Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ketika Bendera Belanda Terkoyak
GEDUNG tua di mulut Jalan Braga, Bandung itu masih berdiri dengan gagahnya. Gaya arsitekturnya yang bercorak art deco masih berwujud tegas dan tak lekang dimakan zaman. Pada ujung masa pemerintah Hindia Belanda, di sinilah Bank DENISH (De Erste Nederlands Indische Spaarkas en Hypotheekbank) memutar roda bisnisnya sehari-hari. Saat ini, bekas gedung DENISH dipergunakan untuk kantor Bank Jawa Barat Banten (BJBB). Kendati sudah berumur lumayan tua, namun pesonanya masih terpancarkan. Itu dibuktikan dengan masih banyaknya orang yang mengunjunginya. “Terutama para pegiat sejarah kota Bandung,” ujar Hasan Sobirin, koordinator Historical Trip Bandung. Namun tak banyak orang tahu, Gedung DENISH memiliki kisah sendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Beberapa bulan usai proklamasi Indonesia dikumandangkan, di sinilah tempat-nya para pemuda Bandung memamerkan semangat nasionalisme-nya dalam menghadapi kolonialisme Belanda di Indonesia. “Hari ini orang sudah mulai lupa dan hanya mengetahui bahwa perobekan bendera Belanda hanya terjadi di Hotel Yamato, Surabaya saja,” ujar R.H. Eddie Soekardi, pelaku sejarah sekaligus veteran pejuang Perang Kemerdekaan di Jawa Barat. Akhir November 1945. Hari belum beranjak siang ketika bendera berwarna merah putih biru dikibarkan secara provokatif oleh sekelompok orang Belanda di puncak Gedung DENISH. Aksi itu kontan menggemparkan kota Bandung dan mengundang ratusan pemuda datang dari berbagai pelosok kota untuk datang ke sana. Mereka kemudian bergerombol di depan gedung karya arsitek Belanda Albert Frederik Aalbers tersebut. “Dengan wajah marah, para pemuda berteriak-teriak menuntut penghuni gedung untuk secepatnya menurunkan Tri Warna,” ujar R.H.Eddie Soekardi dalam buku Hari Juang Siliwangi . Demi menghadapi tuntutan masa pemuda Bandung tersebut, para serdadu Jepang dan Inggris yang berjaga di depan Gedung DENIS malah memperlihatkan sikap menantang. Beberapa di antara mereka, bahkan ada yang menembakkan bedilnya ke udara. Alih-alih menjadi gentar, keberingasan pemuda malah semakin menggila. Bunyi tembakan musuh justru dijadikan isyarat komando untuk menyerbu. Maka terjadilah pertarungan jarak dekat yang begitu brutal. “Beberapa serdadu Jepang menjadi korban, kepala mereka sebagian dipuntir (dipelintir sekaligus dipatahkan),” ujar Mohamad Endang Karmas, salah seorang pelaku sejarah dalam insiden tersebut Mengabaikan ancaman peluru yang bersiliweran dan membahana, para pemuda Bandung malah semakin merangsek dan membentuk formasi tempur pula. Seiring terdengarnya teriakan "siap!" dari berbagai penjuru, sekelompok pemuda dari Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bergerak cepat melucuti serdadu-serdadu Jepang dan Inggris yang bertahan penuh rasa kecut di gerbang utama Gedung DENISH. Sementara itu, di bawah komando Kapten Husein Wangsaatmadja, sekelompok pelajar SLP (setingkat SMP) yang baru tamat Sekolah Kader Militer di Tegallega, masuk ke dalam gedung. Setelah terlibat perkelahian satu lawan satu dengan serdadu-serdadu Belanda, beberapa di antara mereka langsung naik ke menara gedung, di mana Si Tiga Warna berkibar dengan pongah-nya. Para serdadu Inggris yang bermarkas di Hotel Savoy Homan (jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Gedung DENISH) tentu saja tak tinggal diam melihat kejadian tersebut. Mereka lantas menghadiahi para pemuda dengan peluru-peluru tajam. Tapi dasar pemuda Bandung, bukannya menjadi takut, mereka malah semakin nekat. Dua pemuda bernama Karmas dan Mulyono berhasil mencapai menara tempat bendera Belanda dikibarkan. Mereka kemudian berusaha menurunkan bendera tersebut. Namun sial, angin terlalu kencang bertiup hingga kabel pengibar menjadi semakin kuat dan liar. Mereka berusaha menjangkau kain bendera namun gagal karena posisinya yang terlampau tinggi. “ Kumaha yeuh, Mul?!” tanya Karmas sedikit panik karena tembakan dari arah Hotel Savoy Homan terasa semakin gencar. “Coba lagi aja !” jawab Mulyono. Tiba-tiba datang ide di kepala Karmas. Sambil memegang ujung bendera yang saat itu tengah terkulai, Karmas menghunus bayonetnya. Ditopang bahu Mulyono yang ia pijak, Karmas lantas mencabik-cabik bagian warna biru Si Tiga Warna hingga serpihan-serpihan kainnya jatuh dan bertebaran di Jalan Braga. Setelah merasa cukup mengoyak bendera milik musuhnya itu, kedua anak muda itu lantas meneriakkan kata "merdeka" berkali-kali, mereka lantas turun dan langsung menghilang di lorong-lorong Jalan Naripan. Koyaknya bagian warna biru itu, menyebabkan Si Tiga Warna yang masih berkibar terlihat sebagai Sang Merah Putih, bendera Republik Indonesia.
- Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen
KENANGAN itu muncul di ingatannya. Nana, sapaan akrab jurnalis Najwa Shihab, kembali teringat candaan teman-teman semasa kanak-kanaknya dulu. Onta, begitulah mereka memanggil Nana yang memang memiliki wajah dan darah Arab. Alih-alih tersinggung dengan olokan itu, putri cendekiawan muslim Quraish Shihab ini, menanggapinya biasa, malah mewajarkannya. “Itu yang kemudian saya rasakan berbeda dengan sekarang. Dulu rasanya santai-santai saja. Dipanggil julukan apapun yang berkaitan dengan orang tua atau garis keturunan, saya merasa hal yang wajar dan biasa, tidak pernah tersinggung, karena tidak pernah dilakukan untuk tujuan menyakiti. Hanya sebatas julukan atau bercanda anak kecil saja. Jadi saya tidak pernah terganggu dengan itu,” kata Nana. Siapapun yang melihat Nana pasti akan berpikir ia berasal dari keturunan Arab murni. Karena secara fisik Nana memang terlihat seperti kebanyakan orang-orang dari wilayah jazirah Arab, terutama bentuk wajahnya. Namun, apakah betul demikian? Historia mencoba menjawabnya. Nana terdaftar sebagai satu dari delapan tokoh publik yang menjadi relawan dalam Proyek DNA Historia. Bersama Ariel Noah dan sutradara Riri Riza, Nana menguji komposisi DNA di dalam tubuhnya dengan menggunakan uji sampel saliva (air liur). Hasilnya sangat mengejutkan. Komposisi DNA Ahli genetika Herawati Sudoyo menjelaskan Nana memiliki latar belakang genetik yang menarik. Karena ada sepuluh fragments (bagian/potongan) DNA yang berasal dari sepuluh moyang berbeda dalam tubuhnya. Paling banyak dan kompleks dibandingkan relawan lainnya. Berturut-turut dari yang paling dominan: 48.54% berasal dari Asia Selatan (Nepal, India, Bangladesh, Tamil); 26.81% dari Afrika Utara (Maroko, Algerian, Aljazair, Berbers); 6.06% dari Afrika (Mozambik); 4.19% dari Asia Timur (Tiongkok); 4.15% dari Diaspora Afrika (Afrika-Amerika); 3.48% dari Timur Tengah (Arab); 2.20% dari Eropa Selatan (Portugis); 1.91% dari Eropa Utara (Dorset); 1.43% dari Diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 1.22% dari Diaspora Eropa (Puerto Rico). “Jadi, yang waktu dulu manggil-manggil aku onta salah. Ternyata Middle Eastern-nya hanya tiga persen saudara-saudara,” kata Nana sambil tertawa. Hasil tes DNA telah membuktikan bahwa darah Arab dalam diri Nana hanya 3.48%, tidak lebih dominan dari darah Asia dan Afrika yang dibawanya. Lalu, bagaimana kita menjelaskan fisik Nana yang jelas terlihat seperti orang Arab? Jika dilihat dari garis keturunan ayah (Quraish Shihab), kata Nana, dirinya memang memiliki darah Arab secara langsung. Kakeknya, Habib Abdurrahman Shihab, adalah putra seorang juru dakwah dan tokoh pendidikan kelahiran Hadramaut, Yaman, bernama Habib Ali bin Abdurrahman Shihab yang hijarah ke Batavia. “Habib Ali kemudian menikah dengan nenek, saya memanggilnya Jidah Salma, kemudian lahirlah Habib Abdurrahman, kemudian Abi (ayah) Quraish Shihab. Jadi, saya tahunya sampai sejauh moyang ( buyut dalam istilah Jawa),” kata Nana. Keterangan Nana itu diperkuat oleh keterangan dalam biografi ayahnya, M. Quraish Shihab: Cahaya, Cinta, dan Canda karya Mauluddin Anwar, dkk. Disebutkan bahwa Habib Ali telah tinggal di Batavia sejak tahun 1901 untuk membangun lembaga pendidikan Jamiat Khair –lembaga pendidikan