Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Wasiat Bung Hatta
Salinan wasiat Bung Hatta (Twitter @Gustika) “Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.” Paragraf tersebut merupakan penggalan surat wasiat yang ditinggalkan proklamator Mohammad Hatta. Salinan wasiat bertanggal 10 Februari 1975 itu disisipkan dalam cuitan Gustika Hatta, cucu Bung Hatta, di akun media sosial Twitter pribadinya (31/03/2020). “Bude dan Kakak baru menemukan Salinan surat wasiat Datuk, nih. Coba dipastikan keaslian tulis tangannya,” ujar Gustika. Terkait wasiat tersebut, Meutia Hatta (putri pertama Hatta) menceritakan bahwa ayahnya itu pernah meninggalkan dua wasiat sebelum berpulang: penegasan Sukarno sebagai tokoh yang melahirkan Pancasila dan keinginan dimakamkan di tengah pekuburan rakyat, bukan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Mengenai wasiat pertama tentang Sukarno dan Pancasila, menurut Meutia, terjadi saat ada usaha-usaha dari penguasa yang ingin mengecilkan sosok Sukarno dalam peranannya sebagai orang yang melahirkan Pancasila. Ketika itu ayahnya didatangi putra pertama Sukarno (Guntur Soekarnoputra). Guntur mengutarakan kerisauan keluarga Sukarno akan adanya usaha menjatuhkan ayahnya tersebut. Maka Bung Hatta pun bereaksi. Ia segera menulis sebuah surat yang isinya menegaskan peran Sukarno dalam kelahiran Pancasila. Meutia Hatta. (Fernando Randy/Historia). Sedangkan wasiat kedua berisi mengenai tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta. Meutia berkisah, ayahnya pernah mengutarakan keinginan dipusarakan di pekuburan rakyat biasa. Bung Hatta tidak bersedia dimakamkan di TMP. Ia ingin tetap berada di tengah rakyat yang nasibnya diperjuangkan hampir seumur hidupnya. “Jadi tidak ingin dimakamkan di taman pahlawan. Karena ya barangkali dalam situasi ketika itu Bung Hatta agak kecewa karena yang menurut beliau tidak patut menjadi pahlawan ada di situ juga,” ucap Meutia. Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) itu juga menyebut penolakan ayahnya merupakan bentuk protes terhadap situasi politik saat itu. Bagi Bung Hatta pemberian gelar pahlawan, dan siapa yang berhak dimakamkan di TMP telah disisipi kepentingan politik. Maka penolakan dari Bung Hatta akhirnya muncul. Dalam surat yang ditulis tahun 1975 tersebut, Bung Hatta berwasiat agar dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet. Tetapi Presiden Soeharto menetapkan TPU Tanah Kusir sebagai tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta. Pemerintah mempersiapkan segala kebutuhannya. Dibantu insinyur Siswono Yudo Husodo, Soeharto merancang sendiri desain makam Bung Hatta di pekuburan Tanah Kusir. Bentuknya seperti yang terlihat sekarang. Selain bagi Bung Hatta, rancangan makam itu juga diperuntukkan bagi istrinya, Rachmi Hatta. Soeharto memang merancang makam tersebut untuk dua orang. Posisinya tepat berada di samping Bung Hatta. Rachmi sempat menolak usulan tersebut. Kemudian Soeharto berkata: “Oh tidak permaisuri, satu-satunya istri, harus berdampingan dengan suami,” kata Soeharto sebagaimana diceritakan Meutia. Usulan itupun akhirnya diterima keluarga. “Prinsip Bung Hatta soal wasiat tidak memikirkan diri sendiri, kecuali di mana dia mau dikubur. Itu sebetulnya simbol dari sifat beliau bahwa hidupnya betul-betul berjuang untuk bangsa. Jadi (dimakamkanlah Bung Hatta) di tengah pekuburan rakyat,” ungkap Meutia.
- Calon Arang Memuja Durga Sang Penguasa Penyakit
Hampir tengah malam. Calon Arang berjalan menuju kuburan. Ia diiringi murid-muridnya: Voksirsa, Mahisawadana, Lende, Guyang, Larung, dan Gandi. Mereka akan berdoa dan menari, menghormat pada Bhatari Durga. Kepadanya, Calon Arang akan menyampaikan permohonan agar kesumatnya bisa dibalaskan. Calon Arang adalah perempuan sakti ahli sihir dari Desa Girah. Ia sudah pada puncaknya merasa terhina karena tak ada yang mau menikah dengan putrinya yang cantik, Ratna Manggali. Semua lelaki takut menjadi menantu seorang Calon Arang. Di kuburan itu mereka pun menari sambil membunyikan alat musik. Tak lama Sang Durga pun menampakkan diri bersama para pengiringnya. “Tuanku, putera tuanku ingin mohon kehancuran penduduk seluruh negeri, demikian tujuan hamba,” kata Calon Arang sambil menyembah di hadapan Bhatari. “Baik, saya setuju, tetapi jangan sampai terlalu besar kemarahanmu hingga ke pusat negeri,” jawab sang Bhatari Bhagavati. Calon Arang menurut. Setelah menari sekali lagi mereka pulang ke Desa Girah. Tak lama kemudian banyak orang di desa-desa sakit hingga jatuh korban jiwa. Karena menyebabkan kekacauan, tentara raja mencoba memusnahkan Calon Arang. Calon Arang makin marah dan kembali mengajak murid-muridnya ke kuburan. Ia membaca mantra diiringi murid-muridnya. Alat-alat musik dibunyikan. Mereka menari. Ia mengirim kekuatan tenung hingga ke ibu kota dari empat arah mata angin. Calon Arang berjalan ke tengah kuburan, mencari mayat yang meninggal pada hari Sabtu Kliwon. Mayat itu diikatkan ke pohon kepuh lalu dihidupkannya kembali. Baru juga hidup, sang penyihir langsung memotong leher si zombie hingga kepalanya melesat. Darah yang memancar ia pakai untuk keramas. Ususnya dipakai untuk selempang dan kalung. Badannya dimasak untuk persembahan bagi Bhuta dan semua yang ada di kuburan itu, terutama Bhatari Bhagavati. Maka, keluarlah Sang Bhatari. “Saya mohon izin kepada paduka Bhatari untuk membinasakan orang seluruh negara sampai di ibu kota sekalian,” kata Calon Arang. Permohonan Calon Arang diizinkan. Wabah penyakit yang hebat di seluruh negara mengakibatkan banyak orang mati. Mayat-mayat membusuk di rumah dan menumpuk di kuburan, ladang, dan jalan. Desa menjadi sepi, orang-orang menyelamatkan diri ke desa-desa lain. Begitulah dahsyatnya kutukan Calon Arang ke seluruh negeri. Kisah ini ditemukan dalam naskah berjudul Calon Arang . Filolog R.Ng . Poerbatjaraka menerjemahkannya dari bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Belanda pada 1926 dalam tulisannya, De Calon Arang . Poerbatjaraka menduga naskah Calon Arang ini mungkin menggambarkan peristiwa pada masa Raja Airlangga. Ia menghubungkannya dengan Prasasti Sanguran ( Calcutta Stone ) dari 982 M. Di dalamnya tertulis seorang raja perempuan yang sangat sakti seperti raksasi. Sihirnya telah dibinasakan oleh Airlangga, raja yang masyhur. Gambaran ini mengisahkan perseteruan antara Airlangga dan Calon Arang. Namun, Hariani Santiko, arkeolog Universitas Indonesia, dalam disertasinya “Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi”, berpendapat bahwa cerita Calon Arang lebih pas jika ditempatkan pada masa Singhasari akhir atau Majapahit. Alasannya, nama Mpu Barada baru muncul pada prasasti Arca Joko Dolog dari masa Kertanegara tahun 1289. Terlebih lagi bukti-bukti adanya praktik upacara Tantra seperti dalam cerita Calon Arang masih sangat jarang dijumpai pada abad-abad sebelum pemerintahan Kertanegara. “Sangat diragukan bahwa Calon Arang pertama kali disusun pada masa Airlangga,” katanya. Dari kisah Calon Arang itu, menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, yang menarik untuk dicermati bahwa akibat teluh seorang ahli sihir, penduduk Daha tertimpa wabah penyakit mematikan. Di luar persoalan teluh, kemungkinan wabah penyakit memang benar pernah terjadi. “Dalam kisah itu penyakit disebabkan karena teluh Calon Arang. Apakah ini simbolik gambaran tentang pagebluk yang terjadi?” ujar Dwi kepada Historia. Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, berpendapat bahwa kisah-kisah lokal semacam itu terlalu kabur. Terutama cerita yang berkembang beberapa abad sebelum orang benar-benar mulai terbiasa mencatat. “Karena peninggalan-peninggalan tertulis yang ada hanya sampai pada kurun niaga, tidaklah bijaksana untuk terlalu mempercayai bukti-bukti mengenai parahnya wabah pada waktu itu,” tulis Reid. Kendati begitu, kata Hariani Santiko, pada masa lalu praktik memuja Durga untuk mengusir wabah penyakit memang pernah dilakukan. Masyarakat kuno pernah mengenal beberapa dewi yang dipercaya sebagai penguasa penyakit. Mereka mudah marah dan harus dijaga kepuasannya agar wabah penyakit tak menyerang. Menenangkan Bumi Di India, beberapa dewi dianggap sebagai pelindung manusia dari penyakit. Terutama dua penyakit yang sangat ditakuti: cacar dan kolera. Kendati dianggap pelindung, mereka terkadang juga bertindak sebagai penyebar penyakit. Terutama jika sang dewi murka dan tak puas terhadap manusia. Hariani menjelaskan, di India Utara sang penguasa penyakit dikenal dengan nama Sitala Dewi. Sementara di India Selatan dikenal beberapa nama dewi yang bertugas sama. Mariamma atau Mari dianggap sebagai dewi penguasa penyakit yang sangat ditakuti. Lalu ada anak-anak Durga, berjumlah tujuh dewi. Mereka dianggap sebagai penguasa penyakit yang mengancam anak-anak kecil. Ada juga para Gramadewata, yang di antaranya dianggap sebagai penguasa penyakit. Gramadewata adalah pelindung desa atau permukiman penduduk yang juga dikenal di India Utara. Khususnya di India Selatan pemujaan kepada Gramadewata ini sangat populer dan jumlahnya ribuan. “Setiap permukiman memiliki satu Gramadewata,” ujar Hariani. Hariani menjelaskan, munculnya dewi-dewi pelindung ini berhubungan dengan kepercayaan penduduk bahwa alam semesta penuh dengan kekuatan gaib. Kekuatan ini setiap waktu dapat mencelakakan manusia. Dewi pelindung, Gramadewata, diharapkan dapat menjaga mereka dari ancaman itu. Ini adalah upaya agar penduduk terhindar dari penyakit menular, gangguan makhluk jahat, penyakit ternak yang merugikan, kegagalan panen, kebakaran, atau tidak mempunyai keturunan. Namun, Gramadewata menuntut imbalan dari manusia. Penduduk harus memberi mereka