Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa
Raja Blambangan, Menak Jingga, menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Namun, ia ingin menikahi Ratu Majapahit, Kencanawungu. Sang ratu menolak dan mengirim Damarwulan untuk membunuhnya. Damarwulan berhasil membunuh Menak Jingga. Kepalanya dipersembahkan kepada ratu. Setelah mereka menikah, sang ratu mengangkat Damarwulan ke singgasana. Perang antara Menak Jingga dan Damarwulan dalam kisah Damarwulan itu mirip dengan salah satu episode kekacauan dalam sejarah Majapahit. Dalam Serat Pararaton , episode ini dicatat sebagai peristiwa paregreg. J.L.A. Brandes, filolog berkebangsaan Belanda, dalam Verslag over een Babad Balambwangan, mengasosiasikan Menak Jingga dengan Bhre Wirabhumi. Anak selir ( rabihaji) Hayam Wuruk ini tak berhak menggantikan ayahnya. Maka, ditunjuklah Kusumawarddhani dan suaminya, Wikramawarddhana, untuk naik ke singgasana. Wirabhumi diberi kekuasaan memerintah di wilayah timur kerajaan. Sementara Kusumawardhani mendapat bagian barat dan berkedudukan di pusat Majapahit. Wirabhumi tidak menerima keputusan itu. Ia menentang pemerintahan saudari tirinya dan Wikramawardhana. Serat Pararaton mengisahkan Wikramawardhana atau Bhra Hyang Wisesa dari Kadaton Kulon , akhirnya mengalahkan Kadaton Wetan. Wirabhumi melarikan diri tapi tertangkap dan kepalanya dipenggal. Meski baru dikenal pada abad ke-16 atau awal abad ke-17, yang kemudian menyebar dalam berbagai versi, riwayat Damarwulan dapat memantik pencarian awal mula keberadaan Kerajaan Blambangan di ujung timur Jawa. Kendatiinformasi tentang kerajaan ini lebih banyak tercampur dengan mitos dan legenda. Cikal Bakal Sejarawan Sri Margana dalam disertasinya, "Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813",menyebut banyak sejarawan yang yakin tak lama setelah kejatuhan Tumapel (Singhasari) dan berdirinya Majapahit pada akhir abad ke-13 (1293), kerajaan baru didirikan di sebelah timur Jawa. Kerajaan ini memakai nama Blambangan. "Pendiri kerajaan ini dan lokasi ibu kotanya yang tepat sangat sulit ditentukan," tulis Margana . Meskipun demikian, pada awal Majapahit berdiri, wilayah ujung timur Jawa punya posisi yang spesial. Ini dimulai dari janji Kertarajasa Jayawardhana kepada Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, untuk membagi dua kekuasaannya sebagaimana dikisahkan dalam Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton. P endiri Majapahit yang populer dengan nama Raden Wijaya itu membalas jasa kepada Wiraraja yang membantunya membangun Majapahit dan menumpas Jayakatwang dari Glang Glang. Janji itu baru lunas setelah pecah pertempuran dengan Rangga l awe pada 1295. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit , Wiraraja mendapat bagian kerajaan di sebelah timur, terus ke selatan sampai pantai yang memuat TigangJuru . Sejak itu, ia berdiri sendiri sebagai raja di Lamajang dan tak lagi menghadap raja. "Wiraraja kembali ke Lamajang Tigang Juru, karena janji Raden Wijaya akan membagi dua Pulau Jawa, mendapat anugerah daerah Lamajang Utara, selatan, dan Tigang Juru ," catat Pararaton. Berdasarkan perjanjian Wiraraja dan Wijaya, maka Lamajang dan TigangJuru berada di bawah pemerintahan Wiraraja. Belakangan Lamajang menjadi basis perlawanan Nambi, yang menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya , adalah putra Wiraraja. Nambi mengangkat senjata terhadap pemerintahan Jayanegara, pengganti Wijaya. Nambi dan pendukungnya ditumpas pada 1316. Setelah peristiwa Nambi, wilayah timur kerajaan kembali di bawah kendali Majapahit. Pada masa inilah diduga nama Blambangan mulai dikenal. Muncul sebuah prasasti yang diduga menyebut nama lama Blambangan. "Menyapu bersih pemberontakan di Marlambangan ," catat prasasti itu berdasarkan terjemahan Mohammad Yamin dalam Tatanegara Madjapahit Parwa II. Dalam prasasti yang diperkirakan ditulis pada masa Jayanegara itu disebutkan Marlambangan , yang diterjemahkan menjadi Blambangan, dianugerahi status sima. Alasannya karena berbakti membantu tegaknya kedudukan raja di singgasana. Sementara itu, menurut sejarawan Jember, Zainollah Ahmad dalam Tahta di Timur Jawa: Catatan Konflik dan Pergolakan pada Abad ke-13 sampai ke-16, prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan selesainya penumpasan pemberontakan Nambi. Hal itu juga diisyaratkan dalam Nagarakrtagama . Dalam perjalanan kenegaraannya pada 1359, Hayam Wuruk mengunjungi Lamajang dan beberapa daerah di timur Jawa.Selain para pejabat Patukangan(Panarukan), tiga pejabat dari Bali, Balumbun, dan Madura, juga menghadap Hayam Wuruk. Zainollah mengaitkan Balumbun sebagai Blambangan. Menurut Zainollah, wilayah Lamajang dan TigangJuru tidak berkaitan secara historis dengan berdirinya Kedaton Wetan yang cikal bakalnya pada masa Hayam Wuruk. Meskipun memang ada kesamaan wilayah kekuasaan. "Adalah penyesatan sejarah untuk mengidentikan Lamajang dan TigangJuru yang didirikan Wiraraja dengan Kedaton Wetan di bawah Bhre Wirabhumi," kata Zainollah. Wilayah TigangJuru dimaknai berbeda-beda oleh para sejarawan. Zainollah menjelaskan wilayah Lamajang adalah batas barat. Sedangkan wilayah TigangJuru adalah wilayah utara, timur, dan selatan yang berbatasan dengan Lamajang. "Jadi wilayah TigangJuru adalah wilayah yang sekarang meliputi wilayah Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi," jelas Zainollah. "Ini adalah wilayah yang akhirnya juga diklaim sebagai wilayah Kerajaan Blambangan." Sementara itu, Hasan Djafar memperkirakan wilayah Wirabhumi terletak di ujung timur Majapahit, mencakup wilayah Lamajang dan Blambangan. Lebih jauh Zainollah menyebut kekuasaan Wirabhumi meliputi Banger di Probolinggo, Panarukan di Situbondo, hingga jazirah Blambangan. Pusatnya di Lamajang. "Wilayah Wirabhumi meliputi kawasan Lamajang dan TigangJuru yang pernah ada di masa Arya Wiraraja," lanjutnya. Kerajaan Blambangan yang muncul belakangan pada era Islam dan kolonial memiliki wilayah dari Lumajang (Gunung Bromo) sampai jazirah Blambangan sebagaimana diuraikan dalam Babad Blambangan. Status Politik Blambangan Jika wilayah kekuasaan Wirabhumi dianggap sebagai cikal bakal Kerajaan Blambangan, pada awalnya ia berstatus sebagai bawahan Majapahit. Walaupun agak ambigu jika menilik sumber Tiongkok. Berita dari masa Dinasti Ming (1368-1643) mencatat pada 1403 Kaisar Ch’eng-tsu mengirim utusan ke Jawa, yaitu ke raja "bagian barat", Tu-ma-pan, juga ke raja "bagian timur", yakni Put-ling-ta-hah atau p’i-ling-da-ha. Laksaman Cheng Ho kemudian memimpin armada ke Jawa. Setahun setelah tiba, ia menyaksikan dua raja Jawa saling berperang. Kerajaan di timur kalah dan dirusak. Waktu itu utusan Tiongkok berada di kerajaan bagian timur. Arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya menyebut wilayah Wirabhumi atau yang disebut Kedaton Wetan dalam Pararaton sebagai negara daerah. Epigraf Boechari pun melihat peperangan antara Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan bukannya antara dua kerajaan yang berbeda. Dalam "A Preliminary Note on the Study of the Old-Javanese Civil Administration", termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Boecharimengatakan bahwa wilayah kekuasaan Wirabhumi adalah salah satu daerah bagian Majapahit. Hal itu berdasarkan KakawinNagarakrtagama, Prasasti Waringin Pitu (1447), dan Prasasti Trowulan III (Pertengahan abad ke-15). Mereka yang memimpin dipanggil dengan gelar Bhra ( Bhre ) atau Bhatara. Bhre Wirabhumi salah satunya. Masing-masing kepala daerah memiliki hak otonomi. "Contohnya Bhre Wirabhumi yang mendapat wilayah di ujung timur Jawa, bisa mengirim utusannya sendiri ke Tiongkok. Karenanya, catatan Tiongkok pun mengira kalau ada dua kerajaan di Jawa Timur," kata Boechari. Namun, seperti kata Zainollah, lahirnya Kedaton Wetan mengakibatkan Kerajaan Majapahit terbelah menjadi dua faksi politik. "Keluarga yang tidak puas, jelas mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dengan mendukung Kedaton Wetan," jelasnya. Selepas Wirabhumi Wirabhumi dari Kedaton Timur yang menentang Majapahit akhirnya tewas. Namun, kata Hasan Djafar, konflik keluarga itu bukannya reda. Sayangnya, bahkan Serat Pararaton tak memberi banyak petunjuk mengenai nasib Blambangan setelah kematian Bhre Wirabumi pada 1406. Sementara itu, Babad Blambangan menyebut setelah kematian Menak Jingga, Raja Brawijaya di Majapahit, menunjuk Menak Dadaliputih, anak Menak Jingga, sebagai penguasa baru Blambangan. Menurut Zainollah, ada yang menafsirkan Menak Dadaliputih adalah Bhre Pakembangan,salah satu anak Wirabhumi. Namun, Menak Dadaliputih juga dibunuh raja. Sang raja mengetahui penguasa baru Blambangan itu telah mencuri pusaka Majapahit yang terkenal, keris Kyai Semelagandring. "Menak Dadaliputih ini adalah putra Bhre Wirabhumi yang oleh raja Majapahit diberi haknya kembali, tapi kemudian tewas dalam peperangan melawan Majapahit," kata Zainollah. Kalaupun ini menjadi petunjuk, susah pula dipahami. Sang penulis babad tiba-tiba melompat menuju peristiwa yang terjadi satu setengah abad berikutnya di Blambangan. Ditambah lagi dalam salah satu bagian Babad Blambangan, yakni Babad Sembar dikisahkan versi yang sangat berbeda mengenai dinasti penguasa Blambangan. Menurut babad ini,Lembu Miruda, anak Brawijaya,adalah raja pertama Blambangan. Menurut Margana dalam disertasinya, penulis babad seolah menyatakan, setelah pembunuhan Menak Dadaliputih, penguasa Majapahit memilih untuk tidak mengangkat seorang penguasa baru di Blambangan dari dinasti Bhre Wirabumi yang pemberontak. Namun anaknya, Lembu Miruda yang ditunjuk menempati jabatan itu. "Dengan kata lain, penulis Babad Sembar melacak dinasti penguasa Blambangan hanya dari garis Raja Brawijaya yang secara genealogis bersambung dengan para penguasa Blambangan abad ke-18," tulis Margana. Dalam perkembangannya sejarah Blambangan tak pernah sepi dari konflik dan peperangan. Terutama pada abad ke-16, ketika wilayah itu berada di antara dua faksi politik yang berbeda antara Mataram Islam di barat dan Bali di timur. Di tambah lagi pada abad ke-17, kedatangan Belanda dan Inggris ikut mengadu kekuatan politik dan ekonomi di kawasan itu. Margana mengatakan Kerajaan Blambangan memiliki sejarah panjangnya sendiri. Ia telah berkembang bersamaan dengan kerajaan Hindu terbesar di Jawa, Majapahit. "Pada masa keruntuhan Majapahit abad ke-15, ia berdiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa, mengontrol bagian terbesar wilayah ujung timur Jawa," tulis Margana.
