top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Yang Kaya yang Madu Tiga

    SUATU hari, Maria Ullfah kedatangan seorang perempuan di Biro Konsultasi. Dengan berlinang airmata perempuan itu bercerita tentang suaminya yang tiba-tiba kawin lagi. Ia meminta Maria Ullfah untuk mengurus perceraian ke Raad Agama. Perempuan itu jelas bukan satu-satunya istri yang mendapati suaminya kawin lagi. Biro Konsultasi, yang dibentuk Kongres Perempuan Indonesia pada 1935, memang dibentuk untuk menangani banyaknya masalah perempuan dalam perkawinan. Kala itu, permaduan menjadi masalah yang kerap menimpa perempuan. Menurut missionaris A. Kruijt dalam penelitiannya tahun 1903 yang dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, poligami kebanyakan dilakukan orang-orang dari kalangan bangsawan dan menengah ke atas. Di kalangan rakyat bawah, poligami jarang terjadi. “Terdapat strata yang besar… Di kalangan kaum buruh dan mereka yang kondisinya lebih baik, poligami jarang ditemui,” tulis Kruijt. Pernyataan Kruijt didukung sebuah laporan mengenai ekonomi desa yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda pada 1912. Laporan tersebut menyebut angka poligami di desa dan kalangan masyarakat bawah cenderung tidak ada alih-alih banyak dari kaum bangsawan dan kelas berada. Tingginya angka poligami di kalangan bangsawan disebabkan kurangnya bekal para perempuan bangsawan untuk bertahan hidup sendiri. Mereka tak pernah dilatih untuk menghidupi diri sendiri karena terbiasa dilayani dan sejak kecil dididik untuk menjadi nyonya rumah. Melepaskan perkawinan lantaran dipoligami berarti menyengsarakan diri dan anak-anak. Mereka akhirnya terpaksa menerima permaduan karena dianggap lebih aman dibanding menggugat cerai. “Pada umumnya wanita dari lapisan masyarakat rendah jauh lebih tegas dalam menuntut perceraian sebab mereka sudah biasa mencari nafkah sendiri,” kata Maria Ullfah dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia. Poligami dalam Angka Poligami menjadi isu hangat yang diperbincangkan sejak akhir abad ke-19. Data sensus pemerintah kolonial tahun 1930 menunjukkan: persentase poligami di Jawa dan Madura mencapai 1,9%, di pulau-pulau luar 4%, dan di kalangan orang Minangkabau sebesar 8,7%. Dalam laporan Indisch Verslag terbitan 1939, angka poligami di Jawa mencapai 163.362. Dari angka tersebut, 1.024 poligami mengambil empat istri, sebanyak 7.696 mengambil tiga istri, dan yang terbanyak 154.642 mengambil dua istri. Angka poligami di Jawa pada 1939 tersebut menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatra, total angka poligami mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, serta di Bali dan Lombok sebesar 14.061. Sementara, Maluku menempati angka terkecil, yakni 5.150 praktik poligami. Namun, angka-angka tersebut hanya merujuk pada praktik poligami yang terdaftar. Faktanya, tidak semua orang melakukan pencatatan perkawinan di era kolonial dan banyak poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui istri pertama. Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia (1924-1929) sekaligus paman Maria Ullfah, yang meneliti jumlah poligami di Bojonegoro pada 1936, menemunkan bahwa di kalangan pegawai sipil, santri, dan pedagang, poligami banyak dilakukan hanya untuk kebutuhan seksual saja. Poligami, sebut Djajadiningrat, juga menjadi faktor terbesar terjadinya perceraian. Ramainya isu poligami mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan rancangan undang-undang tentang perkawinan tercatat (Ordonansi Perkawinan) untuk orang bumiputra dan timur asing bukan Tionghoa. Ordonansi itu menyebutkan bahwa semua perkawinan secara agama apapun bisa dicatatkan di kantor bupati. Dengan mandaftarkan perkawinan secara sukarela, orang tunduk pada Ordonansi Perkawinan yang berazas monogami. Ordonansi Perkawinan sendiri menurut gerakan perempuan nonagamis tidak terlalu buruk. Aturan tersebut setidaknya bisa melindungi perempuan dari permaduan sepihak. Pencatatannya pun tidak bersifat wajib. Bagi mereka yang mau mencatatkan, akan dilayani. Tapi bagi yang tidak ingin perkawinannya dicatat, diperbolehkan untuk mengabaikan. Maria Ullfah dalam bukunya Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan menyatakan sepakat dengan Ordonansi Perkawinan. Alasannya, tidak ada paksaan bagi seseoang untuk mendaftarkan perkawinannya. Namun, ketika pemerintah Hindia Belanda menanyakan pendapat KPI tetentang Ordonansi ini, Maria mengusulkan untuk tidak memberi jawaban. Sebab kalau kongres menyatakan tak setuju, akan menjadi suatu kejanggalan mengingat selama ini kongres memperjuangkan pernikahan yang adil, aman bagi perempuan, dan monogami. Namun kalau kongres menyatakan setuju, golongan Islam akan marah dan keluar dari kongres. Golongan Islam menolak keras Ordonansi Perkawinan lantaran produk Barat. Menurut mereka, Ordonansi Perkawinan bukti terlalu ikut campurnya Belanda dalam masalah ibadah orang Islam. Penentangan keras dari golongan Islam dan diamnya kaum perempuan Indonesia akhirnya membuat pemeritah kolonial mencabut rancangan ini. “Kalau Belanda betul-betul berniat baik seharusnya mereka mengumumkan langsung pemberlakuan Ordonansi Perkawinan tanpa perlu konsultasi ke KPI. Apa mungkin Belanda sengaja memancing simpati untuk membuat perpecahan dalam gerakan perempuan Indonesia?” kata Maria Ullfah. Dalam pidato panjangnya di Kongres ketiga yang dilaksankan di Bandung, 1938, Maria memberikan jalan tengah bagi kaum perempuan pro-ordonansi perkawinan dan mereka yang kontra. Menurutnya, undang-undang perkawinan harus dibuat beriringan dengan agama, bukan meninggalkannya. Maria meyakini agama Islam yang dipeluknya hadir tidak untuk menyakiti perempuan. Oleh karenanya lelaki muslim tak punya hak untuk menyakiti perempuan. “Poligami merupakan institusi yang merendahkan keberadaan kami,” kata Maria. Untuk itulah, negara bertanggung jawab untuk melindungi posisi perempuan dalam hubungan perkawinan yang tidak setara melalui hukum yang diterima baik golongan muslim maupun nasionalis. Dalam praktiknya, upaya tersebut sulit diwujudkan. Usaha-usaha menghapuskan poligami selalu mendapat sanggahan dari kaum lelaki. Argumen bahwa poligami hadir untuk menyelamatkan perempuan karena jumlahnya jauh lebih banyak dibanding lelaki benar-benar membuat para perempuan gondok. “Kami tidak ingin menikah karena belas kasihan... Lebih baik bekerja keras daripada menikah karena belas kasihan,” kata Maria.

  • Garis Finis Sang Sprinter Legendaris

    Dunia atletik Indonesia berduka. Satu legenda sprinter, Purnomo Muhammad Yudhi, mencapai garis finis dalam hayatnya. Purnomo mengembukan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jumat, 15 Februari 2019, dalam usia 56 tahun. Purnomo meninggal setelah lama melawan kanker kelenjar getah bening yang menjangkitinya sejak 2015. Jasadnya langsung dikebumikan sekira pukul empat sore di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Di lintasan atletik, Purnomo merupakan satu dari beberapa legenda yang dimiliki Indonesia. Lahir di Purwokerto, 12 Juli 1962, Purnomo menekuni atletik sejak muda lantaran ingin seperti idolanya, Mohammad Sarengat. Di usia belia, Purnomo sudah malang-melintang di berbagai kejuaraan junior meski kerap bertanding tanpa sepatu dan hanya mengenakan kaus kaki. Kondisi itu terpaksa dia lakukan lantaran ekonomi keluarganya. Hingga usia SMA, Purnomo belum mampu memiliki sepatu lari yang memadai. Tapi kerja keras dan pengorbanannya tak mengkhianati hasil. Pada 1983, Purnomo sudah menjadi bagian dalam kontingen Indonesia di Kejuaraan Atletik Dunia (IAAF) di Helsinki, Finlandia. Setahun kemudian, namanya masuk ke dalam tim atletik Indonesia di Olimpiade 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat (AS). Di pesta olahraga terbesar sejagat ini bintang Purnomo melesat tinggi kendati tim Indonesia tak membawa pulang medali. Rudy H. Parengkuan menuliskan dalam laporannya, “Olimpiade Los Angeles 1984: Sukses dan Lancar Sekalipun Dilanda Aksi Boikot” yang dimuat di Rekaman Peristiwa ‘84 terbitan Sinar Harapan 1985, Purnomo baik di kategori individu maupun bersama tim estafet mencetak rekor-rekor nasional (rekornas) anyar. “Semula memang targetnya bukan medali, tetapi mencetak rekornas baru dan target ini berhasil tercapai. Purnomo mencetak rekornas untuk 200 meter dengan catatan waktu 20,93 detik. Rekor lama atas namanya sendiri 21,2 detik. Dalam estafet 4x100 meter, kuartet Purnomo, Kardiono, Christian Nenepath, dan Ernawan Witarsa mempertajam rekornas menjadi 40,37 detik,” ungkap Rudy. Sebelumnya, rekornas estafet itu adalah 40,54 detik. Tidak lupa, Purnomo mengukir sejarah baru, tidak hanya untuk Indonesia tapi juga Asia. Purnomo menjadi sprinter Asia pertama yang mampu menembus semifinal 100 meter putra di Olimpiade. Di nomor 200 meter putra, Purnomo hanya mampu sampai perempatfinal. Meski di semifinal Purnomo hanya menempati urutan buncit, urutan kedelapan dengan waktu 10,51 detik, ini jadi kali kedua Purnomo jadi orang tercepat Asia. Di IAAF Helsinki 1983, Purnomo jadi satu-satunya wakil Asia di final 100 meter putra. Untuk urusan prestasi, mengutip Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno , Purnomo menyumbangkan dua perak dari nomor 100 dan 200 meter putra di Kejuaraan Asia 1985 di Jakarta. Sedangkan di SEA Games 1985 di Bangkok, Purnomo membawa pulang dua emas dan sekeping perunggu. Dua emas diperolehnya dari 200 meter putra dan estafet 4x100 meter putra, sementara satu perunggu dari 100 meter putra. Setelah pensiun, Purnomo tak bisa jauh dari dunia atletik. Selain aktif ikut dalam kepengurusan PB PASI, Purnomo juga sempat duduk pula di kepengurusan KONI Pusat. Selain itu, Purnomo juga menjadi ketua pertama IOA (Indonesian Olympian Association) pada 2010 dan bahkan pernah mengutarakan niatnya ingin jadi Menpora untuk membantu kesejahteraan para mantan atlet yang kehidupannya memprihatinkan. “Dia pernah bilang ke saya, ‘Mbak, saya ingin tetap sehat. Saya ingin membantu para atlet,” kata Tuti Mardiko, Wasekjen PB PASI, dikutip Beritagar , Jumat, 15 Februari 2019.

