top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta

    JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya. Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang saudaranya, Hendrick Tholense. Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi tawanan para pemuda. “Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujar perempuan kelahiran Bandung, hampir 76 tahun lalu.

  • Berlayar Sampai Madagaskar

    Orang Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B , 21 Maret 2012. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina. Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3/2012), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.

  • Nusantara dalam Kitab Tiongkok

    SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.

  • Dari Buaya Keroncong hingga Buaya Darat

    BAGI penikmat dunia hiburan tanah di zaman baheula, namanya tentu tak asing lagi. Dia tergolong artis serba-bisa. Menyanyi. Berakting. Tampil di atas panggung. Padahal kariernya dimulai dari seorang kacung dalam sebuah rombongan sandiwara di Bandung, melakukan pekerjaan menyapu hingga membersihkan alat musik. Tan Tjeng Bok masih berumur 13 tahun kala itu. Di rombongan sandiwara De Goudvissen ini, dia tak mendapat gaji. Hanya makannya ditanggung. Imbalan paling berarti baginya adalah alunan suara dari sang penyanyi pujaan Ben Oeng (Beng). Tjeng Bok memendam hasrat pada dunia tarik suara.

  • Kekecewaan Seorang Jepang

    Pada 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro. Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."

  • Kisah Amir Sjarifoeddin dalam Pelarian

    DI tengah pelarian, Amir Sjarifoeddin jengkel terhadap kelakuan anak buahnya. Waktu itu mereka –yang sedang kekurangan makanan– menyinggahi sebuah desa yang tak memusuhi kelompok Amir. Menyaksikan hamparan pohon kelapa yang luas ditambah rasa dahaga, pasukan rombongan Amir jadi kalap. Beberapa orang memanjat pohon kelapa dan mengambil buahnya. “Mengetahui itu, Bung Amir bukan berterimakasih tetapi malah marah. Ia bergegas keluar rumah, lalu pestolnya dimuntahkannya ke atas tiga kali,” kenang Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner. Turun! Turun! Amir berteriak seraya mengancam akan menembak anak buahnya yang memanjat dan memetik kelapa di pekarangan desa itu jika tak mau turun. Dalam pandangan Fransisca –aktivis Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang ikut long march rombongan Amir– meski sebagai buronan politik kelas kakap, Amir masih memperlihatkan keluhurannya sebagai seorang negarawan. Di tengah pelarian kelompoknya dari kejaran tentara Republik, Amir menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mencatat instruksi Amir, antara lain: desa-desa yang telah diduduki penduduknya harus dihormati; kerusakan di tempat pemondokan harus diganti rugi; sebelum berangkat meninggalkan rumah persinggahan harus dibersihkan terlebih dahulu; semua makan-minum yang didapat harus dibayar kembali. Menurut Fransisca ketentuan-ketentuan itu dilakukan dengan sadar dan patuh selama dua bulan masa pelarian. Bukan saja oleh anggota pasukan tapi juga oleh seluruh anggota rombongan. Tidak boleh ada satu batang lidi pun yang diambil dari rakyat. “Itulah sekilas tentang Bung Amir. Kepribadiannya yang demikian luhur itu membuatku segan untuk mendekat. Tidak berani! Bukan takut, tapi segan,” ujar Fransisca. Kodrat Alam Banyak yang heran atas pilihan politik Amir; bersekutu dengan Musso dan melawan Republik. Keputusan itu kelak menjerumuskan dirinya dari kedudukan terhormat menuju akhir hidup yang tragis. Sebelum terjun dalam petualangan yang penuh bahaya di Madiun, Amir Sjarifoeddin sejatinya adalah figur cemerlang. Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan mencatat, Amir Sjarifoeddin merintis namanya di pentas pergerakan nasional takala menjadi bendahara dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Dalam perhelatan akbar itu, Amir yang bermarga Harahap mewakili organisasi Jong Batak . Kemudian, dia menjadi pengikut Sukarno dalam Partai Indonesia (Partindo) dan akhirnya memimpin Gerakan Rakyat Indoneisa (Gerindo). “Ia seorang Muslim yang menjadi Kristen,” tulis Gie. Pada zaman Jepang, Amir dipenjarakan karena ikut gerakan bawah tanah. Di masa perang kemerdekaan, antara 1947–1948, Amir menjabat sebagai Perdana Menteri RI merangkap Menteri Pertahanan. Mundur dari pemerintahan, Amir terlibat dalam gerakan PKI Musso di Madiun. Di struktur partai, dia adalah anggota Politbiro CC PKI. Presiden Sukarno dalam rapat kabinet yang akan memutuskan tindakan terhadap para “pemberontak” Madiun, sesungguhnya merasa terkejut dengan keterlibatan Amir dalam Insiden Madiun 1948. “ Wat wil die Amir toch ?” (Amir itu maunya apa?), tanya Sukarno sebagaimana disaksikan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Simatupang sendiri adalah perwira tinggi TNI yang menaruh hormat secara pribadi terhadap Amir yang dinilainya sebagai seorang pemikir yang brilian. Seorang orator yang dalam keulungan berpidato hanya kalah oleh Bung Karno. Seorang pejuang dan pekerja yang tabah dan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri. “Mereka yang pernah mengenalnya dari dekat akan tetap memelihara kenang-kenangan kepada seorang manusia yang baik dan peramah,” tutur Simatupang dalam otobiografinya Laporan dari Banaran . Hal senada juga dikenangkan Abu Hanifah, rekan Amir di masa muda yang menjadi tokoh Partai Masyumi. Amir dianggapnya sebagai pribadi menyenangkan: kawan yang baik, suami yang setia, dan bapak yang penyayang. Di sisi lain, kelemahan Amir terletak pada emosi dan ambisinya yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya. “Ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia sekelilingnya,” ungkap Abu Hanifah dalam “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifoeddin” termuat di Manusia dalam Kemelut Sejarah . Menurut Simatupang, pasca menandatangi Perjanjian Renville, akhir Januari 1948, Amir mengalami kekecewaan besar. Perjanjian itu dianggap merugikan Republik sementara Masjumi, partai yang menyokong kabinet Amir Sjarifoeddin, menarik dukungannya. Amir lantas menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri dan menjadi oposisi. Belakangan ketika Amir sampai di dalam tahanan Yogya, orang tanya padanya, mengapa dia lakukan pemberontakan. Sebagaimana dilansir koresponden khusus Sin Po 5 Februari 1949, Amir cuma jawab: “sudah kodrat alam”. Di Hadapan Gatot Soebroto Ketika tertangkap di desa Klambu, Grobogan, akhir November 1948, Amir dibawa ke Solo. Di Solo, Amir dan beberapa rekannya dihadapkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Di rumah Gubernur Militer, Amir berpakaian piyama compang-camping. Sementara Gatot, berpakaian perwira militer lengkap dan duduk di kursi yang empuk dan serba mewah. Sembari menyuguhkan kopi, Gatot menginterogasi tawanan-tawanan politik yang dipimpin Amir. Gatot bertanya mengenai berbagai hal terkait gerakan Madiun. Alih-alih memberikan jawaban, Amir memilih bungkam. “Bung Amir tutup mulut,” ujar Fransisca. “Aku menyaksikan sikap mereka, orang-orang yang kalah, tapi begitu penuh harga diri.”*

  • Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik

    KETENANGAN di Pangkalan Udara (Lanud) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Maguwo, Yogyakarta sekira pukul 6 pagi, 19 Desember 1948, itu mendadak berganti kegaduhan. Alarm peringatan meraung-raung seiring mulai menyalaknya meriam-meriam anti-udara. Tetapi perlawanan pasukan pangkalan itu segera dijinakkan pesawat-pesawat tempur P-40 Kittyhawk dan P-51 Mustang dari Skadron ke-18 Commando Java Koninklijke Luchmaacht (Angkatan Udara Kerajaan Belanda Komando Jawa). Sejurus perlawanan dari Lanud Maguwo mulai mereda, sekira pukul 6.44 para prajurit Korps Speciale Troepen (KST) mulai terjun dari pesawat-pesawat angkut Dakota alias C-47 Skytrain dan pesawat-pesawat pembom B-25 Mitchell. Operatie Kraai  alias Operasi Gagak telah dimulai dimulai militer Belanda. Panglima Tentara Hindia Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor turut mengawasi operasi itu dari salah satu pesawat pembom Mitchell. Sang legercommandant  pagi itu ditemani direktur Centraal Militaire Intellegence Kolonel J.M. Somer. “Saya beruntung mengikuti Djati (nama sandi Spoor, red. ) untuk menyaksikan keberangkatan pasukan para dengan pesawat B-25. Kami sampai di atas Maguwo pada jam 6.40 dan menyaksikan pasukan para terjun tepat jam 6.45. Pasukan para mendarat dengan aman tanpa ada kerusakan pada landasan terbang,” kata Somer dalam laporannya via telegram bernomor 370-N “ zeer geheim ” (sangat rahasia), dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat no. 1). Kolonel Somer di atas kota Yogyakarta dengan pesawat pengebom B-25 Mitchell. (nationaalarchief.nl). Lanud Maguwo sendiri akhirnya dikuasai setelah sejam perlawanan pasukan pangkalan AURI dengan harga mahal, 41 prajurit gugur. Usai merebut Lanud Maguwo, pasukan para Belanda yang sudah terhubung dengan kolone kavaleri dan infanteri dari T-Brigade (Tijgerbrigade) –berkuatan 2.600 personel pimpinan Kolonel Dirk van Langen– yang bergerak dari Semarang itu segera merangsek ke dalam kota Yogyakarta mulai pukul 2 siang.  Kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa kekuatan tentara republik yang sedang latihan perang di luar kota. Hanya tersisa pasukan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto dibantu pasukan kadet Militaire Academie (MA), Laskar Seberang pimpinan Mayor Pelupessy, dan kesatuan Mobil Brigade (Mobrig, kini Brimob Polri) pimpinan Inspektur Johan Suparno.  “Di Semaki mereka (pasukan Belanda) dicegat oleh pasukan kadet MA. Dekat Ambarukmo dan Gedung Kuning terlibat pertempuran melawan kesatuan polisi di bawah Johan Suparno. Sebelumnya di sekitar Maguwo pasukan Mayor Pelupessy pun mencoba menghalangi gerakan Belanda,” tulis Dinas Pembinaan Mental TNI AD (Disbintalad) dalam Perjuangan Gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman . Letkol Soeharto menginstruksikan Peleton Marjuki menghadang di Jalan Solo dan Peleton Dimyati di sepanjang rel keretaapi di Lempuyangan. Namun keunggulan persenjataan dan dukungan kekuatan udara Belanda membuat pertempuran-pertempuran tidak imbang. Operatie Pelikaan  secara prinsip sebagai percepatan Operatie Kraai  untuk menduduki Yogyakarta sebagai ibukota Republik pun dimulai. Pucuk komandan Belanda saat Agresi Militer II, Kolonel Dirk Reinhard Adelbert van Langen. (nationaalarchief.nl). Bendera Putih di Istana Kepresidenan Jika Operatie Kraai disusun Kepala Staf Umum Mayjen Buurman van Vreeden sejak Januari 1948 –seiring Perjanjian Renville yang mengakhiri Agresi Militer I (1947), Operatie Pelikaan diusulkan kepada Jenderal Spoor pada awal September 1948. Tujuan Operasi Pelikan yakni mempercepat pendudukan Yogyakarta dan menangkap para pimpinan republik. “Untuk melaksanakan operasi ini, dikerahkan satu Kompi Para dan tiga kompi komando dari KST. Sedangkan pasukan susulan akan didaratkan dua batalyon dari Tijgerbrigade. Rencana Operatie Pelikaan  ini disetujui oleh Spoor,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) di Sini, Des 1948-Juni 1949. Setelah mendapat lampu hijau dari Spoor, lanjut Wawan, Kolonel A.J. Thompson menuangkannya dalam instruksi operasional No. 1117/GS 03, “ De aanvullende operationele instructive voor de versnelde fase van Operatie Kraai ” bertanggal 9 September 1948, untuk kemudian dikirim kepada para komandan divisi dan brigade Koninklijke Landmaacht (AD Belanda) dan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) se-Jawa dan Sumatera. Selain Spoor, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Louis Beel juga menyetujuinya meski Gubernur Jenderal Hubertus van Mook masih ragu. Tapi beberapa pekan kemudian, Kabinet Perdana Menteri (PM) Willem Drees di Den Haag menolak usulan itu. Kala itu negosiasi antara Belanda dan Republik Indonesia pasca-Perjanjian Renville belum menemui jalan buntu. Terlebih pemerintah Indonesia sedang disibukkan “pasifikasi” barisan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang melancarkan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (18 September-19 Desember 1948).  