modern Islam pertama di tanah air yang awalnya dikhususkan bagi para pemuda Arab– bersama warga keturunan Arab lainnya. Tak hanya dari garis keturunan ayah, darah Arab juga terbentuk dari garis keturunan ibu. Menurut Nana, kakeknya, Habib Ali Asegaf merupakan putra seorang pedagang besar yang juga lahir di Hadramaut. Ia bersama pedagang-pedagang Arab lainnya hijrah dan menetap di Nusantara. Dalam catatan sejarah bangsa ini, keberadaan kaum Hadrami (orang-orang yang berasal dari Hadramaut) telah terekam jauh sebelum Habib Ali tiba di Nusantara. Sebagian besar keturunan Arab yang menetap di Indonesia berasal dari wilayah Hadramaut. Menurut Hikmawan Saefullah, dosen Hubungan Intenasional Universitas Padjadjaran Bandung yang lama meneliti Arab Hadramaut di Indonesia, pada pertengahan abad ke-8 dan ke-9, rezim Ummayah dan Abbasiyah menjadikan kalangan sayyid target pembunuhan karena ditakutkan menjadi ancaman politik. Karena terus dikejar dan diintimidasi, mereka akhirnya memilih melarikan diri ke luar Yaman, seperti Afrika, Hijaz, Persia, dan India. “Di antara yang melarikan diri ini, ada yang kabur ke wilayah Arabia Selatan, kemudian meneruskan perjalanannya melalui laut hingga ke wilayah Nusantara,” kata Hikmawan, yang juga seorang keturunan Arab Hadramaut, kepada Historia . Linda Boxberger dalam On the Edge of Empire: Hadhramawt, Emigration, and the Indian Ocean 1880s-1930s menjelaskan bahwa orang-orang Hadrami yang bermigrasi ke Afrika Timur dan India relatif lebih mudah kembali ke tanah airnya ketimbang mereka yang bermigrasi ke daerah yang lebih jauh, seperti Nusantara. Pasalnya, kegiatan pelayaran sebelum adanya kapal uap sangat sulit dan memakan waktu, terutama ketika di tengah perjalanan mereka harus berhenti untuk menunggu angin muson berembus. “Bahkan setelah perjalanan dengan kapal uap lebih mudah, karena alasan keluarga atau bisnis, mereka jarang pulang akibat biaya dan lamanya perjalanan,” tulis Linda. Karenanya, banyak orang Hadrami yang menetap permanen di Nusantara. Di Tengah Keberagaman Setelah melihat hasil tes DNA-nya, Nana sebenarnya tidak terlalu terkejut. Sebelumnya, ia sudah menduga dari mana saja leluhurnya berasal. Seperti gen Asia Selatan, yang baginya wajar karena moyangnya merupakan seorang pedagang besar sehingga sebelum mencapai Nusantara sudah pasti melakukan kontak dengan orang-orang di Gujarat, India. Begitu juga dengan gen Afrika Utara di tubuhnya. Bagi Nana yang pernah tinggal di Mesir, meski tidak ada kaitannya dengan komposisi gen di tubuhnya, wilayah Afrika Utara telah dekat secara emosional dengannya. Satu-satunya yang membuat Nana terkejut adalah persentase gen Arab yang ia miliki hanya 3.4%. Sangat jauh dari dugaan yang selama ini ia atau orang-orang di sekitarnya yakini. Selain itu, gen Puerto Rico juga cukup menarik perhatiannya. Meski tidak tahu mengapa bisa leluhurnya berada di sana, Nana merasa senang karena beragam gen mengalir di dalam dirinya. “Selalu menyenangkan untuk tahu lebih banyak tentang diri sendiri terutama asal-usul kita,” kata Nana. Nana menyadari keberagaman suku di Indonesia merupakan sebuah nilai yang sangat besar. Menurutnya sangat menarik bisa menggambarkan kekayaan Bhineka Tunggal Ika itu lewat tes DNA. Nana berharap kita bisa menunjukkan betapa kayanya negeri ini dari segi perbedaan. “Di tengah begitu banyak perbedaan yang ada di dalam diri kita masing-masing, sesungguhnya ini juga menguatkan bahwa satu hal yang menjadikan kita Indonesia adalah niat bersama untuk menjadikan ini rumah bagi semua. Jadi, dari mana pun kita berasal, dari berapa banyak pun silsilah yang mengalir di darah kita, Indonesia adalah rumah bersama dan Merah Putih jadi tujuan kita sama-sama. Terima kasih Proyek DNA,” tutup Nana.*
- Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
Grace Natalie, mantan jurnalis dan pembaca berita di sejumlah stasiun televisi, mengenang hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Dia memperoleh perlakuan rasis dari sesama jurnalis. Saat itu dia berada di Cikeas, menunggu Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan kepada pers setelah terpilih menjadi Presiden Indonesia 2004—2009. Grace berwajah oriental. Kulitnya terang. Seorang jurnalis lelaki memperhatikan ini. Dia mendekati Grace dan berbincang sekadarnya. Lalu pernyataan mengganggu keluar dari jurnalis lelaki itu. “Ngapain Lojadi wartawan? Kenapa gakbuka toko aja?” kata jurnalis lelaki, sebagaimana cerita Grace kepada Historia . Ucapan jurnalis lelaki itu berbekas sangat dalam. “Teringat sampai sekarang,” kata Grace. Ucapan itu termasuk stereotip terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Stereotip berarti penilaian orang hanya berpijak pada keyakinan subjektifnya, yaitu pengalamannya semata. “Sebuah stereotip mengenai suku bangsa itu muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah suku bangsa dalam berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu suku bangsa tersebut,” terang Parsudi Suparlan, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, dalam Hubungan Antar-Suku Bangsa . Stereotip meniadakan pengalaman orang lain terhadap suku bangsa tertentu. Sebaliknya, ia justru menggeneralisasi pengalaman seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Ia bersifat sempit, terbatas, jauh dari kebenaran, dekat pada pembenaran atas ketidaktahuan, dan berujung pada rasisme. Masihkah kita percaya pada stereotip? Pekerja Tambang Timah Grace mengatakan dirinya berasal dari Bangka, Timur Sumatra. Tapi dia tak tahu pasti kampung halaman leluhurnya. “ Gak pernah detail, sih , ceritanya. Karena kita, kan , gak mencatat. Jadi paling cerita mama terbatas sampai neneknya,” kata Grace. Dari cerita ibu dan pengalaman bertemu dengan saudara, Grace mengetahui kakek buyut dari pihak ibu sudah lama tinggal di Bangka. Leluhurnya kemudian menikah silang dengan orang tempatan. “Maka saya tak tahu persis siapa saja nenek moyang saya. Sudah campur-campur,” ujar Grace. Grace memperoleh keterangan lain tentang asal-usul buyutnya dari sebuah foto di rumah keluarganya di Bangka. “ Dia tampak dari ker a jaan di China. Datang ke Indonesia. T opinya ber bulu,” lanjut Grace. Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam acara “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negri China dan Nusantara”, orang-orang Tionghoa menapak di Bangka pada awal abad ke-18. Kala itu pertambangan timah mulai dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikah dengan orang-orang tempatan. Dari penelusuran literatur tersebut, leluhur Grace kemungkinan termasuk di antara pekerja tambang timah di Bangka. Kemungkinan ini secara tidak langsung telah menggugurkan stereotip si jurnalis lelaki bahwa orang Tionghoa pedagang toko. Untuk memperjelas asal-usul leluhurnya, Grace mengikuti tes DNA garapan historia.id dalam Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Asal-usul leluhur Grace ternyata tak tunggal. Dalam dirinya bukan hanya mengalir darah Tionghoa, melainkan juga Asia Timur secara lebih luas, diaspora Asia (orang-orang Asia yang menyebar ke Amerika Utara), Asia Selatan, dan Afghanistan. Migrasi Afghanistan “GakNyangka. Yang penampakannya kayak saya begini ternyata dulu-dulunya banget ada leluhur Afghanistan,” kata Grace. Persentase kandungan Afghanistan dalam DNA Grace 0,01 persen. Sangat kecil dibandingkan dengan persentase kandungan Asia Timur sebesar 76,92 persen. Tapi kandungan DNA sekecil itu sudah cukup mengukuhkan bahwa asal-usul dan identitas tidak pernah terbentuk secara tunggal dan berdiri sendiri. Afghanistan adalah sebuah negeri dengan sejarah panjang pendudukan aneka bangsa. Mulai pasukan Iskandar Zulkarnain dari Makedonia (sekarang wilayah utara Yunani) pada 330 SM, gerombolan Jenghis Khan asal Mongol pada abad ke-13, tentara Inggris pada abad ke-19, serdadu Uni Soviet pada 1979, dan prajurit Koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 2001. Pendudukan orang-orang dari luar Afghanistan itu kerapkali tak berlangsung lama. Suku-suku setempat menggelorakan perlawanan terhadap para penyerang. Beberapa dinasti sempat berdiri di Afghanistan dan mengukuhkan penyebaran agama Islam di wilayah ini sejak abad ke-8. Agama Islam menyebar ke Afghanistan melalui ekspansi orang-orang Arab ke antero negeri di sekitarnya. Suku-suku setempat memiliki tanggapan berbeda terhadap penetrasi Islam di wilayah ini. Sebagian besar menerima, lainnya tetap menolak. Penerimaan suku setempat terhadap kedatangan orang-orang Islam dari negeri Arab diikuti oleh pernikahan silang. Muncul generasi-generasi baru suku-suku setempat. Generasi yang memiliki darah campuran. Pada kesempatan berikutnya, generasi campuran ini keluar dari Afghanistan menuju Asia yang lebih luas, termasuk ke Nusantara, untuk menyebarkan Islam di bawah perintah dinasti setempat. Dan di tempat-tempat baru inilah mereka menikah silang dengan orang-orang tempatan. Arti DNA Migrasi orang-orang dari banyak tempat dan pernikahan silang pada masa lalu dalam rentang waktu yang lama menjelaskan mengapa seseorang memiliki DNA dari beragam ras dan wilayah. Ini pula yang terjadi pada leluhur Grace. Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, mengatakan bahwa Grace memiliki DNA orang Brahmin dari India. “Brahmin itu sebenarnya satu suku yang menggunakan kasta ya. Saya kira kita tahu kasta Brahma.” Pengkastaan dalam masyarakat India berlangsung sejak peleburan kebudayaan bangsa Arya dan Dravida di lembah sungai Hindus dan Gangga 3000 tahun lalu. Ini berarti leluhur Grace bisa ditarik ke masa lebih jauh. Termasuk menghubungkannya dengan penyebaran agama Hindu ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-5 M. Melihat keseluruhan hasil tes DNA, Grace kian menyadari tentang keberagaman asal-usul orang Indonesia. Keberagaman itu menguatkan kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia. Dia sadar bangsa ini tidak terbentuk atas ikatan darah atau keturunan. “Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace. Bersama itu pula, tes DNA menghantam telak stereotip seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Jika DNA seseorang memiliki keberagaman asal-usul, bagaimana mungkin seseorang bisa dilabeli secara sederhana dengan identitas tunggal sebagai pedagang ataupun penjaga toko?
- Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia
Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) yang diselenggarakan oleh Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, resmi dibuka oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, di Museum Nasional, 15 Oktober 2019. Pameran yang hendak memberikan perspektif baru tentang siapa leluhur orang Indonesia ini akan berlangsung hingga 10 November 2019. Pameran ini menampilkan hasil tes DNA sukarelawan seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, serta hasil tes DNA dari peserta umum terpilih yang mendaftar di microsite Historia yaitu Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugraha, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib. Pameran ASOI ini, juga menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta sejarah manusia dari sudut pandang arkeologis dan antropologis. Gelombang Migrasi Homo Sapiens telah mengembara selama ratusan ribu tahun dari benua Afrika. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, sampailah gelombang migrasi pertama di kepulauan Nusantara. “Jadi dari 150.000 tahun, 100.000 tahun berjalan mengembara melewati lingkungan yang berbeda. Ada hutan yang lebat sekali, orangnya pasti akan mengecil. Karena untuk mencegah penguapan. Rambut juga mungkin lebih keriting. Jadi semua itu yang menyebabkan kita menjadi berbeda dalam perjalanannya. Beragam, bukan berbeda,” ungkap Prof. Dr. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute dalam pembukaan pameran ini. Kepulauan Nusantara menjadi menarik bagi para peneliti genetika karena keberagaman genetika. Lokasi Kepulauan Nusantara yang strategis mengalami empat gelombang migrasi manusia modern. Gelombang pertama yang datang ke Nusantara, berasal dari Afrika secara langsung melewati pantai selatan. “Dekat laut, dekat daratan juga. Jalan aja. Waktu mereka datang ke Nusantara, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih jadi satu. Lautnya pendek,” kata Herawati. Menurut Herawati, sebagian manusia pada gelombang pertama itu pergi lagi ke satu daratan besar bernama Sahul. Sahul pada zaman itu, atau 50.000 tahun yang lalu, merupakan Papua dan Australia yang sekarang. Gelombang kedua, datang dari mereka yang sebelumnya telah sampai ke Asia daratan. “Ini biasanya pertanyaan. Oh kalau yang gelombang kedua itu mengahabiskan yang pertama ya? Karena perang, kompetisi lahan dan sebagainya. Jawabannya tidak. Karena kita melihat semua DNA yang kita periksa ada campurannya. Jadi itu berarti ada kawin-mawin,” kata Herawati. Gelombang ketiga datang dari Taiwan atau Pulau Formosa. Orang dari Taiwan ini awalnya juga datang dari Asia daratan. Mereka menyebar ke Filipina, Sulawesi, Kalimantan, membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini juga sampai ke Madagaskar hingga Pulau Paskah. Sementara itu, gelombang keempat datang melalui jalur perdagangan dan pengenalan keagamaan sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. “Jadi kalau diperiksa itu, teman-teman yang lahir dan besar di Jepara, Rembang, Semarang, Tuban dan sebagainya, campur seperti gado-gado,” ujar Herawati. Gelombang-gelombang migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara, kemudian menyebabkan terjadinya pencampuran gen orang Indonesia. Berangkat dari hal itu, menurut Herawati, toleransi bisa dibuktikan dari hasil penelitian genetika. Menolak Intoleransi Melalui tes DNA dalam proyek ini, yang hasilnya menunjukan keberagaman gen, dapat menjadi pengetahuan yang mencerahkan terkait permasalahan‘pribumi’ dan ‘non pribumi’maupun sentimen ras, etnis, serta agama yang belakangan muncul lagi. Perihal itu, Hamid Basyaib, dari Balai Pustaka, yang juga menjadi pembicara, menyebut bahwa etnisitas, yang seringkali memicu intoleransi hanyalah konstruksi sosial. “Etnisitas ini kan yang dipandang paling core . Itu konstruksi sosial. Maka konsekuensinya sikap rasisme misalnya, tidak punya dasar ilmiah sama sekali,” sebutnya. Menurutnya, sumber-sumber konflik terkait etnis merupakan politik belaka dan bahkan bukan agama. Ia mencontohkan sentimen anti-Semit yang semakin massif pasca didirikannya negara Israel. “Sebelum Israel berdiri itu tidak pernah jadi isu besar. Baru setelah Israel berdiri, baru kemudian dikait-kaitkan dengan hal-hal teologis yang lebih mendasar, yang lebih sakral dan sebagainya,” ungkapnya. Di Indonesia, yang menurutnya merupakan melting pot berbagai ras maupun etnis, sebenarnya telah memiliki sikap toleran sejak dulu. “Sekarang masalahnya, apakah benar bangsa ini juga seperti yang tercermin dipermukaan bahwa intoleran. Saya nggak yakin. Saya kira anda sangat terlalu terpengaruh oleh medsos, pada ujaran-ujaran kebencian pada orang yang kebetulan sangat menonjol,” sebutnya. Hamid menekankan agar masyarakat tidak membenarkan atau kesan-kesan intoleransi tersebut. “Kita nggak perlu memperteguh image bahwa terjadi atau muncul sikap intoleransi yang luar biasa akhir-akhir ini, 10 tahun terakhir, 5 tahun terakhir, atau terkait pilpres. Saya kira itu bukan gejala yang permanen,” katanya. Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga merupakan sukarelawan proyek DNA ini menyebut bahwa hasil penelitian DNA dapat membuktikan bahwa manusia Indonesia terbentuk dari pembauran multietnis dan tidak ada yang bisa mengklaim paling asli Indonesia. “Realitas uji coba DNA tersebut semakin mengukuhkan prinsip kebangsaan dan moto Bhinneka Tunggal Ika sebagai realitas yang hidup, menjadi nilai, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu kesatuan bangsa yang berkesadaran dan berkehendak menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah Nusantara. Heterogenitas inilah yang menjadi alasan mengapa sila persatuan Indonesia begitu relevan,” sebutnya.
