Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mati Mendadak karena Penis Menyusut
SEORANG laki-laki mengeluh kelaminnya menyusut. Panik bukan kepalang, dia buru-buru ke dokter diantar rekan-rekannya. Menurut dokter, kondisinya baik-baik saja, dia tak menderita apa pun sehingga dia disuruh pulang oleh dokter itu. Tapi beberapa waktu kemudian, lelaki itu meninggal. Teman-temannya yang penasaran lantas menengok jenazah lelaki itu. “Karena saking penasarannya, mereka memeriksa alat kelamin temannya yang sudah meninggal. Mereka pikir kelaminnya benar-benar menyusut karena tidak sebesar harapan mereka,” kata David Mitchell, dokter ahli jiwa sekaligus peneliti antropologi medis, pada Historia sambil terkekeh. Mitchell mendapatkan cerita itu kala berkunjung ke Sulawesi Selatan. Mitchell tertarik meneliti koro sejak tahun 2000-an. Koro merupakan penyakit psiko-sosio-kultural yang tersebar di Malaysia, Singapura, Tiongkok Selatan, India, dan Indonesia. Pasien yang menderita koro akan menerima serangan panik karena takut terhadap penyusutan penis. Mereka percaya bila penis sudah menyusut sampai masuk ke dalam perut, mereka bisa mati mendadak. Dari penelusuran Mitchell dalam artikelnya “Curing Koro, The Shrinking Penis Disease”, koro pertama tercatat di pedesaan dekat Pelabuhan Makasar pada 1859. Dalam catatan JC Blonk, Geneeskundige Tijdschifte voor Nederlandsch Indie, koro adalah kondisi akut yang menyerang pasien dengan tiga ciri khas sindrom: serangan panik, keyakinan bahwa penis menyusut, dan takut penisnya akan hilang di dalam perut lalu menyebabkan kematian. Kata koro sendiri berasal dari Bugis dan Makasar meski ada beragam versi tentang asalnya. Fisikawan Belanda PM van Wulfften Palthe, seperti dikutip Ronald C Simons dalam The Culture-Bound Syndromes, menulis koro berasal dari kuro atau kura-kura. Orang Malaysia dan Tiongkok menyebut kura-kura sebagai padanan penis menyusut karena kepala kura-kura yang bersembunyi ke dalam cangkangnya mirip dengan penis mengerut yang seolah masuk ke perut. Namun pada dasarnya, koro dalam bahasa Bugis berarti menyusut atau mengecil. Orang-orang menyebut laso koro yang berarti “penis mengecil” supaya maksudnya jelas. Sementara, di Tiongkok Selatan penyakit ini dikenal dengan suo-yang , di Thailand disebut rook-joo , di Mindanao lannuk e laso , dan di India sebagai jhinjhini . Keributan tentang penyakit koro segera menarik perhatian orang Eropa. Pada 1935, JA Slot meneliti penyakit ini dengan mewawancara pasien dan dukun bernama Daeng Rahing. Para mantan pasien mengaku kalau penis mereka mengecil secara mendadak dan Daeng Rahing berhasil menyembuhkannya. Dari Daeng Rahing, Slot mendapat ciri penderita koro: ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Namun, Slot tidak yakin penyusutan penis benar-benar terjadi mengingat ciri penyakit lebih mirip gejala gangguan mental, pun obat yang diberikan dukun sebatas ramuan dari tanaman obat biasa. Hina Panjarra, dukun di Sumba yang ditemui Mitchell, mengatakan dirinya menyaksikan penis mengecil dan mengembalikannya ke ukuran normal. Selain itu, penduduk desa juga percaya penis laki-laki yang pingsan dan mati mendadak memang tampak menyusut. “Jelas lebih kecil dari biasanya,” kata Mitchell menirukan ucapan penduduk desa. Mitchell melanjutkan, di Sumba penyakit ini dianggap keadaan alamiah, kondisi tubuh saja. Namun, di Flores, yang menyebut koro dengan ru’u pota , orang percaya bahwa koro adalah tulah sebagai akibat dari ilmu magis yang sengaja dipasang untuk melindungi tanaman atau kebun. Orang yang terkena koro bisa jadi habis mencuri tanaman. “Tapi biasanya mereka mengaku hanya lewat saja,” kata Mitchell. Di Sulawesi Selatan, koro merupakan cara istri menghukum suami yang selingkuh. Bila seorang istri menganggap suaminya selingkuh, dia akan menambah beberapa ramuan penyusut penis, semisal kencur yang ditakuti lelaki Sulawesi Selatan, ke dalam makanannya. “Si istri akan menaruh sedikit kencur di makanan suaminya untuk mencegah suaminya melakukan kegiatan ‘itu’ dengan selingkuhanya. Karena penisnya menyusut, si lelaki jadi batal untuk selingkuh, ha-ha-ha,” sambung Mitchell. Para suami yang takut kalau istri mereka mengetahui perselingkuhan itu biasanya pergi ke dukun untuk mencegah penyakit koro. Sementara para dukun menerima semua keluhan koro pada pasien mereka, para dokter di layanan medis kolonial tidak memercayai adanya penyusutan penis. Para dokter memasukkan koro ke dalam ganggguan kejiwaan. Mereka mendiagnosis pasien terkena serangan panik ditambah delusi bahwa penis mereka menyusut padahal sebenarnya penis mereka tidak menyusut samasekali. Ketakutan itu didasari oleh pandangan masyarakat yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tak ada simbol maskulinitas yang lebih kuat dari phallus atau penis. Jadi menurut para dokter, koro disebabkan oleh ketakutan mendalam akan lunturnya maskulinitas dalam diri seorang lelaki. Pengagungan maskulinitas dalam diri lelaki dipahami betul oleh para pasien. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah delusi akan penyusutan penis. Karena itu lah orang-orang di Sulawesi menjadikan koro sebagai ejekan kepada lelaki. “Tapi mereka tidak peduli mau itu penyakit mental atau santet, sebab mereka sudah ketakutan kalau penisnya mengecil dan terus mengomel soal itu. Ha-ha-ha,” kata Mitchell tertawa jahil. Mitchell sendiri tidak yakin penis benar-benar mengecil karena belum menelitinya lebih dalam. Penelitian sebelumnya yang dilakukan sarjana Eropa menduga para pasien merasa sembuh setelah berobat ke dukun karena kecemasannya berkurang. Dukun tidak benar-benar mengembalikan penis ke ukuran semula, melainkan hanya mengatasi kecemasan pasien. “Saya belum pernah lihat dan punya bukti. Tapi mungkin saja benar-benar mengecil atau bisa jadi hanya imajinasi. Sejauh ini, koro masih dikategorikan sebagai gangguan mental,” kata Mitchell.
- Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
TERIK mentari Kota Moskva siang 28 Juni 2018 tak mampu menghentikan Presiden Vladimir Putin menikmati permainan si kulit bundar. Ditemani Presiden FIFA Gianni Infantino, Putin justru acap tersenyum. Permainan eksebisi yang digelar di lapangan buatan di Lapangan Merah itu dihelat sebagai salah satu agenda perayaan Piala Dunia 2018. Eksebisi menghadirkan laga antara tim cilik FC Totem melawan tim berisi para legenda macam Iker Casillas, Lothar Matthäus, Ronaldo, Carles Puyol, dan para legenda Rusia seperti Alexey Smertin dan Dmitry Bulykin. “Ini (Lapangan Merah, red. ) adalah jantung Rusia dan untuk dua bulan ini menjadi jantung dunia dan dunia sepakbola,” sebut Infantino, dikutip laman FIFA, 28 Juni 2018. Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin (tengah) sedang menggiring bola di arena buatan di Lapangan Merah (Foto: kremlin.ru) Lapangan Merah atau Krásnaya Plóshchad dalam bahasa Rusia merupakan alun-alun besar di timur (Istana) Kremlin dan dibangun pada akhir 1400-an di masa Tsar Ivan III. Lapangan Merah hingga kini acap dijadikan tempat untuk berbagai parade budaya dan militer. Namun, ia hampir tak pernah dijadikan tempat bermain sepakbola. Eksebisi untuk Stalin Semasa Uni Soviet, Lapangan Merah punya cerita lain. Ia tak hanya jadi tempat parade militer dan budaya, namun juga olahraga. Di sanalah Physical Culture Day atau Parade Hari Budaya Olahraga yang eksis sejak 1931 berlangsung. Di masa itu, “Pembersihan Besar-besaran” (1936-1938) masih berlangsung. Semua tokoh berlomba untuk bisa dekat dengan Stalin dengan harapan nyawa mereka aman. Nikolai Starostin, pendiri Spartak Moskva dan Aleksandr Kosarev, pemimpin Komsomol (Liga Pemuda Komunis Soviet), juga ikut dalam “perlombaan” itu. Berbeda dari tokoh lain, Starostin dan Kosarev memilih sepakbola sebagai wahana untuk memenangkan hati Stalin. Maka, pada 1936 laga eksebisi tim Spartak Moskva dihelat di Lapangan Merah. Robert Edelman dalam Spartak Moscow: A History of the People’s Team in the Workers’ State menguraikan, parade pada 1936 itu ingin dijadikan “panggung” tersendiri oleh Kosarev dan Starostin. Makanya dengan beragam intrik, mereka berupaya mengundang semua pejabat Soviet, tentu termasuk Stalin untuk bisa menyaksikan laga bola Spartak. Untuk persiapannya, sekira 300 atlet Spartak (dari berbagai cabang di bawah organisasi Spartak Moskva) dikerahkan untuk membuat karpet hijau berukuran lapangan bola guna menutupi Lapangan Merah sebagai arena sepakbola buatan. Para pejabat Soviet dan Stalin diberikan tempat khusus di Mavzoléy Lenina atau Mausoleum Lenin. Starostin dan Kosarev mati-matian meyakinkan seorang jenderal yang, identitasnya hingga kini tetap tak diketahui, khawatir hajatan itu bisa menimbulkan kesan negatif di mata Stalin. “Orang yang harus diyakinkan Starostin adalah seorang jenderal dari kepolisian rahasia yang awalnya sangat skeptis. Dia tak ingin ada pemain cedera di hadapan Stalin pada hari besar itu,” tulis Edelman. Setelah berhasil meyakinkan Kosarev, Starostin menginstruksikan kepada para pemainnya agar tak boleh melancarkan banyak tekel dan mesti sigap menghindari tekel. Bila ada yang kena tekel, mereka tak boleh memperlihatkan rasa sakit di hadapan Stalin. Satu lagi, bola jangan sampai terlontar liar mengenai tribun Stalin. Pertandingan akhirnya digelar pada 6 Juli 1936, mempertemukan dua tim asal Spartak: tim utama melawan tim cadangan. Dinamo tak mereka undang dalam eksebisi itu. Selain rivalitas, mereka tak ingin menyediakan panggung buat anak-anak asuh Lavrentiy Beria, sekretaris Partai Komunis Uni Soviet yang menjadi pengasuh Dinamo Moskva. Laga eksebisi tim utama vs tim cadangan Spartak Moskva di Lapangan Merah dalam rangka Physical Culture Day 1936 (Foto: Moscow House of Photography) Untuk menjaga mood Stalin, yang bukan penggemar sepakbola dan sangat jarang nonton bola, Kosarev duduk di sebelah Stalin dan selalu siap dengan sapu tangan putihnya. Kosarev akan melambaikannya jika melihat Stalin nampak bosan. Itu merupakan kode untuk Starostin yang ada di pinggir lapangan. Dengan kode itu, Starostin akan memerintahkan timnya untuk tampil lebih atraktif. Laga eksebisi yang resminya dua kali 15 menit itu berjalan 13 menit lebih lama di babak kedua. Tim utama Spartak menang 4-3. Kosarev dan Starostin beserta “anak-anak” mereka girang. Beberapakali Stalin tampak sumringah dan selalu memberi tepuk tangan setiap kali gol tercipta. Lebih lega lagi buat Kosarev dan Starostin, tak ada bola yang melayang liar ke arah tribun kehormatan tempat Stalin berada. Reaksi girang Stalin jadi kemenangan politis buat Kosarev.
- Wartawan Indonesia di Piala Dunia
KERETA api itu berhenti di dekat Stadion Santo Yakobus, Basel, Swiss. Sebagian besar penumpangnya orang Jerman Barat. Dari jendela kereta, penumpang bisa melihat pertandingan Jerman Barat melawan Hungaria pada 20 Juni 1954. Sebab letak rel kereta berada lebih tinggi daripada stadion. “Dengan demikian orang-orang Jerman masih juga dapat mengikuti pertandingan itu dari jendela kereta api,” tulis Suharso dalam “Kesan-Kesan Semasa Merebut Kedjuaraan Sepakbola Sedunia 1954”, termuat di Aneka, No 15, 20 Juli 1954. Suharso bekerja sebagai kontributor majalah Aneka dalam Piala Dunia 1954. Dia mungkin menjadi salah satu wartawan asal Indonesia yang paling awal meliput Piala Dunia setelah kemerdekaan. Latar belakang Suharso tak banyak tersua dalam literatur sejarah pers Indonesia. Namanya muncul sepintas lalu dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka terbitan Departemen Penerangan. Di situ tertulis bahwa Suharso menjadi pelopor pembentukan Seksi Wartawan Olahraga Indonesia Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) Jakarta pada 1966. Laporan Suharso tentang Piala Dunia 1954 berkali-kali muncul di Aneka edisi Juni-Juli 1954. Aneka merupakan salah satu majalah olahraga dan film ternama di Indonesia pada dekade 1950-an. Artikel olahraga Aneka mempunyai kekhasan daripada artikel majalah olahraga sezaman seperti Panorama, Tjakram , Arena Sport , dan Olah Raga . Aneka kerap menghadirkan artikel olahraga karya penulis-penulis Indonesia dari sudut pandang yang tak terduga, sedangkan majalah olahraga lainnya banyak menyadur atau menerjemahkan artikel wartawan olahraga luar negeri. Kekhasan lain Aneka ialah mampu bertahan beberapa lama, dari terbit perdana pada pertengahan 1950 hingga tutup cerita pada dekade 1960-an. Menurut Kurniawan Djunaedi dalam Rahasia Dapur Majalah Indonesia, majalah olahraga ketika itu lazimnya berumur pendek. Salah satu kekhasan Aneka tampak dalam artikel-artikel Suharso tentang Piala Dunia. Dia menyajikan pernak-pernik unik Piala Dunia kepada pembaca Indonesia. Misalnya tentang sebuah kereta sengaja berhenti untuk memberi orang Jerman Barat kesempatan menonton sepakbola. Suharso bercerita pula cara tuan rumah Swiss mempersiapkan Piala Dunia. “Pada waktu itu juga kepada semua penduduk-penduduk di tempat-tempat pertandingan, Bern, Basel, dan lain-lain, diedarkan formulir-formulir dengan pertanyaan apakah sudi menyediakan satu atau dua tempat buat menginap, yang akan diganti ongkos kerugiannya,” tulis Suharso. Suharso juga kasih tahu pembaca Indonesia bagaimana cara orang menonton pertandingan di Piala Dunia. Panitia telah menjual tiket pertandingan kepada penonton sejak tiga bulan sebelum hajatan digelar. “Tetapi bukan karcis yang diterima oleh si pemesan, akan tetapi sebuah surat yang mengatakan bahwa si pemesan sudah mendapat karcis, yang akan dikirim beberapa hari sebelum pertandingan,” kenang Suharso. Tapi sebagai wartawan, Suharso tak perlu memesan tiket jika ingin menonton pertandingan. Dia cuma perlu memiliki kartu identitas resmi dari panitia untuk akses masuk ke stadion. Masalahnya jalan untuk memperoleh kartu identitas itu berliku. “Ini lebih-lebih sulit,” ungkap Suharso dalam Aneka , No. 1, Februari 1956. Panitia Piala Dunia 1954 membentuk Bureau l’Association de la Presse Sportive untuk melayani keperluan peliputan wartawan dari antero dunia. Kantornya berupa gubuk rongsok di pinggir kali. “Orang tidak akan percaya kalau tempat rongsok itu telah berjasa sekali dalam pertandingan sepakbola sejagat di tahun 1954,” lanjut Suharso. Suharso mengisi formulir izin peliputan di gubuk rongsok itu. Daftar isiannya antara lain data diri dan foto Suharso. Syarat lainnya ialah contoh terbitan media tempat bekerja Suharso, kartu pers, dan sejumlah foto hasil jepretannya. Ketika telah memperoleh kartu identitas peliputan, Suharso tak bisa sembarang duduk di stadion. Tempatnya sudah ditentukan panitia. Juru foto boleh berada di tepi lapangan. Tapi mereka dilarang memotret suasana pertandingan dengan blitz kamera. Posisi wartawan penulis berada di tribun. Kalau masih ada kursi, mereka boleh duduk. Namun jika penuh, terpaksa berdiri. Selama meliput Piala Dunia, Suharso bersama seorang wakil PSSI. Namanya Moerdono. Suharso menyarankan Moerdono agar mendatangkan tim Hungaria ke Indonesia. Menurut Suharso, Hungaria memiliki permainan rapi dan cepat. Siasat ini sukses membawa mereka menembus final untuk melawan Jerman Barat. Meskipun Hungaria kalah oleh Jerman Barat, Suharso yakin Hungaria bisa kasih timnas Indonesia banyak pelajaran jika PSSI mau mendatangkan mereka. “Kalau PSSI ingin maju dalam Olimpiade di Melbourne nanti pada tahun 1956, rasanya tidak ada buruknya untuk mengundang juga Ungarn (Hungaria, red. ) ke Indonesia,” kata Suharso kepada Moerdono. Mendengar usulan Soeharso, Moerdono hanya menggelengkan kepala. Timnas Hungaria tidak pernah datang ke Indonesia. Prestasi timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne pun sebatas menahan imbang Uni Soviet dengan skor 0-0. Di pertandingan ulangan, timnas Indonesia menyerah 0-4 kepada Uni Soviet. Mungkinkah hasilnya berbeda jika pengurus PSSI mendengar saran Suharso?