persembahan yang memuaskan. Kalau kurang, Gramadewata akan berbalik mencelakakan penduduk. Karenanya setiap permukiman biasanya memiliki kuil sederhana. Tempat suci ini dikhususkan untuk Gramadewata. Di sana akan ditempatkan arca atau benda yang menjadi lambang dewi-dewi itu. Menurut I Wayan Redig, arkeolog Universitas Udayana, pemujaan terhadap dewi beralasan karena secara makrokosmis, bumi ini adalah ibu. Di bumi, segalanya dihidupkan, dipelihara, dan mati. Karenanya, untuk urusan memelihara, menyiapkan sumber kehidupan Ibu Pertiwi, seperti juga Durga menjadi Dewi Ibu yang akan selalu dipuja di banyak tempat. “Dewi Durga menjadi Dewi Ibu yang dipuja sepanjang masa karena selama manusia perlu hidup dan kehidupan ia tidak bisa lepas dari pangkuan sang Ibu ilahi ini,” jelas Redig dalam makalah “Durga Mahisasuramardini (Pemujaan Dewi Ibu Sepanjang Masa)” yang disampaikan pada Rembug Sastra (21 Mei 2016) di Pura Jagatnata, Denpasar, Bali. Durga Sang Penguasa Penyakit Di India Utara dan Selatan, Durga sama-sama dipuja sebagai dewi pelindung dari penyakit. “Durga dan Kali adalah dewi penting yang menguasai segala segi kehidupan manusia,” kata Hariani. “Di beberapa tempat Durga berbaur dengan Gramadewata dan akan menyebarkan penyakit kepada manusia dan ternak jika marah.” Durga memiliki berbagai aspek. Tiga di antaranya sering dibicarakan dalam kitab-kitab Purana dan Tantra , yaitu Durga sebagai pembinasa asura , Durga sebagai penguasa tanam-tanaman dan kesuburan, dan Durga sebagai penguasa penyakit menular. Durga sangat ditakuti karena bisa menyebarkan penyakit sekaligus melindungi manusia dari wabah penyakit. Dalam kitab-kitab Purana, Durga seringkali dihubungkan dengan tujuh dewi pelindung anak-anak dari penyakit, yakni Kaki, Halima, Malini, Vrnila, Arya, Palala, dan Vaimitra. “Pemujaan tujuh ibu ini sangat penting di India Selatan, dan mereka dianggap sebagai saudara perempuan Durga,” kata Hariani. Karenanya, Durga Puja pun dilakukan. Menurut Hariani, berdasarkan Kitab Kalika Purana apabila menjalankan Durga Puja pada tanggal 8 paro terang bulan Caitra akan bebas dari segala kesusahan dan penyakit. Di Nusantara, khususnya di Jawa sedikit berbeda. Durga dikenal dalam dua aspek saja. Ia sebagai pembinasa asura dan penguasa penyakit. Sementara penguasa tanaman dan kesuburan lebih dikenal sebagai Dewi Sri. Aspek Durga sebagai penguasa penyakit menular dalam sumber tertulis hanya ditemukan dalam kitab Calon Arang. Lebih banyak yang membicarakannya sebagai pembinasa asura . Sebagai aspek ini, ia dikenal dengan nama Durga Mahisasuramardini. Hariani mengatakan upacara yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya adalah upacara Tantra dengan mempergunakan ilmu gaib destruktif atau ilmu hitam. “Di sini yang dipuja adalah aspek Durga sebagai penguasa penyakit menular,” jelas Hariani. Kisah wabah penyakit akibat dendam Calon Arang itu pun berakhir setelah Mpu Bharadah membunuh dan meruwat sang ahli sihir dan Desa Girah.
- Enam Hal Penting tentang Westerling
Penyebaran Covid-19 semakin meresahkan masyarakat Indonesia. Jumlah korban yang terus bertambah seolah menegaskan bahwa virus ini tidak bisa dianggap remeh. Namun di tengah berbagai kabar pilu tentang virus tersebut, kabar baik datang menghampiri keluarga korban pembantaian rakyat Sulawesi Selatan oleh serdadu Belanda selama kurun 1946-1947. Penantian selama delapan tahun akhirnya terbayar sudah. Diberitakan The Guardian , para hakim pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memutus Pemerintah Belanda harus membayar kompensasi atas kejahatan militer yang mereka lakukan di Sulawesi Selatan. Kasus ini sendiri dibawa ke pengadilan oleh pengacara HAM Liesbeth Zegveld pada 2012. Baru pada Maret 2020 gugatan ini berhasil dimenangkan. “Kami puas dengan keputusannya. Prosesnya tidaklah mudah; butuh delapan tahun persidangan,” ungkapnya. “Sungguh disayangkan pemerintah Belanda belum mau untuk lebih terbuka untuk kasus ini karena banyak klien kami yang kemudian meninggal selama persidangan. Akan tetapi bagi klien kami yang masih hidup dan semua keluarganya, pengakuan pengadilan terhadap penderitaan mereka dan hak mereka terhadap kompensasi itu penting.” Aksi pasukan Belanda pimpinan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling ini merupakan satu catatan hitam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam rangka mengulang kekuasaan Belanda di negeri ini, Kapten Westerling menebar teror. Ribuan orang menjadi korban. Sulawesi Selatan tercatat sebagai daerah yang paling banyak dibantai oleh militer Belanda pimpinan Si Turki (julukan untuk Westerling). Berikut sejumlah fakta penting tentang Westerling dan aksi terornya di Indonesia selama kurun masa 1946-1950: Panggung Pertama Kota Medan terpilih menjadi gelanggang pertama kebuasan Westerling di Indonesia. Pada 14 September 1945, ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Jumlahnya sekira satu kompi pasukan. Bersama mereka, didrop pula 180 pucuk senjata revolver. Lapangan terbang Polonia, Medan, menjadi tempat para prajurit lintas udara itu mendarat. Dituturkan Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera dalam Perang Kemerdekaan , turunnya pasukan itu disaksikan langsung oleh banyak orang. Burhanuddin dan kawan-kawannya melihat lapangan Polonia dipenuhi oleh pasukan yang entah dari mana rimbanya itu. “Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi,” ujar Burhanuddin. Sosok Westerling dengan seragam kebanggaannya. ( nationaalarchief.nl ) Letnan Raymond Westerling. Kedatangannya telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Keduanya berkolaborasi menegakan kekuasan Belanda di wilayah Sumatera bagian timur yang kaya akan hasil perkebunan. Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan, sedang Westerling menyusun kekuatan pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan jebolan tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Di Medan, Westerling juga menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Ia memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatera. Saat menjalankan tugasnya, Westerling kerap bertindak bengis. Tentang kekejamannya itu pernah diceritakan seorang opsir Inggris yang menyaksikan langsung tindakan di luar nalar Westerling. Ketika sedang asik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang “ekstrimis” Indonesia yang berhasil dihabisi setelah cukup lama dibuntuti. “Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris seperti dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai . Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri tugasnya di Medan. Ia dikenang sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan. Ribuan Korban Sulawesi Selatan, antara 1946-1947, disulap menjadi ladang mayat oleh pasukan militer Belanda. Dalam disertasi Remy Limpach, De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia ) tindakan ekstrem para pejuang gerilyawan, yang mengakibatkan sedikitnya 1.000 orang Indonesia pro Belanda tewas, memicu aksi-aksi balas dendam tentara Belanda yang jauh lebih brutal. Pasukan dari 3-11-RI dan 123 prajurit Baret Hijau dari Pasukan Komando Khusus/Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Westerling didatangkan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letanan Jenderal S.H. Spoor atas permintaan Komandan Markas Besar Timur Raya dan Borneo (HKGOB) Kolonel Hendrik de Vries dan Residen Sulawesi Selatan C.L. Cachet. Letnan Jenderal S.H. Spoor saat memeriksa pasukannya. (Wikimedia Commons). Pada 5 Desember 1946, Westerling dan Letnan Dua Jan Vermeulen beserta unit Baret Hijau pimpinannya, tiba di Sulawesi Selatan. Sebagai pasukan khusus, Westerling dan pasukannya memiliki hak yang berbeda dengan unit lainnya. Ia ada dalam perlindungan Mayor Jenderal E. Engles, Direktur DCO (Direktorat Pusat Pelatihan). Sehingga wajar jika dalam menjalankan aksinya, Westerling tidak takut kalau-kalau tindaknya terlalu berlebihan. Westerling malah memerintahkan pasukannya mengembangkan metode “penertiban” yang lebih mirip kepada aksi pembunuhan massal. “Mayor Jenderal Engles yang paham benar pendapat dan metode saya memerintahkan kepada saya untuk pergi ke sana (Sulawesi Selatan) untuk mengembalikan ketertiban. Pada waktu itu, saya tahu apa yang harus saya lakukan,” ungkap Westerling seperti dikutip Limpach. Menurut sejarawan J.A. de Moor dalam Westerling Oorlog , cara yang digunakan Westerling dalam melancarkan aksinya nyaris selalu sama: mengepung dan mengunci area operasi, menggiring penduduk ke satu titik pusat, menggeledah, mengeksekusi dan terakhir membumihanguskan kampung-kampung yang dianggap sarang ekstremis. Di setiap kota yang didatangi DST selalu berakhir dengan pembunuhan-pembunuhan brutal. Pihak Republik mengklaim korban yang jatuh akibat aksi Westerling sebanyak 40.000 nyawa. Namun menurut Limpach angka yang paling rasional adalah lebih dari 3.500 orang. Angka itu sudah termasuk 500 orang yang tewas dibunuh oleh milisi pro federal: Barisan Penjaga Kampung. Soal angka 3.500 itu juga diyakini oleh sejarawan Sulawesi Selatan Letnan Kolonel Natzir Said. “Jumlah 40.000 itu fiktif dan dihembuskan untuk menyemangati pasukan sendiri dan mengundang simpati internasional,” kata Natzir dalam De Eenling . Dukungan Anti-Republik Dukungan untuk Westerling datang juga dari seorang Republik yang ingin mempertahankan kekuasannya. Adalah Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Hamid cukup dekat dengan Westerling karena kerap bertemu di sebuah cafe di Jakarta sepanjang Januari 1948. Kedekatannya dengan perwira Belanda itu bukan kali pertama, Hamid diketahui pernah aktif di KNIL berpangkat