top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sabri dan Jejak Leluhur Asia Timur pada Orang Jawa

    Siapa pun yang mendengar Swastika Noorsabri bicara pasti akan menebak ia berasal dari Jawa. Gaya bicaranya medhok.  Apalagi dia lahir dan besar di Kota Yogyakarta. Begitu pula ayah, ibu, kakek, dan neneknya, berasal dari suku Jawa. “Eyang buyut yang saya ketahui dari ibu itu (asalnya, red. ) Semarang. Itu cerita yang saya dengar. Kalau ayah dari Purworejo,” kata Sabri. Sabri bercerita, kakek dari pihak ayah adalah kepala Desa Wingkoharjo di Purworejo. Namanya Kartowiryo atau biasa disebut Lurah Kartowiryo.Kakeknya menikahi neneknya yang berbeda desa, tetapi masih di wilayah Purworejo. Simbah putrinya itu, dipanggil Sulaibah, berprofesi sebagai pedagang.Sementara kakek dari pihak ibu berasal dari Semarang. Nama kecilnya Basirun. Ayahnya Basirun, atau kakek buyut Sabri, bernama Mbah Delan. Baik Kakek buyut maupun sang kakek, keduanya pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada zaman Belanda. “Memang ada sertifikat semacam itu yang besar ditempel di dinding,” kata Sabri. Kalau nenek Sabri dari pihak ibu berasal dari Solo. “Leluhurnya dari Solo tapi begitu pecah Perang Diponegoro, leluhur saya ini kemudian mengungsi ke Semarang,” ujar Sabri. Kendati seluruh keluarganya hidup di Jawa sejak lama, Sabri cukup heran dengan bentuk hidung dan mata kakeknya. “Ada yang hidungnya mancung. Ini mungkin ada keturunan Arab atau sekitar-sekitar situ,” kata Sabri. “Lalu kalau melihat bentuk mata adik saya dan saya sendiri yang tidak terlalu belo' , saya juga punya pikiran pasti ada campuran dari daerah Asia Timur.” Untuk menyudahi rasa penasarannya, Sabri pun mendaftar tes DNA lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia garapan historia.id . Siapa yang menduga, kalau lebih dari separuh DNA Sabri membawa jejak leluhur dari Asia Timur, yaitu sebesar 78,45 persen. Sisanya sebagian dari DNA orang-orang Asia yang menyebar, dari Timur Tengah, tepatnya Irak-Kurdi, dan sebagian lagi dari Asia Selatan. Migrasi Austronesia Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan bahwa gen Asia Timur dalam hasil tes DNA Sabri bisa berasal dari Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Korea, Malaysia, atau Macau di Hongkong. “Jika melihat dari perjalanan DNA-nya, kan dari utara. Saya mengira Asia Timur yang dimaksud di sini adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. Austronesia merupakan rumpun bahasa yang mencakup sekira 1.200 bahasa . Dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Sebarannya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Sebaran Bahasa Austronesia di dunia. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Itu sambil membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetik, menurut Hera, penutur Austronesia datang pada gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Cina Daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera. Migrasi Austroasiatik Namun, ada jejak lain jika melihat hasil tes yang menyebut Vietnam sebagai asal usul gen Asia Timur Sabri. “Vietnam itu biasanya masuknya lewat Asia Tenggara daratan ketika Paparan Sunda masih jadi satu. Itu dari migrasi gelombang kedua,” kata Hera. Migrasi ini, kata Hera, terjadi lebih dulu dibanding migrasi Austronesia. Dari asalnya di Yunan, mereka tak pergi ke Taiwan tapi langsung ke selatan menuju Asia Tenggara Daratan, seperti Vetnam dan Kamboja, menyusuri Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan . “Jadi ini (leluhur Asia Timur Sabri, red . ) kalau bukan mereka yang berbahasa Austronesia, juga bisa Austroasiatik,” kata Hera. Jalur migrasi penutur Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Austroasiatik adalah rumpun bahasa yang berbeda. Namun diduga bahasa itu berasal dari satu rumpun yang sama dengan Austronesia. Truman Simanjuntak, arkeolog senior di Pus at Pene lit ian Arke ologi Nas ional dalam “The Western Route Migration: a Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia” termuat di New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory , menjelaskan baik bahasa Austronesia maupun Austroasiatik, keduanya berasal dari bahasa Austrik yang dipakai di Yunan. Bahasa itu kemudian terpecah dan berkembang masing-masing. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan. Sedangkan Bahasa Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah, sesuai persebarannya. Kedua bahasa itu disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik, yang kemungkinan menjadi leluhur Sabri itu, berpindah lebih dulu ke Nusantara. Mereka mulai migrasi ke Nusantara sekira 4.300–4.100 tahun lalu. Mereka diperkirakan sebagai pembawa budaya Neolitik ke Nusantara.Salah satu hasil budayanyaadalah tembikar berhias tali. “Sementara Austronesia bisa ditandai dengan hasil budaya gerabah berslip merah,” catat Truman. Rupanya, penutur Austronesia lebih bisa mempengaruhi penutur Austroasiatik yang sudah lebih dulu di Nusantara. Seluruh masyarakat pun akhirnya berbahasa Austronesia. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. DNA Menjawab Bagi Hera, hasil tes yang diterima Sabri tak mengherankan. Sebelumnya, ia pernah pula membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA. “ P ada orang Jawa dominan Autroasiatiknya, Khmer, orang-orang itu yang duluan masuk ke Jawa. Baru yang tadi (Austronesia, red . ) dari Formosa atau Taiwan turun . Dua gen itu yang berpengaruh,” kata Hera. Dugaan Sabri pun tak sepenuhnya salah. Asal usul hidung mancung kakeknya termaklumi dengan adanya jejak genetis leluhur dari Asia Selatan dan Kurdi. "Asia Selatannya dari Bangladesh, khususnya Suku Bengali,” kata Hera. “Sepengetahuan saya Suku Bengali memang ada yang pergi ke Indonesia untuk berdagang. Jadi wajar apalagi ibunya Semarangan. Itu pelabuhan besar sekali.” Pun terjawab sudah alasan bentuk matanya, yang bagi Sabri, tak belo’. Rupanya punya leluhur Jawa, lahir dan besar di Yogyakarta, berbicara dengan aksen medhok pun tak melepasnya dari jejak leluhur pendatang pada ribuan tahun silam. Akhirnya memang tak ada yang namanya DNA 100 persen murni Indonesia.

