Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cara Kuno Mengadu Pada Penguasa
Para rama di Kinəwu yang termasuk wilayah Raņdaman mengeluh tak sanggup membayar pajak. Mereka diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa. Mereka punya sawah luasnya 6 lamwit dan 3 tampah . Mereka lalu menghadap penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama, untuk mohon izin meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka. Untuk mengajukan permohonan, para rama harus mengeluarkan biaya sebanyak 3 ķati (2,4 kg) dan 1 suwarna emas, seekor kerbau, masuya (?), 1 suwarna, 2 suwarna emas lagi yang diberikan kepada para juru semua. Sayangnya, sebelum memberi izin kepada para rama , Rakryan i Raņdaman keburu meninggal. Maka para rama pun berencana menghadap raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Mereka lalu diantar oleh pratyaya dari daerah Randaman, yaitu Rake Hamparan dan Pu Batabwan dan San Dumba. Mereka pun menyampaikan permohonan peninjauan kembali penetapan pajak kepada raja lewat perantara seorang pejabat Samgat Momahumah i Mamrata pu Uttara. Untuk permohonan kali ini para pejabat Desa Kinəwu harus menyerahkan uang emas sebanyak 5 kati (4 kg) kepada raja dan lima orang rakryan , yaitu Rakryan i Wunkaltihan, Rakryan i Wəka, Rakryan i Sorikan, Rakryan i Kalunwarak, dan Pamgat Tiruranu. Untungnya sang raja mengabulkan permohonan mereka. Keluarlah keputusan Raja Balitung yang menetapkan para rama di Kinəwu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang telah dikurangi, yaitu katik 12 orang dan gawai 6 masa. Adapun keputusan itu disaksikan oleh para panuran in kabandharyan. Boechari dalam “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan bahwa mereka secara harfiah adalah orang yang tugasnya mengurangi penghasilan rakyat. “Dengan kata lain panuran adalah petugas pemungut pajak,” tulisnya. “Rupa-rupanya panuran in kabandharyan harus tahu berapa tepatnya pajak yang harus masuk dari tiap daerah watak, dan mungkin juga perinciannya dari tiap desa.” Kisah aduan pejabat desa kepada penguasa itu muncul dalam keterangan Prasasti Kinəwu (907) dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, penguasa Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Lewat prasasti ini, terlihat bagaimana prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Para rama atau kepala wanua Kinəwu awalnya mengajukan protes kepada penguasa daerah watak ( nayaka ) yang membawahi wilayahnya, yaitu Rakryan i Randaman. Wanua adalah satuan wilayah setingkat desa pada masa kini. Itu bisa terdiri dari satu desa maupun beberapa desa. Sementara watak adalah wilayah setingkat di bawah pusat. Wilayahnya terdiri dari beberapa wanua. Pengajuan permohonan yang dilakukan para rama itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya, permohonannya tak sempat diselesaikan karena Rakrynn i Randaman keburu meninggal. Tanpa menunggu sampai ada rakai pengganti di wilayah Randaman, para pejabat desa itu meneruskan protesnya kepada raja lewat perantara pratyaya dari wilayah Randaman. Pratyaya , menurut Boechari, adalah pejabat yang biasanya mengurusi perbendaharaan kerajaan. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibukota kerajaan, para pejabat desa diterima oleh San Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat inilah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja. “Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nayaka akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan rakyat,” jelas Boechari. Menurut Boechari, ada kalanya pengaduan tak mesti sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya, seperti yang dikisahkan dalam Prasasti Balingawan (891). Dalam prasasti itu dikisahkan para pejabat Desa Balingawan memohon desanya dijadikan sima . Di desa itu sudah terlalu sering terjadi pembunuhan gelap dan pertumpahan darah. Bisa dibayangkan, warga kerap menemukan mayat pada pagi hari di sebuah tegalan di Gurubhakti, yang masih masuk wilayah desa mereka. Padahal pembunuhannya mungkin terjadi di desa lain. Namun, mungkin oleh si pembunuh, mayatnya dibuang di tegalan itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku kala itu, warga Balingawan-lah yang harus bertanggung jawab dan membayar dendanya. Sampai akhirnya mereka sudah tak mampu lagi membayar pajak. Mereka pun mengajukan permohonan ke pemerintah. Namun, pada kasus ini cukup sampai kepada Rakryan Kanuruhan pu Huntu melalui tiga orang patih yang membawahi Desa Balingawan. Rakryan Kanuruhan mengabulkan permohonan itu. Ia menetapkan sebidang tegalan di Gurubhakti di Desa Balingawan sebagai sima dengan ketentuan harus diadakan penjagaan keamanan di jalan yang menuju Desa Balingawan, karena rakyatnya selalu merasa ketakutan. “Rupa-rupanya pada waktu itu ada gerombolan perusuh atau perampok yang mengacau Desa Balingawan dan daerah sekitarnya,” jelas Boechari. Ada lagi satu kasus yang masalahnya tak perlu sampai kepada raja. Ini dikisahkan dalam prasasti Ramwi dari 804 Saka (882). Isinya, para pejabat Desa Ramwi memohon kepada Rakryan i Halu pu Catura agar gawai -nya dikurangi dari 800 menjadi 400. Gawai ini adalah persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan lainnya. Dari sini bisa diketahui kalau pada masa kerajaan kuno di Jawa, rakyat mendapat kesempatan untuk mengadukan keluh kesahnya kepada raja. Kendati tetap ada hierarki yang berlaku. “Raja-raja zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang,” kata Boechari. Dengan berpedoman pada Kitab Niti, raja selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula yang berjasa. Sebaliknya, ia juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah.
- Pemisahan TNI dengan Polri
MassaAksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI bergerak di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan Jl. MH Thamrin menuju Istana Negara, pada Sabtu pagi, 28 September 2019. Salah satu rombongan yang tertangkap kamera fotografer CNN Indonesia , Ramadhan Rizky Saputra, membawa spanduk besar bertuliskan: “Amanat TAP MPR RI No. 6 Tahun 2000 Presiden Tidak Dipercaya Rakyat Wajib Mundur.” Spanduk itu pun jadi bahan di twitter karena sepertinya massa tak mengetahui apa sebenarnya Tap MPR No. 6 Tahun 2000. Terlebih salah sambung dikaitkan dengan presiden yang harus mundur karena tidak dipercaya rakyat. Tap MPR itu lahir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bagian dari reformasi TNI yang menjadi kekuatan penguasa Orde Baru. Gus Dur mereformasi tubuh militer di antaranya memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Dia juga mengangkat pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan. Selain itu, Gus Dur men unjuk Panglima TNI dari Angkatan Laut karena biasanya Panglima TNI selalu dipegang oleh Angkatan Darat. Dia melikuidasi Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Kopkamtib, dan Penelitian Khusus (Litsus), lembaga represif Orde Baru. Gus Dur juga merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri di mana posisi Polri langsung berada di bawah presiden. Menurut Lalu Misbah Hidayat, anggota DPR periode 2004-2009, dalam Reformasi Administrasi: Kajian Komprehensif Pemerintahan Tiga Presiden (Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) , pemisahan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali tugas dan fungsi pokok serta lingkup tanggung jawab polisi dan tentara. Lembaga kepolisian mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil, sedangkan tugas dan fungsi TNI berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara secara militer. Gagasan pemisahan itu sebenarnya telah dimulai sejak Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2/1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan dari ABRI. Namun, pemisahan itu belum terealisasi sampai akhir pemerintahannya. Instruksi itu ditindaklanjuti oleh keputusan yang dikeluarkan Menhankam/Pang lima ABRI. Menurut Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat (buku dari disertasi di FISIP UI tahun 2007), Menhankam/Panglima ABRI mengeluarkan keputusan No: Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI bahwa mulai tanggal 1 April 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan. “Landasan konstitusional pemisahan Polri dari TNI secara de jure baru dikukuhkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dengan Polri dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri,” tulis Ahmad. Berdasarkan T ap MPR tersebut, Gus Dur merealisasikan pemisahan TNI dengan Polri melalui penerbita n Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.” Tap MPR itu juga menjadi landasan dibentuknya UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Dan selanjutnya baru dibentuk UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. “Pemisahan yang tegas ini membuat posisi Polri tidak mudah diintervensi dan dikooptasi kekuatan lain. Reposisi tersebut mengembalikan posisi Polri kembali ke khitah tahun 1946-1959, yaitu bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara,” tulis Misbah. Itu juga sesuai agenda Reformasi yang menyatakan bahwa pasca Pemilu 1999 Polri akan menjadi lembaga mandiri, sejajar dengan lembaga hukum lainnya dan kementerian.
