top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda

    Jembatan Kedung Gede yang terletak di Tangjungpura, Karawang itu terlihat masih kokoh. Gaya arsitekturnya sungguh unik, mengikuti tren yang pernah berjaya di Eropa pada 1920-an. Sekilas bentuknya mengikuti Jembatan Arnheim yang ada dalam film A Bridge to Far , sebuah film tentang Perang Dunia II yang mengambil setting pertempuran di Belanda. Tak banyak yang tahu bila jembatan yang melintasi Sungai Citarum itu pernah menjadi ajang pertempuran besar selama tiga hari berturut-turut. Pada 21 Juli 1947, tentara Belanda yang datang dari arah Jakarta mencoba menguasai jembatan tersebut untuk menusuk pertahanan Republik di Karawang. “Mereka datang bergelombang seolah tak habis-habisnya,” kenang Telan (94), eks pejuang Republik di Karawang. Dalam Gangsters and Revolutionaries , sejarawan Robert B. Cribb menuliskan bagaimana para serdadu Belanda dari Batalyon 3-9-RI Divisi 7 Desember merangsek ke Karawang via Tambun. Penyerbuan itu dilakukan persis sehari setelah H.J. van Mook, Gubernur Jenderal NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda), mengumumkan pembatalan sepihak kesepakatan Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda beberapa bulan sebelumnya. Inilah yang mengawali Aksi Polisional I Belanda (pihak Republik menyebutnya Agresi Militer Belanda I). Milisi bumiputra yang tergabung dalam HMOT (Pasukan Non Organik Sang Ratu) juga ada dalam rombongan pasukan Belanda. Mereka masing-masing menjadi pasukan pendobrak yang menempati sebuah gerbong utama, didorong oleh lokomotif yang membawa 17 rangkaian gerbong penuh tentara dan amunisi di belakangnya. “Pemimpinnya sendiri yakni Panji bergerak lewat jalan besar Bekasi-Karawang bersama komandan tentara Belanda bernama Letnan Satu Koert Bavinck. Mereka berdua menaiki jip terbuka dengan karung-karung pasir dan senjata otomatis di kapnya,” ungkap Cribb kepada Historia.id. Sebelum jembatan sempat terjadi bentrokan hebat antara TNI yang diperkuat Batalion Beruang Merah dari Divisi Siliwangi plus pasukan Hizbullah dan pasukan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Karena persenjataan militer Belanda lebih unggul, pasukan TNI akhirnya terpukul mundur ke arah Karawang. Sementara itu, kereta api yang berisi amunisi, tenaga tempur, tenaga zeni, dan para penjinak bom berpacu dengan waktu untuk sampai ke Jembatan Kedung Gede dengan dikawal pesawat Mustang. Di wilayah Cikarang, kereta api sempat dihujani mortir pasukan Republik. Sesaat sebelum memasuki Stasiun Cikarang, sebuah jalur rel kereta api berhasil dirusak oleh prajurit Batalion Beruang Merah. “Ternyata rel kereta api yang rusak itu justru rel yang tidak digunakan kereta api tentara Belanda,” tulis sejarawan Ali Anwar dalam  K.H. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang . Kereta api terus melaju ke arah timur. Para prajurit Republik berusaha mengadang di sekitar Jembatan Kedung Gede, namun berhasil diusir oleh tembakan senapan 12,7 dari pesawat Mustang dan tembakan mitraliur dari pasukan Belanda yang stelling di jalan besar. Beberapa puluh meter sebelum jembatan, pasukan pun diturunkan. Ada 38 ranjau darat yang terpasang di rangka jembatan yang bisa dijinakan oleh tim penjinak ranjau Batalion 3-9-RI. Tentara Republik yang terpukul mundur, lantas melakukan upaya terakhir untuk menghantam laju kereta api milik militer Belanda. Dari Stasiun Karawang, mereka meluncurkan sebuah lokomotif tak berawak dalam kecepatan tinggi. Harapannya lokomotif itu menabrak kereta api yang memuat ratusan prajurit Batalion 3-9-RI dan anggota HMOT. Upaya mereka memang berhasil. Tabrakan hebat terjadi di wilayah Tanjungpura. Namun, hasil yang diharapkan tidak sesuai karena prajurit Batalion 3-9-RI dan HMOT sudah turun. Kerugian militer Belanda hanya hancurnya lokomotif dan meriam kaliber besar yang terpasang di depan lokomotif tersebut. Keesokan harinya, militer Belanda melalui Pos Jembatan Kedung Gede melakukan tusukan ke Karawang. Namun, perlawanan dahsyat dari pejuang Republik memukul kembali mereka ke arah Tanjungpura. “Pada 23 Juli 1947, mereka datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan didukung pesawat tempur dan tank-tank baja,” ujar Telan. Pejuang Republik mundur karena kalah jumlah dan perlengkapan. Batalion Beruang Merah di bawah pimpinan Letnan Kolonel Abdullah Saleh Hasibuan bergerak menuju Tasikmalaya, Hizbullah pimpinan K.H. Noer Ali menghindar ke Yogyakarta, dan pasukan ALRI pimpinan Madmuin Hasibuan meluputkan diri ke arah Tegal. Karawang pun jatuh ke tangan tentara Belanda.

  • Cerita di Balik Pembentukan Badan Intelijen Strategis

    Indonesia memiliki dua lembaga intelijen: BIN (Badan Intelijen Negara) dan Bais (Badan Intelijen Strategis), selain satuan intelijen di internal lembaga penegakan hukum. BIN berakar pada Badan Istimewa yang dibentuk Zulkifli Lubis di awal Indonesia merdeka. Sedangkan Bais merupakan hasil penggabungan beberapa satuan intelijen militer. Selain pertimbangan strategis, ternyata ada cerita menarik di balik pembentukan Bais. Suatu hari, Kolonel Soedibyo Rahardjo mengeluh kepada temannya, Kolonel M. Arifin. Dia ingin keluar dari Sintel Hankam/ABRI yang dipimpin oleh Mayjen TNI Benny Moerdani. “Kenapa Dib?” tanya Arifin. “Kalau begini terus, kapan kita bisa dapat bintang? Jabatan kita kan hanya Paban, pangkat tidak bisa lebih dari Kolonel,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral . Soedibyo direkrut oleh Benny Moerdani sebagai Paban (Perwira Diperbantukan) VII untuk urusan luar negeri. Selain memimpin Sintel Hankam/ABRI, Benny juga memimpin Sintel Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang memiliki kewenangan dan staf untuk melakukan operasi. Benny sangat mengandalkan Soedibyo. Dia berhasil melaksanakan tugas-tugas penting, seperti menangani pengungsi asal Vietnam yang ditampung di Pulau Galang , pengadaan peluru kendali Harpoon dalam kapal perang bekas Angkatan Laut Kerajaan Belanda, pembajakan pesawat Garuda Woyla , dan terlibat perundingan menolak ASEAN memberikan bantuan senjata kepada Khmer Merah. Kendati demikian, Soedibyo merasa karier di Sintel Hankam/ABRI mentok, tidak akan naik pangkat. Sehingga dia mengutarakan keinginannya untuk mundur. Dalam suatu rapat dengan Benny, Arifin nyeletuk, “Pak, ini Dibyo mau keluar dari intel.” “Kenapa Dib?” tanya Benny. Soedibyo menjelaskan bahwa para staf Benny sebagai Paban dengan pangkat Kolonel, padahal pekerjaannya melampaui tugas dan wewenang seorang Paban, bahkan setingkat asisten. “Karena saya punya cita-cita naik pangkat ke Laksamana, saya otomatis harus keluar dari Sintel,” kata Soedibyo. Benny terdiam sebentar lalu memanggil Paban yang lain, Teddy Rusdi. “Ted, tolong Sintel itu dikembangkan.” Akhirnya, bersamaan dengan reorganisasi ABRI pada 1986, Sintel Hankam/ABRI, Sintel Kopkamtib, dan Pusintelstrat dihapus, diganti menjadi Badan Intelijen Strategis (Bais). Statusnya dinaikkan menjadi salah satu Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) dari Panglima ABRI. Sehingga dalam struktur Mabes ABRI, Kepala Bais bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI. Di dalam Bais, kata Soedibyo, dimasukkan unsur-unsur Sintel, dengan tugas pokok dan tanggung jawab yang lebih besar. Yang penting, fungsi Paban diangkat menjadi jabatan direktur. Dengan demikian pejabatnya setara dengan perwira tinggi bintang satu. “Saya tidak jadi keluar, pangkat saya naik jadi Laksamana Pertama TNI. Enam tahun setelah naik jadi Kolonel Laut,” kata Soedibyo yang menjabat Direktur B/Luar Negeri Bais. Karena pertimbangan tertentu, Kepala Bais pernah dirangkap oleh Panglima ABRI. Itu terjadi pada era Benny Moerdani dan Try Soetrisno. Untuk tugas sehari-hari dijalankan oleh Wakil Kepala Bais. Soedibyo tak lama menjabat Direktur B/Luar Negeri Bais. Pada 1986, dia diangkat menjadi Asisten Operasi Kasum ABRI. Dua tahun kemudian, dia naik menjadi Kasum ABRI, orang nomor dua di ABRI. Pangkatnya naik menjadi Laksamana Madya. Dia pun menjadi orang pertama dari TNI AL yang menjabat Kasum ABRI, mematahkan tradisi yang biasanya dipegang oleh TNI AD. Pengangkatannya sebagai Kasum ABRI bertepatan dengan pembubaran Kopkamtib yang digantikan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Organisasi ini dipimpin oleh Panglima ABRI dan kegiatan sehari-harinya dipegang oleh Sekretaris Bakorstanas yang dijabat oleh Kasum ABRI. Selesai menjabat Kasum ABRI, Soedibyo diangkat menjadi Duta Besar untuk Singapura pada 1992. Setelah pensiun, dia berkegiatan dalam bisnis, sosial, dan budaya.

