Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sukarno di Mata Pemuda-Pemudi
Sukarno pernah berkata bahwa bersama 1000 orang tua, ia bisa mencabut Semeru, tapi hanya dengan 10 pemuda, ia bisa mengguncang dunia. Kutipannya lalu menjadi salah satu yang paling terkenal dan diulang-ulang setiap tahun pada peringatan hari-hari bersejarah. Sukarno memandang peranan pemuda-pemudi penting bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Dan barangkali kalimat itu hendak ia maksudkan menjadi cambuk untuk generasi penerus. Namun , sebelum bicara apakah cita-cita Bung Karno untuk mengguncang dunia itu telah terwujud atau belum, bagaimana pemuda-pemudi hari ini melihat sosok Bung Karno? Untuk menyambut Bulan Bung Karno, Historia melalui talkshow “Sukarno Menurut Sepuluh Pemuda-Pemudi” pada Rabu, 10 Juni 2020 , mengajak pemuda-pemudi dari berbagai daerah dan latar belakang untuk berbagi pandangan tentang Sukarno dan apa yang diwariskannya hari ini. Memori tentang Sukarno Berbeda dari generasi yang sempat mengalami masa di mana Sukarno masih hidup, pemuda-pemudi hari ini terpaut hampir setengah abad setelah kepergian Sang Proklamator. Namun, jejak-jejak sejarah Sukarno telah membentuk imajinasi tersendiri bagi mereka. Raisa Kamila, penulis dan periset asal Aceh, mengakui bahwa di tanah kelahirannya, Sukarno bukanlah tokoh yang diidolakan. Pengetahuan sejarah tentang Sukarno di Aceh hanya disampaikan dari satu perspektif yang cenderung bernada kurang simpati. Rasa ingin tahu mendorongnya untuk mempelajari sejarah dari berbagai sumber dan sudut pandang. “Saya sendiri waktu itu nggak tergoda untuk menjadi orang yang membenci atau orang yang gandrung. Jadi saya cuma penasaran kenapa ya seperti itu,” terangnya. Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat Raisa kemudian menyadari bahwa Sukarno memang memiliki peran besar di era kemerdekaan, menyatukan bangsa-bangsa kulit berwarna melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) dan mampu berdiri di tengah-tengah ragam ideologi di Indonesia. Raisa juga menyebut bahwa Sukarno, selain memiliki kecintaan pada akar budaya sendiri, juga memiliki visi yang modern. Sementara itu, Eda Tukan, penggiat literasi dari Flores, melihat Sukarno sebagai seorang literat yang toleran. Sukarno yang pernah dibuang ke Ende dan juga sempat berkunjung ke Larantuka ketika Indonesia telah merdeka menginspirasi pemuda di Flores karena ia bisa bergaul dengan semua kalangan, peduli terhadap minoritas serta memberi kesadaran terhadap realitas multikultural. “Pergaulan yang lintas batas menembus sekat-sekat primordial, Sukarno seorang nasionalis tapi beliau tidak menjadikan itu sebuah alasan untuk menutup diri terhadap sesama saudara dari kebangsaan yang berbeda,” sebut Eda. Baca juga: Sukarno: Pemersatu atau Pembelah? Darlene Litaay, koreografer dan performer asal Papua juga punya imajinasi sendiri tentang Bung Karno. Perjalanan Bung Karno ke berbagai daerah baik karena dibuang maupun sengaja singgah menjadi penting dalam pembentukan gagasan-gagasan Bung Karno yang masih relevan hingga hari ini. “Bagaimana dia berjalan dari satu tempat yang lain di Nusantara ataupun keluar Indonesia, itu seperti membawa benang dan jarum lalu kemudian setiap elemen-elemen penting tempat yang dia singgahi dia ambil satu gagasan. Semua kumpulan gagasan yang dia dapat di daerah itu dia rajut menjadi satu yang namanya Indonesia,” terangnya. Di ranah kebudayaan, sudah banyak diketahui bahwa Sukarno memiliki perhatian besar terhadap seni. Ia seorang kolektor lukisan, pecinta patung, dan melahirkan gagasan-gagasan kebudayaan baik dibidang musik, tari, hingga arsitektur. Niesya Harahap, penggiat seni dari Medan melihat bahwa Sukarno memang menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan Indonesia. Di mana sebagai negara yang baru terbentuk kala itu, Indonesia hendak menunjukkan eksistensi salah satunya melalui jalan kebudayaan. “Dia concern terhadap budaya. Merasa bahwa identitas bangsa itu akan terwujud dalam kebudayaan dan keseniannya,” ujar Niesya. Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno Bukan hanya pada kebudayaan yang telah ada sebelumnya, lanjut Niesya, Sukarno juga menggagas terciptanya identitas kesenian baru baik di bidang musik, tari, dan seni rupa. Selain itu yang tak kalah penting adalah misi kebudayaan untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia. Julisa Pratiwi, pebisnis muda asal Pontianak, juga punya pandangan sendiri terhadap Sukarno. Julisa melihat Sukarno bisa menjadi inspirasi dalam hal bisnis. Baik dari strategi Sukarno dalam menghadapi Jepang maupun perannya yang membuat Indonesia pernah menjadi negara yang sejajar dengan negara lain karena hubungan internasional yang baik. Dalam hal ini, lanjut Julisa, salah satu semangat yang bisa diambil dari Sukarno adalah kolaborasi. “Pancasila aja, itu berkolaborasi lho ,” sebutnya. Reduksi Makna Sukarno banyak melahirkan ide dan gagasan yang banyak membentuk bangsa Indonesia. Banyak di antaranya masih bertahan dan relevan dalam konteks hari ini. Namun bukan berarti, apa yang digagas Sukarno tidak mengalami pergeseran-pergeseran nilai. Subarman Salim, pemerhati sejarah dan kebudayan dari Bone menyebut, telah terjadi reduksi makna gotong royong sebagai intisari Pancasila. Di mana gotong royong seringkali hanya dikampanyekan dan diartikan dalam kerja-kerja fisik. “Kita tahu, kita mendengar, kalimat gotong royong itu seringkali dikampanyekan sebagai sebuah upaya untuk membangun kerjasama. Dalam tataran praktis seringkali hanya diartikan sebatas kerja-kerja fisik, sementara itu hilang dalam tataran elite politik misalnya,” sebut Salim. Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia Pergeseran nilai-nilai juga ditemui Sucia K. Imanuella, peneliti tradisi lisan dari Kendari. Seperti yang dikatakan Sukarno sendiri, bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri, dari tradisi dan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya. Namun hari ini, sumber-sumber gagasan itu justru semakin terpinggirkan. “Apakah sama, kita melihat tradisi dan kebudayaan dengan rasa cinta, dengan rasa bangga dan terlebih lagi kita merasa memiliki kebudayaan itu? Atau sebaliknya justru kita memunculkan penindasan dalam tanda kutip yang kita ciptakan sendiri. Artinya kita merasa malu saat kita harus melestarikan tradisi kita sendiri,” ujarnya. Sucia melanjutkan, satu pernyataaan Bung Karno yang penting sebagai bahan refleksi yakni “alat kolonial tidak akan berhasil kecuali jika ia memupuk keunggulan kulit putih terhadap sawo matang.” Sementara itu, Imam A. Firdaus, penggiat lingkungan dari Depok melihat bahwa seringkali Sukarno dilihat dari hal-hal besarnya saja. Hal itu kemudian membuat gagasan Bung Karno kurang diimplementasikan generasi muda di ranah yang lebih sederhana. Baca juga: Sukarno Meninggal Dunia “Apakah kita pernah berpikir lebih jelas, lebih dalam tentang bagaimana menghadirkan Sukarno dalam konsep dan pikirannya itu di tengah-tengah kehidupan kita?” ujarnya. Senada dengan Imam, Abdullah Tontona, penulis asal Ternate juga melihat bahwa seringkali Bung Karno hanya diingat melalui perayaan dan ritual-ritual tahunan. Gagasan-gagasannya justru jarang ditransformasikan dalam karya dan kerja yang nyata. “Saat ini generasi kita, terutama generasi muda dan para politisi kita yang memegang kekuasaan tidak mentransformasikan secara praktis gagasan-gagasan Bung Karno yang sejak awal dia perjuangkan secara mati-matian,” sebutnya. Abdullah menambahkan bahwa seringkali Bung Karno bukan hanya dijadikan sebagai fosil tapi juga suvenir.
