangan Belanda. Dalam memori masyarakat mereka adalah orang-orang yang berani menentang kompeni dan ada di berbagai daerah. Masyarakat menghargainya dengan beberapa cara. Potret tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan diusung. Biografi mereka dibuat dengan kisah yang diperindah. Nama-nama tertentu bahkan diabadikan sebagai nama jalan. “Agar prakarsa-prakarsa itu dapat ikut memperkuat ideologi persatuan, sejak 1959 Sukarno memutuskan untuk menyusun sebuah daftar resmi ‘Pahlawan Nasional’,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan. Abdul Muis, sastrawan-cum-politisi Sarekat Islam, menjadi yang pertama menerima gelar ini. Belum jelas alasannya. Tak berselang lama, masih di tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan dan pendiri Indische Partij, serta Surjopranoto, tokoh perburuhan yang juga kakak sulung Ki Hadjar Dewantara, ditetapkan sebagai pahlawan. Jumlah pahlawan kemudian terus bertambah. “Sukarno sering menggunakan hak istimewanya sebagai presiden untuk mengusulkan kandidat-kandidat pahlawan dan untuk menyatakan mereka sebagai pahlawan tanpa mempertimbangkan atau persetujuan sebelumnya oleh komite yang berwenang,” tulis sejarawan Jerman Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru 1959-1993” termuat di Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt. Ini bisa dilihat dari pemberian gelar Pahlawan Revolusi pasca-Gerakan 30 September 1965. Kepentingan politik juga mendasari pengangkatan Tan Malaka dan Alimin sebagai pahlawan. Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis sebagai pahlawan berdasarkan kepentingan strategis: menempatkan wakil dari ideologi komunis dalam Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Gelar pahlawan Tan dan Alimin tak pernah dicabut, kendati nama mereka pernah tak muncul dalam daftar Pahlawan Nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Di era Sukarno, hampir semua pahlawan berasal dari masa pergerakan nasional dan kebanyakan dari Pulau Jawa. Hanya empat dari 33 pahlawan yang tercatat hidup dan berjuang pada masa sebelumnya: Sisingamangaradja XII, Tjut Meutia, Tjut Njak Dien, dan Pakubuwono VI. Keempatnya dilihat sebagai eksponen-eksponen perlawanan antikolonial regional. Sosok paling tua di antara tokoh gerakan nasional adalah Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam. Sedangkan yang termuda Jenderal Sudirman. Sutan Sjahrir menjadi nama terakhir yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional era Sukarno. Di masa Soeharto, keputusan pengangkatan pahlawan lebih ketat daripada rezim sebelumnya. Bedanya, varian tokoh pahlawan diperluas, baik secara historis maupun geografis. Kendati demikian, kepentingan politik tak luput dari pertimbangan. Menurut Schreiner, sejarah hubungan antara rakyat Indonesia dan Belanda dikonseptualisasi sebagai suatu sejarah perjuangan antikolonial yang memuncak pada kebangkitan rezim Orde Baru. Nama pertama yang dinominasikan rezim Soeharto adalah Laksamana Martadinata pada 1966. Martadinata adalah tokoh yang mendukung Soeharto sesaat setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gelar yang sama juga diberikan kepada Basuki Rachmat pada 1969, salah satu dari tiga jenderal yang menjadi saksi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), simbol tonggak berdirinya Orde Baru. Pengangkatan juga terjadi pada Siti Hartinah, yang tak lain istri Soeharto. Sebaliknya, sejumlah tokoh yang layak mendapat gelar pahlawan justru sempat gagal karena bersikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Ini dialami Bung Tomo, pejuang dalam Pertempuran Surabaya. Bung Tomo baru diakui sebagai pahlawan tahun 2008. Kontroversi juga muncul ketika Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada dwitunggal Sukarno-Mohammad Hatta pada 1986. Masalahnya, selain undang-undang tak mengaturnya, gelar itu justru membelenggu nama besar dan mereduksi peran keduanya secara sendiri-sendiri maupun dalam konteks peristiwa sejarah –hanya pada peristiwa proklamasi. Setelah reformasi, kontroversi masih mengiringi pemberian gelar pahlawan. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Padahal UU No 20/2009 menyebut Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang pernah diberikan, yakni Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamasi, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera. Yang menarik lagi, sekarang nama-nama Pahlawan Ampera juga tak tercantum, misalnya dalam buku Profil Pahlawan Nasional yang dikeluarkan Kementerian Sosial tahun 2016. Apakah mereka masih Pahlawan Nasional? Hartono Laras hanya memberikan jawaban singkat: “(Kalau) menurut UU No. 20 Tahun 2009... Pahlawan Nasional.” Kontroversi yang tak pernah surut tentu saja usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mantan presiden. “Pahlawan itu keputusan politik sebetulnya. Ada simbol sosial di sana. Pada intinya, pahlawan itu ada dua sisi. Pertama akademik, kedua politik. Penentunya itu politik karena itu yang menentukan pemerintah,” ujar Abdul Syukur, sejarawan Universitas Negeri Jakarta yang juga anggota Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