  • Tentara Kolonial dalam Pusaran Masa

    HARI ini, 25 Juli, 69 tahun silam di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hans Max Hirschfeld. Naiknya Letnan Jenderal (Letjen) Dirk Cornelis Buurman van Vreeden ke podium jadi momen paling ditunggu. Panglima terakhir Koninklijke Nederlands Indisch Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) itu menyampaikan pernyataan di depan mikrofon lewat dua bahasa –Belanda dan Indonesia– yang menandakan bubarnya serdadu kolonial berusia 120 tahun itu. Benarkah 120 tahun? Pasalnya, monument KNIL di Bronbeek yang mengabadikan usia KNIL sudah direvisi dari penyebutan kurun waktu 1830-1950 menjadi 1814-1950. Perubahan itu dilakukan setelah muncul hasil riset Letkol (tituler) Willem L. Plink yang meyakini KNIL sudah lahir sejak 14 September 1814, bukan 4 Desember 1830 yang mengacu pada Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische Leger dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Dikutip dari situs Vrieden van Bronbeek, Plink mendasarkan pernyataannya pada temuan sebuah panji Resimen Van Heutsz bertarikh 1814 di sebuah pameran di Museum Bronbeek. Panji tersebut memuat jahitan bertuliskan “Krijgsverrichtingen Koninklijke Nederlands-Indisch Leger 1816-1950” serta “Korea 1950-1954”. Plink meyakini resimen itu jadi pendahulu KNIL yang sudah eksis sejak 1814 dan dikirim ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dua tahun berselang. Wawan Kurniawan Joehanda, penulis KNIL: Dari Serdadu Kolonialmenjadi Republik , menilai perbedaan tahun pendirian KNIL merupakan imbas dari berdirinya Republik Bataaf di Belanda pada 1795. “Wilayah Belanda saat itu direbut kelompok yang didukung pasukan Prancis yang tak puas dengan sistem monarki yang menyebabkan keluarga kerajaan (Raja William V, red) melarikan diri ke Inggris. Penguasan itu otomatis berimbas juga terhadap daerah koloni yang mulanya dikuasai VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) hingga gubernur jenderalnya saat itu dipegang (Herman Willem) Daendels tahun 1808,” ujar Wawan kepada Historia. Sampai 1813, lanjut Wawan, memang sudah ada pasukan di Hindia Belanda namun bukan KNIL. Pasukan tersebut semacam legiun asing yang dikumpulkan Belanda untuk jadi garda terdepan VOC. Para serdadunya rekrutan dari Prancis, Jerman, dan negeri-negeri koloni di Afrika. Pada 1816, terjadi perubahan kekuasaan dari Thomas Stamford Raffles (gubernur jenderal Inggris) ke (Godert) Van der Capellen. Kendati demikian, pemerintahan Hindia Belanda baru kembali didirikan pada 1819. Oleh karena itu, Wawan mengacu tahun pendirian KNIL pada 1830. Begitu pula dengan sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa. “Iya, setahuku memang KNIL tetap resminya berdiri 1830,” kata Iwan. Monumen KNIL di Bronbeek yang telah direvisi tahun berdirinya (Foto: Stichting Vrienden van Bronbeek) Garda Terdepan Pemerintah Kolonial Tahun 1830 dijadikan tahun berdirinya KNIL karena mengacu pada fakta bahwa pasukan tersebut baru berdiri pasca-Perang Diponegoro (1825-1830). Gubernur Jenderal Van den Bosch menyebutnya Oost Indisch Leger alias Tentara Hindia Timur. Pengakuan resmi sebagai bagian dari tentara kerajaan baru dikeluarkan Raja Willem I enam tahun berselang dengan penyematan status “Koninklijke Leger”. Nama KNIL sendiri baru populer pada 1933 setelah dicetuskan Perdana Menteri Hendrik Colijn. Ia jadi garda terdepan pemerintah kolonial di berbagai konflik, mulai dari Perang Paderi (1821-1845), Perang Aceh (1873-1904) hingga invasi ke Lombok (1894) dan Bali (1908). Perang Aceh merupakan ujian terberat KNIL sebelum Perang Dunia II (PD II). Kedigdayaan KNIL, yang lalu bergabung dalam Komando ABDACOM, berubah seketika di PD II kala menghadapi Jepang. “Tapi karena ketidaan keseragaman komando dalam berbagai hal, Komando ABDA berantakan,” kata P.K. Ojong dalam Perang Pasifik . Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer Tjarda van Starkenborgh dan Panglima KNIL Jenderal Hein ter Poorten akhirnya menandatangani penyerahan pada Jepang di Kalijati, 9 Maret 1942. Apakah KNIL serta-merta bubar? “Menyerah di medan laga Hindia Belanda. Tapi sebagai organisasi militer, KNIL tidak bubar. Lebih dulu ada sejumlah pasukannya yang kabur ke Australia. Kekuatannya dibangun lagi dengan berfokus pada pembebasan Hindia Belanda,” ujar Iwan Ong. Parade serdadu KNIL di Australia (Foto: nationaalarchief.nl) Beberapa perwira KNIL yang lebih dulu kabur antara lain adalah Kapten Simon Hendrik Spoor –yang pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949) jadi panglima KNIL sekaligus panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia– dan Kapten Buurman van Vreeden. Van Vreeden kemudian jadi wakil Spoor di KNIL dan naik jadi panglima begitu Spoor meninggal. Dengan berdirinya pemerintahan sipil Belanda (NICA) di bawah pimpinan Hubertus van Mook, kekuatan KNIL kembali dibangun. “Ada juga bantuan lend lease Amerika dan kerjasama Sekutu. Rekrutannya dari eks-Hindia Belanda, dari Suriname, dan ada juga dari Antilles (dua koloni Belanda yang masih utuh),” sambung Iwan. Sekembalinya NICA ke Jawa membonceng Sekutu, medio Oktober 1945, KNIL mengemban misi untuk menghapus Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. KNIL pun menambah personil dari eks-interniran KNIL asal Indonesia Timur. Keganasan KNIL sohor selama Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi II (1948). Dipaksa Berkawan dengan Bekas Lawan Di berbagai perundingan RI dengan Belanda, terutama Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949), nasib KNIL turut dibahas. Dalam pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, disepakati para serdadu KNIL, yang ditetapkan akan dibubarkan pada 26 Juli 1950 pukul 00.01, diberi pilihan untuk bergabung ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Penyerahan markas besar dan alutsista KNIL dari tiga matra dilakukan dalam sebuah upacara di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld pada 25 Juli 1950 malam. Pihak republik diwakili Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang, dan KSAD Kolonel AH Nasution. Peresmiannya ditandai dengan penurunan bendera triwarna Belanda dan digantikan sangsaka merah-putih. Pagi sebelum resepsi itu, Letjen Buurman van Vreeden ditemani kastaf-nya Mayjen Dirk Reinhard Adelbert van Langen berpamitan ke Presiden Sukarno di Istana Kepresidenan. “Bersama jajaran stafnya, Jenderal Buurman van Vreeden akan langsung berangkat ke Belanda setelah pembubaran resmi KNIL,” tulis De West , 26 Juli 1950. Di Belanda pun, dihelat upacara pembubaran serupa. Suratkabar Provinciale Drentsche en Asser Courant , 26 Juli 1950, memberitakan upacaranya dipimpin Menteri Zonder Portfolio L. Götzen, ditemani Menteri Perang W.F. Schokking, Sekretaris Kementerian Perang W.H. Fockema, dan perwakilan KNIL Jenderal E. Engles beserta Jenderal J.J Mojet. Ratu Juliana turut memberi pidato dalam resepsi di Den Haag itu. “ KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950. Hari yang mengakhiri kejayaan 120 tahun dalam sejarah. Saya menyadari transisi dari kehidupan militer ke sipil akan berdampak pada kehidupan Anda sekalian. Namun, kini bukan waktunya melihat ke belakang, melainkan ke depan bersama Anda sekalian adalah prajurit yang berani. Namun pemerintah Belanda akan melepas Anda… Bagi yang kembali ke Belanda, kami menyambut Anda kembali. Semoga Tuhan membimbing dan memimpin Anda semua di kehidupan yang baru,” kata Ratu Juliana. Pembubaran itu mengakibatkan sekira 3.250 serdadu KNIL berkulit putih dipulangkan ke Belanda. Sejumlah 26 ribu serdadu dilebur ke APRIS, dan 18.750 personil lainnya dibebastugaskan meski masih menyisakan 17 ribu yang menunggu penyelesaian. Prosesi sejumlah eks-KNIL yang bergabung ke APRIS (Foto: nationaalarchief.nl) Banyak mantan serdadu KNIL, terlebih yang berasal dari Indonesia Timur, enggan bergabung dengan TNI lantaran ogah bersanding dengan bekas lawan. TNI merupakan kekuatan inti APRIS, lawan mereka dalam beragam bertempuran sejak 1946. “Mantan KNIL dari Indonesia Timur merasa beda (prasangka), di mana pihak Jawa dan Indonesia timur masih kuat ketika itu. Yang tidak melebur ke APRIS sementara dikirim ke Papua. Lalu ada beberapa dari mereka yang juga ikut Perang Korea sebagai kontingen Belanda,” sambung Iwan. Menurut Wawan, banyaknya eks-KNIL yang enggan melebur ke APRIS lantaran imbas dari berdirinya negara boneka di Indonesia Timur yang belum mau berpisah dari Belanda. “Terbukti mereka membuat pemerintahan sementara Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Yang ikut Perang Korea mereka sudah bukan KNIL lagi tapi melebur dengan Angkatan Darat Belanda. Intinya hidup-mati mereka ingin dengan Belanda,” kata Wawan.

  • Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur

    Foto-foto Presiden Abdurrahman Wahid (lebih akrab disapa Gus Dur) yang belum terpublikasi kini masuk pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip foto itu meliputi 180 album yang jika ditotal berjumlah sekira 14 ribuan lembar foto. Beberapa foto menampilkan kunjungan Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur bersama sang istri, Sinta Nuriyah Wahid ke berbagai negara. “Kalau tadi kita menyaksikan dalam foto-foto itu, maka disitu selalu ada seorang perempuan yang mendampingi Gus Dur. Cantik enggak?” ujar Sinta Nuriyah berkelakar kepada hadirin dalam “Ekspose Daftar Arsip Foto KH. Abdurrahman Wahid: Gus Dur, Seorang Pejuang Kemanusiaan”, yang diselenggrakan ANRI pada Rabu, 24 Juli 2019.   Menurut Sinta foto-foto tersebut tidak bisa bercerita banyak. Pun kehadirannya bersama Gus Dur dalam berbagai potret juga tidak berbicara banyak hal. Sinta menuturkan bahwa, sebagai ibu negara dirinya mendampingi Gus Dur hanya dalam forum-forum resmi saja, seperti undangan makan malam ataupun pertemuan formal. Lebih dari itu tidak ada. “Karena sudah ada statement dari Gus Dur kepada saya, bahwa saya tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan. Itu kata-kata Gus Dur,” tutur Sinta. Sinta pun memahami apa yang dimaksud Gus Dur untuk “tidak mencampuri” urusan negara. Jauh sebelum itu, dia memang banyak mendengar cerita tentang para pendamping kepala pemerintahan yang ikut campur urusan pemerintahan. Bahkan, terjun lebih jauh lagi dalam mengambil kebijakan. Menurut Sinta intervensi itu dapat membuat masyarakat kurang simpati. Itulah yang mendorongnya berketetapan tidak mencampuri apapun dalam kegiatan Gus Dur mengatur bangsa dan negara. Meski demikian, Sinta Nuriyah bukanlah ibu negara yang suka berdiam diri. Sebagai lulusan woman studies, Sinta bergiat dalam isu-isu perempuan. Dalam hal ini, Sinta aktif memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan membela perempuan-perempuan korban kekerasan, termasuk pula para perempuan yang berkecimpung sebagai pekerja seks komersial. Di samping itu, Sinta juga memperhatikan perlindungan terhadap kaum disabilitas dengan membentuk Gerakan Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN) pada tahun 2000. “Jadi saya memang tidak pernah mencampuri masalah-masalah pengaturan negara tapi saya juga punya tugas sendiri, tidak diam saja,” ujar Sinta. Selain itu, Sinta juga mengenang Gus Dur sebagai sosok yang humanis dan humoris. Gus Dur adalah presiden yang mengembalikan hak kaum minoritas Tionghoa. Di era Gus Dur, orang-orang Tioghoa diperbolehkan merayakan tradisi kebudayaan seperti Imlek dan Barongsai, sebagaimana orang Dayak ataupun Bali melenggokkan tarian khas masing-masing. Pemikiran Gus Dur yang tidak membedakan antar kaum dipengaruhi pegangan hidup yang sudah mengakar.   “Gus Dur punya semboyan, kata Sinta, “Bukan siapa kamu dan apa agamamu tetapi kebaikan apa yang telah kamu lakukan untuk orang lain. Karena itu, di mata Gus Dur semua orang sama.    Soal sisi humornya, Gus Dur memang dikenal karena kejenakaannya. Kelucuan Gus Dur tidak hanya terdengar di Indonesia melainkan sampai ke luar negeri. Bahkan tidak jarang, lelucon yang dilontarkan Gus Dur jadi alat diplomasi yang efektif kala berhadapan dengan kepala negara asing. Sinta Nuriyah berkisah, Presiden Cuba Fidel Castro pernah sampai mengejar Gus Dur ke hotel hanya  karena ingin mendengar Gus Dur berceloteh. Di Washington, Presiden Bill Clinton yang semula memberikan waktu pertemuan selama 30 menit jadi molor satu setengah jam karena keasyikan ngobrol. Di Arab, rakyat Arab Saudi sampai terheran-heran dan mengirim surat kepada Gus Dur, “Apa Yang Mulia katakan kepada raja kami hingga kami rakyat Arab sampai bisa melihat giginya sang raja?”   “Humor Gus Dur bukan sembarang humor,” kata Sinta, “Karena bisa menjadi penyambung, pengikat hubungan antara satu negara dengan negara lain.” Hingga Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009, Siti Nuriyah telah mendampingi suaminya itu selama 41 tahun, termasuk masa dua tahun sebagai ibu negara (1999-2001).