  • Asal Gen Yunani-Siprus dalam DNA Ariel

    NAZRIL Irham atau yang populer disapa Ariel Noah mengaku kerap menerima celetukan “rasis” dari teman-temannya. “Ah pelit lu, Padang!” Begitulah celetukan yang jamak diterima oleh musikus kelahiran 16 September 1981 itu. Namun alih-alih menanggapi, Ariel tak ambil pusing dengannya. Ia menganggapnya semata selorohan saja. “Nggak sampai bully , hanya ejekan ringan,” kata Ariel pada Historia sambil terkekeh. Lahir di Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, Ariel tumbuh sebagai remaja di lingkungan berbahasa Sunda di Bandung. Keluarganya berasal dari Sumatera. Ariel mengidentifikasi dirinya sebagai orang Padang. Garis leluhur dari pihak ibunya berasal dari Padang, sementara ayahnya campuran Padang-Batak. Kakek Ariel dari pihak ayah merupakan orang Padang dari Bonjol, sementara neneknya seorang Batak bermarga Siregar. “Di Padang, di tempat ibu ada satu silsilah besar tentang keluarga kami. Tapi kalau dibikin sampai ke atas, jangankan buku, tembok kayaknya juga nggak akan cukup,” sambungnya. Ariel menjadi salah satu tokoh publik yang mengikuti Proyek DNA Historia.id untuk mengetahui asal moyangnya. Dalam Deoxyribonucleic acid (DNA), terdapat susunan genetika yang membentuk identitas spesifik tiap orang. DNA tidak berubah sepanjang hidup. Tiap orang menerima setengah dari ibu dan setengah dari ayah yang memungkinkan pernyaluran genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan begitu, DNA membawa cerita mengenai evolusi dan migrasi manusia. Gambaran migrasi tersebut menjadi rujukan asal-usul moyang orang Indonesia. “Kita satu negara bisa banyak sekali keberagamannya. Dan itu menarik. Berbekal dari pengetahuan masa lalu, bagus untuk masa depan. Terutama menghindari bully yang tak perlu tentang kesukuan,” kata Ariel. DNA Ariel Dari hasil tes DNA , Ariel memiliki 79.78% gen Asia Selatan, 15.14% Asia Timur, 5.02% Asian Dispersed, dan 0.05% Timur Tengah. Seperti responden lain, Ariel memiliki persentase DNA Asia Timur yang cukup tinggi, dideteksi berasal dari Guam, pulau kecil di Pasifik. Sementara, gen Asian Dispersed yang dimiliki Ariel menggambarkan migrasi orang-orang Asia Timur dan Selatan ke Amerika Utara. Moyang genetik Asian Dispersed sama seperti orang Indonesia namun umur gennya lebih muda. Sementara, gen Asia Selatan yang dimiliki Ariel merujuk pada negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Dalam DNA Ariel terdapat beragam varian India, yakni India secara umum, Golla, Bangladesh, Gope, Tamil, Rajput, Nepal, dan Bhutia. “Sebagian besar DNA Ariel berasal dari Asia Selatan dengan beragam etnik atau suku yang ada di India. Tidak dijelaskan spesifik dari India mana, berarti yang ada di tubuh Ariel umum dimiliki oleh orang India,” kata Profesor Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pada Historia. Jika menilik ke belakang, hubungan antara orang Batak (nenek dari pihak ayah Ariel) dan Tamil sudah terjalin sejak abad ke-6. Pedagang-pedagang Tamil mendirikan kota dagang bernama Barus, terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Paul Munoz dalam Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia menyebut, kelompok etnik utama di Barus pada waktu itu pastilah orang Tamil. Fakta bahwa Barus selamat dari Cola, dinasti Tamil di India Selatan, selama serangan 1025 M menunjukkan bahwa kota itu tidak dalam pengaruh Sriwijaya melainkan di bawah kendali serikat pedagang Tamil. Dari para pedagang Tamil inilah gen India berpindah ke Nusantara dalam gelombang migrasi yang paling modern. Lebih jauh lagi, semua migrasi bermula dari Afrika pada 50.000 tahun lalu. Manusia purba dari Afrika pergi ke Eropa lewat Timur Tengah. “Orang-orang yang tinggal di Nusantara tak lepas dari pengembaraan dunia karena posisi Indonesia berada di persilangan migrasi,” kata Hera. Gelombang pertama yang keluar dari Afrika ini masuk ke Indonesia melalui dua jalur. Pertama, menyusuri pinggir pantai, menyeberang ke arah timur lewat Nusa Tenggara. Kedua, melewati Kalimantan, Luwuk Banggai, Raja Ampat, dan Fakfak. Pada gelombang kedua, yakni 30.000 tahun lalu, migrasi masuk lewat Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Pada migrasi ketiga yang disebut Out of Taiwan , orang-orang dari Cina Daratan masuk ke Formosa, ke Filipina, lalu turun ke Kalimantan. Dari sini, jalur pecah jadi dua, yang satu berjalan hingga Madagaskar, sedangkan satu lainnya ke Papua, berlanjut hingga ke Polinesia. Keempat adalah masa sejarah antara tahun 700 sampai 1400 Masehi. Orang-orang Eropa, Tiongkok, India, dan Arab berdatangan ke Nusantara. “Semuanya mempengaruhi DNA orang Indonesia. Makin ke Timur makin banyak unsur genetika Melanesia,” kata Hera. Perjalanan Gen Yunani-Siprus DNA Ariel menunjukkan dirinya punya fragmen genetika dari Yunani-Siprus. Gen ini berasal dari Pulau Siprus di Laut Mediterania bagian timur. Pulau di selatan Turki, di barat Suriah, di utara Afrika, dan di timur Yunani itu sudah didiami sejak milenium ke-11 SM dengan ditemukannya desa pertanian Mediterania tertua di Siprus barat daya. Orang Yunani Kuno (terutama Akhaia) baru menetap di Siprus pada Zaman Perunggu Akhir. Hubungan inilah yang jadi cikal-bakal gen Yunani-Siprus dalam tubuh Ariel. Dalam artikel “Y-Chromosomal Analysis of Greek Cypriots Reveals A Primarily Common Pre-Ottoman Paternal Ancestry with Turkish Cypriots”, Profesor Epidemiologi di Universitas Nicosia Siprus Alexandros Heraclides bersama Profesor Eva Fernandez-Dominguez, arkelog dari Universitas Durham, Inggris dan rekan-rekan lainnya menduga gen Yunani-Siprus mulai ada di pulau itu pada awal Zaman Besi (sekitar 1000 SM). Posisi istimewa Siprus, yang terletak di persimpangan tiga benua, menghasilkan sejarah  penuh gejolak yang didominasi banyak kerajaan besar. Di pulau itu, orang Fenisia (Phoenician) hidup bersama orang Yunani yang seiring waktu menjadi Hellenik. Siprus juga pernah dikuasai Asyur, Persia, Macedonia semasa Alexander Agung dan penggantinya dari dinasti Ptolemeus di Mesir. Semasa penguasaan Romawi, ia dimasukkan menjadi bagian dari Kekaisaran Bizantium. Penaklukan Pulau Siprus berlanjut semasa Perang Salib, oleh Richard the Lionhearted of England. Setelah itu, penguasaan atas Siprus dilakukan oleh pemerintahan keluarga Frankish Lusignan, diikuti oleh pemerintahan Venesia, penguasaan selama tiga abad oleh Ottoman (1571 ± 1878), dan terakhir oleh Inggris hingga Siprus merdeka pada 1960. Singgungan yang beragam dengan bangsa lain ini membuat fragmen genetika Yunani-Siprus bisa terbawa hingga ke Asia Selatan, lalu berlanjut hingga ke Nusantara. Daerah itu juga berada di jalur migrasi Mediterania dan India. Di sana terdapat pertemuan antara Asia Barat dan Mesir (Afrika Utara) yang sebagian besar terdiri dari Arab, Turki, Persia, dan Kurdi. Menurut Hera, dalam kelompok migrasi itu juga terdapat populasi kecil dari Bengal, Pakistani, dan Yunani-Siprus. “Mediterania Timur memang sangat berpengaruh dalam migrasi. Itu menarik tempatnya karena berbatasan dengan Turki, Siria, Lebanon, Israel, Palestina, Yunani, dan Mesir. Yang tinggal di situ kebanyakan Armenian dan Turki. Jadi dari sanalah bagian (DNA) Timur Tengah-nya,” kata Hera.

