Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Medan Laga Korea Utara dalam Sepakbola
KIM Jong-un, pemimpin Korea Utara (Korut), merupakan seorang penikmat olahraga. Cucu pendiri Korut Kim Il-sung yang tengah diisukan wafat itu penggila basket NBA. Semasa kuliah di Swiss, ia juga sering berperjalanan ke Italia menengok laga-laga Serie A. Sejak beberapa tahun lalu berseliweran kabar ia menggemari beberapa klub asal Negeri Pizza seperti Juventus dan Inter Milan. Ketika timnas Korut lolos Piala Dunia 2010, jelas ia jadi pria paling bahagia sekaligus jadi sosok paling kecewa lantaran buruknya prestasi Jong Tae-se dkk. di Afrika Selatan. Kim Jong-un saat hendak menikmati laga salah satu klub terbesar Korut, 4.25 (tim April) (Foto: Rodong Sinmun) Bagaimana mula sepakbola di negeri yang tertutup dan misterius itu, minim sumber. Yang bisa dipastikan, sepakbola sebagai olahraga yang “merakyat” sudah jadi perhatian sejak rezim Kim Il-sung. Sebagai olahraga yang menarik massa, sepakbola selalu jadi alat politik penguatan ideologi komunisme kepada rakyatnya. Pemerintah dan rakyat Korut gila bola. Bila Amerika Selatan dan Eropa boleh bangga pada stadion-stadion legendaris nan mewah yang mereka punya, Korut berhak tepuk dada lantaran punya stadion Stadion 1 Mei Rungrado. Didirikan 1 Mei 1989, arena berbentuk cangkang kerang itu merupakan stadion bola terbesar sekolong langit dengan kapasitas 114 ribu orang. Sepakbola Korea Utara yang Misterius Seperti halnya kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya, masuk dan berkembangnya sepakbola di Korut juga misterius. Mengutip dari North Korea Handbook yang disusun kantor berita Korsel Yonhap , permainan si kulit bundar mulai berkembang pesat tak lama setelah gencatan senjata Perang Korea pada 1953. Namun, klub sepakbola pertama di Korut sudah eksis bahkan sebelum Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK, nama resmi Korut) lahir. Adalah Amnokgang Sports Club yang berdiri pada 19 Desember 1947, setahun sebelum DPRK memproklamirkan diri. Sayangnya, tak tercatat kiprah perdananya di masa transisi setelah memerdekakan diri dari Jepang itu. Seperti di negara-negara Eropa Timur, klub-klub yang bermunculan kemudian terafiliasi dengan sejumlah perangkat pemerintahan. Amnokgang dipegang Kementerian Keamanan Rakyat. Klub lain, 4.25 Sports Club, lahir pada Juli 1949 dengan nama Central Sports Training School Sports Club. Tim yang bernaung di bawah Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat ini mengubah namanya menjadi seperti sekarang sejak Juni 1971, mengambil tanggal lahir Tentara Rakyat Korea, 25 April 1932. Sementara, klub kesayangan Kim Il-sung adalah Pyongyang City Sports. Klub ini didirikan pada 30 April 1956. “Pyongyang City Sports Team didirikan langsung oleh Presiden Kim Il-sung untuk memulai proyeknya pada 30 April 1956, dalam rangka restorasi pasca-perang. Klubnya langsung dikelola oleh Partai Pekerja Korea,” sebagaimana dikutip Tongil News , 9 Mei 2006. Stadion Kim Il-sung yang berdiri sejak 1926 dan sempat direnovasi pada 1969 (Foto: bjornfree.com ) Klub ini pula yang sejak 1969 bersarang di stadion tertua dan legendaris di ibukota, Stadion Kim Il-sung. Stadion yang mulanya bernama Stadion Girimri ini berdiri pada 1926. Ia adalah markas Pyongyang Football Club, tim sepakbola yang beraktivitas sejak Korea masih berupa kerajaan dan bubar saat Perang Korea meletus. Stadion tersebut rusak parah akibat Perang Korea. Ia baru direnovasi tahun 1969 dan namanya diubah menjadi Stadion Moranbong. Karena sering dijadikan tempat pidato Kim Il-sung, pada April 1982 nama stadion pun diubah menjadi Stadion Kim Il-sung. Hal misterius lain adalah, Asosiasi Sepakbola Korea Utara (PRKFA) sudah lahir sejak 1945 meski baru diakui dan diterima sebagai anggota FIFA pada 1958. Dua tahun berselang, PRKFA mulai menggulirkan liga sebagai kompetisi rutinnya di samping beberapa turnamen domestik lain seperti Hwaebul Cup, DPR Korea Championship, dan Mangyongdae Prize. “Sebenarnya setelah Perang Dunia II dan Korea merdeka dari Jepang, KFA (sebagai induk sepakbola Korea yang masih bersatu, red. ) lolos menjadi anggota FIFA sejak 1947. Setelah Perang Korea berakhir, Korea Selatanlah yang mewarisi status keanggotaan FIFA. Baru setelah (PRKFA) melamar, FIFA memberi status keanggotaan pada Korea Utara pada 1958 dan mereka menjadi sorotan dunia untuk pertamakali pada Piala Dunia 1966,” ungkap John Nauright dan Charles Parrish dalam Soccer Around the World. Kejutan Chollima di Tanah Britania Bila Korsel –bersama Jepang– boleh berbangga jadi negara Asia pertama yang jadi tuan rumah Piala Dunia, Korut punya gengsi sejarah sebagai tim Asia pertama yang lolos ke perempatfinalPiala Dunia, yakni pada 1966 di Inggris. Menukil Aaron D. Horton dalam “The Hermit Kingdong versus the World: North Korea in the World Cup” yang dimuat dalam Football and the Boundaries of History , perjalanan Chollima (julukan timnas Korut) bermula di babak kualifikasi yang meleburkan wakil Asia, Afrika dan Oseania, yakni Korut, Australia, Korsel, dan Afrika Selatan (Afsel). Afsel lalu didiskualifikasi FIFA lantaran tekanan dunia internasional terhadap politik apartheid -nya. Tiga wakil tersisa juga terganjal hal politis. Korsel dan Korut masih berstatus gencatan senjata sejak 1953. Australia belum mengakui Korut sebagai negara berdaulat sehingga tak bisa mengeluarkan visa untuk laga tandang Korut ke Tanah Kanguru. Timnas Korea Utara di Piala Dunia 1966 (Foto: fifa.com ) Korut sedikit beruntung karena kolega Kim Il-sung sesama diktator komunis, Norodom Sihanouk, bersedia menyediakan tempat di Phnom Penh, Kamboja. Korsel memilih mundur karena tak menyediakan anggaran lebih buat mengalihkan perjalanan ke Kamboja. Akibatnya, tinggal Korut dan Australia yang “berperang” di lapangan hijau. Hebatnya, Korut sukses dua kali memecundangi Australia di Stadion National Olympic Phnom Penh, 6-1 (21 November 1965) dan 3-1 (24 November 1965). Kehadiran Korut di putaran final (Piala Dunia di Inggris) juga dipermasalahkan tuan rumah karena Britania Raya belum mengakui Korut. “Sejak Perang Korea berakhir pada 1953, Inggris secara resmi menolak mengakui pemerintahan komunis DPRK sebagai negara berdaulat. Belum lagi tensi Perang Dingin juga memberi tekanan tersendiri bagi hubungan Inggris dan Amerika Serikat. Lantas bagaimana caranya FA sebagai tuan rumah mengizinkan musuh de facto Inggris bermain di negaranya di ajang olahraga ternama di planet bumi,” tutur sejarawan James Southern, dikutip Horton. Namun perkara penting yang menjadi soal bagi tuan rumah adalah sebutan nama tim. “Tiga masalah utama muncul terkait partisipasi DPRK. Yang pertama terkait nomenklatur: bagaimana pers dan publik menyebut negara yang secara resmi tidak (dianggap) eksis? Soal ini solusinya adalah menanggalkan akronim (DPRK) dan bermain di bawah nama Korea Utara. Lalu yang kedua soal apakah Yang Mulia Ratu (Inggris) boleh berfoto dengan mereka? Panitia pelaksana memutuskan tidak, agar tak menarik perhatian dunia internasional lebih jauh lagi,” lanjut Southern. Timnas Korea Utara saat meladeni Uni Soviet di babak grup Piala Dunia 1966 (Foto: fifa.com ) Yang ketiga, simbol dan bendera DPRK. Korut bersikeras bendera mereka tetap harus berkibar saat mereka berlaga. Panitia dengan berat hati mengizinkan, meski mendapat protes dari Kedutaan Korsel di London. Terlepas dari kusutnya perkara-perkara itu, timnas Korut bikin kejutan. Tergabung di Grup 4 babak penyisihan, awalnya Korut digilas Uni Soviet tiga gol tanpa balas. Namun mereka bangkit dan kemudian bermain imbang 1-1 kontra Chile. Di laga terakhir, kontra Italia, penonton di Stadion Ayresome Park tertegun kala Italia ditekuk 0-1 lewat gol Pak Doo-ik. Sayangnya kemudian di perempatfinal, 23 Juli 1966, Korut harus mengakui keunggulan Portugal di Goodison Park. Unggul lebih dulu lewat tiga gol, Korut akhirnya dibalikkan Portugal 3-5 lewat empat gol Eusébio dan sebutir lagi dari José Augusto. Korut pun pulang dengan kepala tegak. Tim besutan Myung Rye-hyun itu bisa melampaui harapan Kim Il-sung sebelum mereka berangkat ke Inggris. “Sebelum kami berangkat, Pemimpin Besar mengundang kami untuk bertemu. Ia memeluk kami dengan erat dan berkata: ‘Eropa dan Amerika Selatan mendominasi sepakbola internasional. Sebagai wakil Asia, sebagai bangsa berkulit warna, saya meminta kalian setidaknya menang satu atau dua pertandingan,” kata bek Korut Ring Jung-sun mengenang, dikutip BBC , 19 Juni 2002. Jong Tae-se (kanan bawah) terkulai lemah setelah Korut dipermak 0-7 oleh Portugal di Piala Dunia 2010 (Foto: fifa.com ) Setelah itu, Korut baru menyapa lagi penikmat Piala Dunia pada 2010 di Afrika Selatan. Tergabung di Grup G, Jong Tae-se dkk. babak belur ditekuk Brasil 1-2, digilas Portugal 0-7, dan digebuk Pantai Gading 0-3. Rumor Kim Jong-un geram dan menghukum pelatih dan segenap pemain Korut jadi pekerja paksa pun muncul tak lama kemudian. Kabar itu tak bisa dikonfirmasi oleh FIFA karena tim investigasi mereka tak diberi izin terjun ke Korut. Korut masih menutup diri dan keadaannya yang misterius terus lestari.