  • Raja Sebagai Penjelmaan Dewa

    Dia berbadan Dewa Wisnu. Dia dalam keadaan makmur di dunia dan di negara. Dia adalah Cri Jayawarsadigjayasastraprabhu. Ia disembah di seluruh dunia betul-betul sebagai matahari, bulan dan air. Dirinya yang sebagai seribu bulan disembah di dunia. Pembukaan Prasasti Sirah Keting dari 1104 itu menyebut Raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu yang dikeramatkan bagai Dewa Wisnu. Konsep semacam ini mengingatkan pada tokoh dalam kesusastraan, Rama atau Kresna yang dikisahkan sebagai penjelmaanWisnu di dunia.   Apa yang tergambar dalam prasasti masa Kadiri itu bukan satu-satunya. Pada masa kuno, umum terjadi jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa. “Pada masa itu mulai dikenal konsep dewaraja atau raja suci, raja yang memiliki sifat keramat seperti dewa,” kata Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta. Hal itu bukan hanya di Jawa atau Nusantara. Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan, di Asia Tenggara banyak pula raja yang mengidentifikasi dirinya sebagai titisan dewa. Dewa Wisnu dan Siwa banyak dipilih raja-raja terdahulu sebagai kekuatan yang ada dalam diri mereka. Raja sebagai titisan Wisnu akan dinilai sebagai raja pencipta kesuburan dan kemakmuran bagi kerajaan. “Sehingga tercipta stigma raja sebagai pengatur dan pemelihara kerajaan,” kata Sudrajat. Bukti-bukti paling tua tentang pemujaan terhadap raja terdapat di Champa dan di Kamboja (Khmer) pada era Pra-Angkor. Di Khmer kuno terdapat pemujaan kepada pemimpin yang dianggap keramat. Pemujaan itu setelah dia dilantik menjadi raja. “Pemimpin itu dianggap mempunyai hubungan khusus dengan Dewa Siwa atau Wisnu,” kata Sudrajat. Prasasti Sdok Kak Thom (802) menguraikan, Raja Jayavarman II mengidentifikasikan diri sebagai Dewa Indra. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra adalah raja para dewa yang bersemayam di Indrolaka. Indra pada masa awal Veda dijuluki dengan Devaraja atau rajanya para dewa. Raja-raja di Champa juga kerap menyatakan diri sebagai jelmaan dewa tertentu. Salah satu Prasasti Champa abad ke-9 menyebutkan seorang penguasa bernama Uroja sebagai pendiri dinasti. Ia dipercaya sebagai anak Siwa Mahadeva. Raja-raja Pagan di Myanmar (Burma) juga menggunakan nama dewa sebagai gelar. Misalnya Makutarajanamarajadhiraja yang artinya “mahkota raja para raja”, gelar Dewa Indra. Iswararaja artinya “dewanya para raja”, yaitu Siwa. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munadar dalam Mitra Satata menilai, raja di Asia Tenggara memang sengaja memilih gelar yang “keren” sebagai julukan. “Rakyat di kerajaannya tentu akan lebih menghormati raja yang memiliki gelar dengan kata-kata yang berasal dari bahasa impor, yaitu Sanskerta,” jelas Agus. Menurut Agus, pada masa lalu Sanskerta dianggap bahasa bergengsi yang baku oleh kaum agamawan India, terutama dari kalangan Veda dan Hindu Trimurti. Bagi penganut Buddha pun begitu. Kendati menggunakan bahasa Pali sebagai bahasa pengantar penyebaran agama, kata-kata dari Sanskerta tetap digunakan untuk menamakan konsep dharma Buddha. Menurut Agus, konsep dewaraja bukan hal yang baru dilakukan pada masa kerajaan Hindu Buddha. Bukan pula berasal dari kebudayaan India. Konsep ini bisa dibilang lanjutan dari kepercayaan pada masa prasejarah. “Yaitu transformasi konsep pemujaan arwah leluhur yang telah dikenal oleh penduduk Asia Tenggara sejak masa perundagian menjelang awal Masehi,” katanya. Ketika budaya India mengenalkan nama dewa untuk menjuluki kekuatan supranatural, masyarakat Austronesia menerimanya. Mereka menyetarakan konsep dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja.

  • Ganda Campuran, dari Pemain Sisaan Jadi Andalan

    SERASA masih ada yang mengganjal. Dari empat laga final Indonesia Open ke-38 pada Minggu, 21 Juli 2019, hanya ganda putra yang mampu dimenangkan wakil tuan rumah. Yang disayangkan adalah asa di ganda campuran. Sektor ini sejak era 1990-an turut jadi andalan Indonesia di berbagai gelanggang. Terakhir sektor ini memberi satu-satunya medali emas kepada Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, kala pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet) mengalahkan pasangan Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying di final. Dipandang Sebelah Mata Sebagaimana ganda putra, ganda campuran mulanya juga dipandang sebelah mata. Sebagaimana dalam olahraga tenis, nomor ganda di badminton juga kalah pamor dibanding tunggal. Alhasil, tidak ada pelatihan khusus. Pemilihan pemain hanya bersandar pada penilaian pelatih bahwa si pemain bisa mengemban tugas rangkap, tunggal maupun ganda. Realitas itu lumrah pada dekade 1970-an. Pemain ganda legendaris Christian Hadinata pun mengalaminya. “Biasanya pemain tunggal merangkap ganda. Di Kejuaraan Asia 1971, saya malah merangkap di dua nomor ganda. Di ganda putra dengan Ade (Chandra) dan ganda campuran dengan Mbak Retno Koestijah, di mana kita juara di ganda campuran,” ujar Christian kepada Historia. Setahun berselang, Christian berganti pasangan dengan Utami Dewi, adik dari Rudy Hartono, untuk tampil di Olimpiade Munich. Kala itu bulutangkis masih jadi cabang olahraga demonstrasi dan duet Christian/Utami Dewi membawa pulang medali perunggu. Christian Hadinata & Imelda Wiguna, legenda ganda campuran pemenang All England 1979. (badmintonindonesia.org) Prestasi Christian di nomor ganda campuran terus melejit. Bersama Imelda Wiguna, keduanya menjuarai All England 1979. Ketika berpasangan dengan Ivana Lie, Christian berhasil merebut medali emas Asian Games 1982. “All-England 1979 tidak ada yang menyangka. Waktu itu ganda campuran baru populer di kalangan Eropa. Di Asia apalagi di Indonesia, tidak diminati, tidak diseriusi. Begitu juga dengan Ivana di Asian Games (1982). Di Asian Games salah satu kenangan paling manis juga karena suasananya berbeda jika tampil di ajang multi-event seperti Asian Games itu,” sambungnya. Sempat menurun, sumbangan prestasi dari ganda campuran bangkit lagi sejak 1990-an. Sektor ini jadi tanggungjawab Richard Mainaky, eks pemain tunggal dan ganda putra, yang diajak Christian melatih di Pelatnas PBSI. Mengawali dari asisten pelatih pada 1994, dan dua tahun berselang Richard memegang penuh pembinaan ganda campuran. Ia memoles anak-anak asuhnya dari sisa sektor-sektor lain. “Bicara materi dan kualitas, sektor ganda campuran ya bisa dibilang pemain sisa. Tapi ya inilah tantangan saya untuk mengubah pemain buangan jadi pemain juara,” kata Icad, sapaan akrab Richard. Kerja keras Icad berhasil melahirkan bibit demi bibit ganda campuran yang melanjutkan estafet prestasi di sektor itu. Setelah Tri Kusharyanto/Minarti Timur, berturut-turut hadir pasangan Nova Widiyanto/Vita Marissa, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet), hingga Praveen Jordan/Debby Susanto. Semua lahir dari pola keras yang diterapkan pria berjuluk “Pelatih Bertangan Besi” itu. “Saya (punya) prinsip begini. Sebenarnya pelatih itu bukan harus pintar ya. Dia harus mau tegas, disiplin, kerja keras di lapangan. Itu yang membuat atlet berhasil. Kalau pelatih hanya pintar tapi tidak tegas dan kerja keras, mau pemain bagaimanapun akan sulit. Jadi prinsip tegas, kerja keras, dan disiplin semua harus jalan,” sambungya. Hampir semua gelar pernah dipetik anak-anak asuhnya, kecuali Piala Sudirman. Utamanya lewat perjuangan Owi/Butet, duet yang dibesut Icad dari nol. Richard Leonard Mainaky, pelatih kepala ganda campuran Pelatnas PBSI. (Randy Wirayudha/Historia). Sayangnya semua anak asuhnya gagal menyandingkan gelar juara sebagaimana rekan mereka di ganda putra pada Indonesia Open 2019. Owi bersama partner barunya, Winny Kandow, keok di perempatfinal oleh duet Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (11-21, 21-14, 14-21). Owi masih dalam masa transisi setelah “bercerai” dari Butet Januari lalu. Ini jadi pekerjaan rumah Icad berikutnya agar bisa tune dengan pasangan barunya itu. “Tontowi/Winny kalah pengalaman, khususnya Winny. Sedangkan lawan pengalamannya segudang. Itu tanggungjawab saya. Ke depannya kami akan selalu benahi kekurangan secepat mungkin,” ujar Icad di lain kesempatan, dikutip situs resmi PBSI , 19 Juli 2019.