  • Terpaksa Ganti Uang Negara yang Dipakai Foya-Foya

    BAGI petualang seperti Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia” dan sahabat Bung Karno, menjadi ajudan presiden atau birokrat di sekretariat wakil presiden sama-sama menyiksanya. Keduanya amat monoton dan membunuh dinamika kehidupannya. Itulah yang dirasakan Hasjim di ibukota Yogyakarta pada awal 1946. “Aku sudah jemu di kota itu. Aktivitasku mandek. Dengan Ford Cabriolette-ku aku hanya mondar-mandir tanpa arti, selain mengantarkan pejabat negara sampai menteri yang mau bepergian ke luar kota,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Maka begitu KSAL Laksamana M. Nazir mengajaknya ikut menginspeksi pangkalan AL di Tegal dan Cirebon, Hasjim langsung mengiyakannya. “Setidak-tidaknya aku akan meninggalkan Kota Yogya yang menjemukan itu untuk beberapa hari,” sambungnya. Menggunakan mobil pribadi Hasjim, mereka mengunjungi Tegal selama dua hari dan Cirebon juga dua hari. Darwis Djamin, panglima AL Tegal, ikut menemani ke Cirebon.  Pada malam terakhir, Hasjim diajak Nazir berunding dengan Darwis. Hasjim diminta menyelundupan persenjataan, obat-obatan, spare part kendaraan, dan kain untuk kebutuhan AL di Tegal. Sejak Jakarta dinyatakan sebagai kota tertutup, AL Tegal kesulitan mendapatkan barang-barang itu. Kedua perwira AL itu sepakat melakukan penyelundupan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebagaimana dilakukan pejuang lain di berbagai tempat untuk menyiasati blokade yang diterapkan Belanda. Di AL, Laksamana John Lie merupakan nama penyelundup paling populer. Aksi John Lie bahkan sampai masuk Majalah Life . “John Lie disebut sebagai The Great Smuggler with the Bible ,” tulis Julius Por dalam Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan . Kendati sempat ragu, Hasjim akhirnya menerima tugas itu. Banyaknya kenalan yang dimilikinya, besarnya akses ke petinggi republik, dan keinginannya meninggalkan Jogja menjadi alasan penerimaan tugas itu. Berbekal surat Muhammad Said, kepala bagian logistik markas AL Tegal, kepada seorang Cina di Perusahaan Lip Seng & Co di Glodok yang biasa memasok kebutuhan AL Tegal, Hasjim memulai petualangannya ke Jakarta dengan menumpang keretaapi isitmewa yang membawa rombongan PM Sjahrir. Segera setelah tiba di Jakarta, Hasjim ke Glodok. Dari orang Cina itu Hasjim menerima setumpuk uang Jepang yang kemudian ditolak Hasjim karena AL Tegal lebih memerlukan uang NICA yang kala itu disebut Uang Merah. Uang itu berlaku di semua tempat yang diduduki Belanda. Namun karena tidak mudah menyediakan Uang Merah, Hasjim baru memperolehnya seminggu kemudian sejumlah  f 10 ribu alias jauh dari yang dibutuhkan pangkalan AL Tegal. Namun, petualangan paling menantang Hasjim sesungguhnya adalah ketika menyelundupkan senjata ke Tegal. “Mendapat barang-barang kebutuhan angkatan laut sebagaimana ia dipesankan tidak begitu sulit di Jakarta. Membawanya keluar dari Jakarta cukup sulit. Karena setiap jalan ke luar kota dijaga dengan berlapis-lapis. Penjagaan militer Inggris tidaklah masalah. Akan tetapi cegatan-cegatan serdadu NICA yang suka berpatroli sangat berbahaya,” kata Hasjim. Hasjim pantang menyerah menghadapi rintangan. Dengan putar otak dan bantuan kenalan-kenalannya di berbagai tempat, Hasjim akhirnya sukses melakoni perannya. Mulai peluru, revolver, hingga granat menjadi suplai rutinnya ke Tegal. Terlebih ketika dia sudah diberi jalan oleh sahabatnya, pengusaha Agus Dasaad. Namun, tetap saja Hasjim pernah gagal. Mayoritas disebabkan oleh ulah “orang-orang sendiri” yang tak amanah atau tak kuat godaan. Salah satu kegagalan itu terjadi saat Hasjim menitipkan beberapa ribu Uang Merah kepada seorang kawannya untuk diserahkan kepada Mayor Tumbelaka, petinggi AL di Jakarta. Uang itu ternyata tak sampai tujuan. Lantaran tak ingin nama baiknya tercoreng, Hasjim langsung mencari kawan itu. Di Karawang, Hasjim hanya mendapat informasi kawan itu sudah dua hari berangkat ke Jogja. Lewat bantuan Syamsudin rekannya, Hasjim akhirnya menemui kawan itu di sebuah tempat di Jogja. Sambil marah-marah, Hasjim menanyakan kenapa uang itu tidak disampaikannya kepada Mayor Tumbelaka. “Telah habis, Sjim. Ketika kami bersama-sama ke Solo dan Malang,” jawab kawan itu sambil ketakutan. Hasjim pun makin naik pitam. “Bukan peluru dan granat yang aku suruh bawa padamu. Tapi uang. Kau hambur-hamburkan uang negara itu pada cabo-cabo. Dengan apa akan kau ganti? Atau aku yang harus mengganti uang yang kau foya-foyakan itu?” Semua orang di ruangan pun terdiam ketakutan. Namun, kemarahan itu tak membuat Hasjim terlepas dari nahas. Kendati tak sedikit pun merasakan nikmat uang itu, dia tetap mesti bertanggung jawab mengganti uang negara yang ludes itu. “Untuk mengganti uang itu, aku terpaksa melepaskan sedan Vauxhall-ku pada Mayor Tumbelaka.”

  • Imajinasi Yamin Tentang Papua

    MOHAMMAD Yamin adalah sosok di balik konsep teritorial Indonesia Raya yang kita anut sampai hari ini. Dari Sabang yang terletak di ujung utara Aceh sampai Merauke di Papua bagian selatan. Meliputi lima pulau besar: Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dari kawasan itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentang. Gagasan ini setidaknya terjejaki ketika Yamin berpidato dalam sidang perdana BPUPKI pada 31 Mei 1945. “Kelima daerah itu kita namai daerah yang delapan: Sumatra, Malaya, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua," kata Yamin sebagaimana termaktub dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945 . Soal Papua, Yamin yakin betul wilayah di ujung timur ini bagian dari Indonesia. Yamin mendasarkan pendapatnya atas telaah di masa silam. Menilik sejarah 1000 tahun kebelakang, Yamin mengatakan Papua telah bersatu dengan tanah Maluku maka dengan sendirinya Papua bersatu-padu dengan Indonesia. Argumentasi Yamin diuji dalam debat sidang kedua BPUPKI 10—11 Juni 1945.       “Papua Barat adalah wilayah Indonesia. Menurut paham Indonesia sebahagian besar daripada pulau Papua adalah masuk lingkungan tanah dan adat Kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Yamin memulai pertarungan gagasannya dengan dasar historis. Pada abad 18, Papua pernah menjadi vassal Kesultanan Tidore di Maluku. Selain itu, Yamin menempatkan Papua ke dalam memori kolektif perjuangan; tempat penyemaian kemerdekaan. Salah satu wilayah Papua yaitu Boven Digul di Merauke pernah dijadikan penjara pengasingan bagi aktivis pergerakan Indonesia yang menentang kolonialisme. Bagi Yamin, melepas Digul keluar dari Indonesia berarti melanggar perasaan keadilan dan mengingkari perjuangan. Yamin juga mendasarkan klaimnya atas pehitungan geopolitik. Menurutnya letak geografis Papua sangat strategis. Kepulauan Papua adalah gerbang utama menuju lautan Pasifik. “Jadi dengan paham geopolitik kita tidak dapat memberikan lompatan ini kepada kekuasaan lain sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukkan kedalam Republik Indonesia,” terang Yamin. Demikianlah Yamin menguraikan imajinasinya tentang Papua secara historis, politik, dan geopolitik. Di kalangan anggota BPUPKI, figur Yamin cukup diperhitungkan. Sederet pengakuan intelektual memang melekat dalam dirinya. Yamin seorang ahli hukum tata negara terkemuka, sejarawan yang pakar soal Kerajaan Majapahit, dan juga budayawan yang terpikat kultur Jawa. Tidak pelak, ide Yamin tentang teritorial negara Indonesia mendapat banyak dukungan, termasuk dari Sukarno. “Masalah teritorial telah ditekankan dengan keras oleh Mohammad Yamin, yang kemudian menjadi salah seorang tokoh ideologi yang lebih cemerlang dibanding Sukarno,” tulis John David Legge dalam Sukarno Biografi Politik . Meski demikian adu pendapat terjadi pula. Yamin berbantah dengan Mohammad Hatta mengenai Papua. Hatta melihat kecenderungan ultra-nasionalis dalam pandangan Yamin merujuk penyatuan bangsa Jerman yang terkenal dengan prinsip “ Kultur und Boden ”. Jadi, Hatta menolak integrasi Papua sebelum ada bukti yang benar-benar sahih menyatakan Papua sebangsa dengan Indonesia. Dalam tinjauan keilmuannya, Hatta hanya bersedia mengakui Papua sebagai bagian dari bangsa Melanesia. Pada akhirnya perdebatan yang menyoal batas wilayah negara - khususnya Papua - ditentukan lewat pemungutan suara. Opsi Indonesia Raya ala Yamin menang dengan perolehan 39 suara. Opsi Hatta yang merumuskan wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda plus Malaya kalah telak setelah cuma meraup 6 suara. Menurut sejarawan Restu Gunawan penulis buku Mohammad Yamin dan Cita-cita Persatuan , Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diterjemahkan oleh Yamin sebagai lanjutan dari Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Untuk itu, dalam masalah wilayah harus mengacu pada kitab-kitab lama. Rujukan utama Yamin adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang menyebut kekuasaan imperium Majapahit membentang sampai Papua. “Jadi Indonesia merdeka harus meliputi wilayah tersebut. Hal itu juga didukung oleh Sukarno sedangkan Hatta tidak setuju dan menyarankan supaya urusan Papua diserahkan kepada masyarakatnya untuk memilih sendiri bergabung atau tidak. Tetapi hasil sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Papua,” kata Restu kepada Historia . Selepas pengakuan kedaulatan, Papua jadi tanah sengketa antara Indonesia dengan Belanda. Yamin tetap konsisten pada gagasannya semula: memperjuangkan kedaulatan Republik sampai Papua. Pada 1956, Yamin menerbitkan buku yang berjudul Perdjuangan Irian Barat atas Dasar Proklamasi untuk meng- counter propaganda Belanda sekaligus bahan doktrin kepada rakyat Indonesia. Dalam karyanya itu, Yamin menguraikan tuntutan rakyat Indonesia atas wilayah Papua berdasarkan 7 dasar: Proklamasi Kemerdekaan, Mukadimah Konstitusi 1945, Piagam Pengakuan Kedaulatan 1949, pengertian kekuasaan de facto atas Irian Barat, Resolusi Indonesia dan Argentina-India di PBB 1954, Putusan Konferensi Panca Negara di Bogor 1954, dan Putusuan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Presiden Sukarno mengangkat Yamin sebagai Kepala Penerangan Pembebasan Irian Barat pada 1962. Betapa besar hasrat Yamin mewujudkan Indonesia Raya yang didambakannya. Sayangnya, Yamin tidak sempat menyaksikan Sang Merah Putih berkibar di Papua. Yamin keburu wafat pada 17 Oktober 1962. Sementara Papua baru masuk ke dalam negara Indonesia pada 1 Mei 1963.