  • Di Balik Pendirian Pao An Tui

    Reporter militer Hans Post meliput pendaratan tentara Belanda di pantai timur Sumatra pada Oktober 1946. Pada bulan pertama kegiatan liputannya di Medan, dia tertarik mengamati keberadaan serdadu dari kalangan Tionghoa. Hans kaget menyaksikan mereka yang berseragam aneh dengan corak kuning berbahan drill itu. Mereka memakai topi pet dan menenteng senapan laras panjang. Pemimpinnya diketahui bernama Lim Seng yang segera memberi penjelasan perihal pasukannya kepada Hans.  Lim Seng menuturkan, pemuda-pemuda Tionghoa harus selalu berjaga dan patroli untuk menghentikan aksi para ekstremis. Pejuang Indonesia bersenjata ini kerap meresahkan; menyerang rumah-rumah milik orang Tionghoa. Mereka merampok dan kadangkala berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Tentara Inggris menolak memasok senjata kepada pemuda-pemuda Tionghoa. Hingga Maret 1946, pemuda-pemuda Tionghoa hanya bersenjatakan tombak dan tongkat. “Inggris menyadari bahwa teror itu menjadi terlalu serius bila tetap bersikap pasif. Setelah sejumlah kecil senjata api disediakan, tak ada lagi penjahat - pencuri - berani memasuki distrik Tionghoa di bawah perlindungan pasukan penjaga Tionghoa,” demikian catat Hans Post dalam reportasenya Bandjir over Noord-Sumatra Volume I: Bandjir over Noord Sumatra yang terbit tahun 1948. Pasukan penjaga keamanan Tionghoa ini kelak lebih dikenal dengan sebutan Pao An Tui (PAT). Ketika revolusi kemerdekaan bergolak di Sumatra Utara, PAT memainkan lakon sebagai musuh orang-orang Republik. Lakon itu bukan tanpa sebab. Di masa krisis itu, mereka terjepit untuk mempertahankan diri guna melanjutkan hidup.   Aji Mumpung  Proklamasi kemerdekaan membawa posisi komunitas Tionghoa berada di bawah ancaman. Setelah pendudukan Jepang berakhir, orang-orang Tionghoa jadi sasaran intimidasi. Kaum pribumi radikal kerap menyatroni kediaman atau toko penduduk Tionghoa yang umumnya masyarakat pedagang. Sudah harta benda mereka dijarah, warga Tionghoa malang ini rentan sekali menjadi korban penculikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.   “Orang Tionghoa menjadi sasaran tindakan balas dendam yang sistematis, karena mereka tergolong kuat secara finansial dan melekat sebagai kolaborator oportunis Belanda,” tulis sejarawan Belanda Anne van deer Veer dalam pengantar tesisnya di Leiden University “The Pao An Tui in Medan: A Chinese Security Force in Dutch Occupied Indonesia, 1945‐1948”.   Sentimen anti-Tionghoa, menurut van der Veer tak lepas dari peran mereka di masa lampau. Di bawah pemerintahan kolonial, kebijakan Belanda memberi orang Tionghoa status yang berbeda: Timur Asing ( Vreemde Oosterlingen ). Meski tetap sebagai warga negara kelas dua setelah bangsa Eropa, orang Tionghoa (bersama Arab dan India) diperlakukan lebih istimewa ketimbang pribumi. Pasukan Pao An Tui mengendarai jeep patroli, Medan, sekitar 1947. (Arsip Nasional RI). Pada bulan November 1945, aksi pencurian dan perampokan mulai merambah rumah-rumah orang Tionghoa di Medan. Gangguan ini semakin meningkat setelah TKR-Pesindo mengumumkan keberadaan mata-mata Belanda yang turut menyeret orang Tionghoa. Laporan intelijen Belanda (NEFIS) mencatat, sebanyak 73 rumah orang Tionghoa dibakar, dan puluhan lelaki Tionghoa dieksekusi karena mencoba melawan. Menurut sejarawan LIPI, Nasrul Hamdani, penindasan atas kepentingan orang Tionghoa merupakan kelanjutan dari aksi “pembersihan” yang dillancarkan kaum Republikan. Sayangnya, tindakan ini tak dibarengi dengan koordinasi yang baik di antara badan-badan perjuangan. Orang Tionghoa jadi dimusuhi hanya karena mereka berasal dari etnis berbeda. Meski demikian, ada juga yang melihat revolusi sebagai momentum “aji mumpung” untuk mengumpulkan kekayaan. Dalam suasana demikian simbol-simbol etnisitas menjadi penting untuk mencari sekutu atau menciptakan seteru. Orang Tionghoa Bersatu Atas penyerangan yang terjadi terhadap kaumnya,  Hua Ch'iao Chung Hui (HCCH, Organisasi Cina Rantau) bereaksi. Dalam sebuah telegram yang dikirimkan kepada Chiang Kai Sek - pemimpin negeri Tongkok -, HCCH menyatakan keprihatinannya terhadap nasib  miris orang Tionghoa di Medan. HCCH  mendesak pemerintah Tiongkok mengirim utusan yang diberi wewenang penuh melindungi orang Tionghoa perantauan di Sumatra. Permintaan HCCH dikabulkan walaupun bukan dalam wujud bantuan militer langsung dari negeri Tiongkok. Sebuah milisi beranggotakan pemuda-pemuda Tionghoa dibentuk pertama kali di Medan pada permulaan tahun 1946. “Baoan Dui”, demikian orang-orang Tionghoa lebih suka menyebutkanya sementara masyarakat lokal di Medan mengucapkannya “Poh An Tui”. Mereka yang tergabung semula adalah pemuda-pemuda jago bela diri. Makin lama, kian banyak orang Tionghoa yang masuk PAT. “Di masa ini tumbuh solidaritas orang Cina hingga mampu mendirikan Pao An Tui (PAT) atau barisan keamanan yang dikenal kejam, sangar, dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis Nasrul Hamdani dalam artikelnya “Pao An Tui Medan 1946--1948” termuat di Indonesia Across Order: Arus Bawah Sejarah Bangsa suntingan Taufik Abdullah dan Sukri Abdurachman. HCCH menugaskan Lim Seng untuk memimpin dan mengorganisasi PAT. Van der Veer dalam tesisnya menyebut Lim Seng adalah seorang karyawan perusahaan perdagangan Belanda di Medan milik Jacobsen van den Berg di Medan. Lim Seng dibantu oleh dua orang kepercayaan, yaitu Tan Boen Djin dan Tan Boen Hock yang bertugas sebagai penghubung ke jejaring penting. Tan bersaudara ini berasal dari keluarga saudagar Tionghoa terkemuka di Medan. Pembentukan PAT berjalan mulus. Tentara pendudukan Inggris mengizinkan keberadaan PAT dalam menjaga keamanan distrik Tionghoa. Inggris bahkan ikut memasok senjata api kepada PAT. Fasilitas yang dimiliki PAT terbilang mantap dan modern. Markas PAT yang terletak di Hongkongstraat Medan ini, memiliki beberapa kendaraan patroli jenis jeep untuk mempertinggi mobilitas dan komunikasi. Setelah Inggris mengalihkan kekuasannya kepada Belanda, PAT bersekubu dengan tentara Belanda. Bagi mereka, pejuang-pejuang Republik dicap ekstremis, pengacau, dan pelaku teror. Belanda dan PAT kerap melancarkan operasi bersama memburu Tentara Republik ataupun barisan laskar. Operasi ini tak jarang memakan korban dari pihak rakyat sipil. Pada 1952, Kementerian Penerangan yang menerbitkan buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa aksi menyimpang orang Tionghoa dalam revolusi dapat dimaklumi. Selama pendudukan Jepang, orang-orang Tionghoa tak berdaya dan  jadi bulan-bulanan.  Ketika Indonesia merdeka, tak semua orang Tionghoa bisa mengerti esensi perjuangan kaum Republik. Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyerukan golongan Tionghoa untuk bekerjasama dan menjauhi pekerjaan membantu musuh-musuh Republik.  “Bagi penduduk Tionghoa di Medan yang selama ini ditindas perniagaan dan perekonomiannya oleh Jepang dapat dimengerti apabila mereka itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan dalam mengadakan perniagaan dengan Inggris ataupun Belanda,” tulis Kementerian Penerangan. “Akan tetapi dapat dimengerti pula bahwa semangat dan jiwa revolusi kemerdekaan yang meluap pada dada pemuda bangsa Indonesia mencurigai setiap perhubungan dengan Inggris apalagi Belanda. Maka di sana-sini terjadilah pertempuran bersenjata antara Pao An Tui dengan pemuda Indonesia.

  • Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda

    TANGAN kanannya sibuk menggerak-gerakkan tongkat. Tangan kirinya senantiasa mencari pegangan. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Hendrik Brocks sampai ke kursi ruang tamu. Dia tak lagi bisa melihat. Penyakit glukoma merampas penglihatan sang legenda balap sepeda itu sejak 2007. Sosok bersahaja berusia 77 tahun itu tinggal di sebuah rumah sederhana di Gang Rawasalak, Sriwidari, Kota Sukabumi hanya bersama istri, Yati Suryati, seorang pensiunan guru. Kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Untuk biaya sehari-hari saja, harus ditopang bantuan kecil-kecilan keluarga besar dan para tetangganya. Hendrik sama sekali tak punya uang pensiun. “Ya makanya kadang sakit kalau mendengar banyak atlet sekarang dikasih bonus miliaran,” ujarnya saat ditemui Historia di kediamannya, Senin (11/2/2019). Padahal, seperti halnya sepakbola dan bulutangkis, di gelanggang balap sepeda era 1960-an Indonesia pernah jadi “Macan Asia” kala Hendrik masih jadi sosok yang disegani oleh kawan maupun lawannya. Di ajang sekelas PON (Pekan Olahraga Nasional), Kejuaraan Asia, Asian Games, Ganefo (Games of the New Emerging Forces) hingga Olimpiade, pria berdarah Jerman-Sunda itu nyaris tak pernah pulang tanpa prestasi. Dari lintasan kampung hingga dunia Hendrik lahir di Sukabumi pada 27 Maret 1942. Perkenalannya dengan sepeda terjadi sejak usia sekolah dasar kendati hanya sekadar untuk selingan bermain.  Dengan sepeda onthel milik ayahnya, Joppi Brocks, Hendrik acap bersepeda di kebun-kebun dan kampung sekitar rumahnya. Hendrik tak pernah menyangka sebuah event road race tingkat daerah di Sukabumi pada 1958 akan jadi titik balik bagi kehidupannya. “Anak-anak (teman-teman) bilang agar saya ikut. Tapi saya ragu karena enggak punya sepeda (balap),” sambungnya. Namun dorongan teman-temannya membuat Hendrik yang masih di usia sekolah menengah dan “buta” teknik balap sepeda itu pun mengikuti race dengan rute Sukabumi-Cisaat-Gekbrong-Sukabumi. “Akhirnya pakai sepeda kumbang punya teman. Pas lihat lawan-lawannya, waduh pakai sepeda balap semua. Saya bengong lihat sepeda mereka. Rantainya beda, gear -nya banyak, stang -nya yang tanduk begitu. Aneh lah pokoknya buat saya waktu itu.” Alhasil, sebelum start , Hendrik kerap mendengar sindiran meremehkan dari lawan-lawannya. “Awalnya diketawain sama pembalap-pembalap dari Bandung, Bogor, enggak tahu kenapa. Pas lagi balapan, malah dibilang: ‘Anak Sukabumi ngalang-ngalangin saja nih!’. Tapi saya diam saja,” kenangnya. Hendrik tak gentar. “Malah tambah semangat,” katanya. Tak dinyana, Hendrik yang masih “anak bawang” justru jadi yang pertama melewati garis finis. “Pas sampai Gekbrong, saya sudah tinggal sendirian paling depan. Alhamdulillah menang,” ujarnya mengenang masa lalu. Hendrik Brocks bersama kedua orangtuanya. (Dok. Hendrik Brocks) Saking bangganya, ayah Hendrik menghadiahinya sepeda balap bekas. Sejak itu, Hendrik lebih sering ikut beragam kejuaraan di berbagai kota. Namanya mulai dikenal sejak menang sebuah event road race di Jakarta tahun 1959 dengan rute Jakarta-Serang-Jakarta. Di tahun itu pula Hendrik ikut terpilih masuk Pelatnas Balap Sepeda lewat Invitasi Nasional jelang persiapan Olimpiade Roma 1960. “Usia saya masih 19 tahun waktu itu. Kita TC (Training Camp) di Semarang dan saya paling yunior usianya dari empat yang lolos seleksi nasional. Ada saya, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi. Kita dilatih orang Italia yang lama tinggal di Medan, Maurice Lungo,” ujarnya. Sayang, keempatnya gagal meraih medali. Hasil terbaik dicetak lewat nomor Time Trial 100 kilometer putra. Indonesia, dilansir sport-reference.com , duduk di urutan ke-26 dari 32 tim yang ambil bagian dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik. Hasil itu lumayan baik bagi peserta dari Asia. Korea Selatan yang bersama Indonesia mewakili Asia di olimpiade itu hanya hanya menempati urutan ke-30 dengan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. “Makanya waktu pulang dari Roma langsung ditunjuk oleh Bung Karno (Presiden Sukarno) bahwa balap sepeda akan jadi salah satu prioritas untuk Asian Games 1962, agar bisa memberikan emas. Tapi sebelum itu kita semua kembali ke daerah masing-masing untuk persiapan PON V dulu di Bandung (1961). Saya ikut mewakili Jabar (Jawa barat). Dari 11 nomor, saya dapat 10 emas,” sambung Hendrik. Pasang surut Seusai PON, Hendrik kembali ke Pelatnas di Jakarta jelang Asian Games 1962. Kali ini, tim balap sepeda dibesut pelatih asal Jerman Timur Rolf Nietzsche. “Waduh dia sih, untuk kedisiplinan tinggi sekali, keras orangnya. Apalagi dia ngomongnya bahasa Jerman terus. Kita enggak bisa ngomong Jerman tapi tetap bisa menangkap apa yang dia mau,” katanya. Pada Asian Games 1962 yang dibanggakan Bung Karno itu, tim Indonesia memetik tiga emas. Sebagaimana dimuat dalam biografi MF Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, tim yang berisi Hendrik, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli itu memenangkan nomor Team Time Trial 100 km dengan catatan waktu 2 jam 37 menit 23,1 detik. Ketiganya, ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, mencomot emas kedua di nomor Open Road Race 180 km. Emas ketiga dicetak Hendrik pribadi di nomor yang sama kategori individu. Tiga medali emas Asian Games 1962 milik Hendrik Brocks (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Di Asian Games dapat tiga emas, kita semua diundang ke Istana Negara. Tapi ya, juragan (Presiden) dulu mah hanya bilang terima kasih, disuruh semangat lagi latihannya. Habis itu balik kanan, sudah. Kita mah hanya lihat punggungnya saja,” kenang Hendrik sembari memperlihatkan tiga medali yang disimpannya dengan baik di tiga kotak kayu. Roda karier dan kehidupan Hendrik terus berputar. Medali demi medali dibawanya pulang, mulai dari Ganefo 1963 (satu emas dan satu perak), hingga Ganefo Asia 1966 (satu emas, satu perak, dua perunggu). Dua emas di Kejurnas 1967 menjadi penutup karier emasnya. Dua tahun berselang, Hendrik melatih tim balap sepeda Jaawa Barat di PON VII Surabaya dan mengantarkan anak didiknya, Irwan Iskak, menggamit satu emas. Namun di PON VIII Jakarta, Hendrik kembali turun gelanggang . “Mulanya saya sama Wahju hanya disuruh melatih tim DKI. Tapi Wahju bilang, saya disuruh ikut turun lagi. Saya bilang, ‘Ah gila lu, gua kan sudah tua.’ Tapi akhirnya dia meyakinkan saya sampai akhirnya ikut turun. Dapat perunggu, lumayan, sama dikasih piagam dari Ali Sadikin (Gubernur DKI),” lanjutnya. Setelah itu, Hendrik mulai merambah level nasional kepelatihan. Setelah ikut penataran pelatih pada 1975, Hendrik mendapat sertifikat pelatih nasional. Namun tak lama kemudian, Hendrik memilih mundur. “Saya tuh gimana ya. Kalau sudah sakit hati, saya tinggalin deh itu sepeda sampai 1983,” ujarnya tanpa mau menjelaskan penyebab persoalannya. Lama vakum dan sempat berbelok jadi pelatih atletik tim Jabar pada 1980, Hendrik kembali pada 1983 dengan menjadi juri Tour de Java. Di tahun yang sama, dia melatih timnas untuk Kejuaraan Asia di Manila dengan hasil satu perak dan dua perunggu. Setahun kemudian Hendrik membawa anak-anak asuhnya memenangi satu emas di ASEAN Cup dan perak di Kejuaraan Asia 1985. Sempat dimintai bantuan melatih tim PON Lampung hingga 1995, Hendrik lalu kembali ke tim PON Jabar. “Tapi saya melatihnya tim MTB (Mountain Bike). Saya disuruh melatih tim road race , enggak mau. Saya ingin suasana baru. Di PON 1995, kita dapat satu perunggu,” ungkapnya. Selain aktif melatih, Hendrik kemudian dipercaya menjadi manajer tim Kabupaten Sukabumi tingkat Porda hingga 2008. “Saya sudah mulai tidak bisa melihat tahun 2007, tapi masih tetap, jadi si buta ini jadi tim manajer. Tapi setahun kemudian sudah saya lepas,” imbuhnya. Tapi karena minimnya perhatian pemerintah selama dia masih aktif, Hendrik menjalani masa senjanya dengan terseok-seok. Untuk biaya sehari-hari saja, harus dibantu keluarga besar dan tetangga sekitarnya. Kondisi rumahnya sepeninggal orangtuanya terus memburuk tanpa mampu diperbaikinya. Hendrik Brocks menderita glaukoma sejak 2007. (Randy Wirayudha/ Historia ). “Enggak pernah ada bonus! Enggak kayak sekarang, bonus…bonus…bonus. Enggak saya pernah merasakan bonus. Di TC saja dulu enggak dapat uang saku. Kalaupun dapat, pas lagi kejuaraan ke luar negeri. Itu pun untuk beli oleh-oleh saja tidak cukup. Pensiun juga tidak ada. Kalau sekarang, jangankan PON, Porda aja pegawai negeri udah pasti di tangan kalau berprestasi,” ujar Hendrik dengan nada meninggi. Untuk mengobati glaukomanya saat awal-awal terserang, Hendrik harus dibantu KONI Kabupaten Sukabumi dan teman-temannya lantaran BPJS Kesehatan pun tak punya. Medio 2007, Menpora Adhyaksa Dault sempat menjanjikan dana pensiun kepadanya. Hendrik juga mendapat bantuan rumah dari menpora. Setelah satu dekade, rumah itu terpaksa dia jual guna membiayai renovasi rumah warisan ayahnya yang ia tinggali kini. Rumah itu sempat hampir roboh sebelum bisa direhab. Tetapi sampai lebih dari satu dekade berlalu, dana pensiun yang dijanjikan Adhyaksa tak jua ditepati. Uang itu setidaknya bisa untuk menyambung hidupnya dan istri. “Belum lama lalu, sempat saya berkirim surat juga ke Erick Thohir (Ketua Komite Olimpiade Indonesia/KOI), namun sampai sekarang belum ada jawaban soal dana pensiun itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.