- Coreng Moreng Anugerah Nasional
HARTONO Laras, direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, mengambil selembar brosur berwarna hijau di mejanya. Dengan seksama dibacanya satu per satu kalimat-kalimat yang tertera di dalamnya. “Nah ini dia, seorang yang berhak mendapat gelar Pahlawan Nasional salah satunya harus memiliki kriteria: tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan,” ujarnya sambil menunjuk bagian kalimat yang disebutnya. Bagi sejarawan- cum -ahli tata negara A.B.Kusuma, justru di situlah masalahnya; kriteria yang sudah ditetapkan kerap dilanggar. Misal, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Anak Agung Gde Agung tahun 2007. “Untuk mendapatkan Bintang Mahaputra mungkin masih bisalah, tapi untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional belum pantas,” ujar Kusuma, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, orang-orang yang mempromosikan bangsawan Bali itu boleh saja berkilah Anak Agung berjasa dalam terwujudnya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia. Bersama Sultan Hamid, Anak Agung menyarankan Louis Beel, wakil Mahkota Belanda di Indonesia, untuk berkompromi dengan Indonesia lewat KMB. “Tapi bagi saya dia hanya seorang oportunis yang bisa mengendarai angin perubahan kala itu,” ujar Kusuma . Pendapat Kusuma sudah dilontarkan sejumlah veteran pejuang Bali. Salah satunya Nyoman Suwandi Pendit. Dalam buku Bali Berjuang (1954), Pendit menyebut Anak Agung adalah orang yang harus bertanggungjawab terhadap gugurnya I Wayan Dipta dan I Gusti Ngurah Rai, dua pahlawan terkemuka Bali. Pada penghujung 1945, Anak Agung terlibat dalam pembentukan Pemuda Pembela Negara (PPN), milisi bumiputra yang didukung Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA). “Jadi kondisinya secara historis di Bali ada dua Pahlawan Nasional yang saling berhadapan sebagai musuh. Ini aneh sekali,” ujar Kusuma. Kusuma mengatakan, situasi penuh kontradiksi itu terjadi karena tak ada ketegasan mengenai kriteria seorang Pahlawan Nasional. Dia juga menyebut peran Kementerian Sosial dalam proses penganugerahan Pahlawan Nasional sangat bias, karena yang lebih cocok menangani soal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memiliki Direktorat Sejarah. Setahun sebelumnya di Jawa Barat, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk KH Noer Alie juga menuai kontroversi. Bukan tokoh pahlawannya melainkan proses promosinya yang diwarnai isu plagiarisme. KH Noer Ali, seorang ulama kharismatik yang terlibat dalam pertempuran Karawang-Bekasi, harus menempuh proses panjang sebelum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Namanya mulai dimunculkan pada 1994. Namun Soeharto, presiden saat itu, hanya memberikan penghargaan Bintang Nararya, satu level di bawah Pahlawan Nasional. Pengajuan sebagai Pahlawan Nasional dilakukan setiap tahun dan baru berhasil tahun 2006. Salah satunya berkat Nina H. Lubis, guru besar sejarah Universitas Padjadjaran Bandung. Nina “disewa” pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mempromosikan secara akademis KH Noer Alie menjadi Pahlawan Nasional. Namun dia dituduh plagiat karena menjiplak karya Ali Anwar, sejarawan Bekasi, berjudul Kemandirian Ulama Pejuang: Biografi KH. Noer Ali. Ali Anwar menuturkan, dia mengerjakan biografi KH Noer Alie sejak lulus kuliah tahun 1991. Dia juga sempat mewawancarai Noer Alie sebelum meninggal tahun 1992. Biografi itu dipublikasikan terbatas untuk santri-santri di Pesantren At Taqwa yang didirikan Noer Alie. Nina sebelumnya meminta izin Ali Anwar via telepon untuk meringkas biografi Noer Alie untuk proyek pencalonan Pahlawan Nasional. Ali Anwar memberi izin dengan catatan tak lebih dari 20 halaman. Namun yang terjadi tidak demikian. ”Nyatanya dia membuat satu buku tersendiri yang 80% diambil dari karya saya,” ujar Ali. Ali sempat mengadukan soal ini ke rektor Universitas Padjadjaran, pemerintah Kabupaten Bekasi, dan gubernur Jawa Barat. Namun, hingga kini tak ada jawaban. “Kalau pemerintah Kabupaten Bekasi sempat menawarkan penyelesaian secara kekeluargaan tapi saya tolak,” kata Ali. Hingga kini, Nina tak mau menanggapi tuduhan itu. Ketika sepekan lalu Historia mengajukan permintaan wawancara, dia hanya memberikan jawaban singkat via WhatsApp : “Mohon maaf saya tidak bisa memenuhi permintaan Saudara karena sedang ada kesibukan yang luar biasa.”