  • Seperti Grace, Solihin Punya Gen Afghanistan

    Solihin, seorang pedagang gorengan di Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak menyangka punya gen yang sama dengan Grace Natalie, Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia. Solihin memiliki 0,05% DNA Afghanistani, sedangkan Grace mempunyai 0,01% DNA Afghanistani. Solihin adalah salah satu responden Proyek DNA Historia. Laki-laki berusia 52 tahun ini merantau ke Jakarta sejak tahun 1989. Kampungnya berada di Randu Dongkal, Pemalang, Jawa Tengah. Setahu Solihin, jejak leluhurnya yang bisa ia ketahui berasal dari kampung yang sama. “Kalau kakek dan nenek dari Pemalang, Randu Dongkal. Waktu saya kecil nenek buyut sudah meninggal, jadi (kalau buyut) kurang tahu,” sebutnya. Meski demikian, sebelum tes DNA, Solihin sendiri sempat menebak bahwa ia memiliki darah orang Timur Tengah. “Kalau suku di Indonesia, tergantung wilayahnya. Kalau dari Pulau Jawa kelihatannya ada yang dari Timur Tengah, ada yang dari Afrika. Kelihatannya (saya) dari Timur Tengah. Dari item sama hidung mancung gitu aja,” kata Solihin sambil tertawa. Setelah dites DNA, hasilnya memperlihatkan bahwa Solihin memiliki gen nenek moyang dari Afghanistani. Afghanistani merupakan sebutan untuk etnis yang sebagian besar berada dalam wilayah negara Afghanistan sekarang, sebuah negeri dengan sejarah panjang pendudukan aneka bangsa. Dari pasukan Iskandar Zulkarnain dari Makedonia (sekarang wilayah utara Yunani) pada 330 SM, gerombolan Jenghis Khan asal Mongol pada abad ke-13, tentara Inggris pada abad ke-19, serdadu Uni Soviet pada 1979, hingga prajurit Koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 2001. Orang-orang dari luar Afghanistan biasanya tak lama menduduki wilayah itu. Namun, pernikahan silang tetap terjadi terutama pada masa penyebaran agama Islam. Generasi-generasi baru pasca itu ke m udian memiliki darah campuran. Keturunan-keturunan mereka di kemudian hari juga sampai ke Nusantara untuk menyebarkan Islam. Di kepulauan tropis ini, terjadi lagi kawin silang. Selain sedikit DNA Afghanistani, Solihin memiliki DNA Asia Tmur yang dominan, yakni 86,78% serta DNA Dispersed Asia atau DNA orang dari wilayah Asia Timur dan Asia Selatan yang bermigrasi ke Amerika Utara sebesar 12,68 %. Ia juga ternyata memiliki DNA Asia Selatan yakni India-Bhutia sebesar 0,48%. Menurut Barbara A. West dalam Encyclopedia of the Peoples of Asia and Oceania , Bhutia merupakan kelompok etnis dominan di negara Bhutan. Sebagian orang Bhutia juga tinggal di Nepal dan wilayah Sikkim dan Benggala Barat, India. Bhutia sendiri awalnya berasal dari Tibet. Dari Tibet, mereka bergerak menjauh dari wilayah itu sekitar awal abad kesembilan. Namun, mitologi Bhutan menyatakan bahwa bhikkhu pertama yang melarikan diri dari tanah kelahirannya di Tibet, mendirikan biara pertama pada tahun 747 di wilayah yang kemudian menjadi Bhutan. Sejak abad ke-17 sebagian besar orang Buthia telah membuat rumah di wilayah pegunungan Bhutan, Nepal, Sikkim, dan Benggala Barat. Kemungkinan masuknya DNA orang Bhutia dalam tubuh Solihin berasal dari masa perdagangan, yang masuk dalam gelombang migrasi keempat. Di mana orang-orang dari India yang datang ke Nusantara, sudah lebih dulu memiliki gen yang beragam dari tempat asalnya, termasuk dari orang Buthia. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute menyebut era penyebaran agama dan era perdagangan terjadi sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India, hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. “Jadi kalau diperiksa itu, teman-teman yang lahir dan besar di Jepara, Rembang, Semarang, Tuban dan sebagainya, campur seperti gado-gado,” ujar Herawati. Proyek DNA yang dikerjakan Historia memang menunjukan keberagaman gen. Hal ini dapat menjadi pengetahuan yang yang memberikan perspektif baru tentang leluhur orang Indonesia, mengingat sentimen suku, ras, dan agama belakangan masih muncul. Selain melakukan tes DNA kepada public figure seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, Historia juga memilih peserta dari masyarakat umum yang mendaftar online di microsite . Yang beruntung terpilih berasal dari berbagai kalangan antara lain Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugraha, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib. Dalam proyek ini, Historia juga mengadakan Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) bekerja sama dengan Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Museum Nasional, 15 Oktober 2019 hingga 10 November 2019. Pameran ASOI ini, juga menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta sejarah manusia dari sudut pandang arkeologis dan antropologis.