- PNI Pasca-Peristiwa 1965
Pasca-Peristiwa 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap partai politik yang dianggap berhaluan komunisme. Salah satu partai yang hampir dihabisi ialah PNI. Namun, adanya perpecahan dalam tubuh PNI membuat Soeharto mengurungkan niatnya. Usulan para perwira Angkatan Darat untuk menghapus PNI ditolaknya l antaran terdapat tokoh-tokoh antikumunis. Perpecahan membuat adanya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PNI . Kubu Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum PNI setuju dengan kebijakan Nasakom Sukarno. Sementara, kubu Hardi (Ketua Umum I) bersama Hadisubeno Sosrowerdojo , gubernur Jawa tengah dekade 1950-an, bersikap antikomunis sehingga tidak setuju dengan Nasakom. Kubu ini sering disebut “Marhaen Gadungan”. Adanya kubu “Marhaen Gadungan” ini membuat Soeharto pilih mempertahankan PNI. Sebagai salah satu partai yang memiliki kedekatan dengan Sukarno, PNI beruntung tidak mengalami penghapusan. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, Hardi dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia , Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI agar berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk Osa Maliki sebagai pemimpin PNI. Namun ketika Osa meninggal pada September 1969 karena penyakit jantung, pemerintah mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru. Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi, seorang ahli hukum dan mantan wakil perdana menteri 1957 dan 1959, dan Hadisoebeno, politikus kelahiran Jawa Timur. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum. Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI. Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai, Suluh Marhaen, bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. PNI berharap setelah pemilihan 1971, Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden. Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan Kopkamtib tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Dalam salah satu pidatonya, Hadisubeno menyerukan pernyataan yang amat mengagungkan Sukarno. “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,” kata Hadisubeno. Meski hubungan Hadisubeno dan PKI selalu berseberangan, kekagumannya pada Sukarno bisa dilacak dalam pidatonya di apel siaga PNI di Stadion Kridosono, Yogyakarta pada Juni 1966. Hadisubeno mengatakan, apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya. Dalam petemuan itu, menurut Kuncoro Hadi dalam bukunya Kronik 65 , terdapat wartawan asing dari Thailand, Filipina, India, Jepang, dan Amerika Serikat. Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan, yakni April 1971. Berita di Sinar Harapan Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di RSUP dr. Karjadi, Semarang akibat komplikasi pascaoperasi. Komando kampanye PNI lalu dipegang oleh Ketua I DPP Mh. Isnaeini. “Kita sedang konsentrasi untuk Pemilu dan DPP PNI tetap kompak menghadapi persoalan-persoalan apapun,” kata Isnaeni, diberitakan Sinar Harapan.
- Hukuman Bagi Perusak Hutan
Arya Wiraraja menyarankan agar Wijaya menghamba pada Jayakatwang yang telah membunuh paman sekaligus mertuanya, Kertanegara. Jika nanti sudah dipercaya, kata Wiraraja, hendaknya Wijaya meminta hutan di daerah Trik. Nantinya orang-orang Madura yang akan membuat dan membersihkan hutan itu. Di dekat sana, ada kediaman orang Madura yang akan mendekat kepada Wijaya. “Tuanku (Wijaya) minta diri bertempat tinggal di hutan Trik yang dibuka oleh orang-orang Madura,” kata Wiraraja, sebagaimana dikisahkan Pararaton. Kisah pembukaan hutan itu pun mengawali berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Wijaya yang kemudian digelari Kertarajasa Jayawarddhana (1293-1309). Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebut Sri Nata Singasari atau Raja Kertawardhana membuka hutan yang luas di daerah Sagala. Adapun Raja Wijayarajasa atau yang disebut Prapanca dengan Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang, mendirikan perdikan Buddha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Sedangkan Hayam Wuruk pun memerintahkan pembukaan ladang Watsari di Tigawangi. Alasannya untuk dijadikan ladang dan sawah. Selain untuk keperluan peribadatan, pertanian, dan permukiman baru, ada alasan lain orang masa lalu membabat alas. Seperti disebutkan dalam Prasasti Kaladi (909) dari masa Mataram Kuno (Medang), sebagaimana dijelaskan ahli epigrafi Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Atas permintaan Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi kepada raja Rakai Watukura Dyah Balitung, hutan araṇan di wilayah Samgat Bawaṅyang memisahkan Desa Kaladi, Gayām, dan Pyapya dijadikan sawah swatantra (bebas pajak). Alasannya, hutan itu menyebabkan ketakutan. Masyarakat senantiasa mendapat serangan dari begal asal Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang malam. “Maka disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah swatantra (bebas pajak) agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan,” jelas Boechari. Berdasarkan prasasti itu pula diketahui bahwa pembukaan hutan harus atas seizin raja. Kerajaan kuno punya sanksi berat bagi mereka yang membabat alas secara liar. Hukuman bagi mereka yang melanggar larangan itu nampak jelas pada masa Majapahit. Aturan terkait lingkungan ada dalam kitab perundang-undangan Majapahit atau yang disebut Agama atau Kutara Manawa . Kutara Manawa adalah kitab undang-undang pidana. Namun di dalamnya pun terdapat pula hukum perdata. Berdasarkan susunan ulang yang dibuat Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Majapahit, kitab itu terdiri dari 20 bab. Pasal terkait lingkungan ditemukan dalam bab 5 tentang sahasa atau paksaan. Di Pasal 92 ada larangan menebang pohon sembarangan. Menebang pohon harus mendapat izin pemiliknya. Jika seseorang melanggar akan didenda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang pun harus dikembalikan dua kali lipat. Pada Pasal 247 bab 16 tentang Kagelehan atau kelalaian juga memuat ancaman bagi yang menebang pohon. “Jika ada orang menebang pohon, dia harus membayar dua kali lipat orang mati ditambah denda empat laksa,” tulis Slamet Muljana. Pun setelah menjadi sawah dan ladang pengawasan pemerintah tetap diberlakukan. Dalam bab 18 tentang bhumi atau tanah, khususnya Pasal 260 dikatakan barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar-kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemiliknya. Itu masih ditambah denda sebesar dua puluh ribu. Lalu pada Pasal 259 ada ancaman bagi siapapun yang membuat sawah terbengkalai. Disebutkan barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, tetapi tidak dikerjakan sehingga terbengkalai supaya dituntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakan itu. “Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan,” catat Muljana. Kemudian ada pula Pasal 261 yang ditujukan bagi siapapun yang mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai dan segala apa yang dianggap bisa menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan. Perbuatan itu dinilai dapat mengurangi produksi pangan. “Jika perbuatan itu diketahui banyak orang, yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati,” lanjut Muljana. Selain aturan, penguasa masa itu pun mengangkat petugas khusus untuk mengawasi hutan. Dalam prasasti disebut Tuha alas atau Tuhālas (alas artinya hutan) .Menurut Boechari mereka dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Boechari mengatakan jabatan tuha alas akan ditemukan di desa-desa yang punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu menyesuaikan keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” jelasnya.
