Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Utami Mendobrak Kungkungan Adat Jawa
KETIKA ikut mewakili Indonesia dalam All Indian Women’s Congress di Madras, India pada Desember 1947, Utami Suryadarma berkesempatan menemui pejuang Mahatma Gandhi. Kesempatan itu dimanfaatkan Utami untuk berdialog. “Apakah perjuangan Indonesia akan berhasil?” tanya Utami mengingat kondisi Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda. “Apabila Anda percaya itu akan berhasil, maka akan berhasil,” jawab Gandhi. Momen bersejarah itu disaksikan dan dicatat oleh Herawati Diah dalam Kembara Tiada Berakhir. Keberangkatan Utami ke India menjadi peristiwa penting dalam perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan perempuan Indonesia. Utami memang tak populer dalam sejarah Indonesia. Penyebab terpentingnya apalagi kalau bukan monopoli sejarah oleh rezim Orde Baru. Padahal, Utami aktif dalam perjuangan kemerdekaan sejak remaja. Bersama kakak perempuan sekaligus rekan persekongkolannya, Utari, dia pernah mendirikan Majalah Pahesan (berarti cermin) dengan modal dari patungan uang saku mereka plus bantuan beberapa donatur tetap. Selain Utami dan Utari, pengurus pertama Pahesan adalah Suleki (di kemudian hari menikah dengan Prof. Selo Soemardjan), Erna Djajadiningrat, Marasah, Nun, dan Sjamsidar. Meski tulisan-tulisan Pahesan menggunakan bahasa Belanda, Utami menyebut watak tulisan Pahesan tetap nasionalis. Pahesan seringkali mengangkat nasib kaum perempuan di masanya, seperti kepincangan hak perempuan dalam perkawinan, dan ketidakadilan yang diterima rakyat pribumi. Kritik Utami dan kawan-kawan dalam Majalah Pahesan menjadi perhatian Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik pemerintah Hindia Belanda. Ayah Utami, Raden Ramelan, pernah mendapat teguran dari kepala Kepolisian Surakarta. Raden Ramelan yang kala itu bekerja sebagai pegawai negeri, diperingatkan kalau kedua putrinya akan dipaggil untuk mempertanggungjawabkan tulisan-tulisan mereka di Pahesan . “Tapi ancaman itu tidak pernah dilaksanakan,” kata Utami dalam memoarnya , Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Raden Ramelan menentang keras kedua putrinya, Utami dan Utari, ikut dalam pergerakan nasional atau kegiatan berbau politik meski dia sendiri anggota Budi Utomo. Dia amat khawatir terhadap keamanan kedua putrinya. Utami dan ayahnya sering berdebat sengit soal pandangan politik sampai sang ibu harus turun tangan untuk mendamaikan. Meski berdebat keras, Utami tetap menurut dan luluh oleh pernyataan ayahnya, “Kalau saya tidak bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, bagaimana saya dapat menyekolahkan kamu semua?” Setelah itu, Utami dan Utari harus membujuk sang ayah setengah mati untuk bisa keluar melihat pertunjukan atau kegiatan kepanduan. Utami menyebutnya setengah dipingit. Gagal Jadi Filsuf karena Ayah Setelah lulus dari AMS Yogyakarta, Utami berkeinginan meneruskan pendidikan ke Rechts Hoge School atau ke Fakulteit van Oosters Letter en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra Timur dan Filsafat) di Leiden, Belanda. Tapi, kata Utami, “Semua kandas karena larangan orangtua.” Sebagai keluarga ningrat Surakarta, Raden Ramelan membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan budaya amat feodal. Ramelan tak ingin anak-anak perempuannya menempuh pendidikan tinggi karena baginya perempuan yang meraih pendidikan tinggi akan menjadi perawan tua. Pandangan itulah yang dilawan Utami. “Saya bersedia menjadi perawan tua karena sebagai seseorang yang menganggap diri feminis, saya ingin meraih sesuatu dengan kemampuan sendiri,” kata Utami. Utami mengidamkan hidup mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri, bekerja dan mencari nafkah sendiri. Namun sayang, dia hidup di lingkungan yang masih memegang teguh adat. Ditambah kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya, cita-cita Utami untuk menjadi sastrawan dan filsuf akhirnya gugur. Beruntung, Utami kemudian bertemu dengan Soeriadi Suryadarma (KSAU dan KSAP pertama). Pertemuan itu menjadi sebuah keberuntungan bagi Utami, pasalnya dia mendapatkan rekan persekongkolan baru. Soeriadi sepemikiran dengan Utami. “Baginya perempuan sederajat dengan laki-laki,” kata Utami menerangkan pandangan Soeriadi. Soeriadi mendukung penuh seluruh keaktifan Utami baik dalam gerakan perempuan maupun hobi membacanya. Di masa perempuan dalam kondisi terkungkung baik secara budaya maupun sistem sosial itu, seorang gadis tak bisa bergerak sendiri tanpa dukungan pihak lelaki, entah ayah ataupun suaminya. Dukungan Soeriadi tak hanya memuluskan jalan Utami meraih cita-cita tapi sekaligus menjadikan mereka pasangan senasib-seperjuangan. “Saya menolak mencuci kaki calon suamiku dan membuat sembah kepadanya. Untungnya, Soeriadi tidak berbeda pandangan dengan saya, karena jiwanya sama tidak konvensionilnya,” kenang Utami tentang hari pernikahannya. Keaktifan Utami dalam gerakan perempuan dan nasionalis makin menjadi setelah menikah. Lantaran suaminya tentara Hindia Belanda, Utami harus sembunyi-sembunyi jika ingin hadir dalam pertemuan gerakan, salah satunya Kongres Perkumpulan pemuda Putri Indonesia (PPPI), organisasi perempuan dari Jong Java. Semasa pendudukan Jepang, Utami menjadi relawan di Rumah Sakit Subang, membantu dokter Soehardi Hardjoloekito. Ketika tinggal di Batavia, Utami mengikuti satu studie club. Di sanalah dia mulai kenal dengan banyak pejuang perempuan lain seperti Maria Ullfah, Siti Soendari, dan Herawati Diah. Utami kemudian ikut aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia. Sebagaimana diungkap Sejarah Setengah abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, pada 1946 Utami duduk sebagai anggota Penerangan Kowani. Sebuah rapat Kowani menyepakati, Utami yang menjabat sebagai ketua Bidang Penerangan Luar Negeri Kowani ditugaskan berangkat ke All Indian Women’s Congress di Madras mewakili para perempuan Indonesia. Utami berangkat bersama anggota Kowani lain seperti Siti Sukaptinah Mangunpuspito, Sulianti, dan Jo Kurnianingrat Sastroamidjojo dengan menunmpang pesawat Kalinga Air milik pengusaha India Biju Patnaik. “Utami orang yang gigih mengupayakan berangkatnya duta-duta perempuan ke Madras,” kenang Herawati . Di India, mereka bertemu Herawati Diah yang datang untuk meliput dan menjadi saksi upaya para perempuan menyebarkan kabar kemerdekaan.
- Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang
TODD Rivaldo Ferre dkk. tertunduk lesu. Asa Timnas Indonesia U-19 untuk melangkah lebih jauh di turnamen AFC Cup U-19 2018 tertutup sudah. Langit seolah ikut menangis lewat derasnya guyuran hujan. Sekira 70 ribu suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno jadi saksi kekalahan 0-2 Timnas Indonesia U-19 dari Jepang U-19 di babak perempatfinal, Minggu malam, 28 Oktober 2018. Tim besutan Indra Sjafri gagal menyempurnakan peringatan Sumpah Pemuda ke-90. Ekspektasi publik kembali mentok. Padahal sebelumnya menyeruak harapan besar untuk minimal sampai ke semifinal. Pasalnya, empat semifinalis akan otomatis ikut Piala Dunia U-20 di Polandia 23 Mei-15 Juni 2019 mendatang. Toh, Coach Indra Sjafri tak menyesal dengan hasil itu. Dalam konferensi persnya usai laga, dia justru bangga. “Saya yakin level sepakbola Indonesai dengan Jepang dan negara-negara lain sudah kompetitif,” katanya. Pandangan berbeda justru datang dari pengamat sepakbola dan pembinaan usia dini Timo Scheunemann. “Soal itu saya enggak setuju walau maksudnya coach Indra itu baik, dia mengangkat harapan. Karena memang coach Indra kan kelebihannya di motivasi dalam hal mental dan ingin menunjukkan kalau kita enggak kalah,” ujar Timo saat dihubungi Historia . Menurut mantan pelatih, eks-Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI, dan penulis buku Dasar-Dasar Sepakbola Modern , 14 Ciri Sepakbola Modern dan Kurikulum Dasar Sepakbola untuk Pembinaan Usia Dini itu secara objektif kemampuan, pengetahuan taktik, keputusan dalam bermain (Indonesia, red .) masih kentara tertinggal jauh dari Jepang. “Di level junior, pencapaian ini sebenarnya sudah luar biasa. Tapi memang lebih karena faktor coach Indra yang bisa mengangkat nasionalisme, kepercayaan diri, hingga pemain yang mentalnya selama ini sudah kalah sebelum berperang itu dibenahi. Jadi mereka modal semangat, modal tak kalah sebelum bertanding,” lanjut Coach Timo. Berguru pada Murid Tampil di pentas terbesar sejagat kategori usia di bawah 20 tahun sejatinya pernah dicicipi timnas Indonesia di Piala Dunia Junior di Jepang tahun 1979. Kendati pulang dari Jepang dengan hasil remuk redam, setidaknya nama Indonesia pernah tercantum sebagai salah satu tim junior terbaik dunia. Kekalahan itu plus kekalahan dari Jepang pekan lalu sudah semestinya jadi bahan pembelajaran. Kalau perlu, Indonesia balik berguru pada Jepang selaku salah satu raksasa Asia saat ini. Balik berguru? Ya, pada 1991 Jepang pernah berguru ke Indonesia saat membenahi liganya yang saat itu masih semi-profesional. “Semi profesional karena pemain klub, misal Matsushita (maksudnya Gamba Osaka, red .), ya pemainnya diambil dari pegawai Matsushita, bukan orang luar yang memang dikontak karena skill -nya,” ujar Ricky Yacob, pemain legendaris yang jadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak klub Jepang, kepada Historia lima tahun silam. Jepang mempelajari betul Galatama (Liga Sepakbola Utama), kompetisi profesional Indonesia yang lahir pada 1979. “Itu awalnya melihat dan mendapatkan konsep (liga) bahwa yang paling bagus model Galatama. Jadi tim-timnya bukan terkait dengan instansi pemerintah tapi dengan perusahaan besar. Tapi justru setelah itu di Indonesia malah terkait dengan pemerintahannya seperti itu. Karena banyak skandal suap juga di Galatama. Namun bukannya dicari solusinya, malah akarnya dicabut (Galatama bubar),” sambung Timo. Jepang pada akhirnya bukan sekadar mampu membuat liga profesional namun mengembangkannya lebih jauh sehingga laku dijual. Soal pendidikan pelatih dan pembentukan sejumlah akademi di bawah klub-klub profesionalnya juga menjadi inti pembenahan oleh JFA (Federasi Sepakbola Jepang) itu. Hasilnya, pada 1993 Jepang sudah punya kompetisi pro, J-League. Sejumlah pemain Jepang kemudian dilirik klub top Eropa. Kazuyoshi Miura mempelopori “eksodus” pesepakbola profesional Jepang ke liga Eropa ketika dia dikontrak klub Serie A Genoa. Namun, bintangnya tak seterang Hidetoshi Nakata yang mengikuti jejaknya beberapa tahun kemudian dengan klub Perugia. Kazuyoshi Miura, pelopor pemain Jepang di Eropa. (themillenial.it). Di perantauan, mental para pemain Jepang ditempa dan itu terbawa saat mereka pulang untuk membela Timnas Jepang. Hasilnya, sejak 1995 Jepang tak pernah absen masuk Piala Dunia Yunior dan sejak 1998 juga senantiasa lolos ke Piala Dunia. Kemauan Jepang belajar dan melewati fase-fase pembelajaran itu mestinya ditiru Indonesia. Sayang, hal itu justru hilang dari persepakbolaan Indonesia tiga dekade belakangan. “Kalau memang dikatakan (Indonesia) tidak tertinggal, tentu akan terlihat di timnas senior. Tapi nyatanya kita masih tertinggal jauh. Enggak bisa mengejar kalau pendidikan pelatih tidak digencarkan, kemudian akademi-akademi yang ada sudah diperbaiki dan diseriusi lagi, tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan,” tambah Timo. Senada dengan Timo, Ricky mengatakan salah satu prasyarat yang harus dilalui untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia adalah kompetisi tingkat junior. “Yang di bawah ini mesti dibenahi dulu, disediakan wadah kompetisi. Di situ kita bisa lihat mana anak yang benar-benar bagus sehingga kita punya database . Jadi enggak terjadi lagi PSSI mau cari pemain usia sekian, 800 orang mesti diseleksi selama tiga hari. Bagaimana menyeleksinya?” ujar Ricky. Beruntung, belakangan PSSI memulai lagi fase-fase itu secara bertahap. Kompetisi usia muda yang berafiliasi dengan klub sudah mulai bergulir, terutama di kategori U-16 dan U-19. “Terakhir saya lihat Tim U-16 Bhayangkara FC melawan PSMS dan itu permulaan yang positif. Tapi yang saya harapkan pembinaan skala ini dijalankan profesional. Jangan melihat investasi akademi sebagai beban, hanya karena menjalankan regulasi, itu yang repot,” ujar Timo. Pembinaan di akademi memang bukan investasi yang “basah”. Namun, itu harus dilalui jika ingin persepakbolaan Indonesia maju. Hasil dari proses panjang itu bisa dilihat dalam prestasi Jepang, China, dan India yang mulai seirus membangun pembinaan pemain usia mudanya. “Mesti dilakukan secara profesional demi Indonesia juga. Karena timnas itu hasil liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Kita enggak bisa selalu bicara tentang duit seperti di Eropa,” tutup Timo.
- Jasa Patnaik untuk Republik
KECELAKAAN pesawat Lion Air JT 610 di Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga para korban. Duka juga melanda sebuah keluarga di India, tempat pilot Bhavye Suneja berasal. “Orang tua Suneja dikabarkan langsung bertolak ke Indonesia untuk mengetahui nasib anaknya tersebut,” tulis cnnindonesia.com 30 Oktober 2018. Kepergian Suneja merupakan sedikit tanda dari besarnya hubungan Indonesia-India yang telah terjalin lama. Di masa Indonesia belum lama lahir dan masih belajar “merangkak”, India dengan tokoh nasionalisnya Jawaharlal Nehru (kemudian perdana menteri) merupakan salah satu pendukung terpenting. Banyak bantuan India tiba di Indonesia. Banyak bantuan itu bisa sampai karena simpati, keberanian, dan kerja keras Biju Patnaik. Bijayananda Patnaik, lebih dikenal dengan Biju Patnaik, merupakan pilot sekaligus pengusaha maskapai penerbangan Kalinga Air. Pria kelahiran Orissa (kini Odisha, India), 5 Maret 1916 itu merupakan pejuang nasionalis India sejak muda. Kesamaan pandangannya dengan Nehru membuatnya menjadi salah satu sahabat yang dipercaya Nehru. Keduanya sama-sama bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu menjadi pertimbangan Nehru memilihnya untuk memikul tanggung jawab dalam membantu perjuangan Indonesia. Pada awal Juni 1947, Patnaik dan istrinya, Gyana Devi, terbang menggunakan pesawat Dakota bernomor registrasi VT-COA milik Kalinga Air ke Lanud Maguwo (kini Adisucipto). Keduanya mengantarkan bantuan obat-obatan untuk Indonesia. Setibanya di Yogyakarta, tanpa keberatan Patnaik mengizinkan pesawatnya dipinjam AURI untuk digunakan melatih para penerbang. Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Iswahyudi merupakan di antara sedikit penerbang yang menjajal pesawat Patnaik itu. Sementara pesawatnya digunakan AURI, Patnaik memanfaatkan kunjungannya ke Indonesia selama dua minggu untuk berkeliling dan berkenalan dengan tokoh-tokoh politik, terutama Presiden Sukarno. Patnaik lalu menjadi karib dengan Sukarno dan KSAU Suryadarma. Dalam perjalanan pulang, pesawatnya ikut ditumpangi dr. Sudarsono yang kemudian menjadi kepala perwakilan Indonesia di India, corong perjuangan Indonesia di dunia internasional. Kunjungan itu berlanjut ketika Patnaik kembali pada awal Juli. Ancaman Belanda yang akan menembak jatuh pesawatnya bila memasuki wilayah Indonesia tak dihiraukannya. Alih-alih takut, Patnaik justru mengancam balik. “Patnaik mengatakan kepada Aneta bahwa jika dia tidak diberi izin pada hari Minggu untuk melanjutkan perjalanannya, dia akan meminta Pemerintah India untuk segera menarik fasilitas KLM untuk mendarat di India,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) . Patnaik akhirnya bisa pulang pada 21 Juli. Dalam perjalanan pulang itu dia membawa serta PM Sutan Sjahrir. “Sutan Sjahrir sendiri pergi ke luar negeri atas permintaan Presiden Sukarno untuk mencari dukungan dari dunia luar terhadap posisi Indonesia yang terus dijepit oleh Belanda,” tulis Nasrudin dan Joehanda. Dalam penerbangan itu menumpang pula beberapa perempuan pejuang dari Kowani yang akan menghadiri All Indians Women’s Congress di Madras, India. Utami Suryadarma, istri KSAU Suryadarma, salah satunya. “Semua ini dimungkinkan berkat bantuan saudara Bidu Patnaik. Memang suatu keajaiban, pesawat terbang Patnaik tidak diintersep oleh pesawat pemburu Belanda,” kenang Utami dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Patnaik kembali ke Indonesia pada akhir Juli 1947. Setelah mengunjungi Presiden Sukarno, dia meneruskan penerbangan ke Bukittinggi dan menemui Wapres Moh. Hatta yang sedang tur Sumatera. “Dengan membawa surat Sukarno yang dibawanya untuk aku, ia segera dibawa oleh beberapa orang polisi militer ke Rumah Tamu Agung. Diceritakannyalah pertemuannya dengan Sukarno dan pesan Sukarno supaya aku diterbangkan ke India abar bertemu dengan Nehru. Kepadaku diberikannya juga pakaian kopilot yang dibuat di Yogya. Dibawakannya pula paspor untukku atas nama Abdullah,” ujar Bung Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi: Menuju Gerbang Kemerdekaan. Hatta menyambut baik bantuan Patnaik. “Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Jawaharlal Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussels, tahun 1927, dalam organisasi Liga Menentang Penjajahan dan untuk Kemerdekaan Nasional.” Hatta memperlakukannya sebagai tamu negara. Malam itu juga Hatta mengajaknya menonton pertunjukan seni di Padang Panjang. Pertunjukan itu antara lain menampilkan tunanetra Arsjad unjuk kebolehan bermain biola. “Patnaik terharu melihat anak buta itu menggesek biola dengan lancar dan baik. Setelah selesai pertunjukan, aku minta pengurus dan anak buta Arsjad datang ke tempatku dan kuperkenalkan mereka kepada Patnaik. Patnaik memuji permainan Arsjad. Pada tempat itu juga dijanjikannya bahwa ia akan meminta Pemerintah Republik Indonesia mengirim anak itu belajar pada suatu akademi musik di Brussels dan semuanya dengan biaya dia,” kenang Hatta. Tiga hari berselang, Patnaik mendaratkan Wapres Hatta di New Delhi. Dia langsung mengantarkan tamu negaranya itu ke kediaman Nehru. Saking dekatnya dengan Nehru, Patnaik sengaja mengerjai Nehru dengan mengatakan bahwa ada tamu dari Indonesia bernama Abdullah. Begitu Nehru menemui tamunya, dia kaget lantaran yang muncul sahabat lamanya, Hatta. Setelah berpelukan dengan Hatta, Nehru langsung memarahi Patnaik dan disambut tawa oleh Patnaik dan Hatta. Meski Hatta tak berhasil mendapatkan bantuan senjata dari Nehru lantaran India belum resmi merdeka, Hatta berhasil mendapatkan jaminan Nehru berupa bantuan obat-obatan dan barang-barang lain yang dikirim lewat Patnaik dan beberapa pilot India lain. Status belum merdeka India itu pula yang membuat –India belum resmi mengakui kemerdekaan Indonesia– AURI mendapatkan masalah ketika pada Mei 1948 mengirim 20 kadetnya ke India untuk menempuh pendidikan penerbang. Beberapa sekolah penerbangan di sana menolak menerima siswa para kadet AURI. Namun kegigihan dr. Sudarsono melobi Nehru dan dibantu upaya Patnaik membuat masalah itu dapat diatasi. “Peranan Patnaik sungguh luar biasa karena ia berani memberi jaminan kepada pemilik sekolah penerbang di India dengan mengatakan bahwa para kadet Indonesia tersebut nantinya akan bekerja untuk Kalinga Air,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Atas kontribusinya yang amat berani itu, Pemerintah Indonesia menganugerahi Patnaik warga negara kehormatan dan Bintang Jasa Utama. “Banyak hal-hal baik kami peroleh dari orang India. Mereka adalah penyelundup-penyelundup ulung. India menderita kelaparan. Sebagai balasan dari berton-ton beras yang kami kirimkan, kawan-kawan di sana menyelundupkan sebuah pesawat terbang untuk kami,” ujar Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Jasa luar biasa besar Patnaik terhadap AURI juga membuat Suryadarma selalu mengingatnya. “Di kemudian hari, Suryadarma selalu mengingatkan kepada seluruh personel AURI akan jasa Biju Patnaik yang luar biasa bagi pembangunan AURI di masa revolusi kemerdekaan,” tulis Adityawarman.
- Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air
DI depan pintu keberangkatan bandara Ottawa, Kanada, Djamin Gintings mengecup istrinya, Likas Tarigan. Jenderal bintang tiga itu menitipkan sepucuk surat kepada Likas untuk disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya adalah permintaan Djamin supaya dipulangkan ke Indonesia. Dia tak tahan menetap terus di Kanada yang dingin. Hari itu, tanggal 10 Oktober 1974, menjadi perjumpaan terakhir Djamin dan Likas. Pada 23 Oktober, ketika Likas masih berada di Jakarta, datang kabar duka dari Kanada: Djamin Gintings meninggal dunia. “Ah, andai aku tahu itulah kecup terakhir suamiku untukku,” kenang Likas Tarigas kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit. Dipakai lalu Diabaikan Lengsernya Presiden Sukarno mengubah konfigurasi dalam jajaran Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Soeharto yang baru naik tampuk kekuasaan mengganti orang-orang yang semula dipilih Yani. Mereka yang jadi korban maupun yang selamat dari peristiwa Gerakan 30 September, semuanya kena copot dari posisi masing-masing. Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, dalam jurnalnya yang terkenal “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno 1965—1967” menyebutkan dari enam perwira staf umum yang diangkat Yani, tiga di antaranya terbunuh: Soeprapto, S. Parman, dan Pandjaitan. Dari tiga orang yang selamat, dua orang disingkirkan Soeharto dalam delapan bulan: Moersjid dan Pranoto. “Anggota terakhir dari stafnya Yani, Djamin Gintings telah digunakan oleh Soeharto selama menegakkan Orde Baru dan kemudian diabaikan oleh Soeharto,” tulis Scott dalam “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967" yang diterbitkan Journal Pasific Affairs . Djamin Gintings bersama istrinya, Likas Tarigan. (Repro Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir ). Posisi Djamin sebagai Asisten II digantikan oleh Soemitro yang semula menjabat panglima Mulawarman di Kalimantan. Djamin sempat menjadi Inspektur Jenderal AD, namun tak lama. Dia kemudian diparkirkan di luar SUAD dan mengisi hari-hari dengan beternak ayam ras. Memasuki 1970, pemerintah menugaskan Djamin untuk memenangkan pemilu. Untuk itu, Djamin memangku jabatan ketua Sektretariat Bersama Golkar Pusat. Jelang pemilu 1971, Djamin sampai turun ke tanah kelahirannya di Tanah Karo untuk kampanye. “Mulai dari Kuta Bangun, Sarinembah, dan mengadakan rapat raksasa di stadion Kabanjahe dengan pengunjung kurang dari 45. 000 orang,” tulis Robert Parangin-angin dalam Djamin Gintings: Maha Putra RI . Hasilnya, Golkar menang mutlak di Sumatera Utara yang mengantarkan Soeharto jadi presiden lewat pemilu perdananya. Djamin Gintings naik pangkat jadi letnan jenderal. Dia juga terpilih menjadi anggota DPR dan duduk dalam Komisi II merangkap ketua Diskusi Luar Negeri. Servis Djamin dirasa telah cukup. Masa pengasingan pun dimulai. Keluar dari Orbit Pada 22 Maret 1972, Presiden Soeharto melantik Djamin Gintings sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk negeri Kanada. Suatu jabatan non militer. Dalam lubuk hatinya, Djamin tak menerima penempatan tugas baru ke negeri yang dekat dengan Kutub Utara itu. “Enggan suamiku menerima jabatan ini, tetapi sebagai abdi negara ia mematuhinya. Kepedihan hatinya dan rasa kecewanya yang menggunung dapat kurasakan,” tutur Likas. Menurut Likas, Djamin mendapat kesan bahwa dirinya disingkirkan. Pekerjaan diplomat bukanlah bidang Djamin yang lama bercimpung sebagai tentara lapangan. Dalam kejenuhannya, Djamin mengatakan bawa dia merasa terbuang. Kesehatannya berangsur-angsur menurun ditambah iklim Kanada yang kurang bersahabat. Tiga tahun masa tugas di Kanada beringsut kelabu. Agar bisa kembali ke Indonesia, Djamin mengutus istrinya ke Jakarta menemui Soeharto. Tiba di Cendana, Likas diterima Ibu Tien Soeharto. Kepada Tien, Likas menceritakan kesehatan Djamin yang terganggu dan mengharapkan Presiden Soeharto memanggilnya pulang ke Indonesia. Djamin Gintings saat bertugas di Kanada sebagai duta besar. (Repro Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir ). “Rasanya tak sanggup suami saya melewati musim dingin di Kanada, Bu,” kata Likas kepada Tien seraya menyerahkan surat Djamin agar dibaca oleh Soeharto. Tien berjanji untuk menyampaikannya. Tiga hari berselang, surat sampai di tangan Soeharto. Presiden mengatakan telah memproses isi surat Djamin dan meminta Likas menghubungi Menteri Sekretaris Negara Soedharmono. Di kantor Mensekneg, tubuh Likas bergetar lemas. Soedharmono memperlihatkan disposisi presiden terhadap surat Djamin. Isinya: “Tunggu saja kunjungan saya bulan Juli 1975 di Kanada.” Itu artinya, permintaan Djamin ditolak atau setidaknya masih harus menunggu hingga tahun depan. Apa rupanya persinggungan serius yang terjadi antara Djamin dan Soeharto? “Tak perlu persinggungan,” kata sesepuh TNI AD Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . Menurut Sayidiman yang mantan Wakil KASAD ini, Djamin bukanlah bagian dari grup jenderal Soeharto. Dia menjelaskan, banyak perwira tinggi AD yang awalnya dipakai Soeharto bukan karena mereka cocok dengan Soeharto tapi karena ketidaksetujuannya yang tegas terhadap Nasakom dan PKI. Setelah masalah itu selesai, orang-orang seperti Djamin pun menjauh dari Soeharto. “Kalau Pak Harto merasa tak cocok dan orangnya juga tidak usaha untuk dekat Pak Harto, ya harus dijauhkan kalau ia pejabat penting,” kata Sayidiman. Djamin termasuk perwira yang enggan merapat ke kubu Soeharto. “Saya suka dia dan sedih ketika dapat kabar ia meninggal ketika jadi dubes di Kanada,” kenang Sayidiman.