- Misteri Piala Dunia di Patagonia
EUFORIA dan pengaruh sepakbola tak mengenal situasi dan kondisi. Bahkan saat sebagian besar wilayah di bumi terbakar Perang Dunia II, pesta permainan si kulit bundar tetap bergulir lewat perhelatan Piala Dunia 1942 di Amerika Latin. Sebagaimana “Piala Dunia” tak resmi di Jerman, Piala Dunia ini juga tak diakui. Organisasi sepakbola manapun, terlebih FIFA, tak pernah mengakuinya. “Memang Piala Dunia 1942 tak pernah disebutkan di buku sejarah manapun, namun pernah dimainkan di Patagonia, Argentina,” ungkap Osvaldo Soriano dalam Pensare con i Piedi . “Piala Dunia” Patagonia, wilayah yang –kini terbagi antara Argentina dan Cile– pada 1942 masih masuk ke dalam kekuasaan Raja Antoine III dari Kerajaan Araucanía dan Patagonia, berlangsung pada medio November 1942. Turnamen ini digagas Menteri Olahraga Kerajaan Patagonia asal Balkan, Count Vladimir von Otz. Pesertanya diikuti 12 tim. Tim-tim yang berlaga tak hanya tim nasional Italia, Polandia, Jerman, Brasil, Skotlandia, Inggris, Uni Soviet, Uruguay, Spanyol, dan Prancis, tapi juga tim-tim lokal Real Patagonia dan Mapuche. Mereka umumnya diisi pemain yang merupakan imigran, pekerja tambang, buruh, dan orang-orang Indian Mapuche. Laga pembuka digelar 8 November 1942 dengan menghadirkan tim Italia kontra Real Patagonia. David Wood dalam Football and Literature in South America menguraikan, Piala Dunia 1942 Patagonia memunculkan tim Indian Mapuche sebagai juara setelah di final mengalahkan Jerman 2-1. Meski banyak orang hingga kini masih mempertanyakan kebenaran turnamen tersebut, selubung misteri Piala Dunia mulai tersibak tahun 2011 kala sineas Italia Lorenzo Garzella dan Filippo Macelloni merilis dokumenter bertajuk “Il Mundial Dimenticato” atau “Piala Dunia yang Hilang”. Dokumenter 95 menit itu menampilkan riset jurnalis senior Argentina Sergio Levinsky, beberapa temuan Garzella-Macelloni, dan wawancara sejumlah tokoh mulai Jorge Valdano (mantan striker Argentina) hingga João Havelange (presiden FIFA 1974-1998). Dokumenter itu juga menyajikan seorang Indian Mapuche bernama Sarkento yang mengaku turut menjadi bagian tim Mapuche. “Di antara para pemain di tim (Mapuche), saya yang paling muda. Itulah kenapa saya sekarang (2011) masih hidup,” ujar Sarkento dalam dokumenter itu. Dari sejumlah temuan Garzella-Macelloni yang ditampilkan dokumenter, ada foto upacara pembukaan yang memampang Van Otz sedang berdiri di antara kedua tim dengan memegang trofi Jules Rimet. Van Otz merupakan orang yang menugaskan Guillermo Sandrini, kameramen Argentina berdarah Italia, mendokumentasikan “Piala Dunia” Patagonia. Trofi Jules Rimet yang ada di foto hingga kini masih jadi misteri apakah asli atau hanya replika. Penelusuran Levinsky belum sampai ke situ. Pun dengan temuan arsip rekaman Guillermo Sandrini. Mayoritas orang mengganggap Piala Dunia itu misteri berselubung mitos atau sekadar legenda. Ketidakpercayaan publik diperkuat oleh beberapa keganjilan dalam dokumenter. Salah satunya, ada wasit di turnamen itu yang merupakan putra Butch Cassidy, bandit pelarian dari Amerika Serikat. Dia dikatakan mewasiti laga bukan dengan peluit, tapi dengan pistol. Alhasil, banyak orang menganggap dokumenter itu cenderung sebuah Mockumentary alias dokumenter palsu. Pendapat lain, termasuk dari tokoh-tokoh yang diwawancara dokumenter itu, menganggap “Piala Dunia” Patagonia sekadar legenda. “Meski jika (Piala Dunia Patagonia 1942) itu hanya sebuah legenda, tetap penting bagi sepakbola,” kata Havelange di dokumenter itu sebelum tutup usia pada 2016.