letnan dua, setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Breda, Belanda, pada 1938. Pada masa pendudukan Jepang, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta. Pasca kemerdekaan, ia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel. Karir militerny terus melejit. Ia diketahui pernah menjabat ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Hamid pernah membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) bersama negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat, yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Ia juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawaran Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali. Sultan Hamid II. ( nationaalarchief.nl ). Hamid memperjuangkan sistem federal dalam berbagai perundingan, mulai dari Perundingan Malino sampai Konfersensi Meja Bundar (KMB). Sultan dari Pontianak itu percaya bahwa kepulauan Melayu (Indonesia) lebih tepat menggunakan sistem federal untuk ketatanegaraannya. Namun keinginannya itu mendapat tentangan dari kaum republiken yang menginginkan sistem kesatuan atau unitarisme. Pada 22 Desember 1949, Hamid kembali bertemu Westerling. Kapten Belanda itu menyatakan keberatannya atas posisi Sukarno sebagai Presiden RIS. Ia juga mengklaim telah membentuk sebuah pasukan, APRA, berkekuatan 15.000 orang. Westerling lalu menawari Hamid komando pasukan APRA. Karena tidak yakin, Hamid akhirnya menolak tawaran itu. Namun sang sultan berubah pikiran dan menerima tawaran itu pada 10 Januari 1950. Maksud Hamid menerima tawaran jadi panglima APRA karena ingin mempertahankan sistem negara federal dari intimidasi yang ingin menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi: pasukan APRA harus terdiri dari bangsa Indonesia saja; Westerling harus memberitahukan persenjataan, kekuatan-kekuatan dan dislokasi APRA; dan dia harus mengetahui sumber keuangan untuk membiayai APRA. Belum sempat menerima pasukan APRA, Hamid mendengar kabar penyerbuan APRA di Bandung. “Saya marah karena sebelum ada kebersan soal tawaran oppercommando APRA, Westerling telah bertindak sendiri. Dan saya sendiri tidak menyetujui adanya penyerbuan ke kota Bandung itu,” kata Hamid seperti dikuti Persadja dalam Proses Peristiwa Sultan Hamid II . Alih-alih tidak setuju dengan aksi kawan Belandanya itu, Hamid memerintahkan Westerling dan rekannya, Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memberi instruksi agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf APRIS Kolonel TB Simatupang harus ditembak di tempat. Sebagai kamuflase, Hamid sendiri harus menerima luka enteng: ditembak di kaki. Setelah penyerangan, rencana Hamid selanjutnya adalah meminta persetujuan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, supaya ia diperbolehkan membentuk kabinet baru, di mana ia akan menjadi Menteri Pertahanan. Ketika akan pergi ke tempat persidangan, Hamid berubah pikiran. Ia ingin mencabut kembali perintah penyerbuan itu. Karena tidak tahu di mana keberadaan Westerling dan Frans Najoan, keinginan Hamid itu hanya dibicarakan dengan ajudannya, Van der Heide. Serangan gagal. Sidang rupanya selesai lebih cepat dari rencana. Pasukan yang telah bersiap menyerang hanya mendapati tempat penyerbuan telah kosong. Meski begitu, Hamid tetap di tangkap pada 5 April 1950 oleh Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Pada 8 April 1953, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun. Pasukan Ratu Adil Ide pembentukan salah satu pasukan utama Westerling, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), tercetus saat si kapten bertugas di Jawa Barat. Dalam memoarnya, Challenge to Terror , Westerling mengklaim penduduk Jawa Barat, terutama koleganya, selalu memohon perlindungan dari ancaman para bandit yang berkeliaran. Keberadaan Westerling memang cukup disegani, bahkan ditakuti. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam jika sudah menyangkut nama Westerling. Korban kekejaman APRA di Bandung tahun 1950. (Koleksi Museum Maluku). “Mereka tidak akan berani menyerang desa kami jika anda melindungi kami,” kata seorang dari mereka kepada Westerling. Sebelum memutuskan membentuk organisasi pertahanan di kampung-kampung di Jawa Barat, Westerling pergi ke Jakarta untuk meminta saran Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Ia menyebut pendirian organisasi ini penting untuk menjaga keberadaan Negara Pasundan dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) bentukan Belanda. Meski setuju dengan ide itu, Spoor meminta mantan bawahannya itu bertanggung jawab atas segala konsekuensinya. “Itu cukup jelas bahwa saya punya persetujuan dari mantan komandan saya. Keraguan saya hilang. Pada Maret 1949 saya mulai bekerja,” ucapnya. Westerling lalu merekrut teman dan bekas anak buahnya dari Koninklijk Leger (KL) dan KNIL. Istilah “Ratu Adil” dipakai Westerling setelah seorang pribumi membawakannya buku ramalan Jaya Baya. Dalam karya yang terlahir pada abad ke-12 itu, terdapat kalimat yang menarik perhatiannya: “… Dan kemudian akan datang Ratu Adil, Pangeran Keadilan, yang akan lahir di Turki.” “Dan Anda lahir di Istanbul,” kata pribumi itu kepada Westerling. Tampaknya, itu menjadi argumen mereka bahwa Westerling adalah Ratu Adil dalam ramalan kuno. Ia dianggap menjadi pembebas yang dijanjikan untuk melepaskan orang Indonesia dari tirani. Mereka berpikir bahwa keberadaan Westerling tepat untuk membantu mereka. “Hari itu saya membaptis kekuatan saya ‘Pasukan Ratu Adil’,” kata Westerling. Bantuan Pangeran Belanda Pada awal 1950 Westerling tampil sebagai tokoh utama kudeta APRA di Bandung. Upaya menjatuhkan Pemerintah Indonesia itu menurut sejarawan senior Gerard Aalders dalam Bernhard, Zakenprins , berjalan berkat satu kekuatan besar di Belanda, yakni peran rahasia Pangeran Bernhard von Lippe-Biesterveld, suami Ratu Belanda Juliana. Pangeran Bernhard. (Wikimedia Commons). Sejumlah arsip Belanda, terutama buku harian Sekretaris Ratu, Gerrie van Maasdijk, menunjukkan betapa Pangeran Bernhard secara efektif berhasil memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota keluarga kerajaan untuk mengelola kepentingan-kepentingan politik, diplomatik, dan bisnisnya. Termasuk mengganden Westerling di dalamnya. Komplotan Bernhard-Westerling, dibantu JW Duyff –Guru Besar Fisiologi Universitas Leiden dan mantan pejuang saat pendudukan Nazi Jerman yang berambisi menjaga Hindia-Belanda tetap di bawah kuasa Negeri Belanda– mengatur penyelundupan senjata dari London dan Paris, melalui Pakistan ke Yogyakarta. Namun catatan sekretaris ratu tentang skandal senjata itu tidak dijelaskan lengkap di dalam laporan intelijen Belanda. Pihak penegak agaknya melindungi sang pangeran dengan cara tidak menguraikan secara rinci siapa saja otak aksi APRA itu. Cara tersebut dipercaya sebagai upaya menutup-nutupi peran kunci Bernhard, Duyff, dan Westerling. Peran lain Bernhard terlihat ketika menyelamatkan Westerling di tengah kegagalan aksinya. Belanda tidak ingin Westerling jatuh ke tangan pihak Indonesia dan menganggu hubungan kedua negara yang mulai berjalan. Sang pangeran memang telah lama senang dengan cara kerja Westerling. Ia secara pribadi pernah menyurati Jenderal Spoor di Jakarta agar memberikan koninkelijke onderscheiding (penghargaan kerajaan) kepada Westerling. “Menunjukkan betapa pangeran ini mengagumi perwira kontroversial yang pernah menjadi anggota staf pribadinya ini,” ujar Aalders. Tidak Teradili Kegagalan menduduki Bandung pada 23 Januari 1950 membuat prajurit APRA lari tunggang langgang ke arah Cianjur. Namun upaya menyelamatkan diri itu sia-sia karena Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo berhasil menghadang para pemberontak ini. Peristiwa perburuan itu dikisahkan Kolonel (Purn) Mochamad Rivai dalam Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . “Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber,” ucapnya. Westerling yang sadar gerakannya telah terpatahkan, memilih melarikan diri ke Jakarta. Selama pelarian, ia didampingi pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot. Di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah agar keberadaannya tidak mudah diketahui. Menurut sejarawan Salim Said, salah satu tempat yang pernah ditinggali Westerling adalah rumah milik seorang Belanda di Kebon Sirih. Awal Februari 1950, seorang pendukung Westerling dari kalangan mantan KNIL Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jakarta. Kejadian itu membuat keinginan Westerling ke luar dari Indonesia semakin besar. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi militer dan sipil Belanda. Westerling disambut wartawan Belgia, Agustus 1950. ( gahetna.nl ). Upaya pelarian Westerling ke luar negeri itu ternyata tercium oleh intelijen APRIS. Demi mencegahnya, dibentuklah tim pemburu oleh pihak militer Indonesia Serikat yang dipimpin Mayor Brenthel Soesilo. Pada 23 Februari 1950, tim pengejar berhasil mengendus keberadaan Westerling di Pelabuhan Tanjung Priok. Benar saja, sampai di mulut pelabuhan, mobil yang ditumpangi Letnan Supardi dan Letnan Kesuma berpapasan dengan mobil Westerling. Tanpa perlawanan, Westerling bersedia ikut singgah ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan. Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat kendaraan yang ditumpangi kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. Setelah menembak, mobil Westerling segera dipacu ke arah pelabuhan. Sempat terjadi baku tembak antara pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok dengan pasukan Brenthel Soesilo. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling meluputkan diri ke Singapura dengan bantaun sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Karena masuk tanpa izin, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris di Singapura begitu sampai. Mendengar kabar tersebut, Pemerintah RIS melayangkan permintaan kepada otoritas Singapura untuk mengekstradiksi Westerling ke Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pengadilan Singapura tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Setelah dibebaskan, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London. Namun di London, petugas menutup akses masuk untuknya. Kehabisan akal, ia terbang menuju Brussels, Belgia. Dikutip harian Montreal Gazette terbitan Kanada 25 Agustus 1950, Westerling tiba pada 23 Agustus 1950 dan langsung ditangkap otoritas Belgia. Menghindari kontroversi di negerinya, setelah dilepas otoritas Belgia, Westerling memilih menetap sejenak di Brussels. Setelah situasi dirasa aman, Westerling akhirnya bisa kembali ke Belanda dan hidup di sana hingga ajal menjemput.*
