Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pers Berbahasa Arab Penyebar Kemerdekaan Indonesia
SEBUAH lahan kosong tertutup pagar seng di Gang Tengah, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Di lahan ini dulu berdiri sebuah rumah. Aneka macam cerita keluar dari rumah itu. Pernah menjadi markas pemuda pro-Republik, anggota BKR, dan gudang senjata pada masa Jepang sampai awal kemerdekaan Indonesia. Tapi cerita berikut ini bukan tentang tiga hal itu. Ini cerita tentang peran kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Dari rumah itulah APB turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak 2 September 1945. Tapi peran APB tak selalu terang. Perlu penambahan data untuk memperjelasnya dan memperkuatnya. “Terkait peran pers APB dalam kemerdekaan, sangat menarik untuk penggalian sumber lagi,” ungkap sejarawan Rusdhy Hosein dalam diskusi “Diplomasi Pers Asad Shahab dalam Kemerdekaan Indonesia” di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa, 28 November 2018. Penggagas APB adalah dua bersaudara orang Indonesia keturunan Arab, Mohammad Dzya Shahab dan Mohammad Asad Shahab. Mereka memandang pendirian kantor berita cukup penting bagi kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, keadaan Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan harus disiarkan ke mancanegara. Ada dua kantor berita di Indonesia yang juga turut berperan dalam menyebarkan keadaan Indonesia merdeka : Antara dan Domei. Memberdayakan Jejaring Antara dan Domei mempunyai kelemahan. Antara hanya mampu menyiarkan berita itu di dalam negeri, sedangkan Domei masih berada dalam kendali Jepang. Ruang kosong penyiaran ke luar negeri diambil oleh APB . Demikian menurut A.M. Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press board . Dzya dan Asad menyasar negara-negara di Timur Tengah sebagai ruang penyebaran berita tentang Indonesia. Mereka memiliki jaringan kuat di Timur Tengah. Mereka kenal dengan tokoh pers tempatan dan pelajar Indonesia di sana. Karena itu, menurut Solichin Salam dalam APB Arabian Press Board: Sejarah dan Perjuangannya , langkah awal APB untuk mengabarkan keadaan Indonesia setelah kemerdekaan adalah mengontak semua jejaring mereka di Timur Tengah. Alasan lain pemilihan lapangan bergerak APB di Timur Tengah adalah ikatan erat antara Indonesia dan Timur Tengah. Dua wilayah ini terikat oleh agama Islam dan jejaring pendidikan selama ratusan tahun. Tetapi pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, banyak warga Timur Tengah belum tahu kelahiran negara merdeka baru bernama Indonesia. “Bagi orang-orang Mesir umumnya hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh, seperti India dan Cina. Sebagian kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji —yang karena pernah pergi ke Mekkah—menjadi tahu tentang Jawa,” catat A.R. Baswedan dalam “Catatan dan Kenangan”, termuat di Seratus Tahun Haji Agus Salim . A.R. Baswedan bersama Haji Agus Salim, Nazir St. Pamoentjak, dan Rasjidi merupakan anggota delegasi Indonesia di Mesir pada April 1947. Mereka bertugas mencari dukungan dan pengakuan dari Mesir dan negara Timur Tengah atas Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka juga berupaya meyakinkan pemerintah negara-negara di Timur Tengah bahwa Republik Indonesia bukanlah bentukan Jepang. Sebab kabar yang santer tersebar menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara bentukan Jepang. Alasan pemerintah Indonesia mencari dukungan dan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah mirip dengan alasan APB bergerak di sana. Orang Indonesia memiliki kesamaan agama dan telah menjalin hubungan ratusan tahun dengan orang-orang di Timur Tengah. Dua hal ini menjadi modal penting untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara-negara di Timur Tengah. Sasaran pertama para diplomat Indonesia adalah Mesir. Suranta Abdul Rahman dalam “Diplomasi RI di Mesir dan Negara-Negara Arab pada Tahun 1947” termuat di Jurnal Wacana Vol. 9 No. 2 Tahun 2007, menyebut Mesir adalah pemimpin Liga Arab. Liga Arab memiliki tujuan membantu negara-negara mayoritas muslim mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, Mesir merupakan pintu bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah lainnya. Bukti dukungan Liga Arab pada negara mayoritas muslim terjajah tampak dalam kunjungan Abdul Mun’im, utusan Liga Arab, ke Yogyakarta pada awal 1947. Kedatangan Mun’im ke Yogyakarta beralas pada sidang keputusan Liga Arab di Kairo, Mesir, pada November 1946. Liga Arab menganjurkan anggotanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Menembus Blokade Belanda menyadari ikatan erat agama dan historis antara Indonesia dengan Timur Tengah. Mereka berusaha memblokade segala macam bentuk komunikasi dan kontak antara Indonesia dan Timur Tengah. Blokade ini membuat kabar tentang Indonesia menjadi simpang-siur di Timur Tengah. Selain itu, Belanda juga mengirim sejumlah propagandis ke negara Timur Tengah untuk mempengaruhi pemerintahan di sana agar membatalkan dukungan kepada Indonesia. Pemimpin propagandis Belanda tersebut bernama Muhammad bin Abdullah Alamudi. “Dia bermaksud akan mempropagandakan Belanda dan membuat berita buruk tentang RI,” tulis Suranta. Dalam keadaan inilah, APB berperan menjernihkan kabar tentang Indonesia dan turut mencegah infiltrasi utusan Belanda ke Timur Tengah. APB juga giat mengabarkan kegiatan delegasi Indonesia selama berada di Timur Tengah. “Masyarakat Arab dapat mengakses langsung informasi pergerakan dan perjuangan dari Indonesia berkat kantor berita The Arabian Press Board ( APB ),” tulis Suranta. APB menerjemahkan berita-berita berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab, kemudian menjembarkannya ke jejaring mereka di Timur Tengah. Dari situlah, warga Timur Tengah memperoleh kabar terbaru tentang Indonesia dan gerakan mempertahankan kemerdekaan. Dukungan pun datang dari sejumlah organisasi masyarakat di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin. Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyorot cara APB menembus blokade informasi Belanda. “Buku A.M. Shahab menyebut keberhasilan APB . Tetapi bagaimana APB menembus blokade tersebut tak diterangkan secara detail. Barangkali menarik kalau ada tambahan dokumentasi terkait hal tersebut,” kata Asvi. Oleh sebab minim sumber, Asvi lebih banyak menerangkan peran golongan Arab dalam upaya pencapaian kemerdekaan Indonesia. Terkait pencegahan utusan Belanda ke negara Timur Tengah, Suranta mengulasnya secara terang. “ APB menggalang semua surat kabar Arab untuk menyiarkan berita dengan judul ‘Rombongan Pengkhianat akan Mengunjungi Negara-Negara Arab’, ‘Propagandis Belanda’, dan ‘Pedagang Belanda’,” catat Suranta. Pemimpin politik di Timur Tengah membaca berita-berita tersebut. Berkat informasi dari APB , sikap pemimpin politik di Timur Tengah tidak goyah terhadap kemerdekaan Indonesia. Jasanya Terawat Mulyadi, doktor Ilmu Politik FISIP UI, memperkuat pernyataan Suranta. Menurut Mulyadi, dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah terhadap Indonesia tak lepas dari peran APB . “Negara-negara tersebut memperoleh berita terpercaya dari orang-orang dan lembaga yang terpercaya pula, dimana hal itu telah dilakukan oleh Asad Shahab melalui kantor berita Arabian Press Board ,” kata Mulyadi. Mulyadi menambahkan, dari sudut pandang ilmu politik dan hubungan internasional, pengakuan dan dukungan dari negara lain terhadap Indonesia turut memperkuat posisi Indonesia. Salah satu cara untuk memperoleh pengakuan dan dukungan negara lain adalah melalui pemberitaan pers. Inilah peran pers dan Asad Shahab yang luput dari amatan. Asad Shahab, melalui APB- nya, telah meninggalkan jejak perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Jejak itu tak melulu berupa perjuangan bersenjata dan diplomasi, melainkan juga catatan tinta para jurnalis. Sekarang kantor APB sudah rata dengan tanah. Tetapi Mulyadi mengingatkan bahwa jejak APB dan jasa Shahab bersaudara tidak akan bisa dihapus dan ditelan zaman.