- Upaya Berarti di Saumlaki
BULAN ini, Juli, 76 tahun silam. Sersan KNIL Julius Tahija mendapat tugas memimpin pasukan berlayar ke Maluku dari markas pengasingan mereka di Australia. Dia belum tahu tujuan pasti dan misi yang diembannya karena surat perintah yang diterimanya baru boleh dibuka di tengah perjalanan. Dia hanya tahu, tugasnya merupakan bagian dari upaya ABDACOM/Sekutu menahan gerak-maju pasukan Jepang yang menggunakan strategi lompat katak, yakni menduduki satu pulau untuk pijakan menduduki pulau berikutnya. Meski tak siap menghadapi invasi Jepang, KNIL tak ingin kedatangan Jepang ke Hindia Belanda berjalan mulus. Sejak mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, Jepang dengan cepat menduduki daerah-daerah di selatan. Di Maluku, kabar akan datangnya Jepang sudah tersiar sejak akhir 1941. “Berita radio mengabarkan tidak lama lagi musuh akan datang. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari,” tulis Roger Maynard dalam Ambon: The Truth About One of the Most Brutal POW Camps in World War II and the Triumph of the Aussie Spirit . Penduduk berbondong-bondong mengungsi. Sebuah serangan terhadap bandara dan Pelabuhan Darwin pada 19 Februari, menewaskan 240 orang, merisaukan ABDACOM (American-British-Dutch-Australia Command) akan datangnya serangan Jepang ke Australia. Untuk mengantisipasinya, mereka menyusun rencana perlawanan guna menggagalkan taktik lompat katak Jepang. ABDACOM lalu mengirim tim-tim kecil berisi 10-1000 personil ke berbagai pulau di tiga jalur utama menuju Australia dari utara. Namun, upaya itu justru menjadi blunder karena banyak personil Sekutu itu ditawan dan dibunuh Jepang. Seruan dari lapangan agar langkah tersebut dihentikan, tak mendapat perhatian. Pengiriman tim-tim kecil tetap berjalan. Tahija dan pasukannya berangkat pada awal Juli 1942. “Saya memimpin salah satu kelompok yang terdiri atas 13 tentara Hindia Belanda,” kata Tahija dalam otobiografinya, Julius Tahija Melintas Cakrawala . Mereka berlayar menggunakan kapal tua Griffioen yang hanya punya senapan dek ringan tapi tak dilengkapi radio komunikasi. “Begitu sampai di laut, saya membuka surat perintah. Kami harus pergi ke Desa Saumlaki di Pulau Jamdena di Kepulauan Tanimbar, 350 mil utara Darwin.” Mereka tiba di pulau berpenduduk 5000-an jiwa itu pada sebuah malam setelah melewati laut yang tak bersahabat. Kala itu, satu-satunya akses untuk memasuki pulau hanya dermaga kecil yang menjorok ke laut, tempat Griffioen bersandar. Dengan bantuan seorang inspektur polisi beserta 26 bawahannya plus penduduk setempat, Tahija dan pasukannya membuat parit perlindungan di sekitar dermaga untuk menyambut kedatangan musuh. “Jadi parit pertahanan kami tempatkan di pantai. Ini taruhan. Kalau saya salah, atau kalau Jepang mendarat di siang hari, kapal perangnya akan menghancurkan kami dalam waktu beberapa detik saja,” ujarnya. Pada pukul 11 malam 29 Juli, Tahija pamit tidur kepada seorang pendeta yang mengajaknya ngobrol. Setelah tidur dan memimpikan sang pendeta, Jean istrinya, dan perang, Tahija terkaget-kaget karena dibangunkan prajurit jaga. Prajurit itu memberitahu dua kapal Jepang baru saja masuk Teluk Jamdena. Tahija langsung ke ujung dermaga untuk memastikannya. Dia lalu mendapati dua kapal perang Jepang itu sedang menurunkan para prajurit bersenjata lengkap ke sekoci-sekoci yang akan membawa ke dermaga. Setelah kembali ke markas, Tahija dan pasukannya langsung bersiap di posisi masing-masing untuk menyambut kedatangan para serdadu Jepang. Tahija amat khawatir keputusannya salah. Sementara, keyakinan bahwa Saumlaki tak dijaga membuat pasukan Jepang maju tanpa curiga sehingga tak sedikitpun melakukan pengecekan. “Dari parit persembunyian kami kini tinggal kira-kira 45 meter; berarti sudah masuk dalam jangkauan tembakan kami. Pada saat itulah saya menerikkan aba-aba dalam bahasa Belanda: ‘ vuren !’,” kenang Tahija. Puluhan serdadu Jepang langsung tumbang. Mereka kocar-kacir, suasana dermaga gaduh. Semangat tempur Sekutu melonjak. Para serdadu Jepang yang masih hidup langsung memberi tembakan balasan. Meriam-meriam kapal perang Jepang memberi tembakan bantuan tak lama kemudian. Rombongan kedua pasukan Jepang, yang menjadikan jasad teman-teman mereka yang tewas sebagai tameng, datang membantu. Tembakan-tembakan Jepang mulai banyak memakan korban. Tahija sendiri kena pecahan peluru kaki kirinya. “Tindakan yang paling realistis adalah mundur ke hutan,” kata Tahija. Setelah mempersiapkan segalanya, termasuk membakar dokumen dan memilih penduduk yang akan diajak, Tahija memerintahkan pasukannya mundur. Sayang, mereka tak berbarengan. Akibatnya, Tahija mesti menunggu anak buahnya sampai dua hari di hutan. Begitu lengkap, mereka menyusuri jalan setapak hutan ke arah barat. Mereka akhirnya tiba di bagian paling ujung pulau. Penduduk setempat menyambut hangat mereka dengan mencukupi kebutuhan hidup selama di sana. Penduduk juga memberi perahu yang digunakan pasukan Tahija untuk menyisir pantai hingga akhirnya mendapatkan bantuan sebuah kapal Bugis dari penduduk desa lain. Dengan kapal itulah mereka kembali berlayar menuju Darwin. Pelayaran pulang tak kalah membahayakan dari pertempuran di darat. Mereka mesti ke utara untuk mengelabui Jepang, lalu berbalik ke selatan menuju Darwin. Mereka terus bersiaga karena khawatir bertemu kapal perang Jepang. Ketika daratan Australia muncul di pelupuk mata, kapal terdampar di karang. Beruntung, pasang air laut datang beberapa jam kemudian sehingga kapal bisa kembali berlayar. Mereka akhirnya mencapai Kepulauan Bathurst. Tahija langsung mendapat laporan bahwa radio Tokyo telah menyiarkan keberhasilan pasukan Jepang yang tinggal selangkah lagi dan gerak maju mereka hanya tertahan sebentar di Saumlaki. Tahija dan sisa beberapa anakbuahnya akhirnya selamat mencapai tanah Australia. “Atasan militer Belanda, yang tahu bahwa sayalah yang melakukan perlawanan tersebut dengan 13 anak buah, mengajukan usul agar saya dianugerahi bintang kehormatan militer tertinggi –secara anumerta karena mengira saya gugur– Militaire Willmes-Orde,” ujar Tahija.
- Jenderal yang Disalahkan
Bandung, 9 Februari 1978. Pagi baru saja menyeruak ketika Maria mendengar suara letusan senjata memecah keheningan. Beberapa saat kemudian dari arah kampus ITB, puluhan mahasiswa terlihat berlarian dalam wajah panik. Sementara di belakang, para serdadu berbaret hijau dengan senjata lengkap mengejar mereka bak binatang buruan. “Di Jalan Trunojoyo pas dekat rumah saya, dua mahasiswa berhasil ditangkap dan langsung dipukuli dengan popor senjata,” tutur perempuan asli Bandung berusia 71 tahun itu. Tak ada yang menolong mereka. Masyarakat yang saat itu ada di jalanan pun tak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menolong, mereka hanya bisa menonton saja pemandangan brutal di depan mata tersebut. Dari halaman rumahnya, Maria masih sempat melihat seorang serdadu berteriak garang. “Ngapain kalian menonton kami! ABRI bukan ketoprak!” Pada waktu yang sama serentetan tembakan menghantam bagian depan rumah Profesor Iskandar Alisyahbana di kawasan Tamansari. Hamburan pelurunya tidak saja berhasil memecah kaca jendela namun juga membuat seluruh penghuninya ketakutan. Keesokan harinya, Iskandar mendatangi rumah Pangdam Siliwangi Mayor Jenderal Himawan Soetanto. Dalam wajah masam, dia meminta penjelasan dan tanggungjawab terkait peristiwa tersebut. “Hoe kunnen jullie zo laf zijn?” tanya Iskandar, kurang lebih artinya mengapa pihak tentara bisa bersikap begitu pengecut kepada dirinya. Awalnya Himawan hanya bisa bengong saja. Namun dengan tegas dia menolak tuduhan Iskandar bahwa prajuritnya yang melakukan tindakan tersebut. Kepada Rektor ITB itu, Himawan menjamin bahwa para prajurit Siliwangi sudah dia perintahkan untuk bertindak persuasif terhadap para mahasiswa. “Saya pastinya menolak jika pelaku penyerbuan dan penembakan itu adalah prajurit Siliwangi, tapi saya tak bisa membantah jika pelakunya adalah tentara. Serakan selongsong peluru kaliber 45 di sekitar