  • Pao An Tui yang Dibenci Kaum Republik

    Kawasan pecinan di Pasar Sentral, kota Medan cukup tenang pada siang hari. Aktivitas para pekerja dan pedagang berjalan sebagaimana biasa. Namun memasuki waktu malam, keadaan berubah mencekam. Letusan tembakan acap kali menggema. Demikianlah suasana keamanan di distrik Tionghoa itu pada awal 1946. Menurut keterangan warga setempat yang dikutip Abdullah Hussain, Kepala Polisi Langsa yang sedang tugas di Medan, orang-orang Tionghoa di kawasan itu telah dipersenjatai oleh NICA. Mereka membentuk sebuah barisan sendiri yang diberi nama Pao An Tui (PAT). “Dari atas loteng rumahnyalah mereka melepaskan tembakan kepada pejuang-pejuang Indonesia yang menyusup masuk ke dalam kota pada waktu malam,” kenang Abdullah dalam Peristiwa Kemerdekaan di Aceh . Perbuatan pasukan PAT itu kontan bikin jengkel. Pemuda-pemuda Medan berang. Sekali waktu mereka mencari pemimpin PAT itu. Keesokan harinya, seorang pentolan PAT ditembak mati. Ketegangan antara pejuang Republik dengan PAT masih terus berlanjut. Mulai dari pusat kota merembet hingga ke pelosok di luar kota Medan. Bentrokan dan kontak senjata sering terjadi.   Penguasa Pasar Tujuan semula pembentukan PAT adalah untuk menjaga keamanan basis masyarakat Tionghoa. Di Medan, toko-toko milik pedagang Tionghoa kerap kali dirampok oleh penjahat lokal sebagai ekses dari revolusi.  Tetapi akhirnya, dalam setiap patroli yang dilakukan tentara Inggris atau Belanda, satuan PAT selalu dilibatkan. “Pasukan-pasukan ini dipakai dalam patroli-patroli Belanda untuk menggempur laskar dan TRI. Persenjataan dan perlengkapan lainnya dari pasukan ini jauh lebih baik dari laskar dan tentara,”tulis buku Perjuangan Semesta Rakyat Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. PAT memperoleh akses atas kawasan tertentu dengan menjalin koordinasi ke pihak tentara Belanda. Tiap daerah pendudukan yang dikuasai Belanda, PAT bertugas mengamankan kawasan pecinan didalamnya. Maka tak heran bila PAT punya kontrol atas pasar-pasar di daerah pendudukan dalam garis demarkasi. Pasukan PAT yang berpatroli memburu ekstremis di sekitar Medan, 1947. Sumber: ANRI. Menurut penelitian sejarawan LIPI Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 , PAT selalu menjaga ketat pasar-pasar dan tempat warga kota berinteraksi. Setiap pos di keramaian ini dijaga berlapis untuk mengantisipasi penyusup atau mata-mata Republik. Pasukan PAT penjaga pos didampingi penembak jitu Belanda yang membidik dari loteng-loteng pertokoan. Semua orang yang dicurigai diperiksa, perempuan maupun lelaki.   PAT punya cara yang terbilang unik dalam menggeledah tubuh. Mereka yang punya bahu keras akan segera diringkus dan dicap sebagai ekstremis Republik. Operasi anti-spionase PAT menyimpulkan, bidang bahu yang mengeras terjadi karena pergesekan tali senapan yang disandang saat bergerilya. Penangkapan warga atas dasar kondisi otot bahu biasa dilakukan, meski awalnya melalui prosedur resmi. “Beberapa proses interogasi berujung pada kematian, dan untuk menghilangkan jenazah korban interogasi, satu daerah semak belukar di jalan Tempel dijadikan kuburan sekaligus tempat eksekusi penyusup dan pengacau,” tulis Nasrul. Aksi PAT  Dari seratusan pemuda Tionghoa yang jago bela diri, personel PAT membengkak jadi seribuan orang. Jumlah sebanyak itu juga dimanfaatkan Belanda sebagai tenaga tambahan. PAT kadang dilibatkan dalam operasi militer Belanda ke pedalaman di luar garis demarkasi. Dalam operasi ke Deli Tua pada 10 mei 1946, misalnya. Tentara Belanda menyerbu dengan kekuatan tank, panser, puluhan truk pengangkut personel dan pasukan artileri. Serdadu PAT memainkan aksi penyusupan nya ke jantung pertahanan kubu Republik. Cara yang dilakoni PAT terbilang nekat dan berani.   Mereka menyamarkan diri sebagai laskar rakyat yang mengendarai kendaraaan tempur Belanda. Seolah-olah telah berhasil merebut fasilitas tempur itu melalui suatu pertempuran. Kendaraan yang ditunggangi PAT dipasangi bendera putih berikut papan bertuliskan nama-nama pentolan laslar rakyat seperti Bedjo dan lain-lain. Penduduk setempat yang menyaksikan konvoi “pejuang gadungan” itu terpana dan memberikan sambutan.   “Ketika warga mulai percaya, yang terjadi adalah penggeledahan warga,” tulis Nasrul. Ada kalanya mereka tergoda juga menjarah barang milik warga. PAT jadinya dibenci sekaligus ditakuti kaum Republik. Ketika melancarkan agresi militer yang pertama 21 Juli 1947,  pasukan Brigade Z Belanda berhasil menjebol pertahanan Komando Medan Area (KMA) dalam sekejap. Dalam serbuan itu, PAT lagi-lagi turut serta. Sebagaimana taktik perang kota, mereka menyerang dari belakang lewat celah-celah pertokoan.    “Kalau Belanda menyerbu bagai air bah, Poh An Tui menyerang bagai ular yang mematuk mangsanya dari atas pohon,” kenang Nukum Sanany, anggota Batalion VI Resimen II Divisi X Sumatera dalam Pasukan Merian Nukum Sanany yang disusun B. Wiwoho. Di kalangan PAT timbul penilaian yang keliru terhadap pejuang Indonesia. Mereka menilai semua barisan bersenjata Republik adalah pasukan penjahat yang suka menggarong harta benda masyarakat Tionghoa. Tindakan permusuhan sering diperlihatkan PAT tanpa pandang bulu. “Tetapi hal yang serupa ini memang sukar dielakkan, karena sumber dan partner mereka adalah musuh-musuh dari pemuda Indonesia itu,” tulis Biro Sejarah Prima dalam Medan Area Mengisi Proklamasi . “Sebaliknya, sebagai akibat kekeliruan penilaian pihak Tionghoa ini, lahir pulalah antipati yang besar terhadap mereka dalam kalangan bangsa Indonesia, sehingga PAT diidentikan dengan alat kolonialisme yang jahat.” Bagaimana akhir keberlangsungan PAT sebagai barisan pengawal kesohor di Sumatera Utara? (Bersambung).