- Agus Salim Bicara Islam di Negeri Paman Sam
PADA 1953, Haji Agus Salim menerima undangan dari Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat. Dia diminta menjadi guru besar tamu selama semester perkuliahan musim semi (Januari-Juni). Di salah satu universitas bergensi negeri Paman Sam itu, Agus Salim banyak berbicara soal Islam, agama yang masih sangat asing di kalangan orang-orang AS kala itu. Menurut Kambiz Ghanea Bassiri dalam A History of Islam in America: From the New World to the New World Order, keberadaan Islam sebenarnya sudah cukup lama di AS. Namun baru benar-benar mendapat perhatian dari pemerintah setelah Perang Duni II berakhir. Pada periode 1950-an AS tengah berusaha mendekati negara-negara Islam, baik secara politik maupun ekonomi. Pengetahuan dari Agus Salim inilah yang diharapkan dapat memberi gambaran tentang Islam secara jelas. Berbagai hal diangkat oleh The Grand Old Man di dalam mengisi perkuliahannya. Mulai dari hal yang mendasar, seperti rukun iman dan rukun Islam; hingga soal perkembangan dunia Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai muculnya negara-negara Islam. “Dia menyatakan keyakinannya bahwa Islam berisi pesan ke seluruh alam semesta, tetapi bukan berarti bahwa Islam bermaksud menghapuskan agama lain. Faktanya, Islam memadukan mereka. Tidak hanya itu, bagi Salim agama dimaksudkan untuk berbuat baik,” tulis Purwanto Setiadi dalam Agus Salim: Truth and Nationalism. Kewajiban Seorang Muslim “ Bismillahirrahmanir Rahim. Saya mulai kuliah ini dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Kalimat inilah yang dilafalkan Agus Salim ketika membuka kuliahnya. Sebagaimana terangkum dalam Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell Uniersity , Agus Salim memilih tema “Rukun Iman dan Islam” pada kesempatan pertamanya menjadi dosen tamu di Negeri Paman Sam ini. Sebagai permulaan, dia menerangkan tentang adanya lima kewajiban beribadah seorang muslim: Rukun Islam. Itu mencakup lima ibadah “fardu” yang harus dilakukan orang Islam selama hidupnya. Menurut Agus Salim, fardu di sini bukan wajib; makna yang lebih tepat adalah bagian atau jatah. Sehingga fardu dapat diartikan sebagai karunia dari Tuhan kepada manusia. “Penunaian kewajiban itu bukanlah diperlukan bagi Tuhan, melainkan diperlukan bagi manusia. Jika kita ingin hidup beribadah, hidup secara saleh, maka kita mutlak perlu untuk mematuhi suatu ketertiban, suatu disiplin tertentu,” tutur Agus Salim. Ibadah fardu ada lima jenis. Pertama adalah pemurnian atau menyucikan diri. Selain melafalkan kalimat syahadat –sebagai syarat sah menjadi Muslim– memurnikan tubuh lima kali sehari, melalui wudhu , menjadi kewajiban seorang Muslim. Pemurnian ini dilakukan guna menghilangkan semua benda asing yang melekat pada tubuh, seperti lumpur, kotoran, bau, dan sebagainya. Kedua , mengerjakan ibadah shalat. Jumlah wajibnya lima kali dalam sehari. Agus Salim lalu menceritakan bagimana pembagian waktu shalat dari mulai fajar hingga malam tiba, sesuai dengan teladan Nabi Muhammad Saw. Mengenai ibadah yang kedua ini, Agus Salim menerangkan jika setiap tempat mempunyai waktu yang berbeda karena mengikuti pergerakan bumi. Kepada para mahasiswa di Cornell, Agus Salim mengemukakan pandangan modern soal shalat yang disesuaikan dengan kegiatan sehari-hari. Menurutnya, setiap orang harus menyisihkan sejenak waktunya untuk beribadah. Meski kegiatan dari pagi hingga malam begitu padat, selalu ada waktu di sela-sela jadwal itu yang bisa digunakan untuk shalat. “Setiap kali, kita kesampingkan segala pikiran, suka duka, kecemasan, dan harapan dari kehidupan keseharian, untuk menghadapkan wajah kita dan memusatkan jiwa raga kita kepada Tuhan,” kata Agus Salim. Ketiga , menjalankan puasa selama bulan Ramdhan , yakni bulan kesembilan menurut tahun takwim Islam. Akhir dari kewajiban ibadah yang ketiga ini adalah Hari Raya pada 1 Syawwal, bulan kesepuluh dalam tahun takwim Islam. Lalu kapan puasa ini dijalankan jika melihat tahun masehi? Dikatakan oleh Agus Salim, di negara empat musim ibadah puasa bisa jatuh pada musim yang berbeda tiap tahunnya. Sementara di zone khatulistiwa, termasuk Indonesia, perbedaan ini tidak terlalu terlihat. Keempat, kewajiban mengeluarkan zakat, sejenis pajak kekayaan. Besarannya 2,5% atas kekayaan pada suatu batas tertentu. Ada banyak jenis zakat. Tiap-tiap jenis memiliki besaran pengeluaran yang berbeda. “Bayaran ini tidak dipandang sebagai sedekah, pemberian amal, tapi dipandang sebagai pajak penyucian. Maka itu disebut zakat, artinya pemurnian, penyucian”. Kelima , menunaikan ibadah Haji bagi yang mampu memikul biayanya dan cukup sehat secara jasmani, dengan syarat bahwa situasi untuk menjalankan perjalanan itu sedang aman. “Masing-masing kewajiban itu disebut rukun atau sendi agama Islam. Boleh pula kita menyebutnya sokoguru atau batu-alas agama Islam,” kata Agus Salim. Pondasi Keimanan Setelah menjabarkan tentang Rukun Islam sebagai kewajiban ibadah seorang Muslim, Agus Salim mulai berbicara tentang pondasi seorang muslim: Rukun Iman. Jumlahnya ada enam, yakni iman kepada Allah sebagai Tuhan tunggal, tiada yang lain; iman kepada Malaikat-Nya sebagai pesuruh Allah; iman kepada kitab-kitab, yang di dalamnya mengandung firman Allah dan disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya; iman kepada Rasul sebagai duta Allah di dunia; Iman kepada Hari Akhir; dan iman kepada Qada dan Qadar , yang secara harfiah berarti ukuran baik dan buruk ditentukan oleh Allah. Menurut Agus Salim, empat rukun permulaan masuk akal dan jelas. Pengetahuan tentang kehendak Tuhan dari para Nabi, serta tentang kitab berisi firman Allah dan kisah hidup Nabi, bahkan perjalanan hidup Nabi dan Rasul-Nya dari orang-orang yang pernah hidup sezaman merupakan suatu mata rantai yang jelas. Sementara rukun kelima, iman kepada hari akhir (kiamat) sebagai hari diputuskannya amal manusia oleh Allah, menjadi sesuatu yang belum tampak. Banyak orang (ahli agama) mengartikan pesan Nabi Muhammad SAW seakan-akan hari kiamat itu sudah dekat sekali di depan mata. Mereka akhirnya menyangka bahwa kiamat akan melanda manusia pada masa hidup mereka. “Namun itu bukan cara pandang yang tepat menurut saya. Pesan yang dibawa oleh Nabi ditujukan kepada setiap orang, kepada kita masing-masing. Dan, masing-masing dari kita hanya dapat bersiap-siap berusaha dan berikhtiar menjelang kiamat itu, hanya semasa hidup kita yang tidak seberapa lama ini. Setelah tiba ajal, habislah segala ikhtiar, habislah usaha dan kegiatan kita, kita tinggal menantikan kiamat saja,” tutur Agus Salim. “Oleh karena itu, Nabi Muhammad telah memberi peringatan, dan sungguh benar peringatannya bahwa bagi kita masing-masing saat perhitungan itu sudah dekat sekali”. Mengenai rukun keenam, iman kepada Qada dan Qadar , Agus Salim menjelaskan jika Tuhan sebenarnya tidak pernah menciptakan suatu keburukan. Manusialah yang pada akhirnya menentukan ukuran kebaikan dan keburukan itu. Manusia bisa saja membawa kebaikan kepada keburukan, ataupun sebaliknya. Semua itu hanyalah tentang cara memanfaatkan ciptaan Tuhan dengan sebaik-baiknya. "Anda tahu bahwa udara adalah suatu syarat kehidupan manusia. Udara itu terdiri atas suatu campuran senyawa. Jika anda mengatakan dari campuran itu hanya oksigenlah yang berkhasiat bagi kesehatan, maka anda pun tidak seluruhnya benar. Sebab, jika udara yang kita hirup hanya terdiri atas oksigen murni, maka segera tamatlah riwayat kita. Tiada sebagian kecil pun dari udara itu yang tidak berfaedah," kata Agus Salim.*
- Gurauan Sukarno untuk Kennedy dan Khrushchev