rumah Pak Iskandar membuktikan itu,”ujar Himawan dalam suatu wawancara di tahun 2009. Dianggap Lamban Pasca Pemilu 1977, kampus-kampus di Bandung mulai memanas. Aksi menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden nyaris setiap hari dilakukan oleh para mahasiswa. Seruan untuk mogok kuliah pun mulai menggema. Secara resmi, Rektor ITB pun menganggap aksi-aksi mahasiswanya masih dalam batas kewajaran. Iskandar menyebut demonstrasi mahasiswa sebagai gerakan moral yang sebenarnya bagus untuk mengingatkan pemerintah untuk terus berpihak kepada rakyat. “Yang mencolok di kampus ITB ya cuma banner sepanjang lima meter itu yang isinya menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden,” ujar Iskandar seperti dikutip Daud Sinjal dan Atmadji Sumarkidjo dalam Himawan Soetanto Menjadi TNI. Pihak Kodam VI Siliwangi sendiri seperti sependapat dengan Iskandar. Itu dibuktikan dengan seruan Pangdam VI Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto yang memerintahkan anak buahnya untuk menangani aksi mahasiswa lewat cara yang persuasif. “Saya ketika itu memang menyikapi gerakan mahasiswa dengan wajar-wajar saja...Sikap mereka merupakan bagian dari dinamika dan kontrol sosial,” ungkap Himawan. Sikap Himawan tersebut dalam kenyataannya ditentang keras oleh para petinggi ABRI di Jakarta. Kepada jurnalis senior Jopie Lasut, Himawan sempat curhat bahwa saat dipanggil ke Jakarta pada awal Januari 1978, dirinya sempat dimarahi oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo. “Dia dianggap lamban dalam soal menyelesaikan masalah demonstrasi mahasiswa di Bandung,” ungkap Jopie Lasut dalam Kesaksian Jurnalis Anti ORBA; MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA. Bahkan kepada Pangkowilhan II Jawa-Madura Letnan Jenderal Widjojo Sujono, Sudomo secara khusus memerintahkan untuk mengawasi Himawan. Digunting dalam Lipatan Kendati sudah dipanggil dan diingatkan beberapa kali, Himawan seolah “enggan” menjalankan perintah Jakarta untuk bersikap tegas terhadap mahasiswa. Dia beranggapan selama aksi-aksi mahasiswa terjadi di dalam kampus dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat Bandung maka tak ada alasan baginya untuk bertindak represif. Tentu saja sikap “mbalelo” Himawan ini menjadikan Sudomo murka. Tanpa melibatkan Himawan, dia kemudian membuat sebuah gerakan yang diberi sandi: Operasi Kilat. Untuk Bandung, hari H-nya adalah 25 Januari 1978. Operasi Kilat berhasil membungkam untuk sementara gerakan mahasiswa Bandung. Disebutkan Himawan 164 aktivis mahasiswa berhasil diciduk dan kampus-kampus diduduki oleh tentara. Namun beberapa hari kemudian, aksi-aksi mahasiswa seolah bangkit kembali. Beberapa dari mereka bahkan berani menyebarkan selebaran gelap dan memasang spanduk “gantung Soeharto” di beberapa sudut kampus. Limabelas hari kemudian, tentara kembali menyerbu kampus-kampus di Bandung. Lagi-lagi Himawan sebagai panglima daerah digunting peranannya melalui Asintel-nya yakni Kolonel Samalo, yang sesuai perintah Sudomo langsung memimpin penyerbuan. “Jadi ini out of control karena saat bergerak ke kampus-kampus yang diberlakukan adalah komando intelijen...Jadi gerakan pasukan itu memang tidak dalam kontrol Pangdam,” kata Himawan saat diwawancarai oleh Jopie Lasut. Himawan juga menyangkal jika pasukan yang terlibat dalam operasi-operasi penyerbuan kampus merupakan anak-anak Siliwangi. Dia menyebut bahwa ada pasukan tak jelas yang secara sengaja berpura-pura sebagai pasukan Siliwangi dari unit Kudjang lengkap dengan baret hijaunya. Ketika dikonfirmasi oleh Jopie kepada seorang yang dekat dengan As Intel Hankam Mayor Jenderal L.B.Moerdhani, soal ini dibenarkan. Menurutnya pasukan yang terlibat dalam penyerbuan kampus ITB adalah dari Kopasandha (sekarang Kopassus). Bahkan beberapa di antaranya ada yang baru saja pulang dari palagan Timor-Timur (kini Timor Leste). Tidak Menyesal Pada saat tengah gencar-gencarnya para serdadu menyerbu kampus-kampus di Bandung, terbetik berita dari Radio Australia bahwa Himawan Soetanto sudah dinon-aktifkan sebagai Pangdam VI Siliwangi. Kendati berita tersebut ternyata tidak benar, namun diakui oleh Himawan sendiri bahwa penolakannya terhadap perintah Laksamana Sudomo itu memang telah menjadikan citranya sangat buruk di hadapan Jakarta. “Dalam suatu kesempatan, saya pernah menjelaskan semuanya langsung kepada Pak Harto, beliau cuma mantuk-mantuk tapi tidak berkomentar,” kenang Himawan. Lantas menyesalkah dia? Tentu saja tidak. Dalam biografinya, Himawan menyebut bahwa tidak ada niat sedikit pun dalam dirinya untuk tidak mematuhi perintah Jakarta kala itu. Namun sebagai pemimpin teritorial dia merasa akan terjadi kerusakan yang berkepanjangan jika dirinya menjalankan tindakan militer terhadap para mahasiswa tersebut. Himawan tak mau rakyat memendam kebencian terhadap tentara sesudahnya. “Jika itu dilakukan, Siliwangi akan sulit dimaafkan oleh rakyat Jawa Barat. Sebagai Panglima Siliwangi, kepada saya dipertaruhkan keselamatan rakyat Jawa Barat sekaligus keselamatan citra TNI,” ungkapnya. Secara karir, Himawan pun akhirnya harus puas hanya sebatas menyandang pangkat Letnan Jenderal dan jabatan Kepala Staf Umum ABRI. Laiknya jenderal-jenderal lurus yang pernah “berdosa” kepada pemerintah Orde Baru, dia kemudian harus menerima ganjaran sebagai tentara yang diasingkan. Pada 1984, Presiden Soeharto menjadikannya duta besar di Malaysia.
- Pemberontakan Terhadap Majapahit
PARA pengikut Kertarajasa yang setia dan berjasa dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit diberi kesempatan untuk menikmati hasil pengabdiannya. Sebagai balas jasa, mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan. Namun, satu per satu memberontak. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebutk Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara . Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih dan Mpu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua. Sumber lain, Kidung Ranggalawe, menyebut Wenang atau Lawe sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang dan mendapat nama Kebo Anabrang. Kendati masing-masing sudah diberi kedudukan, namun tetap ada yang tak puas. Inilah salah satu pemicu pemberontakan dalam dua dasawarsa pertama sejarah Majapahit yang baru berdiri. Pemberontakan Ranggalawe Pemberontakan pertama ini terjadi ketika Wijaya masih berkuasa pada 1217 Saka (1295 M). Pemberontakan bupati daerah Datara yang beribukota di Tuban ini dipicu ketidakpuasannya atas kebijakan yang diambil oleh Wijaya. Peristiwa ini dikisahkan dalam Pararaton, Kidung Ranggalawe , dan Kidung Panji Wijayakrama, tapi tidak sebut dalam Nagarakrtagama . Pararaton dan Kidung Ranggalawe mengisahkan Ranggalawe tak terima Nambi dipilih sebagai patih di Majapahit. Dia merasa lebih berjasa dan gagah berani dibanding Nambi. Pemberontakan dapat dipadamkan dan Ranggalawe tewas. Namun, Majapahit kehilangan perwira setianya yang ikut membangun kerajaan, yaitu Kebo Anabrang. Pemberontakan Lembu Sora Serat Pararaton mencatat pemberontakan Lembu Sora terjadi pada 1300 M. Kekisruhan ini tak disebut dalam Nagarakrtagama, namun dipaparkan rinci dalam Kidung Sorandaka. Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton menyebut tokoh bernama Mahapati, dalang peristiwa Lembu Sora. Dia membisiki Wijaya untuk menghukum Lembu Sora karena telah menikam Kebo Anabrang yang tengah memiting leher Ranggalawe. Dia lolos dari hukuman mati karena berjasa kepada kerajaan. Mahapati kemudian memfitnah Lembu Sora akan berkhianat kepada Majapahit. Tentara Majapahit pun menyerangnya . Dia dan sahabatnya,Juru Demung dan Gajah Biru, terbunuh. Pemberontakan Nambi Jayanagara, putra Wijaya, mewarisi Majapahit dalam keadaan belum ajeg. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati menjadi-jadi. Setelah Lembu Sora, Mahapati kemudian memfitnah Nambi. Serat Pararaton menerangkan Mahapati berujar kepada Nambi kalau sang prabu tak senang kepadanya. Agar tak salah paham, dia menyarankan supaya Nambi menyingkir dari ibukota untuk sementara waktu. Kebetulan ayahnya sedang sakit. Jayanagara mengizinkan Nambi menengoknya, tapi tak boleh terlalu lama. Ketika ayahnya meninggal, Nambi ingin memperpanjang cutinya. Namun, Mahapati berkata lain kepada raja bahwa Nambi tak akan kembali dan justru membangun benteng dan pasukan untuk memberontak. Nambi pun membuat benteng di Pajarakan untuk mengantisipasi serangan Majapahit. Pada 1316 M tentara Majapahit menyerang Pajarakan dan menduduki kotanya. Nambi dan keluarganya dihabisi. Meski begitu, di antara menteri Majapahit banyak pula yang memihak Nambi. Setelah pemberontakan itu, ungkap Kidung Sorandaka , Mahapati diangkat menjadi patih menggantikan Nambi. Ambisinya tercapai. Pemberontakan Semi Usai menumpas Nambi, Majapahit belum sepenuhnya tenang. Dua tahun kemudian, pada 1318 M, Semi memberontak pada Jayanagara. Semi bersama Kuti, Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak merupakan dharmmaputra yang mendapat anugerah dari raja. Pemberontakan Semi dapat diatasi dengan mudah. Pemberontakan Kuti Setahun kemudian, pemberontakan Kuti cukup mencemaskan kerajaan. Sang prabu sampai mengungsi ke Desa Badander. Dalam pemberontakan ini nama Gajah Mada muncul untuk pertama kali. Berkat siasatnya, huru hara berhasil dipadamkan. Majapahit tenang kembali. Meski begitu, Jayanagara akhirnya tewas di tangan Ra Tanca, pejabat yang berperan sebagai tabib istana. Ra Tanca tewas di tangan Gajah Mada.*
- Piala Dunia yang Tak Diakui
ENAM dekade silam, Swedia menggoreskan tinta prestasi tertinggi, sebagai finalis Piala Dunia (1958). Kini jalan untuk menyamainya atau bahkan melewatinya (baca: juara) cukup terbuka mengingat di Piala Dunia 2018 ini Andreas Granqvist dkk. sudah memijak babak perempatfinal. Inggris jadi lawan Swedia dalam laga yang akan dimainkan Sabtu (7/6/2018). Bukan mustahil Swedia bisa merebut tiket semifinal. Terlebih, di Rusia keunggulan di atas kertas bukan segalanya. Tengok saja nasib Spanyol, Portugal, Argentina, atau Jerman. Swedia bahkan bisa “juara” seperti ketika tahun 1942. Tapi, adakah Piala Dunia 1942? Perang Dunia II masih panas-panasnya tahun itu. FIFA memang sudah mengagendakan Piala Dunia 1942 dan 1946. Untuk Piala Dunia 1942, Brasil dan Jerman bahkan sudah mengajukan diri sebagai tuan rumah. Namun, invasi Jerman ke Polandia pada 1 September 1939, yang menandai dimulainya Perang Dunia II, membuat agenda itu buyar. FIFA terpaksa tiarap dan batal menggelar Piala Dunia. Meski begitu, Jerman tak menyetop seluruh aktivitas sepakbolanya. Negeri yang dipimpin Adolf Hitler itu justru menyempatkan diri bikin pertandingan yang diklaim sebagai final Piala Dunia. Paul Brown dalam Unofficial Football World Champions menyebutkan, otoritas propaganda Jerman pernah mengatur sebuah laga yang diklaim sebagai final Piala Dunia pada 20 September 1942 di Olympiastadion, Berlin. Namun, laga “final” tanpa turnamen itu mungkin lebih tepat disebut pertandingan persahabatan. Jerman, lanjut Brown, mengatur laga-laga (persahabatan) itu dengan mengundang sejumlah tim dari negara-negara netral dan sekutu Jerman-Nazi. Tim Jerman besutan Sepp Herberger sempat kalah 1-2 pada laga yang dimainkan di hari ulang tahun Hitler, 20 April 1942. Kekalahan itu membuat para pemainnya diancam bakal dikirim ke front Timur (Uni Soviet) nan brutal agar tak kalah di laga-laga berikutnya. Ancaman itu berhasil jadi suntikan semangat lantaran Jerman menang 5-3 lawan Hungaria, 3-0 lawan Bulgaria, dan 7-0 lawan Rumania. Namun saat meladeni Swedia, mereka keok 2-3. Swedia juara, tapi tak diakui FIFA sebagai juara dunia. “100 ribu orang meninggalkan stadion dengan depresi. Dan karena kemenangan sepakbola ini lebih dekat di hati rakyat ketimbang direbutnya sebuah kota di Eropa Timur, harusnya kekalahan seperti ini jadi hal terlarang demi suasana hati masyarakat,” kata Martin Luther, sekretaris Departemen Luar Negeri Jerman, sebagaimana dikutip Brown. Usai “Piala Dunia”, tim Jerman dibubarkan. Sejumlah pemainnya dikirim ke front timur. Kapten tim, Fritz Walter, jadi satu dari sedikit awak tim Jerman yang selamat hingga perang usai. Walter pula yang kemudian jadi kapten kala Jerman memenangi Piala Dunia 1954.
- Asal Usul Pakaian
MANUSIA masa lalu melindungi tubuhnya hanya menggunakan bulu hewan, kulit hewan, daun, ataupun rumput yang diikatkan. Kini setiap orang melindungi tubuhnya dengan potongan kain yang terjahit dengan benang. Modelnya beragam. Kita juga tak lagi menjadikan pakaian sebagai pelindung, tapi sebagai kebutuhan gaya hidup yang memperlihatkan status dan kelas sosial, bahkan identitas etnis dan agama. Produksi pakaian yang mulanya memakan waktu lama menjadi industri massal. Tak heran industri pakaian semakin hari semakin tak terkendali karena hasrat manusia untuk memiliki banyak pakaian dengan banyak gayanya. Kain Tenunan atau rajutan atau benang adalah tekstil yang kemudian menjadi kain, pembuat pakaian. Kain bisa digunakan setelah melalui proses panjang pemotongan, perendaman, pencelupan, penjemuran, dan lain-lain. Pada 5.000 SM peradaban dunia mulai menggunakan kain, termasuk untuk pakaian, yang berasal dari serat alami. Peradaban Mesir dan India memperkenalkan jerami dan katun yang terbuat dari serat-serat tanaman. Terdapat pula wol yang berasal dari bulu hewan, seperti sapi dan domba. Sementara itu, di Tiongkok terdapat sutra yang terbuat dari serat ulat sutra. Memasuki era modern dan berkembangnya pengetahuan manusia, kain pada abad ke-20 kemudian dapat dibuat dari mineral atau serat sintetis. Maka, kini kita dapat melihat berbagai warna, motif, ketebalan, atau suhu kain. Jenis-jenis kain yang sekarang kita kenal untuk membuat pakaian antara lain rayon, asetat, nylon, akrilik, polyester, dan spandex. Kerah Biasanya pakaian resmi identik dengan kerah. Diyakini kerah merupakan perkembangan dari ruffle , yakni lipatan kain atau pita pada bagian leher pakaian. Sejak abad ke-16 kerah dikenal memiliki bentuk yang tegak, terlipat, dan dalam perkembangannya terdapat pula kerah dengan bentuk lain. Saku Pada abad ke-17 sampai 18, orang Eropa mulanya menggunakan saku sebagai kantong atau tas kecil terpisah yang menggantung di bagian pakaian atau celana. Kini, saku menjadi bagian yang menyatu dengan pakaian atau celana dengan bentuk yang umumnya menyerupai amplop. Terletak di dalam atau di luar pakaian dan berfungsi sebagai kantong atau hanya sebagai hiasan. Kancing Bukti tertua penggunaan kancing oleh manusia ditemukan berasal dari peradaban Lembah Indus 2000 SM. Kancing tersebut terbuat dari cangkang kerang yang dilubangi dan dijahit di pakaian. Selain di Lembah Indus, kancing juga telah digunakan peradaban Tiongkok dan Romawi Kuno. Kancing mulai difungsikan sebagai bagian dari pakaian pada abad ke-13 di Jerman, lantas menjadi industri yang pusat terbesarnya berada di kota Birmingham, Inggris. Kancing kini diaplikasikan dalam pakaian, juga sebagai hiasan. Bahkan kancing menjadi salah satu benda seni yang berasal dari berbagai material, digambar maupun diukir. Ritsleting Ritsleting adalah pengunci pada pakaian yang telah ada sejak abad ke-19. Elias How pada 1851 sebenarnya telah mendapatkan paten untuk salah satu teknologi pakaian ini, namun dia tak mengembangkannya. Mulanya ritsleting berukuran besar dan tebal. Barulah pada 1913 Gideon Sunbäck menyempurnakan ritsleting. Kancing kemudian terus berkembang hingga berbentuk ritsleting modern yang kini kita kenal. Ritsleting modern ini dapat ditemui dengan desain tipis maupun tebal, terbuat dari logam maupun plastik. Tak hanya diaplikasikan dalam pakaian, celana, atau jaket, kini ritsleting terdapat pula pada tas, dompet, dan lain-lain. Ikat Pinggang Ikat pinggang menjadi salah satu bagian aksesoris dalam berpakaian. Ia juga dapat berfungsi sebagai pengencang celana yang longgar. Pada zaman perunggu ikat pinggang diyakini telah digunakan manusia. Biasanya ikat pinggang terbuat dari kulit, kain tebal, ataupun logam, misalnya berbentuk menyerupai rantai. Sejak 1900-an, ikat pinggang diaplikasikan pada blus.