- Guntur Soekarnoputra Menikah Tanpa Ayah
PRESIDEN Joko Widodo tengah berbahagia. Putrinya, Kahiyang Ayu, telah melangsungkan pernikahan dengan Muhammad Affif Bobby Nasution pada Rabu, 8 Novemer 2017. Kebahagiaan itu bertambah lantaran dalam pernikahan di Gedung Graha Saba Buana, Solo, itu Jokowi sendiri menjadi wali nikah Kahiyang, tak mewakilkan. Kebahagiaan bisa menikahkan dan menyaksikan pernikahan anak seperti itu tak dialami Sukarno sewaktu anak sulungnya, Guntur Soekarnoputra, menikah. Ketika Guntur hendak menikah, Sukarno tidak bisa menghadiri pernikahan tersebut. Selain sedang sakit, Sukarno dilarang oleh rezim Soeharto. Menurut sineas yang menggemari sejarah Iman Brotoseno, pelarangan terhadap Sukarno disebabkan oleh ketakutan rezim Soeharto. Bila Sukarno bertemu banyak orang, dikhawatirkan bisa membangkitkan kembali memori tentang masa-masa Sukarno. Pasalnya, ketika pernikahan Rachmawati dilaksanakan, Sukarno sempat datang dan bertemu banyak orang. Penguasa lalu membatasi dia agar tak terlalu berbaur dengan tamu. “Lebih-lebih bulan Februari 1970 adalah masa-masa yang semakin keras dengan interogasi dan penjagaan,” kata Iman kepada Historia . Kondisi itu membuat Guntur akhirnya memilih mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang tak terdampak oleh transisi kekuasaan, untuk menjadi wali nikahnya. Pemilihan itu berangkat dari saran Sukarno. Sebelum menikah, Guntur menemui Sukarno untuk meminta restu. “Waktu itu sudah ada rekonsialiasi Guntur dengan Sukarno. Sebelumnya, Guntur ngambek karena Sukarno nikah dengan Hartini. Guntur membela ibunya dan tidak mau menemui ayahnya. Akhirnya rekonsiliasi dan Guntur mau datang lagi,” kata Iman. Menurut Puti Guntur Sukarno, memang ngambek dan membela ibunya tapi bukan tidak mau bertemu dengan Bung Karno. "Papa dan eyang masih sama-sama di Istana sampai mereka diultimatum harus keluar Istana dan mereka berdua punya gentleman agreement. Kalau papa jarang di Istana karena saat itu sudah kuliah di ITB," kata Puti kepada Historia. Ditemani ibunya, Fatmawati, Guntur datang menemui Hatta. Dia mengutarakan niat dan kondisi riil yang ada. “Ya, saya bersedia,” kata Hatta menjawab permintaan putra sulung sahabatnya itu sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku . Guntur tak menyangka Hatta menyanggupi permintaannya mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta. Calon istri Guntur merupakan ratu kebaya Bandung, Henny Emilia Hendayani. Guntur mengenalnya ketika kuliah di ITB dan Henny kuliah di Jurusan Pertanian Universitas Padjadjaran. Masa pacaran mereka sangat sederhana. Saat kencan pertama, misalnya, Henny sempat gugup saat Guntur hendak menjemput. Henny berdandan rapi karena mengira Guntur akan menjemputnya dengan mobil dan mengajak makan di restoran mewah. Kenyataan jauh panggang dari api, Guntur menjemput Henny dengan skuter butut dan mengajaknya makan di warung pinggir Jalan Cikawao. Pernikahan mereka pun akhirnya berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. “Pernikahan Guntur sederhana, waktu itu situasinya tidak memungkinakan teman-teman Bung Karno untuk datang lagi karena mereka agak menjauh. Setahu saya yang waktu itu datang adalah Ali Sadikin,” kata Iman. Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, termuat dalam Malam Bencana 1965, Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Hatta menyadari kepedihan hati Sukarno yang tidak bisa menyaksikan putra sulungnya menikah.*
- Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga
SUATU malam sebelum Rukmini dinikahkan dengan Raja Cedi, Kresna membujuk seorang dayang untuk menyerahkan surat kepada Rukmini. Ketika surat itu sampai, sang putri masuk ke kamarnya dan membaca surat cinta yang panjang dan penuh emosi itu. Rukmini terharu. Hatinya gelisah. Kresna memang sudah berniat melarikan Rukmini. Putri itu pun keluar lagi menuju taman. Seorang pelayan menyarankan dia menuliskan perasaannya di atas pudak supaya tersembunyi dari para putri yang akan menemaninya malam nanti di taman. Demikianlah Mpu Triguna melukiskan kisah cinta Kresna dan Rukmini dalam Kakawin Krsnayana sekira abad 12 M . Dalam banyak karya sastra klasik, khususnya di Jawa, surat menyurat telah menjadi hal biasa bagi sepasang kekasih untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya, dalam salah satu panil relief di Candi Panataran, Blitar, tergambar bagaimana cara sepasang perempuan dan laki-laki bertukar pesan. Seorang laki-laki yang mengenakan tutup kepala tekes menggenggam gulungan surat. Di depannya ada burung kakak tua. Di panil selanjutnya, burung itu terbang membawa gulungan surat itu. Ia menyebrangi ladang dan pepohonan. Di panil berikutnya, burung itu menyerahkan surat pada seorang panakawan yang berada di bawah seorang putri, kemungkinan majikannya. Ia mengambilkan surat itu dan menyerahkannya kepada sang putri. Di belakang putri, dua dayang menyaksikan. Meski tak jelas terbuat dari apa surat itu, banyak kakawin sering menyebut selembar pudak sebagai media untuk menyampaikan pesan sepasang kekasih. “Karena dalam hampir setiap kakawin terdapat sebuah