- Jejak Sikh di Indonesia
SEJAK pertengahan abad ke-19, orang-orang Sikh mulai berdiaspora ke berbagai penjuru dunia. Dari Eropa, Asia Tenggara, Australia hingga Amerika Utara, komunitas-komunitas Sikh berkembang selama era kolonial. Orang Sikh bermigrasi sebagai buruh, pasukan keamanan, petani hingga pedagang. Di Asia Tenggara, Malaya menjadi pendaratan pertama orang-orang Sikh. Mereka dibawa oleh Inggris ke tanah Melayu itu pada 1873. Tujuan awalnya untuk memerangi pemberontak Tionghoa di pertambangan timah di Perak. Menurut Darshan Singht Tatla dalam The Sikh Diaspora, The Search for Statehood , mereka kemudian direkrut dalam dinas pemerintah dan membentuk pasukan keamanan dalam kendali Inggris. Pemerintah Inggris merekrut langsung orang-orang Sikh dari Punjab. Komunitas orang Sikh di Malaya kemudian berkembang ke berbagai tempat di sepanjang Semenanjung Malaya. Dari situ, mereka kemudian bermigrasi ke tempat-tempat di Asia Tenggara lainnya hingga ke Australia dan Selandia Baru. “Dari Malaya banyak orang Sikh pindah ke wilayah tetangga, Thailand atau Sumatra, sementara orang-orang yang lebih ambisius berangkat ke Australia dan Selandia Baru,” sebut Darshan. Sementara itu, orang-orang India juga dibawa oleh Belanda sebagai buruh kontrak di perkebunan yang berlokasi di sekitar Medan, Sumatra Utara pada abad ke 19. Mereka berasal dari India selatan maupun utara dengan latar belakang agama Hindu, muslim, dan Sikh. Senada dengan Darshan, Swarn Singh Kahlon dalam Sikhs in Asia Pasific, Travel among the Sikh Diaspora from Yangon to Kobe menyebut permukiman Sikh telah ada di Sumatra dari sekitar tahun 1898 setelah orang-orang Sikh direkrut sebagai pasukan keamanan wilayah Malaya. “Asal usul Sikh Sumatra bukan sebagai orang yang direkrut di kepolisian seperti halnya di negara-negara tetangga, tetapi lebih sebagai kawanan petani dan pengusaha kecil,” tulis Swarn. Pada akhir abad ke-19 cabang De Javasche Bank dibuka di Medan dan mata uang Belanda mulai diperkenalkan. Orang-orang Sikh dipekerjakan sebagai penjaga keamanan pada bank tersebut. Populasi Sikh di Medan kemudian meningkat pada awal abad ke-20 dan mereka mendirikan kuil Sikh atau Gurdwara pada 1911. Menurut Swarn, gelombang selanjutnya datang dengan jumlah yang signifikan pada 1920-an. Seperti sebelumnya, kebanyakan menetap di sekitar Medan. Sebagian besar bekerja sebagai petani atau memiliki usaha produk susu. Pada 1931, di dekat Gurdwara Medan didirikan Sekolah Bahasa Inggris Khalsa yang merupakan sekolah Bahasa Inggris pertama di Medan. Orang-orang Sikh dari Semenanjung Malaya pun mengirim anak-anak mereka ke sekolah tersebut karena memiliki fasilitas asrama. Dari Sumatra, permukiman orang Sikh kemudian muncul di Batavia. Komunitas mereka awalnya berkembang di daerah pelabuhan Tanjung Priok. Dua perusahaan Inggris, Ocean Liner dan General Motors juga membawa orang-orang Sikh sebagai penjaga. Terdapat pula orang Sikh yang bekerja sebagai penjaga toko milik sesama orang India. “Berbeda dengan orang-orang Sikh di Sumatra, yang sebagian besar datang langsung dari India, orang-orang Sikh di Batavia (Jakarta) kebanyakan berasal dari negara-negara Melayu,” tulis Swarn. Jumlah orang Sikh kemudian meningkat pada 1925. Dan pada tahun yang sama, Gurdwara Tanjung Priok didirikan. Sebelum periode Perang Dunia II, terdapat 100 orang Punjabi dari 25 keluarga di Jakarta. “Sebagian besar dari mereka adalah penjaga di malam hari dan rentenir di siang hari. Mereka juga menyimpan kereta kuda, yang mereka sewa ke orang Indonesia setempat untuk digunakan sebagai taksi setiap hari,” tulis Swarn. Di bawah pendudukan Jepang, orang India di Indonesia terbilang makmur. Namun, pasca Perang Dunia II, banyak orang Sikh dan komunitas India lainnya yang pergi ke India dan Malaya. Keamanan jadi alasannya. “Periode revolusioner pasca perang di Jakarta menyebabkan kesalahpahaman tentang peran yang dimainkan oleh orang India dan terjadi kerusuhan. Di Jakarta Barat, dua puluh lima orang India, mayoritas dari mereka Sikh, dibakar,” tulis Swarn. Pada November 1945, sebagian besar orang India pindah ke Pasar Baru untuk mencari perlindungan. Di Pasar Baru mereka mempertahan komunitas dan kemudian mendirikan Yayasan Sikh Gurdwara Mission pada 1955 yang masih aktif hingga kini. Menurut data Swarn, per 2017, ada sekitar 7.000 orang Sikh di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, Surabaya, Bandung, Jakarta, Semarang, Bengkulu, Pekanbaru, Yogyakarta, Samarinda, Balikpapan hingga Batam. Sebagian besar orang Sikh menetap di Sumatra Utara di mana mereka telah tinggal selama empat genesai. Ada sekitar 4.000 Sikh yang tersebar dari Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Kaban Jahe, Kisaran, Siantar hingga Belawan. Salah satu tokoh Sikh Indonesia ialah Gurnam Singh, seorang atlet. Ia memenangkan tiga medali emas di Asian Games 1962 pada cabang atletik. Sementara itu, 16 Spetember 2019, Indonesia kehilangan Harbinderjit Singh Dillon atau H.S. Dillon, salah satu tokoh Sikh terkemuka. H.S. Dillon merupakan pegiat hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, sosial ekonomi hingga pertanian. Pada 2007, ia menerima penghargaan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pada 2015 ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Joko Widodo. Ia menikah dengan Drupadi S. Harnopidjati, seorang muslim.*
- Badilah si Perintis Aisyiyah
SUATU siang di masa pendudukan Jepang. Badilah Zuber, Ketua Aisyiyah, sedang di sekolahnya ketika segerombolan Kempeitai mendatanginya. Sekonyong-konyong mereka mengajukan pertanyaan. “Apakah Nyonya menjadi ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah?” “Saya menjadi ketua karena saya yang paling tua di antara mereka,” jawab Badilah. “Hasil Nyonya menjadi guru itu cukup atau Nyonya mempunyai kekayaan?” “Kami orang dituntun untuk memohon kepada Tuhan agar diberi kecukupan hidup,” kata Badilah. Itu merupakan kali kedua Kempeitai mendatangi Badilah. Sebagai pemimpin organisasi perempuan Islam Aisyiyah, beberapakali ia dipanggil untuk diinterogasi. Jepang mengawasi gerakan perempuan dengan amat ketat. Semua naskah pidatonya diperiksa sebelum dibacakan kepada khalayak. Suatu kali, Badilah dilarang berpidato oleh tantara Jepang lantaran di naskahnya memuat perbandingan perang yang dilakukan Nabi Muhammad dan Napoleon Bonaparte. Bagi badan sensor Jepang, seperti ditulis Sri Sutjiatiningsih dkk. dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional , pidato Badilah dianggap mengejek pemerintah Jepang. Badilah Zuber. Badilah Zuber dikenal sebagai tokoh pendiri Aisyiyah. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Mei 1903 dari keluarga Muslim taat. Dia tumbuh di Kauman, Yogyakarta. Dari lingkungan sekitarnya ia melihat bahwa kedudukan perempuan masih sangat rendah di masyarakat. “Bahkan beberapa ulama pun berpendirian demikian. Dengan alasan, agama mereka berpendirian bahwa kaum perempuan tidak diperkenankan belajar dan menulis,” kata Badilah dalam memoarnya di buku Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Badilah, yang dididik ayah-ibunya untuk punya keberanian dalam bertindak, melihat pendirian para ulama tersebut sebagai hal yang ganjil. Padahal, menurut Badilah, surat pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad memiliki pesan pemberantasan buta huruf dan mencari ilmu pengetahuan. Ketika Kiai Achmad Dahlan mendirikan sekolah dasar untuk semua anak, lelaki maupun perempuan, orang tuanya amat senang dan memasukkan Badilah ke sekolah itu. Badilah bersama Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Hayinah merupakan kader generasi kedua Nyai dan Kyai Ahmad Dahlan. Achmad Dahlan sendiri mengajar pelajaran agama di sekolah yang bentuknya amat sederhana. Murid-murid duduk di atas tikar. Sebagai pengganti meja, mereka menggunakan kotak minyak tanah bekas. Para pengusaha batik di Yogyakarta amat senang dengan pembukaan sekolah ini. Mereka tak segan membobol celengan untuk disumbangkan ke sekolah Achmad Dahlan. “Bukan main gembiranya orang-orang tua itu, termasuk ibu-bapakku, sesudah mereka dapat membaca dan menulis huruf Arab, Jawa, dan Latin. Namun menurut Badilah, ada kondisi yang masih menyudutkan perempuan, terutama dalam kedudukan-kedudukan dan hak sehari-harinya. Salah satu yang membuat Badilah geli ialah pemikiran bahwa perempuan tak lebih Swarga nunut neraka katut ( ke surga hanya membonceng, ke neraka pasti terbawa). Ia keheranan kenapa paham semacam ini diterima banyak orang. Selain menajdi murid Achmad Dahlan, Badilah juga bersekolah di Meisjes Niutrale School, setingkat HIS. Ia senang bisa belajar di sana, bergaul dengan teman yang berbeda latar belakang dan menemukan kontradiksi kehidupan dalam kegiatan sekolahnya. Misalnya, ketika ia terjebak dalam situasi harus menyanyikan “ Hier duldt de grond geen dwingelandij, waar vrijheid eeuwen stond.” Artinya kurang lebih, di sini tanahnya tidak mengizinkan paksaan, di tempat ini kemerdekaan sudah berabad-abad lamanya. Menyanyikannya saja sudah membuat Badilah merasa ngeri sebab faktanya, kondisi Indonesia kala itu berada di bawah penjajahan Belanda. Paksaan, pemerasan, dan penyiksaan pada kaum pribumi amat terang di depan mata. “Sungguh pertentangan batin yang amat sangat bagi diriku,” katanya. Ia amat bersyukur ayahnya memasukannya ke sekolah itu. Baginya, ilmu-ilmu Al-Quran yang sudah dia pelajari sebelumnya amat berhubungan dengan ilmu bumi, sejarah, dan biologi. Bagi Badilah, belajar sejarah membuatnya memahami kekejaman panjajah dan menumbuhkan keinginan agar bangsanya lekas merdeka. Setelah lulus, Badilah melanjutkan ke MULO pada 1918. Guru-gurunya semua orang Belanda. Mereka bersikap baik dana adil baik pada murih berkulit sawo matang atau kulit putih. Badilah pernah mengalami peristiwa yang amat berkesan, yakni ketika seorang teman sekelasnya yang pribumi kehabisan buku tulis namun takut meminta buku tulis baru yang memang disediakan sekolah. Guru yang mengetahui ini lantas berkata, “Makanya kalian kehilangan segala-galanya karena kalian tidak berani mempertahankan hak-hak kalian.” Dari guru itulah Badilah belajar bahwa setiap orang harus mempertahankan haknya. Badilah juga dikenal sebagai murid pemberani. Dia pernah menanyakan soal nilainya yang jelek, padahal dia merasa sudah belajar dengan amat tekun. Setelah ditelusuri, rupanya sang guru melakukan kesalahan dalam penulisan nilai raport. Badilah lalu bergabung dengan Jong Java, organisasi yang menumbuhkan semangat anti-penjajahan. Bertemu dengan banyak pemuda yang semangat menolak penjajahan, Badilah makin yakin melaksanakan tugas agama dengan sebaik-baiknya berarti menunjang kepentingan bersama dan bangsa. Membela kemerdekaan bangsa sejalan dengan perintah agama. Keaktifannya dalam forum yang didirikan Achmad Dahlan tak berkurang meski ia menempuh pendidikan Barat dan berkegiatan di Jong Java. Pada 1917, Badilah jadi salah satu perempuan yang memprakarsai pendirian Aisyiyah. Ia hadir sebagai penulis. Pendirian Aisyiyah sebenarnya tak lepas dari keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam agar tak disalahpahami. Ide ini kemudian disampaikan pada Haji Mochtar, salah satu pendiri PB Muhammadiyah. “Kumpulkan teman-temanmu,” kata Mochtar menyetujui ide Badilah. Nama Badilah juga tercatat sebagai anggota redaksi pertama Majalah Soeara Aisjijah yang terbit perdana pada 1926. Baginya, ini merupakan kesempatan untuk melatih diri untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisannya sering dijadikan rujukan oleh pengurus-pengurus Aisyiyah di daerah. Namun rupanya pemerintah Belanda tak menyukai hal ini. Ia mendapat peringatan untuk berhati-hati dalam menulis. Badilah sering dikirim oleh Achmad Dahlan untuk mengisi pengajian di kalangan umum terpelajar, seperti ke Kweekschool di Yogyakarta maupun luar kota. Ia juga mengajar di sekolah Schackel Muhamamdiyah sembari terjun langsung dalam pemberantasan buta huruf bagi remaja putri dan ibu-ibu. Di kelasnya ia gemar menceritakan sejarah dari perspektif orang pribumi bahwa Diponegoro yang dibenci Belanda merupakan pemimpin yang bijaksana. Dan bagaimana Belanda sering menjebak para pemimin bangsa dengan janji berunding namun pada akhirnya ditangkap. Menurut Dyah Siti Nuraini dalam tesisnya “Corak Pemikiran Dan Gerakan Dakwah Aisyiyah Pada Periode Awal (1917-1945)”, Badilah terpilih sebagai pemimpin Aisyiyah pada 1938. Semasa kepemimpinannya yang singkat (hanya setahun), Badilah berupaya memperluas jaringan Aisyiyah dengan organisasi perempuan lain dengan bergabung ke Kongres Perempuan Indonesia II pada 1938. Berkat keaktifannya pula, cabang-cabang Aisyiyah dibuka di daerah-daerah dan luar Jawa. Badilah kembali terpilih sebagai ketua Aisyiyah pada kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Jabatan ini bertahan hingga 1943. Pada kongres ke 31, Badilah kembali terpilih dan memimpin Aisyiyah pada 1951-1953.