- I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya
DI Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam (bayangan tiang) tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun. Itulah sekelumit informasi yang diberikan I-Tsing atau Yi Jing, biksu Tiongkok tentang letak pusat Kerajaan Sriwijaya dalam bukunya Nanhai . Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal asal Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Sejauh ini letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi persoalan. Pasalnya ibu kotanya berpindah-pindah. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Jambi). Sementara sejarawan lainnya, G. Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. Berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang, diduga lokasi kota Sriwijaya adalah Palembang. Prasasti Kedukan Bukit misalnya, yang tertanggal 16 Juni 682 M menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo, tertanggal 23 Maret 684 M, menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra. Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah. “Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan Kota Sriwijaya,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Bambang menjelaskan berdasarkan catatan Yi Jing yang kemudian dihitung secara astronomis, lokasi Shili Foshi diduga berada tak jauh dari Palembang. “Bila diukur berdasarkan soltice, yang dapat dikatakan akurat, Shili Foshi tidak terletak di Kota Palembang sekarang atau di sekitar Upang-Sungsang di muara Sungai Musi,” kata Bambang. Namun, Bambang melanjutkan, jika diukur berdasarkan musim, kemungkinan letak Shili Foshi yang terdekat dengan Palembang berada di sekitar Kuala Tungkal Jabung. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar epigrafi, Boechari, kalau Yi Jing menulis catatannya tentang gnomon (bayangan tiang) saat dia berada di suatu wilayah Shili Foshi, bukan di ibukota Shili Foshi . Yi Jing juga menulis mengenai perluasan wilayah kekuasaan Sriwijaya ketika dia kembali ke Melayu pada 685 atau awal 686 M. “Kami singgah hingga musim dingin tiba, kapal berlayar ke arah selatan sekira sebulan dan tiba di Melayu, yang sekarang sudah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya,” catat Yi Jing. Itu pas dengan apa yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada 683, Sri Dapunta Hyang mengadakan pawai kemenangan ( jayasiddhayatra ) atas penaklukan Melayu. Dalam tulisannya, Yi Jing menggunakan dua istilah berbeda untuk menyebut Sriwijaya: Fo-shi dan Shili Foshi secara bergantian. Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menduga, ibukota Sriwijaya awalnya disebut Fo-shi. Namun kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, yang kemudian menjadi daerah kekuasaan raja Fo-shi . “Maka keseluruhan kawasan dan juga ibukotanya menyandang isitlah Shili Foshi, ” ujarnya.
- Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Baiq Nuril, guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat menjadi korban pelecehan seksual kepala sekolahnya, Muslim. Namun, Nuril justru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung lantaran merekam pelecehan seksual yang dilakukan Muslim via telepon genggam. Nuril diganjar enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah dengan jerat UU ITE. Padahal, Nuril sebelumnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram. Sampai hari ini, kasusnya masih bergulir. Nuril tidak sendiri. Banyak perempuan Indonesia menjadi korban pelecehan seksual yang merupakan salah satu spektrum kekerasan terhadap perempuan (KTP). Laporan Komnas Perempuan tahun 2018 menginformasikan, jumlah kekerasan seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Angka itu hanya mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Sementara, aduan dari para korban yang langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan. “Setiap tahun angkanya meningkat, menunjukkan orang semakin merasa aman untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami,” kata Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amirudin dalam Konferensi Pers Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Pacific Place, Selasa (27/11). Meski korban KTP kini lebih berani melaporkan kasus yang mereka alami, payung hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan belum kunjung disahkan. Dalam rilisan persnya, Komnas Perempuan mengkritik DPR yang tak kunjung membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal kasus KTP terus terjadi dan belum memiliki payung hukum yang cukup. Meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum kunjung disentuh DPR, usaha-usaha penghapusan KTP terus dilakukan. Salah satunya lewat peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang di dalamnya menuntut segera disahkannya RUU tersebut. Peringatan HAKTP diselengarakan secara global selama 16 hari, dari 25 November-10 Desember. Lebih dari 60 negara menyelenggarakannya. Di Indonesia, 16 HAKTP diperingati pertama kali tahun 2001 oleh Komnas Perempuan. Perjuangan dari Zaman Beheula Usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah dilakukan gerakan perempuan di berbagai negara sejak lama. Mulanya, feminis negara dunia pertama berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam agenda PBB. Menyusul kemudian disahkannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada 1979. Perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi gender berlanjut, salah satunya dengan membentuk Women’s Global Leadership Institute (WGLI) yang diadakan pertamakali pada 3-15 Juni 1991. Ke-23 pesertanya berasal dari berbagai bidang, seperti pengacara, pembuat kebijakan, guru, petugas kesehatan, peneliti, jurnalis, dan aktivis. Syarifah Sabaroeddien, pendiri Kalyanamitra dan saat itu merupakan dosen kriminologi UI, ikut hadir dalam pertemuan para aktivis perempuan sedunia itu. “Kalyanamitra memang sudah sering mendapat ajakan dari rekan-rekan feminis di negara lain untuk ikut dalam konvensi internsional. Dalam WGLI itu, almarhum Ifa (panggilan akrab Syarifah, red .) yang berangkat,” kata Myra Diarsi, pendiri Kalyanamitra sekaligus rekan Syarifah. Pertemuan itu lalu melahirkan kampanye 16 HAKTP yang diperingati sampai sekarang. Tanggal 25 November dipilih sebagai hari pertama kampanye internasional melawan KTP untuk mengenang Mirabal bersaudara –Patria, Maria, Antonia, dan Belgica– yang dibunuh secara brutal pada 1960 karena melawan kediktatoran Presiden Rafael Tujillo. Peringatan terbunuhnya Mirabal bersaudara pertama dilakukan tahun 1981 oleh feminis Amerika Latin dan Karibia. Kampanye 16 HAKTP berakhir pada 10 Desember bersamaan dengan peringatan Hak Asasi Manusia Internasional. Sepanjang 16 hari, terdapat pula Hari AIDS Sedunia (1 Desember), Peringatan Pembantaian Mahasiswi Teknik di Montreal (6 Desember), dan Hari Penghapusan Perbudakan (2 Desember). Rentang waktu 16 hari dipilih karena menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Syarifah Sabaroeddin (kedua dari kanan) bersama para aktivis perempuan dalam Women's Global Leadership Institute. (Laporan WGLI 1992) Menemukan Gerak Bersama Dalam pertemuan Women’s Global Leadership Institute (WGLI), para aktivis perempuan menghimpun laporan kekerasan yang mereka temukan di wilayah masing-masing. Laporan itu lalu diterbitkan pada 1992, memuat data-data kekerasan secara global, dari negara maju sampai negara berkembang. Laporan itu menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan terjadi di mana saja dan kepada perempuan di berbagai latar belakang budaya, dengan kata lain KTP terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Keikutsertaan Syarifah dalam WGLI membuat gerakan perempuan Indonesia di era Orde Baru menemukan rekan seperjuangan. “Pertemuan dengan Women’s Global Leadership semata menemukan dan meneguhkan kalau perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak kami lakukan sendiri,” kata Myra. Langkah Kalyanamitra, organisasi yang didirikan Syarifah bersama Myra, Ratna Saptari, Debra Yatim, dan Sita Aripurnami, memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia jadi makin terbuka. Sejak 1986, ketika pembahasan tentang KTP masih sangat tabu, Kalyanamitra telah mengkampanyekan kasus-kasus perkosaan dan pelecehan seksual melalui kampanye anti-KTP dan advokasi pada korban. Kalyanamitra melakukannya dengan cara mencari dan mendatangi korban satu persatu lalu memberi konseling psikologis dan mengadvokasi. Mengingat banyaknya korban kekerasan yang mereka tangani dan hasil temuan dalam laporan WGLI, Kalyanamitra menginisiasi pertemuan dengan gerakan perempuan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand selepas WGL. Pertemuan itu membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dari berbagai aspek dan cara-cara mengadvokasi korban KTP. “Kami sangat concern dengan kasus perkosaan karena waktu itu KUHP 285 mendefinisikan perkosaan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan kepada perempuan yang bukan istrinya. Jadi perkosaan dalam rumah tangga dianggap tidak ada,” kata Myra. Gerakan perempuan lalu mengajak beberapa praktisi hukum seperti Nursjahbani Katjasungkana dan Tumbu Saraswati untuk mengusulkan pembentukan payung hukum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Untuk mewujudkannya, mereka sering berkumpul di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). “Dua belas tahun kemudian usulan itu baru disahkan lewat UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” kata Myra. Sambil terus berjuang di bidang hukum, gerakan perempuan konsisten mengkampanyekan KTP meski kala itu baru dilakukan secara sporadis dan belum menyelenggarakan kampanye panjang 16 HAKTP. Kampanye yang dilakukan pada 1980-an, Myra melanjutkan, berusaha melawan pikiran patriarki yang menganggap perkosaan dan pelecehan seksual hanya ekses pelanggaran HAM. Gerakan perempuan terus menyuarakan agar kasus-kasus KTP dianggap serius dan bagian dari pelanggaran HAM. Atas desakan aktivis perempuan, negara lalu membentuk Komnas Perempuan (KP) usai Reformasi. KP membantu menghimpun gerakan menjadi lebih besar. “Setelah Komnas Perempuan berdiri, kami bikin kampanye itu (16 HAKTP, red.) secara lebih institusional,” kata Myra. Beragam upaya untuk menghapus KTP terus dilakukan dengan perhatian yang berbeda tiap zaman. Kini, gerakan perempuan fokus mendorong pemerintah agar mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual yang tak kunjung dilegalkan. “Sampai sekarang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan, padahal sudah diajukan sejak dua tahun lalu. Kalau tidak ada payung hukumnya, bagaimana penghapusan KTP bisa dilakukan dengan lebih masif?” Kata Mariana.
- Seabad Flu Spanyol
TEPAT satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang. Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi. Persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita. Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics."
- Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
DALAM menjalankan tugasnya, Gubernur pertama Jawa Barat Soetardjo kerap pergi-pulang melintasi Tasikmalaya-Bandung. Untuk alasan keamanan, keluarganya dimukimkan di Tasikmalaya. Sementara, Soetardjo berkantor dan tinggal sebentar di Bandung. Secara berkala, Soetardjo mengunjungi keluarganya. Kesempatan berkunjung dimanfaatkan untuk melihat kondisi keluarga seraya melepas rindu. “Sebulan sekali saya menegok keluarga di Tasikmalaya berkendara mobil lewat jalan selatan melalui Majalaya,” ujar Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetadjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo. Meski menjabat sebagai gubernur, ketika bepergian Soetardjo enggan memakai iring-iringan. Tujuannya agar tak memancing perhatian tentara Belanda dan Sekutu. Soetardjo hanya ditemani seorang agen polisi kantor gubernuran tanpa konvoi dan barisan pengawal. Dalam BandungAwal Revolusi 1945-1946, sejarawan John R.W. Smail mencatat betapa mencekamnya situasi di kota Bandung dan sekitarnya. Smail mengutip keterangan koresponden harian Merdeka yang melaporkan perilaku arogan orang Belanda. Sejumlah serdadu menggunakan senapan submesin untuk memaksa orang-orang di pasar menjual makanan kepada mereka. Tiga hari kemudian, aksi balasan terjadi. “Seorang responden Belanda melaporkan perilaku orang Indonesia yang semakin brutal; menculik tentara Sekutu yang ditugaskan mengurus tahanan perang Jepang; mengusir orang-orang Eropa keluar dari rumahnya dan memboikot mereka di toko-toko; mengurangi aliran makanan segar ke kota,” tulis Smail. Soetardjo dalam memoarnya, mengenang suasana yang sama mengerikan. Tebaran ancaman silih berganti. Suara rentetan senapan setiap sore dan malam terdengar di dalam kota. Konflik bersenjata antara pasukan Republik kontra Sekutu dan Belanda memang tak terhindarkan. Sekali waktu, saat hendak pulang ke Tasikmalaya, Soetardjo mengalami penghadangan di jalan pedalaman. Soetardjo menuturkan, kendati memakai mobil berplat nomor “D1”, dia masih juga ditahan oleh pemuda-pemuda pejuang yang menjaga lalulintas di pos tertentu. Mereka terlihat seperti laskar bersenjata. Seorang pemuda memberhentikan mobil yang membawa Soetardjo. Dengan sikap sopan, Soetardjo diminta masuk ke dalam sebuah rumah di tepi jalan. Instruksi itu dituruti. Soetardjo masih sempat menguraikan senyum. Di dalam rumah, Soetardjo di bawa masuk ke dalam salah satu kamar oleh pemimpin pasukan penjaga. Apa yang terjadi kemudian? Di dalam kamar, Soetardjo diminta untuk menanggalkan peci dari kepalanya. Setelah peci dibuka, dengan mengucap maaf, sang penjaga mohon diperkenankan melihat batok kepala Soetardjo. Soetardjo bersedia menundukkan kepalanya. Setelah diperiksa tanpa menyentuh kepala, penjaga mengucapkan terimakasih. Soetardjo bertanya penuh keheranan, “Apakah kamu tahu, siapa saya ini?” “Barangkali tahu,” kata penjaga itu. “Kalau tak keliru, Bapak adalah gubernur kita.” “Apakah maksudnya, kepala saya kamu periksa?” Soetardjo balik bertanya. ”Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang liwat sini, tak ada yang terkecuali,” demikian jawaban si penjaga tadi. Waktu itu dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA berkeliaran di pedalaman. Mereka adalah-orang pribumi suruhan tentara Belanda untuk menyusup atau menyabotase pasukan Republik. Tanda pengenal mata-mata itu dapat diamati dari ukiran di kepalanya. Di atas tempurung kepalanya akan ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter “N”. Alih-alih memarahi, Soetardjo malah mengucapkan pujian dan terimakasih atas tindakan siaga si penjaga. Perjalanan ke Tasikmalaya terus dilanjutkan. “Dengan senang hati saya memimpin perjuangan rakyat Jawa Barat itu,” demikian Soetardjo mengenang pengalaman di masa revolusi sebagai gubernur pertama Jawa Barat. Sewaka yang kelak menjadi gubernur Jawa Barat ketiga (1946-52) mengakui betapa sukarnya menjadi gubernur di masa kritis pasca Indonesia merdeka. Keganasan revolusi kala itu bisa menyasar siapa saja tanpa pandang bulu ataupun jabatan. Dalam memoarnya Tjorat-Tjaret dari Djaman ke Djaman, Sewaka mengatakan, “Memang tak mudah memegang pemerintahan dalam saat meletusnya revolusi semacam itu.”