  • Kisah Kerajaan Lamuri di Aceh

    Lewat Prasasti Tanjore dari abad ke-10, bangsa Cola di India mengingat kekuatan dahsyat Ilamuridesam. Kerajaan ini menandai adanya sistem kerajaan paling awal di Tanah Rencong.  Prasasti Tanjore dikeluarkan penguasa Cola, Rajendracola I pada 1030, sekira lima tahun setelah ekspedisi ke wilayah Sumatra dan sekitarnya. Di dalam prasasti, Ilamuridesam tercatat sebagai salah satu negara yang ditaklukkan, selain Sriwijaya, Pannai, dan Malayu. George Coedes dalam  Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha mengidentifikasi Ilamuridesam sebagai Kerajaan Lamuri. Lokasinya diperkirakan di ujung utara Sumatra. Setelah dikalahkan Kerajaan Cola, tulis O.W. Wolters dalam  Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII , Lamuri diubah menjadi salah satu mandala kerajaan Tamil itu. Penamaan Ilamuridesam pun baru ada sejak kekalahan itu. Ilamuridesam, menurut Ambo Asse Ajis, Peneliti Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, berasal dari kosakata dalam Bahasa Tamil. Nama itu merujuk pada suatu wilayah luas, di antara Afrika, Sri Lanka, dan Nusantara. “Daratan itu tidak ada lagi dan dipercaya telah berada di bawah Samudera Hindia akibat bencana alam,” kata Ambo. Dalam “Ramni-Ilamuridesam: Kerajaan Aceh Pra-Samudera Pasai”, termuat di Berkala Arkeologi Sangkhakala ,Ambo menjelaskan sebelum diberi nama Ilamuridesam, kerajaan ini dikenal dengan nama Ramin (Ramni). Penamaan yang lebih lawas itu ditemukan dalam catatan orang Arab pada abad ke-9. Ia berasal dari Dinasti Abassiyah yang sangat aktif mendatangi Selat Malaka.  “Akibat penaklukan yang dilakukan oleh Rajendra I dari Kerajaan Colamandala, Kerajaan Ramin kemungkinan dianeksasi , namanya menjadi Ilamuridesam,” jelas Ambo . Pemberian nama Ilamuridesam juga berkaitan dengan kisah Ramayana dan Mahabarata dalam tradisi Tamil. Alkisah, ada seorang tokoh bernama Nayan, sahabat Rama sekaligus saudara Rahwana. Untuk membantu sahabatnya, Nayan membangun jembatan sepanjang 4.500 km dari Sri Lanka sampai India. Nayan adalah putra Mahamuni Mayan yang tinggal di Ilamuridesam. Ambo menduga pemberian nama itu adalah hasil penyesuaian karakter negeri Ilamuridesam dengan Ramni. Keduanya memiliki kesamaan geografis, masyarakatnya tinggal dekat sungai, memiliki gajah, dan kekayaan tambang. "Hal ini sekaligus menjadi sarana legitimasi kekuasaan Rajendracola I," jelas Ambo. Bukan Kerajaan Islam Pertama Setelah Lamuri ditaklukkan, penduduknya kemudian mayoritas orang Tamil. Kondisinya tergambar dalam beberapa catatan asing.  Ahli geografi Tiongkok, Chau-Yu-Kwa, dalam Chen  Fan Che  pada 1225 , menyebutkan lokasi Kerajaan Ilamuridesam dengan pelafalan Lan-Wu-Li . Cirinya belum Islam dan istananya memiliki dua ruang t amu . Jika bepergian, rajanya ditandu atau mengendarai seekor gajah. Komoditas perdagangan nya adalah kayu sepang, gading gajah, dan rotan putih. Marcopolo, penjelajah dari Venesia yang mampir ke Sumatra pada 1292,menyebut penduduk Lamuri belum beragama Islam. Mereka masih menyembah berhala. Menurut Ambo, catatan asing dari abad ke-13 menunjukan pada masa itu masyarakat di Lamuri atau Ilamuridesam belum memeluk Islam. Mereka masih beragama Hindu, sebagaimana bangsa Tamil. Ma Huan kemudian memberitakan, ketika dia berkunjung ke Lamuri pada abad ke-15, seluruh penduduknya sudah beragama Islam. Dalam Yingya Shenglan, penerjemah resmi Cheng Ho itu bercerita banyak hal tentang negeri Lam-bo-li, yang diidentifikasi oleh Groeneveldt sebagai Lambri atau Lamuri. Menurut Ma Huan, negeri itu terletak di sebelah barat Sumatra dan berjarak tiga hari pelayaran. Waktu itu, dari 1.000 keluarga yang mendiaminya, seluruhnya sudah memeluk Islam. Begitu pula rajanya. “Hasil analisis itu tampaknya berbeda dengan hasil interpretasi yang dilakukan (Repelita wahyu, red . ) Oetomo, yang menyebut Lamuri atau Ilamuridesam adalah kerajaan Islam sebelum Samudera Pasai,” kata Ambo.

  • Mencegah Pes Mewabah

    MENGERIKANNYA wabah pes di Jawa pada awal abad ke-20 membuat pemerintah kolonial melakukan berbagai cara untuk mencegah penyebarannya. Cara-cara pencegahan yang dilakukan pemerintah tak jarang mengundang reaksi naif dari warga bumiputra. Ketika wabah pertama merebak tahun 1910, tahun berikutnya pemerintah kolonial melakukan disinfeksi di Malang dengan mengasapi rumah penduduk. Namun, kampanye berskala besar itu menimbulkan kecurigaan besar penduduk. Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menyebut, warga bumiputra mengira prosedur disinfeksi sebagai sihir jahat yang dilakukan Belanda. Alhasil, usaha pencegahan itu acap menemui penolakan. “Ada yang rumahnya diasapi, dikurung pakai kain besar, dan warganya disuruh menyingkir dulu sementara,” kata Martina Safitry, dosen sejarah IAIN Surakarta yang pernah meneliti sejarah wabah pes di Jawa untuk tesisnya, pada Historia . Penolakan juga terjadi kala petugas kesehatan hendak mendeteksi penyebab kematian penduduk. Biasanya mantri akan melakukan pengambilan jaringan limfa pada jasad korban. Selepas itu, jaringan limfa diteliti untuk menentukan penyebab kematian, pes atau bukan. Namun, ketidaktahuan warga seringkali menyulitkan mantri yang bertugas. Mereka menolak prosedur itu, mengusir petugas kesehatan dan melemparinya dengan batu. Namun, sebenarnya penduduk takut pada wabah pes sehingga di beberapa daerah melakukan usaha pencegahan sendiri. Di Jawa Barat, penduduk memagari desa dengan bambu setinggi atap rumah. Tujuannya, mencegah warga desa tetangga yang terjangkit pes pindah ke desa mereka. Tapi, upaya mengurung seluruh desa ini agak muskil karena beberapa tempat tidak bisa dipagari, misalnya sungai, kebun, atau semak. Lalu, tidak semua warga patuh pada ide ini. Mereka yang tetap ingin bekerja dan lalu-lalang ke desa tetangga terpaksa menyelinap lewat tempat-tempat yang tidak bisa dikurung bambu dan tidak dijaga. Upaya pencegahan pes juga dilakukan lewat rekomendasi perbaikan rumah agar tidak jadi sarang tikus. Program ini diatur dengan rinci dalam Besluit 25 April No. 4064/52 bahwa pekarangan rumah harus bersih dan rapi agar terhindar dari sarang tikus. Segala barang, baik di dalam atau di luar rumah, harus diletakkan pada tempat yang luas dan mudah dibersihkan agar tidak ada tikus yang sembunyi. Bambu bulat dan bambu yang masih kotor tidak boleh digunakan untuk membuat perkakas dan perabot rumah. Baik di dalam rumah maupun di pekarangan tidak diperbolehkan meletakkan barang secara tidak beraturan. Untuk melancarkan program ini, pemerintah mengirim petugas kesehatan untuk mengawasi jalannya perbaikan rumah. Hadjiwibowo, serdadu Royal Dutch Marine, seperti ditulis Liesbeth dalam bukunya, menceritakan bagaimana ayahnya bekerja sebagai pengawas perbaikan perumahan di Departemen Kesehatan Hindia-Belanda. Ayah Hadjiwibowo harus memastikan warga mengganti tiang bambu dengan balok jati, karena tikus cenderung bersarang di bambu berongga. Ayahnya sering dipindahtugaskan untuk berbicara tentang penyebaran wabah dari Jawa Timur ke Jawa Barat. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina menyebut pemerintah juga memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan perbaikan rumah. Aturan ini dicatat dalam pasal 2 Staatsblad No. 484 tahun 1916. Orang kulit putih ataupun pribumi yang melanggar akan dikenakan denda 100 gulden atau bila tidak sanggup membayar akan dipenjara selama satu hingga enam hari. Karantina juga dilakukan agar penyakit pes tidak menular. Bila satu orang terkena pes, satu keluarga akan diungsikan. Dalam praktiknya, seringkali bukan satu keluarga yang diungsikan, melainkan satu desa. Ini dilakukan lantaran kebiasaan penduduk untuk mengunjungi orang yang sakit. Padahal, ketika berkunjung belum tentu kutu tikusnya sudah mati tapi malah menular ke penjenguknya. Ketika dikarantina, tiap desa biasanya dijaga dua-tiga petugas atau polisi desa. Hal itu menyebabkan penduduk sering kucing-kucingan dengan menyelinap keluar kamp karantina pada sore hari. Mereka menjaga rumah masing-masing pada malam hari agar tak kemalingan. Paginya, penduduk akan kembali ke kamp karantina. Selain alasan keamanan, penduduk menolak dikarantina karena perlakuan tidak layak. Mereka harus tidur berdesakan sementara pemberian makan seringkali dilempar dari luar lantaran petugas takut tertular. “Perlakuan semacam itu kan tidak menghargai, jadi ada yang menolak dikarantina,” kata Martina. Untuk menghindari diungsikan, banyak warga yang akhirnya menutup-nutupi bila ada keluarga atau tetangganya yang terjangkit pes. Beberapa orang berusaha berobat ke dukun dan diobati dengan dioleskan minyak kelapa panas ke seluruh tubuh. Pengobatan dukun nyatanya tak berhasil sehingga ujung-ujungnya tetap diobati oleh para mantri yang diterjunkan ke desa.