kisah asmara dan dalam kisah-kisah asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian kemari,” tulis Petrus Josephus Zoetmulder, pakar Jawa, dalam Kalangwan. Menurut Zoetmulder pudak dinamakan juga ketaka atau ketaki dan cindaga. Pudak adalah bunga dari pohon yang mirip pohon nanas. Dia menyamakannya dengan pohon pandan. Pohon pandan memang sering masuk dalam deskripsi tentang alam di berbagai kakawin. Tanaman ini banyak tumbuh di sepanjang pantai atau sungai, di atas batu-batu karang yang muncul ke atas, hampir menyentuh permukaan air. Bentuk bunga pandan ( pudak ) tersusun dalam beberapa lapisan. Bunganya berwarna kuning, terbungkus semacam bungkus lonjong, yang pada satu ujung meruncing. Bunganya akan terlihat jika pelepah itu mekar. Daun bunga pudak yang panjang dan putih inilah yang dipakai sebagai media tulis. Pudak dipakai sebagai media tulis karena tak sulit mendapatkannya. Begitu pula dengan alat untuk menulisnya. Setiap benda tajam bisa digunakan untuk menulis. Misalnya, sebatang tusuk gading atau biasa disebut sadak. Alat ini sering menjadi hiasan rambut para perempuan. Selain sadak, duri pohon pandan juga bisa dipakai untuk menulis. Namun, pudak tidak awet karena daun bunganya cepat layu dan latarbelakangnya yang putih atau kuning mudah menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Setiap goresan tulisan seketika menjadi hitam sehingga pemakaiannya hanya sekali. “Khususnya surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tak lebih banyak dari beberapa bait saja atau menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan,” tulis Zoetmulder. Dengan begitu, pudak bukan media tulis bagi para penyair profesional melainkan bagi para amatir. “Pudak membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam, tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama dan yang kemudian hari mungkin merepotkan mereka,” lanjut Zoetmulder. Dalam kebudayaan masa itu, pudak nampaknya lekat dengan urusan percintaan. Pudak, dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno, sering diumpamakan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit. Pudak juga menjadi sebuah ungkapan, seperti dalam kakawin Sumanasantaka abad 13 karya Mpu Monaguna, tertulis: “Bila kau menjelma menjadi bunga pudak , aku akan merupakan tulisan di atas daunnya.”
- Pasukan Penggusur Lelembut
PAKUBUWONO II (1711-1749), raja Kartasura, dilanda kegusaran. Keratonnya luluh-lantak akibat Geger Pecinan (1740-1743) . Dia pun membuat keraton baru dengan lokasi yang baru pula karena dia percaya keraton lama sudah kehilangan pamor karena peristiwa tersebut. Para penasihat raja berunding. Mereka pun sepakat memilih wilayah Kedunglumbu di Desa Sala sebagai calon keraton baru. Proyek keraton baru itu banyak rintangan. Kedunglumbu merupakan daerah rawa dan ditumbuhi tanaman talas. Selain itu, wilayah ini pusat lelembut yang dipimpin Uling Putih dan Nyi Blorong. “Banyak kesukaran dalam melaksanakan pembangunan keraton baru. Air rawa harus dikeringkan. Penghuninya yang misterius juga harus digusur terlebih dahulu,” demikian tertulis dalam “Bagaimana Dulu Raja Solo Menggusur Daerah Setan dan Jin,” majalah Cinta , 1973. Para penasihat raja bertekad mensukseskan proyek pembangunan kraton baru itu. “Waktu yang dibutuhkan untuk membuka hutan, meratakan tanah dan membangun keraton, cukup lama. Berbagai gangguan sering terjadi, seperti kejang-kejang yang menimpa pekerja. Peristiwa demikian dianggap sebagai gangguan makhluk halus. Oleh para penasihat raja, dianjurkan untuk mengadakan upacara guna mengatasinya,” tulis Bakdi Soemanto dalam Cerita Rakyat dari Surakarta 2 Volume 3 . Uling Putih dan Nyi Blorong yang mengepalai barisan lelembut di Kedunglumbu sudah diperingatkan oleh Nyi Roro Kidul untuk berpindah tempat, daripada mendapat murka raja. Belum sempat para lelembut itu pindah tempat, Pakubuwono II sudah mengirimkan sepasukan berpakaian aneh dan menabuh beragam alat gamelan. Suasana gaduh membuat para lelembut kocar-kacir. Pakubuwono II mengirim pasukan cantang balung di barisan terdepan. Pasukan ini berpakaian aneh: memakai topi berkerucut tinggi, berkain merah, berkalung bunga melati, berikat pinggang sindur, jenggot terurai putih, dan mengacungkan tombak Kyai Slamet. “ Cantang balung merupakan media untuk menjaga agar upacara dapat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai yang diharapkan,” ujar Dhanang Respati Puguh, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia . Di belakang cantang balung , berbaris pasukan Panyutro. Pasukan ini, tubuhnya diberi bedak kuning, bercelana dan berbaju kuning pula dengan model lengan terpotong, berikat kepala batik motif bango tolak , serta bersenjatakan panah dan keris. Di belakang regu Panyutro, berbaris prajurit Prawirotomo yang berkostum hitam-hitam mulai dari topi hingga celana. Artikel tersebut menyebut lelembut tidak berani kepada ketiga regu pasukan itu karena mereka prajurit penghibur Nyi Roro Kidul. Akhirnya, para lelembut itu berhasil digusur. Keraton baru pun dapat berdiri dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat.