  • Awal Kedatangan Manusia ke Nusantara

    Jembatan darat yang pernah menyatukan Jawa, Sumatra, Kalimantan, dengan daratan Asia, memicu kemungkinan datangnya manusia paling awal ke Nusantara. Yang pertama datang adalah Homo erectus, lalu Homo sapiens . “Kita tak bisa lepas dari pengembaraan manusia di dunia, yang semua datangnya dari Afrika. Kita adalah bagian dari dunia,” kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Bagi yang tak percaya teori evolusi, sesungguhnya DNA manusia menyimpan kisahnya. “Apa yang ditulis tentang diri kita (di dalam DNA, red. ) itu tak ada salahnya. Kebenaran itu bisa dibuktikan,” kata Hera lagi. Menurut Hera, ada tiga cara mengetahui asal usul:dari bahasa ibu, budaya, dan tes DNA. “Informasi dari genom adalah gambaran migrasi dan asal-usul moyang kita,” lanjutnya. Diawali Homo erectus Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku, menjelaskan migrasi manusia paling awal, Homo erectus , ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi antara 1,8 dan 1,0 juta tahun silam. Namun, masih banyak yang berbeda pendapat soal itu. Dari sisi arkeologis, keberadaan Homo erectus di kehidupan awal Nusantara, dibuktikan dengan adanya temuan fosil. Yang tertua, bertipe arkaik, ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah , dari 1,5 juta–0,9 juta tahun yang lalu. Lalu muncul Homo erectusyang ciri fisiknya lebih evolutif, dari 0,9–0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe Homo erectusyang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur). Menurut Ruly, melihat temuan yang beda tipe dan masanya itu, ada indikasi evolusi regional. Namun, sulit menentukan apakah migrasi berpengaruh dalam pembentukan tipe-tipe yang berbeda itu. Pun apakah perubahan lingkungan mendorong adaptasi dalam bentuk budaya dan evolusi fisiologis, masih belum bisa dibuktikan. Pertanyaan besarnya lagi, apakah Homo erectus kemudian punah tanpa pewarisan genetik kepada populasi yang lebih modern? Dua Ras Manusia Modern Teori multiregional membantah pertanyaan itu. Pendukungnya meyakini kalau manusia yang secara anatomis modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo erectus , di masing-masing wilayah. Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia menjelaskan di antara yang sepakat adalah sebagian besar pakar paleoantropologi Tiongkok. “Hipotesis evolusi kesinambungan multiregional menganggap sisa-sisa peninggalan di Tiongkok secara morfologis berada pada garis evolusi yang menurunkan orang Mongoloid modern tanpa interupsi yang berarti,” jelasnya.   Sementara teori tandingannya, Out of Africa, meyakini kalau penjelajahan yang dilakukan Homo erectus ke seluruh dunia itu adalah pertama kalinya bagi spesies hominini pergi keluar benua Afrika. Ini terjadi sebelum kemudian leluhur manusia modern masa kini, Homo sapiens , meniru penjelajahan besar mereka hingga sampai ke Nusantara dan menggantikan pendahulunya itu. Bukti yang jelas tentang gelombang pengelanaan Homo sapiens, menurut Ruly, berasal dari 40.000-10.000 tahun dan 10.000-3.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti tentang ini banyak ditemukan di situs tertutup, seperti ceruk alami dan gua yang tersebar di perbukitan karst.   “Hunian gua dan ceruk agaknya merupakan suatu tren baru,” jelas Ruly. Contohnya adalah temuan kubur manusia berusia 9.300 tahun dari Song Terus, gua karst di wilayah Pacitan, Jawa Timur. Bukti kubur manusia lainnya juga ada di Gua Lawa (Ponorogo), Braholo (Gunung Kidul), dan Song Keplek (Pacitan). “Menariknya semua gua itu indikasinya ada populasi ras yang sama, Australomelanesid dengan ciri kubur terlipat dan konteks budayanya preneolitik,” jelas Ruly.   Bellwood menjelaskan, Australomelanesid atau Australoid adalah satu dari dua ras utama Homo sapiens yang meninggali kepulauan Nusantara. Selain Australomelanesid, ada pula ras Mongoloid, atau lebih khusus Mongoloid Selatan. Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia dalam “Tinggalan Budaya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Indonesia dan Malaysia dan Dampaknya pada Penguatan Kebudayaan Melayu Kini” yang disampaikan di Seminar Antarabangsa Perantauan Sumatera-Semanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia pada 2012 menjelaskan perbedaan kedua ras itu. Menurut Cecep, ras Australomelanesid antara lain memiliki ciri-ciri berbadan tinggi. Tengkoraknya relatif kecil, berbentuk lonjong dengan dahi yang agak miring dan pelipis agak membulat. Lebar mukanya sedang. Sementara Mongoloid badannya lebih kecil. Tengkoraknya besar, berbentuk bundar dengan dahi lebih membulat dan pelipis tinggi dan persegi. Mukanya lebih lebar. Australomelanesid diduga telah ada lebih dulu di Nusantara sebelum kedatangan ras Mongoloid. Ruly menjelaskan, dalam perspektif biologi, keberadaan Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara selalu dikaitkan dengan tradisi Neolitik dan diaspora penutur bahasa Austronesia. Ciri khas tradisi Neolitik misalnya, gerabah dan beliung persegi. Sementara diaspora Austronesia diperkirakan terjadi sekira 4.000 tahun yang lalu. Menggantikan atau Membaur? Herawati menjelaskan sejak awal yang membuat manusia Indonesia beragam adalah karena kawasannya menjadi persilangan migrasi. Hal ini tergambar dalam DNA manusia Indonesia masa kini. Melalui data genetik terjelaskan, gelombang pertama migrasi Homo sapiens keluar dari Afrika masuk ke Indonesia terjadi pada 50.000 tahun lalu yang secara arkeologis ditandai dengan ras Australomelanesid. Mereka masuk melalui dua jalur ke arah timur. Pertama, dari Asia daratan turun ke Sumatra, Jawa, menyeb e rangi Nusa Tenggara. Kedua, melewati Kalimantan, masuk ke Halmahera, Raja Ampat, dan Fak Fak. Gelombang kedua datang dari 30.000 tahun lalu. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari Asia daratan melewati Semenanjung Malaya. Ketika itu Sumatra, Kalimantan, dan Jawa masih menjadi satu.  “Nah jadi pertanyaan kan? Turun itu membaur atau menggantikan (Australomelanesid, red. ) nanti kita bisa tahu,” kata Hera. Gelombang ketiga terjadi sekira 4.000 tahun lalu. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Tiongkok Selatan menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera. Dalam diasporanya mereka membawa Bahasa A u stronesia. Bahasa inilah yang kemudian berkembang, khususnya di Nusantara. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya. Gelombang keempat terjadi ketika Nusantara sudah masuk periode sejarah. DNA-nya membekas khususnya pada orang-orang yang tinggal di pesisir. “Dulu banyak sekali pedagangan dari Eropa, Tiongkok, India, Arab yang datang membaur,” kata Hera. “Keempat gelombang migrasi ini akan mempengaruhi DNA.” Dari penelitiannya, Hera melihat pada populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur terdapat gradasi pembauran genetik. “Dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austroasiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Austroasiatik dan Austronesia adalah dua rumpun bahasa yang berbeda. Namun keduanya sama-sama disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik bermigrasi lebih dulu ke Nusantara.  Sekira 4.300-4.100 tahun lalu, mereka mulai bermigrasi dari Yunan ke Vietnam dan Kamboja, menyusuri Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu hasil budaya yang dibawa adalah tembikar berhias tali.  Sementara penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua (Austromelanesid). Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia. “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya,” jelas Herawati. Kesimpulannya didukung sebaran geografis beberapa temuan arkeologi. Pada zaman Neolitik, ras Australomelanesid lebih dominan di Indonesia bagian barat. Seperti di situs Anyer Lor (Banten), Buni (Jawa Barat), Sangiran, Plawangan, Gunung Wingko di JawaTengah, serta Muncar, Pacitan, Jember, Puger (Jawa Timur). Di Indonesia bagian tengah dan timur, seperti temuan rangka manusia di Melolo (NTB), Ulu Leang, Bada, Napu, Besoa, Paso, Sangihe (Sulawesi), serta Gua Alo, Liang Bua di NTT memperlihatkan percampuran antara ras Mongoloid dan ras Australomelanesid. Percampuran ras Mongoloid dan ras Australomelanesid juga terjadi di Malaysia seperti yang ditemukan di gua Kepah. Sementara pada masa yang lebih muda, zaman logam, ras Mongoloid lebih dominan di Indonesia barat. Sementara di timur, dominasi Australomelanesid lebih terlihat. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, populasi Mongoloid lebih dominan. Kendati populasi ini mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid. Jika disederhanakan, menurut Bellwood, bisa disebut populasi Mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara. Di Indonesia timur, populasi yang paling dominan jelas merupakan bagian dari dunia Melanesia, baik secara fisik maupun budaya. “Ekspansi Mongoloid yang memasuki lingkungan Australo-Melanesia menimbulkan variasi yang cukup besar dalam setiap kelompok mestinya cukup menjelaskan keadaan yang ada,” jelas Bellwood. Itu belum ditambah variasi dari gelombang migrasi keempat pada masa sejarah. Tak heran jika kini manusia Indonesia merupakan hasil campuran dari beragam genetika. Akhirnya, seperti kata Herawati, tak ada pemilik gen murni di Nusantara, karena moyang manusia Indonesia pun adalah pengembara yang secara bertahap pergi keluar dari Afrika.