  • Kisah Surat Hatta untuk Baswedan

    GERAM. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati keluarga salah satu bapak pendiri bangsa, Mohammad Hatta, saat mengetahui surat beratasnamakan ayahandanya tersebar luas di jagat maya. “Hidup Bung Hatta menginspirasi keturunannya. Kami selalu ambil nilai-nilai baik dari teladan beliau. Tapi heran masih juga ada kelompok yang mau mempecundangi nama besar Bung Hatta,” ucap Halida Nuriah Hatta, putri bungsu Mohammad Hatta, kepada Historia . Halida Hatta pernah membagikan foto surat tersebut dalam akun media sosialnya. Di sana ia menyebut jika surat tersebut palsu dan isinya tidak sesuai dengan kepribadian Hatta. "Pelajarilah kiprah Bung Hatta dari masa remajanya sampai dengan akhir hidupnya," tulis Halida. Surat Hatta kepada A.R. Baswedan. Namun jauh sebelumnya, surat milik Hatta itu telah dikutip oleh beberapa peneliti. Seperti Hamid Algadri tahun 1984, dalam buku C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab . Hamid menggunakan kutipan surat itu untuk menerangkan peran dan kedudukan keturunan Arab dalam politik Indonesia. Peneliti lain yang mengutip surat Hatta adalah Abdul Rachman Patji tahun 1991, dalam tesis The Arabs of Surabaya: A Study of Sociocultural Integration . Serupa dengan Hamid, Patji pun menggunakan kutipan surat itu untuk mempertegas kedudukan keturunan Arab di Indonesia melalui Partai Arab Indonesia. Surat bertanggal 24 November 1975 itu merupakan balasan atas surat yang dibuat oleh A.R. Baswedan. Di dalamnya Hatta menanggapi “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab tahun 1934” yang pernah dicanangkan oleh A.R. Baswedan sewaktu mendirikan Partai Arab Indonesia. Hatta juga menyinggung tentang perjuangan pemuda keturunan Arab yang ikut dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut Hatta menulis pemuda Indonesia keturunan Arab benar-benar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah airnya yang baru. Namun yang menjadi perdebatan publik adalah pernyataan Hatta yang menyebut warganegara keturunan Arab disejajarkan dengan keturunan Tiongkok. “Dalam praktek hidup kita juga banyak sekali W.N.I. turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya R.R.C., W.N. Indonesia keturunan Arab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar-benar menjadi tanah airnya”. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana kebenaran dan keaslian surat tersebut? Halida Hatta menegaskan bahwa seluruh isi surat itu merupakan kebohongan besar. Tidak ada satupun hal yang sesuai dengan kepribadian Hatta. “Itu sudah jelas palsu. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun masalahnya hal itu jangan dibiarkan,” lanjut Halida. Kepada Historia , sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan jika kebenaran dari surat itu perlu dikaji lebih dalam. Banyak faktor yang perlu diperhatikan, mulai dari keadaan politik tahun 1975 (saat surat itu dibuat), surat yang dikirim A.R. Baswedan kepada Hatta sebelumnya, dan lain sebagainya. “Harus diperiksa keotentikan surat tersebut. Apa ada bagian yang dikurangi atau ditambahkan seperti kasus Cindy Adams,” kata Asvi. Seperti yang kita ketahui bersama, buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams menuai polemik setelah ada dua paragraf yang diduga ditambahkan saat buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Sepintas lalu ada fakta sejarah yang benar tapi dicampur dengan alinea yang ditambahkan kemudian,” sambung Asvi. Jika melihat kondisi politik sekitar tahun 1970-an antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok, memang sempat terjadi ketegangan. Pada pertengahan 1975, dalam lawatannya ke Jepang, Suharto pernah menyebut jika Indonesia tidak akan tergesa-gesa menormalisasi hubungan mereka dengan Tiongkok sebelum dicapai hasil yang nyata dalam perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Persoalan itu terjadi pasca Peristiwa G30S meletus di Indonesia. Pada 30 Oktober 1967, pemerintahan Orde Baru segera mengeluarkan kebijakan untuk membekukan hubungan bilateral di antara kedua negara. Hal itu cukup berdampak pada masyarakat Tionghoa di dalam negeri. Ada beberapa peraturan pemerintah yang mengatur orang Tionghoa di Indonesia, salah satunya Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang perayaan masyarakat Tionghoa. Lalu bagaimana hubungan Hatta dan A.R. Baswedan dengan masyarakat Tionghoa? Menurut Asvi, baik Hatta maupun A.R. Baswedan bukanlah sosok yang rasial atau anti-Cina seperti yang terlihat di dalam surat itu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suratmin dan Didi Kwartanada dalam buku A.R. Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan , memaparkan dengan lengkap karir jurnalistik A.R. Baswedan di beberapa surat kabar Tionghoa dan pertemanannya dengan tokoh-tokoh Tionghoa. Tahun 1932, A.R. Baswedan menjadi anggota redaksi harian surat kabar Melayu-Tionghoa di Surabaya, Sin Tit Po , pimpinan Liem Koen Hian. Di sana ia berjumpa dengan kawan Tionghoanya, Tjoa Tjie Liang, yang saat itu juga menjabat Sekertaris Partai Tionghoa Indonesia. Pertemuan di Sin Tit Po itu menjadi jalan bagi pertemanan yang kekal antara dua keturunan asing tersebut. Selepas dari Sin Tit Po, keduanya sama-sama masuk dalam jajaran redaksi Soeara Oemoem , kemudian koran Tionghoa Mata Hari . Meski akhirnya dipisahkan oleh kepentingan politik masing-masing. Tetapi hubungan persahabatan mereka tetap berjalan baik. Dalam biografi itu, para penulis menyebut Tjoa Tjie Liang pernah menulis surat tentang penderitaan dan pahit getirnya hidup A.R. Baswedan. “Ia pernah menumpang tinggal serumah dengan Tjoa Tjie Liang di Semarang setelah A.R. Baswedan meletakkan jabatannya di surat kabar Mata Hari . Pada waktu itu rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka adalah rumah sewa,” tulis Suratmin dan Didi. Sementara itu, pendangan Hatta tentang orang-orang Tionghoa agaknya jauh lebih luas lagi. Dalam salah satu buku, Bung Hatta Menjawab , yang berisi hasil wawancara Zainul Yasni bersama Hatta menyebut orang-orang Tionghoa memiliki cara hidup yang mengagumkan. “Itulah hebatnya orang Cina ini. Kalau jadi kapitalis betul-betul kapitalis. Kalau jadi nasionalis, betul-betul nasionalis Indonesia. Ada juga yang jadi orang agama dalam Muhammadiyah, betul-betul ia jadi alim. Tetapi kalau jadi komunis Cina itu betul-betul jadi komunis tulen,” ucap Hatta. Pada sebuah pidato tahun 1946 di depan orang-orang Tionghoa, yang dimuat Portrait of a Patriot: Selected Writings karya Mohammad Hatta yang diterjemahkan dari buku Kumpulan Karangan Vol I, II, dan IV , Hatta menggambarkan bagaimana perselisihan dengan orang-orang Tionghoa telah terjalin sejak zaman Belanda. Munculnya perselisihan salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menempatkan etnis Tionghoa di atas kaum bumiputera. Menurut Hatta perselisihan antara orang Indonesia dan orang Tionghoa seharusnya dapat dihindari jika saja Belanda dan Jepang tidak turut campur di dalamnya. “Dengan ini saya bisa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menyatakan penyesalannya secara tulus atas insiden-insiden yang terjadi. Kita tak boleh lupa bahwa kelompok yang menginginkan kehancuran Indonesia adalah kelompok yang memancing rakyat untuk melawan orang-orang Cina terutama di peperangan”. “Jika orang-orang Cina dapat beradaptasi dengan jiwa ekonomi baru,” lanjut Hatta “posisi mereka dalam ekonomi Indonesia bisa berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu”. Hatta memiliki pandangan yang cukup objektif terhadap masyarakat Tionghoa dan Arab ini. Seperti terlihat pada pidato peringatan Hari Kooperasi tahun 1977, yang dimuat  Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan.  Hatta menyebut masyarakat Indonesia masuk dalam kelas ekonomi kecil, di bawah orang Tionghoa dan Arab. Hal itu telah berlangsung lama, dan untuk bisa bangkit diperlukan dasar yang kuat. Terlebih, "mereka pun terikat pula dengan utang dan kredit kepada orang-orang Tionghoa dan orang-orang Arab yang banyak hidup dengan merentekan uang," tulisnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa Hatta dan A.R. Baswedan sama-sama tidak memiliki masalah dengan etnis Tionghoa, malah sebaliknya. Lalu apakah berarti surat tersebut tidak benar? Tugas para sejarawan-lah untuk menelisik soal ini lebih jauh.