- Pandangan Westerling terhadap Islam
SEBANYAK 12 ahli waris dari keluarga korban keganasan Raymond Westerling di Sulawesi Selatan medio 1946-1947, bakal mendapat kompensasi antara 123 euro sampai 10 ribu euro (sekira Rp2,2 juta sampai Rp181 juta). Kompensasi yang mesti dibayarkan pemerintah Belanda setelah gugatan mereka dimenangkan pengadilan di Den Haag lewat persidangan yang berjalan selama delapan tahun terakhir. Kasus itu berkaitan dengan laku si jagal Westerling bersama pasukan DST (Depot Speciale Troepen atau Satuan Serdadu Khusus), khususnya kala membantai sejumlah warga Desa Suppa pada 28 Januari 1947. Total jumlah korban kebengisan kapten berjuluk “Si Turki” itu dalam kurun 1946-1947, disebutkan mencapai 40 ribu jiwa. Angka yang pernah disangkal Westerling kala ditemui sejarawan Salim Said pada 1970 di Amsterdam. “Tanyakan kepada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus dalam waktu singkat?” sanggahnya membela diri, dikutip Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Westerling sendiri mengaku hanya mencabut nyawa, baik warga sipil maupun ekstremis – sebutannya kepada barisan pejuang Indonesia, tak lebih di angka 463 orang. Tentu tidak semuanya ia habisi dari tangannya sendiri. Kebanyakan dari ujung senjata anak-anak buahnya, walau tentu melalui perintahnya. Tidak pernah diketahui apakah Westerling yang lahir di Istanbul, Turki itu memiliki kelainan psikis sejak masa kanak-kanan atau tidak. Namun sejak kecil rupanya dia sudah akrab dengan senjata. Seperti pengakuannya sendiri di dalam memoarnya, Mijn Memoirs, Westerling sudah akrab dengan senjata api sejak berusia tujuh tahun. “Aku bisa menembak uang logam dari jarak 18 meter dengan senapan kaliber 6 milimeter,” kenangnya. Sebagai anak yang lahir di Turki, Westerling sudah akrab dengan hidup di tengah masyarakat Arab yang mayoritas muslim. Ibu kandung Westerling, Sophie Moutzou seorang Turki berdarah Yunani. Sementara ayahnya, Paul Rou Westerling mendulang nafkah sebagai pedagang barang antik dan barang-barang furnitur. Simpati Terhadap Islam Di masa muda setelah berpindah-pindah sekolah dari Sekolah Inggris, Sekolah Yesuit St. Michel hingga Sekolah St. Joseph, Westerling mendaftar masuk tentara sukarela di Konsulat Belanda di Istanbul di awal 1941. Penggemar kisah-kisah petualang Robinson Crusoe dan film-film Hollywood bertema petualangan dan koboi itu seolah ingin mewujudkan angan-angannya bertualang dan jalan yang dirasanya pas hanyalah lewat kemiliteran. Ia jadi orang pertama dalam keluarga besar Westerling yang masuk militer. Tak satupun sebelumnya dari keluarga Westerling, termasuk ayahnya, yang punya hasrat jadi prajurit. Setelah perpisahan yang berat, Westerling menjalani diklat di Wolverhampton, Inggris, di bawah naungan Korps Princes Irene. “Ibu dan kakak saya menangis. Sementara ayah saya marah karena ia tak terima. ‘Anakku, kamu bukan terlahir untuk jadi tentara. Mereka akan memerintahkanmu melakukan sesuatu dan jika tak dipatuhi, mereka akan membuangmu sebagai penjaga gudang’,” ungkap Westerling menirukan ayahnya. “Ayah saya tak pernah terlibat dalam kemiliteran. Juga kakek saya. ‘Dalam keluarga kita tidak ada yang sebodoh itu (mau masuk tentara, red), sampai akhirnya kamu’,” cetus ayahnya dalam ingatan Westerling. Raymond Pierre Paul Westerling pada tahun 1947 (kiri) & tahun 1970 (Foto: Repro " Dari Gestapu ke Reformasi") Namun karena Westerling sudah cukup umur, ia tak perlu surat izin keluarga untuk masuk ketentaraan. Singkat kata setelah dilatih di Inggris, ia dikirim ke Haifa, lalu Mesir. Sepanjang masa tugasnya, ia sering bergaul dengan kaum Badui muslim asal Palestina, baik saat bertugas di Haifa maupun Kairo lewat bahasa Inggris yang mereka mengerti seadanya, ditambah bahasa isyarat. “Saya bisa berbaur dengan mereka dan bisa bergaul dengan cukup baik. Apalagi mereka merasa saya punya simpati terhadap agama Islam, karena saya lahir dan besar di Turki. Saya memang tak bisa berbahasa Arab, namun saya hafal banyak surah dalam Alquran. Saya banyak hafal karena saya senang dengan ritual ibadah pagi (Salat Subuh) yang indah,” ungkap Westerling lagi. “Kaum Badui merupakan orang-orang bersahaja, tidak rumit dan selalu punya norma dan menghormati adat. Di kemudian hari saya menemukan banyak orang dengan karakter yang sama di Indonesia, di mana mayoritas juga muslim,” lanjutnya. Menghormati Masjid Besar di Istanbul, tentu Westerling hafal seluk-beluk tentang Islam. Agama yang mayoritas dianut orang Indonesia, negeri di mana ia ditugaskan pasca-Perang Dunia II. Seperti diceritakan di atas lewat pengalamannya di Haifa hingga Kairo, ia punya simpati dan menghormati agama yang diusung Nabi Muhammad Saw. itu. Kendati begitu, bukan berarti ia tak berlaku brutal terhadap gerilyawan muslim. Baik ketika belum lama naik pangkat dari letnan ke kapten semasa berangkat ke Sulawesi, maupun selepas kembali ke Jawa medio 1947. Ia berdalih hanya menjalani tugas “bersih-bersih” dari pemimpinnya. Ia mengaku punya kebebasan dalam menggulirkan tindakan-tindakan yang diperlukan dari para atasannya di Jakarta. “Itu masa perang dan sama sekali bukan urusan pribadi,” cetus Westerling menjawab soal pembantaiannya terhadap warga dan bangsawan Sulawesi Selatan yang mayoritas juga beragama Islam, dikutip Salim Said. Lagipula, klaim Westerling, peristiwa-peristiwa pembantaian yang disebutkan mencapai ribuan, bahkan 40 ribu menurut Presiden Sukarno, tidak hanya dilakukan kesatuan di bawah komandonya saja. Ada lagi unit-unit reguler Koninklijke Landmaacht (KL) Angkatan Darat Belanda lain dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang juga bertindak brutal. “Tudingan-tudingan itu mengarah hanya kepada saya secara personal. Memang benar di Makassar saya diminta melakukan pasifikasi di Sulawesi. Meski saya juga diberikan rencana besar operasinya, saya tidak mengomando semuanya. Saya punya kewenangan terhadap pasukan (DST) saya sendiri. Tetapi saya tidak punya kontrol terhadap tindakan-tindakan kapten atau mayor lain di sektor berbeda,” dalihnya. Ilustrasi pasukan DST (Depot Speciale Troepen) atau pasukan khusus Belanda sebelum KST pimpinan Westerling (Foto: Nationaal Archief) Jadi kalaupun ada cerita-cerita tentara Belanda, selain membantai warga desa dan gerilyawan, hingga menistakan agama lain, seperti membakar Alquran dan merusak masjid, Westerling memastikan itu bukan pasukannya. Ia mengaku masih punya prinsip menghormati Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan agama yang dekat dengan lingkungannya tumbuh di Istanbul. “Saya sering berselisih dengan para kolega saya soal ini. Tentang menghormati agama Islam yang sangat universal di Indonesia. Salah satu aturan saya yang paling ketat adalah, tidak boleh prajurit saya menyerbu masuk masjid, meski kami punya alasan bahwa gerombolan yang kami kejar kabur ke dalamnya,” akunya lagi dalam memoarnya. “Solusinya, saya biasanya memanggil imam masjid dan menyampaikan ketidakinginan saya untuk menggeledah masjid dan memintanya menyerahkan mereka atau senjata yang mereka sembunyikan,” imbuh Westerling. Pernah suatu Subuh ketika saat ia sudah kembali dari Sulawesi ke Jawa dan diberi tugas lain, Westerling dan beberapa anak buahnya mengejar sekelompok gerilyawan. Namun ia memilih berhenti sejenak dan anak buahnya kebingungan. Rupanya Westerling, sebagaimana masa mudanya, masih acap menghormati suara adzan yang ia dengar dari sebuah masjid. “Jika saya tak punya simpati terhadap Islam, saya akan terus mengejar jejak mereka. Namun suara adzan Subuh yang indah membuat saya berhenti beberapa menit, mendengarkan lantunan adzan itu,” paparnya. Selepasnya ia kembali mencari jejak para gerilyawan yang ia uber sebelumnya. Hingga sampailah ia di depan sebuah masjid. Tampak sekelompok orang tengah bersujud di halaman masjid. Meski mereka tampak tengah beribadah Salat Subuh dengan seorang imam yang membacakan surah-surah Alquran, Westerling segera insyaf bahwa mereka adalah gerilyawan yang ia kejar. “Saya mendekat ke sebelah imam. Sang imam ketakutan dan saya menyadari bahwa ia menggumamkan ayat-ayat yang sama berulang-kali. Tiba-tiba saya juga insyaf bahwa posisi (kiblat) mereka mengarah ke utara; padahal sepemahaman saya, umat Islam selalu salat menghadap (kiblat di) Makkah. Jelas mereka bukan pengikut (Nabi) Muhammad, namun gerilyawan yang saya cari-cari!” kenang Westerling. “Jika saja mereka memilih masuk ke dalam masjid, mereka akan aman dari saya – setidaknya selama mereka tak keluar karena saya takkan mau masuk dan menggeledah bangunan suci. Tetapi masalahnya mereka berada di depan pintu masjid dan posisinya masih di luar. Kami pun mengepung dan menangkap mereka,” tandasnya.