- Seteru Sengit di Sirkuit
INTERNAL tim Repsol Honda di MotoGP musim depan (2019) diprediksi bakal memanas setelah bergabungnya Jorge Lorenzo pada Juni 2018 menggantikan Dani Pedrosa sebagai joki kedua. Lorenzo bakal bermitra dengan rekan senegara sekaligus rival tersengitnya, Marc Márquez. Keduanya sudah terlibat konflik sejak Grand Prix (GP) Spanyol di Sirkuit Jerez (kini Sirkuit Jerez-Ángel Nieto), 5 Mei 2013. Situs resmi MotoGP, 13 November 2018, mencatat, permusuhan mereka dipicu manuver Márquez yang menyenggol Lorenzo (masih di tim Yamaha). Akibatnya, Lorenzo gagal meraih podium utama. Sejak itu, keduanya kerap tak akur di dalam maupun luar lintasan. Bakal setimnya Lorenzo dan Márquez membuat banyak orang penasaran bagaimana hubungan keduanya di tim Honda musim 2019. Sebagian memprediksi keduanya akan mengulang persaingan setim laiknya legenda Formula One (F1) Alain Prost vs Ayrton Senna kala sama-sama di tim McLaren-Honda musim 1988-1989. “Tidak,” kata Márquez mengomentari hubungannya dengan Lorenzo bakal seperti Prost dan Senna, dilansir Motorsport , 26 November 2018. “Di lintasan tentu kedua pembalap ingin juara, ingin terdepan, dan akan memberi kemampuan 100 persen. Tapi di luar lintasan, kami tetaplah rekan setim. Bahkan sejak perseteruan di Austria dan Brno, hubungan kami tetap profesional.” Senna vs Prost Di permukaan, Márquez dan Lorenzo jelas bakal profesional. Namun, belum tentu di dalam. Benih-benih permusuhan masih nampak, sebagaimana Prost dan Senna yang awalnya juga berkawan baik. Insiden Marc Márquez i Alenta (kanan) yang menyenggol Jorge Lorenzo Guerrero (kiri) pada 2013 memicu perseteruan (Foto: motogp.com) Perseteruan Senna-Prost bermula dari bergabungnya Senna ke tim McLaren jelang musim 1988. Kedatangan itu mulanya sangat didukung Prost selaku pembalap utama lantaran di dua musim sebelumnya Senna tampil apik bersama tim Lotus. “Saya bilang pada Ron (Dennis, team principal Mclaren-Honda) bahwa saya yakin Ayrton akan jadi pembalap hebat di masa depan dan saya pikir dia akan jadi opsi terbaik buat tim. Hubungan saya dekat dengan Nelson (Piquet) tapi saya rasa akan lebih baik buat tim memiliki pembalap yang lebih muda,” ujar Prost dikutip Malcolm Folley dalam Senna versus Prost: The Story of the Most Deadly Rivalry in Formula One . Namun, hubungan baik mereka di internal mulai rusak di seri ke-13, GP Portugal, 25 September 1988. Di lap kedua GP di Sirkuit Autódromo do Estoril itu, Senna bermanuver menutup jalur ketika Prost hendak menyalip. “Dia banting setir ke arah (jalur) saya, membuat saya hanya berjarak kira-kira satu kaki dari dinding sirkuit. Saya mampu bertahan dan malah memenangkan balapan. Tapi dia selalu bisa terhindar dari hukuman. Memang berapakali Ayrton disanksi atas aksi-aksi seperti itu selama ini? Tidak pernah!” ujar Prost dalam “Alain Prost on Ayrton Senna: Between Us, We Can Screw All the Others!” yang dimuat Autoweek , 30 April 2014. Hingga akhir musim, benih-benih kebencian mulai muncul di antara keduanya. Meski sempat didamaikan bos tim Ron Dennis setelah Senna minta maaf, kedengkian kedua pembalap masih berlanjut. Di musim berikutnya, ketika F-1 baru memasuki seri kedua, GP San Marino 1989, Senna dan Prost kembali “perang” di Sirkuit Imola (kini Autodromo Enzo e Dino Ferrari). Alain Marie Pascal Prost (kiri) saat berekanan dengan Ayrton Senna da Silva di tim McLaren selama 1988-1989 (Foto: Repro "Senna versus Prost") Padahal, kata Tom Rubython dalam The Life of Senna , keduanya punya perjanjian pra-balapan pasca-sesi kualifikasi. Di sesi kualifikasi, Senna sukses menempati pole terdepan dan Prost membuntuti di pole kedua. Keduanya bikin perjanjian bahwa di tikungan “Tosa” pada lap pertama keduanya tidak boleh saling “serang” berebut posisi. Memang, pada saat start Senna dan Prost adem-adem saja. Tapi gara-gara sebuah kecelakaan yang dialami Gerhard Berger (pembalap tim Ferrari), balapan harus dimulai lagi meski posisi Prost sudah di depan Senna. “Saat start kembali (setelah kecelakaan) saya berada di depan dan di Tikungan Tosa Ayrton menyalip saya! Setelah balapan, dia berargumen itu bukan start , melainkan restart . Kami pun saling tidak setuju soal alasan itu. Setelah itu atmosfer di tim sangat buruk,” lanjut Prost. Di Sirkuit Suzuka saat GP Jepang, 22 Oktober 1989, Prost melakukan pembalasan. Ketika Senna berusaha menyalip Prost di sebuah chicane (tikungan ganda) pada lap ke-46, Prost sengaja menutup ruang Senna hingga kedua mobil mereka saling berserempet. Setelah sempat beradu mulut di trek, Senna ambil jalan pintas di luar trek yang berujung diskualifikasi plus sanksi enam bulan larangan membalap dan denda USD100 ribu. Insiden antara Ayrton Senna da Silva (helm kuning) dengan Alain Marie Pascal Prost (helm putih) di Sirkuit Suzuka (Foto: ayrtonsenna.com.br) Perseteruan berlanjut lagi di Suzuka pada musim 1990 tatkala Prost sudah pindah ke Ferrari. Di tikungan pertama lap pembuka, Senna menubruk buritan mobil Prost hingga sedikit terangkat. Keduanya terpaksa gagal melanjutkan balapan meski di akhir musim Senna berhasil menjadi juara dunia. Lawan Jadi Kawan Abadi Balapan terakhir Prost, di Sirkuit Adelaide dalam GP Australia 7 November 1993, membawa berkah bagi hubungannya dengan Senna. Perdamaian keduanya mulai tercipta kembali. “Padahal dua pekan sebelumnya di podium GP Jepang, dia tak mau melihat saya. Tapi saat saya pensiun, dia merangkulkan tangannya ke pundak saya,” kata Prost. Prost pelan-pelan mulai berkawan lagi dengan Senna. Namun, persahabatan itu harus berhenti pada 2 Mei 1994. Hari itu, Senna tewas setelah mobilnya menghantam dinding beton di tikungan Tamburello, Sirkuit Imola ketika GP San Marino. Prost ikut mengusung peti jenazah Senna untuk dikebumikan di Pemakaman Morumbi, 4 Mei 1994. “Jika ada orang yang tanya pada saya siapa pembalap terbaik yang pernah saya hadapi, tiada lain adalah Senna. Bagaimanapun perseteruan kami, satu hal yang takkan pernah berubah adalah rasa hormat kami satu sama lain sebagai pembalap. Jika waktu bisa berulang, saya akan bilang padanya: ‘Dengar Ayrton, kita pembalap terbaik. Di antara kita sangat bisa berteman dan kita bisa memecundangi semua pembalap lain’,” ujar Prost.