  • "Anak Tiri" di Pertempuran Kranji

    SEEKOR ikan arapaima raksasa menjadi pemberintaan Singapura pada 6 Juli 2019. Dengan panjang dua meter dan bobot 150 kilogram, ikan itu hampir membunuh Shannon Lim, seorang peternak, saat akan dipindahkan. “Arapaima mendorong pria berbobot 92 kilogram itu –‘seperti ketika seorang ibu menyeret anaknya di sebuah mal’– sebelum menyundul dadanya, mengakibatkan cipratan hebat dan menjatuhkan Lim ke air,” demikian diberitakan channelnews asia.com . Raksasa air tawar itu berada di sebuah peternakan di Lim Chu Kang, dekat Kranji Reservoir. Di dekat reservoir itu pula seekor buaya sepanjang 3,4 meter ditemukan sebulan sebelumnya. “Waduk Kranji sebenarnya ditetapkan sebagai cagar, dan dulunya merupakan rawa bakau luas yang mendukung kekayaan satwa liar. Kebutuhan akan pasokan air yang meningkat membawa perubahan dramatis pada area tersebut,” tulis buku terbitan Centre for Advanced Studies, National University of Singappore, Public Space: Design, Use and Management . Di wilayah berawa di barat daya Singapura inilah pada awal 1942 penduduk Singapura bahu-membahu dengan pasukan Inggris-Australia menghadang pendaratan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayjen Takuma Nishimura. Setelah sukses menduduki Pantai Sarimbun, pasukan AD ke-25 Jepang di bawah pimpinan Letjen Tomoyuki Yamashita langsung mengambilalih Istana Sultan Johor untuk dijadikan markasnya. Yamashita kemudian menjadikan garis Kranji-Causeway Johor yang –dijaga Brigade ke-22 (bertugas di barat Sungai Kranji) dan ke-27 (timur sungai) AD Australia di bawah pimpinan Brigjen Duncan Maxwell– membentang sepanjang empat kilometer sebagai titik pendaratan kedua untuk masuk ke jantung Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Yamashita menugaskan Nishimura dengan pasukan Imperial Guard-nya. Langkah Yamashita telah diantisipasi pihak Sekutu-Inggris sejak jauh hari. Pada akhir 1941, Gubernur Singapura Sir Shenton Thomas mendapat telegram rahasia dari sekretaris urusan koloni yang berisi permintaan agar menghilangkan kepentingan sepihak dengan cara merangkul kaum Tionghoa untuk ikut berjuang menahan kemungkinan pendudukan Jepang. Menindaklanjuti perintah itu, gubernur mengadakan pertemuan dengan komunitas Tionghoa di Kuala Lumpur. Hasilnya, pemilihan Tan Kah Kee, tokoh Tionghoa terkemuka di Singapura, sebagai ketua organisasi sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang. Ribuan orang Tionghoa lalu mendaftarkan diri ke dalam barisan sukarelawan pimpinan Tan itu. Mereka lalu dilatih teknik dasar militer oleh Letkol John Dalley, perwira intelijen di Kepolisian Khusus Malaya, dan disatukan ke dalam pasukan bernama Dalforce. “Sebagai hasil dari bantuan yang diberikan Tan Kah Kee, pasukan besar gerilyawan Tiongkok, berjumlah sekitar dua ribu, dibentuk oleh Dalley di Kuala Lumpur dari beragam kelompok Tionghoa –beberapa dari mereka telah ditahan oleh Inggris sebelum perang akibat kegiatan Komunis dan dibebaskan dari penjara untuk mengabdi bersama Dalforce– yang ditambah oleh siswa, guru sekolah, penarik becak, dan buruh Tiongkok. Mereka dibagi menjadi beberapa kompi, masing-masing di bawah komando seorang perwira Inggris,” kata Leon Comber dalam bukunya Dalley and the Malayan Security Service, 1945-48 . Namun, Inggris setengah hati membentuk Dalforce lantaran banyak anggotanya merupakan komunis. Selain hanya memberi 10 hari latihan dasar militer, Inggris mempersenjatai beberapa personil Dalforce dengan senapan usang Lee Enfield .303 berikut jatah peluru 24 butir, beberapa granat tangan, dan bayonet. Banyak personil hanya bersenjatakan senapan berburu. Para personil Dalforce juga hanya dibekali seragam biru berikut ban lengan segitiga, tak ada topi apalagi helm. Meski dianaktirikan, semangat juang para personil Dalforce tetap tinggi. “Dari semua pasukan yang mempertahankan Singapura, Dalforce dikatakan yang paling termotivasi untuk melawan Jepang,” sambung Comber. Simpati terhadap saudara mereka di China yang diduduki Jepang sejak 1930-an menjadi alasan di balik keinginan mereka bertempur melawan Jepang. Kegigihan mereka dibuktikan ketika menahan gerak-maju Jepang di Pantai Sarimbun. “Pada 8 Februari 1942,” kata lektor senior Singapore University of Social Sains (SUSS) Tan Wei Lim dalam buku Cultural Heritage and Peripheral Spaces in Singapore , “Kompi Dalforce No. 2 (berjumlah 150 orang) mundur dari Jalan Lim Chu Kang dan kemudian berenang melalui Sungai Kranji untuk mencapai Jalan Choa Chu Kang, hanya sekitar 60 yang hidup untuk menceritakan kisah mereka.” Ketika Nishimura resmi melancarkan serangannya dengan dibuka oleh bombardir kanon ke Desa Kranji, para personil Dalforce dan prajurit Brigade ke-27 Australia bertahan di hutan bakau sekitar Kranji sambil menunggu kedatangan para prajurit Jepang. Mereka telah menumpahkan di depo Sungai Mandai Kecil ke sungai. Begitu para prajurit Jepang mulai menyeberangi selat dengan menggunakan perahu motor dan sebagian berenang, pasukan Sekutu langsung membakar sungai berminyak tadi dan menghujani lawan dengan tembakan. Korban Jepang berjatuhan, banyak yang mati terbakar. Pasukan Nishimura mundur kembali ke Johor. Baru di jam-jam awal 10 Februari pasukan Jepang kembali ke Kranji. Pertempuran sengit pun terjadi. Namun, kali ini perlawanan dari Sekutu hanya dilakukan pasukan Dalforce yang sudah hampir kehabisan amunisi. Kekuatan tak imbang itu membuat Jepang kemudian berhasil merebut wilayah Kranji-Causeway.   “Mereka hancur berkeping-keping. Mereka menggunakan semua amunisi mereka. Tidak ada yang terluka untuk dibawa kembali. Mereka berdiri di tanah mereka. Mereka mendapat perintah untuk tinggal dan mereka tinggal. Dan mereka semua mati. Batalion senapan mesin Australia tidak tinggal di sana. Mereka mundur. Mereka ketakutan,” kata Kenneth Attiwill, personil Australia yang menyertai Dalley menginspeksi kompi Sungai Kranji pagi harinya, sebagaimana dikutip Cheah Boon Kheng dalam “Japanese Army Policy Toward Chinese and Malay-Chinese Relations in Wartime Malaya”, termuat di Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire . Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari, Dalley membubarkan Dalforce. Para mantan anggotanya melarikan diri, sebagian ke Sumatra tapi mayoritas ke Semenanjung untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Mantan kombatan yang belum sempat melarikan diri dan tertangkap Jepang, dieksekusi dalam Pembantaian Sook Ching. Usai perang, Inggris menutup rapat-rapat sejarah Dalforce. Penyebabnya apa lagi kalau bukan banyak anggota Dalforce merupakan komunis. “Meskipun diadakan upacara publik 6 Januari dan 8 Juni 1946 di Singapura dan London, pihak berwenang menolak mengakui bahwa anggota Dalforce secara resmi menjadi bagian dari pasukan Kerajaan Inggris tahun 1942. Para veteran bersikeras Inggris harus mengakui mereka bukan laskar, tetapi berada di bawah Komando Malaya. Veteran mengklaim bahwa Kolonel Dalley telah memberi tahu mereka saat pembubaran pada 1942, bahwa ‘Anda tentu akan menerima perlakuan sama dengan Tentara Inggris’, kata Karl Hack dan Kevin Blackburn dalam buku War Memory and the Making of Modern Malaysia and Singapore .