  • Nasi Sejak Dulu Kala

    Saat itu pukul enam pagi. Penduduk Desa Rukam bergerak ke tempat upacara, duduk berkeliling di halaman menghadap batu sima dan kulumpang. Pagi itu, acara peresmian desa sebagai penerima augerah sima digelar. Beragam penganan sudah siap. Ada skul paripurna timan dan beragam lauk pauk. Semua dipersilakan mencicipi. Begitu Prasasti Rukam mengisahkan pesta rakyat yang terjadi ribuan tahun lalu (829 saka/907 M). Bukan cuma mencatat bagaimana jalannya upacara penetapan sima , prasasti itu juga menyebutkan beragam penganan yang disediakan ketika acara berlangsung. Yang paling menarik adalah penyebutan skul paripurna timan. " Skul paripurna atau nasi paripurna kalau di prasasti itu seperti nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya," jelas Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, beras merupakan bahan makanan utama di antara sumber nabati lainnya. Bahan ini merupakan sumber makanan pokok masyarakat Jawa Kuno. Padi muncul dalam sumber prasasti, kesusastraan, dan relief. Sawah dan padi disebutkan dalam teks Ramayana. Sistem pertanian sawah yang menghasilkan padi ada dalam relief cerita Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur dan relief Candi Minakjinggo di Trowulan. Tanaman padi pada relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. (Wikipedia) Bulir-bulir padi juga ditemukan di situs permukiman yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M. Bukti adanya aktivitas pertanian ini didapatkan dari Situs Liyangan, yang ada di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Begitu pun nasi. Selain dalam Prasasti Rukam, nasi yang disajikan bersama makanan lainnya dalam upacara sima muncul pula dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka), Prasasti Sangguran (850 Saka), dan Prasasti Taji (823 Saka). Sementara prasasti juga menyebutkan nasi dalam berbagai variasi ketika menjadi menu utama dalam upacara makan bersama penetapan daerah perdikan. Riboet Darmosoetopo, ahli epigrafi UGM, dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebutkan beberapa jenis masakan dari nasi yang pernah disebut dalam prasasti. Di antaranya skul liwêt atau nasi yang ditanak dengan pangliwêtan, skul dinyun atau nasi yang ditanak dengan periuk, dan skul matiman atau nasi yang ditim.   Produksi beras Karena menjadi makanan pokok, usaha untuk meningkatkan produksi padi pun sudah dilakukan sejak masa lalu. Prasasti dari masa Jawa Kuno memberikan petunjuknya. Paling tidak, kata Supratikno, upaya perluasan tanah sawah secara besar-besaran terjadi pada akahir abad ke-9 M. Ini sebagaimana yang terbaca dalam beberapa prasasti dari masa pemerintahan Kayuwangi (855-885 M). Dalam waktu yang relatif pendek padang rumput, kebun, tegalan, ladang ilalang, dan hutan beralih status menjadi sawah. “Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sawah atau sumber pangan pokok memang besar. Mungkinkah upaya semacam itu dilakukan karena jumlah penduduk semakin meningkat?” ujar dia. Persawahan dalam relief Candi Minakjinggo koleksi Museum Nasional. (Risa Herdahita Putri/Historia) Di luar itu, beras telah menjadi sumber ekonomi pertanian. Berdasarkan Prasasti Pihak Kamalagi atau Kuburan Candi dari 743 Saka (831 M), Prasasti Watukura I dari 824 Saka (903 M), disebutkan adanya lahan sawah, ladang, rawa, dan kebun yang menjadi sima. Artinya, menurut Titi ,  sebelum tanah-tanah itu diresmikan menjadi sima adalah tanah yang kena pajak. “Dengan adanya keterangan yang memberikan gambaran bahwa kebun juga dikenai pajak, maka dapat diartikan kebun telah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi,” jelas Titi dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi . Dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka) dikatakan juga adanya orang-orang yang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Lalu dari berita Tiongkok masa Dinasti Sung juga diketahui kalau pada masa itu beras, bersama sejumlah komoditas lainnya, telah diekspor dari pelabuhan Jawa.

  • Kisah Para Pertapa Perempuan

    Arjuna singgah di sebuah pertapaan di tengah hutan dalam perjalanannya menuju Gunung Indrakila. Pertapaannya indah. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan adegan dari kisah Ramayana. Melihat Arjuna datang, dua orang pertapa perempuan ( kili ) menghampiri. Dari sikapnya, kedua kili itu seperti pernah dibesarkan di keraton. Rupanya mereka menganggap ringan sikap ingin melepaskan diri dari hal-hal duniawi, sehingga mau menyepi ke pertapaan. Kedua kili itu dirundung rasa ingin tahu, siapakah gerangan pemuda rupawan bagai dewa asmara yang kini tengah beristirahat di atas bale-bale itu? Pura-pura mereka menundukkan pandangan, bersikap malu-malu. Namun, mereka tak sanggup menyembunyikan perasaan mereka sesungguhnya. Mereka pun menduga si tamu tak lain adalah Arjuna. Arjuna pun segera menerangkan maksud kedatangannya. Dari kedua kili itu, dia tahu kalau pertapaan itu bernama Wanawati. Pendirinya bernama Mahayani, seorang perempuan berdarah ningrat dari kalangan keraton. Kedua kili kemudian mengantar Arjuna ke bagian dalam pertapaan, di mana Mahayani tinggal. Dari Mahayani, Arjuna mendapatkan pelajaran mengenai rajas , tamas , dan satva , yaitu pelajaran tentang pengendalian nafsu, keikhlasan, dan sifat-sifat lain yang selalu membelenggu manusia. Malam harinya, ketika semua sudah terlelap, seorang kili mendatangi bilik Arjuna. Kepada sang Dananjaya, dia menyatakan cinta. Kili itu mengaku, ketika masih hidup di keraton, dia sudah jatuh cinta dengan Arjuna. Kini perasaan itu masih berkobar. Dia bahkan rela terpergok dan dilaporkan kepada Mahayani. Namun, Arjuna menolak cintanya dan menasihati untuk mengendalikan hawa nafsu.   Begitulah kehidupan pertapa perempuan dalam cerita Parthayajnya. Seseorang yang memutuskan menjadi pertapa harus rela meninggalkan segala kemewahan, nafsu duniawi dan hidup menyepi. Kehidupan yang demikian berat nyatanya juga menjadi pilihan bagi perempuan. Arjuna bersama Mahayani (tokoh bertudung kepala, depan) dan duakili (dua tokoh bertudung, belakang) dalam reliefParthayajna di dinding Candi Jago. (Risa Herdahita Putri/Historia Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menerangkan, dalam pertapaan yang disebut tapowana atau pajaran umumnya dipimpin seorang mahaguru laki-laki. Dia biasanya membawahi seorang pertapa perempuan yang disebut ubwan. Tempatnya disebut Panubwanan. Di tingkat bawahnya ada pertapa laki-laki yang disebut manguyu. “Terakhir adalah pertapa laki-laki dan perempuan yang paling rendah tingkatannya yang punya sebutan macam-macam, mereka tinggal di lembah dalam bangunan yang disebut yasa atau rangkang,” jelas Titi.   Gambaran pertapa perempuan Penggambaran keberadaan pertapa perempuan muncul dalam berbagai media: kesusastraan, relief, bahkan arca. Dalam Kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular pada abad ke-14 M menyebut pertapa perempuan dengan istilah kili dan walkali. Sementara Kakawin Arjunawijaya menyebutnya  tapi. Teks Ramayana juga menyebut pendeta perempuan yang tinggal di hutan, berpakaian kulit kayu, dan hanya makan buah-buahan . Adapun dalam Kakawin Krsnayana disebutkan salah seorang dayang Rukmini yang telah berumur, pernah menjadi seorang kili . Sang dayang kemudian menuturkan pengalamannya ketika berkeliling mencari derma. Dalam perjalanannya, dia sempat melihat Keraton Dwarawati, tempat tinggal Kresna. Selama sepuluh hari dia dapat menikmati keindahan keraton itu dengan diantar seorang kawan. “Cara hidup seorang pertapa yang keras itu untuk beberapa hari ditinggalkannya," tulis Mpu Triguna pada masa Kadiri abad ke-12 M . Kemudian dalam  KakawinSumanasantaka kata kili muncul pada awal kisah. Ketika pertapa Brahmin Trenawindu, murid Agastya, mengira seorang bidadari yang ditugasi menggoda tapanya sebagai seseorang yang ingin menjadi  kili .  Penggambaran lain juga muncul dalam relief kisah Parthayajnya di dinding Candi Jago, Malang. Melihat reliefnya, para kili itu mengenakan tata rambut yang biasa dikenakan seorang rohaniawan. “Bentuk tatanan di kepala itu lebih cocok bagi seorang perempuan,” tulis P.J. Zoetmulder, pakar sastra Jawa Kuno, dalam  Kalangwan. Arjuna disambut dua kili  dalam relief Parthayajna  di dinding Candi Jago. (Risa Herdahita Putri/ Historia ). Sementara arca pertapa perempuan ditemukan di Kediri dari sekira abad ke-11 atau 12 M. Kini arca itu menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. Arca perempuan itu digambarkan duduk bersila. Rambutnya terbungkus lilitan kain, sehingga tampak seperti gundukan besar di atas kepalanya. Bahu kanannya terbuka, kecuali itu dia memakai kain yang digunakan dengan melilitkannya di pundak dan tubuhnya. Sebelah tangannya tampak menyangga mangkuk di atas pahanya. Dewi Kili Suci Kata kili juga menjadi tak asing jika dihubungkan dengan kisah tradisi Dewi Kili Suci. Cerita rakyat ini menempatkannya sebagai putri mahkota Raja Airlangga, Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi yang menolak takhta dan lebih memilih menjadi pertapa.  Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti  menjelaskan, identifikasi Kili Suci dengan Sri Samgramawijaya Dharmaprasadottunggadewi hingga kini tidak didasarkan atas petunjuk yang tegas. Namun, memang benar kalau berdasarkan prasasti Samgramawijaya sekira tahun 959 Saka (1037 M) telah melepaskan haknya sebagai putri mahkota. Lalu pada 964 Saka (1042 M) Airlangga menempatkan anaknya di dalam tempat suci dharma gandhakuti di Kamban Sri. Itu meski tak jelas apakah anak yang dimaksud laki-laki atau perempuan. “Maka mungkin sekali tradisi Kili Suci itu berdasarkan fakta sejarah, atau kalau nanti ternyata anak Airlangga yang disebut dalam Prasasti Gandhakuti ternyata seorang lelaki, tradisi telah mencampur kedua fakta sejarah itu,” jelas Boechari. Boechari pun mengatakan bukan hal aneh jika seorang ayah pada masa lalu menempatkan putrinya ke dalam kabikuan. Dalam Prasasti Taji dari 823 Saka (901 M) diketahui kalau Rakryan I Watutihan pu Samgramadurandhara telah menempatkan anak perempuannya, Rake Sri Bharu dyah Dheta, istri Samgat Dmun pu Cintya ke dalam kabikuan i Dewasabha . Pada masa yang lebih modern, para pertapa perempuan itu masih bisa disaksikan oleh penjelajah asal Portugis, Tome Pires. Dalam Suma Oriental,  dia mencatat ketika tiba di Jawa pada awal abad ke-16 M ada kurang lebih 50.000 pertapa di Jawa. Di antara mereka banyak pula yang perempuan. "Mereka tidak menikah dan tetap perawan," catat Pires. Para pertapa itu membangun rumah di tempat terpencil, seperti pegunungan dan tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Seperti juga pertapa laki-laki, mereka meminta makanan (derma) dengan berkah Dewata sebagai balasan.  Beberapa orang lainnya memutuskan untuk menjadi pertapa setelah mereka kehilanga suami pertamanya. Mereka ini menolak membakar diri. Pires mencatat jumlah mereka konon lebih dari 100.000 perempuan. Mereka hidup dalam kesucian hingga mati.