- Kisah Dua Presiden RI yang Terlupa
Sejak resmi berdiri sebagai sebuah negara, Republik Indonesia (RI) telah dipimpin oleh tujuh orang tokoh. Dalam kurun 75 tahun terakhir, rakyat telah merasakan pergantian penguasa dari berbagai latar belakang berbeda. Dimulai pada 1945 oleh Presiden Sukarno, hingga Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu. Masing-masing tentunya membawa kebijakan yang berbeda. Selain ketujuh tokoh tersebut rupanya Indonesia masih memiliki dua tokoh lain yang pernah menduduki kursi tertinggi pemerintahan di republik. Mereka adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat, dua tokoh politik terkemuka semasa pergerakan. Sebagai catatan keduanya menduduki posisi tersebut saat situasi di dalam negeri sedang dalam kondisi darurat. Sjafruddin mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera sebagai upaya mempertahankan kedaulatan setelah Presiden Sukarno dan jajarannya di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan pihak Belanda. Sementara Mr. Assaat menduduki kursi pimpinan sebagai pejabat ( acting ) presiden Republik Indonesia (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950) ketika Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Baca juga: Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden Banyak kalangan kemudian menganggap keduanya pantas masuk ke dalam daftar presiden Indonesia, bersanding dengan nama-nama presiden lain. Meski sejarah tidak mencatat Sjafruddin dan Mr. Assaat sebagai presiden resmi republik ini, perjuangan mereka nyata adanya. Dalam suatu kesempatan sejarawan Taufik Abdullah, seperti dikutip Mumuh Muhsin Z dalam MR. Sjafrruddin Prawiranegara (1911-1989): Sang Penyelamat Eksistensi Negara Proklamasi Republik Indonesia , pernah mengatakan: “… apa yang disebut pahlawan sebenarnya tidak ada dalam sejarah, karena pahlawan tidak muncul dalam peristiwa sejarah atau pun dalam tindakan seseorang dalam suatu peristiwa sejarah. Pahlawan merupakan soal penilaian atau pun pengakuan pada waktu kemudian dari orang lain terhadap tindakan yang dilakukan seseorang. Selanjutnya penilaian atau pun pengakuan itu dikukuhkan oleh negara”. Berikut riwayat dua presiden yang terlupa tersebut. Sjafruddin Prawiranegara Sjafruddin duduk paling kanan (John Domino's/gettyimages) Kurun 1945-1949 merupakan masa peralihan terpenting bagi RI sebagai sebuah negara. Kemerdekaan yang telah lama dicita-citakan akhirnya berhasil diraih. Perjuangan menghilangkan kolonialisme dari bumi pertiwi berbuah manis. Sorak-sorai bergema di seluruh negeri, simbol kelahiran negara baru yang merdeka. Suka cita rakyat itu rupanya tidak berlangsung lama. Pada periode tersebut kedaulatan republik yang baru merdeka ini diuji. Keinginan Belanda menancapkan kembali kolonialisme mengusik ketenangan. Rakyat tidak tinggal diam. Mereka berbondong-bondong menghimpun kekuatan untuk menghalau sang penjajah. Genderang perang kembali ditabuh, menandai perjuangan baru sebagai rakyat merdeka. Baca juga: Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden Belanda melancarkan dua kali agresi dalam kurun 1946-1949. Seluruh daerah bergejolak. Tidak ada yang mampu menghindari peperangan. Pemerintahan di Jakarta pun terpaksa dipindah sementara ke Yogyakarta agar roda politik dapat terus berjalan. Tetapi pada agresi militer Belanda ke-2, pemerintahan RI di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan. Sukarno-Hatta dan sejumlah menteri tertahan, tidak bisa menjalankan pemerintahan. Itulah keinginan Belanda. Meyakinkan dunia bahwa negara bernama Indonesia sudah tidak ada. Tetapi mereka keliru. Demi menjaga eksistensi Indonesia di mata dunia, didirikanlah PDRI di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 1948. Adalah Sjafruddin Prawiranegara, tokoh republik yang ditunjuk untuk menduduki kursi pimpinan dalam menjalankan pemerintahan darurat tersebut. “PDRI bukan saja membantu menopang modal semangat juang, tetapi juga membuat Belanda lebih sulit lagi menghindari tanggapan-tanggapan terhadap tindakan-tindakan yang hendak diajukan oleh PBB,” ungkap Mumuh. Sjafruddin Prawiranegara dilahirkan di Banten pada 28 Februari 1911 dari pasangan Raden Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini. Diceritakan George Kahin dalam In Memoriam: Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) , ayah Sjafruddin bekerja sebagai asisten Wedana di Anyar Kidul, Karesidenan Banten. Dia sempat bersekolah di Europeeche Lagere School (ELS). Kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middlebare School (AMS), serta pendidikan tinggi di Rechts Hoge School (RHS). Baca juga: Penyesalan Sjafruddin Prawiranegara Sejak masih bersekolah di RHS Sjafruddin sudah aktif di dalam organisasi mahasiswa bernama Unitas Studosorum Indonesiensis (USI). Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony , USI lebih banyak melakukan kegiatan yang menunjang studi dan rekreasi. Hal itu semata dilakukan untuk menekan kecenderungan radikalisme di antara mahasiswa RHS. Tetapi meski kegiatan USI hampir tidak menyentuh ranah politik, Sjafruddin tetap menaruh perhatian pada pergerakan. Melalui berbagai bacaan di buku dan surat kabar, dia memahami makna nasionalisme. “Sjafruddin adalah seorang Muslim dan seorang patriot, dan dia benar-benar menolak pemerintahan Belanda seperti yang berkembang di Hindia. Dia coba memastikan posisi orang Indonesia di dunia modern, dan menolak gagasan Belanda,” tulis Mrazek. Selama masa gawat tahun 1948, Wakil Presiden yang juga merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan rapat kabinet. Sukarno dan sejumlah menteri yang hadir sepakat untuk mengabari (melalui siaran telegram) Sjafruddin di Bukit Tinggi dan memintanya mendirikan pemerintahan darurat, membentuk kabinet, serta mengambil alih pemerintah pusat. Akan tetapi telegram itu tidak pernah sampai di tangan Sjafruddin. Jaringan radio yang dirusak Belanda menghalangi mandat tersebut. Dalam kebuntuan koordinasi dan komunikasi itu suasana bisa menjadi lebih buruk. Banyak pihak, kata Mumuh, secara spontan bisa mendirikan pemerintahan darurat dengan mengatasnamakan keselamatan Republik Indonesia. Tidak terbayangkan bagaimana perpecahan yang akan muncul di antara rakyat andai hal itu terjadi. Baca juga: Nasib Keluarga Ketika Sjafruddin Prawiranegara Dipenjara “Akan tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi demikian. Mr. Sjafruddin Prawiranegaralah yang mengambil inisiatif, dan pihak-pihak lain mengakui serta menaatinya. Ini adalah firasat tajam Mr. Sjafruddin Prawiranegara,” kata Mumuh. Ketika mendirikan PDRI pada Rabu pukul 04.30 pagi tanggal 22 Desember 1948, Sjafruddin tidak menamakan dirinya “presiden” melainkan “ketua”. Alasan itu diungkapkannya di dalam harian Pelita , 6 Desember 1978: “Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tapi andai kata saya tahu tentang adanya mandat tersebut niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya.” Sjafruddin pernah menduduki beberapa jabatan structural penting selama kurun 1946-1951: Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menter, dan sebagainya. Sjafruddin jugalah yang diketahui mengusulkan agar Indonesia memiliki uang sendiri, ORI (Oeang Republik Indonesia) menggantikan uang Javasche Bank , uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang Jepang. Sjafruddin Prawiranegara wafat pada 15 Februari 1989 di usia 77 tahun. Mr. Assaat Mr. Assaat ketika menjadi ketua BPKNIP (Wikimedia Commons) Mr. Assaat gelar Datuk Mudo lahir di Jorong Pincuran Landai, Kenagarian Kubang Putih, Kecamatan Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, pada 18 September 1904. Diceritakan Marthias Dusky Pandoe dalam Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas , sewaktu kecil Assaat menempuh pendidikan di sekolah agama Adabiah Padang dan MULO Padang. Baca juga: Tuntutan Merdeka 100% Selesai dengan sekolah dasar dan menengahnya, Assaat kemudian merantau ke Batavia. Di sana dia melanjutkan sekolah tingginya di School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (STOVIA). Tetapi dia tidak menaruh minat kepada dunia kedokteran sehingga memutuskan pindah ke sekolah tinggi hukum RHS. Di Negeri Belanda Assaat berhasil memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Setelah kembali ke Tanah Air pada 1939, Assaat banyak terlibat di dalam kegiatan oragnisasi pergerakan, yakni Jong Sumatranen Bond dan Perhimpoenan Indonesia Moeda. Di sinilah dia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan politik kebangsaan bersama tokoh pergerakan lain. Assaat terkenal aktif dan vokal dalam bersuara sehingga namanya cepat dikenal orang. “Fakta sejarah menyatakan lagi, Assaat adalah patriot demokrat yang tidak kecil sahamnya dalam menegakkan dan mempertahankan RI. Dia setia memikul tanggung jawab sejak awal kemerdekaan sampai tahap akhir penyelesaian revolusi,” ungkap Pandoe. Sejak 1945, Assaat telah aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Salah satu tugasnya adalah membantu mengontrol jalannya pemerintahan, serta mendampingi presiden. Kemudian pada 1947, Assaat dicalonkan sebagai ketua KNIP dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang sebelumnya memang sudah dijabatnya. Roda