- Aparat Salah Cegat
MENDIANG Kol. (Purn.) Maulwi Saelan pernah menyatakan dirinya amat menghormati sikap fair Presiden Sukarno. Sikap fair itu kerap dilihat langsung Maulwi semasa bertugas di Istana sebagai wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, 1962-1966. Maulwi pernah mengalami langsung bagaimana fair -nya Bung Karno. Di suatu hari, Sukarno ngobrol santai dengan para pengawalnya lantaran sedang tidak padat jadwal. Entah apa pemicunya, Maulwi akhirnya sampai berdebat dengan Sukarno tentang suatu hal. Keduanya sama-sama keukeuh pada pendirian. Sukarno, kata Maulwi, sampai menampakkan muka merah. “Dia masuk kamar. Waduh, dimarahi ini. Saya sudah deg-degan,” kata Maulwi kepada Historia beberapa tahun silam. Melihat sang presiden meninggalkan tempat obrolan, Maulwi hanya bisa pasrah dan siap akan hal terburuk yang bakal diterimanya. “Ngga lama, beliau datang lagi. Bilang bahwa you benar, pakai bahasa Belanda,” sambung Maulwi. “Legaa...” kata Maulwi sambil tertawa. Sikap fair Sukarno merupakan karakter yang umum diketahui publik. Bukan hanya kepada para bawahan, sikap fair itu juga ditunjukkan Sukarno kepada lawan-lawan politiknya. “Tidak ada yang lebih fair daripada Bung Karno,” kata Mendiang Farid Prawiranegara, anak mantan Presiden PDRI Sjafruddin Prawiranegara, kepada Historia . Ayah Farid merupakan lawan politik Sukarno di masa pergolakan daerah, 1958, yang dipenjara pada awal 1960-an. Mangil Martowidjojo, pengawal Sukarno sejak masa awal kemerdekaan yang kemudian menjadi komandan Detasemen Kawal Pribadi di Tjakrabirawa, juga sering mengisahkan sikap Sukarno tersebut. Dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil mengisahkan antara lain Sukarno pernah distop seorang serdadu saat sedang menuju luar kota bersama Ibu Fatmawati pada awal 1950-an. Entah apa motif yang membuat serdadu itu sampai melakukan hal di luar wewenang tugasnya dengan menanyakan surat-surat mobil yang dinaiki presiden dan ibu negara. Kontan hal itu membuat Inspektur Polisi Oding Suhendar, pengawal yang duduk di kursi depan mobil, segera turun dan menemui tentara tadi. “Masa Saudara tidak kenal sama beliau?” kata Oding, dikutip Mangil. Setelah sang serdadu menengok ke dalam mobil dan melihat presidennya hanya tersenyum, dia lalu tersentak kaget. “Langsung dia hormat senjata dan melapor dengan suara keras dan jelas, “...keadaan aman.” Kendati sikap prajurit tentara tadi menimbulkan tawa para penumpang mobil presiden, Sukarno tak sedikit pun menyalahkannya. “Di dalam mobil, Bung Karno berkata, ‘Anak tadi bertugas dengan baik’,” tulis Mangil.
- Petualangan Cinta Pangeran Mataram
PADA usia tertentu seorang putra mahkota, sudah harus memilih siapa pasangan yang nanti akan mendampinginya di istana. Umumnya keluarga kerajaan telah mempersiapkan beberapa calon, terutama dari kerajaan lain yang dinilai akan memperkuat posisi sang calon raja di dalam pemerintahan. Proses memilih dan menentukan itu dihadapi oleh putra Amangkurat I, Raden Mas Rahmat alias Pangeran Anom (kelak Amangkurat II) dalam persiapannya mengambil alih kekuasaan Mataram. Pada 1652, ketika putra mahkota dianggap telah menginjak usia siap menikah, keluarga mencalonkan putri Sultan Banten sebagai pasangannya. H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebut rencana pernikahan itu merupakan pengesahan atas kerja sama yang sedang diusahakan kedua kerajaan Islam tersebut. Namun syarat yang diajukan keluarga Mataram, yakni mengirim salah seorang anggota keluarga Kesultanan Banten untuk tinggal di istana Mataram, dianggap terlalu berat. Syarat itu merupakan bagian dari upaya Mataram mengikat kerajaan lain agar benar-benar tunduk di bawah kuasa mereka. Atau yang oleh peneliti Belanda R.M. Van Goens disebut sebagai “hamba kerajaan” Mataram. Hal itu pernah menimpa pemerintahan Kesultanan Cirebon. Akibatnya banyak keluarga kesultanan itu terpaksa harus tinggal di istana Mataram. “Tetapi tidak pernah seorang keluarga Kerajaan Banten bersedia tinggal di Mataram, sehingga perkawinan yang direncanakan itu batal,” terang De Graaf. Dalam banyak catatan harian pemerintahan Belanda ( Daghregister ,) disebutkan bahwa di Mataram pada1653 --selama berbulan-bulan setelah pembatalan pernikahan dengan putri Banten--terjadi kesibukan untuk meminang putri Cirebon. Sejak April 1653, pihak Mataram telah bersiap menemui keluarga Sultan Cirebon, termasuk mengundang Residen Barent Volsch sebagai perwakilan Belanda di tanah Mataram. Namun hingga berganti bulan, rencana pinangan itu tidak kunjung direalisasikan. Akhirnya pada Oktober 1653 pemerintah Belanda mendengar bahwa Mataram membatalkan agenda meminang putri Cirebon. Alasannya, putri Cirebon secara keturunan terlalu rendah dibandingkan sang pangeran. Tidak sebanding dengan Mataram yang sejak lama telah dianugerahi garis keturunan penguasa Jawa. Dalam tulisannya De Graff menilai alasan itu sebagai sebuah kekeliruan. Mengingat keluarga Sultan Cirebon berasal dari keturunan wali termasyhur yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat (Sunan Gunung Jati). Setelah rencana pernikahannya kembali gagal, Amangkurat I mengirim putranya ke salah satu dalem adipati Cirebon. Dikisahkan J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi: Javaanse Rijkskroniek saat itu keluarga Sultan Cirebon memiliki putri yang cerdas. Amangkurat I menilai putranya akan cocok dengan gadis Cirebon tersebut, tetapi ia ingin Pangeran Anom menilai sendiri. Jika menurutnya layak, maka raja akan segera melakukan persiapan memboyong gadis itu. Setiba di Cirebon, Pangeran Anom segera pergi ke kediaman dalem Adipati Cirebon. Maksud kedatangan sang pangeran itupun segera disadari. Dalem Adipati Cirebon lalu memerintahkan putrinya untuk menyajikan sirih kepada putra Mahkota Mataram itu. “Ketika pangeran melihat gadis itu, ia memuji penampilannya yang cantik, tetapi agak sedikit pemarah. Pangeran mulai khawatir gadis itu akan bersikap kasar kepada suaminya. Semakin lama ia diam di sana, semakin berkurang perasaannya terhadap gadis itu. Karena itu sekembalinya ke Mataram ia memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak menginginkannya,” tulis Meinsma. Pihak keluarga kerajaan Mataram kembali mengusulkan pertalian dengan Banten. Kali ini seorang gadis kemenakan sultan yang ditawarkan. Karena pada waktu itu putri sultan telah menikah. Namun tahun 1656 pemerintah Belanda kembali mendengar kabar bahwa usaha kedua mengikat Banten itu gagal. Usaha terakhir yang dilakukan oleh raja untuk segera mencari pasangan bagi putranya adalah dengan mengadakan sayembara. Sunan menginginkan menantu dari bahwannya sendiri. Oleh karenanya disiapkan ratusan orang wanita. Siapa yang akhirnya dipilih, tidak pernah diketahui. Menurut De Graaf, berdasarkan laporan pejabat Belanda, pernikahan Pangeran Anom berlangsung awal tahun 1657. Tetapi bukan dengan Rara Oyi seperti yang ditulis banyak narasi sejarah. Melainkan dengan seorang gadis cantik yang identitasnya tidak disebutkan, sekalipun oleh sumber-sumber lokal. Rara Oyi, putri Mangunjaya, sendiri baru menjalin asmara dengan pangeran setelahnya. “Sering disebut bahwa Putra Mahkota itu suka bermain cinta. Dalam tahun 1670 ia dikatakan setiap malam keluyuran dan memperkosa wanita dan gadis muda,” tulis J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost Indie dikutip De Graaf.