- Kala Prabowo Mempersunting Putri Soeharto
SUATU hari, Prabowo Subianto membuat ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, terkejut. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia minta izin hendak memperkenalkan pacarnya. Bowo, sapaan akrab Prabowo, akhirnya mendapat lampu hijau.
- Hoesin Bafagieh, Guru Menulis AR Baswedan
SAMBIL membawa tulisannya supaya dimuat, A.R. Baswedan menemui Hoesin Bafagieh di kantor Majalah Zaman Baroe . Di hadapan Maskati, Bafagieh langsung menolak keinginan Baswedan. “Saya telah mengejeknya dengan kata-kata yang menghina, nyatakan bahwa karangannya belum bisa mendapat tempat di halaman Zaman Baroe dan ia perlu belajar kembali,” ujar Bafagieh dalam Aliran Baroe Tahun II No. 6 Januari 1939. Menurut Nabiel Karim Hayaze, penyusun buku Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh , Hoesin jauh lebih senior dari Baswedan. “Ketika Baswedan mulai semangat menulis, Hoesinlah yang mengajarkan Baswedan menulis,” kata Nabiel dalam diskusi buku yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, Selasa, 7 November 2017. Nabiel melanjutkan, keturunan Arab yang aktif dalam pergerakan bukan hanya Baswedan meski dia yang paling dikenal. Lahir dan tumbuh di Kampung Ampel, perkampungan Arab di Surabaya, Bafagieh tak mengungkung diri dalam bergaul. Dia berkawan baik dengan banyak pemuda pergerakan dengan beragam latar belakang etnis. Selain hobi menulis, Bafagieh gemar berorganisasi. Bafagieh merupakan pendukung utama berdirinya Jam’iyyah at-Tahdhibiyah, organisasi pemuda keturunan Arab yang berupaya mengatasi perpecahan di kalangan mereka yang terus diwariskan golongan tua, yang berdiri di Surabaya pada 1 Agustus 1924. “Saat itu muncullah di antara pemuda al-Irshad dan al-Rabitah yang bersemangat menentang generasi lebih tua, yang terus-menerus menjadi penghalang mereka untuk mencapai kemajuan. Beberapa pemuda dari al-Irshad dan al-Rabitah membuat semacam ‘persatuan’ yang telah melahirkan sebuah organisasi bernama ‘Bibliotheek Attahdibijah’ di Surabaya,” tulisnya sebagaimana disitir Natalie Mobini-Kesheh dalam The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 . Bersama Salim Maskati, di Bibliotheeq At-Tahdibiyyah Bafagieh lalu mendirikan Zaman Baroe . Keduanya memimpin majalah berbahasa Melayu yang terbit rutin mulai Oktober 1926 hingga Maret 1928. Di sana, Bafagieh menuangkan pemikirannya tentang penyebab perpecahan keturunan Arab di Hindia, solusi mengatasinya, dan ideologi nasionalismenya. Setelah Zaman Baroe berhenti terbit, pada 1938 Bafagieh bersama Maskati mendirikan Aliran Baroe. Pendirian AliranBaroe terinspirasi dari pemuda Tionghoa yang berjuang melalui dunia jurnalistik. Di Aliran Baroe , Bafagieh duduk dalam beragam posisi sekaligus, mulai penulis hingga penyandang dana. Hoesin Bafagieh. Bafagieh merupakan pengkritik tajam pandangan para keturunan Arab di Hindia yang selalu menganggap diri superior serta tetap menjadikan Hadramaut sebagai tanah airnya, bukan Indonesia. Dalam tulisan berjudul “Masyarakat Tionghoa dan Islam”, Aliran Baroe, Tahun I No. 4, November 1938, Bafagieh mengkritik golongan Islam fanatik dengan sorotan tajam terhadap praktik penggantian nama dan penghapusan tradisi Tionghoa pada orang Tionghoa yang menjadi muslim. Bafagieh juga mengkritik kefanatikan umat Islam yang mempertanyakan kualitas ibadah dan keislaman muslim Tionghoa. “Seolah-olah Islam itu hak monopoli mereka, tidak boleh bangsa lain mengaku Islam, apabila belum diperiksa akan lahir-batinnya dan surat keterangannya,” tulis Bafagieh. Kritik lain Bafagieh kepada keturunan Arab yakni terlalu gengsinya mereka untuk bekerja kasar. “Menganggap bahwa derajat kita tidak mengizinkan buat lakukan segala pekerjaan yang disangkanya merendahkan… anggapan merendahkan tidak semestinya diletakkan pada orang yang mempunyai pekerjaan pantas untuk penghidupannya.” Menurut Bafagieh dalam “Arab Indonesia yang Melarat Harus Buka Matanya,” Insaf No. 5 Tahun ke-I, Mei 1937, orang-orang keturunan Arab menaruh rasa malunya di tempat yang tidak seharusnya. Mereka malu untuk bekerja sebagai tukang potong rambut