MEMASUKI dekade 1960, ketegangan Perang Dingin memuncak. Kala itu, Amerika Serikat (AS) dipimpin Presiden Kennedy sedangkan Uni Soviet oleh Nikita Khrushchev. Krisis di antara Kennedy dan Khrushchev ditandai dengan perlombaan senjata dan eksplorasi luar angkasa. Ketegangan ini membagi dunia atas dua kubu Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet). Di tengah persaingan AS dan Uni Soviet, Presiden Sukarno tampil membawa Indonesia sebagai negara non blok. Meski demikian, Sukarno ikut aktif menjalin persahabatan baik terhadap Kennedy maupun Khrushchev. Sukarno lebih dahulu menggaet Khrushchev dengan mengundang sang kamerad berkunjung ke Indonesia. Gayung bersambut. Pada 18 Februari 1960, Khrushchev tiba di Jakarta. Ratusan rakyat memadati lapangan udara Kemayoran menyampaikan ucapan selamat datang. Sambutan terhadap Khrushchev berlanjut ke Istana Merdeka. Untuk memukau rombongan Khruschev, Sukarno menggelar pertunjukan kesenian selama tiga setengah jam. Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3 mengaku sungguh terpesona atas sambutan kedatangannya di Indonesia. Namun ketika acara jamuan, terjadilah insiden. Sukarno bikin ulah. Dalam pidatonya, Khrushchev merasa “dikerjai” oleh presiden Indonesia itu. “Tetapi saya tidak mau menyembunyikan, bahwa juga ada sedikit perselisihan antara saya dengan sahabat saya Bung Karno. Dan malahan perselisihan itu barangkali bisa tumbuh kalau saya diberikan tekanan terus,” ujar Khrushchev dalam pidatonya yang terhimpun dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), termuat di khazanah “Pidato Presiden RI Soekarno 1958—1967, No. 165”. “Di sini banyak sekali makanan dan dipaksakan terus agar makan semua,” terang Khruschev tergelak Ternyata tekanan yang dimaksud Khrushchev adalah suguhan makanan terus menerus. Demi tamu kehormatan, rupanya Bung Karno ingin memberikan pelayanan yang terbaik. Salah satu caranya dengan menyajikan begitu banyak makanan khas Indonesia yang tidak sanggup dihabiskan rombongan Soviet. Setahun berselang, giliran Sukarno yang diundang oleh Kennedy. Pada 13 September 1961, Sukarno mendarat di pangkalan Angkatan Udara Andrews. Kennedy menyambut langsung kedatangan Sukarno lengkap dengan defile militer. Setelah itu, Kennedy dan Sukarno menuju Gedung Putih untuk mengadakan pembicaraan informal. Dalam acara ramah tamah, usai jamuan makan, Sukarno melihat bahwa Kennedy tidak didampingi sang istri, Jacqueline. Ibu negara yang akrab disapa Jackie itu memang dikenal anggun dan berparas manis. Sukarno tentu ingin bertemu sosok Jackie, sekedar berkenalan. Ketika berjalan ke serambi depan Gedung Putih, Kennedy mengantarkan Sukarno menuju mobil sambil bercakap-cakap. Saat itulah Sukarno menanyakan perihal keberadaan Jackie. Di belakang mereka ada Guntur, putra sulung Bung Karno, yang menguntit dan kemudian mencatat pembicaraan kedua presiden itu dalam memoar Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku . “John, dari tadi aku tak melihat Jackie, ke mana dia?” tanya Sukarno. “Oh ya, tadi aku lupa menyampaikan permintaan maafnya, karena dia berhalangan hadir dalam jamuan,” jawab Kennedy. “Sekarang ia ada di mana?” Sukarno penasaran. “Sedang ke luar kota untuk suatu acara, dan ini berarti bahwa di Washington malam ini ada dua orang jomblo yang berbahagia! Kau dan saya! Betul atau tidak, Mr. President?” ujar Kennedy menggoda. Sambil tersipu, Sukarno berkata, “Ho, ho, John! Kau adalah betul-betul sahabatku yang baik.”*
- Tiga Generasi Dinasti Kim
KOREA Utara, negeri yang tertutup dari pergaulan internasional pernah dilanda isu kematian pemimpin mereka, Kim Jong-un. Isu yang beredar menyebut Kim Jong-un meninggal dunia karena penyakit jantung. Kim Jong-un pun kemudian muncul dan beraktivitas seperti sedia kala. Kim Jong-un telah berkuasa selama hampir satu dekade. Ia merupakan generasi ketiga rezim keluarga Kim. Bermula dari kakeknya, Kim Il-sung yang mendirikan negara itu, kemudian ayahnya Kim Jong-il, hingga Kim Jong-un sendiri yang sebenarnya bukan putra mahkota. Bagaimana perjalanan tiga Kim bercokol di utara semenanjung Korea itu? Kim Il-sung, Presiden Abadi Kim Il-sung lahir di Desa Mangyongdae, utara Pyongyang pada 15 April 1912. Nama aslinya Kim Song-ju yang pada 1930-an diubah menjadi Kim Il-sung, mengambil nama seorang gerilyawan legendaris. Ayahnya, Kim Hyong-jik adalah seorang guru, juru tulis, dan apoteker herbal. “Tak seperti kebanyakan orang Korea, yang tunduk pada otoritas pemerintah Jepang dan melanjutkan hidup mereka, keluarga Kim melarikan diri ke wilayah Cina yang belum diduduki Jepang,” tulis Ralph Hassig and Kongdan Oh dalam The Hidden People of North Korea . Kim Il-sung muda kemudian bergabung dengan Liga Pemuda Komunis Korea dan sempat dipenjara karenanya. Ia juga putus sekolah. Ketika berusia 21 tahun, ia bergabung dengan gerilyawan Korea yang disebut Tentara Revolusi Rakyat Korea. Dari situ, ia mulai memimpin kelompok pejuang yang berjumlah lebih dari 100 orang. Pertempuran paling terkenal terjadi di Desa Pochonbo pada 4 Juni 1937. Ia dan kelompoknya menghancurkan kantor administrasi Jepang, membakar kantor polisi, sekolah dasar, dan kantor pos. Pada 1940 atau 1941, Kim Il-sung dan tentaranya mengungsi ke Rusia. Ia tinggal di sana selama sisa perang dan menikah dengan Kim Jong-suk, yang juga seorang gerilyawan. Anak pertama mereka lahir pada 16 Februari 1941 atau 1942. Setelah Jepang menyerah, pada 19 September 1945 Kim Il-sung kembali ke Pyongyang dan ditempatkan di kantor oleh militer Uni Soviet. Ketidakyakinan pada pemerintahan Uni Soviet atas Korea Utara melahirkan sebuah komite rakyat pada Februari 1956. Kim Il-sung ditunjuk untuk memimpinnya. Meski demikian, Kim Il-sung tetap didukung Uni Soviet dalam mengendalikan pasukan keamanan dan militer yang baru dibentuk. Hingga tahun 1950, ia telah menciptakan versi mini Uni Soviet di utara Semenanjung Korea itu. Kemudian, melalui serangan 25 Juni 1950, ia memulai Perang Pembebasan Tanah Air Besar atau Perang Korea untuk memperluas kontrolnya di selatan. Tahun-tahun berikutnya, Kim Il-sung mulai tampil sebagai diktator totaliter. Dengan mudah ia membersihkan lawan-lawan politiknya dan memenjarakan ratusan ribu warganya untuk pelanggaran kecil. Warga Korea Utara bisa dengan mudah diciduk hanya karena mempertanyakan kebijakan. Paul French dalam North Korea, State of Paranoia menyebut bahwa Kim Il-sung telah belajar dari masa-masa di Uni Soviet dan juga dari tradisi otokratis di Cina kuno dan Korea tentang bagaimana kekuatan budaya kepribadian dapat digunakan untuk memobilisasi massa. “Memang Soviet memainkan peran mereka dalam menciptakan legenda dan mitos di sekitar Kim ketika mereka memilihnya sebagai pemimpin pilihan mereka di Korea Utara,” jelas French. Pada 1970-an, Kim Il-sung “semi pensiun”. Anak pertamanya mulai menjalankan urusan-urusan negara hingga Kim Il-sung meninggal dunia kerena serangan jantung pada 8 Juli 1994. Pada 1998, Kim Il-sung diberi gelar Presiden Abadi. Kim Jong-il, Suksesi Pertama Kim Jong-il lahir di kamp militer Rusia dekat Khabarovsk ketika orang tuanya dan para gerilyawan mengungsi. Ketika berusia tiga tahun, ia baru dibawa ke Pyongyang. Panggilan kecilnya adalah Yura hingga kemudian ia memakai Kim Jong-il. Jong-il diambil dari nama ibu dan ayahnya untuk mempertegas garis keturunannya. Menurut Paul French, selama Perang Korea Kim Jong-il dikirim ke Manchuria untuk keselamatannya dan baru kembali ke Pyongyang pada 1953. Kim Jong-il lulus dari Universitas Kim Il-sung pada 1964 dengan gelar sarjana ekonomi politik. Ia lalu bergabung dengan Departemen Propaganda dan Agitasi Partai Pekerja Korea yang dipimpin pamannya. Kemudian pada 1967, ia menjabat kepala bagian Departemen Bimbingan Budaya dan Seni dan menjadi wakil direktur pada 1970. Karier politik Kim Jong-il menanjak dengan cepat. Ia menjadi sekretaris Partai Sentral pada 1973. Setahun setelah diangkat ke Politbiro dan berkat arahan ayahnya, ia menjadi anggota Komite Tetap Politbiro, sekretaris Komite Partai Pusat dan anggota Komite Militer