- Nasib Buruk Anak Nyai
MALANG. Kata itulah yang paling tepat disematkan pada anak-anak tak berdosa yang lahir dari rahim perempuan-nyai di masa kolonial. Mereka menjadi komunitas terbuang, berada di luar masyarakat kulit putih maupun masyarakat pribumi. Anak-anak Indo-Eropa hasil pergundikan antara lelaki Belanda dan nyai pribumi itu tidak punya hubungan yang benar-benar nyata dengan masyarakat pribumi dan tidak mengusahakannya karena terlalu gengsi. Sementara untuk masuk ke dalam masyarakat Eropa mereka mendapatkan penolakan. Meski beberapa anak hasil pergundikan diakui ayah mereka sehingga bisa menyandang nama Eropa, status mereka di masyarakat tetap tidak jelas. Kemunculan anak Indo-Eropa sebagai kelompok baru masyarakat kolonial sudah menjadi kekhawatiran sejak praktik pergundikan dilakukan para kolonialis kulit putih. Kelompok Indo-Eropa ini dikhawatirkan membahayakan prestise kulit putih dan citra kolonial sebagai pemilik budaya yang mereka anggap luhur. Hal ini menjadi titik mula ketiadaan pengakuan masyarakat kolonial akan hubungan antarras. Anak hasil hubungan tuan-gundik diperlakukan dengan buruk bahkan sejak masa VOC. Dalam peraturan VOC tahun 1715 tercantum larangan mengangkat keturunan campuran penduduk asli menjadi pegawai VOC, apalagi bila masih tersedia orang lain (kulit putih tulen) yang berpotensi. Aturan itu diterapkan secara ketat. Bahkan ketika VOC kekurangan pegawai pada 1727, mereka ogah merekrut orang Indo-Eropa dan lebih memilih pedagang kecil Eropa yang belum tergabung di VOC untuk mendaftar. Dalam pengumumannya, VOC menekankan bahwa orang Eropa tulen harus diterima bekerja dengan berbagai cara dan lebih diutamakan dibanding anak-anak Indo-Eropa. Di mata VOC, tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia , orang-orang yang lahir di negeri jajahan, khususnya ras campur, statusnya sangat rendah. Mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru tulis. Masa depan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi telah tertutup karena posisi tinggi diisi oleh lelaki yang datang dari Belanda. Anak perempuan hasil pergundikan pun mendapat nasib sama buruknya. Gubernur Jenderal C van der Lijn bahkan mengeluarkan aturan yang melarang semua perempuan yang lahir di negeri jajahan pergi ke Belanda tanpa izin khusus pada 1649. Diskriminasi pada orang Indo-Eropa terus berlanjut bahkan ketika kekuasaan dipegang pemerintah Belanda. Asal-usul mereka sebagai ras campur benar-benar menjadi sebuah rintangan untuk mendapat pekerjaan setara orang kulit putih tulen. Diskriminasi ini bahkan tercatat dalam hukum kolonial tahun 1839. Anak-anak yang lahir dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan non-kulit putih kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, terlebih di Royal Academy Delft, Belanda. Padahal, pemerintah Belanda hanya mengangkat orang-orang lulusan Royal Academy untuk menjadi pejabat eselon. Oleh karena itulah orang Indo-Eropa tidak dapat menjadi pegawai tinggi pemerintahan. Departemen dalam negeri Hindia-Belanda di Jawa dan Madura juga tidak menerima anak-anak Indo-Eropa. Pemerintah tak ingin penduduk negeri jajahan berhadapan dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ilegal, terlebih bila mereka duduk di dalam pemerintahan. Bagi pemerintah kolonial, kehadiran mereka dalam tubuh pemerintahan hanya mencoreng citra Belanda sebagai negara beradab. Diskriminasi yang mereka terima kemudian memuncak dan membuat orang-orang Indo-Eropa muak pada 1848. Pemerintah kolonial kemudian membuat pertemuan di Socitet de Harmonie. Dalam pertemuan tersebut, dilancarkan kritik atas diskriminasi terhadap kaum Indo-Eropa untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sama seperti orang-orang yang didatangkan dari Eropa. Orang-orang yang melancarkan protes tersebut kebanyakan tokoh Eropa terkemuka yang tinggal di Hindia Belanda, seperti Menteri Hindia Belanda WR Baron van Hovel. Protes yang dilancarkan kaum Indo-Eropa ini sempat membuat Gubernur Jenderal JJ Rochussen cemas akan terjadi pemberontakan. Saking cemasnya, dia sampai menerapkan status siaga tinggi pada malam 12 Mei 1848 dan memerintahkan garnisun Batavia berjaga-jaga di Harmonie. Namun kekhawatiran itu tak terbukti karena petemuan berlangsung lancar. Tetap saja, anak Indo-Eropa yang bisa duduk di pemerintahan dan mendapat pekerjaan layak adalah Indo-Eropa yang lahir dari ayah kaya atau berpangkat tinggi. Padahal, kebanyakan anak hasil pergundikan pada abad ke-19 lahir dari hubungan nyai dengan anggota militer berpangkat rendah. Anak-anak Indo-Eropa yang tidak beruntung itu kebanyakan menjadi tukang, penjahit, petugas telegraf, tukang pos, mekanik, dan petugas pengukuran kadaster. Dalam Nyai and Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menulis, tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa sangat tinggi. Di antara mereka ada perempuan Indo-Eropa bernasib sial yang masuk ke dunia prostitusi. Karena kemiskinan, kadang gadis-gadis Indo-Eropa dijual ke orang Tionghoa kaya. “Kerutunan ras kulit putih ini bertempat tinggal di ratusan rumah di lingkungan kumuh kota-kota di Hindia Belanda serta di perkampungan kotor dekat tangsi-tangsi,” tulis anggota parlemen Henri van Kol, seperti dikutip Baay.
- Kembalinya Trah Ken Angrok di Periode Akhir Majapahit
WISNUWARDHANA naik takhta didampingi Narasinghamurti sebagai pembantu utama raja. Keduanya memerintah bagaikan dua naga dalam satu lubang yang membawa damai di negeri Singhasari. Antara keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok untuk sementara tak lagi berebut panggung. Namun, asal-usul itu kembali dianggap penting ketika Kerajaan Majapahit mencapai ujung kisahnya. Sebelumnya, keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok saling curiga dan saling tusuk demi duduk di singgasana. Sampai Wisnuwardhana, keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes, memerintah bersama Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dan Ken Angrok. “Kekuatan yang dibangun segitiga. Ken Dedes di tengah, Ken Angrok di kanan, Tunggul Ametung di kiri, sampai kemudian (menurunkan, red. ) Kertanagara lalu Majapahit,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah Universitas Negeri Malang. Dwi mengatakan mulai dari kekuasaan Hayam Wuruk usaha membuka kembali asal-usul itu mulai terlihat. Lewat tur akbarnya ke Lumajang yang diabadikan lewat Nagarakrtagama membuka kembali kalau Singhasari berkontribusi pada lahirnya Majapahit. Garis-garis leluhurnya pun jadi semakin terlihat. Setelahnya kekuatan Singhasari mulai kembali tampil. “Sejak itu ada semacam Singhasari come back di masa Majapahit. Trah-trah Singhasari menguat. Pada masa akhirnya, Majapahit lebih condong dikuasai oleh garis keturunan dari penguasa Tumapel,” jelas Dwi. Puncaknya ketika muncul tiga tokoh Majapahit yang memakai nama Girindrawarddhana. Mereka adalah Girindrawarddhana Dyah Wijayakrana, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang menjadi raja Majapahit, dan Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma Sri Singhawarddhana. Nama mereka diketahui lewat Prasasti Waringinpitu (1447 M), Prasasti Ptak, dan Prasasti Jiwu, keduanya berasal dari tahun 1486 M. “Saya sempat bertanya-tanya wangsa apa kok pakai Giri,” kata Dwi. “Apakah hanya karena memuja Siwa, tempat bersemayam di Girisa. Mengapa Girindra? Giri itu apa?” Dwi menjelaskan, nama itu mengarah pada Tumapel, tempat awal berdirinya Singhasari. Dari segi kewilayahan di Jawa Timur, Tumapel berada di tempat yang tinggi. Dan Giri berarti gunung. “Ini sengaja untuk mengabadikan gejala apa yang saya sebut sebagai Singhasari comeback ,” lanjutnya. Kebetulan, kata Dwi, pasca pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit banyak mengalami konflik keluarga. Muncul banyak garis keturunan dari luar garis Tumapel. Misalnya, trah dari Blambangan, Sumatra, dan Champa. “Sudah campur aduk. Karenanya seperti ada pemurnian kembali. Ini juga nuansa comeback ,” ujar Dwi. Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit menyebut tokoh-tokoh bergelar Girindrawarddhana pada periode Majapahit akhir memang masih keturunan langsung dari Ken Angrok. Ken Angrok dianggap sebagai pendiri Dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau Dinasti Rajasa (Rajasawangsa). “Girindrawarddhana hanya nama gelar yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir penerus Dinasti Girindrawangsa,” jelas Hasan. Sementara pada masa Girindrawarddhana juga Pararaton dibuat. Sejarawan Warsito. S. lewat “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” Pusara Djilid XXVII No.3-4 Maret-April 1966 , menulis Pararaton diciptakan dalam rangka legitimasinya sebagai keturunan Ken Angrok. Pararaton masih menyebut nama Raja Kertabhumi (1468-1478). Maka, bisa disimpulkan kitab itu disusun tak lama sesudah tahun 1478. Tak lain, yang menyusunnya adalah Girindrawardhana. Pararaton, menurut Warsito, berasal dari pa-raratu-an yang artinya ratu ning ratu atau the king of kings . Raja yang dimaksud adalah Ken Angrok. Selain menjadi raja, Ken Angrok juga moyang raja-raja berikutnya. “Dengan demikian Ken Angrok adalah maharaja penegak dinasti. Sedang yang menyusun sejarah resmi itu tentunya anak cucu Ken Angrok. Itu tak lain adalah Maharaja Girindrawardhana,” catat Warsito. Sebaliknya, Warsito menilai Nagarakrtagama lebih merupakan sejarah dari keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Isinya sangat subyektif. Prapanca begitu menonjolkan dan memuji keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung, seperti Kertanagara dan ayahnya, Wisnuwardhana. Menurut Warsito Pararaton dan Nagarakrtagama memunculkan periode sejarah yang hampir bersamaan. Keduanya mengangkat masa Singhasari hingga Majapahit. Kendati begitu keduanya berasal dari dua partai yang bertentangan. “Yaitu partai Ken Angrok yang beragama Hindu dan partai Ken Dedes yang beragama Buddha,” lanjut Warsito. Warsito pun tak sepakat dengan anggapan Ken Angrok moyang raja-raja Majapahit. Pasalnya, tak semua penguasa Majapahit secara genealogis keturunan Ken Angrok. Separuh dari kitab Pararaton meriwayatkan Ken Angrok yang sepanjang hidupnya diliputi perebutan pengaruh politik dan kondisi politik yang tak kondusif. Dinasti-dinasti saling berebut pengaruh. Ada kubu Dandang Gendis atau Kertajaya bersama Tunggul Ametung yang terus tak berdamai dengan kubu Ken Angrok. “Apa yang dikerjakan Ken Angrok adalah persiapan merebut kembali takhta Kerajaan Tumapel, jadi merupakan suatu agitasi dan kampanye politik,” jelas Warsito. Sementara itu, Pararaton merupakan suatu manifestasi politik dari raja Majapahit keturunan Ken Angrok. Dalam hal ini Girindrawardhana, membuktikan haknya atas takhta Majapahit yang sebelumya dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. “Haknya atas takhta Majapahit itu dia tunjukkan dalam Pararaton . Jelas ditunjukkan dalam karya itu, Ken Angrok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung karena dialah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” ujarnya. Mengapa kemudian Girindrawardhana bisa dianggap sebagai keturunan dinasti Ken Angrok? Warsito mengatakan dinasti Ken Angrok dalam Pararaton disebut Girindrawangsa. Artinya keturunan Dinasti Siwa (Girindra = penguasa gunung). “Kalau gitu percaturan Ken Angrok akhirnya sampe akhir Majapahit. Singhasari come back akhirnya, Angrok come back juga. Ini kelihatan sekali. Indikasinya penguasa-penguasa Tumapel kembali menguat,” tambah Dwi.*
- Hoaks, Tantangan Pemuda Masa Kini
PERKEMBANGAN teknologi informasi memudahkan hidup kaum muda. Hari-hari ini mereka menikmati hidup yang lebih nyaman ketimbang generasi sebelumnya. Tetapi hidup nyaman juga menjadi tantangan besar bagi anak muda dalam menjalankan perannya sebagai penjaga persatuan bangsa. “Musuh kehidupan yang luar biasa adalah kehidupan yang baik,” kata Alissa Wahid, aktivis sosial Jaringan Gusdurian, dalam talkshow ‘Peran Pemuda Dalam Sejarah Bangsa’ di pelataran parkir gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, 28 Oktober 2018. “Bingung ya, kalian?” tanya Alissa kepada puluhan peserta talkshow . Sebagian besar mereka siswa sekolah menengah atas dari berbagai daerah di Indonesia. “Kalau hidup kita nyaman, hidup kita enak, kita menikmati saja hidup itu sehingga tidak bisa mencapai hal-hal yang luar biasa,” lanjut Alissa. Alissa menerangkan perbedaan kehidupan pemuda zaman ini dengan pemuda lampau. Menurut Alissa, pemuda pada masa lampau memiliki kehidupan yang lebih sulit daripada pemuda sekarang. Alissa mencontohkan kehidupan pemuda pada zaman penjajahan. Informasi dikuasai sekelompok orang, pendidikan masih terbatas, dan teknologi belum berkembang. Keadaan terjajah menambah beban hidup kaum muda. Pemuda dari satu suku dengan suku lainnya pun saling curiga. Keadaan yang tidak enak itu mendorong kaum muda untuk mengubahnya. Kaum muda punya cita-cita bersatu. Persatuan modal penting untuk menuju cita-cita yang lebih besar, yaitu kemerdekaan. Wujud tekad bersatu tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928. Hasilnya kelihatan pada 1945. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kaum muda kembali berperan dalam periode ini. Setelah merdeka, tugas kaum muda adalah menjaga persatuan. “Kita sekarang sudah bersatu. Tapi jangan dianggap bersatunya Indonesia itu dengan sendirinya akan selamanya seperti itu,” tambah Alissa. Dia menceritakan bangsa yang gagal menjaga persatuan. “Dulu ada negara namanya Yugoslavia. Presidennya, Josep Broz Tito, ikut memprakarsai gerakan Non-Blok bersama Presiden Sukarno. Tapi sekarang negara itu sudah tidak ada karena terpecah-belah,” kata Alissa. Pembicara lain, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, turut memaparkan pentingnya kaum muda merawat persatuan. “Keinginan untuk bersatu itu, mau tak mau, harus terus dipupuk, ketika kita menyadari bahwa kita tidakbisa sendirian di atas muka bumi ini,” kata Hilmar. Hilmar memandang persatuan tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan muncul dari kinginan bersatu. Sejarah Sumpah Pemuda 1928 dapat menjadi patokan bagi pemuda masa sekarang dalam memenuhi tugasnya. “Dengan mengingat dasar sejarah. Ya, itu dasarnya. Jadi sekarang ini, kita mau tahu bangsa ini mau ke mana, dan segala macam, tidak usah ke mana-mana. Lihat perjalanan sejarahnya saja,” lanjut Hilmar. Menurut Hilmar, Sumpah Pemuda 1928 tak berhenti sebatas tiga pernyataan saja: kebangsaan, tanah air, dan bahasa. Sumpah Pemuda 1928 mengamanatkan kepada generasi depan agar terus memperkuat tiga pernyataan itu. “Di dalam pernyataan itu dibilang, bahwa apa yang disumpahkan itu, dari waktu ke waktu, mesti terus diperkuat. Jadi jangan dikira kalau Sumpah Pemuda dibaca, urusannya sudah selesai. Dibilang di situ, bahwa apa yang disumpahkan itu harus diperkuat,” terang Hilmar. Pemuda dan Hoaks Upaya kaum muda sekarang untuk memperkuat Sumpah Pemuda 1928 tak pernah gampang. Hidup mereka sekarang memang jauh lebih mudah daripada generasi sebelumnya. Tetapi tantangan mereka juga berat. Salah satu tantangan besar itu berupa percepatan arus informasi dan berita di media sosial. Tak jarang banyak informasi dan berita palsu (hoaks). “Repotnya lagi, karena hoaks dibikin dengan sengaja, tujuannya bukan untuk membuat orang hidupnya jadi lebih baik, melainkan supaya saling curiga,” kata Ratih Ibrahim, pembicara dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Hoaks di media sosial kerap kali menimbulkan perpecahan masyarakat. Isu-isu sektarianis menjadi bahan bakar paling mudah untuk menyulut amarah kaum muda. “Jika sudah begitu, cita-cita Indonesia tetap langgeng jaya selama-lamanya yang diusahakan para pemuda masa lampau, Sumpah Pemuda, bisa bubar,” ungkap Ratih. Ratih mengingatkan kaum muda agar mengendalikan jarinya. Menyebarkan informasi salah itu mudah, tapi memperbaiki pikiran rusak itu sulit. “Tahan jempol kita, periksa dulu sebelum share ,” pinta Ratih. Sebab dampak hoakspada pikiran anak muda cukup gawat. Hoaksakan merusak cara pikir anak muda. “Kebayang tidak kalau tiap hari kita sebarkan hoaks? Lama-lama pikiran kita akan terjejali berita bohong,” lanjut Ratih. Segala sesuatu akan dianggap benar. Daya kritis pun menumpul. Ratih berbagi tips untuk lawan hoaks. “Kaum muda harus resourceful . Bagaimana caranya? Dengan membaca,” kata Ratih. Membaca sumber-sumber terpercaya turut melatih orang berpikir kritis, tidak mudah percaya pada hasutan dan informasi serampangan. “Semakin tinggi literasi seseorang, semakin sulit dibohongi,” kata Ratih. Pada akhir talkshow , ketiga pembicara mengatakan Indonesia 20-30 tahun mendatang akan sangat bergantung pada anak muda hari ini. “Pemuda Indonesia 1928 tahu persis mau ke mana bangsa ini. Orang sekarang bilang visioner, pandangan jauh ke depan,” kata Hilmar. Sekarang giliran kaum muda hari ini menentukan arah bangsa ke depan. “Dua puluh tahun lagi, kamu itu ada di mana? Melakukan apa? Kontribusimu, peranmu di dalam bangsa dan negara ini, sebelah mana? Tak perlu dijawab sekarang, tapi kamu pertanyakan terus di dalam hati,” kata Hilmar menutup talkshow .