atau tukang sol sepatu, tetapi tidak malu untuk tidak bekerja. Bafagieh kemudian menjadi anggota Partai Arab Indonesia (PAI), partai nasionalis keturunan Arab yang didirikan antara lain oleh A.R. Baswedan, cabang Surabaya. Nasionalisme mereka dibuktikan dengan deklarasi Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 4 Oktober 1934. Meski sering memuat tulisan-tulisan anggota PAI, ujar Hoesin Al-Attas, “ Aliran Baroe bukan organ dari PAI, semata-mata hanya usaha dari Saudara Hoesin Bafagieh sendiri.” Bafagieh menjadikan Aliran Baroe medium penyiaran ide-ide berbangsa dan bertanah air PAI. “Hoesin Bafagieh adalah tokoh pers. Sejarah gerakan tidak lepas dari sejarah pers. Karena di zaman itu banyak orang yang ingin pemikirannya dibaca orang, untuk memengaruhi orang,” kata Didik Pradjoko, dosen sejarah UI. Selain aktif dalam jurnalistik, Bafagieh produktif menulis naskah tonil. Korban Adat , tonil pertama Bafagieh yang dipentaskan di Kongres kedua PAI, memuat pesan terselubung tentang Indonesia sebagai tanah air. Sementara Fatimah, kata Zeffry Al-Katiri, yang menulis pengantar dan moderator dalam diskusi buku Hosein Bafagieh, berisi kritikan Bafagieh terhadap dirinya sendiri dan budayanya tentang posisi perempuan dalam lingkungan keturunan Arab. Fatimah lalu dilarang pemerintah kolonial. Menurut Zeffry, apa yang dikritik Bafagieh beberapa puluh tahun lalu masih relevan hingga kini. “Lima puluh tahun ayah saya mendobrak ini, tapi hari ini orang Arab masih gitu-gitu saja,” kata Raihan Kamil, anak Bafagieh yang hadir dalam diskusi.*
- Sukarno Menikahkan dalam Status Tahanan
PRESIDEN Joko Widodo dan keluarga tengah berbahagia atas pernikahan putrinya, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution pada Rabu, 8 November 2017. Acara yang digelar di Graha Saba Buana, Solo, Jawa Tengah itu, dihadiri sekira empat ribu undangan, mulai dari mantan presiden sampai rakyat biasa. Salah satu tamu kehormatan yang hadir adalah mantan presiden dan putri Proklamator, Megawati Soekarnoputri. Sungguh berbeda bila melihat pernikahan salah satu adiknya: Rachmawati Soekarnoputri. Rachmawati dipersunting dr. Martomo Pariatman Marzuki (Tommy) pada 1969. Rachma dan Tommy sama-sama siswa di Perguruan Cikini. Tommy juga teman dekat Guntur dan Megawati. Setelah kenal dekat sejak 1968, mereka memutuskan untuk menikah. Rachma meminta restu kepada Sukarno yang tengah menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso. Rachma menunggu keputusan ayahnya selama sepekan. “Tujuh hari lamanya Bapak berpikir dan berdoa, memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Setelah seminggu itu Bapak mengatakan aku diizinkan menikah dengan Tommy. Sudah tentu Bapak menjadi waliku. Ada ketegangan dalam kegembiraan karena status Bapak saat itu,” kata Rachma dalam Bapakku, Ibuku . Pernikahan Rachma-Tommy dihelat di kediaman ibunya, Fatmawati, di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Agar Sukarno bisa menjadi wali nikah, Rachma harus minta izin kepada penguasa Orde Baru, Soeharto. “Rachma menulis surat ke Soeharto untuk memintakan izin Bung Karno,” kata Roso Daras, Sukarnois dan penulis buku-buku tentang Sukarno, kepada Historia . Soeharto mengizinkan Sukarno menjadi wali nikah Rachma, namun dengan pengawalan ketat tentara. Dia hadir dalam keadaan sakit ginjal. “Hanya sekadar memberi restu nikahan anak saja diperlakukan tidak hormat. Tidak boleh melambaikan tangan ke massa. Pengawalan dengan senjata otomatis. Memangnya mau kabur ke mana? Bung Karno orang sakit yang sedang menjemput ajal,” ujar Roso Daras. Meskipun begitu, Sukarno tetap bahagia karena bisa bertemu lagi dengan Fatmawati. Pertemuan itu mengharu-biru. Fatma, anak-anak, dan sahabatnya, Mohammad Hatta, berlinang air mata bahagia. “Ibu kembali berjumpa dengan Bapak yang lemah karena sakit ginjalnya yang parah itu kambuh lagi. Aku mencucurkan air mata melihat Bapakku disambut dan dibimbing oleh Ibuku,” lanjut Rachma. Suasana haru-biru mengelilingi pesta pernikahan sederhana itu. Betapa tidak, sejak Sukarno menikah lagi dengan Hartini pada 1953, Fatma memilih keluar dari