perpolitikan di dalam negeri yang terus bergejolak mengantarkan Mr. Assaat pada jabatan yang tidak terduga, yakni acting Presiden RI. Tugasnya adalah memimpin pemerintahan RI ketika negara ini resmi mengadopsi bentuk serikat. Penyerahan mandat kursi kepresidenan RI dari Sukarno ke Mr. Assaat terjadi lantaran Sukarno telah memegang jabatan presiden di pemerintahan Republik Indonesia Serikat, didampingi Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Baca juga: Aksi Dunia Untuk Indonesia Merdeka Diberitakan surat kabar Merdeka, 30 Desember 1949 pelantikan Mr. Assaat sebagai acting Presiden RI dilakukan di Istana Kepresidenan Yogyakarta pada 27 Desember 1949. Sukarno memimpin langsung upacara pelantikan tersebut. Selain penyerahan mandat, dalam sidang tahun 1949 itu juga BPKNIP secara resmi mengumumkan pemberhentian Sukarno dan Hatta sebagai Presdien dan Wakil Presiden RI. Juga penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Setelah penyerahan mandat, Mr. Assaat membentuk pemerintahan yang berkedudukan di Yogyakarta. Dia dibantu oleh beberapa tokoh republik dalam menjalankan tugasnya. Menurut Pandoe, selama memimpin pemerintahan RI di Yogyakarta Mr. Assaat berjasa dalam menandatangani pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM). “Mr. Assaat tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, tapi kalau mau, panggil Bung Presiden saja,” tulis Pandoe. Di dalam catatan Departemen Penerangan termuat Daerah Istimewa Jogjakarta , pengembalian jabatan presiden RI ke tangan Sukarno terjadi pada 15 Agustus 1950. Peristiwa itu ditandai dengan pembacaan Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sukarno saat rapat gabungan DPR, Pemerintahan RIS, dan Senat. Piagam itu diputuskan berdasar persetujuan anggota RIS, DPR, dan BP-KNIP. Siang harinya, Sukarno tiba di Yogyakarta untuk menerima kembali mandat yang sebelumnya diberikan kepada Mr. Assaat. Hari itu juga mandat acting presiden resmi dikembalikan dari Assaat ke tangan Sukarno. Mr. Assaat sempat diasingkan ke Bangka akibat kegiatannya selama masa pergerakan. Dia juga pernah duduk di beberapa jabatan penting –selain ketua KNIP-BPKNIP dan acting Presiden RI– seperti Anggota Parlemen, serta Menteri Dalam Negeri di Kabinet Natsir. Mr. Assaat meninggal dunia pada 16 Juni 1976 di usia 72 tahun.
- Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit
Sebuah pusara dikenal sebagai Kubur Tunggal. Disebut begitu karena sebelum dibangun cungkup yang besar seperti sekarang, pusara itu terletak di dalam sebuah cungkup dan berdiri sendiri. Di sinilah konon Syekh Jumadil Kubra dimakamkan. Seorang syekh yang kepadanya semua wali Jawa dihubungkan. Pada nisannya terdapat kutipan ayat-ayat Al-Qur’an: "tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu" (Ali Imran: 185) dan "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati" (Al-Ambiya: 35). Kutipan lainnya berbunyi: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan" (Al-Ankabut: 37); "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar-Rahman: 26-27); dan "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah" (Surat Al-Qasas: 88). Selain itu, ada dua kalimat dalam bahasa Arab dan Asmaul Husna. Sedangkan nama Syekh Jumadil Kubra malah tak tertera pada nisan. Kendati demikian, haulnya digelar rutin. Peziarah berdatangan setiap malam Jumat Legimembuat makam Troloyo di Trowulan, Mojokerto, itu terkenal sebagai tempat peristirahatan terakhir sang mubalig. Melegenda di Seluruh Jawa Kisah Syekh Jumadil Kubra sebetulnya simpang siur. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat menyebutkan, Syekh Jumadil Kubra diceritakan dalam berbagai legenda yang berkembang dalam kepustakaan berbahasa Jawa. Ada pula yang menghubungkannya dengan Majapahit. Babad Cirebon menyebut Syekh Jumadil Kubra sebagai moyang para wali Jawa, seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Ampel. "Bahkan juga wali yang paling Jawa di antara para wali, Sunan Kalijaga," tulisVan Bruinessen. Menurut Martin, sebuah sejarah Gresik berbahasa Jawa menyebut Syekh Jumadil Kubra sebagai kakek buyut seorang wali lainnya lagi, Sunan Giri pertama. Kisahnya menyebut Syekh Jumadil Kubra adalah ayah dari Sunan Ampel yang menetap di Gresik. Sunan Ampel mempunyai anak bernama Maulana Ishaq yang menikahi putri raja Blambangan dan beroleh anak , Sunan Giri. Sementara itu, Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mencatat versi lain dari legenda di Gresik, bahwa Syekh Jumadil Kubra bukanlah seorang moyang, melainkan pembimbing wali yang pertama. Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel datang dari Champa ke Palembang kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syekh Molana Jumadil Kubra. Menurut Syekh Molana Jumadil Kubra kedatangan Raden Rahmat telah diramalkan oleh Nabi, bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat. Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan ajaran Muhammad di pelabuhan timur Pulau Jawa. Van Bruinessen juga mencatat cerita lisan di desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, sebelah utara Yogyakarta. Syekh Jumadil Kubra dipercaya sebagai wali muslim Jawa yang paling tua. Ia berasal dari Majapahit dan hidup sebagai pertapa di hutan gunung itu. Legenda rakyat berbahasa Jawa dari wilayah Tengger, Cariose Telaga Ranu, juga menyebut nama Maulana Ishaq dan Syekh Jumadil Kubra. Keduanya adalah saudara dari dua pertapa, Ki She Dadaputih di Gunung Bromo dan Ki She Nyampo di Sukudomas. "Maulana Ishaq pergi ke Blambangan dan menjadi ayah Raden Paku (Sunan Giri). Jumadil Kubra menjadi guru di Mantingan," tulis Van Bruinessen. Keberadaan Syekh Jumadil Kubra di Mantingan juga disebut dalam Serat Kandha. Ia disebut sebagai salah satu dari empat tokoh suci umat Islam di zaman kuno. Tiga lainnya yaitu Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan. Isno, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto, menambahkan, nama Syekh Jumadil Kubra juga dikenal di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar. "Menurut cerita tutur, Syekh Jumadil Kubra adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa penawar atas tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra," tulis Isno dalam "Pendidikan Islam Masa Majapahit dan Dakwah Syekh Jumadil Kubra", terbit di Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 03, No. 01, Mei 2015. Bukan Makam Satu-satunya Kisah Syekh Jumadil Kubra menjadi legenda di empat wilayah, yaituBanten-Cirebon, Gresik-Majapahit, Semarang-Mantingan, dan Yogyakarta. Menurut Van Bruinessen, ada kesan seolah orang Islam Jawa pada zaman dan tempat berbeda semua bertolak dari nama Syekh Jumadil Kubra. Makam Syekh Jumadil Kubra pun ada di beberapa tempat. Selain di Troloyo, sebuah makam tua di antara tambak daerah pesisir pantai di Terbaya, tidak jauh dari Semarang, diyakini penduduk sekitar sebagai makam Syekh Jumadil Kubra. Keyakinan ini berdasarkan kisah dalam Babad Tanah Jawi yang menuturkan Syekh Jumadil Kubra pernah melakukan tapa di Bukit Bergota di Semarang. Makam keramat lain berada di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Turgo. Keberadaannya disertai cerita lisan yang beredar di kawasan itu. Sementara itu, kisah Syekh Jumadil Kubra di Gresik dan Mantingan tidak meninggalkan jejak makam maupun petilasan. Makam Syekh Jumadil Kubra di Troloyo yang paling umum diakui. Kuburan ini paling sering kunjungi peziarah. Menurut Muhammad Chawari, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit” yang terbit di Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaannya , d ari seluruh makam di Troloyo yang ada prasastinya hanya satu nisan yang menyebut nama, yaitu Zayn ud-Din atau mungkin bisa dibaca sebagai Zaenuddin. Angka tahun yang tertera pada nisan ini yaitu 874 H atau 1469 M. Paling tidak yang bisa diketahui, mereka yang dimakamkan di sana adalah penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah memeluk agama Islam. Khususnya tujuh makam bertuliskan aksara Arab yang letaknya tak jauh dari pusat kota Majapahit. Dari angka tahun yang tertulis pada nisannya, ada satu yang terbaca 874 H atau dalam tahun Saka 1391 (1469 M). Artinya, muslim atau mungkin kerabat raja Majapahit yang muslim sudah ada sejak Hayam Wuruk berkuasa. "Pada waktu Majapahit mencapai puncak keemasan di bawah Raja Hayam Wuruk, agama Islam sudah dianut oleh penduduk ibu kota Majapahit," tulis Chawari. Menurut Chawari dasar dan maksud mengidentikan Kubur Tunggal di Troloyo dengan Syekh Jumadil Kubra belum bisa dipastikan. Yang jelas, nama yang kini dikenal tak ada hubungannya dengan makam. Itu bukanlah nama sesungguhnya. Nama itu semata-mata hanya untuk mempermudah indentifikasi. Lagi pula bukan cuma Syekh Jumadil Kubra yang diidentikan dengan makam-makam Islam kuno di Trowulan. Syekh Maulana Ibrahim, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Ngundung pun dipercaya menjadi penghuni makam era Majapahit itu. "Secara umum tokoh itu pernah berjaya dan sangat dikenal di masa lalu, tidak di daerah Troloyo saja namun juga di daerah lain dalam kurun yang lain pula," tulis Chawari. "Dengan kata lain nama tokoh itu bukan nama tokoh sejarah yang berhubungan dengan makam Troloyo."