- Sultan Agung dan Wabah Penyakit
Sultan Agung tercatat sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram. Ia berkuasa selama lebih dari tiga dekade (1613–1646). Ia menguasai seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Ujung Timur dan Madura. Tak hanya di Jawa dan Madura, kekuasaan Sultan Agung juga diakui oleh Sukadana di Kalimantan, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar. Memang kecuali di Sukadana, angkatan laut Mataram bukanlah kekuatan penakluk yang besar atas pulau-pulau lain. Tetapi keberadaannya telah memberi kepada Mataram suatu pengaruh yang mungkin bisa dibandingkan dengan Majapahit. Sehingga, sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200–2004 , menyebut “Sultan Agung merupakan penakluk terbesar di Indonesia sejak zaman Majapahit.” Satu-satunya kekurangan Sultan Agung adalah kegagalannya merebut Batavia dari VOC dan satu-satunya kerajaan di Jawa yang tetap merdeka adalah Banten yang terletak di ujung barat. Dalam ekspansi kekuasaannya, salah satu kendala yang dihadapi Sultan Agung adalah wabah penyakit. Seperti ketika ia menyerang Wirasaba (Mojoagung). “Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia minta waktu satu hari lagi untuk merebut Wirasaba,” tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, Wirasaba bisa ditaklukkan. Sebaliknya, Sultan Agung menggunakan taktik penyakit untuk mengalahkan lawan terkuatnya, Surabaya, dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. “Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf. Namun, setelah Surabaya menyerah pada 1625, kegiatan militer Sultan Agung mengalami kemunduran. “Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular,” tulis De Graaf. Penyakit pes yang mewabah pada 1625–1627 itu membunuh 2/3 penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah dan 1/3 penduduk Banten. Sultan Agung memulai lagi ekspansinya pada 1628 dengan menyerang VOC di Batavia. Serangan itu gagal meskipun telah menerapkan strategi seperti ketika merebut Surabaya, yaitu membendung sungai untuk menimbulkan penyakit. Serangan kedua pada 1629 juga mengalami kegagalan. “Kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta . Kekalahan itu tak menghentikan Sultan Agung. Ia menaklukan Giri, Panarukan, Blitar, dan Blambangan di Ujung Timur. Setelah itu, menurut Ricklefs, Sultan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar sultan. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya, raja Banten yang pertama di Jawa menerima gelar sultan dari Mekkah. Pangeran Ratu mendapatkan nama Arab, Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Utusan Sultan Agung kembali pada 1640 dengan membawa gelar dan nama Arab: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Kesehatan Sultan Agung menurun. Ia jatuh sakit pada 1642. Sehingga yang tampil menggantikannya dalam urusan kerajaan adalah Tumenggung Wiraguna. “Sedemikian menonjol orang kuat ini tampil dalam surat-surat, sedemikian sepinya muncul berita-berita tentang rajanya,” tulis De Graaf. “Mungkinkah tindak-tanduk Tumenggung Wiraguna yang kuat ini disebabkan karena kemunduran kesehatan Sultan Agung? Pada tahun 1642, raja jatuh sakit. Penyakitnya cukup berat.” Sehubungan dengan itu, lanjut De Graaf, menurut cerita tutur dalam Serat Kandha , Nyai Loro Kidul telah meramalkan kematian Sultan Agung, yaitu ketika ia mengunjunginya di istana bawah laut. Jadi, awal tahun 1644, ia telah mengetahui atau merasa bahwa ia akan meninggal. “Apakah pengetahuan ini didasarkan pada kesehatannya yang tidak stabil, ataukah ia sungguh-sungguh menerima wahyu ketika ia mengunjungi Gua Langse? Pengganti-penggantinya pun biasa pergi ke gua tersebut,” tulis De Graaf. Menurut Ricklefs, untuk menghadapi kematiannya, pada 1645, Sultan Agung membangun sebuah tempat pemakaman baru di puncak bukit di Imogiri, kira-kira lima kilometer di sebelah selatan istananya. Situs ini akan menjadi pemakaman bagi hampir semua penggantinya dan anggota-anggota keluarga kerajaan yang terkemuka. Akhirnya, Sultan Agung meninggal dunia pada 1646, kira-kira antara awal Februari dan awal April. “Wabah-wabah penyakit merajalela pada tahun 1640-an, dan kematian Sultan Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut,” tulis Ricklefs. Mengenai wabah penyakit itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 , mengutip Babad ing Sangkala bahwa pada 1643–1644 di Mataram (Jawa) terjadi “epidemi beratus-ratus mati setiap hari”. Saat Sultan Agung wafat, pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta. Ia digantikan oleh putranya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.
- Kisah Hanoman dari Kota Lama
Kawasan Kota Lama Semarang menyimpan daya tarik untuk dikunjungi. Banyak bangunan peninggalan Belanda masih berdiri kokoh. Sebagian dimanfaatkan menjadi kedai-kedai minuman atau makanan dengan interior yang menarik. Tempat ini ramai saban akhir pekan atau musim liburan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Salah satu bangunan bersejarah di Kota Lama Semarang. (Fernando Randy/Historia). Karena ramai pengunjung, Kota Lama juga menjadi tempat mengais rezeki bagi penampil jalanan. Salah satunya Heri Sudron (46). Dia biasa tampil sebagai Hanoman, salah satu tokoh dalam wiracarita Ramayana. Dia mengenal perwayangan sejak kecil sehingga tidak asing lagi dengan berbagai tokoh wayang. Dia tampil sebagai Hanoman karena menurutnya tokoh ini menarik. Heri merias wajahnya untuk menjadi Hanoman di Kota Lama. (Fernando Randy/Historia). “Sejak usia 9 tahun di Banyuwangi saya sudah sering menonton wayang, hingga akhirnya saya bergabung dengan grup kesenian yang memainkan seni Janger,” ujar Heri. Janger adalah kesenian asal Banyuwangi yang memadukan tarian, kostum, dan gamelan Bali yang mengambil cerita rakyat Jawa sebagai lakonnya. Heri mengaku kecintaanya terhadap seni peran dan Hanoman membuat dirinya melakoni peran sebagai seorang performance art hingga kini. Dia memperoleh sedikit rupiah dari orang yang berfoto bersama dirinya. Heri bersiap dengan kostum Hanomannya. (Fernando Randy/Historia). Hal-hal detail seperti gelang dan lainnya juga dipersiapkan oleh Heri. (Fernando Randy/Historia). Menurut Heri Hanoman adalah karakter yang sudah melekat pada dirinya. (Fernando Randy/Historia). “Setelah menikah, saya pusing mikir mau kerja apa. Hingga akhirnya saya kembali teringat akan sosok Hanoman. Akhirnya saya merantau dan kembali menjadi Hanoman hingga saat ini," lanjut pria berambut gondrong ini. Selama menjadi Hanoman, Heri mengalami banyak suka dan duka. Saat Kota Lama sedang ramai pengunjung, dompetnya ikut ramai. Tapi saat sepi, dompetnya sering tak berisi. "Menjadi Hanoman harus mengerti berbagai karakter masyarakat yang ingin berfoto. Ada yang hanya foto bersama, ada yang sampai naik pundak saya. Namun ya itu tadi saya adalah Hanoman yang bertugas melayani dan melindungi masyarakat,” kata Heri. Para pengunjung saat berfoto bersama sang Hanoman. (Fernando Randy/Historia). Para pengunjung menyaksikan sang Hanoman. (Fernando Randy/Historia). Sang Hanoman di Kota Lama Semarang. (Fernando Randy/Historia). Seorang pengunjung mengajak sang hanoman untuk berfoto bersama. (Fernando Randy/Historia). Heri sendiri tidak mematok berapa bayaran bagi pengunjung Kota Lama Semarang yang sekadar ingin berfoto bersama dirinya. Semuanya suka rela. “Berapa saja bayarannya. Saya tidak pernah mematok harga untuk berfoto bersama saya. Yang penting ikhlas saja,” lanjut Heri. Ikhlas adalah bayaran yang didapat oleh Heri sang Hanoman. (Fernando Randy/Historia). Sang Hanoman beraksi di tengah Kota Lama. (Fernando Randy/Historia). Puluhan tahun memerankan Hanoman, Heri mempunyai harapan bagi kesenian wayang. Dia berharap semua generasi turut andil merawat kesenian ini. “Pesan saya untuk semua, bukan hanya anak-anak, warisan leluhur seperti ini jangan sampai terlupakan. Jangan sampai tersaing dengan musik-musik Barat. Jangan sampai kita melupakan dan meninggalkan kesenian tradisional,” kata Heri. Sang Hanoman berharap kesenian tradisional seperti wayang terus dijaga oleh generasi muda. (Fernando Randy/Historia).