- Siapa Liang Tjiu Sia?
AKTRIS cantik Jenny Zhang Wiradinata mengaku tahu betul siapa Susi Susanti. Namun sebagaimana publik kebanyakan, dia tak tahu siapa orang di balik kesuksesan Susi. “Saya tahu Susi Susanti tapi enggak tahu pelatihnya siapa,” kata Jenny kepada Historia saat konferensi pers peluncuran trailer filmnya di XXI Metropole, Cikini, Rabu (18/9/2019) . Jenny mengakui baru mengenal nama Liang Tjiu Sia (kadang dieja Liang Chiu Hsia/Liang Qiuxia), pelatih yang sukses mengantarkan Susi merebut medali emas badminton putri di Olimpiade 1992, saat menerima tawaran untuk memerankan sang pelatih di film biopik Susi Susanti: Love All . “Jujur enggak banyak info yang saya dapat tentang dia di media-media,” sambungnya. Dari keterlibatannya dalm film inilah ia bisa mendalami karakternya dan sedikit-banyak jadi paham keresahan sang pelatih terkait kebijakan diskriminatif era Orde Baru. “Dengan menerima peran ini saya juga bisa ketemu dan dapat cerita langsung. Menjadi suatu kebanggaan buat saya berperan menjadi sosok pelatihnya Susi Susanti,” ujarnya. Sementara dari penuturan Alan Budikusuma, suami Susi, sosok Cik Sia tak kalah keras dan tegas dari pelatihnya, Tong Sinfu yang didatangkan dari Cina di masa Try Sutrisno menjabat Ketum PBSI. “Mereka berdua kan ditarik Pak Try setelah melihat latihan di Cina. Menurutnya lebih cocok untuk persiapan olimpiade karena dibutuhkan pelatih yang keras dan enggak bisa ditawar-tawar ketegasannya,”. Alan Budikusuma turut berkisah tentang kerasnya gaya melatih Liang Tjiiu Sia (Dok. Historia) Keras dan tegasnya gaya melatih Liang juga masih teringat betul di kepala Yuni Kartika, eks pebulutangkis tunggal putri Indonesia seangkatan Susi. “Dia sempat pindah ke Cina dan kembali melatih saya di PB Djarum dan kemudian Pelatnas. Termasuk yang menggembleng saya, Susi, Yuliani (Santosa) dan Mia Audina di tim Uber Cup 1994. Wah waktu dilatih sama dia, ampun deh , sadis, hahaha…,” cetus Yuni. Namun di balik itu Sia sempat kesulitan mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Indonesia (WNI) sejak jadi pelatih pada 1980-an. Padahal dia lahir di Cirebon, Jawa Barat. Adiknya, Liang Tjun Sen (Tjun Tjun) pun salah satu legenda ganda putra seangkatan Christian Hadinata. Berkiprah di Negeri Leluhur Lahir di Cirebon pada 9 September 1950, Liang Tjiu Sia memilih meninggalkan tanah kelahirannya demi kembali ke tanah leluhurnya selepas lulus SMP. Usianya baru 15 tahun saat hengkang. Sementara, sang adik, Tjun Tjun, pemain ganda putra legendaris Indonesia, memilih bertahan di Tanah Air. Mengutip peneliti studi politik Asia dari Flinders University Colin Brown dalam artikelnya di Jurnal Indonesia, “Playing the Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton”, salah satu faktor utama hengkangnya banyak pelatih dan pemain Tionghoa kala itu, termasuk Tjiu Sia, adalah kondisi dalam negeri yang tengah tak menentu di masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Kondisi tak menentu itu disebabkan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah. Walhasil, ratusan ribu penduduk beretnis Tionghoa, termasuk para pemain dan pelatih bulutangkis, memilih kembali ke Cina lantaran mereka belum memegang surat kewarganegaraan. “Termasuk Tang Xianhu (Tong Sinfu), Chen Yu Niang (Tan Giok Nio), dan Hou Jiachang (Houw Ka-Tjong), di mana mereka malah sukses mengembangkan bulutangkis di Cina. Mereka yang kemudian mengembangkan bulutangkis hingga berkontribusi pada kesuksesan bulutangkis Cina hingga sekarang,” ungkap Brown. Geger 1965 (Gerakan 30 September) kian membuat suram nasib etnis Tionghoa. Liang pilih merelokasi diri ke Cina ditemani sejumlah saudaranya, kecuali Tjun Tjun. Di Negeri Tirai Bambu, Sia menggoreskan tinta emas dalam kariernya sebagai pemain. Bersama Zheng Huiming, Sia memetik medali emas ganda putri Asian Games 1974. Di tunggal putri, ia juara di Kejuaraan Asia 1976, Turnamen Invitasi Bulutangkis Asia 1976 dan 1977, dan memetik satu emas di Asian Games 1978. “Namun semua itu tidak tercatat dengan resmi karena Cina belum masuk IBF (International Badminton Federation, kini Badminton World Federation/BWF). Setelah Cina masuk IBF pada 1981, prestasinya sudah menurun,” kata Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Selepas pensiun dari pemain, ia pindah ke Hong Kong dan menetap di sana. Ia lalu menjadi warga negara Hong Kong setelah dinikahi pebalet Hong Kong Zhang Dayong. Pada 1982, ia menemani tim bulutangkis Hongkong melawat ke Indonesia. Lawatan itu membuatnya homesick dan ingin pulang ke Indonesia. Orangtua dan adiknya, Tjun Tjun, pun merayunya untuk pulang ke Indonesia. Sementara, mengutip Tempo edisi 23 Juni 1984, bujukan untuk memulangkan Liang juga sudah diupayakan Menpora Abdul Gafur sejak 1983. Utamanya setelah melihat keterpurukan tim Uber Cup 1984. “Baik pandangan maupun idenya merupakan angin segar bagi dunia,” kata Menteri Abdul Gafur. Kembali ke Indonesia Pada 1985, Sia benar-benar kembali ke Indonesia. Berkat upaya bersama antara Departemen Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Tenaga Kerja, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, dan PBSI, Sia akhirnya berkenan melatih sektor putri bulutangkis dalam negeri. Namun, Sia masih berstatus warna negara Hong Kong kendati sudah jadi pelatih kepala tunggal putri Pelatnas PBSI. Untuk keperluan itu, ia sekadar diberi dokumen perizinan kerja pada 1986. Setahun berselang, ia diberi status warga negara tapi dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya baru keluar pada 1989. Liang Tjiu Sia kini sekadar cari kesibukan dengan mengajar privat di Kedoya (Fernando Randy/Historia). Kendati sebagai kepala pelatih tunggal putri Sia membesut banyak pemain, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Susi. “Waktu itu sebetulnya ada sekitar 13 pemain. Tapi memang Susi yang paling ulet, paling enggak mau kalah. Enggak malas. Ngotot mainnya,” kata Sia kepada Historia di kesempatan berbeda. Sia bertahan di pelatnas sampai tahun 2000. Dia kemudian kembali mengajar privat di Hong Kong. “Tapi lama-lama enggak betah. Lalu pada 2003 balik ke sini, ditawari melatih di (klub) Mutiara Bandung sampai tiga tahun. Cina sebenarnya sempat minta balik setelah saya enggak di PBSI. Tapi saya enggak mau,” lanjutnya. Baru pada 2013 ia comeback melatih tunggal putri Pelatnas PBSI hanya dengan kontrak setahun. Setelah itu hingga sekarang, ia sekadar buka kelas bulutangkis privat di Kedoya, Jakarta Barat. “Ya sekadar cari kesibukan aja. Kalau enggak ada kerjaan, bingung juga saya. Kalau 10 tahun lagi masih kuat, ya tetap masih mau melatih,” kata Sia. Di sela-sela kesibukan melatih itulah ia terlibat melatih Laura Basuki, Jenny Zhang, dan sejumlah pemeran lain untuk keperluan film Susi Susanti: Love All . Dari hanya kontrak tiga bulan, Sia justru melatih Laura hingga enam bulanan. “Produsernya yang minta saya latih Laura. Dari dia belum bisa apa-apa sampai bisa main. Nge -lihat gayanya aja susah mukulnya dia, hahaha… Kalau Jenny Zhang lumayan, mungkin dia senang olahraga ya. Semoga film itu disenangi orang ya, meledak lah,” tandasnya.