- Sepakbola, Puasa, dan Corona
PUASA Ramadhan tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Buat para penggila bola, puasa kali ini “kering” sajian sepakbola karena pandemi viruscorona masih berjangkit di mana-mana. Padahal sebelumnya, sepakbola acap jadi teman makan sahur. Tetapi, belum lama ini sejumlah liga top Eropa musim 2019/2020 dikabarkan bakal dilanjutkan. Sementara, Eredivisie (Liga Belanda) diakhiri tanpa juara dan Ligue 1 (Prancis) dihentikan total dengan “menghadiahi” Paris Saint-Germain (PSG) sebagai juaranya. Adapun Liga Champions belum dirilis keputusannya oleh UEFA. Kalaupun bakal dilanjutkan lagi, empat liga top Eropa bakal menerapkan prosedur kesehatan luar biasa ketat. Yang paling signifikan, laga-laga bakal dilakoni tanpa penonton. Lantas, bagaimana dengan Liga 1 Indonesia? “Kalau pertandingan tidak boleh ada penonton, seperti ada yang hilang dari sepakbola. Karena dalam sepakbola tidak hanya ada permainan dan taktik. Ada juga antusiasme suporter berupa nyanyian penambah motivasi, dan itu yang bikin sepakbola itu menarik,” ujar Yeyen Tumena, eks bek timnas Indonesia, dalam obrolan live “Bolatoria” bersama jurnalis olahraga Kukuh Wahyudi dan dipandu host Ari Putra Prima, Jumat (15/5/2020). Dalam live di Youtube dan Facebook yang dihelat Historia bersama Bolalob.com itu Yeyen menambahkan, “Kalau kompetisi di Indonesia, menurut saya, kita harus menghitung ulang plus-minusnya. Mungkin klub banyak berpikir, ya sudah stop untuk fokus kesehatan dll. Kalau memang belum ada izin keramaian, misalnya dari pemerintah karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berjalan, sulit kita lanjutkan. Tapi harus ada solusi terhadap para pelaku sepakbola yang hidup dari sepakbolanya juga,” imbuh jebolan timnas Primavera I (1993) yang kini menjabat Ketua Asosiasi Pelatih Sepakbola Seluruh Indonesia (APSSI) itu. Dilema Ibadah Puasa Pesepakbola Muslim Terlepas dari perkara pandemi corona , masih ada dilema lain yang dihadapi para pemain mengingat saat ini bulan suci Ramadan. Bagi para pemain Muslim di liga-liga top Eropa, mereka dihadapkan pada persoalan apakah mengutamakan profesionalitas atau keimanannya sebagai umat Islam yang wajib berpuasa. “Iya mungkin di negara-negara mayoritas Islam kompetisinya bisa gampang dikompromikan. Semisal pertandingannya dimundurkan jamnya setelah berbuka puasa. Tapi enggak begitu di Eropa. Nah perkara dilema ini banyak dialami pemain-pemain bintang yang Muslim, antara merelakan diri untuk tidak puasa atas nama profesionalitas atau tetap teguh berpuasa,” timpal Kukuh. Persoalan itu tentu pernah dialami Zinedine Zidane, Nicolas Anelka, Thierry Henry, Frédéric Kanouté, Kolo Touré, Éric Abidal, Karim Benzema, Mesut Özil, Paul Pogba, Mohamed Salah, dan sederet pesepakbola Muslim lain. Penyelesaian dilema tersebut lazimnya bervariatif, bergantung pada pihak klub maupun pelatih, mau memaklumi atau tetap menuntut profesionalitas si pemain. Dengan kondisi tersebut, lanjut Kukuh, semua kembali bergantung pada pribadi si pemain, apakah tetap mau berpuasa di tengah padatnya jadwal latihan dan pertandingan atau memilih tak puasa dan membayar utang puasa ketika kompetisi tengah libur. “Ada juga kasusnya Anelka yang mualaf sejak 2004. Di musim berikutya, 2005, dia memilih pindah ke Fenerbahçe di Turki dari Manchester City. Karena di Turki yang mayoritas Muslim, dia bisa lebih disiplin menjalani ibadahnya,” tutur Kukuh. Para pesepakbola muslim yang kadang dilematis menyikapi bulan puasa di tengah kompetisi, ki-ka: Zinedine Zidane, Nicolas Anelka, Mesut Ozil, & Paul Pogba (Foto: uefa.com/arsenal.com ) Sebelum dekade 2000-an, operator liga-liga Eropa belum menjadikan bulan puasa sebagai isu penting. Sebab, kecuali kompetisi di Prancis yang banyak imigran Afrika Utara dan negara-negara Eropa Timur, di era itu belum banyak pemain Muslim yang berkiprah terutama di liga-liga top Eropa Barat. Di Jerman, misalnya, pemain Muslim baru ada seorang pada 1967, yakni Özcan Arkoç, kiper asal Turki yang membela Hamburg SV. Sedangkan di Inggris kala kompetisi profesional Premier League memasuki debutnya pada 1992, baru ada Mohamed Alí ‘Nayim’ Amar, gelandang kelahiran Spanyol yang direkrut Tottenham Hotspur, sebagai pemain Muslim. Seiring makin banyak pemain Muslim di liga-liga top Eropa pada akhir 1990-an, menurut Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik, dan Budaya , persoalan Ramadan mulai jadi perhatian FA (Inggris) mulai 2004. “Kepedulian FA sebagai tindak lanjut insiden terbesar atara Ramadan versus sepakbola yang terjadi di Manchester, 2003. Saat itu sebuah tim lokal remaja, Abram Moss Warrior, kena hukuman 250 pound dan reduksi nilai sebanyak sembilan poin akibat tak mau bertanding seperti biasa dengan alasan para pemainnya tengah berpuasa,” tulis Arief. Kasus Abram Moss itu jadi perhatian Dewan kota Manchester dan sempat viral di seantero negeri. Kasusnya menjadi pertanyaan, mengapa FA memberi sanksi lebih berat ketimbang kasus-kasus yang lebih parah di level Premier League semisal kasus tawuran 22 pemain Arsenal kontra Manchester United di Old Trafford pada 1990. Middlesbrough yang pernah absen dalam liga pada 1996, juga sekadar dihukum pengurangan tiga poin. “Setelah (kasus) itu FA bertindak bijak. Untuk menghormati datangnya 1 Ramadan 1427 H atau 5 Oktober 2005, tiada duel Premier League pada midweek. Ketika hari raya Idul Fitri jatuh pada 3-4 November 2005, di Inggris pun tak ada jadwal kompetisi,” tambahnya. Adaptasi Tubuh Penyesuaian jadwal acap dijadikan solusi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk menyiasati kompetisi di bulan puasa. Sementara bagi pemain yang teguh berpuasa meski tanpa dimaklumi klub maupun pelatih, mesti berupaya dua kali lebih berat. Sebab, mereka harus memikirkan cara adaptasi tubuh agar tak begitu banyak mempengaruhi performa di lapangan. “Peneliti Aljazair Dr. Zerguini yang juga anggota komisi kesehatan medis FIFA sejak 1980-an menjalani studi kasus ini bersama pusat riset dan medis FIFA, F-Marc. Kesimpulan laporannya, salah besar kalau ada anggapan Ramadan membahayakan kesehatan (pesepakbola),” sambung Arief. “Dari perspektif medis, aktivitas sepakbola selama puasa memunculkan banyak hal bagi tubuh kecuali traumatology dan cardio-respiratory . Kendalanya persiapan fisik, kondisi psikis, nutrisi, metabolis, pengaturan cairan tubuh dan elektrolit serta jam biologis termasuk juga hydroelectrolytic , hypoglycaemia , dan dehidrasi. Semua fenomena ini dikenal sebagai over-compensation yang terjadi drastis sampai satu pekan pertama bulan puasa,” tambahnya. Özcan Arkoç tampil di Hamburg SV sejak 1967 (kiri) & Mohamed Alí 'Nayim' Amar di Tottenham Hotspur sebagai dua dari perintis pesepakbola muslim di Eropa Barat (Foto: hsv.de/premierleague.com ) Pada pekan kedua, tubuh sudah mulai terbiasa menyimpan cadangan tenaga hasil kombinasi puasa, latihan, dan diet karbohidrat tinggi. Di sisi lain, tubuh juga akan terasa lebih enteng lantaran sudah melewati proses detoksifikasi. Hal itu diamini Yeyen yang mengalami puasa di Italia (tim Primavera) pada 1993-1994, selain di negeri sendiri sepanjang berkarier bersama PSM Makassar , Persebaya Surabaya , Persija Jakarta , dan Persma Manado kurun 1995-2007. “Di Primavera malah pertandingannya siang, jam 2 atau jam 3 siang. Sulit untuk kita bisa bilang bahwa boleh tidak puasa karena sebagai musafir dan segala macam. Kawan-kawan sebagian besar tetap berpuasa dan itu berdampak pada penampilan langsung. Sampai manajemen, pelatih, memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa deh, kalau memang tidak mampu,” kata Yeyen mengenang. “Kalau pengalaman di Liga Indonesia ya harus bermain malam. Memang kita bermain tidak kekurangan cairan karena sudah masuk makanan saat berbuka, dan minimal harus yang masuk karbohidrat. Secara prosedur kesehatan, minimal karbohidrat yang masuk ke badan itu tiga jam sebelum pertandingan. Kalau yang masuk protein atau lemak, itu butuh waktu lebih lagi untuk tubuh kita mencerna,” tambahnya. Tetapi yang jadi PR kalau di negeri sendiri, sambung Yeyen, justru soal pola istirahat. Sebab, pertandingan dimainkan lebih malam, yakni jam 21.30 atau satu jam lebih awal daripada liga di Malaysia . “Dampaknya berubah cara hidup. Biasanya malam sudah harus istirahat, nah ini berubah jadi ke pagi. Kalau main malam biasanya selesainya 23.30, artinya kita enggak bisa langsung makan, enggak bisa langsung istirahat karena ada asam laktat dalam tubuh yang membuat kita pegal, enggak bisa tidur, enggak bisa makan, maunya minum aja,” papar Yeyen. “Kalau tidak diatasi, si pemain baru bisa tidur setelah sahur. Itu kembali pada masing-masing pemain untuk bisa menjaga fisik secara profesional. Tapi ini kan kalau menurut medis tidur malam dengan tidur pagi-siang kan berbeda. Nah, di situ yang besar pengaruhnya bagi pemain ketika ada pertandingan di bulan puasa,” sambung bek kelahiran Padang, 16 Mei 1976 itu. Yeyen Tumena berbagi pengalamannya menyoal puasa dan profesionalitas di lapangan sebagai eks bek Primavera dan timnas Indonesia (Foto: Instagram yeyen_tumena) Tetapi jika lingkungan mendukung, otoritas juga mendukung, fisik dijaga betul-betul, dan pola makan serta istirahat diperhatikan benar, bukan tidak mungkin si pemain atau sebuah tim bisa tetap berjaya di lapangan meski tengah puasa. Selain disiplin diri, faktornya adalah keteguhan iman. Hal itu bukan hanya slogan, tapi memang ada faktanya. “Contoh kasusnya juga yang menarik. Pertama, soal final sepakbola putra Asian Games 1998 di Bangkok. Yang ketemu itu Kuwait dan Iran. Sementara Kuwait memilih bersantai dan tak melakukan aktivitas fisik jelang final, tim Iran tetap giat latihan. Dua tim saat final sama-sama berpuasa, tapi akhirnya tetap Iran yang menang 2-0,” ujar Kukuh. “Pernah juga ada kasus semifinal leg kedua CAF Champions League, November 2003. Tuan rumah ES Tunis tahu para pemain tim tamu, Ismaily FC, tetap puasa dan dengan culas mengubah jadwal dari jam 21.30 ke jam dua siang. Pelatih Ismaily (Theo Bucker) sampai mengutuk siasat tuan rumah. Jadilah itu pertandingan tim yang puasa dan tidak. Hasilnya mengejutkan, Ismaily menang 3-1,” tandasnya.