- Si Gundul dalam Memori
PAGI 15 Agustus 2016 itu, pemain legendaris Jerman dan Borussia Dortmund (1982-1993) Lars Ricken baru saja menutup diskusi di hadapan 35 wartawan asing di sebuah lounge di Stadion Signal-Iduna Park. Momen itu langsung dimanfaatkan Indra Citra Sena, wartawan Tabloid Bola, untuk berfoto bareng sang legenda sambil memamerkan souvenir topi dan stiker berlogo Bola dan stiker Si Gundul. Pesanan kantor buat dokumentasi, katanya. Di pertengahan Agustus itu, hanya dua wartawan dari Indonesia yang diundang Bundesliga menyaksikan laga DFL Cup antara Borussia Dortmund vs Bayern Munich pada 14 Agustus dan tur ke Dortmund. Indra salah satunya. Pertemuan dengan Ricken dan beberapa petinggi Dortmund merupakan bagian dari tur. Selain diberikan kepada Ricken, maskot Si Gundul juga dihadiahkan Indra untuk Carsten Cramer, Chief Operating Officer BVB, badan hukum klub itu. “ This is Si Gundul. The icon of our media ,” cetus Indra menerangkan saat Ricken dan Cramer memerhatikan stiker Si Gundul. Keduanya menyambut dengan senyum hangat. Sebetulnya, stiker dan topi Si Gundul juga diberikan kepada Lothar Mätthaus, legenda timnas Jerman dan Bayern Munich (1979-2000), yang ditemui di sebuah restoran di Düsseldorf sebelum laga. Namun, sambung wartawan berkepala plontos yang agak mirip Si Gundul itu, “Mätthaus enggak mau karena posisi dia di media juga waktu itu, Fox Sports .” Toh, Indra bisa memahami dan tetap senang. Selain bisa memperkenalkan Si Gundul pada bos Dortmund dan Ricken, Indra juga bisa menyebarkan Si Gundul lewat kaos, stiker, dan topi yang diberikan kepada Jean Zahibo, wartawan undangan asal Pantai Gading, sebelum kepulangan kami ke tanah air. Kenangan bersama Indra tiga tahun silam di negerinya Gottlieb Daimler dan Adi Daessler itu seketika menyeruak kala mendengar Bola akan gulung tikar dua pekan lalu. Keputusan bubar itu dituangkan redaksi dalam akun Twitter @TabloidBOLA, 17 Oktober 2018: “Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat dan akan berakhir pada Jumat pula. Terbit 56 halaman dan full color . #TerimaKasihPembaca .” Maskot Si Gundul di tangan legenda Jerman dan Borussia Dortmund, Lars Ricken (kanan). (Dok. Indra Citra Sena) Berakhirnya Bola pada Jumat, 28 Oktober, mengakhiri pula eksistensi Si Gundul yang mejeng di rubrik Sepakbolaria. Jika Tabloid Bola, lahir pada 1984, awalnya bermula dari sisipan di Koran Kompas , karakter Si Gundul karya Hanung Kuncoro alias Nunk pertamakali hadir di Bola empat tahun berselang bersamaan dengan Bola lepas dari sisipan Kompas. Karakter berkepala plontos itu kerap mengundang tawa pembaca dengan beragam adegan slapstick -nya. Dalam perkembangannya, Si Gundul tak hanya mengisi rubrik Sepakbolaria namun juga opini dan dijadikan beragam ilustrasi tulisan lain, dan gambar di kaos merchandise yang dijual Bola sekitar tahun 1990. Saking nyantolnya Si Gundul di dalam memori masyarakat, tak mengherankan bila banyak warganet penggila bola prihatin terhadap kabar penghentian Bola dan menumpahkan nostalgia di beragam linimasa media sosial. Asal Usul Si Gundul Si Gundul, dengan hanya dua helai rambut menjuntai di kepala gundulnya plus wajah minimalis berupa sebidang oval dengan dua titik sebagai sepasang mata dan segaris lengkung mulut, merupakan karakter jenaka yang begitu kuat. “Kenapa seperti itu? Saya melihatnya kan gini . Bola itu kan bulat ya. Saya harus bikin maskot atau ikon yang simple , polos, sporty dan menggemaskan. Ya dari corat-coret yang awalnya saya bikin, ketemulah bentuk Si Gundul itu. Lalu untuk menguatkan karakternya, kita harus kuasai bahasa tubuhnya, bahasa ekspresi,” ujar Hanung saat dihubungi Historia. Si Gundul pertamakali mengorbit pada 17 Juni 1988. Hanung menamakan strip kartunnya “Sepakbola La La La”. Saat itu, Hanung yang baru lulus dari Jurusan Ekonomi Universitas Diponegoro, baru sekadar ilustrator lepas. Namun karena mengidamkan kerja di media dan untuk membunuh waktu di saat belum memiliki pekerjaan tetap, dia sering mengirim strip kartun ke Bola. “Waktu terbit pertamakali di tanggal itu saya enggak menyangka. Saya lihat Tabloid Bola di peron Stasiun Tawang untuk nunggu kereta api ke Jakarta. Waktu itu saya sedang ingin tes masuk PGN (Perusahaan Gas Negara). Habis itu saya beranikan main ke kantor Bola sekaligus ambil honor,” lanjut pria asli Rembang itu. Honor Hanung kala Rp15 ribu terbilang besar. “Buat membandingkan, harga nasi goreng saja waktu itu cuma Rp600,” jelasnya. Bukan main senangnya Hanung. Makin semangat dia mengirim strip kartun Si Gundul, terlebih dia juga gagal masuk masuk PGN. “Akhirnya September (1989) saya kembali ke Jakarta. Wapemred (wakil pemimpin redaksi) Pak Sumohadi Marsis ingin ketemu. Pas mengobrol, dia tanya keseriusan saya untuk jadi ilustrator Bola . Saya jawab serius karena memang cita-cita saya memang itu. Akhirnya setelah ikut beragam tes, Mei 1990 saya resmi di Bola ,” kenangnya. Strip kartun bernama Sepakbola La La La itu kemudian berganti nama jadi Sepakbolaria. “Memang saya yang ganti sendiri biar lebih efisien dan simple menyebutnya. Tidak belibet . Sama redaksi juga enggak masalah saya ganti,” tambah Hanung. Sejak 1988 sampai Bola edisi terakhir, terbit 26 Oktober 2018, bentuk Si Gundul sudah mengalami enam kali perubahan. “Ya tidak terasa saja itu berubah. Bentuk pertamanya pun sebelum saya kirim ke Bola yang diterbitkan 1988 itu sudah lupa . File lama saya sudah enggak tahu ke mana,” ujarnya. Lantas, bagaimana kelanjutan “hidup” Si Gundul setelah Bola gulung tikar mengingat hak patennya secara resmi sudah dimiliki Bola ? “Hak paten itu dibeli secara resmi pada 2011. Jadi yang dibeli karya intelektualnya. Tetapi hak cipta masih pada saya. Soal kelanjutan, memang Si Gundul kan aset punya Bola . Tapi kan saya sebagai penciptanya masih ada. Alangkah mubazir kalau Si Gundul juga sudah tidak ada lagi. Saya berharap Si Gundul masih bisa eksis, entah bagaimana caranya. Senin (29 September 2018) nanti ada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Selasa akan keluar hasilnya. Kalau toh diserahkan pada saya, akan saya kelola mandiri. Kalau ada hasil lain, biar nanti ada pembicaraan lain lagi,” tutupnya.
- Asal Usul Kata Sontoloyo
DALAM acara pembagian sertifikat lahan di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (23/10/2018), Presiden Joko Widodo menyebut “politikus sontoloyo” untuk cara-cara politik yang tidak beradab, tidak beretika, tidak bertata krama Indonesia. Cara-cara politik adu domba, memfitnah, memecah belah hanya untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kata “sontoloyo” pun ramai diperbincangkan di media sosial. Lema ini mengingatkan pada tulisan Sukarno berjudul “Islam Sontoloyo” di Majalah Pandji Islam pada 1940. Tulisan itu lahir setelah Sukarno membaca berita kriminal di suratkabar Pemandangan , 8 April 1940. Berita itu tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke penjara karena memperkosa salah seorang muridnya. Melalui tulisannya, Sukarno menegaskan bahwa guru agama itu sontoloyo, bukan Islamnya yang sontoloyo. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh. Mengenai asal usulnya, wikipediawan pencinta bahasa Indonesia Ivan Lanin menerangkan, “saya belum menemukan sumber yang sahih, tetapi konon kata ini mulai dipakai sebagai kata makian (kasar) pada sekitar 1935 sebagai pelesetan dari ‘kontol loyo’ (kontol = alat kelamin laki-laki; loyo = lemah sekali).” Menurut Ivan, ada rujukan lain yang mengatakan “sontoloyo” berarti “gembala bebek” dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, ada yang beranggapan bahwa arti kata ini sebagai kata makian tercetus saat kesal menunggu sang gembala mengangon bebeknya dengan lamban. “Ada komentar di IG (saya), katanya arti gembala bebek dipakai di daerahnya, Brebes,” kata Ivan. Dan Brebes dikenal sebagai sentra peternakan bebek. “Saya belum tahu daerah mana lagi di Jawa yang memakai makna ini,” kata Ivan, “tetapi suatu kata bisa saja dimaknai berbeda dalam bahasa yang berbeda.” Sementara itu, Philip Yampolsky dalam “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations Unity, Disunity, and The Modern , ” mencatat bahwa Koesbini menyanyikan lagu keroncong berjudul Sontolojo di radio NIROM Surabaya pada 1938. Menurut Philip, sontolojo mungkin terkait dengan Jawa Timur. Sebab, sebuah komposisi gamelan Jawa Timur dengan judul ini diperdengarkan tiga kali pada 1938 dalam siaran musik gamelan Jawa Timur oleh NIROM , sanggar studio Surabaya ( klenengan dari Studio Nirom meloeloe gending2 Djawa Timoer ). “Lagu yang dibawakan oleh The Melody Band itu bisa jadi secara musikal terkait dengan melodi Jawa Timur (atau ke Jawa Tengah Ladrang Sontoloyo ), atau bisa saja hanya meminjam judul. Perhatikan bahwa dalam siaran lain oleh The Melody Band, Koesbini menyanyikan Krontjong Gembala Sontolojo , yang mungkin adalah lagu yang sama dengan Sontolojo ,” tulis Philip termuat dalam Sonic Modernities in the Malay World. Philip menyebut Ladrang Sontoloyo – ladrang adalah salah satu bentuk komposisi karawitan. Ladrang Sontoloyo , menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia: Jilid 1, diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana V yang hanya bertakhta tiga tahun. Jadi, sejauh ini sumber tertua yang menyebut kata “sontoloyo” berasal dari tahun 1820-1823. Sumber lain, dalam Bahasa dan Budaja Vol. 1-3 (1952), disebutkan kemungkinan akar kata sontoloyo: “ada sebuah kata yang belum tahu bagaimana bentuknya yang asli, ialah nama gending Sontolojo dengan kalimat permulaan Sontolojo, angon bebek ilang loro . Mungkinkah cantalaya (tempat ketenangan) asalnya?”