- 9 Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia
GERAKAN mahasiswa kembali berkibar. Kerisauan rakyat dalam mencari kebenaran dan keadilan seolah terwakilkan oleh aksi mahasiswa dan pelajar pada Selasa (24/9) lalu di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Tidak hanya di Jakarta, semangat tak terbendung para pemuda itu juga bergejolak di berbagai daerah, seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar, Garut, dan lain-lain. Meski terpisah, tujuan mereka tetap sama: menolak RUU KUHP dan RUU KPK. Akibat aksi-aksi penentangan itu, telah jatuh puluhan korban. Diberitakan jawapos.com , hingga Selasa malam jumlah korban yang masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, mencapai 87 orang. Kepala Humas RSPP Agus Susetyo menjelaskan umumnya para korban yang dirawat mengalami kondisi sesak napas akibat gas air mata. “Para korban tersebut di antaranya terdiri dari 66 pasien statusnya pasien hijau, kemudian 14 pasien status kuning, dan satu pasien status merah,” ucap Agus. Serangkaian peristiwa ini seolah membuka kembali kenangan tentang sejumlah aksi mahasiswa yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Mereka pun dikenang sebagai martir demokrasi Indonesia. Satu yang tidak mungkin dapat dilupakan adalah Arif Rachman Hakim. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini tewas dalam suatu demonstrasi besar menentang pemerintahan Sukarno di depan Istana Negara pada Februari 1966. Selain Arief, tercatat beberapa mahasiswa telah gugur dalam berbagai upaya perjuangan melawan ketidakadilan. Inilah 9 di antaranya. Aksi mahasiswa saat berdemo di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Julius Usman Tahun 1966 Bandung dilanda kepanikan. Bentrok antara mahasiswa (UNPAD, ITB, dan UNPAR) dengan sekelompok massa berseragam serba hitam di Jalan Merdeka tidak dapat dihindarkan. Pangkal permasalahan berasal dari pidato Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1966 saat peringatan 21 tahun Republik Indonesia. Si Bung menyebut adanya gerakan dari suatu kaum, yang ia sebut revolusiner palsu, yang berusaha menjatuhkan dirinya. Ia pun menyerukan ajakan untuk terus maju dan bergerak sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945. Rupanya ucapan Sukarno itu diartikan oleh para loyalis setianya sebagai perintah untuk menghancurkan kelompok-kelompok anti-Sukarno. Dan sasaran utamanya adalah para mahasiswa yang memang sejak beberapa tahun belakangan melakukan kritik keras kepada pemerintahan Sukarno. Pada 19 Agustus 1966, massa pro-Sukarno bergerak ke sejumlah markas organisasi mahasiswa di Bandung. Mereka melengkapi diri dengan senjata api dan senjata tajam. Siang hari, markas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di Jalan Lembong berhasil diduduki. Begitu juga markas KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Sejumlah mahasiswa yang sedang berada di lokasi pun menderita luka-luka akibat penyerangan tersebut. Selain markas organisasi mahasiswa, massa juga menyasar bangunan-bangunan kampus. Di Jalan Ganeca, mahasiswa ITB dan Resimen Mahasiswa Batalion I Mahawarman membentuk barisan keamanan. Di sekitar Jalan Dipati Ukur UNPAD, Resimen Mahasiswa Batalion II Mahawarman juga sudah bersiap menghadang massa. Sementara itu di Jalan Merdeka, massa pro-Sukarno berusaha menerobos masuk ke bangunan kampus UNPAR. Menurut Zainuddin Nurdin, dosen UNPAR yang saat itu menjadi mahasiswa fakultas ekonomi angkatan 1963, dalam “50th Anniversary of Julius Usman Death 1966” dimuat Majalah Parahiyangan Vol III No.3 , situasi di depan kampus UNPAR begitu kacau. Massa yang berkumpul melepaskan sejumlah tembakan ke arah bangunan. “Waktu itu ada dua orang mahasiswa yang terkena tembakan dan seorang pegawai kampus yang juga mahasiswa tingkat akhir dari fakultas ekonomi, yakni Julius Usman,” kenang Zainuddin. Julius Usman merupakan mahasiswa tahun terakhir yang sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Saat kejadian ia bersama-sama dengan staf dan mahasiswa, serta anak-anak Batalion III Mahawarman, bahu membahu menghalau massa yang ingin menduduki dan merusak bangunan kampus. Sebelum sebuah peluru menembus tubuhnya, Julius sedang berada di lantai 2, di ruang administrasi. Saat mendengar rentetan suara tembakan, ia bergegas turun menghampiri kawan-kawannya yang masih bertahan di depan gerbang kampus sambil membawa kotak P3K. Ketika membuka pintu gerbang, seseorang melepaskan tembakan ke arahnya. Julius pun roboh. Orang-orang disekitarnya berusaha membantu. Namun sayang nyawanya tidak dapat tertolong. Julius Usman kemudian ditetapkan sebagai “Pahlawan Ampera” oleh Panglima Kodam VI/Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Pihak Universitas Parahiyangan pun memberinya gelar doktorandus anumerta . “Untuk mengenang almarhum, sebuah gedung yang dipakai sebagai markas gerakan pelajar dan mahasiswa di Kota Bandung dinamai Gedung Julius Usman,” tulis Taufik Abdullah, dkk dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal. Para mahasiswi yang ikut berdemo di Senayan Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Rene Conrad Tradisi memanjangkan rambut di kalangan mahasiswa memancing polemik pada 1970-an. Aturan tanpa undang-undang melarang keras mereka mereka yang berambut gondrong. Jika masih membangkang, polisi bersenjata gunting yang berkeliaran di kota tak segan memotong rambut mereka langsung di tempat. Aturan tak berdasar itu tentu tidak dapat diterima. Pada Agustus-September 1970, para mahasiswa ITB Bandung bereaksi. Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974 , menyebut bahwa pertentangan itu dimotori oleh suatu pernyataan dari Dewan Mahasiswa ITB, ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, yang mengecam pengguntingan rambut itu sebagai: pemerkosaan hak-hak asasi perseorangan. Di tengah memanasnya polemik rambut gondrong ini, pejabat polisi dan pihak ITB berinisiatif mendinginkan suasana dengan menggelar pertandingan persahabatan antara mahasiswa ITB dengan para taruna Akademi Kepolisian. Pertandingan sepak bola itu diselenggarakan pada 6 Oktober 1970 di dalam kampus ITB. Sial bagi para taruna. Dua gol yang dilesakkan para pemain Kesebalasan ITB tidak dapat dibalas. Alhasil mereka dipecundangi di hadapan suporter lawan yang sedari tadi mengolok-olok mereka dengan berteriak-teriak, "Ayo gunting rambut gua," seraya membawa-bawa gunting cukur. Saat pertandingan berakhir, bentrokan antar kedua kelompok anak muda itu pun tak bisa lagi dibendung. “Dalam tawuran itu sudah terdengar bekali-kali suara tembakan. Para taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepas tembakan ke atas,” tulis Rum. Sorenya, para taruna yang telah puas dibuat malu itu pun pulang. Di tengah jalan truk-truk yang mengangkut mereka berpapasan dengan motor Harley Davidson yang dikendarai seorang mahasiswa ITB. Belakangan diketahui namanya Rene Louis Conrad. Ia tidak tahu apa-apa soal pertandingan persahabatan tersebut. Rene yang sedang berboncengan dengan kawannya tiba-tiba dihujani ludah dari truk para taruna itu. Tidak terima, Rene pun bereaksi. Ia bertanya berulang kali, tetapi tidak ada yang mengaku. Kesal, Rene pun menantang. “kalau berani turun!” Dendam dari