- D.I. Pandjaitan Bernatal di Tengah Hutan
DI masa revolusi kemerdekaan, berada di rumah berkumpul bersama keluarga adalah kesempatan langka yang sangat mahal. Hal seperti inilah yang dialami Kapten Donald Isaac Pandjaitan ketika Belanda melancarkan agresi militer yang kedua. Waktu itu Pandjaitan menjabat sebagai kepala staf umum yang mengurusi logistik Komandemen Sumatra. Pada 24 Desember 1948, Pandjaitan mengadakan misi ke Riau. Panglima Komandemen Sumatra Kolonel Hidayat Martaatmadja menugaskan Pandjaitan mencari senjata untuk persiapan perang gerilya. Pandjaitan disertai beberapa orang stafnya. Mereka antara lain Letnan Pieter Simorangkir, Letnan Sumihar Siagian, Sersan Mayor G.G. Simamora, dan Bustami -Wali Negeri Rao- sebagai penunjuk jalan. Pukul 06.25 pagi, rombongan Pandjaitan berangkat dari Rao, Pasaman, Sumatra Barat. “Mereka berlima menelusuri jalan tikus, memasuki rimba raya di lereng-lereng Bukit Barisan. Bustami yang mengenal wilayah gawat itu berjalan di depan,” tutur istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br, Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran . Setelah lima jam menerobos hutan, menuruni lembah, dan mendaki bukit, perjalanan mendekati perkampungan. Setibanya di Kampung Pintu Padang, rombongan Pandjaitan singgah sebentar untuk makan siang. Penduduk menerima dan menjamu mereka dengan baik. Atas sambutan hangat itu, Pandjaitan sekalian mengajak rakyat setempat untuk ikut berjuang dalam perang gerilya. Diterangkannya bagi mereka yang tidak memanggul senjata, dapat menyiapkan makanan dan mengirimkannya ke garis depan. Ajakan Pandjaitan bersambut. istri pemuka setempat memberikan perhiasan miliknya untuk biaya perjuangan. Setelah minta diri dan mengucapkan terima kasih rombongan Pandjaitan melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya Desa Rumbai yang berjarak sekira 36 km dari Pintu Padang. Kurang dari lima jam, mereka sudah sampai. Karena hari telah petang, mereka beristirahat di sebuah kedai yang di atasnya difungsikan sebagai penginapan. Setelah berbaring hingga pukul 20.45, Pandjaitan belum dapat tertidur. Pandjaitan menyadari bahwa saat itu adalah malam Natal. Sebagai seorang Kristiani, saat demikian lazimnya mengadakan misa diikuti dengan kebaktian di gereja pada keesokan pagi bersama keluarga. Pandjaitan teringat pula dengan istri dan anaknya yang sedang mengungsi pasca agresi. Tetiba Pandjaitan bangkit dan mengambil dua buku bersampul hitam: Kitab Injil dan Kidung Pujian. Dia menatap Siagian, Simorangkir, Simamora yang masih terjaga. Ketiganya Kristen. Sementara Bustami yang beragama Islam, sudah tertidur pulas. “ Gentlemen ,” kata Pandjaitan, “Tidak seorang pun di antara kita yang menduga akan sampai di tempat ini. Hal ini disebabkan oleh panggilan tugas. Justru inilah yang saya sebut sebagai kehendak Tuhan.” Kendati jauh dari keluarga dan gereja, Pandjaitan membesarkan hati para stafnya. Sebagai wujud syukur, Pandjaitan memimpin mereka melantunkan kidung pujian. Dengan pelan-pelan namun khidmat, mereka melantunkan lagu Malam Kudus . Pandjaitan menutup ibadah itu dengan doa, selanjutnya mereka saling bersalaman. Selamat hari Natal! Pagi-pagi tanggal 25 Desember, rombongan Pandjaitan melanjutkan perjalanan menuju Riau. Mereka terjaga dengan tubuh yang lebih segar setelah berisitrahat semalam. Setelah sarapan, mereka berangkat pukul 06.20 pagi. Menurut Marieke perayaan Natal 1948 di desa kecil yang dikelilingi oleh hutan belantara itu sungguh amat terkesan di hati Pandjaitan. Dia selalu ingat peristiwa yang sangat mengharukan itu. Di tengah perjuangan gerilya, Pandjaitan menjalani kewajiban terhadap negara dan sekaligus terhadap Tuhan. “Hari yang suci itu dialaminya selagi bangsa dan negara dalam ancaman penjajahan, apalagi isteri dan anak-anak yang masih kecil tengah dalam pengungsian,” kenang Marieke. Pandjaitan kelak menjadi Atase Militer Republik Indonesia untuk Jerman Barat. Dia mencapai puncak karier militernya sebagai Asisten IV/Logistik Menteri Panglima AD. Setelah gugur dalam Insiden 30 September 1965, namanya kemudian lebih dikenal sebagai salah satu dari pahlawan revolusi.*
- Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan
BUTUH delapan tahun bagi Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag mencapai keputusan soal kasus pembantaian rakyat Sulawesi Selatan oleh serdadu Belanda dalam kurun 1946-1947. Sejak kasus itu diajukan pengacara HAM Liesbeth Zegveld pada 2012, akhirnya palu para hakim di Den Haag memvonis pemerintah Belanda untuk membayar kompensasi. Zegveld sendiri meski lega lantaran upaya gugatannya berhasil, namun sempat menyesalkan soal lamanya jalannya persidangan hingga tercapainya keputusan itu. “Kami puas dengan keputusannya. Prosesnya tidaklah mudah; butuh delapan tahun persidangan,” ungkapnya, dikutip The Guardian , Jumat (27/3/2020) waktu setempat. “Sungguh disayangkan pemerintah Belanda belum mau untuk lebih terbuka untuk kasus ini, karena banyak klien kami yang kemudian meninggal selama persidangan. Akan tetapi bagi klien kami yang masih hidup dan semua keluarganya, pengakuan pengadilan terhadap penderitaan mereka dan hak mereka terhadap kompensasi itu penting,” lanjutnya. Profesor Liesbet Zegveld (kiri) pengacara HAM yang mewakili keluarga korban pembantaian Raymond Westerling di Sulawesi Selatan (Randy Wirayudha/Historia). Salah satu kasus yang diangkat Zegveld adalah pembunuhan terhadap ayah Andi Monji di Desa Suppa pada 28 Januari 1947. Ayah Monji termasuk satu dari 200 warga desa yang dibantai militer Belanda, diduga kuat oleh pasukan Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling. “Usia saya 10 tahun ketika saya dipaksa menyaksikan ayah saya dieksekusi tentara Belanda setelah disiksa dengan hebat. Saya menjerit dan menangis,” kenang Monji. Monji turut dibawa Zegveld ke Den Haag bersama delapan janda dan tiga anak korban kejahatan perang militer Belanda lainnya, untuk bersaksi di hadapan pengadilan. Oleh pengadilan, pemerintah Belanda diperintahkan untuk memberi Monji kompensasi sebesar 10 ribu euro (sekira Rp181,5 juta). Sementara delapan janda dan tiga anak korban lainnya diputuskan berhak atas kompensasi antara 123,48 euro hingga 3.634 euro (sekira Rp2,2 juta-66 juta). “Saya bersyukur berkesempatan datang ke Belanda untuk menghadiri persidangan, di mana saya bisa bicara ke hadapan pengadilan tentang apa yang terjadi. Saya juga bersyukur atas keputusan pengadilan,” imbuh Monji. Pasukan DST yang kala dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling melakoni pembantaian di Sulawesi Selatan. ( nationaalarchief.nl ). Keputusan pengadilan Den Haag itu keluar tak lama setelah Raja Belanda, Willem-Alexander melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada pada 10 Maret 2020 lalu. Di hadapan Presiden RI Joko Widodo di Istana Bogor, Raja Willem-Alexander menyampaikan permintaan maafnya dalam pidato sambutannya. “Saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf terhadap kekerasan yang berlebihan oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu (1945-1949). Saya menyampaikannya dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan keluarga yang terdampak masih terasa sampai hari ini,” tutur Raja Willem-Alexander dalam potongan pidatonya, dikutip laman resmi kerajaan . Terlebih pembantaian militer Belanda di masa revolusi fisik itu tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan. Namun juga di banyak wilayah, seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah dan Yogyakarta. Westerling pribadi pun sudah mengakuinya sejak lama. Tepatnya pada 1969 kala diwawancara Stasiun TV NCRV dalam program “Altijd Wat”. Pengakuan yang baru berani ditayangkan pada 14 Agustus 2012 itu, menguraikan dengan gamblang di mana Westerling mengakui pembunuhan terhadap 3.500 jiwa tak berdosa, khusus di Sulawesi Selatan. “Saya bertanggungjawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” aku Westerling dalam wawancara itu. “Saya bertanggungjawab pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang dengan langkah tegas, konsekuen dan adil dalam keadaan yang sangat sulit...sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepat mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal,” tambahnya. Kapten Raymon Pierre Paul Westerling bertanggungjawab atas pembantaian warga sipil di Sulawesi Selatan. ( nationaalarchief.nl ). Di sisi lain keputusan ini bukan yang pertama dikeluarkan pengadilan untuk memerintahkan pemerintah Belanda untuk membayar uang kompensasi para janda maupun keluarga korban pembantaian Rawagede (9 Desember 1947. Zegveld pula yang mengajukan gugatannya ke pengadilan Den Haag sejak 2008 atas kekejaman serdadu DST yang menewaskan 431 warga desa terpencil di Karawang, Jawa Barat itu. Hasilnya, pada 2011 pengadilan Den Haag memenangkan gugatan Zegveld yang mewakili sembilan keluarga korban. Pemerintah Belanda lantas memberi kompensasi 180 euro (sekira Rp240 juta) per orang.