- Di Kalijati, Kekuasaan Belanda Diakhiri
TAK seperti Jalan Raya Kalijati-Subang di depannya yang ramai, suasana di Pangkalan Udara (lanud) Suryadarma Rabu (17/10/18) siang itu amat tenang. Hilir-mudik kendaraan jarang. Yang terlihat hanya beberapa mobil sipil atau sepeda motor para istri prajurit AU yang tinggal di pangkalan untuk mengantar-jemput anak sekolah atau ke luar untuk satu keperluan. Cuaca terik siang itu membuat para personil POM-AU yang berjaga di gerbang masuk lebih memilih duduk-duduk di dalam pos. Satu-satunya yang agak sibuk, seorang prajurit petugas buka-tutup portal. Tujuh puluh enam tahun silam, suasana Lanud Kalijati amat sibuk saat Perang Pasifik berkecamuk. Lanud Kalijati jadi rebutan pasukan Jepang dan Sekutu dalam Pertempuran Kalijati. Kesibukan, disebabkan oleh keresahan akibat kabar bakal datangnya serangan Jepang, di dalam lanud bahkan telah meningkat jauh sebelum perang dimulai. Keresahan itu diingat betul oleh Utami Suryadarma, istri Soeriadi Suryadarma (KSAU pertama), yang kala itu tinggal di dalam lanud. “Di Kalijati, para istri opsir diwajibkan memilih salah satu kegiatan dalam membantu persiapan perang. Bersama beberapa istri kolega suamiku, saya memilih dipekerjakan di rumah sakit,” tulis Utami dalam buku hariannya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Gerbang untuk Kuasai Jawa Di bawah guyuran hujan malam pergantian 28 Februari ke 1 Maret 1942, 3000-an personil Tentara ke-16 AD Jepang dari resimen ke-230 yang dipimpin Kolonel Toshishige Shoji mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat. Mereka langsung bergerak cepat untuk merebut Lanud Kalijati, sekira 34 kilometer dari pantai. Tentara ke-16 Jepang di bawah Letjen Hitoshi Imamura menganggap Kalijati adalah kunci. Selain gerbang menuju Bandung, tempat pusat militer Hindia Belanda berada, tulis Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invicible Yeras 1941-1942 , “Kalijati adalah salah satu fasilitas penerbangan terbaik di Jawa saat itu.” “Pihak militer Jepang sangat membutuhkan Pangkalan Udara Kalijati untuk mendukung angkatan daratnya. Mereka tidak mungkin hanya mengandalkan dukungan udara dari pangkalan udara di Sumatera atau Kalimantan yang jaraknya cukup jauh,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949 . Namun, Kalijati justru kurang diperhatikan oleh Sekutu (KNIL dan militer Inggris di Jawa). “Penderatan di Eretan Wetan tidak diperhitungkan. Khususnya di musim hujan, daerah pesisir dekat lokasi ini dengan ombaknya yang tinggi kurang cocok untuk operasi pendaratan,” tulis PC Boer dalam The Loss of Java: The Final Battles for the Possession of Java . “Perintah resmi dari markas Sekutu adalah, Kalijati tidak dalam bahaya serangan darat Jepang,” tulis Bill . Anggapan itu membuat Militaire Luchvaart (ML/AU Hindia Belanda) dan Royal Air Force (RAF/AU Inggris) hanya menempatkan pasukan kecil untuk menjaga Lanud Kalijati. “Di Kalijati, pertahanan berada di tangan Inggris di bawah Grup Kapten George Frederick Whitsondale dari RAF. Pertahanannya disesuaikan dengan serangan udara, bukan serangan darat, dan senjata terbesarnya ada pada dua baterai anti pesawat terbang. Selain itu, para penjaga di darat terdiri dari sekitar 350 pasukan Inggris dan awak darat RAF, dan skitar 150 infanteri KNIL yang semua hanya bersenjatakan senapan dan senapan mesin,” sambung Bill. Gerak-maju pasukan Shoji pun hampir tak menemui kesulitan kecuali dari bombardir udara singkat Sekutu ke pantai Eretan Wetan. Sebelum tengah hari, Lanud Kalijati telah mereka capai. Dengan dukungan artileri dan tank plus bombardir udara, mereka langsung menyerbu lanud. Pasukan Sekutu di lanud terkaget-kaget. Upaya mati-matian mereka mempertahankan lanud gagal. Pukul 12.30, lanud sudah dikuasai pasukan Shoji dari batalyon Major Mitsunori Wakamatsu. Sekira sepertiga pesawat Sekutu, termasuk pesawat tempur Hawker Hurricane, di lanud itu terbakar hebat. Kecuali yang tewas atau tertawan, pasukan Sekutu di Kalijati dan Subang langsung mundur ke arah Bandung. Mereka diburu pasukan Shoji yang melanjutkan gerak maju ke arah Bandung lewat Subang dan Ciater. Keesokannya, 2 Maret, pertempuran pecah di Subang. Pasukan lapis baja KNIL di bawah Kapten GJ Wulfhorst dan pasukan infanteri ke-5 KNIL yang dipimpin Mayor Carel J Teerink melancarkan serangan balik. Pertempuran berlangsung sengit. Tapi karena direncanakan tergesa-gesa, serangan balik Sekutu akhirnya dipatahkan. KNIL dipukul mundur. Pasukan Shoji melanjutkan gerak majunya dan kembali terlibat pertempuran di Ciater Pass. Pada 2 Maret petang, pesawat-pesawat Hiko Dan (brigade udara) 3 Jepang dari berbagai jenis tiba di Lanud Kalijati dari Palembang. Kedatangan mereka merupakan bagian dari ofensif Tentara ke-16 di barat Jawa. Namun, belum lama pesawat-pesawat itu menapakkan roda di bumi Kalijati, mereka hancur oleh bombardir udara yang dilancarkan Skuadron 242 RAF dan ML. Jepang tak hanya menderita kehilangan banyak pesawatnya tapi juga landas pacu utama Lanud Kalijati rusak oleh bombardir itu. “ML dan RAF memberi brigade udara Jepang kesulitan di Kalijati pada saat genting (di malam tanggal 2 Maret dan pagi 3 Maret) dan faktanya ada superioritas udara lokal Sekutu sampai sekitar jam 11.00 tanggal 3 Maret,” tulis Boer. Pertempuran dahysat kembali pecah di sekitar Lanud Kalijati. Pasukan Sekutu bahkan bakal mendapat tambahan pasukan dari Infanteri ke-15 dan Infanteri ke-14. Dari Bandung, komandan resimen infanteri ke-2 Kolonel Toorop mengerahkan satu batalion infanterinya yang didukung kendaraan lapis baja Kavaleri ke-1 dan artileri ke Kalijati. Sayang, belum lagi pasukan penyerbu itu mencapai Kalijati, Sekutu kecolongan lebih dulu oleh bombardir udara Jepang ke Lanud Andir. Para teknisi pasukan Jepang di Kalijati bergerak cepat memperbaiki landasan setelah bombardir Sekutu. Sisa pesawat yang ada langsung diterbangkan sekitar pukul 10.30 pagi 3 Maret. Bombardir udara oleh pesawat-pesawat itu membuat Lanud Andir lumpuh dan ditutup. Pasukan darat Sekutu pun tak jadi mendapat dukungan udara. Moril pasukan Sekutu langsung terjun bebas. Bandul keberuntungan kembali bergeser ke pihak Jepang. Lepas dari tengah hari, tujuh pesawat Ki-51 dan enam pesawat Ki-48 Jepang mulai membombardir pasukan-pasukan Sekutu yang menuju Kalijati tadi. “Hasilnya adalah, kedua konvoi (pasukan Sekutu – red .) itu sepenuhnya terperangkap di jalan terbuka dengan sawah di kedua sisi jalan yang berjarak sekitar lima kilometer. Konvoi itu kemudian diserang. Dalam beberapa menit, jalan dipenuhi kawah bom dan puluhan truk terbakar, kontainer amunisi meledak dengan gemuruh. Jumlah korban tewas terbatas tapi amat banyak yang terluka. Banyak dari mereka merangkak menuju saawh mencari tempat perlindungan. Pasukan Infanteri ke-10 musnah bersama truk-truk dan sebagian besar peralatan serta senjatanya. Hasilnya adalah kekacauan besar di jalan,” tulis Boer. Selesainya Pertempuran Kalijati yang diikuti gerak maju pasukan Jepang membuat Panglima besar KNIL Letjen Hein ter Poorten langsung mengadakan rapat dengan Mayjen Hervey Sitwell (Panglima Inggris di Jawa) membahas langkah-langkah yang paling mungkin diambil. Saran Sitwell agar KNIL bergerilya ditolak Poorten lantaran kuatnya gerakan kemerdekaan Indonesia tak memungkinkan gerilya dilakukan. “Dalam kondisi tersebut, ter Poorten dan gubernur jenderal, ditemani Mayjen JJ Pesman (komandan garnisun Bandung), menuju utara ke bekas pangkalan udara Belanda di Kalijati. Di sini, pada sore 8 Maret, mereka bertemu dengan musuh, bukan dalam pertempuran tetapi dalam kapitulasi,” tulis Bill.