- Membaca Ulang Abduh Aziz
Pada 30 Juni 2019 lalu, dunia perfilman Indonesia kehilangan sosok Muhammad Abduh Aziz, Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN). Pria kelahiran Jakarta, 10 Oktober 1967 itu meninggal dunia karena serangan jantung, meninggalkan istri dan tiga anak. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-52, buku Film dan Kebudayaan: Esai-Esai M. Abduh Aziz diluncurkan 10 Oktober 2019, bersama rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Abduh, yang merekam gagasan dan pemikirannya terkait kebudayaan secara umum dan film secara khusus, yang mana masih relevan dengan dinamika kebudayaan hari ini. Dalam kumpulan ini, terlihat perhatian Abduh terhadap berbagai isu penting seputar kebudayaan, mulai dari RUU Kebudayaan, pers dan agenda kultural hingga persoalan film dokumenter dan film fiksi. Ia juga menyoroti masalah tata kelola pemerintahan di bidang kebudayaan, bayang-bayang Orde Baru dalam film Indonesia hari ini, serta persoalan industri film dan ekonomi. Abduh bukan hanya pemikir tapi juga praktisi yang aktif dalam produksi maupun kegiatan perfilman. Pada 1997, Abduh berkolaborasi dengan Garin Nugroho dalam pembuatan film Daun di Atas Bantal. Baik sebagai produser, penulis naskah, supervisor maupun sutradara, beberapa karyanya antara lain The Rainmaker /Impian Kemarau (2004), Pertaruhan /At Stake (2008), Working Girl (2009), Tjidurian 19 (2009), Atas Nama… (2010), K vs K / Kita Versus Korupsi (2011) dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014). Abduh juga salah satu orang film yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Baginya, salah satu hal penting dalam pemajuan kebudayaan ialah pendokumentasian. Dalam hal ini, menurutnya negara tidak memiliki visi yang jelas, terlihat dari kondisi Sinematek yang memprihatinkan. “Kita bisa melihat aliran dana untuk institusi penting ini sangat minim, sikap tidak acuh terhadap peningkatan keahlian pekerja arsip film apalagi mutu layanannya. Sikap terhadap kelalaian arsip film serta upaya konservasi materi sejarah film Indonesia menjadi bukti nyata yang tidak dapat dibantah,” sebut Abduh. Perhatian Abduh pada sejarah juga nampak ketika dia berkolaborasi dengan Lasja F. Susatyo membuat film Tjidurian 19 pada 2009. Film ini merekam testimoni pengalaman beberapa seniman Lekra, yaitu Putu Oka Sukanta, Amarzan Loebis, Amrus Natalsya, Martin Aleida, T. Iskandar AS, Hersri Setiawan, Oei Hay Djoen, S. Anantaguna, dan Jane Luyke. Menurut Abduh, film ini tidak hendak membicarakan apakah Lekra adalah bagian PKI atau tidak. Bukan pula hendak menjelaskan tentang peristiwa G30S. “Karena menarik buat gue mengetahui pengalaman. Pengalaman person-person ini pada suatu masa dan pada suatu tempat. Dan ini gue pikir mudah-mudahan bisa membantu orang memahami masa itu dengan lebih jernih,” ungkap Abduh dalam wawancara dengan Jurnal Footage yang disertakan dalam buku ini. Sejak mahasiswa, Abduh telah menjadi koordinator periset penulisan sejarah bioskop di Indonesia (1990). Setelah lulus, ia memimpin rumah produksi Gemilang Enam Mitra (GEM), menjadi produser pelaksana film serial televisi Ali Topan Anak Jalanan , manager program SET Foundation & Komunitas TV Publik Indonesia (KTVPI) pada 2002-2003. Ia Menjadi Direktur Eksekutif Cangkir Kopi Mediavisual pada 2003 hingga 2019. Sejak 2016, ia menjadi Direktur Utama Perum PFN. Hilmar Farid, dalam pengantar buku ini, mengatakan bahwa tulisan-tulisan Abduh adalah cerminan kebudayaan yang begitu kompleks, penuh dinamika, dan ironi bagi mereka yang terlibat di dalamnya. “Di sini Abduh sebagai pemikir dan praktisi adalah bagian dari gerakan sipil untuk memajukan kebudayaan,” sebutnya.