- Orang-orang Rawagede
HAWA panas menyengat kawasan Pantai Sadari Karawang siang itu. Deretan pohon bakau melambai-lambai kala disapa angin. Suara debur ombak pantai utara terdengar lembut bersanding dengan bau anyir ikan dari arah kampung nelayan setempat. Di sebuah rumah usang yang terletak dekat pantai, kendaraan yang saya tumpangi berhenti. Dari dalam, seorang perempuan uzur muncul. Tertatih-tatih dia menyambut saya. Tubuhnya gemetaran karena pengaruh usia. “Kita bicara di luar saja ya, di dalam gelap,” jawabnya dalam bahasa Sunda berlogat pesisir. Wanti nama perempuan tua itu. Dia adalah salah satu janda korban pembantaian militer Belanda di Dusun Rawagede pada 1947. Bersama seorang korban, anak korban dan tujuh janda korban Rawagede lainnya, pada 2011 dia menggugat pemerintah Belanda ke Pengadilan Tinggi di Den Haag. Setelah melalui jalan berliku, upaya mereka berhasil. Namun apakah itu menjadikan hidup mereka lebih baik? Selasa, 9 Desember 1947. Orang-orang Rawagede dikejutkan oleh suara stengun dan brengun yang menyalak tiba-tiba dari arah timur pagi itu. Demi mendengar tembakan-tembakan tersebut, kontan para laki-laki yang belum sempat berangkat ke sawah berhamburan ke arah Kali Balong sedang kaum perempuan dan anak-anak justru memilih bertahan di rumah. Wanti yang saat itu tengah hamil tua memilih bersembunyi di bewak (bekas lubang perlindungan zaman Jepang) yang ada di bawah rumah panggungnya. Begitu juga dengan nenek dan kakeknya. Saat berlindung tetiba dia teringat Sarman, suaminya yang beberapa jam lalu sudah pergi sawah. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kondisi penuh ketegangan, tetiba seorang tentara Belanda berseragam loreng masuk ke lingkungan rumah Wanti. Sambil membawa senjata, dia langsung membuka pintu bewak dan membentak dalam bahasa Melayu: “Kemana laki-lakinya?” “Tidak ada Tuan,” jawab Wanti dalam nada gemetar. “Pergi ke mana?!” “Ke sawah, Tuan.” Serdadu bule itu kemudian menunjuk dua orang tua yang saat itu tengah sembunyi di kolong meja. “Ini siapa?” "Ini kakek saya, Tuan. Itu nenek saya, Tuan.” Setelah menggeledah seluruh sudut ruangan, sang serdadu pun berlalu. Sementara itu di tempat lain, Telan melakukan langkah seribu ke arah Kali Balong. Pemuda yang dikenal sebagai anggota Lasykar Hizbullah itu lantas berjalan menyisir tepi kali untuk mengamankan diri ke arah Desa Mekarjaya, yang bertetangga dengan Dusun Rawagede. “Suasana sangat mencekam kala itu. Suara tembakan terdengar diringi jeritan kaum perempuan dan anak-anak kecil,” ujar lelaki kalahiran Rawagede itu. Beberapa waktu kemudian, rombongan serdadu-Belanda berpakaian macan tutul memasuki Rawagede. Mereka adalah anggota Yon 3-9-RI Divisie 7 December , sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan brigade cadangan dari pasukan parakomando Depot Speciale Troepen ) pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen. Begitu memasuki dusun, mereka langsung beraksi. Sebagian berjaga-jaga di mulut dusun, sedang sebagian lagi menyebar, mendobrak pintu rumah (termasuk rumah Wanti) dan memerintahkan secara kasar agar para penghuninya keluar. “Para perempuan dan anak-anak mereka biarkan begitu saja, tapi kaum lelaki yang tak sempat lari dikumpulkan dalam beberapa kelompok,” kenang almarhum Sai, salah seorang penduduk Rawagede yang belakangan lolos dari maut. Satu kelompok yang yang berisi 15 laki-laki lantas dijejerkan. Seorang sersan berkulit putih lantas menanyai satu persatu orang-orang tersebut dalam nada membentak. "Ekstrimis ya?!” “Bukan, Tuan.” “Kamu tahu di mana itu Laskar?! Kamu tahu Lukas?!” “Tidak tahu, Tuan." Mendengar jawaban kompak para lelaki yang tertangkap, tanpa banyak bicara lagi, seorang serdadu Belanda yang berdiri di bagian belakang para tawanan lantas mengokang senjatanya. Darah pun berhamburan, mengental merah mewarnai bumi Rawagede. Beberapa jam setelah pembantaian itu. Langit Rawagede dibekap mendung. Suara ratusan burung gagak mengoak, bersanding dengan teriakan pilu dan tangisan sekelompok perempuan yang kehilangan anak dan suami. Bau mesiu masih menyengat, bercampur dengan bau anyir darah yang tercecer di tanah, dedaunan dan sisa-sisa kayu bekas bangunan yang terbakar. Di beberapa sudut kaum perempuan mengorek tanah dengan golok. Sekuat tenaga, mereka berupaya memakamkan secara layak mayat suami, anak ataupun ayah mereka. Usai menguburkan jasad-jasad itu di dalam lobang yang dangkal, mereka lantas menumpuk makam-makam itu dengan daun jendela, kayu bakar, daun pintu yang merupakan sisa puing-puing rumah mereka yang dibakar militer Belanda. Wanti adalah salah satu dari ratusan perempuan tersebut. Bersama ayah dan ibu mertuanya, ia memakamkan jasad Sarman tepat di di halaman rumahnya. “Setelah mencari kesana kemari, saya menemukan tubuh kaku suami saya tertelungkup di daerah Sumur Bor dengan kepala dan tengkuk berlubang penuh darah,” kenangnya. Telan termasuk yang kehilangan keponakan dan kakak: Sewan dan Natta. Begitu juga ratusan orang Rawagede lainnya. Tidak saja di dalam dusun, di Kali Cibalong pun ratusan pemuda Karawang yang meregang nyawa terbawa hanyut. Telan, masih menyaksikan Tong Wan (pemuda Tionghoa yang bergabung dengan Hizbullah) sekarat lalu dibawa hanyut air Kali Balong yang saat itu tengah banjir. “Sebelum ditembak, ia sempat berteriak: merdeka!" ujar lelaki tua yang meninggal pada 2019. Hawa panas yang menyengat kawasan Pantai Sadari Karawang sudah mulai tak terasa. Tapi deretan pohon bakau masih melambai-lambai disapa angin laut sore. Wanti tua kembali melangkah masuk diringi Sopia, salah satu putrinya yang tersisa. Dia kemudian duduk di kursi butut tanpa meja sambil menghadap saya. “Hingga sekarang, Emak tak pernah mengerti mengapa suami Emak dibunuh. Dia hanya seorang petani, bukan tentara atau laskar,” ujar Wanti dalam nada lirih. Sebagai konsekuensi dari kekalahannya di Pengadilan Tinggi Den Haag, Pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf dan memberikan sejumlah uang kompensasi (jika dirupiahkan sebanyak Rp240.000.000,00) kepada para penggugat. Apakah uang kompesasi tersebut sampai kepada mereka? “Ya sampai. Walaupun saya hanya menerima uang utuhnya ke tangan sekitar 40 juta rupiah, tapi Alhamdulillah saya sendiri bisa membeli rumah ini dan satu televisi untuk hiburan,” kata nenek dari beberapa cucu itu. Wanti sendiri tidak pernah mempersoalkan haknya yang terpotong oleh berbagai pihak. Dia malah merasa bersyukur bahwa di masa tuanya bisa menerima kemurahan Tuhan dengan memiliki rumah sendiri, kendati kondisinya sangat memprihatinkan (ketika awal 2019 saya ke Pantai Sedari, rumah Wanti sudah hancur dimakan abrasi). Bagi salah satu saksi sejarah yang masih tersisa ini, kehilangan suami dan dihantui rasa trauma sejatinya tak bisa terbayar oleh uang sebanyak apapun. “Saya selalu berusaha melupakan kejadian itu. Tapi kalau lagi sendiri kadang bayangannya muncul begitu saja, membuat saya kembali bersedih,” ujarnya dalam nada pelan. Setitik air bening meleleh di kulit pipinya yang keriput. Tulisan ini dibuat untuk mengenang Bu Wanti dan Pak Telan, yang beberapa waktu lalu baru saja mangkat.