- Petik Laut Pancer Kian Moncer
JALANAN dusun itu penuh umbul-umbul. Sisi kanan dan kirinya terpasang tali pembatas. Di ujung jalan yang mengarah ke laut, gapura mungil nan cantik berdiri. Spanduk membentang di bagian atap. Tulisannya “Lautku Kehidupanku”. Tak jauh dari gapura, ada tempat pelelangan ikan. Banyak orang berkumpul di sana. Tapi bukan untuk jual-beli ikan. Ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, sesepuh dusun, warga dusun, anak-anak sekolah, peserta arak-arakan, nelayan dan wisatawan. Jumlahnya seribuan lebih. Hari itu, 9 September 2019, mereka berkumpul untuk merayakan hari “Petik Laut Pancer” ke-43. Petik laut adalah ritual khas tahunan masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur. Biasanya berlangsung dalam bulan Muharam (kalender Islam) atau Sura (tanggalan Jawa). Ada serangkaian acara yang digelar dalam ritual ini. Dari bersih dusun, doa bersama, khataman, pementasan wayang kulit dan hiburan rakyat, hingga melarung sesaji. Sebelum melarung sesaji, ada prosesi menyematkan anting-anting dan pancing emas di kepala kambing yang sudah disembelih. Kepala kambing kemudian ditempatkan pada perahu kecil bersama sesaji lainnya untuk diarak menuju pinggir pantai Pancer dan dilarung ke tengah laut. Sebagai acara penutup, warga Pancer mandi bersama di laut. Air laut yang sudah dilarungi sesaji dipercaya bisa membuang sial dan memberikan keselamatan. Interaksi Budaya Pancer merupakan wilayah di pesisir selatan Banyuwangi, Jawa Timur. Jaraknya sekira 60 kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari laut. Mereka turun-temurun menjadi nelayan dan berkarib dengan laut hampir sepanjang hidupnya. Bagi mereka, laut adalah karunia dari Tuhan. Hubungan timbal baik harus dijaga. “Ritual ini merupakan cara kami dalam mensyukuri rezeki yang telah kami dapatkan sekaligus mohon do’a agar diberi keselamatan saat melaut,” kata Suwandi , ketua Panitia Petik Laut Pancer ke-43. Berdasarkan tuturan lisan, ritual Petik Laut terbentuk dari interaksi budaya orang Osing (pemukim awal), Madura, dan ajaran Islam. Percampuran ini terjadi sekira akhir abad ke-19. Saat itu usaha perkebunan swasta tumbuh di Banyuwangi. Para pemilik perkebunan mendatangkan kuli dari Ponorogo, Madiun, Bojonegoro, Jawa Tengah, Yogyakarta, Madura, Makassar, dan Mandar. Baca juga: Ikan-ikan dari Muncar “Mereka terkonsentrasi di pesisir seperti Muncar, Grajangan, Pancer, dan Bulusan,” catat Novi Anoegrajekti dkk. dalam “The Oral Tradition of Petik Laut Banyuwangi Revitalization of Tradition and Local-Global Political Space” makalah untuk The1st International Seminar on Language, Literature, and Education 2017. Kedatangan orang-orang dari beragam wilayah ke Banyuwangi memungkinkan persentuhan, pertukaran, dan percampuran kebudayaan antar mereka. Dari sini pula pandangan mereka tentang alam dan manusia ikut terbentuk. Pandangan mereka menempatkan alam sebagai sesuatu yang hidup. Alam dan manusia saling membutuhkan. Tuhan menitipkan alam kepada manusia. Hubungan keduanya mesti berjalan harmonis. Tuhan menyediakan segala sesuatu dalam alam bagi manusia untuk diolah sesuai kebutuhannya. Sebagai bentuk terimakasih kepada Tuhan, manusia memberikan sesuatu kepada alam lewat ritual Petik Laut. Perahu yang dihias dalam ritual Petik Laut Pancer tahun 2018. (Dok. Disbudpar Kabupaten Banyuwangi). Di Banyuwangi, ritual Petik Laut yang megah dilakukan nelayan di Muncar, sebuah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. hal ini bisa dipahami karena di sana terdapat pelabuhan penghasil ikan terbesar di Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagansiapiapi, Riau. Sejak lama Muncar menarik banyak orang untuk menggantungkan hidup. Jumlah nelayan di sana pun terus meningkat. Akibatnya Muncar menjadi wilayah yang padat penduduk. Banyak di antaranya hidup miskin. Maka, pemerintah menganjurkan nelayan-nelayan miskin itu pindah ke tempat yang baru. “Banyak nelayan menerima anjuran yang bijaksana itu dengan sukarela dan kemudian pemerintah mendirikan beberapa bangunan di Pancer,” tulis Sugianto dalam “Cerita Dobel B”, dimuat Warta BRI tahun 1982. Baca juga: Penghormatan dari Para Pemetik Laut Menurut Sugianto, dulu orang-orang tak suka tinggal di daerah ini, kecuali para pemburu. Sebab, daerah itu ditutupi hutan rimba. Pada 1970, untuk mencapai Pancer bukanlah hal mudah. Mesti naik kuda atau jalan kaki. Kondisi itu berubah setelah pemerintah membangun rumah-rumah, pasar, dan tempat pelelangan ikan. Pancer pun berubah menjadi dusun kecil yang masuk wilayah Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. “Pancer, daerah perikanan yang baru, telah mengundang nelayan nelayan termiskin yang tak punya harapan untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mengubah tanah terpencil itu menjadi sebuah daerah tempat tinggal yang nyaman,” tulis Sugianto. Karena umumnya berasal dari Muncar, para nelayan pun membawa ritual Petik Laut Muncar yang konon sudah dilakukan sejak 1901. Ritual Petik Laut Pancers kali pertama diadakan pada 1976, tahun yang sama dengan pembukaan Pelabuhan Perikanan Pancer. Warga bersiap menggotong gunungan dalam ritual Petik Laut Pancer tahun 2018. (Dok. Disbudpar Kabupaten Banyuwangi). Kekhasan Lokal Dalam masyarakat Pancer, alam yang paling dekat dengan mereka adalah laut. Kepada lautlah orang-orang tempatan berutang rasa. Melalui Petik Laut, utang itu ditunaikan. Semula ritual ini dilakukan oleh segelintir orang secara sederhana. Lambat-laun, ritual ini menyebar luas dan dirayakan secara meriah. Petik Laut pun menjadi ritual jamak di pesisir Banyuwangi. “Upacara Petik Laut merupakan perhelatan besar bagi masyarakat nelayan, misalnya di Muncar, Pancer, Blimbingsari,” tulis Junus Melalatoa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z . Petik Laut di Banyuwangi secara umum memiliki makna dan tujuan yang sama. Tapi itu bukan berarti Petik Laut di Banyuwangi sepenuhnya sama. Ada beberapa unsur khas dari Petik Laut suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya terkait dengan tokoh pionir dan perkembangan ritualnya. “Setiap daerah pasti memiliki kekhasan lokalnya masing-masing seperti yang ada di Pantai Pancer ini. Ini adalah bagian budaya masyarakat yang akan selalu ada,” tutur Khofifah. Baca juga: Di Balik Ritual Keboan Petik Laut terbesar di Banyuwangi terdapat di Muncar. Tokoh pionirnya bernama Sayid Yusuf. Sedangkan Petik Laut Pancer merupakan terbesar kedua. Tradisi lisan menyebut nama Mbah Sutijo sebagai pionirnya. Tapi sebagian lagi menyebut nama Pancer sebagai nelayan pertama penggelar ritual. Kedua tradisi lisan tak memaklumatkan secara pasti kapan tahunnya. Yang jelas, perkembangan Petik Laut Pancer tak lepas dari pembangunan Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer pada 1976. “Semenjak dibuka pada tahun 1976 oleh pemerintah kabupaten, keberadaan IPP Pancer mempunyai peranan vital bagi masyarakat pesisir dalam menunjang perekonomiannya,” catat Ersy Martika dalam Analisis Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP) Pancer , tesis pada Universitas Brawijaya. IPP Pancer sempat rusak oleh tsunami besar pada 1994. Begitu pula dengan sebagian besar wilayah Pancer. Korban luka dan meninggal lebih dari seratusan. Orang tempatan mengalami trauma beberapa lama. Tapi mereka kemudian bangkit dan membangun kembali IPP Pancer dan wilayahnya. Ritual Petik Laut pun digelar kembali. Malah kian meriah sehingga menjadi salah agenda wisata tahunan unggulan dalam Banyuwangi Festival.