- Hubungan Bilateral Jawa dan Tiongkok
JAWA merupakan wilayah pertama di Nusantara yang memiliki hubungan bilateral dengan Tiongkok. Kerajaan Jawa pula yang berinisiatif memulai hubungan itu dengan mengirimkan utusan ke utara. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, menjelaskan kontak Nusantara dengan Tiongkok sudah memiliki sejarah sejak tahun 131 M. “Kenapa Orang Jawa duluan (yang memulai hubungan, )? Jangan lupa bahwa bangsa kita pelaut ulung,” katanya saat ditemui dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kedatangan orang Jawa pertama kali muncul dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, misalnya Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116 . Dokumen Tiongkok klasik itu disusun oleh sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M). “Kenapa saya berani mengajukan begitu (orang Jawa duluan, )? Karena di dalam teks itu tidak ada narasi orang Tionghoa pergi ke Jawa,” kata Nurni. Dalam narasi yang hanya dua baris itu, lanjut Nurni, hanya berisi informasi asal utusan, keperluannya, dan apa yang dibawa. “Kalau menurut narasi itu adalah untuk memberikan persembahan dalam arti dari negara kecil ke negara besar. Cina selalu merasa sebagai kerajaan besar,” ujar Nurni. Setelah kedatangan orang Jawa ke Tiongkok itu, catatan tentang Jawa nyaris selalu hadir dalam dokumen resmi sejarah Tiongkok. Catatan tentang Jawa awalnya sangat singkat. Dokumen itu hanya menghadirkan data tentang kedatangan utusan Jawa ke daratan Tiongkok. Catatan itu belum disertai paparan data lokasi Jawa dan narasi kunjungan berdasarkan pandangan mata orang Tiongkok ke tanah Jawa. Itulah mengapa pada catatan awal kunjungan utusan Jawa ke Tiongkok sulit diketahui kerajaan mana yang dimaksud. Catatan itu tak spesifik menyebutkan nama kerajaannya. “Beda dengan masa Dinasti Tang, yang sudah mulai melihat kondisi orang dan alam Jawa,” kata Nurni. Catatan orang Tiongkok tentang Jawa makin lama makin lengkap dari masa ke masa. Catatan itu terutama setelah orang Tiongkok mulai singgah ke Nusantara. Catatannya pun tak hanya berisi data geografis, hubungan bilateral, tapi juga segala hal yang dilihat berdasarkan pandangan mata. “Informasi yang diberikan terkadang juga mengandung penilaian sejarawan atau pencatat dalam melihat perbedaan budaya,” ujar Nurni.
- Seks Serdadu Belanda
ITJAH masih berusia 11 tahun ketika para serdadu berkulit putih itu datang ke Panyindangan, kampungnya di Sumedang. Mereka yang sebagian besar anak muda belasan tahun tersebut lantas mendirikan pos yang menempati sebuah rumah besar milik salah satu pemuka kampung. Kedatangan mereka disertai lima perempuan muda pribumi yang berfungsi sebagai babu (pembantu). “Saya hanya ingat tiga di antaranya yakni Ceu Ipoh, Ceu Isah dan Ceu Marni. Mereka semuanya bertugas sebagai tukang masak, tukang setrika dan tukang cuci baju para serdadu,” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu. Dalam pengamatan Itjah, kelima babu itu sangat disayang. Para serdadu itu tak segan menghadiahi uang dan makanan kepada mereka. Bahkan ada di antaranya selalu terlihat mesra dengan anak-anak muda Belanda itu. “Saya tidak tahu mereka bobogohan (pacaran) atau tidak, yang jelas mereka terlihat sangat akrab dengan tentara-tentara Belanda itu. Kadang saya lihat saling pegangan tangan,” ujar Itjah. Bisa jadi mereka bukan sekadar babu semata. Menurut sejarawan Belanda Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma, pada 1946-1948 banyak perempuan pribumi yang berprofesi sebagai babu di pos-pos militer Belanda juga berlaku sebagai “kekasih” atau bahkan “istri” bagi para serdadu. “Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi,” tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang). Kisah Princen Sebagai eks serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia, J.C. Princen tak menafikan kebutuhan biologis di kalangan prajurit-prajurit muda selama bertugas di negeri tropis itu begitu tinggi. Ada kalanya ketika sedang tidak bertugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka. “Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur,” ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1920 itu. Princen masih ingat, ketika bertugas di Bogor, dirinya pernah memacari seorang perempuan setempat. Namanya Asmuna, yang tinggalnya persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh penuh dengan lubang peluru dan bersimbah darah,” kenang serdadu Belanda yang kemudian membelot ke TNI tersebut. Kala mengetahui Asmuna adalah pacar Princen, sang serdadu langsung diperiksa MP (Polisi Militer). Dia dipaksa menunjukan tempat tinggal sang gadis untuk memastikan bahwa pacarnya itu tidak memiliki penyakit kelamin atau berkaitan dengan TNI. Namun Princen menolak. Dengan dalih lupa jalan menuju rumah gadis tersebut, dia hanya mengajak dua prajurit MP dan seorang petugas kesehatan tentara yang mengawalnya berkeliling wilayah gang-gang sekitar Kebun Raya Bogor saja. Akhirnya sang sopir menyerah dan memutuskan kembali ke markas yang terletak di depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). “Hai, lebih baik kamu memeriksakan dirimu ke dokter. Kamu kan tidak tahu perempuan itu berpenyakit sifilis atau tidak,” ujar salah seorang anggota MP tersebut. Princen mengungkapkan hampir sebagian kawannya memiliki hubungan istimewa dengan para perempuan pribumi. Biasanya berhubungan intim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam relasi tersebut. “Peraturan memang melarang itu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya berkompromi dengan berlaku secepatnya mengoleskan salep hitam ke alat vital kami begitu selesai bercinta. Salep itu memang bau tapi sangat berguna,” ujar Princen. Pacar Pribumi Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi. “Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme,” ungkapnya. Seperti kasus di Sumedang, penelusuran Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para babu yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil, seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu. “Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini,” ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie. Kendati terdapat propaganda untuk tidak melakukan praktek seks dengan perempuan pribumi, namun pimpinan militer Belanda menyadari bahwa hal tersebut tidak realistis. Sebuah brosur KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memuat pesan bahwa melakukan kunjungan ke tempat pelacuran memang tidak diperbolehkan. Namun dalam kenyataannya tidak ada pengawasan terhadap larangan tersebut, sehingga kepada para serdadu ditegaskan agar mereka paling tidak “membersihkan diri dengan seksama secara profikasis.” Situasi perang yang serba susah di tanah Hindia juga berpengaruh terhadap “mudahnya” para serdadu mencari pasangan untuk bercinta. Dengan latar belakang kemiskinan kaum pribumi, praktek pelacuran pun tumbuh subuh bak cendawan di musim hujan. “Di sini (Indonesia) banyak laki-laki yang sudah kehilangan akal (terutama dalam hal seks). Di sini kami mendapatkan begitu banyak tawaran untuk bermain seks, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar, tanpa perlu mencari-cari sendiri,” demikian pengakuan seoran veteran bernama Jan Fokkens. Begitu banyaknya para serdadu yang terjebak dalam kehidupan seks yang tidak sehat, menjadikan seorang perawat kesehatan militer Belanda bernama Klaas Soetten menyimpulkan bahwa kondisi tersebut sebagai situasi yang memang diinginkan dan diusahakan oleh tentara musuh. “Saya sangat yakin bahwa sebagian pemuda-pemuda kami di Hindia Belanda telah diracuni dengan penyakit kelamin,” kata Klaas. Dugaan itu memang bukan tanpa dasar. Seorang petinggi militer Indonesia bernama Jenderal Mayor Moestopo pada 1946-1947 memang pernah secara sengaja membuat suatu grup eksklusif bernama BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Sesuai namanya, mereka terdiri dari para pelacur yang kemudian diturunkan di Yogyakarta dan sektor Bandung Utara. Namun alih-alih menjadikan para serdadu Belanda menurun secara moril, yang ada para pelacur itu malah menebarkan penyakit kelamin di kalangan para gerilyawan TNI sendiri.