- Antropolog Swiss dan Polisi RI Cincai
SETELAH dua hari mengarungi pelayaran sulit, antropolog asal Swiss Reimar Schefold akhirnya sampai di rumah Helmut Buchholz, kawannya yang berkebangsaan Jerman dan berprofesi sebagai penginjil di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Selain untuk mengurus perpanjangan visa, kepergian Reimar dari pesisir barat ke Muara Siberut pada akhir dekade 1960-an itu adalah untuk membicarakan surat dakwaan yang diterimanya terkait dugaan pembelaannya terhadap masyarakat Sakuddei. “Aku langsung menemui dan berbicara kepada Helmut setelah kedatanganku di pos penginjilan itu. Selain itu ia juga ingin mengetahui apa makna sebenarnya dari: tindakanku sebagai ‘kepala suku orang-orang kafir.’,” ujar Reimar dalam memoar berjudul Aku dan Orang Sakuddei: Menjaga Jiwa di Rimba Mentawai. Kepolisian setempat mendakwa Reimar karena menganggap riset Reimar di pedalaman Mentawai dengan tinggal bareng masyarakat Sakuddei sejak 1967 sebagai dukungan terhadap masyarakat itu dalam melawan “modernisasi” yang digulirkan pemerintah sejak era Presiden Sukarno dan dilanjutkan pada era Soeharto. Dalam “modernisasi” itu, pemerintah memperkenalkan dan mengajak suku-suku terbelakang untuk mengadaopsi hal-hal modern dan meninggalkan hal-hal “primitif” seperti kehidupan berburu, bertato, berambut gondrong, dan lain-lain. “Di Mentawai, pamongpraja menyuruh cukur rambut orang lelaki yang panjang, demi moderninsasi suku Mentawai, sedang di Jakarta dan kota-kota besar, laki-laki, tua dan muda memangjangkan rambut mereka! Di Pulau Fiki orang setengah telanjang ke sekolah itu modernisasi! Di Irian Jaya koteka dibuang, di Jakarta tari telanjang di nightclub. Sikap feodal ini juga langsung berakar pada sikap manusia Indonesia terhadap kekuasaan,” kata Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia . Modernisasi yang dilancarkan pemerintah itu pula yang kerap menimbulkan gesekan dengan orang-orang Mentawai, terutama masyarakat Sakuddai tempat Reimar menumpang. Lantaran mendukung prinsip hidup masyarakat Sakuddai untuk melestarikan hutan tempat hidup mereka dan budaya leluhurnya, Reimar dicap melawan modernisasi oleh pemerintah. Hal inilah yang coba dinselesaikannya dengan Nico, kepala polisi RI setempat. Saat Helmut esoknya memimpin misa Minggu di gereja penginjilannya, Reimar melihat Nico duduk di barisan depan. Dia langsung mengampirinya dan meminta membicarakan surat dakwaannya secara empat mata di kantor polisi. Keduanya pun sepakat untuk membicarakannya pada keesokan harinya di tempat penginjilan itu sesuai permintaan Nico. Keduanya langsung masuk ke pokok pembicaraan ketika keesokan harinya bertemu. “Anda mungkin sudah mendengar cerita yang mereka katakan tentang Anda. Aku ingin sekali mendengar sendiri dari Anda tentang kebenarannya,” kata Nico, dikutip Reimar. Setelah Reimar menjelaskan pandangannya, keduanya pun terlibat dalam perdebatan. Nico bertahan pada pendapatnya yang mendukung pandangan pemerintah Indonesia. “Ide-ide primitif seperti itu harus dilarang. Dan bila Anda ingin tahu kenapa: mereka menghambat kemajuan. Aku tidak akan menghalangi Anda untuk itu. Akan tetapi apabila ini berakibat membuat orang-orang berpaling dari kemajuan, maka aku akan tampil dan melawannya. Itulah mengapa aku memintamu datang kemari,” kata Nico. Perdebatan itu akhirnya selesai dengan pandangan solutif yang dikeluarkan Reimar. “Orang-orang seperti orang-orang Sakuddei itu pertama-tama harus mendapatkan kesempatan untuk mengerti mengapa mereka harus berubah dan kemudian ikut menentukan apa yang ingin mereka ambil alih. Bila tidak maka mereka diperlakukan sama saja seperti di bawah kekuatan kolonialisme.” Suasana persahabatan kembali melingkupi keduanya. Nico menutup pertemuan dengan perintah agar Reimar melihat arloji Rolex yang dipakainya. Arloji itu rusak dan karena tak ada orang di sana yang bisa memperbaikinya, arloji itu terus dipakainya dalam keadaan mati. “Aku akan dengan senang hati menolong Anda, tetapi barangkali Anda juga bisa menolongku. Kulihat Anda memakai Omega. Jadi begini: kuberikan Anda Rolex-ku; yang akan Anda bawa pulang untuk diperbaikin dan Anda memberikanku Omega itu sebagai gantinya,” kata Nico. Keduanya pun sepakat. “Anda adalah teman orang Indonesia. Aku akan menolong Anda selama Anda ingin tinggal di sini,” sambungnya. Ketika Helmut masuk ke ruangan sesaat kemudian, pembicaraan sudah selesai. “Ketika aku bercerita kepadanya bahwa Niko akan menolongku dalam memperpanjang visaku, Helmut terbelalak,” kata Reimar.
- Riwayat Bumbu dan Budak di Jambi
Sejak abad ke-16 wilayah Jambi tercatat telah mampu menghasilkan lada untuk keperluan dagang dengan para saudagar yang melewati wilayah mereka. Daerah yang pernah ada di bawah kuasa Malaka ini awalnya tidak menjadikan rempah itu sebagai komoditi utama perdagangan. Namun sejak dimulainya hubungan dengan orang-orang Eropa, penguasa Jambi mulai melirik tanaman ini dan menjadikannya bahan dagangan utama. Dicatat Tome Pires dalam Suma Oriental , Jambi berada di bawah kekuasaan Demak ketika para penjelajah Portugis itu datang ke wilayah tersebut. Para penguasa di sana dijadikan “gubernur”, yang bertugas mengamankan seluruh wilayah kekuasaan Demak di Jambi. Meski menjelang pertengahan abad ke-16 pengaruh dari Jawa itu masih cukup kuat, para penguasa Jambi telah melakukan kegiatan dagang secara mandiri. “Tanah Jambi tersebut menghasilkan kayu yang mengandung obat-obatan, emas, dan barang dagangan dari Tongkal, serta dari tempat lainnya. Dan di sana sudah lebih banyak bahan-bahan makanan. Negeri ini ada di bawah Pate Rodim, penguasa Demak. Rakyat Jambi lebih banyak menyerupai orang-orang Palembang, Jawa dan Melayu,” tulis Pires. Setelah pengaruh Jawa melemah, para penguasa Jambi membangun sebuah pemerintahan mandiri yang mengatur segala urusan kenegaraan, termasuk keperluan dagang dan pengembangan lada untuk komoditi internasional. Kesultanan Jambi pun memulai persaingan dengan pelabuhan dagang di wilayah Sumatera lainnya. Memasuki abad ke-17 perdagangan lada semakin ramai. Bergabungnya kamar dagang Belanda, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), membuat lonjakan permintaan lada di pasar. Penguasa Jambi pun menggencarkan produksi rempah itu dan menjadikannya komoditi utama. Rakyat di wilayah yang besar mulai terlibat dalam penanamannya. “Lada di pelabuhan Jambi tak hanya datang dari daerah Hulu Jambi, tapi juga dari daerah wilayah yang termasuk daerah penyangga Kesultanan Jambi. Lada yang masuk ke Jambi datang dari berbagai daerah di Sumatera, terutama dari Minangkabau,” ungkap Dedi Arman dalam Dari Hulu ke Hilir Batanghari: Aktivitas Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVII . Meski begitu kebutuhan lada untuk perdagangan tetap saja tidak terpenuhi. Permasalahan mulai muncul pada 1625, kata Arman, tatkala para petani lada Minangkabau di hulu enggan menjual hasil panennya ke Pelabuhan Jambi. Alasannya, kerugian selalu mereka alami ketika bertransaksi di wilayah Jambi. Selain karena keberadaan perompak yang dibiarkan berkeliaran, penguasa Jambi pun selalu mematok harga rendah untuk hasil panen para petani ini. Barbara Watson Andaya dalam Hidup Bersaudara Sumatera Tenggara Abad XVII dan XVIII, juga menyebut adanya larangan penjualan langsung dengan pedagang Tiongkok dan Eropa yang begitu merugikan. Pihak kesultanan pun dibuat pusing oleh persoalan tersebut. Mereka akhirnya mengambil tindakan lain, yakni ekspansi ke daerah hulu (pedalaman) agar memperoleh akses terdepan dalam pengumpulan tanaman lada. Di sinilah para budak menjalankan perannya. Wilayah hasil ekspansi penguasa Jambi itu nantinya akan diisi oleh para budak tersebut agar penduduk hulu tidak melakukan perlawanan. “Kesultanan Jambi menambah jumlah penduduk yang nantinya menjadi kekuatan. Ketersediaan budak tak hanya menjadi tambahan tenaga untuk bekerja dan berperang, tapi juga untuk prestise. Kemampuan Jambi dalam persaingan pembelian budak semakin meningkat seiring meningkatnya kekayaan istana Jambi dalam perdagangan lada,” tulis Arman. Pertengahan abad ke-17, peraturan baru diberlakukan penguasa Jambi. Tekstil mulai digunakan sebagai alat tukar lada di Jambi oleh pihak penguasa. Keputusan itu mendapat pertentangan dari para petani. Mereka ingin mata uang real tetap menjadi alat tukar untuk hasil pertaniannya. Jika tidak bisa dipenuhi, para petani meminta budak sebagai bayarannya. Para penguasa dan bangsawan di Jambi memiliki budak yang cukup banyak. Mereka bersaing dalam kepemilikan budak, terutama budak perempuan dari India, Bali, Jawa, Makassar, dan daerah lainnya. Para penguasa itu juga memperoleh budak dari hasil tukar dengan lada. Budak perempuan yang cantik bisa dijadikan pelacur, sehingga menguntungkan para pemiliknya. Jika budak laki-laki dipakai untuk kepentingan militer serta pembukaan lahan baru pertanian lada, para budak perempuan digunakan untuk membantu keperluan sehari-hari, seperti mengangkut air, mengumpulkan kayu bakar, dan membantu perdagangan. “Orang lokal cenderung malas dalam mengerjakan pekerjaan yang berat, seperti membuka lahan untuk kebun baru,” ungkap Arman. Tidak hanya didapat dari jual-beli, para budak milik penguasa Jambi didapat dari perburuan di perairan timur Jambi. Mereka mempekerjakan Orang Laut untuk perburuan ini. Dalam melakukan aksinya, penguasa Jambi mengerahkan sekitar 20 perahu dengan perolehan tiap perjalanannya mencapai 100 budak. Akhir abad ke-17, sekitar 2.500 budak berhasil ditangkap penguasa Jambi. Mereka banyak dijadikan tenaga kasar untuk berbagai keperluan. Setiap budak dihargai sekitar delapan real . Budak berusia muda menjadi yang paling banyak diburu karena kemampuan fisik mereka bisa lebih banyak dimanfaatkan, ketimbang orang tua dan perempuan.






