- Kuda Lumping Gaya Banyuwangi
Kesan misterius langsung terasa saat tiupan seruling dan tabuhan kendang mulai dibunyikan. Sambil mengikuti irama musik, sejumlah orang berparas seram berlenggak-lenggok, memamerkan gerakan tari yang enerjik. Seolah-olah menunggang seekor kuda, yang juga digambarkan memiliki bentuk seram, gerakan orang-orang itu semakin liar. Dalam keadaan tidak sadarkan diri, para penari bergerak ke sana ke mari di bawah arahan seorang pawang. Inilah Jaranan Buto . Jaranan Buto atau Jaranan Buta adalah kesenian tari khas daerah Banyuwangi. Bentuknya serupa dengan Kuda Lumping di Kediri, Jatilan di Yogyakarta, atau Jaran Kepang di beberapa kawasan Jawa Tengah, yakni menggunakan properti kuda dalam setiap pertunjukannya. Tetapi bedanya, Jaranan Buto memakai properti kuda yang memiliki rupa seperti raksasa ( buto ). Menurut Agus Dwi Handoko dan Septina Alrianingrum dalam “Perkembangan Seni Tari Jaranan Buto di Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi Tahun 1963-2007” dimuat jurnal AVATARA , simbol kuda dalam kesenian jaranan memiliki nilai filosifis sebagai semangat perjuangan, keperkasaan, dan jiwa ksatria. Simbol kuda ini juga dikenal oleh suku-suku di seluruh dunia. “Kuda dalam kesenian tari Jaranan Buto ini ditampilkan sebagai wujud makhluk berwajah manusia raksasa berbadan kuda sehingga disebut dengan kuda raksasa (jaranan buto),” tulis Agus dan Septina. Di dalam penelitiannya, Agus dan Septina menyebut Jaranan Buto berasal dari Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Istilah Jaranan Butho diambil dari nama tokoh legendaris Minakjinggo. Banyak anggapan di masyarakat yang menggambarkan Minakjinggo bukan sebagai manusia biasa, melainkan raksasa (dalam bahasa Jawa disebut Buto). Sebagai penguasa Balambangan kesaktian Minakjinggo memang sangat terkenal. Dia diceritakan pernah membuat repot Kerajaan Majapahit. Dusun Cementuk sendiri berbatasan dengan Kecamatan Gambiran, yang mayoritas memiliki garis keturunan dari trah Mataram. Akibat letak geografisnya itu, kata Agus dan Septina, Desa Cluring mampu menghasilkan Jaranan Buto. Sehingga tarian ini merupakan produk akulturasi budaya antara budaya Jawa (Mataram) dengan kebudayaan Suku Osing. Sementara Clara van Groenendael dalam Jaranan: The Horse Dance and Trance in East Java , menyebut Jaranan Buto yang ada di Banyuwangi ide awalnya dibawa oleh orang-orang dari Trenggalek. Tetapi di dalam tulisannya, Groenendael tidak menyebut kapan hal itu terjadi. Sebuah data dari tahun 1930-an, berasal dari penelitian Th. Pigeaud, menunjukkan bahwa tarian kuda tidak ada di tengah tradisi para penghuni lama Banyuwangi (Suku Osing). Dia hanya meyakini bahwa jenis tari ini telah berumur sangat panjang dan dimainkan secara turun-temurun oleh masyarakat. “Ini mungkin menunjukkan bahwa fenomena tarian kuda sebenarnya diimpor ke Banyuwangi. Saya tidak dapat mengetahui kapan hal itu terjadi,” ungkap Groenendael. Pertunjukan tari Jaranan Buto umumnya dilakukan dalam jumlah besar. Ada sekitar 16-20 orang, dihimpun dalam 8 grup, yang terlibat. Para penari dibuat sedemikian rupa –rambut panjang, kulit diwarnai merah, dan pakaian yang diyakini dipakai oleh raksasa dalam cerita wayang– sehingga wajah dan perawakannya menyerupai sosok Buto . Setiap pementasan akan diiringi oleh instrumen musik khas Jaranan Buto, terdiri dari: dua bonang, gong (besar dan kecil), seruling (sompret), kecer, dan dua buah kendang. Sebagai bagian penting dalam Jaranan Buto, replika kuda berbentuk kepala raksasa yang terbuat dari kulit lembu tidak pernah lupa disertakan. Wajah raksasa itu pun didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata besarnya. Cerita yang diangkat pun beragam, biasanya tentang kisah kepahlawanan Minakjinggo, atau kisah heroik tokoh lainnya. Satu hal yang menarik dalam pertunjukkan Jaranan Buto adalah kesurupan yang dialami para penari. Secara tidak sadar, para penari ini akan mengejar orang-orang yang memanggil dengan siulan. Mereka juga bisa memakan kaca beling, api, ayam hidup, dan berbagai atraksi lainnya. Setiap pementasan, para penari akan didampingi beberapa orang pawang. Pawang ini bertanggung jawab menyadarkan kembali para penari Jaranan Buto dan penonton yang ikut kesurupan selama pertunjukkan. “Kesenian Jaranan Buto ini merupakan salah satu mahkota yang harus dilestarikan, dipelihara, dan ditunjukkan kepada dunia luar, sehingga potensi ini dapat bermanfaat baik untuk masyarakat maupun pemerintah, terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah,” tulis Agus dan Septina.
- Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat
Pada pertemuan hari kedua, Soegih Arto melanjutkan lobi-lobi dengan Mr. Olaf de Rijke. Misi memenangkan Irian Barat lewat jalan menyuap ketua fraksi Dewan Papua itu tinggal selangkah lagi. Perundingan sendiri akan membicarakan soal keuangan dan mekanisme pembayaran. Semula pembicaraan diawali dalam bahasa Belanda. Namun ketika akan memasuki inti perundingan, de Rijke menyela. Tetiba, dia menggunakan bahasa Jawa. “Mr. de Rijke nyeletuk dalam bahasa Jawa agar sekretarisnya yang Belanda totok itu tidak dapat mengerti apa yang sedang dirundingkan,” tutur Soegih Arto dalam otobiografi Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto . Soegih Arto dan rekannya, Kartono Kadri tidak keberatan. Mereka pun mulai tawar menawar dalam bahasa Jawa. De Rijke membuka penawaran pada angka US$ 1.000.000. Soegih Arto minta turun menjadi US$ 500.000. Setelah negosiasi bolak-balik, akhirnya tercapai titik temu pada harga US$ 750.000. Perkara berapa jumlah uang sogokan beres. Pembicaraan kemudian beralih lagi mengenai bagaimana cara menyerahkan uang itu. Pada prinsipnya, Soegih Arto bersedia membayarkan uang itu melalui bank yang dipilih de Rijke setelah resolusi bergabung dengan Indonesia dikeluarkan oleh parlemen Dewan Papua. Namun suasana pembicaraan mendadak jadi panas karena Mr. de Rijke minta dibayarkan saat itu juga. Soegih Arto tidak dapat menyetujui usulan de Rijke tersebut. Muncullah saling tuduhan dan perkataan yang menyinggung satu sama lain. Mr. de Rijke mengatakan bahwa orang Indonesia lihai berpolitik licik sehingga tidak dapat dipercaya. Mosi senanda pun dilantarkan Soegih Arto karena de Rijke bersedia menjual Papua demi uang. De Rijke tetap ngotot dan membela diri. Menurutnya, tindakannya bernegosiasi dengan pihak Indonesia menanggung resiko yang besar sekali. Kalau ketahuan oleh pemerintah Belanda, kata de Rijke, maka dia bisa dibunuh. Soegih Arto memutuskan untuk menunda pembicaraan. Agar tidak bersikap gegabah, dia ingin melapor dan menanti instruksi selanjutnya dari Presiden Sukarno. Usul itu dengan susah payah disetujui de Rijke. Menurut de Rijke, tidak mudah baginya keluar masuk Papua tanpa dicurigai. De Rijke juga menggambarkan suasana di parlemen Dewan Papua yang ternyata cukup banyak anggotanya pro-Republik Indonesia. Hanya saja, suara mereka belum mencapai mayoritas untuk menggolkan suatu resolusi. Oleh karena itu, de Rijke perlu melobi dan butuh dana untuk beberapa anggota. Itulah sebabnya, de Rijke bersikukuh agar uang sogok dibayarkan Soegih Arto saat perundingan berlangsung. Menurut pakar intelijen Ken Conboy, de Rijke begitu bernafsu agar pihak Indonesia mengirim uang yang dijanjikan ke sebuah rekening Bank Australia. Tetapi, sebelum melakukan ini Soegih Arto dan Kartono Kadri meminta jaminan itikad baik bahwa Dewan Papua akan bersiap-siap mendukung integrasi. “Sesudah ditunggu beberapa hari, ternyata si anggota dewan ini tidak menghubungi lagi. Upaya penyuapan ini kemudian dibatalkan dan dananya tidak pernah dikirim,” tulis Conboy Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia . Dalam otobiografinya, Soegih Arto mengisahkan perundingannya dengan de Rijke berakhir di persimpangan jalan. Pertemuan itu tidak pernah dilanjutkan karena sulit untuk mencapai titik temu, terutama mengenai cara dan kapan penyerahan keuangan. Pendirian Soegih Arto tersebut didukung oleh Bung Karno. Pun tanpa praktik suap-menyuap itu, Indonesia pada akhirnya dapat memenangkan Irian Barat. “Persoalan diplomasi gelap ini hilang lenyap tidak berbekas dan Irian Barat diselesaikan melalui New York Agreement, pada tanggal 15 Agustus 1962,” tutur Soegih Arto. Operasi rahasia yang dikerjakan Soegih Arto dan Kartono Kadri gagal karena, menurut Ken Conboy, “anggota Dewan Papua asal Belanda (de Rijke) yang bermaksud menarik keuntungan pribadi atas nama pemerintahnya, menjadi ketakutan.” Pada Oktober 1962, Kartono Kadri menjadi sekretaris Soedjarwo Condronegoro, kepala perwakilan Indonesia di Irian Barat. Dalam sebuah pertemuan yang tidak direncanakan, Kartono Kadri sempat bersua dengan de Rijke. Pada saat itu, de Rijke tinggal di depan Yachtclub. Kadri mendapati de Rijke dengan raut penuh gelisah. De Rijke menanyakan siapa saja yang mengetahui tentang pertemuan rahasia di Hongkong. Jawaban yang disampaikan Kadri rupanya tidak memuaskan. Betapa takutnya de Rijke sehingga keesokan harinya dia menyeberang ke Papua Nugini yang masih dikuasai Australia. Hingga Soegih Arto merampungkan otobiografinya pada 1989, de Rijke diketahui masih berada di Papua Nugini dan tercatat sebagai warga negara Australia.
- Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
PERANG tidak hanya meninggalkan derita, kematian, atau mengubah geopolitik. Perang juga jadi etalase pamer kemajuan teknologi dan industri senjata. Jerman dalam gejolak Perang Dunia II harus diakui telah meninggalkan warisan yang mengubah dunia teknologi militer. Baik di darat, laut, maupun udara, Jerman punya senjata-senjata canggih yang tak dimiliki Sekutu. Sayangnya bagi Der Führer Adolf Hitler, pengembangan senjata-senjata canggih itu terlambat. Hanya secuil dari beragam rancangan senjata jempolan Jerman yang sempat digunakan di palagan lantaran mayoritas baru rampung menjelang perang berakhir. Alhasil, senjata-senjata itu dicontek dan dikembangkan oleh para pemenang Perang Dunia II: Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat. Berikut empat dari senjata itu yang lantas jadi cikal-bakal pengembangan senjata yang kondang hingga saat ini: Sturmgewehr 44 Sturmgewehr 44. Infantri alias pasukan darat jadi inti kekuatan militer suatu negara. Kecanggihan senjata ikut menentukan ketangguhan mereka. Salah satu pegangan pasukan infantri Jerman-Nazi paling kondang adalah Sturmgewehr 44 (StG-44). “Senjata ini adalah ayah dari segala senapan serbu yang dikembangkan pada 1941-1942. Senjata ini mengenalkan konsep penggunaan peluru pendek baru dengan jangkauan terbatas agar semburan tembakannya bisa lebih terkontrol dan karena berdasarkan bahwa kebanyakan senapan menembakkan peluru dengan jarak 400 meter saja,” ungkap Ian Hogg dan Terry Gander dalam Jane’s Guns Recognition Guide . StG-44 adalah senapan serbu otomatis modern pertama dunia yang desainnya berhulu pada otak Hugo Schmeisser, pengembang senjata andalan Hitler. Schmeisser banyak merancang senapan mesin ringan, antara lain Maschinenpistole 40 (MP-40), yang jadi pegangan resmi tentara Jerman; dan senapan laras panjang Karabiner 98k (Kar-98). Baca juga: Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47? StG-44 berdimensi panjang 94 cm dan bobot 5,13 kg jika magasinnya terisi penuh 30 peluru berukuran 7,92x33 mm. Ia lebih pendek dari senapan mesin ringan Jerman lain yang berukuran 7,92x57 mm. Dalam semenit, StG-44 bisa menyemburkan 500-600 peluru kaliber 8 mm dengan jarak efektif 300 meter dalam mode otomatis, serta 600 meter pada mode semi-otomatis. StG-44 bagaikan kombinasi MP-40 dan Kar-98, lantaran bisa menyemburkan peluru seperti lazimnya senapan mesin ringan tapi akurat sebagaimana senapan laras panjang. Oleh Schmeisser, senjata ini diberi nama Maschinenpistole 44 (MP-44). Tetapi ketika diperkenalkan kepada Hitler, namanya diganti jadi Sturmgewehr 44 (StG-44) sebagai bagian dari upaya propaganda. Sebagai percobaannya, StG-44 dipasok untuk Waffen-SS atau pasukan Schutzstaffel, paramiliter Partai Nazi di front Timur medio 1943. Pasukan regular AD Jerman menyusul kemudian meski tetap mengadopsi nama awal MP-44. Sejak 1943 hingga akhir perang, StG-44 diproduksi lebih dari 420 ribu pucuk oleh C.G. Haenel Waffen und Fahrradfabrik. Lantaran tergolong terlambat jadi pegangan pasukan SS maupun pasukan reguler, StG-44 gagal membantu mengubah jalannya perang untuk Jerman. Empat tahun pasca-perang, cetak biru StG-44 dicontek pengembang senjata Uni Soviet Mikhail Kalashnikov, yang lantas merancang senapan serbu paling beken di jagat: Avtomat Kalashnikova alias AK-47. Type XXI Elektroboot Type XXI Elektroboot. Di laut, Jerman sebagai jago perang perairan dengan menggunakan Unterseeboot (U-Boot), juga punya alutsista canggih berupa Type XXI Elektroboot. Ia adalah tipe kapal selam (kasel) bertenaga listrik pertama dunia yang sukses beroperasi. Namun seperti halnya senapan StG-44, kemunculan kasel ini terlambat. Hingga akhir perang, hanya empat yang berhasil dibangun dan baru dua yang bisa digunakan Kriegsmarine (AL Jerman): U-2511 dan U-3008. Mengutip Erich Groner, Dieter Jung, dan Martin Maass dalam U-Boats and Mine Warfare Vessels: German Warships 1815-1945 , Elektroboot Tipe XXI ini baru dibangun mulai 1943 oleh tiga manufaktur: Blohm & Voss di Hamburg, AG Weser di Bremen, dan Schichau-Werke di Danzig dengan memanfaatkan rancangan sistem tenaga penggerak perhydrol ciptaan ilmuwan roket Hellmuth Walter. Sebagai alternatif dari tenaga listrik yang menjadi penggerak utama kasel ini adalah disel. Kombinasi ini umum digunakan dalam U-Boat Jerman. Baca juga: Kawanan Serigala U-Boat Berburu Mangsa Tipe XXI memiliki postur panjang 76,70 meter, lebar delapan meter, dan bobot 1.819 ton. Selain dilengkapi dua mesin disel dengan enam silinder, Type XXI ditenagai dua mesin listrik Siemens-Schuckert. Hasilnya selain punya kecepatan yang lebih laju, 15,6 knot di permukaan dan 17,2 knot saat menyelam, Type XXI bisa melenggang di bawah kapal-kapal musuh dengan tidak terdeteksi sonar karena suara mesinnya lebih kalem ketimbang kasel-kasel Jerman bertenaga disel. Type XXI bisa menyelam hingga 75 jam sebelum harus mengisi ulang baterai-baterai mesin listriknya. Ia juga bisa menyelam hingga kedalaman 240 meter. Standarnya, Type XXI dipersenjatai enam tabung torpedo diameter 21 inci dan empat meriam C/30 diameter 0,79 inci di geladaknya, dan diawaki 54 personil. Dari empat Type XXI yang diproduksi, baru dua unit yang sempat bertugas. Kasel U-2511 yang dikapteni Korvettenkäpitan Adalbert Schnee baru sekali mencicipi tugas patroli sebagai bagian dari Flotilla ke-11 U-Boat pada 3-6 Mei 1945. Pasca-perang, ia diubah untuk dijadikan kasel penelitian bawah laut. Sementara, U-3008 yang dipimpin Kapitänleutnant Fokko Schlömer baru berlayar pada 3 Mei 1945 untuk tugas patroli. Tapi ia disergap kapal-kapal Sekutu di hari yang sama. Ia dirampas dan diubah menjadi USS U-3008 . Beberapa tahun setelah perang berakhir, cetak biru Elektroboot Jerman ini dicontek para pemenang perang seperti Amerika (kasel kelas Tench, Tang, Gato, dan Balao), Inggris (kelas Porpoise), Uni Soviet (kasel kelas Whiskey), bahkan China (kelas Ming); dan negeri netral Swedia (kelas Hajen). Messerschmitt Me-262 Messerschmitt Me-262. Setelah Perang Dunia II, kekuatan udara merupakan unsur vital penentu kemenangan suatu pihak. Amerika dan Rusia selalu bersaing menjadi terdepan sebagai produsen pesawat jet tempur generasi kelima macam F-22 dan F-35 (Amerika) atau Sukhoi Su-57 (Rusia). Harus diakui, Jermanlah pemilik jet tempur pertama di dunia yang aktif beroperasi. Inggris boleh mengklaim sebagai yang pertama punya rancangan jet tempur lewat Frank Whittle (Power Jets Ltd.) pada 1936. Tetapi hasilnya berupa jet tempur Gloster Meteor F8 baru aktif operasional pada medio Juli 1944. Sementara Luftwaffe (AU Jerman) lewat pabrikan Messerschmitt yang mendesain jet tempur Me-262 di tahun yang sama seperti Whittle, sudah menggunakan jet tempurnya pada April 1944. Maka Messerschmitt Me-262 sebagai jet tempur pertama di medan perang. Ia juga diproduksi massal, sebanyak 1.430 buah hingga akhir Perang Dunia II. Messerschmitt membuat dua varian, yakni varian Schwalbe (walet) untuk pesawat tempur, dan Sturmvogel (burung pemangsa) untuk pesawat pembom ringan. Menukil The Illustrated Directory of Fighting Aircraft of World War II karya Bill Gunston, pesawat Me-262 dirancang Willy Messerschmitt lewat proyek pengembangan P.1065 dengan mengambil konsep mesin jet ciptaan Hans Joachim Pabst von Ohain sejak 1936. Sayangnya saat perang sudah bergejolak, Messerschmitt terkendala SDM dan bahan baku, mengingat mayoritas insinyurnya dikerahkan untuk produksi massal pesawat Bf-109 dan Me-209 atas perintah Reichsmarschall Hermann Göring. Baca juga: Tank Leopard yang Layu Sebelum Berkembang Dengan keterbatasan SDM dan bahan baku, Messerschmitt perlahan bisa merampungkan proyek jet tempur berdimensi 10,6 meter x 12,6 meter serta bobot 6.472 kg itu pada April 1941. Me-262 ini dipersenjatai empat senapan mesin MK-108 (30mm), 24 roket R4M, dan berkemampuan memuat dua bom 250kg. Saat test flight pada Juli 1942, Me-262 yang ditenagai dua mesin turbojet Junkers Jumo 004B-1 bisa mencapai kecepatan maksimum 900 km/jam dengan jarak terbang maksimum 1.050 km. Hitler mulanya enggan memberi lampu hijau untuk produksi massalnya lantaran lebih menginginkan memperbanyak produksi pesawat pembom berat. Tetapi berkat bujukan Menteri Persenjataan dan Produksi Perang Albert Speer, Hitler mengizinkan produksi massal dan Me-262 aktif masuk Luftwaffe pada awal 1944. Sebagai permulaan, Me-262 ditempatkan di Jäger Erprobungskommando (EKdo) atau unit pendidikan dan percobaan Luftwaffe pimpinan Kapten Werner Thierfelder pada April 1944 Ketika Me-262 mengudara, tak satupun pesawat tempur Sekutu –yang masih bermesin propeler– mampu menandingi kecepatannya. Namun penggunaan Me-262 lebih banyak untuk menyerang balik pesawat-pesawat pembom Sekutu yang kian intens membombardir wilayah Jerman sejak awal 1945, bukan untuk pertempuran antarpesawat tempur( dogfight ). “Ini pesawat Blitzkrieg (penyerang kilat). Tak pernah dimaksudkan untuk menjadi dogfighter (petarung udara), melainkan penghancur pesawat-pesawat pembom. Tetapi kelemahan utamanya, Me-262 tak punya rem tukik untuk membuat Anda bisa menghindari tabrakan dengan pesawat pembom yang diserang. Ia harus sudah bermanuver menghindar dari jarak 200 meter,” ujar Kapten Eric Brown, perwira penerbang AL Inggris yang menjajal Me-262 pasca-perang, dikutip Steve J. Thompson dan Peter C. Smith dalam Air Combat Manoeuvres. Vergeltungswaffe-2 Vergeltungswaffe-2. Selain jet tempur, negeri-negeri adidaya lazimnya ditakuti karena memiliki misil balistik jarak jauh. Sebelum Amerika, Inggris, India, Rusia, dan Korea Utara punya senjata ICBM (Intercontinental Ballistic Missile) reguler maupun berhulu ledak nuklir, Jerman sudah menggunakannya dengan misil balistik Vergeltungswaffe-2 (V-2). Misil jarak jauh pertama itu merupakan pengembangan dari roket V-1 alias bom terbang yang menjadi embrio misil jelajah. V-2 merupakan buah pikiran dari Dr. Wernher von Braun, ilmuwan roket yang mengembangkan LPR ( liquid-propellant rocket ) atau roket bertenaga bahan bakar cair lewat proyek “Aggregat” sejak 1941. Dibantu para ilmuwan lain dari pusat penelitian Angkatan Darat Heeresversuchsanstalt di Peneemünde, Von Braun juga memanfaatkan belasan ribu pekerja paksa dari kamp konsentrasi Mittlebau-Dora untuk mengerjakan situs konstruksinya di Mittlewerk. Per 18 Maret 1942, proyek itu rampung dan senjata yang dinamai Aggregat 4 (A-4) itu mulai menjalani serangkaian uji coba walau uji coba yang berhasil baru terjadi tujuh bulan berselang. Misil itu, menukil Michael Neufeld dalam biografi Wernher von Braun: Dreamer of Space, Engineer of War , berbobot 12.500 kg dengan panjang 14 meter dan diameter 1,65 meter. Ia bisa meluncur dengan jarak maksimal 88 km (206 km vertikal) dengan kecepatan 5.760 km/jam berkat tenaga roket yang berisi 3.810 kg etanol dan 4.910 oksigen cair. Baca juga: Tank Gaek Perang Dunia yang Bertahan Hidup Sampai akhir perang, Jerman mampu memproduksi misil ini hingga 5.200 unit. Misil-misil V-2 itu jadi senjata terbaru yang dioperasikan tiga batalyon di kesatuan AD Generalkommando XXX pimpinan Jenderal Artileri Erich Heinemann mulai September 1944, serta SS Werfer-Abteilung 500 di bawah komando Letjen Hans Kammler mulai Oktober 1944. Lantaran saat itu wilayah Jerman sudah intens jadi sasaran bombardir udara Sekutu yang berbasis di Inggris, Hitler menuntut senjata anyar itu diluncurkan sebagai balasan dengan menyasar perkotaan, bukan basis militer. Maka nama misil A-4 kemudian diganti menjadi V-2 ( vergeltungswaffe ) alias senjata balas dendam. Masa-masa teror terdahsyat Hitler dengan V-2 terjadi dalam kurun 12-20 Oktober. Tercatat 3.161 V-2 menyasar kota-kota di Belgia, Inggris, Prancis, dan Belanda. Banyak korban jatuh dari warga sipil. Di London saja mencapai 2.754 jiwa. “Saya merasakan penyesalan mendalam untuk para korban roket V-2, namun selalu ada korban di kedua belah pihak… Perang adalah perang dan ketika negara saya berperang, sudah jadi kewajiban saya berusaha membantu kemenangan peperangan itu,” tutur Von Braun mengenai hasil karyanya yang digunakan Hitler untuk menarget warga-warga sipil, dikutip Neufeld. Warisan Von Braun ini lalu dikembangkan dalam bentuk ICBM dan roket luar angkasa mengingat Von Braun direkrut NASA pasca-perang. Von Braun menggunakan konsep V-2-nya untuk membangun roket Saturn V dalam program Apollo pada 1960-an. Baca juga: Mahasiswa Indonesia dalam Proyek NASA