pertandingan sebelumnya masih terbawa. Para taruna turun menerima tantangan Rene. Ia dan kawannya dikeroyok hingga Rene meregang nyawa. Beruntung, kawannya berhasil lolos karena para taruna fokus melumat Rene yang dianggap paling reaktif. Pengeroyokan Rene sebenarnya disaksikan oleh mahasiswa lain yang sedang ada di sekitar lokasi. Tetapi saat akan membantu mereka dihadang oleh anggota-anggota Brigade Mobil (Brimob) yang berjaga di sekitar kampus. Bahkan mereka yang memaksa dihadiahi pukulan hingga harus dibawa ke rumah sakit. Mahasiswa dan Pelajar Bandung mengecam keras tindak pengeroyokan yang merenggut nyawa Rene itu. Mereka menentang keberadaan para polisi dan meminta keadilan atas peristiwa tersebut. Pada 9 Oktober 1970, diadakan apel di kampus ITB untuk melepas jenazah Rene kepada keluarganya. Rene dikebumikan di Jakarta. Pada 1972 proses hukum atas tewasnya Rene dijalankan. Seorang brigadir polisi bernama Djani Maman Surjaman ditetapkan sebagai tersangka, padahal pelaku sebenarnya adalah para taruna. Meski mendapat pembelaan dari Adnan Buyung Nasution, Djani tetap divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Sementara itu, para taruna yang terlibat baru diproses hukum pada 1973-1974. Mereka sendiri saat itu telah berdinas di kepolisian. Dan dari sekian banyak taruna yang terlibat, hanya 8 orang yang dijadikan tersangka. Tiga Mahasiswa Makassar Gelombang protes terhadap kekuasaan pemerintah Soeharto klimaksnya memang terjadi pada Mei 1998 di Jakata. Namun di beberapa daerah pergolakan telah dimulai sejak permulaan tahun 1990-an. Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu daerah yang paling bergejolak. Banyak kasus pertentangan terhadap pemerintah yang segera direaksi dalam suasana panas. Tahun 1996 tiga mahasiswa Makassar menjadi korban dalam protes menentang kebijakan kenaikan tarif angkutan umum. Mereka adalah Syaiful Bya (21) dari Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar; Andi Sultan Iskandar (21) dan Tasrif (21). Dua nama terakhir adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI. Ketiganya tewas dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Syaiful ditemukan di Sungai Pampang dengan penuh luka bekas pukulan benda tumpul, terutama di bagian dada dan belakang tubuhnya. Kemudian Andi ditemukan dalam kondisi luka tusukan benda tajam di bagian kiri dadanya. Sementara Tasrif ditemukan di Sungai Pampang. Ia diduga dipukul benda keras sebelum akhirnya ditenggelamkan. Menurut penuturan Arqam Azikin, Wakil Ketua Senat FISIP UNHAS (1994-1995) sekaligus aktivis 1998 dari Makassar, dilansir idntimes.com , peristiwa AMARAH (April Makassar Berdarah) dipicu oleh dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan tentang kenaikan tarif angkutan umum, yang ditindaklanjuti oleh Surat Keputusan Walikota Makassar tentang penyesuaian tarif angkutan umum di Makassar. Kebijakan itu dianggap oleh para mahasiswa memberatkan masyarakat. Keadaan ekonomi negara yang sedang terpuruk akan membebani rakyat jika tarif tersebut diubah. Mahasiswa pun akhirnya merespon kebijakan tersebut dengan aksi-aksi yang keras. Ujungnya, gabungan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Makassar. Pada 8 April 1996 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pemuda Indonesia Merdeka (FPIM) menggelar mimbar bebas di UMI. Kemudian setelah mendapat massa, mereka bergerak ke kantor DPRD Sulawesi Selatan agar SK itu dicabut. Aksi mahasiswa dilanjut pada 22 April 1996. Kali ini mereka membawa massa lebih banyak. Suasana yang sebelumnya damai berakhir menjadi tegang. Aksi demo pun diakhir bentrokan antara mahasiswa dengan aparat (polisi dan tentara). Setelah kejadian inilah, 3 orang mahasiswa tersebut dilaporkan menjadi korban. Moses Gatutkaca Kematian Moses Gatutkaca di awal1998 hingga kini masih diliputi kabut misteri yang telampau pekat. Tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas tewasnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sanata Dharma Yogyakarta itu. Moses ditemukan bersimbah darah di depan pertokoan di Jalan Mrican, Sleman, Yogyakarta. Luka di belakang kepalanya menunjukkan ia tewas akibat pukulan benda tumpul. Orang-orang yang menemukannya mengira ia tewas di tempat sehingga tidak segera membawanya ke rumah sakit. Belakangan diketahui Moses dan seorang temannya terjebak di kerumunan massa yang dikejar oleh aparat. Ia saat itu sedang mencari makan malam di sekitar Jalan Gejayan yang tengah membara akibat gelombang demonstrasi massa gabungan dari mahasiswa Yogyakarta menentang pemerintahan Soeharto. Puncak demonstrasi terjadi pada 8 Mei 1998. Ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi di gerbang kampus. Di lokasi lain, mahasiswa IKIP (kini UNY) dan Universitas Sanata Dharma juga ikut berdemonstrasi. Meski mendapat larangan keras dari aparat keamanan, IKIP dan Universitas Sanata Dharma berusaha menggabungkan diri dengan mahasiswa UGM. “Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samusu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia . Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa bersenjatakan batu dan bom molotov. Berbagai fasilitas publik pun hancur akibatnya. Mahasiswa yang berhamburan terus dikejar aparat. Moses yang sedang disekitar lokasi dikira sebagai salah satu demonstran. Ia pun segera menjadi bulan-bulanan aparat. Moses terpisah dari temannya yang diketahui berhasil selamat. Ia tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Panti Rapih. “Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samusu. Yap Yun Hap Gejolak reformasi tampaknya belum benar-benar hilang dari benak sebagian rakyat Indonesia. Meski telah beberapa bulan berlalu dan tampuk pimpinan juga sudah berganti, nuansa Orde Baru masih kental terasa. Hal ini khususnya terjadi sepanjang September 1999. Mahasiswa di beberapa wilayah Indonesia, yang masih ada dalam euforia 1998, kembali melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan penguasa yang dianggap memberatkan. Peristiwa tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, yang terkenang dalam narasi sejarah sebagai Tragedi Semanggi II memicu kecaman keras dari seluruh mahasiswa. Petang 24 September 1999 massa aksi demonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) berkumpul di sekitar Kampus Atma Jaya, Semanggi. Yap dari kampusnya di Depok segera bergabung dengan massa dari universitas lain yang telah berada di sana. Harian Kompas 28 September 1999, menyebut sedari petang hingga pukul 8 malam sekitar 300-an massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sedang bersantai di sekitar lokasi. Tidak ada keributan apapun. Polisi pun banyak berjaga di sana. Sekira pukul 20.30, suara tembakan tetiba memecah ketenangan. Dari kejauhan tampak iring-iringan mobil tentara bergerak ke arah Semanggi. Ketika mendekat, rentetan senjata semakin aktif dilontarkan. Sontak massa aksi lari berhamburan. Para mahasiswa berusaha mencari perlindungan ke dalam kampus Universitas Atma Jaya dan Rumah Sakit Jakarta (RSJ). Sempat beberapa orang demonstran mencoba melawan dengan senjata seadanya. Yap yang sebelumnya bersama dua kawannya, Arif dan Kokom, terpisah. Dua kawan Yap itu berhasil bertemu kembali di RSJ pukul 