  • Wejangan Istri untuk Perwira Penjudi

    SUATU hari, Brigjen TNI Kemal Idris mendapat panggilan tugas ke Kongo sebagai Komandan Pasukan Garuda III –kontingen pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB. Selama setahun, Kemal berdinas di negara konflik yang terletak di Afrika bagian tengah itu. Setelah misi selesai, Kemal ditarik pulang ke Indonesia pada 1963. Pangkatnya diturunkan setingkat menjadi kolonel. “Setelah kembali dari Kongo, saya tidak langsung ditugaskan, tetapi tetap istirahat di rumah. Saya tidak bekerja, gaji kecil, sedangkan harga barang sangat mahal,” kenang Kemal dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi. Menurut Kemal, penugasannya ke Kongo adalah sekadar usaha untuk menyenangkan dirinya. Dalam catatan Markas Besar Angkatan Darat, Kemal punya reputasi kurang baik. Dia termasuk perwira yang tidak disukai, khususnya oleh Presiden Sukarno. Kemal pernah mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Negara saat terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Akibatnya, karier militer Kemal macet. Untuk kenaikan jabatan, namanya tergolong perwira yang kurang diperhitungkan. Terlilit hidup sulit karena gaji kecil bikin Kemal gelap mata. Agar dapur rumahnya tetap ngebul, Kemal nekat mencari tambahan pundi-pundi dengan main judi. Kemal menyelenggarakan perjudian di rumahnya sehingga dapat uang tong –uang tarikan yang diberikan kepada tuan rumah. Kalau lagi menang judi, Kemal menyetorkan setengahnya kepada sang istri, Winoer Idris. Lambat laun, persoalan ekonomi, perkara kalah-menang main judi bikin emosi Kemal tidak stabil. Kemal sering naik pitam dan membentak anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Perubahan perilaku Kemal jadi perhatian istrinya. Sekali waktu, Kemal dipanggil oleh istrinya dan kemudian terjadilah perbincangan. “Perlu kamu ketahui, keadaan yang hadapi sekarang merupakan konsekuensi sikap kamu,” kata Winoer kepada Kemal. Pernyataan itu dilanjutkan dengan ultimatum: “Kalau kamu tidak tahan dengan keadaan seperti ini, segera pergilah ke Istana. Temui Sukarno. Jilati pantatnya bersih-bersih. Setelah itu pasti hidup kita akan baik. Kalau ternyata hal itu kamu lakukan, saya tidak akan respek pada kamu seumur hidup,” demikian pesan istri Kemal. Betapa tertegun Kemal mendengar curahan hati sang istri. Kemal menyadari kekeliruannya. Dia pun insaf dan berjanji menghentikan kegemaran berjudi. Kemal ingin hijrah dan mencari kesibukan baru. Kemal sempat terpikir untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Untuk menambah biaya rumah tangga, istrinya ikutan banting tulang menjual koran atau botol bekas kepada tukang loak yang melintas di depan rumah.         “Akhirnya mata saya terbuka melihat kenyataan yang ada di sekeliling saya. Ini membangkitkan semangat baru dalam hidup saya,” tutur Kemal.   Belum sempat Kemal berkuliah, datanglah Kolonel Suwardoyo, asisten personel Kostrad. Suwardoyo merupakan utusan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Suwardoyo menyampaikan pesan Soeharto yang mengajak Kemal bergabung ke Kostrad. Kehadiran Kemal dibutuhkan sebagai pengganti Brigjen Rukman, wakil Soeharto sebelumnya. "Soeharto tahu riwayat hidup Kemal, seorang pejuang berwatak pemberang, berpendirian tegas, dan tidak kenal kompromi," tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Pada 1964, Kemal mendampingi Soeharto sebagai Kepala Staf Kostrad. Pangkatnya naik lagi jadi brigjen. Selama di Kostrad, karier militer Kemal mulai menanjak. Kemal terlibat dalam Operasi Dwikora “Ganyang Malaysia” dengan wilayah komando operasi di Sumatra. Kemal juga berperan dalam “Operasi Khusus (Opsus)” yang berujung pada penyelesaian sengketa Indonesia dan Malaysia. Tidak hanya di medan tempur, Kemal turut “bermain” di gelanggang politik. Kemal menyokong dan melindungi gerakan mahasiswa yang getol berdemonstrasi menuntut Sukarno lengser. Kemal pula yang mengirimkan pasukan liar saat Sukarno menyelenggarakan sidang kabinet pada 11 Maret 1966. Puncaknya, Kemal naik menjadi panglima di Kostrad dan membantu Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Menurut Salim Said, Kemal Idris adalah king maker  (orang di balik layar) terpenting dalam masa peralihan menuju rezim Orde Baru. “Beliau memimpin Kostrad sebagai King Maker  senior yang berhasil menyingkirkan Sukarno dan menaikan Soeharto,” tulis Salim Said.*

  • Saat Maria Ullfah Bebaskan Tawanan Perang

    KETIKA Sutan Sjahrir membentuk kabinet keduanya pada Maret 1946, Maria Ullfah diminta masuk dalam jajaran kabinet sebagai menteri sosial. Ajakan Sjahrir sempat membuat Maria bingung. Ada banyak masalah sosial pasca-proklamasi, namun Maria tak tahu mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Ia pun ragu menerima permintaan Sjahrir. “Saya juga tidak pernah jadi perdana menteri, kamu yang sering memperlihatkan keberanian mestinya mau (menjadi menteri sosial, red. ),” kata Sjahrir membujuk Maria. Pada akhirnya, Maria menerima permintaan itu. Dorongan untuk memperlihatkan pada dunia kalau Indonesia bukan negara buatan Jepang seperti anggapan Belanda berperan penting dalam keputusan Maria. “Karena kalau di Jepang itu wanita tidak punya kedudukan yang sama dengan pria. Di sini saya perlihatkan kalau wanita Indonesia juga bisa menjadi menteri,” kata Maria pada Dewi Fortuna Anwar dalam wawancara yang diterbitkan Arsip Nasional. Langkah pertama yang dilakukan Maria Ullfah ialah mengeluarkan wanita-wanita Eropa dari kamp tawanan perang. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda  menyebut orang Eropa dan Indo itu ditangkapi oleh tentara pendudukan Jepang dan dimasukkan ke kamp tawanan, salah satunya di Cideng, Jakarta Pusat. Setelah proklamasi kemerdekaan, sebagian tawanan itu belum dibebaskan. Perdana Menteri Sjahrir membuat kesepakatan dengan Inggris untuk meredam pertumpahan darah antara pihak pro-republik dan pro-Belanda. Pihak Belanda, yang membonceng Inggris, ngotot menolak perundingan dan tidak mengakui kemerdekaan Indoensia. Bagi Belanda, proklamasi kemerdekaan adalah produk Jepang, hal yang ditolak oleh pejuang kemerdekaan. Untuk meredam kekacauan, Sjahrir dan diplomat Inggris Sir Archibald Clark Kerr sepakat dengan keputusan Indonesia mengeluarkan tawanan perang. Itulah tugas pertama Maria: mengurusi tawanan wanita sebagai bagian dari diplomasi. Untuk itu, Maria banyak berhubungan dengan Kerr selaku penengah. Selain itu, Maria juga dibantu Panitia Urusan Pemulangan Jepang dan Allied Prisoner War Interneese. Pada April 1946, Maria dan Sjahrir bertemu Kerr dalam sebuah perjamuan di geladak kapal Norfilk . Maria ditugaskan menjadi perantara antara tawanan kamp dengan otoritas Sekutu. Setelah bertemu pihak Indoensia, Kerr bertemu dengan pihak Belanda. Dengan begitu, Belanda tidak punya alasan untuk menolak perundingan. Semua ini  merupakan taktik Sjahrir untuk meredam konflik Indonesia-Belanda. Maria langsung mengunjungi kamp-kamp dan melihat kebutuhan para tawanan perang. Mayoritas tawanan kekurangan pakaian, makanan, dan susu anak. “Waktu mereka lihat menteri sosialnya seorang wanita, ada perempuan Eropa yang menghampiri saya. Ia berbisik minta bedak dan lipstick,” kata Maria. Permintaan itu kemudian diteruskan ke headquarters  Sekutu di Jakarta selaku penanggung jawab semua kebutuhan tawanan. Sekutu lalu mengirimkan semua kebutuhan itu lewat Maria selaku perantara. Dalam misi ini, Maria bertugas sebagai tim diplomasi untuk kemanusiaan. Selain menyalurkan kebutuhan, Maria juga menyertai perempuan-perempuan Belanda dan Prancis naik kereta api sampai di titik pertemuan sebelum kembali ke negara masing-masing. Sebagai imbalannya, Inggris mengizinkan pemerintah Indonesia menumpang pesawatnya untuk berhubungan dengan pemerintahan di Sumatera. Pada April 1947, Maria datang ke Padang bersama Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem, Mr. Sumarman, Menteri Pekerjaan Umum Ir. Putuhena dan Sjafrudin Prawiranegara menggunakan pesawat pembom Inggris. Di sana, Maria menginap di rumah dokter perempuan pertama Marie Thomas yang menikah dengan dokter Yusuf. Setelah kunjungan itu, perundingan lanjutan dengan Belanda diagendakan namun ternyata tidak berhasil. Buntutnya, Sjahrir meletakan jabatan pada Juni 1947 dan kabinetnya resmi bubar pada 3 Juli 1947. “Perundingan tidak berhasil karena pertengkaran golongan antara kita, diplomasi Sjahrir dipandang terlalu lunak,” kata Maria.*