- Berlindung di dalam Sarung
Selain sebagai komandan batalion di Maospati, Kapten M. Jasin juga menjabat kepala personalia Resimen 31 yang berkedudukan di Madiun. Sedangkan Kapten Soetarto Sigit menjabat kepala seksi intel Resimen 31. "Suatu pengalaman yang menegangkan sekaligus lucu saya alami,"kata Jasin dalam memoarnya, Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto . Jasin menambahkan, "Saya bersama Soetarto Sigit ditemani seorang penghubung berpangkat kopral, berada di wilayah garis demarkasi di daerah Mojokerto. Kami bertiga beristirahat di sebuah warung di tepi jalan raya." Soetarto menyebut tentara penghubung ( renrakukei ) itu bernama Kopral Saimin. Namun, lokasi demarkasinya berbeda dengan Jasin. "Pengalaman yang tidak terlupakan terjadi pada Agustus 1946. Pada waktu itu Pak Jasin dan saya meninjau batalion Resimen 31 yang sedang bertugas di Front Surabaya Barat, tepatnya sekitar Desa Kedamean," kata Soetarto dalam testimoni di memoar Jasin. Garis demarkasi yang biasanya tenang mulai memanas karena suhu politik pertentangan Indonesia-Belanda mendekati titik mendidih. Maklum mendekati peringatan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946. Pagi itu, Jasin, Soetarto, dan Kopral Saimin mendekati kompi di sebelah barat Desa Kedamean. Tiba-tiba pesawat Belanda terbang rendah di atas Front Barat Kedamean disertai suara gemuruh. "Alangkah terkejutnya kita ketika iring-iringan kendaraan lapis baja pasukan musuh menembus garis demarkasi menyerang kedudukan kita," kata Soetarto. "Secara refleks," kata Jasin, "saya dan Soetarto segera lari menyeberangi jalan yang menjadi batas demarkasi. Kopral penghubung kami masih berada di warung, tidak sempat menyeberang." Namun, menurut Soetarto, dirinya, Jasin, dan Kopral Saimin sempat berlindung di kebun ketela. Kopral Saimin kemudian berusaha mencari hubungan dengan kompi-kompi di seberang jalan. Baru saja ia menyeberang, datang iring-iringan tank dan half-track penuh dengan pasukan Belanda. "Kopral Saimin dengan cepat memasuki sebuah warung yang berada di seberang jalan untuk bersembunyi. Tetapi apa lacur, iring-iringan kendaraan lapis baja musuh berhenti di muka warung tersebut," kata Soetarto. Beberapa serdadu Belanda memasuki warung. "Pak Jasin dan saya hanya bisa melihat dengan hati berdebar-debar menunggu bunyi tembakan yang akan menghabisi nyawa Kopral Saimin," kata Soetarto. Waktu seakan berjalan pelan. Entah apa yang terjadi di dalam warung. Beberapa saat kemudian tentara-tentara Belanda keluar dari warung. Sungguh mengherankan mereka tidakmembawa Kopral Saimin, padahal ia jelas berada di warung dan tak mungkin keluar tanpa diketahuitentara Belanda yang bertebaran di jalan dan sekeliling warung. "Hati kami berdegub keras, sebab kalau kopral itu tertangkap, Belanda-Belanda itu juga akan segera dapat menangkap kami," kata Jasin. Apakah Kopral Saimin telah dibunuh ? Tetapi tidak terdengar letusan senjata. Beberapa tentara Belanda juga memeriksa daerah sekitar warung. Tak lama kemudian komandan mereka memerintahkan untuk memberangkatkan konvoi. Tuhan masih melindungi Kopral Saimin. Menurut Jasin, setelah yakin tank-tankBelanda berada di tempat jauh, "maka kami segera lari ke warung. Bersamaan dengan itu, kopral kami juga muncul dengan wajah pucat." Sedangkan menurut Soetarto, setelah iring-iringan musuh meneruskan penyerbuan ke arah markas batalion, " Kopral Saimin loncat keluar menyeberangjalan untuk bergabung kembali dengan Pak Jasin dan saya." "Bagaimana kamu bisa selamat?" tanya Jasin. "Saya masuk ke dalam kain sarung yang dipakai oleh ibu penjaga warung," kata Kopral Saimin dengan tersipu, sebagaimana diingat Soetarto. Sedangkan yang diingat Jasin, Kopral Saimin memberikan jawaban cukup panjang: "Wah, maaf Kapten, saya tidak sempat lari. Ketika Belanda-Belanda itu masuk warung, saya bersembunyi di dalam kain perempuan pemilik warung tersebut, yang terus diamdan tidak bergerak ketika Belanda menanyainya dan memeriksa warung. Saya selamat bersembunyi di selangkangan perempuan tadi!" Tentu saja, Kopral Saimin harus menahan napas selama bersembunyi di dalam kain itu. Ia pun dapat bernapas lega setelah selamat dari tentara Belanda.
- Ketika Islam dan Hindu Bertemu dalam Sikh
Di Punjab, wilayah India utara yang berbatasan dengan Pakistan, Islam dan Hindu telah bersinggungan sejak abad ke tujuh. Konflik antar kedua agama dan terutama diprakarsai oleh para penguasa juga telah berlangsung sepanjang sejarahnya. Penjajahan dan perang pun merenggut banyak korban. Toleransi beragama di perbatasan anak benua ini sebenarnya sempat terwujud dalam kompromi Islam kepada Hindu melalui para Sufi dan kompromi Hindu kepada Islam dalam gerakan Bhakti. Namun, pada abad ke-16 seorang Guru muncul sebagai jembatan antara dua agama yang kemudian melahirkan agama baru: Sikh. Ajaran Sikh bermula dari Guru Nanak (1469–1539), anak seorang pegawai rendahan di desa dekat Lahore. Sejak kecil, Nanak sudah belajar agama Hindu dan Islam dan seringkali terlibat diskusi dan perdebatan dengan para pengembara suci yang ditemuinya. Keinginan untuk menemukan kebenaran rohani kemudian menuntunnya pada laku pertapa. Ia berpuasa, berdoa, dan bermeditasi. Guru Nanak kemudian berkeliling menyebarkan pemikirannya. Ia mengujungi desa-desa bersama dua kawannya, seorang musisi muslim dan seorang Hindu dari kasta terendah. Ia berkhotbah dalam syair yang dinyanyikan dengan iringan kecapi. “Tak ada Hindu, tak ada muslim,” begitulah pernyataan awal Guru Nanak. Menurut Khushwat Singh dalam The Sikh , pada dasarnya ajaran Guru Nanak adalah perang melawan omong kosong dalam agama. Ia juga memiliki keberanian untuk mengatur hidupnya sesuai dengan ajarannya sendiri. Dua kejadian dapat menggambarkan metode pendekatan Guru Nanak. Pertama, di Sungai Gangga. Para Brahmana biasanya mandi dan melemparkan air ke arah matahari terbit sebagai persembahan bagi leluhur mereka yang sudah mati. Namun, Guru Nanak justru melemparkan air ke arah yang berlawanan. Ketika ditanya, ia menjawab, “Saya menyirami ladang saya di Punjab. Jika Anda dapat melemparkan air ke orang mati di surga, akan lebih mudah untuk mengirimkannya ke tempat lain di bumi.” Kedua, suatu ketika Guru Nanak tertidur dengan kakinya mengarah ke Makkah. Seorang imam marah dan membangunkannya. Ia hanya berkata: “Jika Anda pikir saya menunjukkan rasa tidak hormat dengan mengarahkan kaki saya ke rumah Tuhan, putarlah kaki saya ke arah lain di mana Tuhan tidak tinggal.” “Ajarannya memicu imajinasi petani Punjab dan sejumlah besar pengikut berkumpul di sekelilingnya,” sebut Khushwant. Menurut J.S. Grewal dalam “The Sikh of The Punjab” yang termuat dalam The New Cambridge History of India Volume 2 , Guru Nanak telah melakukan perjalanan di dalam dan luar India selama kuartal pertama abad ke-16. Dalam satu syair, ia menyebut telah mengunjungi kota-kota di “sembilan wilayah bumi” ( nau-khand ). “Hampir tidak ada keraguan bahwa ia mengunjungi pusat-pusat penting ziarah Hindu dan muslim. Ia berdebat dengan para protagonis dari hampir semua sistem kepercayaan dan praktik keagamaan di India kontemporer,” tulis Grewal Pemikiran-pemikiran Guru Nanak tersebar terutama di wilayah Punjab dan kemudian menjadi iman bagi murid-muridnya. Dalam bahasa Sanskerta murid disebut “Shish”. Kata “Shish” inilah yang kemudian menjadi “Sikh”, sebutan bagi pengikut ajaran Guru Nanak. Meski dipuja banyak orang, Guru Nanak bukan tokoh yang membuat klaim keilahian atau kekerabatan dengan Tuhan. Ia merasa cukup hanya sebagai seorang Guru. “Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menyatukan umat Hindu dan muslim. Keberhasilan pribadinya ke arah ini luar biasa. Ia diakui oleh kedua komunitas,” tulis Khushwat. Ketika Guru Nanak meninggal, orang muslim ingin menguburnya. Sedangkan orang Hindu menghendakinya dikremasi. Ia telah menjadi titik temu antara orang Hindu dan muslim di Punjab. Setelah kepergian Guru Nanak, misinya dilanjutkan oleh sembilan guru lainnya. Tiap Guru tidak ditentukan oleh hukum waris melainkan dipilih, baik oleh Guru sebelumnya maupun oleh para murid, karena cocok untuk melindungi dan mengembangkan ajaran spiritual yang ditinggalkan oleh Guru Nanak. Selama 200 tahun, para penerus ini menyempurnakan aspek religius Sikhisme. Selama itu pula, naskah-naskah disusun dan kuil-kuil yang disebut Gurdwara didirikan. Guru keempat, Ram Das (1534–1591) meletakan batu pendirian kuil Amritsar yang menjadi kuil Sikh paling penting. Sementara itu, Guru kelima, Arjun (1563–1606) menyelesaikan kompilasi naskah-naskah Sikh dan memasukan tulisan-tulisan orang suci Hindu dan muslim. Kompilasi itu kemudian menjadi Adi Granth, kitab suci orang Sikh. Guru Arjun menarik perhatian penguasa muslim lalu ditangkap, disiksa dan kemudian dieksekusi di Lahore. Ia menjadi martir pertama dan terpenting dalam sejarah Sikh. Pada 1699, Guru kesepuluh sekaligus terakhir, Gobind Singh (1666-1708) mendirikan institusi Khalsa, yang artinya “murni”. Khalsa merupakan tatanan orang-orang Sikh yang setia dan terikat oleh identitas dan disiplin yang sama. Kini orang Sikh telah berdiaspora ke berbagai negara. Per 2018, mengutip worldatlas.com , ada lebih dari 25 juta penganut Sikh di seluruh dunia. Bahkan , Kanada memiliki Menteri Pertahanan Nasional , Harjit Sajjan , yang merupakan seorang Sikh.