- Ary Sudarsono si Peluit Emas
SESEKALI ia ambil jeda untuk menyalakan rokok, Ary Sudarsono bercerita banyak tentang kariernya sebagai pemain bola basket. Sambil diselingi menghembuskan asap dari mulutnya, ia juga mengisahkan olahraga tersebut sempat membawanya ke negeri tetangga sebelah utara Sulawesi: Filipina. Bola Basket sudah mendarah daging buatnya. Olahraga inilah yang dipilihnya sebagai jalan hidup sejak kecil. Meski tak selaras dengan cita-cita, ia enggan lempar handuk. Gagal sebagai pemain, ia cari jalan lain dengan meretas reputasi sebagai pengadil lapangan. Kisah perantauannya ke Filipina bermula dari pertemuannya dengan timnas Filipina di sela jadwal cabang basket putra di SEA Games 1979, Jakarta. “Filipina menjelang semifinal mau latihan enggak ada lapangan. Saya dipanggil sama Perbasi untuk bantu cari lapangan dan mendampingi mereka. Kebetulan saya lagi ngajar juga di Kanisius. Jadilah mereka latihan di Kanisius. Saya juga ikutan latihan bermain,” kata Ary kepada Historia. Melihat cara bermain Ary yang ciamik dan beda dari rata-rata pemain timnas basket Indonesia, pihak San Miguel yang jadi sponsor Filipina saat itu terpesona. Saat itu Ary masih aktif sebagai pemain meski sejak 1978 sudah tak lagi di timnas. Pihak San Miguel langsung menawari Ary untuk bermain di Negeri Pinoy itu. Alih-alih langsung menerima, Ary mendiskusikan tawaran itu dengan sang ayah, Sudarsono Brotomidjojo, terlebih dulu. “Saya bilang, kayaknya saya mau ke luar negeri. Papa enggak sanggup karena enggak punya uang. Tapi saya bilang, ada yang ongkosin. Ya sudah, Bismillah saja. Seminggu setelah penutupan SEA Games, ada telefon dari Kedutaan Filipina bahwa saya juga ditawarkan kuliah di sana,” sambungnya. Ary berangkat merantau ke Filipina pada Januari 1980. Ia diberi kesempatan masuk tim Masagana 99, tim semi-pro yang namanya selaras dengan Program Swadaya Beras Presiden Ferdinand Marcos sejak 1962. Sebagaimana dijanjikan San Miguel, Ary juga diongkosi kuliah di jurusan komunikasi massa University of Santo Tomas. Alhasil, sampai sekarang Ary masih fasih berbicara bahasa Tagalog. “Kalau ketemu orang Filipina, ya gue masih bisa bahasa Tagalog. Belajarnya biar cepat ya pacaran sama cewek Filipina. Mereka kan juga sebenarnya bahasanya ‘Taglish’, Tagalog-English, campur-campur,” ujarnya. Di tim Masagana 99, Ary lebih dulu diberi program latihan khusus sendiri selama tiga bulan. Maklum, masih pemain baru berstatus titipan sponsor. Namun setelah menjalani “orientasi” tiga bulan itu, Ary tak jua diberi kesempatan tampil oleh pelatihnya, Boy Afable. “Ini sudah enam bulan kompetisi, saya enggak pernah main. Saya hanya jadi pemain cadangan ke-12. Saya tanya pelatih bahwa saya mau main. Dikasihlah kesempatan jadi cadangan kesembilan di tim kedua. Tapi dikasih latihan tambahan untuk dilakukan di rumah,” tutur Ary. Ary Sudarsono, bercerita panjang lebar tentang kiprahnya di dunia bola basket Indonesia. (Foto : Fernando Randy/Historia) Sial buat Ary. Ia justru dihantam cedera akibat ulahnya sendiri. Berambisi untuk bisa dimainkan, Ary melakoni program latihan yang diberikan lebih dari porsinya. “Dasar saya geblek. Latihan beban saya hanya boleh 20kg sebenarnya. Saya nyolong-nyolong masuk gym latihan angkat beban 60kg dengan harapan kaki kuat dan makin bisa pegang ring lah. Cederalah saya. Apes banget. Kena penyempitan saraf,” ujarnya sambil menunjuk bagian punggungnya. Di rumahsakit, Ary kena omel sang pelatih. Beruntung biaya pemulihan di- cover San Miguel. Butuh tiga bulan buat Ary memulihkan kondisi fisik. Tetapi setelah pulih, pihak sponsor melihat “bakat” lain Ary di basket selain jadi pemain, yakni jadi wasit. “Dipanggil sama pihak sponsor. Dibilang, ‘Elu kan punya cita-cita angkat (nama) Indonesia. Kalau jadi pemain sampai tua enggak bakal tim Indonesia juara. Masuk tiga besar Asia aja susah. Elo jadi pelatih juga dihadapkan kenyataan beratnya pembinaan. Satu-satunya jalan kalau mau lihat dunia mengangkat nama Indonesia, belajar jadi wasit’, katanya,” sambung Ary. Beralih jadi Pengadil Lapangan Ary akhirnya melepas asanya jadi pemain top di tahun 1982. Di tahun itu dia memilih ikut kursus wasit di Filipina, hingga mendapat sertifikat internasional (FIBA) atas nama Filipina. Mulai 1983, ia mulai melanglang-buana mewasiti laga-laga basket. Tahun 1985 ia baru pulang ke Tanah Air. “Semenjak itu karier saya bagus di perwasitan. Saya sempat pimpin 12 pertandingan final internasional kurun 1983-1985. Sampai sekarang belum pernah dipecahin (wasit Indonesia lainnya). Ada (final) Willam Jones Cup, ada Pesta Sukan, ada Kejuaraan Asia Putri, ada pra olimpiade,” katanya. Moncernya karier Ary utamanya sejak menerima anugerah “Golden Whistle” dari FIBA Asia pada November 1983, tak lama setelah Kejuaraan Asia di Hong Kong. Dari situlah ia mulai dijuluki “Si Peluit Emas” alias The Golden Whistle. “Akhir 1983 setelah Kejuaraan Asia saya dipanggil Sekjen Asia yang dari Korea (Presiden FIBA Asia Lee Byung-hee, red. ). Dia umumkan penerima ‘The Golden Whistle Award’ tahun ini, dipanggillah nama saya, Mr. Sudarsono Ary from Indonesia. Nangis gue di situ. ‘Indonesia Raya’ berkumandang. Kebayang tampang bapak gue yang setahun sebelumnya meninggal. Dalam hati, bapak saya mesti lihat nih, akhirnya dapat juga (penghargaan internasional),” kenang Ary. Ary Sudarsono, mengenang masa - masa dimana dirinya menjalani peran sebagai wasit basket. (Foto : Fernando Randy/Historia) Ary diakui sebagai wasit yang keputusannya tak pernah bisa ditentang pemain. Itu berlaku baik di Indonesia maupun di mancanegara. “Sampai pernah koran Bangkok Post menulis, ‘Peluit yang muncul dari wasit ini tak pernah diprotes. Punya ilmu apa?’ Saya enggak punya ilmu apa-apa. Hanya saya menyadari bahwa saya wasit top, harus kasih lihat pemain, siapa gue. Dan gue harus tiup tapi dengan senyum. Jadi setiap foul gue tiup tapi dibarengi senyum, jadi pemain enggak protes,” lanjutnya lagi. Dari profesinya itu, Ary mengingat gaji wasit di laga-laga internasional yang paling bikin kantongnya gendut. “Di Indonesia zaman saya kejuaraan resmi Perbasi, per game sekitar Rp100 ribu. Di internasional saya bisa terima USD250 dengan kurs masa itu (1984) Rp3000 per satu dolar. Paling tinggi di William Jones Cup. Saya per game USD400,” papar Ary. Namun, karier sebagai wasit dilakoninya hanya sampai 1985. Pasalnya, Ary pilih menerima awaran beasiswa dari Alabama Sport Academy, Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu ia mendalami studi olahraga terkait perwasitan, kepelatihan, dan promosi olahraga hingga 1986. “Kebetulan kontrak saya juga sudah habis sama San Miguel Beer itu akhir Desember 1986. Sempat ditawarkan jadi warga negara Filipina saja. Tapi setelah papa meninggal, rupanya kehidupan ibu harus didampingi karena saya anak tertua,” terangnya. Beruntung beberapa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, ia bertemu pengusaha Aburizal Bakrie di sebuah hotel tempat Ary bekerja sambilan sebagai GLO (Guest Liaison Officer) di Manila. Ia ditawarkan pekerjaan hingga sepulangnya ke Indonesia ia tak menganggur. “Seminggu sebelum pulang, saya ketemu tamu-tamu dari Indonesia, termasuk Aburizal Bakrie. Dari obrolan, saya dikasih kartu nama. Sama dia, gue dikasih kerjaan di divisi pipa. Waduh, gue enggak ada background pipa, bingung. Biasa lihat bola, ini disuruh lihat pipa lagi,” cetus Ary. Ary lalu memutuskan untuk menjajal pekerjaan baru itu. Sebelum meninggalkan Filipina, Ary mendapat surprise dari para petinggi Gintong Alay, badan olahraga yang menggenjot program prestasi Filipina. “Waktu saya di Filipina ikut gabung sama yang namanya Gintong Alay. Macam Program Indonesia Emas gitu lah. Yang mimpin anaknya (Ferdinand) Marcos. Waktu saya mau pulang, dipestakan. Farewell party -nya dibikin sama Imee Marcos. Luar biasalah Filipina, punya kenangan banyak di sana,” kata Ary.
- Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang
Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi. Contohnya, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. “Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga , karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit juga,” kata Daud dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudayaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Beberapa prasasti menyebut profesi wariga . Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti , jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan. Namun, hanya sepuluh nama yang sering disebut antara lain wariga, gusti, kalang ( tuha kalang ), winkas, tuha banua, parujar, huluair, tuhālas, tuha wәrәh, dan hulu wras. Seorang wariga Jawa Kuno biasanya mengamati konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet ketika perintah raja dituangkan dalam sebuah prasasti. Misalnya dalam Prasasti Tuhannaru. Selain berisi penetapan desa perdikan, prasasti ini dibuka dengan informasi pertanggalan lengkap ketika prasasti itu diturunkan. Termasuk konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet di langit Mojokerto ketika itu, yaitu 1245 Saka, Masa (bulan dalam tarikh Saka) Margasira yang merujuk pada November hingga Desember. Menurut Trigangga, kurator Epigrafi Museum Nasional dalam artikel “Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti” yang terbit di Pentas Ilmu di Ranah Kebudayaan, jika dikonversikan ke tarikh Masehi, prasasti tembaga itu dikeluarkan pada sekira pukul 06.56 pagi, hari Selasa Legi, tanggal 13 Desember 1323, lengkap dengan konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet. Posisi benda langit juga penting ketika orang kuno akan membangun bangunan suci. Hal pertama yang mereka lakukan ketika akan mendirikan candi adalah menanam tiang gnomon untuk melihat bayangan matahari. Mereka mencari titik pusat yang sakral atau brahmasthana sebagai pusat candi. Di sinilah kekuatan yang melindungi bangunan suci itu dianggap ada. Ilmu astronomi juga banyak dianggap menjadi dasar pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah penelitian memberikan beberapa kemungkinan tentang fungsi astronomisnya. Daud menjelaskan, ada penelitian yang menduga kalau stupa induk di Borobudur adalah sebuah gnomonnya dan stupa di sekelilingnya adalah penanda waktu. Cara kerjanya mirip seperti jam matahari. Ada juga yang menyebutnya sebagai kalender tahunan. Pun ada pula yang menghubungkan pada arah bintang-bintang tertentu. “Pendapat ini masih beragam. Ada yang mengaitkan dengan gerakan matahari karena Buddha disimbolkan dengan matahari juga, jadi ada yang mengkaitkannya dengan itu,” jelas dia. Di sisi lain, oritentasi Candi Borobudur juga mengarah ke Gunung Merapi. Menurut Daud, ini bisa dikaitkan dengan upaya memadukan unsur agama Buddha dan sebagai landmark untuk tetenger . Pasalnya, keduanya sering dikaitkan dengan matahari dan gunung. “Jadi Candi Borobudur sendiri juga diduga merupakan perpaduan antara ajaran Buddha dan mengingat nenek moyang,” kata Daud. Konsep itu rupanya juga terlihat di Situs Liyangan di kaki Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Situs ini terungkap beberapa tahun lalu. Daud mencoba menganalisis sepuluh bangunan candi yang ada di sana. Ketika diukur, candi-candi yang berusia relatif tua mengarah ke gunung api, yang waktu itu dikenal juga sebagai mandala agni. Sementara candi-candi yang lebih muda ternyata mengarah ke Candi Prambanan. “Nah Candi Prambanan itu adalah tetenger dari nenek moyang mereka. Jadi barangkali ada kaitannya astronomi dengan konteks pemikiran mereka yang berhubungan dengan nenek moyang. Ini butuh dikaji lebih jauh lagi,” jelas Daud. Daud mengatakan sistem kosmologi yang dimiliki orang Jawa ini juga ditemukan di Pasifik. Ia menduga ini merupakan pengetahuan yang dibawa oleh para penutur Austronesia yang berkelana ke kepulauan Nusantara. “Ini bukan Hindu Buddha. Saya curiga sebagai Austronesia karena mereka yang berkelana lalu dimantapkan pada masa Hindu Buddha,” katanya. Namun, budaya India juga punya andil terhadap ilmu perbintangan Jawa Kuno. Khususnya, menurut Trigangga, kalender Jawa Kuno banyak dipengaruhi kalender Hindu (India) sebagaimana terlihat dari unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti. Sementara kalau melihat unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti, tidak semuanya merujuk kepada pergerakan benda-benda angkasa. Contohnya unsur penanggalan dewata, menunjukkan bahwa setiap kelompok benda angkasa itu ada penguasanya (dewa). “Dewa-dewa dianggap memiliki teritorial dan menguasai benda-benda angkasa tertentu dan mempengaruhi kehidupan manusia yang lahir di bawah tanda itu,” kata Trigangga. Soal era atau tarikh, Jawa Kuno memakai kalender Tarikh saka. Sistem kalender ini awalnya tersebar dari India Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Dalam Masehi, persisnya tarikh ini dihitung mulai dari 2 Maret 78. Namun, astrologi Jawa Kuno tak sepenuhnya mengikuti kaidah astrologi India. Ini tertutama dalam soal penamaan. Soal unsur penanggalan, bisa jadi masyarakat Jawa Kuno menciptakan lebih banyak daripada orang India. Contohnya, dalam penggunaan unsur penanggalan wuku dan wara. Di India hanya mengenal saptawara, di Jawa dan Bali selain saptawara, diciptakan juga tri, catur, panca, sad, asta, sanga, dan dasawara. “Itu yang membuat kalender Jawa Kuno begitu rumit, tapi di balik kerumitan itu, tersirat kemudahan untuk merekonstruksi unsur-unsur penanggalan prasasti yang rusak atau hilang,” kata Trigangga. Menurut Trigangga, dibandingkan kalender India, unsur-unsur penanggalan pada kalender Jawa Kuno sangat lengkap, terdiri atas warşa (tahun), māşa (bulan lunar), samkrānti (bulan solar), tithī dan pakşa (satuan waktu yang lebih kecil dari bulan lunar), nāma tithī (siklus lima harian dalam bulan lunar), karaņa (setengah harilunar), wāra (hari solar), wuku (unsur penanggalan asli Jawa), nakşatra dan dewatā (sekelompok bintang), yoga (pergerakan bulan dan matahari secara bersamaan dalam mengelilingi bumi), grahacāra (lintasan planet), maņdala (wilayah pengelompokan bintang), parwweśa (simpul), rāśī (zodiak), dan muhūrta (satuan waktu terkecil dalam sistem penanggalan Jawa kuno). Sementara masyarakat Jawa sekarang yang mewarisi pengetahuan ilmu perbintangan dari leluhurnya masih berpedoman kepada pranata mangsa. Ini adalah penanggalan yang berkaitan dengan musim, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Lalu ada primbon , pengetahuan tentang horoskop Jawa, watak atau kepribadian manusia berdasarkan tanggal lahir, atau berdasarkan hari lahir ( weton ), makna mimpi, tanda-tanda di tubuh, ramalan jodoh. Adapun petungan, adalah penentuan hari baik dan hari buruk untuk melakukan pekerjaan, membangun rumah, penentuan jodoh dan waktu pernikahan. “Dari sejarah perkembangannya," kata Trigangga, "astrologi India yang juga mendapat pengaruh budaya Yunani telah memperkaya ilmu perbintangan yang sudah dimiliki masyarakat Jawa Kuno.”
- Partai Komunis Cina Hendak Membungkam Islam?
SEJAK mukadimahnya, artikel panjang yang ditayangkan tempo.co pada 24 September 2018 langsung menulis bahwa pemerintah Cina, khususnya di wilayah barat laut ( xibei ) yang menjadi mastautin utama 10 etnis minoritas penganut Islam di negara yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis Cina (PKC) itu, telah “dengan sistematis ... mengekang muslim untuk beribadah, mulai dari pembongkaran kubah masjid sampai melarang praktik Islam.”