22.30, tetapi Yap tidak diketahui keberadannya. Hingga tengah malam mahasiswa UI itu masih hilang. Arif dan Kokom baru mendapatkan kabar Yap pukul 00.30. Namun betapa terkejutnya mereka saat mengetahui kawannya itu telah terbujur kaku di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurut berita Kompas pihak UGD RSCM mengkonfirmasi Yap masuk pukul 21.30. “Dari hasil pemerikasaan forensik oleh dr Agus P dan dr Jaya dari RSCM disebutkan bahwa korban meninggal akibat penembakan dengan menggunakan peluru tajam. Peluru tersebut juga diperlihatkan kepada saksi-saksi mahasiswa.” Semua pihak mengutuk aksi aparat yang selalu menggunakan cara represif dalam menghadapi para demonstran. Kematian Yap kembali menjadi duka mendalam bagi iklim demokrasi Indonesia, setelah sebelumnya empat mahasiswa dalam Tragedi Trisakti (1998) dan 17 korban di Tragedi Semanggi (1998). Dua Mahasiswa Lampung Sebagai reaksi tewasnya Yap Yun Hap di Jakarta, mahasiswa di beberapa tempat di Indonesia (termasuk di Lampung) menggelar aksi demonstrasi yang lebih besar. Aksi solidaritas itu dilakukan untuk menuntut keadilan atas tewasnya kawan mereka dari UI itu. Mereka juga semakin keras menentang penetapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), yang dianggap jauh dari semangat demokrasi. Mereka khawatir pengesahan RUU itu akan memberi peluang menguatnya kembali Dwi Fungsi ABRI. Pada 28 September 1999 gabungan mahasiswa Lampung, termasuk di dalamnya Universitas Lampung (UNILA) dan Universitas Bandar Lampung (UBL), bergerak menuju Makoramil Kedaton. Posisinya persis di depan kampus UBL. Mereka meminta Koramil mengibarkan bendera setengah tiang dan mendesak komandan Koramil menandatangani dukungan penolakan RUU PKB. Namun ditolak. Setelah berunding, disepakati massa akan bergerak ke kantor kegubernuran. Mereka akan mendesak gubernur mendukung tuntutan mereka. Namun mendadak situasi di sekitar markas Koramil menjadi kacau. Bentrokan mahasiswa dengan aparat tidak terhindarkan. Massa yang tidak mempersenjatai diri mereka lari berhamburan. Meski telah masuk ke dalam kampus UBL, aparat tetap memburu para mahasiswa ini. Mereka dipukul, ditembak, dan ditangkap. Bahkan kendaraan dan bangunan di dalam kampus juga dirusak oleh aparat yang membuas. Dalam suasana yang tidak terkendali itu, dua mahasiswa UNILA ditemukan meregang nyawa. Mereka adalah Muhamad Yusuf Rizal, mahasiswa FISIP UNILA; dan Saidatul Fitriah, yang saat kejadian sedang meliput untuk surat kabar kampusnya. Yusuf tewas akibat tembakan senjata tajam di leher dan dadanya. Sementara Saidatul tewas setelah kepalanya dipopor oleh senjata aparat.
- Para Penjaga Hutan Zaman Kuno
Sebuah pengumuman ditujukan kepada pancatanda yang berkuasa di Turen, dan pejabat lainnya seperti wedana, juru, dan buyut. Seruan juga ditujukan kepada penduduk di sebelah timur Gunung Kawi, baik yang berada di timur maupun di barat sungai. Pengumuman itu sehubungan dengan kedudukan warga Katiden yang meliputi sebelas desa. “Oleh karena mereka menjaga alang-alang ( hangraksa halalang ) di Gunung Lejar, mereka dibebaskan dari segala macam pajak, dibebebaskan dari jalang palawang , taker turun , demikian pula tahil dan segala macam titisara dibebaskan…,” sebut sisi bagian depan Prasasti Katiden II. Dari prasasti itu, kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, penduduk di wilayah satuan desa ( wisayapumpunan ) Katiden mendapat anugerah berupapembebasan pajak, melakukan perburuan, mengkonsumsi tanaman, pemanfaatan kayu gaten dan telur penyu. Mereka diberikan hadiah itu lantaran berjasa menjaga ilalang. “Maksud ‘menjaga alang-alang’ sangat mungkin untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang kerap disebabkan terbakarnya ilalang kering pada puncak kemarau,” kata Dwi. Menurut pembacaan L.C. Damais, peneliti École Française d'Extrême-Orient (EFEO), prasasti itu ditulis pada 17 Juli atau 15 Agustus 1395 dari masa Majapahit. “Tergambar bahwa kala itu adalah musim kemarau, ketika ilalang di Gunung Lejar dalam kondisi kering dan karenanya rentan terbakar,” kata Dwi. Menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Wilwatikta Prana , wilayah Katiden mungkin adalah desa wilayah hutan di lereng gunung. Kawasan itu juga masih banyak dihuni hewan buruan. Pada masa lalu, nampaknya orang-orang yang tinggal dekat hutan biasanya mengemban tugas dari pemerintah sebagai penjaga. Desa yang ada wilayah hutannya akan mempunyai petugas khusus bernama tuha alas. Ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan jabatan tuha alas tak akan ditemukan di desa-desa lain yang tak punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu tergantung dari keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” tulisnya. Tuha alas atau Tuhālas sebutannya dalam prasasti, kiranya dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Alas sama artinya dengan hutan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Di antaranya disebutkan dalam prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura Dyah Balitung (901-910) yang menyebut macam-macam jabatan pejabat desa. Contohnya, berdasarkan Prasasti Mulak I (878) terdapat jabatan tuha alas atau pengawas hutan yang dijabat oleh perempuan. Pejabat tersebut bernama si Amwarī ibu dari Harī. “Tiga kain untuk lelaki jenis Raṅga . Pejabat pengairan ( hulu air) dua orang, yaitu Si Tahun bapak dari Yukti, Si Tajam bapak dari Danī, Pangawas hutan ( tuha alas ) bernama si Amwarī ibu ( re ) dari Harī, Pejabat pertanian ( hulu wras ) dua orang yaitu Si Wanua...” sebut prasasti itu. Lalu sejumlah prasasti lain yang Rakai Kayuwangi keluarkan seperti Prasasti Tunahan (873), Jurungan (876), Haliwangbang (877), Mamali (878), Kwak I (879), dan Taragal (880). Selain disebut Tuha Alas ( Tuhālas ), pengawas hutan pada masa itu disebut pula dengan istilah Katuhālasan . Pejabat kehutanan juga masih ada pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung. Namun, istilahnya pasuk alas yang secara harfiah berarti pagar atau batas hutan. Ini disebut dalam Prasasti Barsahan (908) dan Prasasti Kaladi (909). Prasasti Kaladi menyebut pejabat pasuk alas sebagai salah satu Mangilala Drawya Haji . Mereka adalah abdi dalem kerajaan yang hidupnya digaji oleh pemerintah. Bersamaan dengan penyebutan petugas tuha alas sering pula didapati petugas yang disebut tuha buru. Petugas ini mengatur perburuan hewan di hutan. Dia mencegah perburuan yang tak terkendali. Dengan adanya petugas khusus, nampaklah kalau pada masa lalu, perburuan dan pemanfaatan hasil hutan telah diatur ketat oleh penguasa. Mereka harus memiliki izin khusus. Hal itu juga yang terlihat dari isi Prasasti Katiden I yang kemudian ditegaskan ulang oleh Prasasti Katiden II. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti itu, penduduk Katiden diberi izin untuk berburu segala jenis hewan dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan di hutan. Agus mengatakan sangat mungkin ada alasannya sehingga raja memberikan izin itu. “Supaya jangan menindak penduduk Katiden ketika mereka melakukan perburuan,” jelasnya. Sementara menurut Dwi, kemungkinan besar karena jasa mereka menjaga hutan dari kebakaran. Mereka yang menjaga, mereka juga yang bisa mendapat manfaatnya.