- Sukarno Bilang Islam Sontoloyo
PRESIDEN Joko Widodo berseru agar rakyat berhati-hati. Katanya, banyak politikus yang baik tapi juga banyak politikus yang sontoloyo. Jokowi jengkel lantaran kebijakan pemerintah yang akan mengucurkan dana kelurahan dikaitkan dengan kampanye pemilihan presiden mendatang. Pernyataan itu dilontarkan presiden saat menghadiri penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta (23/10). Kata "sontoloyo" kemudian menjadi viral dan ramai diperbincangkan. Banyak yang mempertanyakan kepatutan presiden perihal ujarannya yang bernada umpatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sontoloyo berarti konyol, tak beres, bodoh. Ini dipakai sebagai kata makian. Kata yang sama juga pernah dipakai Sukarno, presiden pertama RI. Si Bung tak tanggung-tanggung. Dia membubuhkan kata itu di samping nama agama. Pada 1940, Sukarno menulis artikel di Majalah Pandji Islam berjudul “Islam Sontolojo”. Kontroversi? Jelas. Tapi apa yang ada dalam benak Sukarno hingga terbersit kata sontoloyo? Tulisan itu lahir dari keprihatinan Sukarno terhadap orang yang melakukan perbuatan jahanam dengan dalil agama. Dalam suratkabar Pemandangan , 8 April 1940, Sukarno membaca berita kriminal yang bikin hatinya getir. “Seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena memperkosa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil,” demikian isi berita itu. Menyitir warta Pemandangan tadi, Sukarno menuturkan modus operandi si guru cabul. Kepada murid-muridnya, sang guru mengaku pernah berbicara dengan Nabi Muhammad Saw. Dia mengajarkan untuk berzikir sejak magrib hingga subuh supaya dosa-dosa diampuni. Laki-laki dan perempuan wajib dipisah karena belum muhrim. Di sinilah akal bulus sang guru. Agar murid perempuan bisa diajar, mereka harus dinikahi terlebih dahulu. Karena sudah halal dan sah, demikianlah gadis-gadis malang itu dipikat dan dirusak oleh si guru bejat. “Sungguh kalau reportase di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh,” kata Sukarno dalam artikel “Islam Sontolojo” yang termuat dalam kumpulan tulisannya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I . Menurut Sukarno esensi beragama adalah ketaatan terhadap Allah. Ini dinyatakan dengan akhlak yang murni sejalan dengan syariat ketuhanan yang sejati. Dia mengkritik pemeluk Islam masa itu yang kebanyakan hidup dalam kitab fiqih belaka. “Tidak, justru Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa atau kita tidak mau tahu bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah,” jelas Sukarno masih dalam “Islam Sontolojo”. Setelah dipublikasi, reaksi pembaca dapat ditebak. Polemik datang dari sana-sini. Cerca dan cibir menerpa Sukarno, terutama dari mereka yang merasa agamanya dihina karena bersanding dengan umpatan. “Wah, ditampar saya! Pertama saya dikatakan, mengatakan atau memaksudkan bahwa Islam itu adalah agama sontoloyo,” kata Sukarno bertahun-tahun kemudian ketika berpidato di hadapan para mahasiswa HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965 yang dihimpun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara . Sukarno menerangkan kembali arti Islam Sontoloyo yang dia maksud dalam artikel Pandji Islam . Dia merujuk pada oknum yang menyimpang, bukan agamanya.“Saya terangkan dalam artikel itu banyak sekali orang yang menyebutkan dirinya Islam, tetapi dia sebetulnya itu sontoloyo,” ujar Sukarno. “Sekarang syukur alhamdulillah orang mengerti," katanya lagi, "Yang saya maksudkan ialah bahwa Islam itu agama tidak beku, yang beku ialah manusia-manusianya.”*
- Legiun Asing Persebaya
ALKISAH di suatu petang pada 1996. Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya tribunnya dipenuhi Bonek, menyaksikan laga bertajuk “Derby Surabaya” Persebaya vs Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS). Sialnya, getir dirasakan Bonek. Persebaya kalah 1-4 dari ASGS yang kala itu dibesut Rusdy Bahalwan. Persebaya yang diperkuat tiga pemain asing pertama mereka tak mampu berbuat banyak. Padahal, salah satunya, Plamen Iliev Kazakov, memberi asa dengan membuka skor lebih dulu. Namun, ASGS akhirnya membalas empat gol lewat Putut Wijanarko (2 gol), Ali Sunan, dan Gunung Ginting. Kazakov yang berpaspor Bulgaria jadi satu di antara tiga pemain asing pertama Persebaya sejak 1995. Dia direkrut lewat perantara ISA (International Sports Agency) besutan Angel Ionita. ISA juga mendatangkan pelatih asing pertama Persebaya di momen yang sama. “Dua lainnya itu Dejan Antonic (Serbia, dulu Yugoslavia) dan Nadoveza Branko (Montenegro, dulu Yugoslavia). Ketika itu Persebaya lagi senang-senangnya dengan pemain dari Balkan. Plus pelatihnya juga (Alexander Dimitrov Kostov) dari Bulgaria. Tapi dari tiga itu yang bertahan dan jadi topskorer sampai akhir musim dengan 16 gol, hanya Plamen (Kazakov). Yang lainnya diganti pemain asing lain,” terang sang penulis kepada Historia. Ada satu hal unik dari Kazakov di laga kontra ASGS itu. Tak banyak yang tahu bahwa sepanjang laga Kazakov bermain dengan mengenakan jam tangan! Ofisial pertandingan sepertinya khilaf. Pasalnya, tali jam tangan Kazakov berwarna coklat muda, begitu menyatu dengan kulitnya. Eladalah …! Kisah Kazakov ini hanya seujung kuku dari sekian kisah dalam buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo karya Dhion Prasetya ini. Dhion merupakan karyawan Ditjen Bea Cukai Surabaya yang sejak kecil menggilai Persebaya. Saking “gilanya”, dia menuangkan kisah-kisah seputar pemain Persebaya ke dalam buku yang diterbitkan Indie Book Corner dan diproduksi serta distribusikan oleh Surabaya Punya Cerita ini. Yang Pertama Bisa dibilang, buku ini merupakan katalog pesepakbola asing dari segala penjuru bumi yang pernah berseragam Persebaya. Bukan hanya itu, buku sejenis yang menghimpun ulasan serupa dari klub-klub lain juga belum ada. Gagasan untuk menghimpun serta meriset data dan mengulas 73 pemain plus delapan pelatih asing ini sudah terbersit sejak 2008. Namun, buku baru bisa diluncurkan pada Sabtu (20/10/2018) di Sunday Market, Surabaya Town Square setelah Dhion melengkapi data selama empat bulan dan menjalani proses editing hingga finishing ilustrasi dan cover selama 11 bulan. “Saya ingin kepingan puzzle yang berserakan terkait Persebaya bisa terkumpul sehingga bisa merepresentasikan sebagian sejarah Persebaya untuk generasi mendatang. Karena tak banyak suporter yang ingat dengan para pemain asing mereka. Paling hanya nama-nama tertentu saja. Persebaya sebagai klub besar dan berusia tua, sudah seharusnya mengingat sepak terjang mereka,” ujar Dhion. Segenap data Dhion sebagian dipetik dari beberapa arsip media massa, memori kolektif pribadi. Lainnya dari hasil wawancara. “Risetnya ada yang murni dari ingatan saya sendiri. Kebetulan saja juga punya data para pemain asing itu. Ada juga menghubungi si pemain langsung, baik via telefon maupun media sosial. Seperti Plamen Kazakov, (Juan Marcelo) Cirelli, dan Jacksen (Ferreira Tiago),” lanjutnya. Sosok Papi Jacko Nama terakhir, Jacksen F. Tiago, mendapat porsi lebih banyak. Sebab, pria Brasil yang akrab disapa Papi Jacko itu sudah melegenda tak hanya bagi Persebaya tapi juga dalam persepakbolaan Indonesia. Jacko seorang asing tersukses dalam persepakbolaan nasional. Sebagai pemain, dia berhasil mengantarkan Persebaya menjuarai Liga Indonesia 1996/1997. Sebagai pelatih, dia membawa Persebaya juara Divisi I 2003, Divisi Utama 2004, dan membawa Persipura juara Indonesia Super League 2008/2009, 2010/2011, dan 2012/2013. “Selama bermain di Indonesia, saya pernah bermain di tiga klub berbeda. Masing-masing memiliki arti tersendiri di hati. Tetapi dengan Persebaya, saya harus akui memiliki nuansa berbeda. Terutama karena loyalitas tanpa batas dari keluarga besar Bonek. Begitu istimewanya Persebaya maupun Kota Surabaya. Saya bangga bisa jadi bagian dari buku ini dan sejarah Persebaya,” kata Jacksen sebagaimana diungkap Dhion dalam buku ini. Overall, buku ini menarik untuk dibaca santai sambil menambah pengetahuan persepakbolaan nasional. Tidak hanya bagi penggila Persebaya namun juga warga sepakbola nasional. Lebih menarik lagi, banyak kisahnya disajikan dengan gaya bahasa Suroboyo-an sehingga tak melulu serius. Mata pun dimanjakan dengan sisipan infografis tentang jumlah dan asal negara para pemain asing Persebaya. Yang cukup unik dan jarang ditemukan dalam buku lain, penambahan “rubrik” Trivia Time, memuat tanya-jawab tentang para legiun asing Persebaya, di dua halaman depan sebagai pengenalan awal. Sayangnya, buku ini tidak memiliki indeks sehingga pembaca mesti berjuang lebih keras untuk mendapatkan apa yang dicari. “Iya, lali (lupa),” tutup Dhion.*






