Pusat. Pada 1990-an, Kim Jong-il mendapat beberapa gelar dan jabatan tinggi untuk mengkonsolidasikan kendalinya atas militer, satu-satunya institusi yang dapat menjegal suksesinya. Ia juga kemudian terpilih sebagai wakil ketua pertama Komisi Pertahanan Nasional yang diketuai ayahnya sendiri. Setelah ayahnya meninggal dunia pada 1994, Kim Jong-il menggantikan posisi orang nomor satu di Korea Utara itu. “Korea Utara selalu menjadi negara rahasia, tetapi di bawah Kim Jong-il kerahasiaannya meningkat. Tidak seperti ayahnya, yang senang bertemu orang-orang dan memberikan pidato, Kim junior menghindari mata publik dan tidak pernah memberikan pidato publik atau membuat siaran media,” sebut Hassig dan Oh. Kim Jong-un, Bukan Putra Mahkota Kim Jong-nam, putra pertama Kim Jong-il gagal menjadi penerus ayahnya. Pada 2001, ia ditahan karena melakukan perjalanan ilegal ke Jepang. Ia kemudian dideportasi dan membuat malu ayahnya. Sejak itu, ia telah kehilangan kepercayaan sebagai calon pemimpin Korea Utara. Ia lalu tinggal di Macau dan beberapa kota Asia lainnya. Dua putra Kim Jong-il lainnya dari istri ketiga yakni Kim Jong-chol dan Kim Jong-un awalnya tak banyak diketahui. Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun sekolah di Swis. Kim Jong-chol kemungkinan lahir pada 1981 disebut bersifat agak lembut. Sementara adiknya, Kim Jong-un, yang mungkin lahir pada 8 Januari 1982 atau 1983 dianggap lebih tangguh dan lebih mirip ayahnya. Menurut seorang koki Jepang yang sering ke Pyongyang untuk memasak di rumah keluarga Kim, Kim Jong-chol memang lebih sopan dari Kim Jong-un. Seperti dikutip Bradley Martin dalam Under The Loving Care of The Fatherly Leader , koki itu menyebut Kim Jong-un lebih gigih dari kakaknya dan ayahnya menyukai itu. “Kegigihan Kim Jong-un yang mencolok, kata koki itu, menyenangkan hati Kim Jong-il. Koki mengatakan bahwa Papa (Kim Jong-il) telah mengindikasikan dia tidak akan memilih kakak laki-laki Kim Jong-un karena dia menganggap Kim Jong-chol terlalu kekanak-kanakan,” tulis Bradley Martin. Menurut laporan intelijen Korea Selatan, pada 8 Januari 2009, Kim Jong-il mengeluarkan arahan kepada anggota partai yang menyebut Kim Jong-un sebagai penggantinya. “Pada bulan Juni, orang-orang Korea Utara mulai mendengar tentang ‘Jenderal Kim yang cemerlang’ dan mereka diajari lagu baru berjudul ‘Langkah Kaki’ yang menyebutkan Jenderal Kim,” sebut Hassig dan Oh. Pada September 2010, konferensi Partai Pekerja Korea mendapuk Kim Jong-un yang kala itu berusia 28 tahun sebagai wakil ketua Komisi Militer Pusat setelah sehari sebelumnya diangkat sebagai jenderal bintang empat. Dalam beberapa bulan setelah ayahnya meninggal dunia pada 17 Desember 2011, Kim Jong-un telah mendapatkan semua posisi kekuasaan yang diperlukan. Kemudian pada 2012, ia menjadi sekretaris pertama partai, ketua Komisi Militer Pusat, dan anggota Presidium Politbiro. Selama satu hingga dua tahun, Kim Jong-un telah menyingkirkan orang-orang ayahnya dan menggantinya dengan orang-orangnya sendiri. Banyak jenderal dipindahkan, diturunkan pangkatnya, dan dipaksa pensiun. Pamannya, yang bertahun-tahun menjadi orang terkuat kedua di negara itu dituduh tidak loyal, dipermalukan di depan publik dan dieksekusi. Kini Kim Jong-un telah berkuasa hampir satu dekade dan negara itu tetap tertutup. Setelah Kim Jong-un, adik perempuannya, Kim Yo-jong digadang-gadang akan meneruskan kekuasaan dinasti Kim.*
- Kim Il-sung Menerima Gelar Doktor Honoris Causa dari UI
Presiden Korea Utara Kim Il-sung berkunjung ke Indonesia pada April 1965 dalam rangka menghadiri peringatan dasawarsa Konferensi Asia Afrika. Presiden Sukarno mengajaknya ke Kebun Raya Bogor dan menghadiahinya bunga anggrek yang dinamai Kimilsungia. Selain itu, Sukarno juga meminta Universitas Indonesia (UI) untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung dalam bidang teknik. Nizam Yunus dalam biografi Soemantri Brodjonegoro, Teguh di Jalan Lurus menyebut bahwa Sukarno intensif menganugerahkan gelar doktor kehormatan dalam rangka membina poros Jakarta–Pnom Penh–Hanoi–Peking–Pyongyang dan solidaritas Nefos (New Emerging Forces) yaitu negara-negara baru merdeka. Pada 30 Januari 1964, UI memberikan gelar doktor kehormatan kepada Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan pada 3 Februari 1964 kepada Jenderal Carlos P. Romulo dari Filipina. "Prosedurnya sederhana saja. Bung Karno menyampaikan perintah secara lisan, dan kemudian utusan Bung Karno yang selanjutnya berurusan dengan UI, tanpa melalui menteri pendidikan/kebudayaan," tulis Nizam. Upacara penganugerahan doktor kehormatan untuk Kim Il-sung dilangsungkan pada 15 April 1965. Penanggung jawab acara tersebut adalah Prof. Slamet Iman Santoso. Rencananya acara akan diselenggarakan di halaman UI, Jl. Salemba 4, di dekat aula. Untuk itu, UI dan aulanya harus diremajakan. "Semua pekerjaan di lapangan, sayalah mandornya. Saya lapor kepada sekretaris negara. Beliau sudah mengetahui rencana promosi, dan saya langsung dapat uang 25 juta rupiah cash , tanpa kuitansi. Semua uang dapat saya pertanggungjawabkan, kecuali Rp250.000 yang disalurkan melalui Dewan Mahasiswa,” kata Slamet Iman Santoso dalam memoarnya, Warna-warni Pengalaman Hidup. Pada awal pengerjaan, Slamet meminta kepada Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, untuk terus mengikuti proses peremajaan agar persyaratan keamanan terpenuhi. Pekerjaan berjalan aman, tertib, dan lancar. Sehari sebelum promosi, pasukan Tjakrabirawa memeriksa aula dan lapangan dari pukul delapan sampai pukul sebelas, dan menyatakan keamanan terjamin. "Jadi, legalah kami!" kata Slamet. Tiba-tiba, pukul dua siang saat di rumah, Slamet menerima telepon: "Seluruh upacara harus dipindah ke Istana Presiden, sebab keamanan di Salemba 4 tidak bisa dijamin!" Akibatnya, Slamet harus mengerahkan semua karyawan UI untuk memindahkan segala persiapan ke Istana Presiden. "Kok bisa, ya, dalam beberapa jam keamanan bisa berubah seratus persen! Memang Indonesia ini ajaib sekali, serba bisa!" kata Slamet. Presiden Sukarno mengucapkan selamat kepada Presiden Korea Utara Kim Il-sung yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. ( kawankorea.com ). Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kim Il-sung pun dilangsungkan di Istana Presiden. Dalam rangka pelaksanaan promosi, sang promovendus mengucapkan pidato. Menurut Slamet, isi pidatonya khas seorang pemimpin partai komunis. Wajah Duta Besar Amerika Serikat yang menghadiri upacara menjadi merah. Namun, ia bisa menahan diri dan tidak meninggalkan upacara promosi. "Saya rasa, promovendus adalah seorang militer-komunis, yang sama sekali tidak tahu tentang kebebasan mimbar ilmu pengetahuan dan kampus. Tahunya hanya soal partainya saja," kata Slamet. Setelah selesai acara promosi, selagi Slamet duduk bekerja, datanglah Rektor UI Soemantri Brodjonegoro, duduk di antara pegawai biro rektor, sambil tertawa-tawa. Akhirnya, Soemantri menceritakan: "Presiden Sukarno menginstruksikan kepada Pak Slamet, pada saat menggantungkan kalung di leher Presiden Kim II-sung, seharusnya tidak boleh berdiri antara promovendus dan para hadirin. Ingat? Lha, kok pada saat mengalungkan, Presiden Kim Il-sung diputar dua kali sembilan puluh derajat! Satu kali sebelum mengalungkan, lantas satu kali lagi diputar kembali setelah pengalungan selesai. Sampai Presiden Sukarno bilang sama saya, hanya seorang psikiater Slamet-lah yang berani memutar seorang presiden!" "Barulah saya menyadari perbuatan saya. Saya memang memegang pundak kanan-kiri Presiden Kim II-sung, dan saya putar beliau sebelum mengalungi, kemudian saya putar kembali beliau ke posisi semula. Pada waktu saya melaksanakannya, semua berjalan otomatis, tanpa menyadari masalah perbedaan pangkat. Pelanggaran yang terjadi itu reflektoris saja!" kata Slamet.
- Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
DUNI tengah berjuang melawan pandemi virus corona. Pemeritah Indonesia telah mengeluarkan protokol kesehatan menghadapi Covid-19. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia pun telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam menjaga kesehatan diri dan berperan dalam memutus penyebaran virus corona, di antaranya dengan beribadah di rumah. Dalam sejarah Islam, para ulama telah menghasilkan karya-karya tentang wabah dan cara menghadapinya. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan bahwa para sarjana muslim biasanya mengawali penjelasannya dengan hadis. “Kalau ada wabah di suatu daerah kamu jangan masuk ke situ, dan jangan lari dari situ karena akan menularkan. Ini kejadiannya dalam wabah amwas pada masa Sayyidina Umar,” kata Oman dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia” yang diselenggarakan Museum Nasional pada Selasa, 21 April 2020 . Memanjatkan Doa Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Ia mengisahkan pengalamannya dalam menghadapi wabah. Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam The Black Death in the Middle East menjelaskan bahwa menurut Abi Hajalah pertahanan terbaik menghadapi wabah adalah berdoa. Salah satunya dengan memperbanyak membaca salawat nabi. "Ini menghiasi beberapa karya ulama pada masa itu (abad ke-14, red .)," kata Oman. Dols mencatat, risalah ini juga mencakup diskusi tentang tiga kepercayaan muslim terkait wabah, yaitu kematian oleh wabah adalah syahid untuk muslim yang setia, hadis mengenai seorang muslim tidak boleh masuk dan melarikan diri dari daerah yang dilanda wabah, dan bagaimana sifat wabah itu sendiri. Abi Hajalah menyebut kematian anaknya oleh wabah sebagai mati syahid. Ia menguburkannya berdekatan dengan makam seorang wali. "Sebagaimana hadis nabi, kematian sang putra, ia sebut sebagai kematian syahid," kata Oman. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449), ahli hadis mazhab Syafi’i yang terkemuka, juga termasuk yang memakai penjelasan teologis. Ia meyakini bahwa penyakit lahir karena kehendak Tuhan, hukuman, rahmat, atau dosa. Menurut Oman, di antara ulama-ulama yang memakai penjelasan serupa, mereka percaya penyakit menular itu tak ada. Bagi mereka, penyakit datang langsung dari Tuhan. "Al-‘Asqalani juga menulis doa supaya sehat, lalu agar bersabar dan berbaik sangka, plus di rumah saja saat ada tha’un ," kata Oman. Mencari Ketenangan Muhammad al-Manjibi al-Hambali, cendekiawan dari Suriah Utara abad ke-14, menulis kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373). Penyebaran wabah meningkat menjelang akhir Syawal, Dzulka’dah, dan Dzulhijah, kemudian menurun pada Muharram tahun berikutnya. Kitab karya Al-Manjibi itu diterjemahkan oleh Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa, dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi's Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal Poetics Today. Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang meninggal dunia. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' ( ta’un al-akhyar )," kata Al-Manjibi. Namun, mayoritas yang tewas adalah anak-anak. "Sangat parah sehingga keluarga teman-teman kami kehilangan semua anak-anak mereka, tidak ada yang selamat," kata Al-Manjibi. Menurut Oman, Al-Manjibi menulis karya itu untuk menghibur orang yang sedang bersedih karena tertimpa wabah. Karya itu diharapkan memberikan rasa tenang kepada orang-orang yang panik. "Saya ingin menghibur supaya mereka rileks, tidak stres, maka aku karanglah kitab ini. Ini untuk menghibur mereka yang terkena wabah," kata Al-Manjibi dikutip Oman. Ibnu Khatimah, ulama sekaligus ahli medis, sejarawan, dan penyair dari Andalusia, juga menyaksikan wabah Maut Hitam merebak di Eropa. Menurutnya, ketika wabah merebak, penting untuk menjaga moral dan jiwa agar terus merasa gembira, tenang, rileks, dan penuh harapan. "Masyarakat harus mencari pendamping yang menyenangkan, pendamping yang terbaik adalah Alquran," kata Ibnu Khatimah dikutip Dols. Masyarakat yang berada di tengah wabah juga bisa mencari ketenangan lewat buku sejarah, humor, dan kisah cinta untuk mengisi pikiran. Mereka harus mengindari berbicara tentang apapun yang bisa membangkitkan kesedihan. "Intinya Anda harus ceria, harus rileks, jaga asa, di sini contohnya jangan bicara yang sedih-sedih, baca buku sejarah, humor, dan kisah cinta," kata Oman. Ibnu Khatimah juga menyarankan untuk mengurangi pergerakan supaya menghindari penularan lewat pernapasan. Mengisolasi Diri Banyak ulama dan cendekiawan muslim mendukung hadis yang melarang tidak masuk dan melarikan diri dari wilayah terkena wabah. Salah satunya Ibnu al-Khatib (1313–1375) yang lahir di Loja, Granada (sekarang masuk wilayah Spanyol). Al-Khatib banyak menulis tentang sejarah, filsafat, mistisisme, kedokteran, dan puisi. Risalahnya yang penting tentang wabah pes (Maut Hitam) berjudul Muqni’at as-sa’il ‘an marad al-ha’il. Menurut William B. Ober dan Nabil Alloush dalam "The Plague at Granada 1348–1349: Ibn Al-Akhatib and Ideas of Contagion" yang terbit dalam Bulletin of the New York Academy of Medicine , karya itu ditulis setelah tahun 1352 karena Al-Khatib juga menyebut kisah Ibnu Battutah tentang wabah di Timur Tengah. Pengelana asal Maroko itu sempat mengunjungi Granada pada 1349–1352. Al-Khatib merekomendasikan sejumlah tindakan pengobatan yang tak banyak berbeda dengan ulama lainnya. Namun yang menarik, ia menekankan adanya penularan. Penyebaran penyakit terjadi melalui kontak antarmanusia. Menurutnya orang yang kontak dengan korban wabah akan mati. Sedangkan orang yang belum terpapar akan tetap sehat. Pakaian mungkin salah satu yang bisa membawa penyakit masuk ke rumah. Bahkan anting-anting yang dipasang di telinga pun bisa berakibat fatal. "Penyakit ini bisa muncul pertama kali dalam satu rumah di kota tertentu, lalu menyebar dari sana ke tetangga, kerabat, atau pengunjung," kata Al-Khatib dikutip Ober dan Alloush. Wabah dapat merebak ke kota pantai karena seseorang yang mengidapnya datang dari seberang lautan yang wilayahnya terjangkit penyakit. "Banyak orang tetap dalam kondisi sehat jika menjaga diri mereka terisolasi dari dunia luar," kata Al-Khatib. Al-Khatib mencontohkan, seorang saleh bernama Ibnu Abi Madyan dari wilayah Salé, Maroko, percaya adanya penularan. Karenanya ia menyiapkan perbekalan, membangun rumah dengan bata, dan mengisolasi keluarga besarnya. " Kota itu sangat terdampak, tapi tak ada seorang pun dari keluarganya yang terjangkit," kata Al-Khatib. Ada banyak komunintas yang tinggal jauh dari jalan raya dan jalur perdagangan tetap sehat. "Contoh lain adalah para tahanan di Sevilla, mereka tak terdampak. Padahal kota itu sangat terpukul akibat wabah," kata Al-Khatib. Menjaga Imunitas Ibnu Khatimah menganjurkan untuk menjaga imunitas saat menghadapi wabah. Dalam karyanya, ia menjelaskan ada orang yang punya imun baik dan tidak. Oman mengatakan Ibnu Khatimah memberikan berbagai tips untuk memperkuat ketahanan tubuh. "Ulama sekaliber Ibnu Khatimah menjelaskan dari herbal. Logikanya seperti sekarang," kata Oman. Misalnya, mengolesi muka, tangan, dan tubuh dengan sitrun, kandungan dalam jeruk, atau bunga segar. Ia juga menyebutkan buah-buahan untuk diminum. "Seseorang harus menggosok wajahnya dan tangannya dengan aroma lain seperti serai, lemon, dan bunga segar seperti mawar dan violet," kata Oman. Ibnu Khatimah juga menyarankan agar banyak menghirup udara segar, tinggal di rumah yang menghadap ke utara, dan menjaga tetap terkena sinar matahari dan angin hangat. Ia juga menganjurkan agar memenuhi rumah dengan wangi-wangian, seperti membakar kayu cendana dan kayu gaharu; merendam mawar dan memercikan air mawar di rumah dan penghuninya. "Karena diyakini penyakit muncul dari tempat kotor dan bau. Campuran kayu gaharu dengan air mawar juga bisa diminum," kata Oman. Menurut Oman, kebanyakan naskah terkait wabah dihasilkan oleh para ulama yang hidup saat Maut Hitam menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam. Tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam juga terdampak. "Dalam tradisi Islam, dari Alquran dan Injil dilihat secara bersama-sama, ketemu titik temunya bahwa ini wabah kemanusiaan. Sama seperti sekarang, etnis apapun, agama apapun bersama menangani wabah ini," kata Oman.*
- Curhat Soe Hok Gie Kepada Arief Budiman