Istana Negara dan pindah ke Kebayoran Baru. Akhirnya, di pernikahan Rachma, Fatma mau berdamai dengan perasaannya. Terlebih melihat kondisi Sukarno yang lemah karena sakit, bahkan wajahnya bengkak. Sayangnya, momen bahagia itu tak berlangsung lama. Tentara merenggut kebahagiaan mereka. Sukarno dibawa kembali ke Wisma Yaso. Dikawal ke mobil sampai kembali ke rumah tahanan dengan tiada rasa hormat sama sekali. “Tentara mendorong kepala Bung Karno agar lekas masuk mobil. Menganggap seolah yang dikawal adalah residivis,” kata Roso Daras. Terlepas dari itu, biduk rumah tangga Rachma dengan Tommy tidak berlangsung lama. Mereka bercerai dan Rachma menikah lagi dengan Dicky Suprapto. Dalam pernikahan sederhana itu, Guntur menjadi walinya. Rachma kembali bercerai dan menikah lagi dengan Benny Sumarno.*
- Edan-edanan, Pembuka Jalan Bobby-Kahiyang ke Pelaminan
BEBERAPA saat setelah prosesi panggih temanten , Presiden Joko Widodo dengan busana khas Jawa berada di depan kedua mempelai, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, menuju pelaminan. Ada yang menarik saat prosesi menuju pelaminan itu. Di depan iringan pengantin terdapat sepasang penari dengan busana basahan yang mukanya bercat putih dan badan dibaluri warna kuning. “Itulah cantang balung atau edan-edanan . Tugasnya ya membuka jalan bagi pengantin,” ujar Herman Sinung Janutama, penulis buku Pisowanan Alit , kepada Historia . Keberadaan cantang balung memiliki akar sejarah yang panjang. Mereka tidak serta merta muncul hanya untuk mengiringi pengantin menuju pelaminan. Menurut arkeolog W.F. Stutterheim pasukan cantang balung merupakan bentuk baru dari pendeta yang berada di barisan terdepan dalam suatu acara keagamaan. “Dalam penelitian relief Candi Brorobudur di tahun 1935, arkeolog W.F. Stutterheim meneliti tokoh brahmana yang digambarkan berjenggot dan berkumis sedang menari. Adegan di relief tersebut diyakini sebagai pendahulu dari pasukan cantang balung ,” tulis J. Ras dalam “De Clownfiguren in de Wajang,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , tahun 1978. Kedudukan cantang balung sebagai “brahmana” diperkuat oleh catatan Darsiti Suratman dalam Kehidupan Dunia Kraton yang menerangkan bahwa cantang balung merupakan pimpinan pengiring sajian suci ke tempat ibadah. Seperti saat berlangsung Garebeg Maulud, pasukan cantang balung harus mengiringi gunungan Garebeg Maulud sampai ke halaman masjid. Sementara menurut J.L. Moens dalam Budhisme di Jawa dan Sumatra posisi cantang balung merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Tugasnya adalah minum arak di depan umum hingga mabuk lalu menari. Kedudukan cantang balung dalam sejarah pun mengalami pasang surut. Setelah berjasa mengusir para lelembut di Kedunglumbu pada pertengahan abad 18, pasukan ini lalu ditempatkan di bagian abdi dalem niyaga yang tugasnya mengiringi permainan watangan setiap Sabtu sore. Setelah watangan dihapuskan pada abad 19, cantang balung menempati posisi baru sebagai jajar yang bertugas menari tarian Gajah Ngombe di depan bangsal Angun-angun pada waktu raja berjalan meninggalkan Sitihinggil menuju kedaton. Saat menari, tangan kirinya selalu membunyikan kepyak dari tulang, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi minuman. Dan setiap gong berbunyi, dia meminum gelas itu. Kemudian pada era Pakubuwono X (1866-1939), cantang balung dikelompokkan dalam abdi dalem golongan kridhastama . Sebagai penggembira, cantang balung mempunyai kebebasan untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka inginkan, dan dilaksanakan lewat kedudukannya sebagai badut. Pada lelucon itu sering dilontarkan kritik sosial. “Sebagai abdi dalem kridhastama , cantang balung memang ditugasi untuk membuat lelucon. Sifatnya menghibur, supaya orang yang menyaksikan bisa bergembira,” ujar Dhanang Respati Puguh, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia . Pasukan cantang balung sempat tidak dipakai sejak Kasunanan Surakarta dihapuskan sifat swaprajanya setelah tahun 1945. Namun, pada 1973 pasukan cantang balung kembali tampil dalam perayaan Sekaten Kraton Surakarta, hingga hari ini.