- Anak Raja Sunda Mencari Islam
SELAMA lebih dari 500 tahun, Pakuan Pajajaran berhasil menjaga ajaran Hindu tetap hidup di tatar Sunda. Puncaknya, di bawah kuasa Prabu Siliwangi –bernama asli Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata– Pajajaran menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar di barat pulau Jawa. Namun besarnya pengaruh Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak menjadi jaminan ajaran Hindu akan tetap bertahan di sana. Itu terbukti para leluhur Sunda gagal mewariskan keyakinan yang dianutnya itu kepada generasi setelahnya. Antara Hindu dan Islam Dikisahkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada 1422, Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedheng Tapa, Nyai Subang Larang. Peneliti Atje, dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut Ki Gedheng Tapa sendiri adalah seorang penguasa tanah dan syahbandar Muara Jati yang tinggal di daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh. Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi harus memenuhi beberapa syarat yang diberikan oleh guru sang calon istri, yakni Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Pertama, Subang Larang harus menjadi permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Kedua, ia diperbolehkan tetap menganut agama Islam sebagai kepercayaannya karena Subang Larang merupakan penganut Islam yang taat dan murid kesayangan Syaikh Hasanuddin. “Pangeran Jaya Dewata berjanji akan memenuhi persyaratan tersebut, dan janjinya ini dibuktikannya setelah ia dinobatkan menjadi raja,” kata Eman Suryaman dalam Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja . Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Subang Larang itu lahirlah tiga anak, yaitu Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang). Ketiganya dibesarkan dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda. Sang ibu dengan Islamnya dan sang ayah dengan Hindunya. Meski Islam telah diperkenalkan di kerajaannya, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak dijelaskan dengan jelas agama apa yang ditekuni oleh ketiga anak Prabu Siliwangi selama di istana. Namun setelah kematiam ibunya, Prabu Walasungsang yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota memutuskan untuk meninggalkan istana. Ia pergi dalam sebuah pengembaraan mendalami agama Islam. Kepergian Walasungsang itu membuat seisi negeri gempar. Bagaimana tidak, putra tertua yang telah ditunjuk meneruskan Pajajaran memilih untuk keluar istana. Rara Santang yang dekat dengan kakaknya itu juga merasa sangat kehilangan. Tidak lama ia pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari Walasungsang. Melepaskan seluruh kemewahan istana yang selama ini didapatkan. Mulanya Rara Santang pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Di sana ia bertemu dengan Nyai Indang Saketi. Olehnya, Rara Santang disarankan menemui Ki Ajar Saketi di Argaliwung –naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak menjelaskan di mana letaknya tetapi para ahli menyebut lokasinya ada di sekitar Ciamis. Setelah bertemu, Ki Ajar Saketi menyuruh Rara Santang pergi ke Gunung Mara Api (Marapi) di Ciamis. “Di tempat ini berakhirlah pengembaraan Nyari Rara Santang dalam mencari sang kakak, Walasungsang, dan akhirnya mereka pun bertemu,” tulis Eman. Dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad , Ridwan Sofwan dkk menceritakan bahwa di tempat pertemuan itu, Walasungsang telah lebih dahulu bertemu seorang pendeta Budha bernama Ki Gedheng Danuwarsih. Keduanya pun tinggal di rumah sang pendeta untuk waktu yang cukup lama. Walasungsang diceritakan jatuh hati kepada putri Ki Gedheng Danuwarsih bernama Nyai Indah Geulis. Setelah menikah, Rara Santang bersama Walasungsang serta kakak iparnya, melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon. Tiba di Amparan Jati, mereka disambut langsung oleh penguasa di sana, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah kakek Rara Santang dan Walasungsang sendiri. Amparan Jati saat itu telah menjadi wilayah persebaran Islam pertama di tatar Sunda. Di sana, adik-kakak itu diperkenalkan kepada Syaikh Datuk Kahfi, penyebar Islam pertama di Sunda. Keduanya pun diangkat menjadi murid sang ulama dan mempelajari lebih dalam tentang agama Islam. Syaikh Datuk Kahfi lalu memberi Walasungsang gelar Ki Somadullah, dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Dirasa mampu, Ki Somadullah oleh gurunya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan Islam. Babad Cirebon yang disunting oleh ahli bahasa dan penyusunan kamus berkebangsaan Belanda J.L.A. Brandes menjelaskan bahwa daerah Kebon Pasisir yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam oleh Ki Somadullah berada di sebelah timur Pasambangan, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Tegal Alang-Alang. Sekarang daerah itu disebut Lemah Wungkuk, masuk di dalam administrasi Cirebon. Menurunkan Ajaran Islam Setelah berhasil membangun Kebon Pasisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syaikh Datuk Kahfi pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun mengikuti saran gurunya tersebut. Di Tanah Suci, keduanya menetap di rumah Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. Ketika sedang melangsungkan ibadah di Makkah ini, Syarifah Mudaim bertemu dengan suaminya. Sejarawan Edi S. Ekadjati di dalam penelitiannya mengkaji Babad Cirebon Edisi Brandes , dimuat Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda, menyebut kalau suami Syarifah Mudaim adalah Molana Huda, seorang sultan di Mesir yang menguasai jazirah Arab. Ia bertemu dengan Molana Huda saat berkunjung ke Beta’lmuqdas. “Kiranya yang dimaksud dengan Beta’lmuqdas itu adalah Masjidil Aqsa yang terletak di kota Yerusalem yang kini di bawah kuasa Israel, walaupun masuk ke dalam wilayah Palestina,” kata Edi. Molana Huda yang saat itu sedang dirundung duka setelah orang yang sangat dicintainya wafat, memerintahkan salah seorang pejabat istana, Qadi Jamaluddin, mencari seorang perempuan yang memiliki wajah mirip istrinya. Setelah cukup lama mencari, sang utusan menemukan Nyari Rara Santang sedang beribadah di Beta’lmuqdas. Ia menilai perempuan asing ini sesuai dengan kriteria yang diminta sultan. Bersama kakaknya, Ki Somadullah, dibawalah Syarifah Mudaim menghadap Molana Huda. Sultan langsung jatuh hati, dan segera meminang sang gadis. “Syarifah Mudaim menerima lamaran itu, tetapi dengan syarat bahwa dari pernikahannya akan menurunkan anak lelaki yang akan menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda,” kata Edi. Setelah pernikahannya, Syarifah Mudaim ikut Molana Huda ke Mesir. Sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati untuk melanjutkan dakwahnya. Seperti diketahui dari pernikahannya itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Sesuai kesepakatan, setelah menginjak usia yang cukup Syarif Hidayatullah meninggalkan Mesir untuk menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Kemudian hari, ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, wali penyebar Islam terbesar di Jawa Barat.
- Taktik Belanda Berantas Amok dan Perlawanan Pribumi