- Cerita Kari Kepala Ikan Buatan Gus Dur
Selesai dengan urusan pendidikan di Kairo, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memutuskan pergi ke Baghdad. Dia merasa kecewa dengan sistem pendidikan di Mesir yang jauh dari bayangannya. Tak ada kebebasan studi seperti yang dicita-citakannya. Kiprah Gus Dur pun berakhir dengan kegagalan. Sampai akhirnya sebuah beasiswa studi di Universitas Baghdad menyelamatkannya. Pada pertengahan 1966 Gus Dur tiba di Baghdad. Kota tersebut, kata Gus Dur sebagaimana diceritakan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid , merupakan kota kosmopolitas yang penuh vitalitas, baik dalam bidang ilmu pengatahuan, seni, maupun sastra. Para pelajar Indonesia di sana merasa kebebasan untuk bertukar pikiran terbuka lebar tanpa batasan dan halangan. Selama tiga tahun pertama kehidupannya sebagai mahasiswa Universitas Baghdad, Gus Dur tinggal seatap dengan sesama mahasiswa yang datang dari Indonesia. Bersama 19 orang kawannya itu, Gus Dur menyewa sebuah vila untuk kediamannya selama bermukim di ibu kota Irak tersebut. Tempat tinggal Gus Dur itu, kata Barton, cukup besar dan menyengkan untuk ukuran mahasiswa. Mereka mengumpulkan iuran untuk membiayai segala kebutuhan rumah tangga dan sewa vila. Kebanyak mahasiswa, termasuk Gus Dur, tercatat sebagai penerima beasiswa. Namun mereka juga bekerja paro waktu untuk memenuhi kebutuhan tinggal di sana. “Sebagai tempat tinggal mahasiswa, vila ini ditandai dengan suasana kebersamaan yang menyenangkan serta percakapan-percakapan yang hidup dan kebanyakan menarik,” tulis Barton. Segala pekerjaan rumah di vila itu dikerjakan bersama-sama. Mulai dari bersih-bersih, memasak, hingga merapikan barang tidak mengandalkan asisten rumah tangga. Untuk tugas memasak setiap mahasiswa akan mendapat giliran setiap 20 hari sekali. Ketika tiba waktu Gus Dur, dia sudah pasti akan menyiapkan menu andalannya: kari kepala ikan. Merupakan sebuah kebetulan hidangan itu bisa menjadi resep andalan Gus Dur. Suatu hari, ketika masih baru tinggal di Baghdad, Gus Dur melewati sebuah toko penjual ikan di dekat tempat tinggalnya. Dia memperhatikan bahwa orang Irak tidak memakan kepala ikan. Bagian tersebut dibuang begitu saja, atau diberikan untuk hewan. Dia pun lalu mendatangi penjual ikan tersebut dan meminta 20 kepala ikan ukuran besar. Pemilik toko heran dengan permintaan yang baginya tidak masuk akal tersebut. “Untuk apa kepala ikan sebanyak itu?” tanyanya. “Hmm, saya memlihara banyak anjing,” kata Gus Dur. “Berapa banyak?” si penjual mulai mengerti situasi orang asing ini. “Dua puluh ekor,” jawab Gus Dur sambil menahan tawa. Sejak itu setiap 20 hari sekali Gus Dur akan mendatangi toko tersebut dan membawa pulang 20 kepala ikan berukuran besar. Dia tidak menerimanya secara gratis. Gus Dur selalu meninggalkan beberapa keping uang logam sebagai tanda membeli, walau nilainya sangat jauh ketimbang harga normal ikan yang dijual di sana. Setiba di rumah Gus Dur langsung mengolah kepala ikan tersebut. Diakui oleh teman-temannya bahwa kari kepala ikan buatan kawan dari Jombang ini sangat lezat. Menurut Barton walau Gus Dur senang bisa mengubah barang yang tidak terpakai dari sebuah toko menjadi hidangan yang digemari kawan-kawannya, bukan berarti itu didorong oleh keinginan untuk menghemat uang. Dia mempunyai cukup uang dari beasiswa dan upah bekerja, serta honorarium untuk setiap esai yang dibuatnya. Gus Dur melakukannya karena semata-mata gemar membuat kari kepala ikan. Suatu ketika mahasiswa-mahasiswa ini menerima tamu resmi dari Indonesia. Pihak kedutaan kemudian mengusulkan agar kediaman Gus Dur dipakai untuk kegiatan jamuan makan. Mereka setuju dan segera membentuk kepanitian persiapan acara. Salah seorang teman Gus Dur mendapat tugas memasak. Dia ingin menghidangkan kari kepala ikan buatan Gus Dur, di samping menu olahan daging sapi dan kambing. Temannya ini lalu pergi ke toko ikan yang biasa dikunjungi Gus Dur. Si penjual mengenali orang ini sebagai teman Gus Dur. Sambil tertawa dia memberi komentar: “Temanmu sangat aneh.” “Kenapa?” tanya kawan Gus Dur itu keheranan. “Ia memelihara banyak sekali anjing. Bayangkan, 20 anjing!” kata si penjual yang kembali terkekeh. Tanpa berkomentar apapun mahasiswa ini kembali pulang. Sampai di rumah, dia langsung mencari Gus Dur. “Sampai hati kau samakan kami dengan anjing?” katanya menumpahkan kemarahannya kepada sang pemilik resep kari kepala ikan itu.