- Menjadi Manusia Bebas
KETIKA menjadi guru di sebuah sekolah liar alias sekolah partikelir yang tidak diakui pemerintah kolonial, Suwarsih mendapat ide untuk menulis novel sebagai medium perjuangannya. Novel itu diberi judul Buiten Het Gareel (Di Luar Jalur) yang diterjemahkan menjadi Manusia Bebas . Lewat novel itu Suwarsih ingin mengajak para pemuda untuk tabah dalam memperjuangkan kemerdekaan yang dipenuhi banyak kesulitan. Buiten Het Gareel dengan latar waktu dekade akhir menjelang kemerdekaan menjadi satu penanda karya buatan perempuan di masanya. “Karya Suwarsih membahas masalah yang lebih luas dari poligami dan perkawinan paksa namun tak mengabaikan masalah yang jamak ditemui di eranya,” tulis Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia. Gadis Nasionalis Suwarsih lahir di Cibatok, Jawa Barat 1912. Bersama kakak perempuannya, Nining, Suwarsih mengenyam pendidikan di Sekolah Van Devanter, Bogor. Suwarsih berangkat dari keluarga sederhana, ayahnya merupakan pedagang yang menikah dengan perempuan Tionghoa. Kedua orangtua Suwarsih berpemikiran maju, mereka membebaskan anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebagai pejuang nasionalis, Suwarsih memilih mengajar di sekolah liar alih-alih di sekolah kolonial dengan penghasilan besar. Kegemarannya menulis dijadikan wahana perjuangan. Dia menulis untuk Majalah Kritiek en Opbouw. Sebuah tulisannya yang berisi desakan kepada pemerintah untuk membebaskan para pejuang nasionalis yang dibuang ke luar Jawa sempat membuat KritiekenOpbouw terancam dibredel. Perjuangan Suwarsih semakin meningkat setelah menikah dengan lelaki pilihannya, Sugondo Djojopuspito, sekretaris Kongres Pemuda 1928. Keduanya saling membantu dalam perjuangan kemerdekaan. Perjalanan Manusia Bebas Naskah Buiten Het Gareel semula ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Balai Pustaka (BP) yang masih bernaung di bawah pemerintah kolonial. Namun, naskah tersebut ditolak lantaran berbau politik sehingga dianggap kurang berguna dan kurang berisi pengajaran. “Tepat juga penilaian dewan redaksi … Seluruh isi buku bernafaskan semangat perjuangan politik,” tulis Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra yang ditulis ulang oleh Dick Hartoko. Suwarsih tak patah semangat. Dalam pertemuan dengan sahabatnya, Eddy Du Peron, redaktur di Kritiek en Opbouw, Suwarsih mengungkapkan mengenai naskahnya yang ditolak BP. Du Peron lalu menyarankan agar Suwarsih menulis ulang novelnya dalam bahasa Belanda. Suwarsih menurutinya. “Bahasa Belanda menjadi bahasa yang paling baik saya kuasai dan pahami waktu itu, dan juga bahasa yang dimengerti oleh orang-orang terpelajar di seluruh Indonesia,” kata Suwarsih seperti ditulisnya dalam pengantar Manusia Bebas . Tiap satu bab selesai, Suwarsih mengirimnya ke Du Peron. Beberapa catatan untuk pengembangan naskah biasanya diberikan Du Peron sebagai jawaban. Keduanya juga sering berjumpa untuk berdiskusi di tengah penggarapan beberapa bab naskah novel. Setelah melalui proses panjang, Buiten Het Gareel akhirnya diterbitkan tahun 1940 dan cetak ulang tahun 1946. Karya Suwarsih dianggap penting di masanya. Cora Vreede de Stuers menyebut karya Suwarsih merupakan bentuk pelawanan pasif pada pemerintah Hindia Belanda yang kala itu sedang melakukan penghematan besar-besaran akibat dilanda krisis dan gencar menangkapi semua orang yang dianggap nonkooperatif. Alhasil, perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat cara-cara halus seperti menulis roman atau mendirikan sekolah liar sebagai wujud kepedulian pada rakyat bawah yang tak sanggup menjangkau pendidikan. Rekan Suwarsih sastrawan HB Jasin menyarankan agar novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jasin menuliskan sarannya dalam Majalah Sastra edisi Januari 1969. Namun, Suwarsih ragu kalau penerbit mau membiayai pengerjaannya sementara keuntungan yang didapat kemungkinan sangat kecil. Rekannya yang lain, sejarawan Sartono Kartodirdjo, juga meminta izin untuk menerjemahkan Buiten Het Gareel ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahnya ialah rekan Sartono, Harry J. Benda. Sayangnya, Benda keburu meninggal tahun 1971 sebelum sempat menerjemahkan Buiten Het Gareel . Pada awal Maret 1975, Suwarsih mendapat kabar dari sejarawan Belanda G. Termorshuizen yang mengatakan bahwa novelnya akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Surat dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyusul tiba bulan berikutnya, menanyakan persetujuan Suwarsih bila karyanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. “Dan apakah saya suka mengerjakan terjemahan itu? Tentu saja saya setuju dan mau,” jawab Suwarsih . Karya Suwarsih dalam bahasa Indonesia kemudian terbit tahun 1975 lewat penerbit Djambatan.
- Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
DALAM perjalanannya menuju India, I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, mampir tiga kali ke wilayah yang dia sebut Lautan Selatan. Dalam catatannya, dia memberikan imbauan bagi para biksu yang ingin belajar Buddha Dharma. “Lautan Selatan itu mencakup Sumatra, Jawa, Bali,” kata Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal dari Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Waktu itu, di Tiongkok sudah banyak interpretasi atas ajaran-ajaran Buddha. Yi Jing pun ingin mempelajari Buddha Dharma di negeri asalnya: India. “Dia sudah berguru sejak muda, ketika remaja berangan-angan mengunjungi India yang waktu itu pusat pembelajaran Buddha Dharma,” kata Shinta. Pada 671 M, Yi Jing berangkat dari Guangzhou. Setelah berlayar selama 20 hari, dia mendarat di Fo-shi (Sriwijaya). Dia tinggal selama enam bulan untuk belajar Sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Shinta menjabarkan menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata Shinta. Khusus pelajaran tata bahasa Sanskerta, menurut Yi Jing, jika dipelajari sejak kecil bisa mengatasi segala kesulitan mempelajari kitab-kitab Buddha Dharma. Ketika itu di Sriwijaya, dia menyontohkan untaian kisah Jataka selain dipelajari, juga dilantunkan, dan dipentaskan. “Ini menunjukkan adanya penguasaan bahasa Sanskerta sebagai bahasa lokal. Jadi kisah Jataka bisa diwujudkan dalam bentuk lain (pementasan, red. ),” kata Shinta. Dari Sriwijaya, Yi Jing diantar olah raja ke Moluoyou (Melayu). Dia tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia berangkat ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah, pada 671 M, dia mengunjungi berbagai daerah hingga tinggal di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673 M. Dari sana dia mencapai Nalanda. Dia menetap dan belajar di Nalanda selama sepuluh tahun (675-685 M). “Setelah mempelajari teks di sana, lalu kembali untuk kedua kalinya ke Melayu yang kemudian menurut beliau sudah jadi bagian dari Shili Foshi,” lanjut Shinta. Padahal, pada awal kedatangan Yi Jing, di catatannya dia masih menyebut nama Malayu dan belum bernama Sriwijaya. Dalam hal ini, Shinta menyebutkan pernyataan Yi Jing dalam catatannya itu cocok bila dikaitkan dengan catatan sejarah. Prasasti Kedukan Bukit mencatat tanggal sebelum akhirnya Dapunta Hyang mendirikan Kota Sriwijaya pada 16 Juni 682 M. “Jika dikaitkan dengan catatan sejarah, Prasasti Kedukan Bukit, Sri Dapunta Hyang mengadakan jaya sidayatra pawai kemenangan atas ditaklukkannya Melayu atas Sriwijaya. Ini cocok,” kata Shinta. Kedatangan Yi Jing yang kedua membuatnya menetap selama empat tahun. Pada 689 M, dia naik kapal dan bermaksud menitipkan surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannya menyalin sutra. Namun, dia terbawa kapal itu dan tanpa sengaja kembali ke Tiongkok selama tiga bulan. Padahal, 500 ribu sloka Tripitaka yang dia bawa dari India masih tertinggal di Sriwijaya. Dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama lima tahun (akhir 689-695 M). Di sana, dia bertemu biksu bernama Da Jin. Kepadanya, Yi Jing menitipkan sutra dan sastra (ulasan) sebanyak 10 jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (empat jilid), Riwayat Para Mahabiksu yang mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (dua jilid). Pada 695 M, Yi Jing pulang dan disambut meriah oleh Wu Zetian, kaisar perempuan. Dia membawa 400 teks Buddhis, 500 ribu sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Itu hasil berkelana selama 25 tahun dan mengunjungi 30 negeri. “Kalau Yi Jing bilang praktik Buddha Dharma di Sriwijaya sama seperti di India, maka Nalanda juga menjadi model bagi Swarnadwipa. Maka bangunannya memang mirip. Hanya iklimnya yang berbeda,” kata Agus Widiatmoko, arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Budaya.