  • Qatar di Gelanggang Sepakbola

    KENDATI dikucilkan saat datang ke Piala Asia 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), tim Qatar mampu tampil cemerlang. Negeri itu dikucilkan gara-gara krisis diplomatik dengan negara-negara di Teluk Persia lain sejak 2017. Alhasil, Almouz Ali dan kawan-kawan berlaga nyaris tanpa dukungan suporter. Namun, Al-Annabi (julukan timnas Qatar) justru bikin geger. Untuk kali pertama, Qatar pulang dengan trofi Piala Asia. Skor kemenangan 3-1 di final kontra Jepang juga jadi satu-satunya momentum jebolnya gawang Qatar sepanjang turnamen. Prestasi itu menjadi pemanasan apik bagi Qatar jelang Piala Dunia 2022 di negeri sendiri. Dalam persepakbolaan Asia, nama Qatar memang kalah mentereng dibandingkan Arab Saudi, Iran, Korea Selatan, atau Jepang. Nama Qatar paling banter terdengar jika bersinggungan dengan sponsorship terhadap klub raksasa Spanyol Barcelona dan pemilik klub kaya Prancis, Paris Saint-Germain (PSG). Penyebab kekurangtenaran Qatar apalagi kalau bukan prestasi. Namun, itu bisa dimaklumi mengingat negeri itu telat mengenal sepakbola. Yang pasti, dengan menjuarai Piala Asia 2019, negeri kaya minyak dan gas alam yang merdeka pada 3 September 1971 itu berhasil membuktikan dirinya bukan “anak bawang” lagi. Mula Qatar Mengenal Sepakbola Jika tak ditemukan ladang minyak di Dukhan dan Doha, mungkin Qatar akan sangat telat mengenal sepakbola. Pasalnya, dari para ekspatriat Inggris dan India yang bekerja di perminyakan itulah sepakbola diperkenalkan ke Qatar, bermula pada 1948. Sebelumnya, masyarakat lokal hanya mengenal beragam olahraga tradisional, salah satunya balapan unta. Wartawan Inggris Anthony Haywood mengorek kisahnya dari Tom Clayton, mantan insinyur perminyakan British Petroleum (BP) yang ikut proyek eksplorasi minyak di Qatar pasca-Perang Dunia II. Clayton tiba di Qatar pada 1948 bersama sejumlah pekerja asal India yang didatangkan Iraq Petroleum Company (IPC), konsorsium perminyakan milik sejumlah perusahaan besar seperti Anglo-Iranian Oil Company (AIOC). AIOC pada 1954 berubah nama menjadi BP. “Awalnya yang bermain hanya para pekerja India dan beberapa insinyur produksi asal Inggris. Para insinyur itu juga yang mulanya mengajari aturan sepakbola kepada para pekerja India,” ujar Clayton kepada Haywood, dimuat di Daily Mail , 22 November 2018. Lama-kelamaan, orang-orang lokal yang turut dipekerjakan di kamp pengeboran minyak mulai tertarik sepakbola walau hanya sekadar menonton. “Kami tak pernah tahu olahraga semacam itu, namun masyarakat kami sangat menikmati permainan yang buat kami masih asing dan aneh itu,” kenang anggota Komite Olimpiade Qatar, Ibrahim al-Muhannadi. Sepakbola di Qatar mulanya digelar sederhana, dimainkan di lahan berpasir dengan karung-karung sebagai gawangnya. Seiring pesatnya perkembangan sepakbola yang mulai menular ke masyarakat lokal, klub-klub pun bermunculan. Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football menulis, klub tertua Qatar adalah Al-Najah Sports Club (kini Al-Ahli SC) yang lahir pada 1950. Kompetisi pertama di Qatar adalah turnamen Izz al-Din, yang diikuti sejumlah klub di bawah naungan perusahaan-perusahaan minyak di Qatar. Dukhan SC, klub jawara liga yang digagas Petroleum Development Qatar pada 1950-1951 (Foto: Daily Mail) Pada 1950-1951, Petroleum Development Qatar membuat kompetisi bertipe liga di mana juara pertamanya adalah Dukhan Sports Club. Naiknya animo masyarakat terhadap sepakbola kemudian melahirkan induk sepakbola, Qatar Football Association, pada 1960 QFA. Liga resmi Qatar mulai bergulir tiga tahun berselang. Pertandingan-pertandingannya berlangsung di Doha Sports Stadium, stadion pertama Qatar yang dibangun pada 1962 dan menjadi satu-satunya lapangan yang beralaskan rumput sebelum adanya Khalifa International Stadium pada 1975. Selesai dengan urusan liga, Qatar serius membangun timnas sejak 1969. Adalah Taha Toukhi, pelatih asal Mesir yang jadi pembesut pertamanya. Hingga kini, Qatar lebih sering menggunakan pelatih asing. Data RSSSF menyebut hanya empat pelatih lokal yang menangani timnas Qatar: Mohammed Daham (1988), Abdul Mallalah (1993), Saeed al-Misnad, Fahad Thani (2013-2014). Tampil di Peta Sepakbola Dunia QFA melamar ke FIFA pada awal 1970 dan diterima tahun itu juga. Qatar melakoni laga internasional resmi pertamanya di ajang Arabian Gulf Cup (kini Gulf Cup of Nations) kontra tuan rumah Bahrain, 27 Maret 1970. Qatar keok 1-2 di turnamen yang hanya diikuti empat negara itu (Bahrain, Kuwait, Qatar dan Arab Saudi). Di tingkat benua, Qatar pertamakali eksis di kualifikasi AFC Cup pada 1975, namun gagal lolos ke putaran final yang digelar 1976. Pun di kualifikasi Piala Dunia 1977, Qatar gagal lolos ke Piala Dunia 1978. Pun begitu, Qatar telah menegaskan identitas mereka di peta sepakbola dunia. Tim junior mereka bahkan pernah bikin kejutan di Piala Dunia Junior (kini Piala Dunia U-20) di Australia, 3-18 Oktober 1981. Setelah lolos dari Grup A, Qatar menyingkirkan Brasil 3-2 di perempatfinal dan Inggris 2-1 di semifinal. Sayang, kejutan Qatar terhenti di final kala Badr Bilal dkk. kalah 0-4 dari Jerman Barat. “Momen melawan Inggris tak diragukan lagi jadi momen terhebat dalam karier saya,” kenang Bilal yang mencetak gol kemenangan Qatar atas Inggris di semifinal. Timnas Qatar di final Piala Dunia Yunior 1981 kontra Jerman Barat (Foto: fifa.com) Prestasi itu berulang 11 tahun berselang di Olimpiade Barcelona 1992. Qatar, yang ditukangi pelatih legendaris Brasil Evaristo de Macedo, melaju sampai perempatfinal. Laju mereka baru berhenti setelah dikalahkan Polandia 0-2 di Camp Nou.  Di tahun yang sama, Qatar untuk kali pertama juara Gulf Cup di negeri mereka sendiri. Prestasi itu mereka ulangi tahun 2004 dan 2014. Walau pelan, kemajuan sepakbola Qatar berjalan konstan. Penyebabnya, pemerintah Qatar punya perhatian besar di sektor olahraga. Terlebih, setelah Qatar National Vision 2030 dicetuskan pemerintah pada Oktober 2008. Selain banyak membangun infrastruktur sepakbola, Qatar membangun para atletnya secara serius lewat Aspire Academy, yang dibuat Emir Qatar lewat dekrit Nomor 16 Tahun 2004. Qatar juga terus menyempurnakan liganya dengan mendatangkan banyak pemain asing untuk diambil ilmunya. “Timnas yang bagus itu hasil dari liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Makanya akademi harus dijalankan secara profesional. Jangan melihat investasi akademi itu sebagai beban,” kata pengamat sepakbola Timo Scheunemann kepada Historia , Oktober 2018. Upaya serius Qatar akhirnya membuahkan hasil di AFC U-19 2014 di Myanmar. Kesuksesan itu tak lepas dari komposisi tim, yang berisi atlet-pelajar jebolan Aspire Academy. Untuk mengatasi kekurangan pemain mengingat kecilnya jumlah penduduk, Qatar belakangan mengisi timnasnya dengan pemain naturalisasi, yang juga juga bertujuan agar lebih kompetitif. “Satu-satunya cara Qatar bisa kompetitif adalah mengimpor pemain dan menaturalisasi mereka,” ungkap Jesse Fink dalam 15 Days of June: How Australia Became a Football Nation .