  • Kisah Luciano Leandro Adu Nasib Lintas Benua

    DARI Brasil untuk berhasil. Motto itu masih tertanam dalam hati Luciano Leandro, mantan bintang Persija dan PSM Makassar asal Brasil. Meski kini sudah berganti profesi menjadi pelatih, motto itu masih dipegangnya erat-erat menjadi “ruh” guna mewujudkan ambisinya. Pun begitu, ia tetap rendah hati dan selalu bersahabat. Sapaan lebih dulu terlontar darinya ketika ditemui Historia . Hampir setiap kalimat ia buka dengan kata friend  alias teman. Dengan bahasa Indonesia yang kadang masih terbolak-balik strukturnya, ia berkisah banyak tentang kariernya pasca-dipecat Persipura pada Juli 2019. Luci, begitu ia biasa disapa, masih optimis berkarier di klub lain untuk musim depan. “Ya, setelah Juli lalu habis dari Persipura ada tawaran lagi (dari) dua klub. Ada dari tim Liga 1 dan Liga 2. Tapi kita tidak bisa sebut dulu timnya, friend . Kita tunggu saja. Mudah-mudahan Tuhan tentukan tempat yang lebih bagus,” ujarnya kepada Historia dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Merantau ke Belahan Bumi Lain Jejak Luci di persepakbolaan Indonesia dimulai pada 1995 bersama PSM Makassar. Di klub kebanggaan Kota Makassar itu kebintangannya mulai dipoles. Meski gelar juara Liga Indonesia VII baru dicicipinya musim 2001, Luci tercatat jadi salah satu legiun asing tersukses yang dicintai publik sepakbola tanah air, di Makassar maupun Jakarta. Luciano Gomes Leandro lahir di Macaé, Rio de Janeiro, 1 Februari 1966. Anak keempat dari lima bersaudara hasil perkawinan Cecilio Leandro dan Luci dos Santos Gomes itu suka sepakbola lantaran melihat salah satu kakaknya yang jadi pemain profesional. Luciano Gomes Leandro berkisah masa mudanya di Brasil sebelum merantau ke Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Laiknya anak-anak Brasil yang nyaris sudah pasti akrab dengan sepakbola, Luci sudah sering jadi andalan tim sekolahnya di berbagai kejuaraan. “Sejak anak (kecil) saya awalnya main bek kanan. Tapi kemudian saya masa remaja pilih gelandang serang seperti Zico,” kata Luci mengenang. Suatu hari, bakatnya diminati klub Seri C Brasil Goytacaz FC. Di klub itulah kariernya dirintis. Seiring makin berkibar namanya, kariernya tak hanya dihabiskan di satu tempat. Luci malang melintang di klub-klub kasta bawah macam Macaé Esporte FC, Valério Esporte Clube, hingga Bangu Atlético Clube yang jadi klub terakhirnya pada 1995 sebelum merantau ke Indonesia. “Di Valério itu saya sempat main bersama Jacksen (F. Tiago, legiun asing Liga Indonesia kompatriot Luciano) tapi tidak lama. Lalu saat saya masih bermain untuk Bangu, ada agen yang memantau saya,” tuturnya. Adalah Angel Ionita, agen bola ternama dari International Sport Association yang bermarkas di Swiss, yang kepincut Luci. Ionita acap mendatangkan pemain asing dari berbagai benua ke persepakbolaan Indonesia. Sebelum memboyong Luci, ia sudah membawa Jacksen F. Tiago bersama enam jogador (pemain) dari Brasil lain pada 1994. Ditipu Agen Sebagaimana Jacksen, Luci diiming-imingi banyak hal oleh Ionita untuk mau berkiprah di Liga Indonesia. Luci bimbang. Jangankan liganya, Indonesia kala itu sama sekali tak dikenal Luci. Di mana letak negeri itu pada peta, Luci tak tahu. Namun, Luci akhirnya mendapat dukungan penuh keluarga. “Papa saya bilang, Luci, jangan takut gagal. Kalau kamu gagal, kami di sini siap menyambut kamu pulang,” sambung Luci. Dorongan orangtua membulatkan tekadnya untuk menerima ajakan Ionita. Namun sebenarnya Luci kena tipu. Seperti halnya Jacksen, Luci mulanya dijanjikan untuk main di Malaysia. Kepada Koran Tempo , 2 Maret 2005, Jacksen berkisah, ia dan keenam kompatriotnya juga mulanya dijanjikan main di Malaysia. “Tapi saya memilih tetap bertahan. Lagipula nanggung kalau kembali ke Brasil. Dicoba dulu. Kalau tak cocok nanti bisa pulang,” kata Jacksen yang lebih muda dua tahun dari Luci. Luci pun saat itu memilih bertahan di Indonesia. Salah satu faktor yang membuatnya bertahan adalah pantai. Indonesia sebagai negara kepulauan punya banyak pantai nan mempesona, tak kalah dari Brasil. Sejak muda, Luci paling getol main ke pantai. “Di Jakarta, kita seperti barang dagangan. Jadi kita (pemain-pemain bawaan Ionita) dikumpulkan di Hotel Kempinski (Hotel Indonesia) ke hadapan bos-bos klub. Saya dimaui (diinginkan) Nurdin Halid. Jadilah klub pertama saya PSM Makassar,” Luci mengenang. Di Indonesia, Luciano Gomes Leandro mengukir kebintangan bersama PSM Makassar dan Persija Jakarta (Foto: Instagram @lucianogomesleandro) Kontraknya pun diurus Ionita. Di situlah kejengkelan kedua Luci datang. Ia merasa dikerjai Ionita soal kontrak yang tak sesuai dengan yang dijanjikannya sewaktu masih di Brasil. “Waktu itu tidak fair . Waktu di Brasil dia janji sesuatu tapi ketika datang ke Indonesia, dia tidak ikuti apa mereka janji kita sesuatu. Kita dijanjikan kalau sign dengan klub akan langsung dikasih 25 persen dari total nilai kontrak. Tapi ketika sudah di sini (Indonesia), tidak ada itu uang di muka. Itu pasti mereka yang ambil,” Luci mengisahkan sambil mendongkol atas keingkaran Ionita itu. Namun, Luci masih bertahan. Selain karena ia hobi main ke pantai, ia masih pegang tekad untuk berhasil di Indonesia. “Saya tetap di sini usaha untuk bisa (main) lebih bagus. Tahun berikutnya agar bisa sign kontrak lebih bagus. Memang banyak pemain bermasalah Ionita bawa ke sini. Ada Maboang Kessack, Roger Milla, ada banyak pemain Brasil lain yang tidak mau saya sebutkan namanya,” tandas Luci.

  • Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan

    PROYEK DNA Historia mengajak delapan orang figur publik untuk ikut serta dalam tes DNA. Dua di antaranya politisi PDI Perjuangan: Hasto Kristiyanto dan Budiman Sudjatmiko. Hasilnya, sebagian besar DNA moyangnya berasal dari Asia Timur. Yang menarik, keduanya memiliki jejak moyang Timur Tengah, yaitu Semitik yang kemungkinan besar dari orang-orang Samaria (kini di Palestina). “Saya tidak kaget. Sejak awal saya meyakini bahwa Nusantara adalah titik temu dari berbagai ras, etnis, dan peradaban dunia. Sehingga kita tidak bisa mengatakan diri kita asli. Inilah kita semua, perpaduan dari berbagai etnis dunia,” kata Hasto Kristiyanto dalam pembukaan pameran ASOI (Asal Usul Orang Indonesia) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Oktober 2019. Sementara Budiman Sudjatmiko merasa terkejut memiliki DNA dari Samaritan. “Saya terkejut, kok, satu partai sama-sama turunan, kalau dalam Alkitab, Yesus menyebut The good Samaritan , yaitu orang Samaria yang baik. Orang Samaria yang menolong sesamanya tanpa melihat asal usul dan agamanya, dan kelihatannya cocok dengan ideologi kita, Bung Hasto,…Marhaenisme,” kata Budiman sambil tertawa. Menurut Akhmad Sahal, kandidat doktor University of Pennsylvania, tulisan ini cukup menjelaskan, setidaknya sebagai pengantar tentang Samaritan. Tapi yang menjadi pertanyaan bagaimana Samaritan bisa “nyelonong” ke manusia Indonesia. “Samaritan memang punya pertautan dengan Yahudi, tapi sebagian besar silsilah Yahudi itu bukan Samaritan. Apakah penyebutan Samaritan untuk DNA yang nyelonong ke orang Indonesia tersebut memang Samaritan, atau Yahudi? Saya kok cenderung percaya itu Yahudi, gak  spesifik Samaritan. Tapi kan kalau disebut Yahudi takutnya kontroversial,” kata Sahal kepada Historia . Siapakah Orang Samaritan? Pada zaman kuno, bangsa Yahudi terbagi menjadi Kerajaan Israel di Utara dan Kerajaan Yudea di Selatan. Pada 722 SM, Kerajaan Utara ditaklukkan Kerajaan Assyria. “Sepuluh suku di bagian utara Israel diusir, dipaksa untuk bergabung dan, dengan dasar agama dimusnahkan. Kesepuluh suku yang hilang itu selamanya lenyap dari sejarah,” tulis Karen Armstrong dalam Perang Suci dari Perang Salib hingga Perang Teluk . Orang Yahudi yang menetap bercampur dengan orang-orang Assyria. Kaum campuran inilah yang menjadi orang Samaritan. Menurut Steve Olson dalam Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal Usul Manusia , orang Samaritan memiliki Kitab Taurat yang sampai sekarang masih ditulis dalam salah satu alfabet Semitik kuno. Mereka menjalankan ajaran-ajaran kitab itu sebelum jatuhnya Kerajaan Yehuda di Selatan ke tangan Kerajaan Babilonia pada 587 SM. “Akan tetapi, ketika kaum Yehuda mulai kembali ke Israel dari pengasingannya di Babilonia, mereka tidak pernah menerima orang Samaritan sebagai kaum Yahudi dan menolak tawaran untuk bersatu dengan orang Samaritan. Sejak saat itu, dua tradisi Yahudi ini berjalan sendiri-sendiri dengan sejumlah persamaan dan perbedaan,” tulis Steve Olson. Yonky Karman, pendeta dan pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menyebutkan bahwa meski orang Samaritan menganut agama Yahudi, tetapi orang Yahudi menganggap agama Yahudi yang dianut mereka tidak murni lagi. Permusuhan antara orang Yahudi dan orang Samaritan meruncing ketika orang Samaritan mendirikan Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim. Sedangkan orang Yahudi memiliki tempat suci di Yerusalem. “Di antara kelompok di luar Yahudi yang tidak dianggap sesama, mungkin orang Samaria yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi,” tulis Yonky Karman dalam Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama. Kendati demikian, Steve Olson mencatat bahwa salah satu persamaan antara orang Yahudi dan orang Samaritan adalah sama-sama pernah mengalami sejarah penyiksaan. Komunitas-komunitas Samaritan yang hidup di bawah Kerajaan Romawi mengalami penganiayaan secara kejam. Sementara itu, komunitas-komunitas Samaritan di Syiria dan Mesir telah punah, dan pada akhir abad ke-19, jumlah total orang Samaritan hanya 150 orang. Pada abad ke-21, lanjut Steve Olson, komunitas Samaritan mulai tumbuh lagi. Jumlah mereka sekarang lebih dari 600 orang. Setengahnya tinggal di Kota Holon di luar Tel Aviv, sedangkan setengahnya lagi di Bukit Gerizim. Orang Samaritan terkenal paling ketat dalam perkawinan seiman. Mereka menjaga tradisi itu selama lebih dari 2.000 tahun. Kini mereka memiliki lima garis keturunan lelaki, dua di Bukit Gerizim, dua di Holon, dan satu lagi berada di antara kedua komunitas. Bagaimana dengan orang Samaritan yang berdiaspora? Situs   Mashfeht Baanee Yaashaaron  menyebut orang Samaritan melarikan diri dari penindasan dan perang ke Italia dan Kroasia pada awal abad ke-6. Orang Samaritan bermigrasi ke Amerika pada abad ke-19. Menariknya, ada yang ke Indonesia pada abad ke-21, yaitu Yaqob bar-Karoza yang tinggal bersama istri dan anaknya di Surabaya. Dalam wawancara dengan minanews.net , Yaqob menyebut jumlah Samaritan sekarang kurang dari seribu orang di seluruh dunia. The Good Samaritan Di awal tulisan, Budiman Sudjatmiko menyebut The good Samaritan . Seperti apa kisahnya? Yonky mengisahkan bahwa dalam kitab Alkitab, Yesus bercerita tentang seorang Yahudi yang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho menjadi korban perampokan dengan kekerasan. Ia tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan tak berdaya. Kemudian lewat seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya orang Yahudi yang tergolong rohaniawan. Imam adalah orang yang memimpin ibadah dan upacara kurban di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan orang Lewi yang membantu imam bertanggung jawab atas musik dalam ibadah dan keamanan bangunan-bangunan di kompleks Bait Allah. Imam dan orang Lewi itu melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan mengenaskan. Bukannya berhenti menolongnya, mereka malah menempuh jalan lain. Sebagai manusia, mereka mungkin simpati pada korban. Namun, mereka tidak mau repot dan ingin menghindari masalah yang mungkin akan timbul. Kemudian lewatlah orang Samaritan yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi. “Nyatanya, ia memberi pertolongan. Simpati yang dimiliki imam dan orang Lewi berhenti sebagai simpati," tulis Yonky. "Namun, simpati orang Samaria melahirkan aksi. Simpati memang baik, nasihat juga baik. Yang terbaik tentu saja pertolongan konkret." Orang Samaritan itu menolong seadanya: mencuci luka orang Yahudi itu dengan anggur dan minyak, membalut lukanya, dan membawanya ke penginapan untuk dirawat lebih lanjut. Setiba di penginapan, ia masih merawatnya dan menginap semalam. Ia pergi meninggalkan korban karena ada urusan yang harus diselesaikan. Namun, ia sempat menitipkan sejumlah uang kepada pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban selama ia pergi. Setelah urusannya selesai, ia berjanji akan kembali dan membayar segala kekurangannya. “Orang Samaria dalam cerita Yesus telah berhasil menjadi sesama bagi orang yang memerlukan uluran tangan,” tulis Yonky. “Ia telah menjadi sesama bagi orang yang malang itu, sedangkan imam dan orang Lewi belum menjadi sesama kendati kesamaan etnis dan agama.” Setiap orang bisa menjadi The good Samaritan  dengan berempati, bersimpati, dan yang lebih penting beraksi untuk kebaikan.*

bottom of page