- Bangkit dari Kubur
INI bukan tajuk film horor. Ini lembaran perjuangan sebuah klub sepakbola asal Italia yang pernah jaya sampai pentas Eropa lantas terjun ke jurang kebangkrutan dan kini dengan kucuran air mata, darah, dan peluh berusaha bangkit dari kuburnya, yakni Parma Calcio 1913. Kebangkitan Parma jelas membahagiakan Rengga Aven Januadi, wakil ketua Parmagiani Indonesia, komunitas fans Parma di Indonesia, dan para fans Parma lain. Dengan kembalinya Parma ke papan atas Serie A, ada asa besar dari para anggota Parmagiani Indonesia melihat klub yang mereka cintai bisa kembali mentas di Eropa. “Harapan dan target awal kalau bisa bertahan dan lolos dari degradasi. Tapi kalau permainan bisa terus konsisten seperti ini, tidak mustahil Parma bisa kembali berjaya untuk dua atau tiga tahun ke depan. Kalau boleh saya prediksi untuk musim ini akan tetap di 10 besar,” ujar Rengga kepada Historia. Jatuh-Bangun Parma Bagi penggila bola zaman now, nama Parma mungkin terdengar asing. Maklum, klub yang berbasis di Kota Parma itu lama absen dari Serie A. Padahal, Parma merupakan klub yang melahirkan banyak bintang legendaris Italia macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, atau Gianfranco Zola. Dalam ulasannya bertajuk “The Rise, Fall and Rise Again of Parma” yang dimuat Football-Italia , 3 November 2018, Anthony Barbagallo menyebut Parma sebagai tim tersukses Italia keempat di Eropa setelah AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Sebagai sebuah klub, Parma berembrio dari Verdi Football Club yang lahir pada Juli 1913. Situs resmi klub menyebutkan, Verdi FC didirikan untuk memperingati satu abad kelahiran komposer kenamaan asal Parma, Giuseppe Verdi. Pada 16 Desember 1913, klub berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi Parma Football Club. Nama lengkap klub berubah-ubah seiring pergantian pemilik, mulai dari Parma AS (Associazione Sportiva), AC (Associazione Calcio) Parmense, Parma AC (Associazione Calcio), Parma FC S.p.A., dan terakhir Parma Calcio 1913 S.r.l sampai sekarang. Sejak pertamakali promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma sulit menyandingkan diri dengan sejumlah klub besar macam Inter Milan, AC Milan, Juventus, atawa AS Roma di panggung domestik. Paling banter tiga kali menang Coppa Italia (1991-1992, 1998-1999, 2001-2002), satu Supercoppa Italiana (1999), dan sekali jadi runner-up Serie A (1996-1997). Parma memetik gelar UEFA Cup (kini Europa League) musim 1998-1999 (Foto: parmacalcio1913.com) Tapi, Parma punya gigi di pentas Eropa. Klub asal region Emilia-Romagna itu punya capaian juara Piala Winners (1992-1993), dua Piala UEFA (kini Europa League) 1998-1999, dan satu Piala Super Eropa (1993). Masa-masa indah itu harus berakhir pada 2004. Parma bangkrut setelah Parmalat SpA –perusahaan produsen susu, jus, dan saus pasta pimpinan Calisto Tanzi– selaku pemilik 98 persen sahamnya terbelit skandal finansial –dikenal sebagai Skandal Parmalat– sejak bangkrut pada Desember 2003. Kendati begitu, Parma masih mampu tampil apik dan finis di urutan kelima Serie A musim 2003-2004. Bangkrut sejak April 2004, Parma berjalan tertatih-tatih. “Klub kembali dibangun tanpa pemilik selama hampir tiga tahun untuk mempertahankan posisi mereka di Serie A sampai musim semi 2008,” ujar Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests . Baru pada 2007 Parma diambilalih pengusaha Tommaso Ghirardi namun kehilangan tempatnya di Serie A setelah degradasi pada akhir musim 2014-2015. Selain degradasi, Parma bangkrut lagi dengan utang 218 juta euro, termasuk utang gaji pemain dan staf sebesar 63 juta euro. “Kebangkrutan Parma murni karena dari pihak klub kurang pintar mengelola, terutama pada kebangkrutan kedua karena klub terlalu banyak meminjamkan pemain ke klub lain sehingga tidak dapat membayar pajak dari pemain itu sendiri. Akhirnya berakibat kebangkrutan. Parma sampai harus turun ke Serie D,” ujar Rengga. Parma harus memulai lagi dari kasta terendah, Serie D, di musim 2015-2016 berdasarkan Statuta FIGC (induk sepakbola Italia) Pasal 52 NOIF (Norme Organizzative Interne della FIGC). Perjuangan makin berat lantaran mayoritas pemainnya pilih hengkang. Namun, kapten Alessandro Lucarelli, satu-satunya pemain lama yang tersisa, berhasil “membimbing” rekan-rekannya untuk terus menjalankan roda perjuangan Parma. Dia berhasil. Dari Serie D, Parma promosi ke Serie C pada musim 2016-2017. Setahun berikutnya Parma kembali promosi ke Serie B. Pada musim 2018-2019, tim berjuluk Ducali itu comeback ke Serie A. Di giornata (pekan pertandingan) ke-13, Minggu (25/11/2018), berbekal kemenangan 2-1 atas Sassuolo di kandang sendiri, Stadio Ennio Tardini, Parma nangkring di urutan keenam alias jatah terakhir zona Eropa (Europa League). Emosi Alessandro Lucarelli, kapten Parma nan setia kala mengantarkan Parma ke Serie A (Foto: parmacalcio1913.com) Atas loyalitas dan jasa besar Lucarelli, klub memberi penghormatan padanya dengan memensiunkan nomor punggung 6 –nomor punggung Lucarelli– ketika sang bintang pensiun 27 Mei 2018 lalu. “Lucarelli sosok pemimpin, kapten yang sesungguhnya di dunia nyata. Belum ada yang seloyal dia. Bermain tanpa digaji dan bersedia main di divisi terbawah hanya untuk membawa Parma kembali ke habitat aslinya, Serie A,” sambung Rengga. Kesetiaan Parmagiani Dinamika Parma dengan prestasinya yang yahud, terutama di kancah Eropa, menarik banyak orang untuk menggemarinya. Tak hanya di Benua Biru, tapi juga sampai ke Indonesia. Pada 12 Juli 2009, beberapa fans Parma membentuk Parmagiani Indonesia, yang kini punya lebih dari 400 anggota resmi. “Para founder : Ivan, Gama, Adit, Kamsis, sepakat membentuk komunitas dan menjaring para anggota lewat media sosial Facebook . Maka muncullah grup Facebook Parmagiani Indonesia. Nama Parmagiani diambil dari kata ‘Parmigiano’, artinya warga Kota Parma. Kita modifikasi jadi Parmagiani,” jelas Rengga. Rengga kemudian bergabung ke dalamnya di tahun yang sama. “Saya sudah suka dengan Parma sejak 1998. Mungkin bisa dibilang pas era kejayaan Parma sebelum pabrik susu Parmalat (pemilik Parma) bangkrut. Di mana Parma diperkuat banyak pemain bintang seperti Buffon, Cannavaro, (Lilian) Thuram, Juan Verón, sampai duet (Enrico) Chiesa-(Hernán) Crespo,” ujar Rengga. Ban kapten Parma yang didesain Parmagiani Indonesia (Foto: Dok. Parmagiani Indonesia) Para fans Parma tentu merasa down kala Parma terlempar ke Serie D dan harus berjuang ekstra untuk kembali ke Serie A. Tapi sebagaimana Lucarelli, mereka tetap setia. “Loyalitas kami tak pernah luntur. Kami tak pernah melewatkan laga-laga Parma via live streaming dari Serie D, lalu naik ke kasta Serie C, lalu naik kasta Serie B dan sampai sekarang penantian kami berbuah hasil karena Parma naik kasta tertinggi Serie A. Magnificent Seven (Milan, Inter, Juventus, Fiorentina, Lazio, AS Roma, Parma) era 90-an is back ,” kata Rengga. Acara-acara nonton bareng (nobar) dan kegiatan futsal laiknya komunitas-komunitas fans lain jadi rutinitas kala berkumpul. Antusiasme dan kecintaan mereka pada Parma ternyata dilirik klub. Pada Oktober 2015, perwakilan Parmagiani diundang ke homebase Parma untuk bertemu Lucarelli. “Pada laga terakhir Serie D saat Parma melawan Sammaurese, desain (ban) kapten yang dipakai Lucarelli adalah buatan kami dari Parmagiani Indonesia,” terang Rengga.