  • Santapan Aneh Para Raja

    Pada masa lalu di Jawa, tak semua orang bisa makan daging. Rakyat dan kalangan kerajaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Sementara raja memiliki hak istimewa dalam menyantap daging bahkan makanan yang tidak biasa, seperti kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri. “Kadang kalau orang sekarang mikir itu makanan menggelikan. Tapi itu dulu dimakan. Misalnya asu buntungan, anjing yang tak punya buntut. Lalu cacing. Itu dibuat masakan,” kata Lien Dwiari Ratnawati, peminat kuliner, arkeolog, dan kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam berbagai sumber teks kuno, makanan tak biasa bagi raja disebut rajamangsa. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan sebutan rajamangsa terdiri atas dua kata, yaitu raja dan mangsa . Kata raja mendapat serapan dari bahasa Sanskreta, rajya . Secara harfiah berarti raja, yang bekuasa, pemimpin. Adapun mangsa atau mansa juga dari bahasa Sanskreta, artinya daging, mangsa, makanan, pemakan daging, menghabiskan, melahap. “ Rajamangsa secara harfiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja,” kata Dwi. Rajamangsa diperuntukkan bagi penguasa tertinggi kerajaan, baik di kerajaan pusat (maharaja) maupun di kerajaan bawahan (raja).  Selain dalam kitab Purwadigama dan Siwasasana , kata rajamangsa juga ditemukan dalam prasasti. Transkripsi prasasti milik H. Kern (VG VII.32f dan VIIIa), ahli epigrafi Belanda, menyebut wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawang baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih .  “ Wedus gunting artinya kambing yang belum keluar ekornya; baning itu penyu, kura-kura; karung itu babi hutan, diberi sebutan karung pulih, kata pulih bisa jadi menunjuk pada babi dikebiri,” kata Dwi. Dalam transkripsi prasasti milik epigraf lainnya, A.B. Cohen Stuart, dengan kode CSt 7 disebutkan karung mati ring gantungan . Kemudian pada kumpulan transkripsi prasasti milik J.L. Brandes terdapat sebutan lain asu ser . Karung mati ring gantungan , kata Dwi, mungkin menunjuk pada babi yang ditangkap mati dalam jerat. Asu tugel artinya anjing yang dikebiri atau dengan sebutan asu ser. Kata ser mungkin artinya sama dengan sor, yang berarti dikebiri, yang ditandai dengan memotong ekornya ( asu buntung ). Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M), juga disebut makanan yang hanya boleh disantap oleh raja: badawang, wedus gunting, karung pulih, asu tugel. Arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, dalam makalahnya, “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV , menerjemahkan wedus gunting sebagai kambing muda yang belum keluar ekornya. Sedangkan karung pulih adalah babi hutan aduan. Kendati rajamangsa dikhususkan untuk raja, dalam beberapa kesempatan orang di luar lingkungan istana juga bisa mencicipi santapan itu. Mereka adalah penerima anugerah ( waranugraha ) dalam upacara sima. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, hak mengonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. “Anugerah berupa hak istimewa, dia dan keluarganya diperkenankan untuk menyantap menu khusus raja itu,” kata Dwi.

  • Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran

    BUS melaju dari Yogyakarta ke Trenggalek. Lasmidjah dan Sutono serta Parmin menumpang bus itu. Mereka bersandar di kursi untuk melepas lelah selepas menghadiri Konferensi Partindo tahun 1933. Setelah menempuh jarak hampir 300 km, mereka tiba di Trenggalek. Sejurus kemudian Lasmidjah melambaikan tangan, memanggil seorang pengemudi delman untuk mengantarnya ke rumah. Namun baru sampai halaman rumah, Lasmidjah dikejutkan oleh keberadaan anggota PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Intelijen Politik) yang mengepung rumahnya. Lasmidjah dilarang masuk ke rumah dan langsung digiring ke kantor polisi. Runyam! Para polisi menginterogasi Lasmidjah tentang pertemuan politik di Yogyakarta. Wardi, ayah Lasmidjah, yang tak pernah tahu-menahu soal pergerakan, dipanggil bupati. “Anak tuan dokter mengganggu ketertiban umum. Ini sudah lama kami amati. Putri tuan harus segera pergi dari Trenggalek dalam 2x24 jam,” kata bupati. Mula jadi Nasionalis Lahir di Purworejo pada 14 April 1916, Lasmidjah berasal dari keluarga cukup berada. Ayahnya, Wardi, dokter Jawa asal desa Grabag, Kutoarjo. Ibunya bernama Ambarwati, putri priyayi Bojonegoro. Keluarga Lasmidjah melek baca. Meski ibunya tak pernah sekolah, dia kemudian belajar membaca dan punya banyak koleksi bacaan. Kakak Lasmidjah, Paran Alesmartani, merupakan murid Recht Hoge School di Batavia. Lewat Paran, Lasmidjah kenal bacaan sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoi, Anton Chekov, Nikolai Gogol, dan Dostoyevsky. Sementara lewat kakaknya yang lain, Bambang Sugeng, Lasmidjah mulai mengenal tokoh-tokoh nasionalis seperti Sukarno dan dr. Soetomo. “Pada usia antara 14 sampai 15 tahun aku mulai dikarbit dengan buku-buku dan pidato yang menggungah rasa,” kata Lasmidjah dalam memoarnya Perjalanan Tiga Zaman. Pada 1930, Lasmidjah mendirikan Kepanduan Bangsa Indonesia. Anggotanya anak-anak tetangga, teman-teman sekolah, dan adiknya, Wardiningsih. Dalam kepanduan ini Lasmidjah berlatih baris, senam, tali-temali, dan P3K. Tiap Sabtu sore mereka jalan ke desa sebelah untuk latihan. Kegiatan itu tak disukai PID, terutama ketika atribut merah putih digunakan sebagai dasi dan ornamen kepanduan. PID sempat mendatangi rumah Lasmidjah dan memperingatkan agar atribut tersebut tak digunakan lagi. Ketika menginjak tahun ke-6 di HIS, Lasmidjah pulang-balik Trenggalek-Blitar selama liburan. Lasmidjah mengikuti saudaranya, Suwardjo, yang tinggal di Blitar, namun memilih indekos. Waktu liburannya diisi dengan bekerja di perusahaan kontraktor dan mengikuti pertemuan-pertemuan dengan para nasionalis. Di Blitar, Lasmidjah berkenalan dengan tokoh pejuang seperti Nona Supeni (pada 1960-an menjadi duta besar keliling). Lasmidjah juga mengikuti dan membantu persiapan pertemuan besar Partai Bangsa Indonesia yang diketuai Sutopo. Irna Hadi Suwito dalam Kiprah Perempuan Indonesia dalam Satu Abad Kebangkitan Perempuan menulis, dalam pertemuan ini Lasmidjah sempat bertemu dengan dr. Sutomo, residen Surabaya Sudirman dan istrinya Siti Sundari (Sundari kemudian menjadi anggota Gemeente Raad Surabaya). Sekembalinya dari Blitar, Lasmidjah mengajak teman-temannya berkumpul di rumah untuk menyebarkan kabar dan materi ceramah dalam pertemuan kaum nasionalis. “Beberapa hari sejak aku memimpin rapat, ada reserse yang mengawasi rumah kami,” kata Lasmidjah. Pengawasan PID tidak membuat Lasmidjah gentar. Gerakan nasionalis terus diikutinya. Semasa sekolah di MULO Kediri, Lasmidjah ikut mendirikan dan mengajar di Sekolah Perguruan Rakyat di Trenggalek selama liburan. Bersama rekan-rekannya sesama guru, dia mendirikan Partindo cabang Trenggalek dan terpilih menjadi ketua. Anggotanya beragam, dari guru, buruh, tukang sate, tukang cukur, petani, hingga pengusaha kecil. Sebagai ketua Partindo cabang Trenggalek, Lasmidjah kian aktif. Selain sekolah di MULO Kediri, tiap libur dia mengajar di sekolah perguruan rakyat, dan tiap sore mengajar kursus politik di sana. Namun, keaktifannya membuat rumahnya lagi-lagi didatangi PID dan Lasmidjah dikeluarkan dari MULO Kediri. Alih-alih larut dalam kesedihan, Lasmidjah justru makin aktif dalam gerakan nasionalis. Ketika Pantindo mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta pada 1933, Lasmidjah hadir ditemani dua rekannya, Sutono dan Parmin. Di sana dia bertemu tokoh nasionalis seperti Sukarno yang baru keluar dari Penjara Banceuy dan tokoh Gerwani Nyonya Mudigdo.  Ki-ka: Lasmidjah, Sukarno, Juanda, dan Leimena di Istana Negara. Dalam konferensi itulah Sukarno mencetuskan gagasan Marhaenisme. Gatut Saksono dalam Marhaenisme Bung Karno menyebut, konferensi ini memutuskan gagasan Sukarno yang berisi sembilan tesis marhaenisme sebagai azaz partai. “Pengalaman ini membuatku bersungguh-sungguh untuk terbiasa berbicara di depan umum dan juga mencoba hidup sesuai dengan ajaran marhaenisme,” kata Lasmidjah. Sepulang dari konferensi itulah Lasmidjah ditunggu PID di depan rumahnya. Tanpa sempat mengucap salam pada sang ibu, dia langsung dibawa ke kantor PID. Ayahnya diancam bila Lasmidjah tak pergi dari Trenggalek, uang pensiunnya akan dicabut. Ayahnya menahan marah lantaran sejak lama tak sepakat dengan tindak-tanduk putrinya akibat khawatir. Dua hari berselang, ia meninggalkan Trenggalek menuju rumah kakaknya, Paran, di Batavia. Lewat jendela kereta, dia amati pemandangan yang akrab dengannya. Sawah, pohon, sungai, sampai akhirnya semua pemandangan itu menjadi kabur. “Pelupuk mataku tak kuasa menahan tetesan air mata yang terus mengalir,” kata Lasmidjah.