- Masjid di Jantung Banyuwangi
RAMADAN kali ini penuh keprihatinan. Akibat virus Covid-19, masjid-masjid yang biasanya penuh sesak orang khusyuk beribadah kini sepi. Hal ini berlaku di seluruh masjid di Indonesia, termasuk di Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi. Pengunjung acara menunggu berbuka puasa, yang dalam bahasa Osing disebut Ngerandu Buko , bisa dihitung dengan jari. Masjid Agung Baiturrahman, yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, memang bangunan paling mencolok di jantung kota Banyuwangi. Bangunan dua lantai ini tampak megah. Kubah-kubahnya menawan. Secara keseluruhan masjid ini memiliki 11 kubah: lima kubah besar dan enam kubah kecil. Kubah besarnya terdiri dari satu kubah utama, dua kubah sayap di utara dan selatan, serta dua kubah berjalan di serambi utara dan selatan. Kubah berjalan? Ya, kubah utama Masjid Agung Baiturrahman dapat digeser atau berjalan secara otomatis; membuka dan menutup. Jika terbuka, sirkulasi udara di dalam ruangan bisa terjaga dan para jamaah pun bisa menikmati pemandangan langit yang indah dari dalam masjid. Masjid Agung Baiturrahman adalah salah satu masjid tua di Indonesia. Ia dibangun seiring perkembangan agama Islam di Blambangan, nama lama untuk Banyuwangi. Masjid Jami’ Medio akhir abad ke-18, situasi di Blambangan belum berangsur normal setelah gejolak Perang Puputan Bayu. Meski Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) sudah menancapkan kukunya, keamanan masih belum stabil. VOC berpikir keras bagaimana menciptakan stabilitas di ujung timur Jawa ini. Atas saran dari Residen Blambangan Hendrik Schophoff, Mas Alit diangkat sebagai bupati Blambangan dengan menyandang gelar Tumenggung Wiraguna I. “Bupati pertama, Mas Alit, orang Blambangan yang ada di Madura itu muslim. Saat diangkat menjadi bupati, dia meminta kepada kompeni untuk mendirikan masjid,” ujar Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi dalam sebuah wawancara di akun BTD channel yang tayang di laman YouTube . Mas Alit memindahkan ibukota dari Ulupampang ke Banyuwangi dan mulai membangun kota atas biaya dari VOC. Tata kota dibuat Mas Alit sendiri. Bangunan penting seperti pendopo, pasar, penjara atau kantor polisi, dan masjid dibangun sesuai konsep arsitektur Jawa. “Falsafahnya adalah pendopo mewakili kekuasaan ada di utara. Selatannya pasar. Nah, kalo kamu kerja di pasar, lalu jadi orang baik, silakan ke kanan, ke masjid. Nah kalo kamu orang jahat, suka nipu, maka arahnya ke kiri, ke kantor polisi. Di tengahnya itu lapangan,” terang Hasnan. Menurut Rully Damayanti dan Handinoto dalam “Kawasan ‘Pusat Kota’ dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa”, dimuat jurnal Dimensi Teknik Arsitektur , Juli 2005, struktur kota semacam itu umum di Jawa pada masa prakolonial hingga abad ke-18, baik di kota pesisir maupun pedalaman. Salah satu yang mendapat perhatian Mas Alit adalah masjid. Dia menyumbangan tanah wakaf untuk pembangunan masjid. Lalu, pada Desember 1773, dimulailah pembangunan sebuah masjid yang sederhana dan berbahan kayu yang disebut Masjid Jami’. Ukurannya tidak besar tapi cukup untuk menampung lebih banyak orang untuk salat berjemaah. Selama lebih dari setengah abad bentuk masjid tak berubah. Sampai akhirnya, pada 1844, masjid dibuat permanen. Menurut Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi dalam artikel ‘Dinamika Perkembangan Sejarah Masjid Agung Baiturrahman di Kota Banyuwangi Tahun 1773-2007” di jurnal Santhet April 2018, bentuk bangunan masjid lebih menonjolkan bentuk arsitektur Jawa seperti joglo. Karena beratap joglo, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Joglo. Bentuk masjid bisa dilihat pada kartu pos yang diterbitkan Impor Mij “Djember” pada 1900-an. Dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe , Olivier Johannes Raap mendeskripsikan masjid bergaya rumah joglo berada di belakang pendopo kabupaten. Di sampingnya terdapat sebuah menara rendah beratap oktagonal, “yang lebih mirip menara di Keraton Solo daripada menara masjid.” Raap menduga, gaya arsitektur itu merupakan adaptasi kebudayaan Mataram di wilayah Blambangan. Kondisi masjid pada saat renovasi di era bupati Harwin Wasisto. (Wikipedia). Perubahan Arsitektur Sebenarnya bukan hanya di Banyuwangi. Masjid di Asia Tenggara umumnya beratap tumpang; semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas berbentuk joglo. Kekaisaran Ottoman-lah yang memperkenalkan penggunaan kubah pada masjid kala melancarkan gerakan “pemurnian” Islam. “Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia . Padahal kubah tidak identik dengan Islam. Ia merupakan bagian dari arsitektur lama, yang mulai digunakan secara luas pada abad pertengahan oleh imperium Romawi. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria. Kubah juga menghiasi masjid-masjid di Nusantara. Ia populer hingga 1960-an. Masjid Jami’ di Banyuwangi pun ikut terpengaruh. Kala renovasi dilakukan pada 1969-1971, atap masjid berbentuk kubah, dengan bangunan utama tetap mempertahankan bentuk Jawa. Masjid Jami' juga berganti nama menjadi Masjid Agung Baiturrahman. Perubahan kembali dilakukan sesuai konsep arsitektur yang dominan kala itu. Pada renovasi yang lakukan pada 1980-an, selain pelebaran masjid, kubah dibongkar dan atap joglo kembali digunakan. Alasannya, tulis Dea Denta Tajwidi dan I Wayan Pardi, “untuk menonjolkan ciri khas bentuk kearifan lokal masyarakat Osing pada saat itu.” Sejatinya, penggunaan atap joglo tengah digalakkan saat itu. Ini tak lepas dari pengaruh Presiden Soeharto, seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Soeharto mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe –beratap tumpang tiga susun. Lalu, pascareformasi, Masjid Baiturrahman kembali berbenah. Pada 2005, masjid dipugar. Atap masjid dikembalikan lagi ke bentuk kubah. Lalu bagian bangunan diperkaya dengan ornamen yang menunjukkan ciri khas masyarakat Osing. Mimbar masjid bernuansa asli Banyuwangi dengan ukiran gajah oling , ragam hias atau motif yang diyakini paling tua di Banyuwangi. Deretan jendela tertutup (kaca grafir) di bawah kubah sayap selatan, tengah, dan utara juga dihiasai motif gajah oling . Begitu pula kaca grafir pada krawangan besi hollow yang mengitari semua ruangan masjid. Kini, Masjid Agung Baiturrahman lebih megah dan indah. Ia menjadi pusat kegiataan keagamaan di Kota Banyuwangi. Nuansa sejarah tetap terasa dengan keberadaan makam para bupati Banyuwangi. Untuk rekreasi, terdapat Taman Sri Tanjung –yang diambil dari tokoh Sri Tanjung dalam legenda Banyuwangi, di sisi timur masjid. Masjid ini juga digunakan untuk beragam acara budaya. Termasuk Festival Endog-endogan, acara mengarak ribuan telor setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival. Untuk tahun 2020, acara dengan nama Festival Maulid dijadwalkan pada 29 Oktober.
- Ramadan Hamka di Penjara
Ramadan 1964 merupakan cobaan berat datang bagi Buya Hamka. Suatu hari, dua petugas polisi datang menyambangi rumahnya. Hamka yang baru saja tiba dari mengisi pengajian di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan dibuat terkejut. Polisi berpakaian preman itu datang membawa surat perintah penahanan, berdasarkan Undang-Undang Antisubversif atau Penpres No.11 dan No.13. Mereka juga menyatakan hendak mengadakan penggeledahan. Seketika suasa menjadi riuh di kediaman Hamka. Tidak ada satupun anggota keluarga yang menyangka kejadian seperti itu akan menimpa kepala keluarganya. Diceritakan putra pertama Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat , istri Hamka yang ketika itu sedang sakit sampai tidak sadarkan diri setelah melihat Hamka dibawa ke Markas Besar Kepolisian. Baca juga: Hamka dan Maag Berjamaah “Saya lihat ayah merangkul bahu ummi. Kemudian dengan suara hati-hati berbisik, bahwa polisi itu bermaksud menahan, tapi tak lama karena ayah yakin tak bersalah apa-apa,” tuilis Yusran. Situasi Politik Hamka benar-benar dihadapkan dengan situasi yang amat berat. Dia terpaksa menghabiskan ibadah puasa di balik jeruji besi. Namun Hamka tidak sendiri. Sejumlah tokoh lain mendapat perlakuan yang sama. Bahkan ada yang diamankan jauh sebelum Hamka. Situasi politik kala itu rupanya yang menjadi sebab penderitaan Hamka dan keluarganya. Mohammad Hatta pernah menyebut politik Demokrasi Terpimpin yang diterapkan oleh Sukarno pada periode 1960-an ini sebagai sebuah sistem diktator karena anti kritik. Dalam bukunya Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara , Sri Bintang Pamungkan menyebut banyak tokoh yang menjadi korban pada periode masa tersebut, di antaranya: Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan lainnya. Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad “Mereka ditangkap dan bahkan dipenjarakan, serta Masyumi dan PSI menajdi partai-partai terlarang,” tulis Sri Bintang. Menurut Taufik Abdullah, dkk (ed) dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional , alasan diamankannya Hamka oleh pemerintah adalah karena majalah Pandji Masjarakat yang dipimpinnya telah menerbitkan sebuah esai berjudul “Demokrasi Terpimpin” yang berisi kritikan terhadap kekuasaan Sukarno. Di samping itu ada berbagai kecurigaan lainnya. Penantian Panjang Selama hampir sebulan penuh kabar tentang keberadaan Hamka belum juga diperoleh. Pihak keluarga hampir tak memiliki informasi yang jelas di mana sang ayah ditahan. Mereka juga tidak bisa memastikan bagaimana kondisi kesehatannya. Sampai kemudian menjelang Idul Fitri, ada kabar yang menyebut bahwa keluarga diperkenankan bertemu Hamka di Sekolah Kepolisian Sukabumi. “Penantian tanpa kepastian itu menyiksa batin kami. Umi terutama, kecemasannya tak berakhir. Kami menanti dengan gelisah, khawatir Ayah terluka. Kami selalu mengumandangkan doa, agar ayah baik-baik saja,” ungkap Yusran. Setelah berkendaraan dari Jakarta ke Sukabumi, keluarga akhirnya bisa bertemu dengan Hamka. Yusran melihat ayahnya tampak agak kurus dan kulitnya seakan bertambah hitam. Pertemuan itu begitu menggembirakan hati Hamka dan keluarganya. Cukup lama tidak bertemu membuat obrolan ringan pun menjadi penuh makna. Baca juga: Hamka dan Tongkatnya Selama waktu kunjungan tersebut, obrolan mereka diawasi ketat oleh para penjaga di sana. Keluarga Hamka pun dilarang menggunakan bahasa daerah agar seluruh percakapan dapat dipantau. Bahkan ketika obrolan mengarah kepada kondisi Hamka dan kehidupannya di tahanan, para penjaga itu akan segera bereaksi. “Kenapa ayah tampak hitam?” tanya salah seorang anak. “Oh, bapak sekarang berjemur setiap pagi,” seorang polisi dengan sigap memotong pembicaraan. Keluarga hanya bisa terdiam. Para polisi seolah tak mau lepas mengawasi mereka. Begitu waktu berkunjung habis, keluarga berpamitan kepada Hamka. Ketika hendak menjabat tangan dan menicum pipi, Yusran dibisiki oleh Hamka: “Polisi ini sama dengan Gestapo Nazi”. Kata-kata Hamka itu begitu menyayat hati Yusran. Ketakutan keluarga akan perlakuan buruk yang diterima Hamka mungkin saja benar adanya. Sesudah kunjungan pertama itu, beberapa kali keluarga Hamka kembali diberi kesempatan membesuk. Tetapi tempat Hamka ditahan selalu berpindah-pindah. Dari Sukabumi ke Cimacan, kemudian ke Puncak, dan Megamendung. Istri Hamka selalu ikut ketika jadwal membesuk, di mana pun tempatnya. Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah Dalam suatu kunjungan ke Cimacan, salah seorang putra Hamka diselipi sepucuk surat oleh Hamka tanpa sepengetahuan polisi. Surat kecil itu rupanya berisi alasan penangkapan Hamka. Dia dituduh mengepalai sekelompok orang, yang didanai Tengku Abdul Rahman, bermaksud membunuh Sukarno. Hamka dituduh memimpin rapat di Tanggerang bersama kawan-kawannya: Gazhali Sahlan, Dalali Umar, dan Kolenel Nasuhi. “Yang mengerikan, ayah terpaksa membuat pengakuan palsu karena menghindari penyiksaan fisik. Selama sebulan ayah diperiksa oleh satu tim polisi dengan sorot lampu, dituding, dihinda, dan diancam supaya mengakui tuduhan. Surat itu kami rahasiakan terhadap umi,” tulis Yusran. Rumah tahanan yang terakhir ditempati Hamka berada di Megamendung. Tetapi tidak lama jika dibandingkan tempat lainnya karena dia dibebaskan bersyarat setelah penyakitnya kambuh di tahanan. Hamka kemudian menjalani perawatan di Rumah Sakit Persahabatan dan dibebaskan setelah kekuasaan beralih ke Orde Baru.






