- Maung Bandung Tersandung
KLUB bertabur bintang Persib Bandung terancam degradasi dari kasta tertinggi kompetisi sepakbola dalam negeri saat ini, Liga 1. Keputusan walk out (WO) “maung Bandung” dalam matchday ke-33 kontra Persija Jakarta pada Jumat (3/11/2017) lalu membuat tim itu bisa-bisa hanya tampil di Liga 2 musim mendatang. Para pemain Persib memprotes keras keputusan wasit asal Australia Shaun Evans menganulir gol Ezechiel N’Douassel, memberi hadiah penalti untuk Persija, dan mengkartu merah Vladimir Vujovic. Namun, Evans malah menghentikan laga di Stadion Manahan, Solo itu pada menit ke-83 dan menyatakan Persib WO. Meski masih simpang siur apakah Persib yang menginginkan WO atau wasit yang menggunakan hak diskresinya untuk menghentikan laga, Persib terancam hukuman degradasi. Menilik regulasi Liga 1 Pasal 13 ayat 1 b dan c yang intinya, “Setiap klub dianggap dan dinyatakan mengundurkan diri dari Liga 1, apabila menolak melanjutkan laga atau meninggalkan lapangan/stadion sebelum laga usai”, keputusan Persib memenuhi kriteria regulasi di atas. Saat ini, kasus itu masih di tangan Komisi Disiplin PSSI. Bila benar Persib terlempar dari kasta kompetisi terelit di Indonesia, itu seakan mengulang nasib buruk tim kebanggaan masyarakat Kota Kembang pada Kompetisi Perserikatan 1978-1979. Kala itu Persib terpaksa masuk ke Divisi I, yang merupakan kasta kedua. Kompetisi Perserikatan 1978-1979 memiliki aturan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. PSSI mengubah format kompetisi menjadi: yang berhak tampil di Divisi Utama atau Kejuaraan Nasional Utama PSSI hanya lima tim dengan sistem klasemen. Lima tempat yang mesti diperebutkan tim-tim 18 besar dari Kompetisi Perserikatan 1975, termasuk Persib. Prestasi Persib terbilang moncer. Keluar sebagai juara Pool B, diikuti PSM Makassar sebagai runner up , Persib lolos ke Babak 8 besar atau perempatfinal di Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) . Di Babak 8 besar, Persib berada di Pool G bersama Persipura Jayapura, Persija Jakarta, dan Persebaya Surabaya. “Kami tidak pernah berpikir untuk memilih pool mana. Tekad kami bagaimana bertanding sebaik-baiknya,” cetus Ketua Umum Persib Solihin GP, dilansir harian Kompas , 17 Januari 1978. Para pemain Persib berhasil memberi jawaban memuaskan. Di laga perdana, mereka menyungkurkan Persipura 2-0. Tapi jalan berat Persib –dan juga tim-tim lain– kemudian datang bukan semata dari ketatnya persaingan. Insiden keracunan makanan gulai kepiting yang disediakan panitia di Perumahan Atlet Senayan membuat para pemain dan ofisial menjadi korban. “Pertandingan Kejuaraan PSSI yang tengah berlangsung di Jakarta ditunda mulai Minggu malam dan akan dilanjutkan kembali Selasa besok gara-gara sejumlah pemain dari beberapa kesebelasan peserta harus dirawat karena tiba-tiba menderita akibat kesalahan makanan,” tulis Pikiran Rakyat , 23 Januari 1978. Persib menderita kerugian dua ofisial tim dan 14 pemain yang keracunan makanan. Akibatnya, Persib tersungkur oleh Macan Kemayoran (julukan Persija), digilas tiga gol tanpa balas. Para pemain Persija, yang tak tinggal di Perumahan atlet, lebih siap fisik lantaran tak ikut keracunan makanan. Persib kembali mengalami kekalahan saat menghadapi Persebaya mereka digunduli 2-0. Akibatnya, Persib gagal lolos otomatis. Harapan satu-satunya Persib, memenangkan pertandingan kontra Persiraja Banda Aceh, menempati posisi tiga Pool F, di playoff memperebutkan peringkat 5. Dalam laga yang digelar di Stadion Senayan pada 27 Januari 1978, Persib unggul lebih dulu di menit ke-10 lewat gol Max Timisela. Sialnya, Persiraja membalikkan kedudukan jadi 2-1 lewat gol Bustaman di menit ke-15 dan Tarmizi di menit ke-39. Skor itu bertahan sampai wasit meniup peluit akhir. “Dengan kemenangannya ini, Persiraja berhak maju ke Kejuaraan Nasional Utama PSSI bersama-sama dengan Persija, Persebaya, PSM dan PSMS Medan. Sedangkan Persib harus mulai lagi dari tingkat bawah (Divisi I – red. ),” tulis Pikiran Rakyat , 28 Januari 1978. Pelatih Persib Rusli beralasan, kondisi para pemainnya belum sepenuhnya dalam kondisi terbaik. Fisik para pilar Persib masih terpengaruh keracunan makanan sebelumnya. “Sebab buat memulihkan kondisi kembali, sedikitnya dibutuhkan waktu 3 minggu,” ungkap Rusli, dikutip Tempo , 28 Januari 1978. Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1978-1979 itu akhirnya dimenangkan Persija. Tim ibukota keluar sebagai juara setelah unggul selisih gol dari PSMS Medan, yang juga memiliki nilai 11 dari delapan partai tandang-kandang yang dimainkan lima tim terelit. Kendati demikian, Persib justru mendapat kepercayaan dari PSSI untuk mewakili Indonesia di King’s Cup di Bangkok, Thailand, penghujung April 1978. Persib tak dibebani target juara dalam perhelatan itu, melainkan lebih kepada misi persahabatan. “Juara dan bukan, itu soal kedua,” tutur Kabid. Keuangan dan Administrasi PSSI R Sumantri, lansir Pikiran Rakyat , 24 April 1978. Sayangnya, Persib kembali gagal di King’s Cup 1978. Tergabung di Grup 1 bersama timnas Thailand A dan Korea Selatan Selection XI (Korsel), Persib digebuk Thailand 0-3. Persib pulang dengan hanya sebutir poin hasil imbang 0-0 melawan Korsel.






