- Nama Anak dari Nama Anak Buah
Nama adalah doa. Setiap orang tua akan memberikan nama terbaik untuk anaknya. Nama yang diberikan mengandung makna yang diharapkan membawa kebaikan bagi anak. Nama itu juga bisa jadi memiliki cerita sendiri bagi orang tua, seperti Pranoto Reksosamodra memberikan nama untuk anak pertamanya. Pada September 1947, Mayor Pranoto Reksosamodra menjabat komandan Resimen XXI, Yogyakarta. Dalam pertempuran di Semarang barat, dia berpangkalan di garis pertahanan dari perkebunan karet Rembes ke selatan lewat daerah Gemuh, Biting, sampai Candiroto. Daerah hutan itu sulit mendapatkan air. Untuk mandi saja harus turun ke jurang yang ada sumber air jernih dengan kolam bercadas. Pada sore hari, Pranoto mandi ke sumber air itu dengan dikawal oleh Prajurit Untung dan Kopral Wardoyo. "Sedang di tengah mandi aku mendengar suara ilalang bergemerisik, seperti ada orang-orang yang datang mendekatiku," kata Pranoto dalam memoarnya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya . Wardoyo berbisik pada Untung, "Awas, patroli Belanda datang." Tanpa pikir panjang, Untung memberondongkan tembakan sten gun ke arah suara gemerisik itu. Wardoyo mencari posisi ke samping Untung. Sewaktu dia meloncat ke samping kiri, kakinya tersambar peluru dari sten gun Untung yang menembak membabi buta. Ternyata tidak ada balasan tembakan dari arah suara gemerisik yang dikira tentara Belanda. Malahan sekawanan babi hutan yang mencari minum terpaksa kembali karena tembakan itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara Wardoyo mengerang kesakitan. " War, War, kowe kejungkel ana jurang apa ? (War, War, kamu terjatuh ke jurang?)" tanya Untung. "Kejungkel gundulmu, aku kena sasaran pelurumu," kata Wardoyo. "Geli rasanya aku menyaksikan kedua pengawal itu berceloteh," kata Pranoto. Pranoto memeriksa kaki Wardoyo, benar saja peluru sten gun Untung menembus kulit sepatu dan kakinya. Pranoto dan Untung kemudian memapah Wardoyo yang pincang karena terluka. Sampai di markas batalion di Biting, Wardoyo mendapat perawatan dari perwira kesehatan, Letnan Sukiman. Tiba-tiba telepon berdering dan diangkat oleh perwira bagian perhubungan. Dia melaporkannya kepada Pranoto bahwa istrinya telah melahirkan seorang putra pada pagi, 15 September 1947. Malam itu juga, Pranoto yang suka cita karena kelahiran anak pertama, berangkat ke Yogyakarta. Dia membawa serta Wardoyo untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Militer di Magelang. Dalam perjalanan dari Magelang, Pranoto melajukan mobil Chevrolet Super de Lux tahun 1945, dengan tenang dan memungkinkannya mencari nama yang pantas untuk anaknya. Dia pun teringat pada peristiwa menggelikan yang dilakukan anak buahnya pada petang hari tadi. "Aku meminjam nama kedua pengawalku. Anakku kuberi nama Untung Wardoyo," kata Pranoto. Istrinya, Soeprapti Poerwodisastro, melahirkan di Rumah Sakit Bethesda. Bayi laki-laki bernama Untung Wardoyo itu berambut kriting, hidung mancung, dan kulitnya kuning. Setelah istrinya selesai dirawat, Pranoto kembali ke markasnya di Biting untuk mempertahankan daerah Semarang barat. Buah hati Pranoto-Soeprapti itu berumur pendek. Sejak dalam kandungan, dia telah terpengaruh oleh kesehatan ibunya yang sakit-sakitan. Ketika lahir dia menjadi bayi yang kurang sehat, jantungnya lemah. Dr. Suwondo dan dr. Suharsono telah berusaha merawatnya. Namun, Tuhan mengambilnya. Untung Wardoyo, bayi berumur 35 hari, meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih pada 21 Oktober 1947. Enam bulan kemudian, Soeprapti kembali mengandung. Bahkan, sepanjang hidupnya, Pranoto-Soeprapti dikaruniai 12 anak. Karier militer Pranoto sampai menjabat caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1965 dengan pangkat Mayor Jenderal. Namun, dia dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan dipenjara oleh Orde Baru selama 15 tahun (16 Februari 1966–16 Februari 1981). Pranoto Reksosamodra meninggal di Jakarta pada 9 Juni 1992.
- Ritual Persumpahan Desa Bebas Pajak
Hadirin khidmat. Di hadapan mereka pemimpin upacara mulai mengucapkan sumpah. Sambil menyumpah, ia memotong leher seekor ayam. Lalu membanting sebutir telur di atas sang hyangkalumpang . "Seperti tubuh ayam yang telah mati, tak dapat hidup lagi. Seperti telur yang telah remuk berkeping-keping, takkan kembali utuh. Seperti pula kayu yang terbakar api, menjadi abu, hilang diterbangkan angin," katanya. Sumpah itu diucapkan dengan jelas agar didengar oleh hadirin. Barang siapa yang berani meng g anggu ketetapan tanah perdikan akan mendapat petaka, berakhir seperti sumpah yang telah mereka dengar. Kutukan bagi pelanggar biasanya kejam. Mereka yang melanggar kepalanya terbelah, perutnya robek, ususnya terburai, hati dan dagingnyadimakan, serta darahnya diminum oleh makhluk halus. Masyarakat meyakini kutukan itu pasti terjadi. Tindakan memotong ayam dan memecahkan telur serta menabur abu dimaksudkan agar sumpah itu diamini oleh kekuatan gaib. Tujuannya agar ritual itu terhubung dan berefek secara magis. Mencegah Penyalahgunaan Timbul Haryono, arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa ritual penetapan tanah perdikan yang disebut manusuk sima diperlukansupaya tidak terjadi penyalahgunaan di kemudian hari. Dibuatkan pula piagam keputusan berupa prasasti. "Diharapkan di kemudian hari tak ada orang yang melanggar. Pada prinsipnya tanah sima berlaku selama-lamanya," tulis Timbul dalam "Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengakapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna" yang terbit di jurnal Humaniora No. 12 September-Desember 1999. Hampir 90 persen prasasti Jawa Kuno membicarakan sima. Status ini diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja. Sering pula diberikan kepada masyarakat untuk mengelola bangunan keagamaan. Status sima ditetapkan pada sebidang tanah sawah atau kebun atas perintah raja atau pejabat tinggi, yakni seorang bergelar rakai atau pamgat. Jika sudah berstatus sima , petugas pajak dilarang melakukan kegiatan di wilayah itu. Sejak itu pertanggungjawaban penduduk berubah. Itulah mengapa penetapan tanah menjadi sima merupakan peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno. "Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja atau rakai, setelah tanahnya ditetapkan menjadi sima maka mereka bertanggungjawab kepada kepala sima, "tulis Timbul. Ritual Persumpahan yang Utama Ritual persumpahan menjadi bagian terpenting dalam upacara penetapan sima . Bermacam sajian disiapkan, di antaranya kepala kerbau, seekor ayam jantan, sebutir telur, air, jarum, pemotong kuku dandang, seperangkat alat untuk makan dan minum, dan peralatan untuk membuka tanah dan persawahan. Ahli epigrafi, Boechari menjelaskan seperangkat alat untuk makan dan minum yang disebutkan di antara sesaji itu masih belum jelas benar fungsinya. Mungkin hanya diisi dengan makanan dan minuman yang disajikan kepada dewa. Sementara hadirin tidak menggunakannya sewaktu makan minum bersama. "Yang jelas ialah bahwa waktu makan mereka menggunakan daun," tulis Boechari dalam "Epigrafi dan Sejarah Indonesia" ter muat di Melacak Sekarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Pun fungsi kepala kerbau hanya dapat dikira-kira berdasarkan kebiasaan masyarakat sekarang. Kepala kerbau ditanam di suatu tempat di dalam tanah yang ditetapkan sebagai sima . "Di dalam beberapa prasasti, di antaranya Prasasti Mantyasih, dikatakan juga kalau semua sesaji itu bisa dibayar dengan emas ( inmas )," tulis Boechari. Perlengkapan utama dalam ritual penetapan sima adalah sang hyang watu teas dan sang hyang kulumpang. MenurutTimbul, sang hyang watu teas atau sang hyang watu sima adalah batu yang kemungkinan berbentuk lingga. Pemimpin upacara bergelar sang (pamgat) makudur menanam dan menempatkan batu itu di tengah tempat upacara ( witana ). "Sampai sekarang telah ditemukan beberapa batu lingga semu yang bertulis," tulis Timbul . Sementara itu, sang hyang kulumpang adalah batu lumpang yang kemungkinan besar berbentuk yoni. Sang hyang watu sima dan sang hyang watu kulumpang memiliki fungsi utama dan sakral. Keduanya menjadi pusat proses upacara. Setelah upacara, hadirin menyembah sang hyang watu sima. Setelah ritual utama selesai, hadirin makan dan minum bersama. Sajian dalam selamatan itu sering disebutkan dalam prasasti. "Ada dendeng celeng, berbagai macam nasi; ada yang masih bisa diidentifikasikan, ada yang sudah tidak tahu. Ada nasi hunung , apakah itu tumpeng? Ikan asin ( greh ), sayur-sayuran, mereka juga minum tuak," kata Mimi Savitri, arkeolog UGM. Usai makan dan minum bersama, sang makudur mulai mengucapkan kutukannya. Kutukan ( sapatha ) disampaikan bagi orang-orang yang mengubah ketentuan prasasti. Menurut Boechari, sang makudur meminta bantuan kepada dewa-dewa dan makhluk halus yang menghuni berbagai tempat. Seperti dalam Prasasti Mantyasih (907) disebutkan nama-nama raja Mataram Kuno yang memerintah sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911). Semua raja yang telah meninggal itu masuk dalam deretan dewa yang dimintai bantuan oleh sang makudur. "Keterangan itu menunjukkan bahwa nenek moyang kita masih berpegang teguh kepada pemujaan arwah nenek moyang," tulis Boechari. Sebagai penutup upacara sekaligus bukti penetapan sima telah dikukuhkan, hadirin "menambah daun masing-masing". "Mungkin yang dimaksud dengan ungkapan itu adalah hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan-hidangan yang disuguhkan untuk dibawa pulang atau dalam bahasa Jawa, mbrekat, " tulis Boechari.