- Soeharto Menganggap Ali Sadikin Musuh Terselubung
ADA yang ganjil jelang Ali Sadikin mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Seyogianya, jabatan Bang Ali baru selesai pada Agustus 1977. Namun akhirnya dipercepat menjadi tanggal 11 Juli. Setelah melakukan serah terima jabatan terhadap gubernur selanjutnya Letnan Jenderal Tjokropranolo, awak media ramai-ramai mempertanyakan kejanggalan tersebut.
- Kisah Badak Tak Bernama
BADAK jantan itu pun menjejakkan kaki di pelabuhan kota Lorient di Prancis pada 11 Juni 1770 setelah turut serta dalam pelayaran selama enam bulan dari Kolkata, India. Sebagai hadiah dari M. Chevalier, gubernur Prancis di Chandernagor, untuk Raja Louis XV, ia akan bergabung dengan koleksi binatang raja di kandang-kandang pameran ( menagerie ) di Istana Versailles.
- Bola-Bola Piala Dunia (Bagian II – Habis)
PIALA Dunia selalu menghadirkan bola dengan desain dan teknologi berbeda. Khusus untuk Piala Dunia 2018 Rusia, Adidas selaku pemegang hak merilis bola Telstar 18. Angka 18 dicantumkan untuk menandai tahun Piala Dunia ini dihelat. Dibuat oleh Forward Sports asal Sialkot, Pakistan yang berlisensi Adidas, bola Telstar 18 memiliki enam panel bertekstur yang tidak dijahit, melainkan dilem satu sama lain. Dengan warna putih-hitam, Telstar 18 berpola vintage dengan motif piksel untuk mendekripsikan era digital. Dalam tiap bola Telstar 18 terdapat sebuah chip NFC (Near-Field Communication) yang menampilkan konten dan informasi mengenai bola tersebut dan bisa diakses via ponsel pintar. Teknologi ini menjadikan Telstar 18 bola pertama yang memiliki chip. “Bola Telstar yang asli merupakan satu dari bola-bola ikonik sepanjang sejarah dan mengubah desain bola sepak seterusnya. Jadi mengembangkan Telstar 18 menyesuaikan model aslinya, menjadi tantangan tersendiri buat kami. Struktur panel baru dan penambahan chip NFC membawa inovasi dan desain bola ke level berikutnya,” ujar Direktur Perangkat Keras Bola Adidas Roland Rommler, dikutip laman FIFA, 9 November 2017. Telstar 18 juga bakal di- upgrade seiring pergantian fase turnamen. Khusus untuk babak perdelapan final dan seterusnya, FIFA merilis bola Telstar Mechta. Mechta merupakan kata dalam bahasa Rusia yang berarti mimpi atau ambisi. Warna pola Telstar Mechta tak hanya berwarna hitam-putih, tapi lebih berwarna dengan tambahan warna merah yang terinspirasi dari warna kebesaran Rusia. Telstar 18 & Telstar Mechta (kanan)/Foto: fifa.com Bola Telstar 18 terinspirasi dari Telstar edisi pertama yang jadi bola resmi pertama Piala Dunia (Piala Dunia 1970). Bola itu menandai zaman baru bola sepak yang sebelumnya berkulit coklat dengan beragam pola. Sejak itu, desain dan teknologi bola untuk Piala Dunia terus berkembang. Berikut aneka bola itu dan kisah di baliknya: Piala Dunia 1970: Telstar Untuk kali pertama, laga-laga di turnamen ini disiarkan langsung via televisi. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan bola yang lebih ramah mata pemirsa layar kaca. Bola berdesain 32 panel hitam-putih (12 pentagonal hitam, 20 heksagonal putih) karya Eigil Nielsen, pendiri Select Sport asal Glostrup, Denmark lalu jadi pilihan. Bola ini sebenarnya sudah eksis sejak 1962 dan digunakan pada Piala Eropa 1968 dengan nama Telstar Elast. Namun, untuk Piala Dunia 1970 Meksiko FIFA menambahkan lisensi brand Adidas berwarna emas di bola berbahan kulit anti-air itu dan menamainya Telstar. Soal asal nama Telstar, laman FIFA 17 September 2011 menyebutkan, Nielsen terinspirasi dari Satelit Telstar (Television and Star) milik AT&T sebagai satelit komunikasi aktif pertama di dunia yang diluncurkan pada 10 Juli 1962. Piala Dunia 1974: Telstar Durlast & Chile Durlast Hampir tak ada perbedaan soal penggunaan bola untuk Piala Dunia 1974 dari Piala Dunia sebelumnya. Bolanya masih memakai bola berpanel 32 karya Nielsen. Namanya pun masih menggunakan Telstar, tapi dengan penambahan. Bola di Piala Dunia 1974 bernama Telstar Durlast. Penambahan itu tak lepas dari perbaikan yang terjadi pada bahan bola, yang di- upgrade dengan lapisan poliuretana. Lapisan ini berfungsi membuat bola lebih tahan lama dan anti-air. Selain itu, perubahan di bola ini terletak pada logo Adidas yang warnanya diganti jadi hitam (sebelumnya emas). Sementara bola keduanya adalah Chile Durlast yang relatif serupa, hanya berbeda warna semua panelnya putih, bukan putih-hitam. Piala Dunia 1978: Tango Sejak mengantongi hak paten bola resmi Piala Dunia pada 1972, mulai Piala Dunia 1974 Adidas mengatur sendiri produksi bolanya. “Dan semenjak itu, mereka mendesain sendiri bola khususnya dan untuk edisi 1978, bolanya dinamai Tango dengan 20 panel dan tiga garis bersambung yang membentuk 12 lingkaran,” tulis Novy Kapadia dalam The Football Fanatic’s Essential Guide Part 2: 1978 to 2010 . Nama Tango diambil karena terinspirasi tarian tradisional Tango dari Argentina, negara tuan rumah Piala Dunia 1978. Bola bernama lengkap Tango Durlast ini lalu populer hingga dua dekade berikutnya. Namun soal bahan, Tango Durlast tak beda dari pendahulunya: kulit asli dengan lapisan anti-air. Tango Durlast jadi bola pertama Adidas dengan trademark , bola-bola sebelumnya hanya diberi cap sponsor Piala Dunia. Piala Dunia 1982: Tango España Tingginya popularitas Tango membuat Adidas mempertahankannya untuk Piala Dunia 1982 Spanyol. Diberi nama Tango España, warna bola masih putih-hitam dengan 20 panel plus tiga garis hitam saling berkaitan membentuk 12 lingkaran. Perubahan pada bola ini hanyalah penggunaan karet untuk jahitan agar lebih tahan air. Bola ini jadi bola terakhir yang menggunakan bahan kulit asli. Piala Dunia 1986: Azteca Peradaban Aztec punya pengaruh besar di Amerika Tengah, terutama di Meksiko. Oleh karenanya, nama besar Aztec dipakai untuk bola resmi Piala Dunia 1986 di Negeri Sombrero itu: Adidas Azteca. Meksi masih dibuat dengan jahitan tangan dan pola desainnya masih sama dengan bola sebelumnya, Azteca menggunakan motif mural Aztec. “Trigons-nya (tiga garisnya) berhias simbol-simbol mural Aztec karya Rebecca Martínez,” ungkap Jonathan Wilson dkk dalam The Blizzard: The Football Quarterly . Bola ini jadi bola Piala Dunia pertama yang 100 persen menggunakan bahan sintetis. Tujuannya, untuk menyesuaikan dengan kondisi Meksiko yang basah dan berada di dataran tinggi. Menariknya, bola ini buatan Indonesia. Dilansir Tabloid BOLA terbitan nomor 314, Maret 1990, bola ini diproduksi PT Borsumij Wehry Indonesia (BWI). Piala Dunia 1990: Etrusco Unico Seperti Meksiko empat tahun sebelumnya, Italia sebagai tuan rumah Piala Dunia 1990 juga terinspirasi dari peradaban kuno yang mereka banggakan. Oleh karena itu, bola resmi Piala Dunia 1990 dinamai Etrusco Unico, merujuk pada peradaban Etruska yang eksis di abad 9-2 SM, lengkap dengan simbol tiga kepala Singa Etruska di ke-20 motif panel hitamnya. Secara kasat mata, Etruska mirip dengan Adidas Aztec. Bahannya juga 100 persen sintetis. Namun, menurut arsip FIFA yang dirilis Divisi Komunikasi dan Humas pada 22 Juli 2010, “Off the Pitch: Statistical Kit 6”, Etrusco Unico jadi bola pertama yang menggunakan lapisan dalam poliuretana dari bahan busa. Seperti halnya bola Azteca, bola ini juga diproduksi di Indonesia selain di Pakistan. Piala Dunia 1994: Questra FIFA dan Adidas membawa misi khusus lewat motif bintang-bintang di bola resmi Piala Dunia 1994 Amerika Serikat. “FIFA berharap bisa menaklukkan Amerika, sebuah planet baru bagi sepakbola,” tulis Sheridan Bird dalam “Classic Footballs”, dimuat di buku The Blizzard: The Football Quarterly Jilid Enam. Hingga menjadi tuan rumah Piala Dunia, Negeri Paman Sam lebih populer dengan American Football, bisbol, dan bola basket NBA-nya. Misi itu pula yang mendasari Adidas menamai bolanya Questra, berarti perjalanan menuju bintang-bintang. Motif bintang pada bola Questra juga berhubungan dengan tema luar angkasa karena dibuat untuk memperingati 25 tahun misi Apollo 11. “Secara visual, Questra memperlihatkan pola klasik trigon Tango dengan dihiasi simbol penggambaran lubang hitam, planet-planet dan bintang-bintang,” tulis Sheridan Bird. Questra masih menggunakan pola panel sama dengan bola sebelumnya. Namun, Questra dibuat dengan tambahan lima jenis lapisan poliuretana yang lebih lembut. Piala Dunia 1998: Tricolore Desain bola Tango masih dipakai untuk bola resmi Piala Dunia 1998 Prancis. Bedanya, bola di Prancis berhias tiga warna, Biru-Putih-Merah, berbentuk ilustrasi ayam jago. Adidas menamakan bola ini Tricolore (Prancis: tiga warna). Bola ini merupakan bola multi-warna pertama. Menilik laman FIFA 24 Juni 2006, Tricolore dibuat dengan lapisan busa sintaksis untuk membuat bola lebih awet. Tricolore juga dibuat di luar Eropa. Selain dibuat di Maroko, Tricolore juga dibuat di Indonesia oleh Sinjaraga Santika Sport (SSS) asal Majalengka, Jawa Barat. Piala Dunia 2002: Fevernova Memasuki milenium ketiga, Adidas tak lagi memakai motif Tango pada bolanya. Meski masih dengan 32 panel, bola Piala Dunia 2002 dibuat dengan motif bernuansa budaya Asia Timur mengingat Korea Selatan dan Jepang merupakan tuan rumahnya. Motif bolanya menggambarkan shuriken atau pisau segitiga berwarna abu-abu, merah, dan emas di masing-masing empat sisinya. Bola ini dinamai Fevernova untuk menggambarkan demam ( fever ) Piala Dunia empat tahun sekali dan bintang bernama Nova yang bersinar dan redup dalam waktu singkat. Produksinya dilakukan oleh pabrikan Maroko dan Indonesia (SSS). Para pakar Adidas menyebut Fevernova sebagai bola paling akurat karena dibuat dengan lapisan khusus yang diisi balon gas mikro di dalam busa sintaktiknya. Namun, beberapa pemain yang mencobanya tak sependapat. “Pantulan bolanya sungguh gila,” ujar kiper Italia Gianluigi Buffon, dilansir CBC , 31 Mei 2002. “Bola terburuk yang pernah saya mainkan,” timpal pemain Slovenia Zlatko Zahovic di laman yang sama. Piala Dunia 2006: +Teamgeist Inovasi dalam pembuatan bola resmi Piala Dunia yang dilakukan Adidas menghasilkan bola +Teamgeist untuk Piala Dunia 2006 Jerman. Bersama tim Molten Corporation, Adidas mendesain bola baru dengan 14 panel melengkung bermotif hitam. Masing-masing panel dilem, bukan dijahit. Bola ini dinamai Teamgeist, berarti semangat tim. Tambahan simbol + digunakan untuk menggantikan trademark yang lazim di bola-bola sebelumnya. Uniknya, bola ini dibuat khusus per pertandingan dengan menyertakan cetakan nama dua tim yang bertarung, tanggal laga, dan venue pertandingan. Untuk laga final, bola yang digunakan bernama +Teamgeist Berlin yang motif pada panel-panelnya berwarna emas. Beberapa pemain bintang yang di- endorse Adidas mengaku puas dengan bola yang sempat diriset Universitas Loughborough, Leicestershire, Inggris itu. Namun, beberapa kiper justru mengkritik +Teamgeist. “Efek hentakan (tendangan) membuat bolanya terbang tanpa bisa diprediksi dengan arah yang bisa berubah atau bahkan zigzag,” ujar RD Mehta dalam tulisannya di buku Sport Aerodynamics , “Sports Ball Aerodynamics” . Piala Dunia 2010: Jabulani Seperti +Teamgeist, bola resmi Piala Dunia 2010 Afrika Selatan (Afsel) juga diriset tim teknologi olahraga Universitas Loughborough, Inggris. Dilansir laman resminya, lboro.ac.uk , 4 Desember 2009, bola Jabulani dibuat dengan delapan panel bulat tiga dimensi yang juga dilem, bukan dijahit. Panel-panel itu dihias warna merah, kuning, hijau sebagai penggambaran warna bendera Afsel. Jabulani disebut-sebut sebagai bola paling akurat karena menggunakan teknologi “Grip ‘n’ Groove” yang meningkatkan efek aerodinamikanya. Jabulani juga dilapisi poliuretana termoplastik dan etilena vinil asetat. Adidas menamakan bola ini Jabulani, diambil dari kata dalam bahasa Zulu yang berarti merayakan. Untuk bola final, Adidas membuat bola khusus dengan motif emas bernama Jo’bulani, gabungan kata Jabulani dan Johannesburg sebagai kota penyelenggara final. Piala Dunia 2014: Brazuca Di Piala Dunia Brasil inilah Adidas untuk pertamakalinya menciptakan bola resmi Piala Dunia yang desain dan namanya ditentukan melalui pemungutan suara publik. Brazuca, berarti saudara sebangsa, akhirnya dijadikan sebagai nama bola yang dirilis pada 3 Desember 2013 di Rio de Janeiro, Brasil. Nama itu diambil dari hasil voting yang dipilih masyarakat Brasil. Laman resmi Adidas 6 Desember 2013 mengungkapkan, sebelumnya panitia lokal via beragam media sosial memberi opsi tiga nama: Brazuca, Bossa Nova, dan Carnavalesca. Dari lebih satu juta suara, 77,8 persen memilih nama Brazuca. Bola bermotif garis-garis berlekuk bak Sungai Amazon ini memiliki warna kombinasi hijau, biru, jingga, dan hitam. Khusus partai final, digunakan Brazuca Final Rio yang motif panelnya ditambahi warna emas. Brazuca dibuat di Pakistan dan Indonesia (SSS). Bola yang terdiri dari enam panel berlapis poliuretana dengan lapisan dalam yang dikembangkan dari bola Adidas Tango 12 ini tak lagi mengalami masalah aerodinamis seperti Jabulani.





