  • Intel Indonesia Bantu Pelarian Intel Prancis

    Kapal Rainbow Warrior milik organisasi lingkungan, Greenpeace, menjadi andalan dalam kampanye menentang uji coba nuklir Prancis di Pulau Moruroa, Pasifik. Pihak Prancis tak terima. Pada 10 Juli 1985, kapal yang tengah bersandardi Pelabuhan Auckland, Selandia Baru itu, diledakkan oleh anggota Dinas Intelijen Prancis (Direction Generale de le Securite Exterieure atau DGSE). Fotografer Greenpeace, Fernando Pereira, menjadi korban tewas. Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain Turenge dan Sophie Turenge. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa keduanya adalah Mayor Alain Mafart dan Kapten Dominique Prieur, anggota Dinas Intelijen Prancis. Peristiwa itu membuat publik marah. Pers mencecar pemerintahan Francois Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus 1985 tak memuaskan dan mengungkap kebenaran. Pelengseran Mitterand pun menguat. Menteri Pertahanan Charles Hernu mengundurkan diri. Pada 22 September 1985 Perdana Menteri Prancis Laurent Fabius buka suara tentang keterlibatan Dinas Intelijen Prancis. “Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan 'netralisasi'  Rainbow Warrior dalam apa yang disebut  Operation Satanic ,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks and Clandestine Wars. Laksda TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo. (ReproThe Admiral) Ternyata, dalam peristiwa itu, Dinas Intelijen Prancis meminta bantuan intelijen Indonesia (Sintel Hankam/ABRI) untuk menyelamatkan agennya yang diburu Kepolisian Selandia Baru. Beberapa agen Dinas Intelijen Prancis melarikan diri menggunakan pesawat milik Prancis, UTA (Union de Transports Aériens). Pesawat itu melakukan refueling di Jakarta. Aparat dari Kedutaan Besar Selandia Baru sudah menunggu mereka di bandara Jakarta. “Saya diam-diam meminta para agen Prancis untuk tidak turun dari pesawat selama proses pesawat UTA itu mengisi bahan bakar. Mereka selamat dari jebakan dan pulang ke Prancis,” kata Soedibyo Rahardjo dalam memoarnya, The Admiral . Saat itu, Soedibyo Rahardjo menjabat Paban (Perwira Diperbantukan) VII Sintel Hankam/ABRI untuk urusan luar negeri. Pada 1986, Sintel Hankam/ABRI menjadi Bais (Badan Intelijen Strategis) ABRI. Bantuan intelijen Indonesia kemudian dibalas oleh Dinas Intelijen Prancis. Namun, Soedibyo tak menyebut kasusnya. “Beberapa waktu kemudian ketika Sintel ABRI memerlukan kerja sama dengan Dinas Rahasia Prancis, dengan cepat mereka memenuhi permintaan kami,” kata Soedibyo yang kemudian menjabat Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI. Soedibyo menyebut saling membantu itu sebagai “kesetiakawanan dinas intelijen.”

  • Yang Terbuang, Yang Gemilang

    GEMURUH ribuan penonton di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta makin semarak. Sorakan dukungan hingga cemoohan untuk meneror lawan meramaikan jalannya pertandingan demi pertandingan sejak dimulainya Indonesia Open ke-38, 16-21 Juli 2019. Kendati para pendekar raket Indonesia satu per satu berguguran, dukungan para penonton tanah air tak luntur. Utamanya karena di turnamen berlevel Super 1000 ini Indonesia berhasil menaruh empat pendekarnya di partai puncak, yakni di nomor ganda putra. Pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Marcus Gideon/Kevin Sanjaya berhasil membuat nomor tersebut dengan akhir All-Indonesian Final. Dari babak-babak awal, kedua pasangan andalan tuan rumah itu tampil gemilang dan tak terbendung. Pasangan “The Minions”, julukan Marcus/Kevin, akhirnya mencomot gelar juara. Padahal, nomor ganda dulu merupakan nomor buangan yang dimainkan oleh para pebulutangkis yang terdepak dari persaingan di nomor tunggal. Seperti dalam olahraga tenis, dalam bulutangkis mulanya hanya nomor tunggal putra dan putri yang punya prestis tinggi. Christian Hadinata, pemain ganda legendaris Indonesia era 1960-an, merasakan betul atmosfer itu. Saat itu bulutangkis Indonesia tengah kebanjiran pemain tunggal. Lantaran spot untuk tunggal putra di berbagai kejuaraan kaliber dunia terbatas, hanya yang terbaik bisa tampil di sektor prestisius itu. Sisanya, terdepak ke ganda. Kelaziman lainnya adalah para pemain tunggal merangkap main di nomor ganda. Selain Christian, ada Rudy Hartono atau Liem Swie King. “Memang awalnya saya tunggal. Lalu ke belakang sering double (ganda) dengan Christian atau Kartono. Waktu masih muda, fokus enggak terpecah. Fisik masih kuat. Tapi makin tambah umur, ya mulai jadi masalah. Terakhir saya merangkap di Thomas Cup 1984. Hasilnya tunggalnya kalah, double -nya menang,” ujar King kepada Historia . Liem Swie King pernah merangkap ganda putra beberapa kali dalam catatan kariernya. Titik Balik Kebiasaan rangkap itu membuat perhatian pada pembinaan sektor ganda jadi minim. Pada akhirnya, ganda dipandang sebelah mata. Namun, perlahan anggapan itu berubah sejak gelar demi gelar dibawa pulang para jagoan ganda Indonesia macam Tjun Tjun/Johan Wahyudi atau Ade Chandra/Christian Hadinata. Prestasi mereka jadi titik balik pandangan bahwa ganda putra juga bisa membanggakan, bukan lagi buangan. “Memang dulu pelatihan di pelatnas dan klub tidak spesifik ada ganda putra. Biasanya pemain tunggal merangkap ganda. Di Kejuaraan Asia 1971, saya malah merangkap di dua nomor ganda. Di ganda putra dengan Ade dan ganda campuran dengan Mbak Retno Koestijah. Prestasinya cukup baik (juara ganda campuran, red),” kata Christian kepada Historia . Pamor sektor ganda makin gemilang setelah pasangan Christian/Ade Chandra juara di All England 1972. Dunia tak menyangka Indonesia punya pasangan kuda hitam di nomor ganda yang menemani kedigdayaan Rudy di nomor tunggal putra turnamen bulutangkis tergaek itu. “Itu pengalaman yang enggak akan pernah lupa. Waktu itu kita satu-satunya ganda putra Indonesia yang ikut All England. Kita masih dipandang remeh. Selama ini kan saingan-saingan kita tahunya kekuatan Indonesia hanya di tunggal putra. Ganda putra enggak dipandang,” Christian melanjutkan. Christian Hadinata, legenda ganda putra Indonesia. (Randy Wirayudha/Historia) Prestasi tersebut membalikkan pandangan publik yang awalnya memandang sebelah mata. “Saat kita masuk semifinal, mereka heran, lho kok ada semifinalis dari Asia, dari Indonesia. Saya ingat, saat masuk lapangan, ada lampu bulat disorot ke pemain sampai ke tengah lapangan utama. Rasanya luar biasa jadi pusat perhatian ketika kita tak diunggulkan dan belum punya nama,” sambungnya. Sejak itu, pamor ganda kian melambung. Gelar demi gelar ganda putra, mulai dari All England hingga Olimpiade, nyaris tak pernah lepas dari genggaman wakil Indonesia. Sektor ganda putra pun perlahan jadi perhatian PBSI. Tongkat estafetnya diteruskan Christian sebagai pelatih sejak 1990. Nama-nama para pasangan juara terus bermunculan, menyambung estafet yang dimulai di era Christian. Ada Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Sigit Budiardjo/Candra Wijaya, hingga yang terbaru Markus Gideon/Kevin Sanjaya.

bottom of page