  • Teror Pao An Tui di Medan

    Kalender baru saja memasuki tahun 1946. Pejuang Republik di kota Medan mendapat kejutan tahun baru: orang-orang Tionghoa mendirikan barisan milisi bersenjata. Pao An Tui namannya.   “Para pejuang Indonesia kini mendapat musuh tambahan justru bukan orang yang asing dengan daerah Sumatra, melainkan mereka yang sudah mengenal lorong-lorong dengan segala gang-gang tikus termasuk liku-liku persembunyiannya,” kata Amran Zamzami, mantan veteran di front pertempuran Medan Area, dalam Jihad Akbar di Medan Area . Pembentukan Pao An Tui diizinkan oleh tentara Inggris yang bertugas di Medan untuk melucuti tentara Jepang. Nama resminya adalah Chinese Security Corps (CSC). Orang-orang Tionghoa yang tergabung di dalamnya lebih suka menamai diri Pao An Tui (PAT) yang berarti pasukan penjaga keamanan Tionghoa (保安).   Beberapa catatan menguak sepak terjang PAT. Sebagaimana disebutkan Edisaputra dalam Bedjo Harimau Sumatera , tentara Inggris melatih sekompi Pao An Tui. Mereka dibekali dengan senjata modern otomatis. Kawasan utama yang diamankan PAT adalah Medan dan Belawan. Dalam Etnis Cina dalam Potret Pembaruan di Indonesia, Abdul Baqir Zein menulis PAT dibentuk oleh komandan pasukan Inggris, Brigjen Ted Kelly. Dia melatih dan mempersenjatai 110 pemuda Tionghoa. Seorang tokoh Tionghoa bernama Lim Seng ditunjuk sebagai komandan PAT. Selain pasukan yang solid, pasokan logistik untuk kebutuhan PAT juga terbilang royal. Untuk biaya operasional, PAT mendapat sokongan iuran dari tiap keluarga Tionghoa sebesar 5-7 gulden sebulan. Konsulat China juga turut menyumbang dana untuk kebutuhan sekira seribu personel PAT di Sumatra Timur, yang setiap bulannya menghabiskan 80.000 gulden. PAT tersebar di 14 daerah dengan konsentrasi utama di wilayah Medan, Labuhan, Titi Papan, dan Binjai. Sejarawan LIPI Nasrul Hamdani menguraikan lebih gamblang lagi bagaimana peta kekuatan PAT. Menurut Nasrul, personel PAT pimpinan Lim Seng sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan tempur yang memadai. Persenjataan otomatis berlaras panjang dari jenis tommyguns , owenguns , brenguns serta senjata tangan jenis pistol revolver untuk tiap pemimpin unit atau regu. Selain senjata sisa milik Inggris, PAT mendapat senjata yang diberikan Belanda atas perintah Mayjen D.C. Buurman van Vreeden, staf umum AD Belanda di Medan. Karena dipersenjatai, pemuda-pemuda Tionghoa PAT jadi suka bertingkah. Mereka doyan pamer kekuatan dengan senapan di tangan. Di tengah kota, PAT berlalu-lalang mengadakan patroli dan menjadi penjaga keamanan bagi kelompok etnisnya. “Banyaknya jumlah personel PAT yang menumpuk di Medan membuat patroli PAT terlihat sangat berlebihan. Dalam satu hari, ada dua sampai lima kali patroli dan kadang menggeledah. Tindakan ini kerap menuai protes warga Cina sendiri,” tulis Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. Di hari-hari selanjutnya, PAT dipergunakan Belanda sebagai kaki tangan dan mata-mata. Dalam beberapa pertempuran, PAT menjadi alat ampuh untuk mengacaukan gerakan pejuang Republik. Bagi Tentara Republik ataupun kelompok laskar, keberadaan PAT jelas bikin resah. Mereka acapkali muncul dan memukul di luar dugaan. Tak jarang misalnya, ketika berlangsung kontak senjata dengan Sekutu atau Belanda, tiba-tiba sebuah peluru menerjang pasukan Indonesia. Jatuhlah korban. Biasanya tembakan kejutan ini sumbernya datang dari bangunan atau toko-toko dan di saat pasukan Republik dalam keadaan terdesak. Menurut Teuku Alibasyah Talsya, veteran staf penerangan Divisi X, tembakan itu berasal dari senapan serdadu PAT.   “Mereka berlindung di loteng-loteng rumah. Apabila pasukan Republik sedang bertempur berhadapan dengan tentera Belanda, mereka menembak dari belakang,” ujar Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947--1948. Senada dengan Talsya, Amran Zamzami menuturkan, bentrokan senjata antara para pemuda pejuang Republik dengan PAT sering terjadi. Pertempuran tidak hanya berlangsung di dalam kota secara sembunyi-sembunyi atau berhadapan dengan penembak gelap, tetapi juga merembet ke luar kota Medan. Di kawasan front Medan Area, PAT membantu Belanda melalui orang-orang mereka warga Tionghoa yang tinggal di sepanjang daerah pertokoan atau perkebunan yang mereka miliki, merentang dari Medan ke Binjai. “Maka kebencian rakyat pun kian meningkat,” kata Amran. Sampai-sampai lagu "Mariam Tomong" yang terkenal di masa revolusi itu diplesetkan liriknya oleh para pemuda yang ditujukan pada PAT. Hadong motor Chipirolet (Ada mobil chevrolet) BK na sepuluh dua  (Nomor platnya dua belas) Hadong tembakan meleset (Ada tembakan meleset) Dari Poh An Thui agennya NICA (Dari Poh An Tui agennya NICA) Oh, mariam tomong da inang (Oh, meriam tomong ibunda) Oh, mariam tomong... (Oh, meriam tomong) Apa yang menyebabkan pasukan PAT bisa beringas begitu rupa? (Bersambung).

  • Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek?

    DALAM surat edaran tertanggal 23 Januari 2019 yang belakangan viral, Forum Muslim Bogor menyeru agar “seluruh Umat Islam ... tidak menghadiri dan mengikuti” serangkaian perayaan tahun baru Imlek “yang dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas [di bulan yang sama].”

bottom of page