- Cara Kuno Mengawetkan Makanan
Memasak makanan merupakan salah satu cara manusia mengawetkan makanan. Penemuan api pada masa prasejarah ikut berperan dalam usaha manusia mencegah makanannya busuk. Cara mengawetkan makanan sudah dikenal sejak masa neolitik. Caranya dengan dijemur, disalai, diasinkan, dan dibumbui. Cara-cara itu berlanjut pada masa Hindu-Buddha. Beberapa makanan yang diawetkan disebutkan dalam beberapa prasasti, khususnya dari masa Jawa Kuno. Demikian dijelaskan oleh peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Churmatin Nasoichah dalam “Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi . Misalnya, dalam Prasasti Taji (901) disebutkan makanan yang diproses dengan cara diasinkan. Disebut pula daging asin yang dikeringkan. Prasasti Panggumulan I (902) menyebut tumpukan ikan yang diasinkan, seperti dendeng kakap, dendeng bawal, ikan asin kembung, ikan layar atau pari, udang, hala-hala, dan telur. Kemudian Prasasti Watukura I (907) menyebut ikan kakap yang dikeringkan. Pun Prasasti Rukam (907) yang menyebut berbagai ikan yang dibuat dendeng. Sementara dalam Prasasti Sangguran (928) disebutkan telur yang dikeringkan. Telur yang dikeringkan dan daging asin juga disebut dalam Prasasti Jeru-Jeru (930), Prasasti Alasantan (939), dan Prasasti Paradah II (943). Churmatin menjelaskan, pada masa Jawa Kuno, proses pengawetan makanan masih sangat bergantung pada alam. Kalau melihat yang disebutkan dalam prasasti, jenis makanan yang biasa diawetkan adalah ikan, yaitu ikan kakap, ikan bawal, ikan duri, ikan kembung, ikan layar atau ikan pari, udang, ikan gabus, daging hanan, dan telur. Semua itu seringkali diproses dengan cara dikeringkan. Sementara yang diasinkan di antaranya ikan-ikanan dan daging. Ikan yang diasinkan disebut dengan istilah grih . “Ikan asin atau gěreh dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang istilah ini masih dipakai oleh orang Jawa,” tulis Churmatin. Adanya teknik pengawetan dengan cara diasinkan menunjukkan pembuatan garam sudah dikenal pada masa Jawa Kuno. Khususnya pada masyarakat pesisir. Itu dibuktikan lewat Prasasti Bililuk I (1366 M) yang ditemukan di Biluluk, Lamongan. Prasasti itu menyebut ada sumber air asin di Desa Biluluk tempat orang membuat garam. Setiap pendatang diperbolehkan membuat garam dengan membayar sejumlah pajak tertentu yang ditarik penguasa Biluluk. Tak cuma diasinkan, masyarakat kuno juga memadukan teknik pengasinan dengan pengeringan. Produknya biasanya dikenal dengan nama ikan kering. Masyarakat Jawa Kuno menyebut ikan kering adalah ḍeŋ atau ḍaiŋ , artinya dendeng atau ikan yang dikeringkan. Pengasapan Ada juga proses pengolahan makanan dengan cara diasap. Makanan yang biasanya diasap adalah daging. Namun, data prasasti hanya sedikit menyebut makanan yang diasap. “Mungkin karena tekniknya kurang begitu dikenal masyarakat waktu itu,” tulis Churmatin. Kendati sudah dikenal sejak zaman dulu, teknik pengolahan makanan yang diasap tak banyak berubah. Tekniknya konon tanpa disengaja. Umumnya waktu itu manusia mengawetkan daging dan ikan dengan cara dikeringkan di bawah sinar matahari. Namun pada musim hujan dan musim dingin mereka mengeringkannya dengan bantuan api. “Pengaruh asap pun tidak dapat dihindarkan, maka dikenalah satu cara pengawetan dengan teknik pengasapan,” tulis Churmatin. Pada masa Perang Dunia II, produk ikan dan daging asap kian populer. Kalau semula hanya untuk pengawetan, saat itu ikan dan daging asap menjadi usaha pengolahan yang disengaja. Rasa dan aroma yang dihasilkan dari proses itu, pun warna dan teksturnya menjadi tujuan pengolahan. “Dengan teknik pengasapan, makanan mempunyai cita rasa asap dan warnanya kecoklatan atau kehitaman. Selain aromanya sedap tekstur ikan atau daging pun menjadi masak dan siap disantap,” tulis Churmatin. Secara ekonomi, cara pengolahan ikan atau daging asap lebih mudah dikerjakan. Biayanya pun relatif murah. Dibandingkan dengan ikan atau daging asin, makanan yang diasapi harga jualnya relatif lebih mahal. “Kalau dilihat dari pertimbangan percukupan gizi masyarakat, ikan atau daging asap jauh lebih tawar sehingga dapat disantap dalam jumlah lebih banyak dari pada ikan dan daging asin,” tulis Churmatin. Makanan-makanan olahan itu bukan cuma menjadi produk rumahan. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti dalam Pasar Masa Jawa Kuno , menjelaskan produk-produk olahan itu juga menjadi komoditas yang dijual di pasar-pasar desa, termasuk pasar di daerah pegunungan. Di antaranya ada ikan asin, dendeng ikan, terasi, dan garam. “Ikan asin, dendeng ikan, dan terasi merupakan hasil produksi daerah pesisir, sedangkan garam hasil produksi daerah pedalaman dan pesisir,” tulis Titi. Dalam sistem perdagangan Jawa Kuno, dikenal satuan ukuran khusus untuk komoditas ikan asin. Istilahnya kujur, sebagaimana disebut dalam Prasasti Waharu I atau Jenggolo (929). Dalam prasasti lain disebutkan bahwa jumlah ikan asin yang didagangkan secara eceran tidak boleh lebih dari tiga kabayan.





