TAK banyak orang tahu, sejak remaja Soe Hok Gie sempat tak pernah akur dengan Soe Hok Djin, sang kakak yang kemudian merubah namanya menjadi Arief Budiman. Menurut Arief, situasi itu terjadi cukup lama: hampir 10 tahun. Gegaranya hanya soal-soal sepele saja. “Terkait soal-soal remaja-lah, misalnya saya kesal Hok Gie kadang malas mengurus piaran-piarannya yang sebenarnya itu adalah kewajibannya,” ungkap Arief kepada Rudy Badil (sahabat Soe Hok Gie) pada suatu hari. Namun seiring waktu, permusuhan itu mulai mencair ketika mereka berdua sama-sama kuliah di UI. Bahkan tiga tahun menjelang kematian Soe Hok Gie pada 16 Desember 1969 di Puncak Mahameru, bisa dikatakan hubungan Soe Hok Gie dan Arief terbilang sangat akrab. “ Gue rasa karena mereka memiliki visi yang sama dalam soal-soal prinsip politik seperti perlunya melengserkan Presiden Sukarno pada awal 1966,” ujar Rudy. Keakraban itu diperlihatkan dengan seringnya Soe Hok Gie berdiskusi secara khusus bersama Arief. Bahkan ketika Arief pindah rumah dari Kebon Jeruk (kediaman orangtua Soe Hok Gie dan Arief Budiman) karena menikah dengan Sitti Leila Chairani pada 1968, tradisi tersebut tetap berlanjut. Dalam surat-surat pribadi dan catatan hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran ), nama Arief banyak disebut Soe Hok Gie. Sebaliknya, Arief sendiri banyak dicurhati berbagai persoalan oleh sang adik, terutama terkait prinsip-prinsip politik dan masalah cinta. “Dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju,” ungkap Arief seperti dikisahkan dalam obituarinya untuk sang adik yang dimuat dalam Catatan Seorang Demonstran . Soe Hok Gie mengeluh kepada Arief jika hubungan cintanya selalu dihalangi oleh orangtua sang gadis. Dengan ayah pacarnya yang seorang pengusaha sukses, Soe Hok Gie memang telah beberapa kali bicara dan mendapat simpati atas keberanian-keberaniannya melakukan kritik kepada sesuatu yang tidak benar. “Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya, tanpa mau terlibat dengan diri saya,” ungkap Soe Hok Gie kepada Arief. Arief Budiman. (Wikimedia Commons). Arief mafhum, Soe Hok Gie sebenarnya sudah siap menghadapi risiko-risiko sebagai seorang pengeritik paling keras untuk pemerintah Orde Baru. Tak ada yang ditakutkannya lagi, termasuk ketika dia diancam akan dibunuh oleh seseorang yang mengirimkan surat kaleng ke rumahnya. “Cina yang tak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja!” maki orang yang mengirimkan pesan misterius itu. Kepada Arief, Soe Hok Gie juga pernah mencurahkan tentang kekecewannya kepada kawan-kawannya para pemimpin mahasiswa yang mau saja menjadi anggota parlemen lalu berebutan mendapatkan kredit mobil Holden. Baginya, mereka tak lebih hanya “para tukang catut” perjuangan gerakan mahasiswa. “Bergabunglah dengan partai politik kalau mau berpolitik, jangan mencatut nama mahasiswa,” kata Gie dalam suatu artikel berjudul “Setelah Tiga Tahun” yang termaktub dalam kumpulan tulisannya berjudul Zaman Peralihan . Kegeraman Soe Hok Gie, tidak hanya terlontar dalam tulisan. Kurang lebih sebulan sebelum kematiannya, dia masih sempat merencanakan untuk ngerjain para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) terutama wakil-wakil dari kalangan mahasiswa. “Saya usulkan kepada Jopie untuk memberikan kain sarung dan kebaya buat Ketua DPRGR sebagai ucapan selamat atas “kepengecutannya”. Lalu ide ini beralih…hanya kepada wakil-wakil mahasiswa yang ada di sana,” ungkap Soe Hok Gie seperti yang dia tulis dalam catatan hariannya tertanggal 26 November 1969. Pada akhirnya, Soe Hok Gie dan kawan-kawannya mengirim seperangkat alat kosmetik dan cermin untuk wakil-wakil mahasiswa itu. Pemberian itu diiringi pesan agar “para wakil mahasiswa yang tak kenal menyerah dan tak mengenal kompromi” bisa tampil lebih cantik lagi di muka penguasa. “Paket ini diantar pada 12 Desember 1969,” ungkap John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Beberapa waktu sebelumnya, selain kepada Arief, Soe Hok Gie juga pernah menumpahkan kekecewaannya itu pada suatu puisi panjang. Stanley Adi Prasetyo menuliskan “puisi kekecewaan” itu dalam buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi (disunting oleh Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R): Kepada Pejuang-Pejuang Lama Biarlah mereka yang ingin mendapatkan mobil, mendapatkannya. Biarlah mereka yang ingin mendapatkan rumah, mengambilnya. Dan datanglah kau manusia-manusia Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu. Dan kita, para pejuang lama. Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut) (Kau tentunya masih ingat suara-suara di belakang…”mereka gila”) Hai, kawan-kawan pejuang lama. Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita Buku-buku kita atau pun sisa-sisa makanan kita Dan tinggalkanlah kenang-kenangan dan kejujuran kita. Mungkin kita ragu sebentar (ya kita yang dahulu membina kapal tua ini di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta kepadanya) Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana… Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru… Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini Biarlah mereka yang ingin pangkat, menjabatnya Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatkannya Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya Ayo, Langit masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak tak ada tempat di kapal ini.*
- Ahmadiyah dan Sukarno
ENDEH, 25 November 1935, rasa gundah datang menyelimuti Sukarno. Sudah beberapa hari pikirannya begitu terbebani oleh sebuah surat dari kawannya, A. Hassan, di Bandung. Pasalnya, ia dituduh telah mendirikan cabang Ahmadiyah di Sulawesi. Bahkan menjadi propagandis untuk penyebaran Ahmadiyah di wilayah itu. Menurut sang kawan, berita tentang hubungan dirinya dan Ahmadiyah pertama kali tersebar di surat kabar Pemandangan , pada sebuah kolom berita singkat. Mengingat surat kabar yang dimaksud baru sampai di Endeh tiga sampai empat hari, Sukarno belum sempat membacanya. Namun ia sangat yakin dengan kabar dari kawan yang dipercayainya itu. Kerisauan Bung Karno kemudian dituangkan di dalam sebuah surat berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi” (dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid Pertama) . Sukarno tidak habis pikir bagaimana bisa tuduhan sebagai propagandis Ahmadiyah di Sulawesi ini dialamatkan kepadanya, sedangkan di dalam pengasingan ia tidak bisa begerak secara bebas. Sukarno lalu meminta kepada A.Hasan untuk membantunya membantah segala berita tentang dirinya di surat kabar Pemandangan . “Saya bukan anggota Ahmadiyah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah dan menjadi propagandisnya, apalagi buat bagian Celebes! Sedang plesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh!” kata Sukarno. Diakui Sukarno, jika di Endeh dirinya memang menjadi lebih memperhatian urusan-urusan agama dibandingkan sebelumnya. Selain karena studi ilmu sosial yang mulai didalami, ia juga banyak membaca buku-buku soal agama. Tapi ditegaskan oleh Sukarno bahwa ia tidak pernah terikat oleh suatu golongan agama tertentu. Ia lebih suka disebut sebagai penganut Islam. “Dari Persatuan Islam Bandung, saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu. Kepada tuan Hassan dan Persatuan Islam saya di sini mengucapkan saja punya terima kasih, beribu-ribu terima kasih,” ucapnya. “Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih.” Tentang Ahmadiyah Kendati menolak jika dikaitkan dengan Ahmadiyan, Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. Ia bahkan membaca beberapa buku keluaran Ahmadiyah, yang menurutnya memberi banyak pelajaran, di antaranya: “ Mohammad the Prophet ”, dan “ Inleiding tot de Studie van den Heiligen Qoer’an ” karya Mohammad Ali; ” Het Evangelie van den daad ”, dan “ De bronnen van het Christendom ” karya Chawadja Kamaloedin; serta kumpulan artikel di dalam “ Islamic Review ”. “Mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rasionalisme, mereka punya kelebaran penglihatan ( broadmindedness ), mereka punya modernism, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam ,” ujar Sukarno. Menurut Lukman Surya dan Nur Kholik dalam Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam: Ulasan Pemikiran Soekarno , tidak hanya mengungkapkan kekagumannya, Sukarno juga menolak dan tidak menyetujui beberapa uraian yang ada di dalam buku-buku Ahmadiyah. Misalnya menjadikan tokoh Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang yang dikeramatkan, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris. Jadi Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula bagian-bagian ajaran itu yang ia tolak mentah-mentah. “Toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu,” ucap Sukarno. Namun ditegaskan juga oleh Sukarno bahwa ia mempelajari agama Islam tidak hanya dari satu sumber saja. Karena bagi Sang Proklamator, agama Islam adalah satu agama yang luas, yang menuju kepada persatuan manusia. Untuk itu telah begitu banyak buku “yang saya datangi dan saya minum airnya”. “Buku-buku Muhammadiyah, buku-buku Persatuan Islam, buku-buku Pelajaran Islam, buku-buku Ahmadiyah, buku-buku dari India dan Mesir, dari Inggris dan Jerman, tafsir-tafsir bahasa Belanda dan Inggris, buku-buku dari lawan-lawan Islam (Snouck Hurgronje, Arcken, Dozy Hartmann, dan lain sebagainya), buku-buku dari orang bukan Islam tapi yang simpati dengan Islam, semua itu menjadi material bagi saya. Ada beberapa ratus buku yang saya pelajari itu. Inilah satu-satunya jalan yang memuaskan kepada saya di dalam saya punya studi itu,” kata Sukarno.*
- Selintas Riwayat Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje masyhur karena pengetahuannya, kontroversial karena perannya.
- Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal Jusuf
JENDERAL TNI Mohammad Jusuf masuk gelanggang baru usai purna tugas sebagai Panglima ABRI. Presiden Soeharto menunjuk bangsawan Makassar itu untuk memimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah. Umar berhenti sebagai Ketua BPK karena harus mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden. Pada 29 Maret 1983, Jusuf resmi menjadi ketua BPK. Dari Istana setelah serah terima jabatan, Jusuf langsung menuju kantor BPK yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Hari itu, semua staf BPK telah menanti bos baru mereka dengan harap-harap cemas. Ketika Jusuf memperkenalkan diri, sepatah amanat terlontar. “Yang memeriksa harus lebih bersih sebelum melakukan pemeriksaan,” kata Jusuf dicatat dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1983—1984 . “Tidak ada bangsa di dunia ini dapat menjadi besar apabila apabila tidak memiliki harga diri dan kehormatan.” Itulah amanat perdana Jusuf yang disampaikan dihadapan seluruh jajaran BPK. Jusuf berupaya menegakkan wibawa lembaga yang saat itu dipandang sebelah mata. Memangggil Pejabat Negara Sebagai ketua BPK, Jusuf tidak begitu sering muncul ke muka publik sebagaimana waktu menjabat panglima ABRI. Penampilan pertama Jusuf di depan umum terjadi ketika Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam mengundangnya pada 12 Oktober 1983. Menteri Rustam meminta Jusuf memberikan presentasi dalam rapat kerja gubernur se-Indonesia. Dalam pertemuan itu, Jusuf berbicara blak-blakan mengemukakan berbagai penyimpangan yang terjadi di pemerintahan. Temuan penyimpangan itu diteruskan BPK dalam Hasil Pemeriksaan Tahunan (Haptah). Laporan tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk buku tebal. Walau demikian, Jusuf masih geregetan lantaran Haptah hanya dianggap sebagai angin lalu belaka oleh DPR. Di sisi lain, BPK tidak punya kewenangan untuk menindaklanjuti saran-saran yang diberikan oleh Tim Auditor BPK kepada DPR. Pada akhir 1984, Jusuf berdasarkan kewenangan yang diatur undang-undang memulai gebrakannya. Dia memanggil pejabat tingkat menteri untuk datang ke kantornya. Tindakan Jusuf terbilang berani. Pada masa itu, tidak sembarang orang biasa memanggil menteri selain presiden dan wakil presiden. Jusuf mula-mula memanggil empat menteri. Kemudian pada 11 Desember 1984, Jusuf memanggil Menteri Pekerjaan Umum Suyono Sosrodarsono, Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat, dan Menteri Pertambangan dan Energi Dr. Subroto. Pemanggilan mereka berhubungan dengan hasil auditor BPK menyangkut keuangan negara. “Pokoknya, semua pihak yang kita perlukan untuk dipanggil, ya kita panggil,” ujar Jusuf seperti terkisah dalam biografinya Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji SumarkidjoSewaktu memanggil Menteri Transmigrasi Martono, Jusuf mengemukakan banyaknya penyelewengan. Diantaranya soal pemberian hak transmigran di daerah baru. Ketika keluar dari kantor BPK, Martono mengatakan bahwa Ketua BPK mengingatkan dirinya agar hak para transmigran “jangan dilipat-lipat”. Hal yang sama terjadi kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapennas J.B Sumarlin. Dari Jusuf, Sumarlin mendapat informasi mengenai bentuk-bentuk penyelewengan yang ditemukan di kementeriannya. Tidak hanya menteri, Jusuf juga tidak segan memanggil pejabat level di bawah menteri bila diperlukan. Ini terjadi kepada Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Bustanil Arifin yang tergolong kerabat "keluarga Cendana" dari pihak Ibu Tien Soeharto. Bustanil dipanggil karena adanya temuan auditor BPK bahwa beras yang dibagikan kepada pegawai negeri tidak sesuai dengan mutu yang ditentukan. Hingga akhir tahun 1985, Jusuf telah memanggil dan bertemu dengan hampir semua Menteri Kabinet Pembangunan IV, kecuali Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI. Bagi Jusuf setiap warga negara menurut ketentuan undang-undang harus mau memberikan keterangan kepada BPK. “Kalau tidak, orang itu bisa aku ajukan ke pengadilan!” katanya seperti dicatat Atmadji. Ketua Dua Periode Sorotan atas Kinerja BPK di bawah kepemimpinan Jusuf terbilang positif. Tajuk rencana Suara Pembaruan , 9 Februari 1987 mengungkapkan temuan-temuan BPK atas penyalahgunaan uang negara. Kerugian negara dari Pemilu 1987 mencapai Rp1,8 milyar. Piutang Bulog di berbagai perusahaan rekanannya sebesar Rp300 milyar. Sementara itu, kredit macet di Koperasi Unit Desa (KUD) juga mencapai belasan milyar rupiah. Meski kebijakannya memanggil menteri agak kontrovesial, Presiden Soeharto tampaknya sepaham dengan Jusuf. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya kembali Jusuf sebagai ketua BPK. Pada 9 Agustus 1983, Soeharto melalui surat keputusannya menetapkan Jusuf menjadi ketua BPK untuk periode kedua. Kebiasaannya memanggil menteri pun tetap diteruskan. Pada 1990, Jusuf menyerahkan hasil pemeriksaan tahunan BPK kepada DPR. Dalam laporannya, Jusuf menyebut betapa banyaknya pemakaian dana-dana pembangunan yang menyimpang. Misalnya, BPK menemukan penyertaan modal pemerintah dalam BUMN yang tidak jelas statusnya. Jusuf juga melaporkan penemuan penanganan kredit macet yang tidak didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berbagai proyek Pemerintah Daerah yang tidak efektif dan efisien menjamur dimana-mana. Juga ditemukan instansi-instansi yang melakukan pengeluaran tidak pada tempatnya, seperti pembelian barang untuk jangka waktu panjang. “Sayang laporan BPK itu tidak disiarkan seluruh isinya dari tahun ke tahun untuk diketahui masyarakat. Dan pers Indonesia sendiri kelihatannya cukup lama tidak lagi bersemangat untuk membongkar kasus korupsi, kecuali pernyataan-pernyataan dari sumber resmi,” tulis Mochtar Lubis dalam Korupsi Politik . Cara kerja Jusuf melaporkan hasil temuan BPK pernah ditanyakan oleh Ben Mboi, gubernur Nusa Tenggara Timur. Menurut Mboi, Jusuf selalu membuat dua laporan temuan BPK. Laporan sesuai dengan realitas temuan diberikan kepada Presiden Soeharto agar dia mengetahui kondisi birokrasi negara yang sebenarnya. Sementara kepada DPR hanya laporan yang memperhatikan dampak-dampak poltik saja. “Hal-hal yang berdampak politik secara kualitatif saja dan bukan kuantitatif saya kirim ke DPR. Tapi Presiden harus tahu yang kualitatif dan kuantitatif,” kata Jusuf kepada Mboi dalam memoar Ben Mboi: Memoar Seorang Dkoter, Prajurit, Pamong Praja . Dengan demikian, aksi lanjutan pemberantasan korupsi terpulang kembali kepada Soeharto sendiri. Pada 1993, Jusuf mengakhiri periode keduanya sebagai ketua BPK. Kedudukan itu pula yang menjadi jabatan terakhirnya dalam pemeritahan. Setelah 45 tahun mengabdi negara yang dirintis dari prajurit hingga pejabat sipil, maka purnabaktilah Jenderal (Purn.) M. Jusuf.*
- Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
“MUSUH dari musuhku adalah temanku.” Ungkapan politis tersebut cocok untuk menilai eratnya hubungan Adolf Hitler dengan kalangan dunia Arab di Perang Dunia II. Baik Der Führer dan Amin al-Husseini, wakil dunia Arab, punya musuh bersama: Sekutu dan Yahudi. Al-Husseini tak lain adalah Mufti Besar Yerusalem yang sempat memimpin Pemberontakan Arab di Palestina, 1936-1939. Meski disokong dana oleh bos fasis Italia Benito Mussolini, pemberontakan itu kandas. Al-Husseini lari ke Eropa hingga kemudian bersua Hitler di Berlin pada 28 November 1941. Dalam pertemuannya, Hitler menjanjikan sokongan penuh kepada Al-Husseini untuk jadi pemimpin dunia Arab, mulai dana, senjata, hingga pembentukan askar (laskar) alias prajurit muslim di bawah panji Nazi. Dalam gejolak Perang Dunia II, salah satu unit ternama hasil dari janji Hitler pada Al-Husseini itu adalah Divisi Gunung ke-13 “Handschar” di bawah naungan Waffen-SS (Pasukan Schutzstaffel). Sejatinya, beberapa bulan sebelum keduanya bertatap muka,sudah ada ratusan askar muslim Nazi yang dibentukuntuk mendukung kudeta yang ditukangi Rashid Ali al-Gaylani terhadap Kerajaan Irak yang pro-Sekutu (Inggris). Gaylani dibantu Fawzi al-Qawuqji, veteran flamboyan Perang Dunia I pemilik medali Iron Cross kelas II asal Suriah. Mengutip Robert Lyman dalam Iraq 1941: The Battles for Basra, Habbaniya, Fallujah and Baghdad , Hitler mengirim bantuan militer berlandaskan Weisung Nr. 30 atau semacam surat perintah Hitler nomor 30 