- Raja Intel Jadi Panglima ABRI
NAMA Jenderal Andika Perkasa jadi pemberitaan sepekan belakangan. Perwira tinggi bertubuh atletis ini telah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dia menjabat posisi orang nomor satu di jajaran TNI AD terhitung sejak 22 November 2018. Perbincangan menguar di sekitar pelantikan Andika. Sebagai lulusan Akmil angkatan 1987, Andika terbilang cepat menggapai puncak karier militernya. Pengalamannya dalam operasi militer ataupun memegang pasukan kemudian dipertanyakan. Rekam jejak Andika juga disangkut-pautkan dengan ayah mertuanya, Jenderal (purn) Hendropriyono, mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Sebagian kalangan menilai, moncernya karier Andika tak lepas dari relasi perkoncoan di Istana. Pengangkatan Andika agak mirip dengan kisah Benny Moerdani di era Orde Baru. Mereka sama-sama diragukan karena dianggap minim jam terbang memimpin pasukan. Khusus untuk Benny Moerdani, tak tanggung-tanggung. Presiden Soeharto menunjuknya sebagai panglima ABRI. Rekam Jejak Benny Bernama lengkap Leonardus Benyamin Moerdani. Sosok Benny langsung jadi sorotan saat pelantikannya sebagai panglima ABRI pada Maret 1983. Namanya melejit seketika. Sebelumnya, Benny menjabat sebagai Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan merangkap Asisten Intelijen Kopkamtib sekaligus wakil kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Sebagai perwira intel yang selalu berada di balik layar, tak banyak yang menyadari siapa dan bagaimana sosok Benny Moerdani. Soal penujukan Benny, pengamat militer Salim Said punya jawaban. “Di masa Orde Baru, aturan yang berlaku dibuat dan dipraktikkan sendiri oleh Pak Harto. Mana yang baik saja menurut Beliau,” kata Salim Said kepada Historia . Keputusan Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI memang memantik perdebatan. Sebagian orang menilik kendala dalam perjalanan karier kemiliteran Benny yang belum lengkap. Seperti umum diketahui, Benny minus sejumlah pengalaman keperwiraan. Benny belum punya pengalaman memimpin teritorial semisal panglima Kodam. Dia juga tanpa pengalaman sebagai pendidik dan tak pernah mengikuti Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Nyaris seluruh pengalamannya berlangsung di pasukan khusus dan intelijen. Bahkan di bidang telik sandi Benny bisa dikatakatakan lebih ahli hingga dia dikenal sebagai Si Raja Intel. Sebagai komandan, jabatan tertinggi yang pernah dipegang Benny hanya komandan batalion sewaktu memimpin “Operasi Naga” di Papua. Operasi militer skala besar yang pernah ditangani Benny barangkali misi invasi ke Timor-Timur pada 1975. Dengan demikian, muncul sentimen seakan-akan Benny langsung meloncat dari jabatan intel ke posisi Panglima ABRI. Salah satu yang bersuara kritis adalah mantan Panglima Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro. Soemitro sebenarnya kurang sepakat dengan keputusan Soeharto yang mengangkat Benny menjadi Pangab menggantikan Jenderal M. Jusuf. Adalah lebih baik, menurut Soemitro, bila Benny terlebih dahulu diberi pengalaman memegang teritorial. “Saya sarankan agar Benny dijadikan dulu Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan), jangan langsung jadi Pangab (Panglima ABRI),” kata Soemitro sebagaimana dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. “Tidak ada waktu lagi,” konon begitulah jawaban Soeharto kepada Soemitro. Panglima Pilihan Melihat rekam jejaknya, mengapa Benny yang ditunjuk sebagai panglima? Benny sendiri tak tahu-menahu alasan pengangkatan dirinya. Itu semua kembali kepada Presiden Soeharto yang punya hak prerogatif. Surat Keputusan Presiden No. 47 16 Maret 1983 menetapkan bahwa Benny memenuhi syarat untuk menjabat Panglima ABRI. “Namun sebagian pendapat melukiskan, penunjukan Benny mungkin akan bisa menjadi jembatan antara Perwira Angkatan 45 dengan generasi lulusan AMN,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Tragedi Seorang Loyalis . Menurut Julius Pour, Benny yang sedari muda ikut memanggul senjata dalam perang kemerdekaan semasa tentara pelajar merupakan faktor yang cukup diperhitungkan. Dengan pengalaman itu, Benny menjadi figur representasi Angkatan 45 yang tersisa. Namun, Benny juga dianggap tak terpaut jauh dari perwira alumni AMN Magelang. Mereka yang tak memperoleh peluang berjuang dalam palagan era revolusi. Sebagai perwira generasi perantara, Benny menjadi pilihan terbaik yang dapat menjembatani kesinambungan dua generasi tersebut. Sementara itu, menurut Salim Said menyitir penjelasan Robert Lowry, atase militer Australia di Jakarta saat itu, pilihan Soeharto terhadap Benny punya pertimbangan pragmatis: memperkecil potensi oposan. Salah satu tugas Benny selaku Panglima ABRI adalah menghapuskan Kowilhan. Lembaga ini selama belasan tahun telah memberi tempat kepada sejumlah jenderal, laksamana, dan marsekal. Kenyatannya, setelah Benny menjabat panglima, lembaga tersebut memang dilikuidasi. Apa lacur, selama menjadi Panglima ABRI, peran Benny cukup besar menyokong kedudukan Soeharto di puncak kekuasaan. Kepentingan negara terjaga. Stabilitas politik jauh dari gaduh. Keamanan masyarakat terjamin. Termasuk membungkam mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah. “Buat Pak Harto, Benny Moerdani sebagai Pangab waktu itu paling aman,” ujar sesepuh TNI AD yang juga mantan Wakil KASAD (1973-74) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . “Ya aman bagi Pak Harto terhadap pihak-pihak yang berusaha melawannya.”






















