top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan

Pengadilan Negeri di Den Haag memutuskan pemerintah Belanda harus membayar kompensasi kepada keluarga korban kekejaman Westerling.

28 Mar 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pimpinan DST, Kapten Raymond Pierre Paul Westerling yang kondang dengan keganasannya membantai warga sipil semasa revolusi fisik di Indonesia (Foto: nederlandsekrijgsmacht.nl)

BUTUH delapan tahun bagi Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag mencapai keputusan soal kasus pembantaian rakyat Sulawesi Selatan oleh serdadu Belanda dalam kurun 1946-1947. Sejak kasus itu diajukan pengacara HAM Liesbeth Zegveld pada 2012, akhirnya palu para hakim di Den Haag memvonis pemerintah Belanda untuk membayar kompensasi.


Zegveld sendiri meski lega lantaran upaya gugatannya berhasil, namun sempat menyesalkan soal lamanya jalannya persidangan hingga tercapainya keputusan itu. “Kami puas dengan keputusannya. Prosesnya tidaklah mudah; butuh delapan tahun persidangan,” ungkapnya, dikutip The Guardian, Jumat (27/3/2020) waktu setempat.


“Sungguh disayangkan pemerintah Belanda belum mau untuk lebih terbuka untuk kasus ini, karena banyak klien kami yang kemudian meninggal selama persidangan. Akan tetapi bagi klien kami yang masih hidup dan semua keluarganya, pengakuan pengadilan terhadap penderitaan mereka dan hak mereka terhadap kompensasi itu penting,” lanjutnya.


Profesor Liesbet Zegveld (kiri) pengacara HAM yang mewakili keluarga korban pembantaian Raymond Westerling di Sulawesi Selatan (Randy Wirayudha/Historia).
Profesor Liesbet Zegveld (kiri) pengacara HAM yang mewakili keluarga korban pembantaian Raymond Westerling di Sulawesi Selatan (Randy Wirayudha/Historia).

Salah satu kasus yang diangkat Zegveld adalah pembunuhan terhadap ayah Andi Monji di Desa Suppa pada 28 Januari 1947. Ayah Monji termasuk satu dari 200 warga desa yang dibantai militer Belanda, diduga kuat oleh pasukan Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling.


“Usia saya 10 tahun ketika saya dipaksa menyaksikan ayah saya dieksekusi tentara Belanda setelah disiksa dengan hebat. Saya menjerit dan menangis,” kenang Monji.


Monji turut dibawa Zegveld ke Den Haag bersama delapan janda dan tiga anak korban kejahatan perang militer Belanda lainnya, untuk bersaksi di hadapan pengadilan. Oleh pengadilan, pemerintah Belanda diperintahkan untuk memberi Monji kompensasi sebesar 10 ribu euro (sekira Rp181,5 juta). Sementara delapan janda dan tiga anak korban lainnya diputuskan berhak atas kompensasi antara 123,48 euro hingga 3.634 euro (sekira Rp2,2 juta-66 juta).


“Saya bersyukur berkesempatan datang ke Belanda untuk menghadiri persidangan, di mana saya bisa bicara ke hadapan pengadilan tentang apa yang terjadi. Saya juga bersyukur atas keputusan pengadilan,” imbuh Monji.


Pasukan DST yang kala dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling melakoni pembantaian di Sulawesi Selatan. (nationaalarchief.nl).
Pasukan DST yang kala dipimpin Kapten Raymond Pierre Paul Westerling melakoni pembantaian di Sulawesi Selatan. (nationaalarchief.nl).

Keputusan pengadilan Den Haag itu keluar tak lama setelah Raja Belanda, Willem-Alexander melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada pada 10 Maret 2020 lalu. Di hadapan Presiden RI Joko Widodo di Istana Bogor, Raja Willem-Alexander menyampaikan permintaan maafnya dalam pidato sambutannya.


“Saya ingin menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf terhadap kekerasan yang berlebihan oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu (1945-1949). Saya menyampaikannya dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan keluarga yang terdampak masih terasa sampai hari ini,” tutur Raja Willem-Alexander dalam potongan pidatonya, dikutip laman resmi kerajaan.


Terlebih pembantaian militer Belanda di masa revolusi fisik itu tak hanya terjadi di Sulawesi Selatan. Namun juga di banyak wilayah, seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah dan Yogyakarta.


Westerling pribadi pun sudah mengakuinya sejak lama. Tepatnya pada 1969 kala diwawancara Stasiun TV NCRV dalam program “Altijd Wat”. Pengakuan yang baru berani ditayangkan pada 14 Agustus 2012 itu, menguraikan dengan gamblang di mana Westerling mengakui pembunuhan terhadap 3.500 jiwa tak berdosa, khusus di Sulawesi Selatan.


“Saya bertanggungjawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” aku Westerling dalam wawancara itu.


“Saya bertanggungjawab pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang dengan langkah tegas, konsekuen dan adil dalam keadaan yang sangat sulit...sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepat mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal,” tambahnya.


Kapten Raymon Pierre Paul Westerling bertanggungjawab atas pembantaian warga sipil di Sulawesi Selatan. (nationaalarchief.nl).
Kapten Raymon Pierre Paul Westerling bertanggungjawab atas pembantaian warga sipil di Sulawesi Selatan. (nationaalarchief.nl).

Di sisi lain keputusan ini bukan yang pertama dikeluarkan pengadilan untuk memerintahkan pemerintah Belanda untuk membayar uang kompensasi para janda maupun keluarga korban pembantaian Rawagede (9 Desember 1947. Zegveld pula yang mengajukan gugatannya ke pengadilan Den Haag sejak 2008 atas kekejaman serdadu DST yang menewaskan 431 warga desa terpencil di Karawang, Jawa Barat itu.


Hasilnya, pada 2011 pengadilan Den Haag memenangkan gugatan Zegveld yang mewakili sembilan keluarga korban. Pemerintah Belanda lantas memberi kompensasi 180 euro (sekira Rp240 juta) per orang.





Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page