tertanggal 23 Mei 1941, berupa dibentuknya Sonderstab F (Staf Khusus F). “Pergerakan kemerdekaan Arab di Timur Tengah adalah sekutu alami kita melawan Inggris,” demikian potongan pernyataan Hitler dalam surat tersebut. Mufti Besar Yerusalem Amin al-Husseini saat bersua Adolf Hitler di Berlin, 28 November 1941. (Bundesarchiv). Sonderstab F berada di bawah perwira Luftwaffe (AU Jerman) General der Flieger (jenderal penerbang) Hellmuth Felmy yang bermarkas di Yunani. Komandan lapangannya adalah Mayor Udara Axel von Blomberg. Al-Husseini juga bergerak di luar lingkar militer sebagai pengusung propaganda melawan Sekutu. Disebarkannya isu di kalangan muslim Suriah dan Irak bahwa Mussolini seorang penganut Islam keturunan Mesir bernama Musa Nilli, dan Hitler dirumorkan menjadi mualaf dan mengambil nama Hayder yang artinya pemberani. Namun meski Al-Husseini juga terjun ke medan perang sebagai pendongkrak moril, koalisi Arab Merdeka dibantu Jerman dan Italia itu dilibas Inggris pada 31 Mei 1941. Baik Rashid Ali, Al-Qawuqji, dan Al-Husseini kabur ke Eropa via Persia (kini Iran), Turki, Italia, hingga Berlin. Sementara Sonderstab F mengalihkan konsentrasinya ke Afrika Utara untuk membantu pasukan korps Afrika pimpinan Jenderal Erwin Rommel. Terbit dan Tenggelam Sebelum bersua di akhir November 1941, Al-Husseini dan Hitler sudah berkorespondensi via surat-menyurat. Sebelum Perang Anglo-Irak (2-31 Mei 1941), pada medio Februari 1941 Al-Husseini mendeklarasikan kerjasama Jerman-Arab. Sebagai kelanjutannya, ia juga membantu Sonderstab F yang akan memperkuat Afrika Korps-nya Rommel. Sebagaimana dinukil N. Hidayat dalam Legiun Muslim Hitler , Al-Husseini dan Rashid Ali menggunakan pengaruhnya untuk perekrutan para pelajar Arab. Di bawah naungan Sonderstab F mereka dilatih di Yunani untuk kemudian membentuk unit Deutsch-Arabische Infanterie Battalion 845 pada Juli 1941. Para askar inilah pionir pasukan Muslim di bawah panji Nazi. “Batalyon itu dilatih di Sounio, Yunani karena alasan iklimnya yang sama dengan iklim Timur Tengah. Selama tahap awal pelatihan, para instruktur Jerman (yang kebanyakan eks diplomat di dunia Arab dan veteran Perang Dunia I di barisan Asienkorps) melatih mereka bahasa Jerman dan pengenalan senjata,” tulis Hidayat. Tidak hanya golongan Muslim Arab, prajurit berkulit gelap pun turut dalam banyak palagan di Afrika Utara di bawah panji Nazi. (Bundesarchiv). Batalyon itu, lanjut Hidayat, kemudian bertransformasi menjadi Sonderverband 288 yang jumlahnya 150 prajurit. Medio Januari 1942, mereka dikirim ke Benghazi sebagai salah satu pasukan perbantuan untuk Afrika Korps di bawah Rommel. Pada Agustus 1942, ditambah lagi dengan unit Sonderverband 287 berkekuatan 133 prajurit. Di antara pasukan Rommel yang juga ter diri dari divisi asal Italia, unit pasukan Arab itu lantas dikenal sebagai legion “Freies Arabien”, dengan emblem bendera hijau-putih-merah di lengan kanannya. Kelak pada Mei 1943, keduanya digabungkan menjadi Resimen Panzergrenadier Afrika. “Selama pertempuran di Garis Gazala, Sonderverband 288 dan 287 mendukung Divisi (lapis baja ke-132) Ariete Italia menghadapi pasukan Prancis yang mempertahankan Bir Hakeim di ujung selatan garis pertahanan Sekutu. Namun kesempatan mereka memenuhi ambisi Al-Husseini untuk jadi pasukan pelopor pembebasan bangsa Arab tidak pernah tercapai,” imbuhnya. “Setelah kekalahan Jerman di El Alamein pada November 1942, Sonderverband 288 mundur bersama sisa-sisa pasukan Afrika Korps. Kekalahan itu bukan hanya menghilangkan ancaman Jerman di Timur Tengah namun juga melenyapkan kesempatan Husseini berparade kemenangan di Yerusalem dan menarik lebih banyak pengikutnya bergabung ke pihak Poros (Jerman-Italia-Jepang),” lanjut Hidayat. Eks-anggota Sonderverband 287 dan 288 yang dileburkan ke dalam Deutsch-Arabische Legion pada 1943 di bawah Divisi "Herman Göring". (Bundesarchiv). Kedua unit itu kemudian ditarik mundur hingga ke Italia dan Yunani dan kemudian terpencar antara front barat dan front Balkan. Husseini mengais izin lagi pada Hitleruntuk membentuk pasukan baru sebagai penyambung Legiun Arab Merdeka danmenetap di Afrika Utara, tepatnya di Tunisia, di mana sisa-sisa wilayah pasukan Poros masih dipertahankan. Kali ini perekrutannya bukan dari kalangan terpelajar, melainkan para penduduk dan veteran Prancis Vichy. Mengutip Nino Oktorino dalam Legiun Arya Kehormatan , Hitler menyetujuinya dan kemudian dibentuk formasi Kommando Deutsch-Arabischer Truppen (Kodat). Kekuatannya sekitar 3.000 personil, terdiri dari dua batalyon Arab Tunisia, satu batalyon Aljazair, dan satu batalyon Arab Maroko. Tugasnya mengawasi pantai antara Tanjung Bon dan kota Susa. “Mereka kemudian digabungkan ke dalam Divisi Panzer ‘Hermann Göring’ dan berpartisipasi dalam pertempuran terakhir antara pasukan Poros dan Sekutu di Afrika Utara. Pada 10 Mei 1943, para prajurit terakhir dari batalyon Arab itu menyerah kepada pasukan Amerika,” ungkap Nino. “Dua hari kemudian, Resimen Panzergrenadier Afrika menyerah di Enfidaville, Tunisia. Dengan demikian tahun 1943 itu mengakhiri semua tujuan politis formasi-formasi sukarelawan Arab yang awalnya merupakan dasar dari pembentukan mereka,” tandasnya.
- Pesona Braga Tak Pernah Usai
Jika berkunjung ke Bandung, tentu saja tak akan melewatkan untuk jalan-jalan di sepanjang Braga. Di sana berjajar bangunan berarsitektur Eropa yang masing-masing memiliki kisah masa lalu. Sudah lama Braga menjadi destinasi wisata. Setiap hari, ada saja pelancong berlalu-lalang. Apalagi jika hari libur, pejalan kaki di Braga menyemut. Entah sekadar cuci mata atau melampiaskan hasrat berbelanja. Pengunjung menikmati Braga di kota Bandung. (Fernando Randy/Historia). Seorang anak kecil saat bermain di depan toko zaman dulu di Braga. (Fernando Randy/Historia). Para pengunjung di antara lukisan kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Namun siapa sangka jika dahulu kawasan Braga adalah salah satu kawasan yang dihindari oleh masyarakat. Awal abad ke-19, Jalan Braga berjuluk Jalan Culik karena hanya jalan kecil dengan permukiman penduduk yang sunyi. Seiring berjalannya waktu kawasan tersebut mulai bersolek. Para usahawan yang rata-rata berkebangsaan Belanda mulai membangun toko, bar, tempat hiburan dengan konsep Eropa. Braga makin moncer dengan adanya gedung Societeit Concordia. Di gedung inilah sosialita dan kaum elite kota Bandung berkumpul. Mereka rajin menggelar berbagai pertunjukan kesenian seperti musik dan tari. "Pesta yang pernah usai" di Concordia ini turut merangsang beberapa pertokoan di Jalan Braga menyediakan keperluan pesta. Salah satu bangunan lama di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Braga yang berusia dua abad tetap menjadi pesona bagi wisatawan. (Fernando Randy/Historia). Seorang wisatawan berfoto di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Braga yang sudah berusia dua abad seperti tak kehilangan pesonanya. Arsitektur khas Eropa tetap dipertahankan. Pertokoan yang menjual pernak-pernik antik, lukisan hingga wayang masih bisa ditemui. Toko roti Sumber Hidangan sejak 1929 juga masih melayani pembeli. Bahkan penjual jamu gendong juga masih sesekali ditemukan. Kini bisa dibilang Braga makin "modis" dengan hadirnya berbagai kedai-kedai kopi kekinian. Ramdan Kosasih salah satu penjual wayang di Braga. (Fernando Randy/Historia). Toko roti dari jaman Belanda, Sumber Hidangan. (Fernando Randy/Historia). Salah satu toko yang menjual pernak-pernik dari zaman dulu. (Fernando Randy/Historia). Salah satu toko di kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Pedagang jamu tradisional turut menambah kesan zaman dulu di Braga. (Fernando Randy/Historia). Kehidupan di sekitar kawasan Braga. (Fernando Randy/Historia). Seorang anak memakai jersey Persib Bandung, klub sepakbola dengan pendukung terbanyak di Jawa Barat. (Fernando Randy/Historia). Seorang kasir di toko roti Sumber Hidangan di Braga. (Fernando Randy/Historia). Di malam hari, Braga tak pernah sunyi karena banyak bermunculan tempat hiburan malam. Itulah Braga dengan segala daya pikatnya. Ia menjadi tujuan orang melepas penat sekaligus menjadi tumpuan banyak orang untuk bertahan hidup. Centre Point salah satu bangunan bersejarah di Braga. (Fernando Randy/Historia).






