- Robohnya Patung Edward Colston Si Tokoh Perbudakan dan Rasisme
KEMATIAN George Floyd (46) di Minneapolis, Amerika Serikat pada 25 Mei 2020 memantik badai demonstrasi di berbagai belahan dunia. Sejumlah simbol rasisme jadi sasaran, salah satunya patung Edward Colston di Bristol, Inggris. Rasisme bukan barang baru di bumi sisi Barat, utamanya Amerika. Kematian George Floyd, seorang Afro-Amerika, akibat kekerasan oleh sejumlah polisi Minneapolis memicu bara rasisme yang telah lama terpendam. Ia meledak lewat gerakan demonstrasi bertajuk “Black Lives Matter”. Di Inggris, yang banyak warganya berkulit hitam, kematian Floyd memicu unjuk rasa di kota Bristol pada 7 Juni 2020. Para demonstran menyasar patung tokoh rasis dan saudagar perbudakan abad ke-17, Edward Colston. Menukil The New York Times , Selasa (9/6/2020), patung itu mulanya dikelilingi massa yang kemudian mencorat-coret badan patung berusia 125 tahun itu dan diakhiri dengan merobohkan dan menyeret patung untuk dibuang ke perairan di Pelabuhan Bristol. Aparat keamanan yang kalah jumlah dari massa demonstran tak bisa mencegahnya. Colston yang patungnya dirobohkan itu merupakan putra Bristol kelahiran 2 November 1636. Ia anak tertua saudagar besar cum Sheriff Tinggi kota Bristol William Colston. Baca juga: Rasis Tak Kunjung Habis Patung Edward Colston dirobohkan dan dibuang ke laut oleh pendemo George Floyd (Foto: brh.org.uk/Twitter @HackneyAbbott) Edward mewarisi bakat bisnis dari ayahnya. Ia memulainya di perusahaan niaga Mercers Company. Dari perusahaan itu, mengutip Matthew Parker dalam The Sugar Barons: Family, Corruption, Empire and War in the West Indies , ia meluaskan jejaring bisnis dengan para saudagar lain yang punya komoditas kain, minyak, buah dan minuman anggur, serta gula. Pada 1680 ia sudah menjadi anggota Royal African Company, sebuah perusahaan niaga yang didirikan Raja Charles II dan adiknya, Duke of York. “Perusahaan itu memonopoli perdagangan di sepanjang pesisir barat Afrika terkait emas, perak, gading, dan perbudakan. Perusahaan itu berkembang pesat sejak Colston mendaki jabatan di dewan perusahaan, hingga menjadi wakil gubernurnya pada 1689 dan 1690,” sebut Parker. “Komoditas” terakhir di atas itulah yang paling mendongkrak keuntungan perusahaan di bawah Colston. Tanpa mempedulikan penderitaan mereka, pada 1680-1692 saja perusahaan itu mengangkut sekira 84 ribu budak baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak yang diperdagangkan dari Afrika Barat untuk keperluan para saudagar pemilik perkebunan tembakau dan gula di Karibia dan Amerika Utara. Banyak dari budak itu tak bisa sampai di tempat tujuan karena mati kelaparan atau terpapar penyakit akibat mereka dikungkung di lambung kapal terbawah dengan kondisi buruk. Disebutkan Parker, dalam kurun 1680-1692, ada 19 ribu dari 84 ribu budak yang diangkut Royal African Company tewas di perjalanan dan pastinya jasad mereka dibuang ke laut. Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda Kondisi memprihatinkan kapal-kapal pengangkut budak milik Inggris (Foto: Library of Congress) Colston baru pensiun dari bisnis perdagangan budak itu pada 1708. Di kota kelahirannya, ia “mendarmabaktikan” diri di Society of Merchant Venturers, sebuah organisasi amal di Bristol. Dua tahun berselang Colston turut terjun ke dunia politik sebagai anggota parlemen kerajaan dari faksi Tory. David Hughson dalam London: Being An Accurate History and Description of the British Metropolis and Its Neighbourhood mengungkapkan, Colston menghabiskan sisa umurnya sebagai seorang dermawan selain berpolitik. Ia mendirikan Colstons Alm s houses atau rumah singgah untuk tunawisma dan fakir miskin di Bristol. Ia juga jadi donatur tetap Queen Elizabeth’s Hospital dan mendirikan pula Colston’s Hospital. “Colston seorang dermawan besar untuk kota Bristol, di mana sepanjang hidupnya, menyumbangkan lebih dari 17 ribu pounds. Ia dihormati berbagai pihak karena selain menyumbang untuk sosial, ia juga donatur terpandang sejumlah gereja di Bristol,” tulis Hughson. Diabadikan dengan Patung Hingga akhir abad ke-19, sosok Colston tetap dikenang sebagai saudagar kaya yang luar biasa dermawan, utamanya untuk kota Bristol. Untuk menghormatinya, pada 1893 atau 176 tahun setelah ia wafat pada 1721, presiden organisasi amal Anchor Society, James Arrowsmith, mengusulkan figurnya diabadikan dalam bentuk patung. Sebagaimana disitat dari laman National Heritage List for England, pembuatan patung itu memakan dana hingga seribu pounds, yang berasal dari penggalangan dana yang digulirkan Arrowsmith setahun berselang. Pengerjaan patungnya dipercayakan pada pematung kelahiran Irlandia, John Cassidy. Cassidy membuat patung setinggi 18 kaki atau sekitar 5,5 meter di atas sebuah tugu batu Portland itu dari perunggu. Di setiap sudut tugunya dihiasi patung lumba-lumba dan plakat dengan ukiran bergaya art nouveau yang menggambarkan kisah hidup Colston sebagai pelaut dan saudagar. Sosok Edward Colston, saudagar yang kaya dari memeras darah budak kulit hitam (Foto: Bristol City Council) Patung itu lantas ditempatkan di Colston Avenue dan diresmikan pada 13 November 1895. Peresmiannya dihadiri walikota, uskup kota Bristol, serta para alumni Colston’s School. Dalam peresmian itu sekaligus diumumkan bahwa hari peresmian itu ditetapkan sebagai “Colston Day”. “Satu lagi plakat yang ditempatkan di sisi selatan terukir tulisan berbunyi: ‘Didirikan oleh warga Bristol sebagai peringatan atas putra asli Bristol yang bijaksana dan berbudi luhur,’ di samping juga terukir nama pematungnya,” demikian bunyi tulisan di plakat tersebut. Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani Namun, reputasi Colston sebagai tokoh dermawan akhirnya terbuka topengnya hingga melahirkan kontroversi. Pada 1920, John Henry Wilkins dalam risetnya yang dibukukan, Edward Colston: 1636-1721, A Chronological Account of His Life and Work, membongkar borok Colston bahwa warga kota Bristol selama ratusan tahun tidak tahu kedermawanan Colston berasal dari kekayaannya yang bermula dari perdagangan budak. “Kita tidak bisa menggambarkan sosoknya dengan obyektif, kecuali dengan melihat latarbelakang historisnya. Walau memang keterlibatan Colston dalam perdagangan budak terjadi lama sebelum pergerakan abolisi pada 1807. Keterlibatannya dalam bisnis itu berlangsung ketika perbudakan masih dimaklumi di Inggris dan seantero Eropa, termasuk oleh golongan terpelajar maupun gereja,” tulis Wilkins. Patung Edward Colston karya John Cassidy saat belum lama diresmikan pada 1895 (Foto: Bristol Archives) Kontroversi sosok Colston itu namun tetap tak menggoyahkan posisi patung tersebut yang masih gagah berdiri di lokasinya hingga 2013. Di tahun inilah Walikota Bristol George Ferguson mengungkit isu sensitif itu lagi. Setahun kemudian, suratkabar Bristol Post melakukan polling terhadap 1.100 responden. Hasilnya, 56 persen menghendaki patungnya tetap berdiri, hanya 44 persen yang ingin mengenyahkannya. Keberadaan patung itu tetap “membelah” warga kota Bristol hingga pada 7 Juni 2020 ketika patung tersebut diturunkan paksa dan dibuang oleh demonstran “Black Lives Matter” ke perairan Bristol. Kini pengabadian sosok Colston yang tersisa hanya berupa beberapa institusi yang menyandang namanya. Antara lain, Colstons Almshouses, Colston Tower, Colston Hall, Colston Avenue, Colston Street, dan Colston’s Girls’ School. Hingga kini isu penggantian nama institusi tersebut masih jadi pertimbangan dewan kota dan walikota Bristol. Baca juga: Perbudakan di Nusantara
- Misteri Kematian Kahar Muzakkar
Jakarta, pertengahan 1980-an. Malam sebentar lagi akan mencapai puncaknya, saat telepon berdering di rumah Anhar Gonggong. Begitu diangkat, seseorang di seberang telepon meminta bicara langsung dengan sejarawan ternama itu. Dialek Bugis sangat kental terasa dalam nada bicaranya. “Andi Anhar?” “Ya saya sendiri,” jawab Anhar. “Kau mau bertemu dengan Pak Kahar Muzakkar?” “Buat apa? Dia sudah meninggal,” Tut tut tut. Tetiba telepon pun terputus. Bagi Anhar Gonggong, wajar jika masih ada orang-orang yang meyakini Kahar Muzakkar masih hidup. Sebagai tokoh kharismatik dan berpengaruh di wilayah Sulawesi, tak sedikit para pengagumnya yang “tetap menginginkannya” hidup. “Padahal saya meneliti kehidupan Kahar itu cukup lama sekali dan semua orang yang saya wawancarai termasuk keluarganya sudah meyakini bahwa Kahar Muzakkar sudah meninggal,” ujar Anhar. Baca juga: Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar Anhar benar. Sejarah Indonesia hingga kini memang menuliskan bahwa Kahar Muzakkar sudah tamat hidupnya sejak 2 Februari 1965. Saat itu Peleton I Kompi D Yon 330/Kujang I pimpinan Peltu Umar Sumarsana berhasil mengidentifikasi posisi persembunyian pasukan DI/TII pimpinan Kahar di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Kehadiran Kahar dipastikan, dengan terdengarnya alunan lagu pop Malaysia “Terkenang Masa Nan Lalu” dari sebuah radio transistor di salah satu dari 8 gubuk milik pemberontak yang berada tepat dekat sungai. “Sebelum peleton berangkat, memang telah diberi penjelasan bahwa satu-satunya radio yang ada di hutan itu adalah milik Kahar Muzakkar,” ungkap buku Siliwangi dari Masa ke Masa Edisi ke-3 karya Dinas Sejarah Kodam Siliwangi. Saat penyerbuan dadakan, Kahar sendiri muncul dari gubuk no.5 untuk melarikan diri. Menyaksikan itu, Kopral Dua Ili Sadeli yang tadinya akan meringkus hidup-hidup Kahar, akhirnya membatalkan niatnya saat melihat buruannya itu tengah menggenggam sebuah granat tangan. “Tanpa mau ambil resiko, Kopda Ili langsung melepaskan tembakan-tembakan ke arah dada Kahar Muzakkar hingga menyebabkannya tewas seketika,” demikian menurut Siliwangi dari Masa ke Masa . Baca juga: Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam Jasad Kahar kemudian dibawa ke Makassar. Beraneka macam respon dari masyarakat Sulawesi Selatan termasuk yang tidak mempercayai bahwa jasad yang berpetimati itu adalah Kahar Muzakkar. Menurut sejarawan Universitas Hassanuddin, A.Suriadi Mappangara, ketidakyakinan itu sejatinya wajar-wajar saja. Beberapa waktu sebelum Insiden Sungai Lasolo, Kahar pernah menyampaikan pesan kepada orang-orang terdekatnya bahwa dia akan pergi jauh. “Jadi dia pernah bilang: jangan cari saya…” ujar Mappangara. Hingga kini, kata Mappangara, masih banyak orang Sulawesi Selatan yang tak meyakini bahwa orang yang ditembak Kopda Ili di tepi Sungai Lasolo itu adalah Kahar Muzakkar. Salah satu sebabnya: ketidakjelasan makam Kahar hingga kini. Baca juga: Pemberontakan Kahar Muzakkar “Orang-orang bertanya-tanya jika memang dia sudah meninggal di mana makamnya. Terlebih beberapa waktu lalu pernah beredar isu bahwa Kahar masih hidup dan kini tinggal di Filipina Selatan,” kata Mappangara. Tentu saja pihak Kodam Siliwangi sangat menyangkal anggapan itu. Kopda Ili Sadeli sendiri meyakini bahwa orang yang ditembaknya adalah Kahar setelah mengaku telah puluhan kali meneliti foto Kahar yang dibekalkan oleh atasannya kepada setiap anggota Peleton I. “Saya sependapat dengan Pak Ili, kepada saya, Ibu Corrie Von Stenus juga mengakui bahwa yang tertembak di Sungai Lasolo itu ya suaminya,” ungkap Anhar Gonggong. Baca juga: Operasi Penyelamatan Seorang Pastor dari Kahar Muzakkar Kematian Kahar sempat menjadi berita yang mengegerkan di jagad media Indonesia. TVRI yang saat itu mengirimkan Hendro Subroto, salah satu watawan perang andalannya, menyiarkan secara eksklusif proses evakuasi jasad Kahar dari tepi Sungai Lasolo ke Makassar. Termasuk penayangan secara dekat jasad Kahar Muzakkar. Dalam memoir-nya, Perjalanan Seorang Wartawan Perang , Hendro Subroto pernah mendapat cerita langsung dari Brigjen. M. Yusuf. Ketika Panglima Operasi Kilat itu menyampaikan laporan kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Si Bung Besar yang pernah dekat secara pribadi dengan Kahar, menyatakan tak ragu lagi bahwa orang yang ditembak Siliwangi itu adalah Kahar Muzakkar. “Ya tak salah lagi. Saya tahu pasti, itu Kahar. Saya melihat jenazahnya di siaran TVRI,” ujar Sukarno.
- Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak remaja dikenal haus akan ilmu pengetahuan. Buku bacaannya begitu banyak, tidak hanya soal teologi tetapi juga filsafat, politik, hingga tema ideologi. Berhasil menamatkan sekolahnya, Gus Dur merasa masih banyak hal yang tidak ia ketahui. Dia pun segera merencanakan studi lanjutan, tidak di dalam negeri melainkan di luar negeri. Memulai Petualangan Petualangan Gus Dur di luar negeri dimulai pada 1962. Tertulis di dalam buku Leadership Secrets of Gus Dur and Gus Miek karya M.N. Ibad, dirinya berhasil memperoleh beasiswa dari Kementerian Agama RI untuk studi di Kairo, Mesir. Gus Dur memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar sebanyak mungkin nilai-nilai keislaman modern dari para tokoh cendekiawan Muslim Mesir. Seperti diketahui pada tahun-tahun tersebut Mesir sedang mengalami perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, utamanya di bidang pendidikan Islam modern. Salah satu alasan Gus Dur mengambil kesempatan bersekolah di Mesir adalah dia berusaha mencari jawaban atas kondisi keislaman di Republik yang kian mengkhawatirkan. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid menyebut Gus Dur begitu gelisah ketika melihat ada banyak persoalan yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Kemiskinan, penindasan, dan ketidakadlian selalu menghiasi kehidupan kaum muslimin di sini. Saat berlabuh di Kairo, dia berharap menemukan jawaban yang tepat atas kegetirannya. Baca juga: Gus Dur dan Buku “Meskipun pada awalnya Gus Dur sangat bersemangat dengan studinya di Al-Azhar, namun ia kemudian merasa sangat kecewa oleh karena masa keemasan Al-Azhar telah mencapai puncaknya beberapa dasawarsa sebelumnya,” tulis Barton. Kekecewaan lain dirasakan Gus Dur ketika pihak universitas menyuruhnya mengikuti kelas bahasa Arab untuk mereka yang benar-benar pemula. Dia dianggap tidak cukup mengetahui pengetahuan tentang bahasa tersebut. Gus Dur, kata Barton, sebenarnya mahir berbahasa Arab. Semasa bersekolah di Jombang, Jawa Timur, dia telah lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pelajaran lain yang memerlukan pengetahuan bahasa Arab sangat baik. Sayangnya tidak ada ijazah yang menunjukkan bahwa dia telah lulus kelas bahasa Arab ketika di Jombang. Sebagai raksi penolakan, Gus Dur memilih tidak mengikuti kelas tersebut. Itu berarti sepanjang tahun 1964 dia tidak mengikuti studi formal apapun. Gus Dur kemudian menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan-perpustakaan besar, menonton film-film Prancis, mengikuti diskusi-diskusi, serta menonton banyak pertandingan sepakbola di Kairo. “Walaupun kecewa dengan sistem pendidikan di Al-Azhar sebagai institusi, tetapi Abdurrahman Wahid sangat senang dengan kehidupan kosmopolitan di kota Kairo,” tulis Syamsul Bakri dan Mudhofir Abdullah dalam Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia . Akhir 1964, Gus Dur lulus ujian bahasa Arab dengan mudah. Kepercayaan dirinya seketika muncul bahwa ia bisa melompati kelas-kelas di dalam studinya di universitas. Ketika melihat bahan pelajaran yang akan diikutinya selama program sarjana tidak beda membosankannya dengan kelas bahasa Arab, Gus Dur kembali mengulangi kegiatannya: menghindari pelajaran formal. Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur Dia merasa telah memperoleh pengetahuan yang cukup untuk studi di tahun peratama. Gus Dur yakin walau mengikuti pelajaran secara asal-asalan, di akhir tahun akademik tetap akan membuatnya lulus ujian. Namun keputusannya itu malah berujung petaka. Pihak universitas yang memberinya beasiswa tidak menyukai catatan kehadirannya. Dia juga dianggap terlalu meremehkan sistem pendidikan di Al-Azhar. Kondisi politik di Indonesia yang memburuk setelah peristiwa 30 September 1965 ikut menambah beban kehidupan studi Gus Dur di Kairo. “Seorang mahasiswa yang lebih disiplin barangkali akan bisa menciptakan suasana belajar lagi, akan tetapi Gus Dur terlambat melakukan usaha itu dan juga karena usahanya memang asal-asalan. Oleh karena itu, ia gagal lulus salah satu dari dua objek inti dan diberitahu bahwa ia harus mengulang tahun itu, dan sangat mungkin sekali tanpa menerima beasiswa,” tulis Barton. Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya di Kairo untuk membaca. Setiap harinya dia akan mengunjungi perpustakaan Universitas Amerika, perpustakaan Prancis, atau perpustakaan Universitas Kairo. Berbeda dengan di Jombang, di Kairo dia bisa membaca apa saja dan di mana saja, bahkan bisa di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Meski tidak berhasil menamatkan studinya, Gus Dur merasa di kota inilah pemikiran-pemikirannya diasah. Dia mampu mengembangkan pengetahuan pada tingkatan lebih tinggi. Berkat kebebasan yang secara relatif dimilikinya, juga penolakan atas pelajaran bahasa Arab untuk pemula, Gus Dur bisa menyerap pengetahuan sebanyak yang diinginkannya. “Oleh karena Gus Dur bisa memperoleh bermacam-macam buku baru, demikian kenangnya, ia merasa bahwa cita rasanya dalam membaca cepat meluas dengan adanya penemuan-penemuan baru,” ungkap Barton. Kehidupan Baru Menerima kegagalan di Kairo, Gus Dur tidak langsung putus asa. Dia segera mengusahakan kembali keberlangsungan studinya. Pada 1966 kabar baik itupun datang, Gus Dur mendapatkan tawaran beasiswa studi di Fakultas Seni, Universitas Baghdad, Irak. Tawaran ini menjadi kesempatan kedua Gus Dur untuk memulai segalanya dari awal. “Abdurrahman Wahid mengakui bahwa sistem pembelajaran di Universitas Baghdad dirasakan lebih dinamis dan dalam banyak hal lebih mirip dengan sistem pendidikan di universitas-universitas Eropa dibandingkan dengan Al-Azhar,” tulis Bakri dan Abdullah. Kala itu, Universitas Baghdad memiliki banyak dosen lulusan Eropa. Itulah mengapa penerapan standar Eropa mulai dirasakan Gus Dur saat pertama kali tiba di sana. Sebagai mahasiswa dia dituntut untuk berpikir kritis dan banyak membaca. Sebuah hal yang agaknya tidak terlalu sulit bagi Gus Dur. Namun di sini dia tidak bisa main-main seperti sebelumnya. Kehadiran di kelas menjadi syarat wajib mengikuti studi. Mahasiswa di sini dipantau secara ketat. Baca juga: Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur Demi menunjang studinya, setiap sore Gus Dur akan mampir ke perpustakaan universitas. Dia merasa tidak boleh lalai seperti di Kairo agar beasiswanya tetap dipertahankan. Hampir setiap hari juga akan ada tugas makalah yang dibawa pulang. Gus Dur tidak pernah menyelesaikannya di rumah, perpustakaan selalu menjadi pilihan terbaik baginya untuk belajar. Di Baghdad, Gus Dur memiliki jawal yang lebih padat daripada ketika masih di Kairo. Dia tidak bisa bebas berjalan-jelan di kota karena waktunya habis dipakai untuk studi. Meski demikian, kata Barton, Gus Dur masih menyisihkan sebagian waktunya guna menonton film-film Prancis dan membaca buku kegemarannya. Bahkan pada malam-malam tertentu, Gus Dur menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi di tepi Sungai Tigris, sambil terlibat di dalam diskusi-diskusi. “… Baghdad merupakan kota magis bagi Gus Dur dan ia pun menghabiskan waktu senggangnya guna mencari tempat-tempat baru untuk dikunjunginya,” kata Barton. Gus Dur berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Baghdad pada pertengahan 1970-an. Memakan waktu kurang lebih empat tahun untuk dia meraih gelar sarjananya. Studi yang Tertunda Keinginan Gus Dur mengenyam studi di Eropa sebenarnya ada sebelum ia memutuskan memilih Kairo. Berbagai buku karya sastrawan-sastrawan Eropa, serta tema-tema pemikiran tokoh Eropa yang dibacanya sejak masih belajar di Yogyakarta membuat keinginan terbang ke Benua Biru itu begitu meluap-luap. Selesai dengan Baghdad, Gus Dur pun kemudian pindah ke Eropa. Mula-mula dia tinggal di Belanda. Pamor Negeri Kincir Angin tersebut sebagai destinasi pendidikan menjadi pilihan utama Gus Dur. Dia melabuhkan dirinya di sana dengan harapan dapat memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana di bidang perbandingan agama. Baca juga: Gus Dur dan Keberagaman Pada bulan-bulan pertama Gus Dur lebih banyak mengumpulkan informasi terkait universitas mana yang cocok bagi studinya. Jika harus memilih, dia lebih senang melanjutkan di Universitas Leiden. Namun rasa kecewa mesti dihadapi Gus Dur. Ketika tengah mencari informasi, dia memperoleh kenyataan bahwa di Leiden dan di seluruh Eropa, studinya di Universitas Baghdad tidak memperoleh pengakuan. Jika Gus Dur tetap ingin melanjutkan studi di Eropa, beberapa universitas akan menerimanya. Tetapi mereka menetapkan prasyarat yang mengharuskannya mengulang studi tingkat sarjana. Gus Dur tidak menerima hal itu. Dia pun tidak memaksakan keinginannya dan memilih menghabiskan waktu untuk berkeliling Eropa, mempelajari banyak hal secara informal. Setelah berkelana hampir setahun, Gus Dur memutuskan kembali ke Indonesia pada pertengahan 1971. “Walaupun Gus Dur tidak memperoleh kualifikasi formal dari studinya di Eropa, namun pengelamannya di Eropa itu adalah cita-cita yang ia inginkan bertahun-tahun sebelumnya,” tulis Barton.
- Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin
“TENTANG ekonomi aku tidak mengerti apa-apa.” Itu kata-kata Sukarno kepada Prof. Jan Tinbergen dari Belanda. Tinbergen beberapa kali bertandang ke Indonesia untuk memberikan saran kepada pejabat bidang ekonomi. Suatu hari dia bertemu Sukarno saat ekonomi Indonesia terlilit inflasi pada 1960-an.
- Kyai Haji Abdul Halim
Kyai pesantren yang khatam soal masalah politik, siasat gerilya, dan tentu saja soal agama.






