SEORANG lelaki Tionghoa mengamuk pada malam 6 Juli 1938. Selain memecahkan cangkir dan piring, ia hampir membunuh anak perempuan dan pembantunya. Di tempat lain, di Losari, seorang lelaki Jawa keliling desa sambil membawa golok. Dengan seenaknya dia masuk ke rumah orang seraya mengancam akan menebas siapa saja yang menghalangi jalan. Warga desa dibuatnya lari tunggang langgang kendati tak ada korban jiwa dalam keributan ini. Kedua lelaki itu terserang amok. Si lelaki Tionghoa kemudian dikirim keluarganya ke rumahsakit jiwa (RSJ). Sementara, si lelaki Jawa mesti ditangkap petugas keamanan terlebih dulu sebelum dilarikan ke RSJ. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan rumahsakit menerima pasien pribumi. Beberapa pasien miskin yang dianggap mengganggu keamanan dirawat secara cuma-cuma. Kebijakan menerima pasien pribumi ini, menurut Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out of Magelang Asylum”, didasari keinginan untuk meniadakan anggapan kalau yang bisa terkena gangguan jiwa hanya orang Eropa. Dengan menerima pasien pribumi, pemerintah ingin membuktikan kalau pribumi pun bisa terkena gangguan jiwa. Kebijakan itu juga didasari adanya kekhawatiran warga Eropa kalau sewaktu-waktu diserang pribumi yang sedang terkena amok. Serangan mental ini sempat bikin mandor-mandor merasa takut pada budaknya sendiri. Budak yang terserang amok berani menyerang mandor atau majikannya, bahkan hingga membunuh. Amok merupakan gangguan mental terikat budaya. Penderitanya akan mengalami ledakan emosi yang seringnya diikuti kekerasan. Serangan amok biasanya terjadi setelah mengalami rasa malu atau tekanan psikis ekstrem. Orang yang terserang amok akan menyerang siapapun yang ada di depannya dengan cara mematikan. Satu kali serangan amok biasanya bertahan berjam-jam, diikuti pingsan, dan lupa ingatan. Karena efeknya yang membahayakan orang sekitar inilah kebanyakan penderita amok dimasukkan ke RSJ. Menurut dr. PKM Travaglino, psikiatris yang bertugas di RSJ Lawang, Malang, skizofrenia yang diderita orang Jawa mirip ciri amok. Penderita skizofrenia memiliki symptom ledakan ekspresi, berbicara tak karuan, berteriak, menyanyi, memaki, merobek baju, hingga bertindak agresif dan destruktif. Simptom skizofrenia juga mengakibatkan pasien kehilangan orientasi, kurang konsentrasi, mudah tersinggung, dan luapan ekspresi yang tinggi. Dalam “The Development of Psychiatry in Indonesia, From Colonial to Modern Times”, Hans Pols menyebut pasien skizofrenia juga menunjukkan kondisi mental yang di luar nalar. Meski demikian, pasien ini bisa sembuh dalam beberapa minggu. Sebelum mengambil kesimpulan bahwa amok merupakan symptom pasien skizofrenia, Travaglino bertemu Emile Kreapelin, ahli psikiatri biologis yang sempat mengunjungi RSJ Bogor. Travaglino menanyakan pengalaman Kreapelin mengahadapi pasien amok. Menurut Kreapelin, seperti ditulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, amok adalah bentuk dari epilepsi psikis. Namun ketika Travaglino menangani 80 pasien epilepsi, tak satu pun punya gejala seperti amok. Dalam laporannya tahun 1920, Travaglino menyanggah pendapat Kreapelin. Travaglino menyebut ia sempat sepakat dengan temuan Kreapelin, namun pernyataan Kreapelin tak terbukti. Pasien amok, tulis Travaglino, lebih mirip gejala skizofrenia. Pasien-pasien amok ini akan menjalani perawatan kejiwaan. Jika dianggap sudah membaik, mereka akan ditempatkan pada bagian pertanian milik rumahsakit. Mereka baru dibebaskan jika dianggap tidak membahayakan lingkungan, sesuai hukum tentang kejiwaan yang ditetapkan pada 1879. Namun, diksi “membahayakan” jadi amat luas . Menurut Broere, RSJ kadang jadi senjata pemerintah kolonial untuk mengurung orang-orang dengan alasan politik. D engan begitu kebijakan ini dijadikan alat represif pemerintah untuk menangkapi orang-orang yang membelot. Broere menemukan contoh, seorang lelaki Batak berusia 46 tahun yang dimasukkan ke RSJ Magelang meski perilakunya sama sekali tidak mengganggu kenyamanan lingkungan atau membutuhkan penanganan medis. Catatan psikiatris yang menanganinya menyatakan, perilaku si lelaki Batak bisa diterima dan berfungsi normal dalam masyarakat kolonial. Meski demikian, ia tetap dirawat di RSJ Magelang selama 12 tahun. Setelah itu ia dikirim ke daerah pertanian di Lenteng Agung. Broere menduga si lelaki Batak merupakan pejuang kemerdekaan yang fanatik. Dengan memasukkan tokoh-tokoh perjuangan ke RSJ, ada upaya pelabelan bahwa pembelot mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini merupakan upaya pemerintah Belanda mendelegitimasi protes atau pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi.
- Menggali Ilmu di Langit
SETIAP hari seorang gadis cantik lewat di dekat gubuk untuk mengantar makanan ke sawah. Terpesona oleh kecantikan sang gadis konsentrasi pemuda-pemuda yang sedang membangun gubuk itu pun terganggu. Akibatnya ketika selesai gubuk menjadi miring. Kisah itu kemudian diabadikan orang Jawa sebagai nama rasi bintang, yaitu rasi gubug penceng (miring) atau yang dikenal dengan rasi layang-layang. “ Rasi ini punya makna penting karena dipakai untuk menunjuk arah selatan,” ujar Premana Permadi, kepala Observatorium Bosscha, dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudyaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Adapun sang gadis cantik dalam legenda itu pun diabadikan sebagai nama rasi bintang, Lintang Wulandjar Ngirim. Dalam astronomi modern, ia adalah rasi yang terdiri dari dua bintang paling terang di rasi Centaurus , yaitu Alpha Centauri dan Beta Centauri. Dalam pameran “Langit untuk Semua: Astronomi dalam Budaya Nusantara” di Pekan Kebudayaan Nasional dijelaskan, bersama lintang Gubug Penceng, Lintang Wulandjar Ngirim disebut dengan rasi bintang pari oleh beberapa suku di Nusantara. Dalam kalender pranata mangsa, Lintang Wulandjar Ngirim menempati posisi mangsa kawolu (ke-8), yaitu saat padi masih menghijau, sekira 4 Februari sampai 28/29 Februari. Ada lagi Lintang Kartika, salah satu obyek langit yang banyak mendapat perhatian masyarakat kuno sebagai acuan navigasi dalam dunia pelayaran. Dalam dunia pertanian, rasi ini menunjukkan dimulainya musim kapitu (ke-7) dalam pranata mangsa . Mangsa kapitu dimulai dari 22 Desember hingga 2 Februari. Dalam pranata mangsa , rasi ini merupakan waktu untuk memindahkan bibit padi ke sawah. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada menerangkan, kendati hidup di pedalaman sebagai masyarakat agraris, kemampuan astronomi tetap dibutuhkan. Seperti dalam hal menyusun pranata mangsa, kalender pertanian yang dikenal di Jawa dan Bali. Kalender ini berguna untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyemai, menanam, dan memanen padi. “Bahkan kapan harus berburu, memotong bambu, karena ada musim tertentu yang kalau dipotong bambunya akan jelek,” lanjut Daud dalam seminar itu. “Ini adalah kekayaan etnosains yang luar biasa, yang belum kita gali.” Bukan cuma dibutuhkan oleh masyarakat agraris. Pengamatan astronomis sudah muncul dari kebiasaan masyarakat Nusantara sebagai penjelajah lautan. Sudah sejak lama orang Nusantara lahir sebagai bangsa yang selalu dalam lingkungan laut. Langit menjadi sesuatu yang terbuka di mana mereka menimba ilmu pengetahuan. “Tiga ribu tahun lalu kita sudah sampai ke India. Kita yang ke sana duluan,” ujar dia. “Tidak mengherankan hampir semua etnis di Nusantara ada keterampilan tentang astronomi. Berbeda dengan masyarkat tradisional, kini relasi manusia dengan langit semakin tipis. Utamanya karena memburuknya polusi cahaya. Orang pun menjadi lebih jarang menengadah ke langit untuk melihat fenomena astronomis. Daud bilang, orang kini lebih percaya dengan ilmu astronomi modern. Pasalnya yang tradisional lebih banyak dibalut dengan mitos yang dianggap irasional. “Padahal semua ini rasional, tapi karena bagiamana mereka menyampaikan, kalau disampaikan seperti ilmu pengetahuan sekarang saya kira pikiran mereka terlalu penuh. Tapi kalau dengan cerita, dongeng, jauh lebih mendalam mudah dipahami bahkan oleh anak kecil sekalipun,” jelas Daud. Filsuf dan astronom, Karlina Supelli menjelaskan sistem pengetahuan tradisional memang lebih banyak diturunkan secara oral dari generasi ke generasi. Ada sumber tertulis, tetapi umumnya hanya bisa diakses oleh satu kelompok masyarakat tertentu. “Misalnya oleh resi, pandita agama, sementara yang diwariskan lewat dongeng, cerita, mitos, biasanya yang sifatnya umum-umum saja,” katanya dalam seminar itu. Contohnya, kisah Dewi Sri yang dikenal masyarakat Sunda dengan nama Nyi Pohaci. Menurut Karlina, mitos ini adalah pelajaran bahwa dalam setangkai padi ada dinamika kehidupan. Ketika mitos ini diabaikan, masyarakat pun berisiko kehilangan kesadaran lingkungan. “Memupus kesadaran dinamika benih dari tanam sampai panen sebagai bagian dari kosmos. Memupus juga pemahaman sosial tentang keadilan,” kata Karina. “Tanah itu hajat hidup orang banyak.” Menurut Karlina ada caranya agar mitos-mitos tentang kearifan lokal ini bisa diterima di masa modern. Yaitu dengan keterbukaan dan kesediaan menerima apa yang di dalam masyarakat tradisional diterima dan dihayati sebagai realitas. Pun mengubah cara pandang memperlakukan mitos sebagai cerita khayal seakan dongeng. “Mitos punya logika naratif, pola pikir intuitif yang puitis. Pengalaman spiritual tak mungkin dituturkan memakai bahasa diskursif. Ada metafor-metafor,” kata Karlina. “Bagaimana apakah kita bersedia menerima banyak pengetahuan dari sumber pengetahuan dan mengurangi intoleransi?”*






