Beel dan Spoor menganggap pemberontakan PKI jadi momen tepat untuk merebut Yogyakarta karena pemerintah Republik sedang “digembosi” dari dalam. Sementara, PM Drees justru beranggapan jika upaya pemerintah Indonesia memadamkan pemberontakan PKI itu direcoki agresi, dikhawatirkan akan jadi backfire  bagi Belanda berupa kecaman-kecaman dunia internasional. “Pertimbangan PM Drees, selama pemerintah (Perdana Menteri, Mohammad) Hatta masih menguasai Yogyakarta dan RI bertekad menyelesaikan pemberontakan PKI/Moeso dengan kekuatannya sendiri, ia dan kabinet dalam sidangnya mengajukan alternatif penggunaan kekuatan militer untuk menduduki beberapa wilayah RI yang ‘bersahabat’ dengan Belanda,” tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Soekarno, “Rebut Kembali Madiun”: Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Presiden Sukarno saat menjadi tahanan rumah di Gedung Agung (kiri) & saat hendak diterbangkan ke Sumatra. (NIMH/defensie.nl). Operatie Pelikaan  yang ingin dilancarkan Beel dan Spoor sebelum Desember 1948 memang batal terlaksana. Namun, tujuan-tujuan utamanya membidik para pucuk pimpinan republik tetap terlaksana sejurus Operasi Gagak. Maka ketika langit Yogyakarta mulai meredup pada sore 19 Desember 1948, pasukan Belanda dengan superioritas persenjataannya sudah mampu menembus kubu-kubu pertahanan tentara Republik. Istana Kepresidenan Gedung Agung di seberang Benteng Vredeburg pun sudah di depan mata. “Pergerakan pasukan Belanda menuju kota Yogyakarta terbagi dalam dua kolone, yaitu Kolone A dan Kolone B. Kolone A melambung ke utara dan Kolone B bergerak dari selatan yang akhirnya bertemu di satu titik di pusat kota. Kolone B yang terdiri dari pasukan KST pada jam 15.00 telah mencapai depan Istana Presiden, Gedung Agung. Sedangkan Kolone A bergerak menyusuri rel dan berakhir di Stasiun Tugu,” sambung Wawan. Beberapa barisan dari dua kolone pimpinan Kolonel Van Langen itu juga menyebar dengan posisi tempur ke Gedung Kantor Pos, Pasar Beringharjo, dan Benteng Vredeburg untuk mengepung Istana Kepresidenan. Maka, dalam keadaan terkepung pasukan republik yang berjaga di Gedung Agung pun tak mampu memberi perlawanan. “Pasukan yang menjaga Istana Presiden saat itu adalah Kompi II dari Polisi Militer dengan kekuatan kurang dari satu peleton. Menghadapi perlawanan tak seimbang, pasukan itu mundur dan masuk ke dalam istana. Letnan Kemal Tobing berganti pakaian biasa dan atas perintah Presiden Sukarno, dia kembali keluar sambil membawa bendera putih,” sambung Wawan.  Sementara, di dalam istana mulai gaduh. Beberapa dokumen penting diputuskan untuk dibakar meski naskah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bisa diselamatkan. Presiden Sukarno juga memerintahkan Husein Mutahar, protokol istana yang juga pencipta lagu “Hari Kemerdekaan”, untuk menyembunyikan Sang Saka Merah Putih sebelum pimpinan pasukan Belanda masuk istana. Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden AKBP Mangil Martowidjojo lalu menjadi orang pertama yang menemui utusan pasukan Belanda, Letkol Van Beek. Dalam todongan senjata, Mangil diinstruksikan untuk menginfokan bahwa Presiden Sukarno mesti menghadap Van Langen di depan Gedung Kantor Pos.  “Itu adalah saat-saat paling mendebarkan dari keseluruhan operasi yang sedang berlangsung. Saat paling dramatis dalam konfrontasi antara Belanda dengan Indonesia,” tulis sejarawan Louis Zweers dalam Agressi II, Operatie Kraai: De vergeten beelden van de tweede politionale actie. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pemimpin pemerintahan Republik lain yang ikut ditawan kala Agresi Militer Belanda II. (NIMH/defensie.nl). Dalam pembicaraannya kemudian, Van Langen merayu Sukarno untuk berdiri di barisan Belanda dengan menjadi kepala pemerintahan federal. Sudah barang tentu rayuan itu ditolak. Selebihnya, Van Langen menyatakan Sukarno sebagai tahanan rumah di istana selama tiga hari. “Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kita,” ungkap buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan  terbitan LVRI.  Pada 22 Desember 1948, Sukarno bersama Sutan Sjahrir, Kepala Staf AURI Komodor Suryadi Suryadharma, PM merangkap Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Sumatera via Lanud Maguwo. “Presiden Sukarno dibawa ke salah satu markas pasukan Belanda di Terban Taman (kini Museum Dharma Wiratama Angkatan Darat). Tiga hari setelah ditahan sebagai tahanan rumah, Sukarno dan para pemimpin Republik diterbangkan dengan pesawat B-25 tanpa tujuan jelas. Pilot hanya mengetahui tujuan penerbangan setelah membuka surat perintah di dalam pesawat,” tambah Wawan.  Selain Panglima TNI Jenderal Sudirman yang sudah lebih dulu keluar kota untuk bergerilya, hanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) selaku menteri pertahanan yang tak diangkut Belanda. Sultan HB IX yang bersahabat dengan Ratu Belanda Juliana ini pun sempat disatroni langsung oleh Jenderal Spoor di dalam keraton. Spoor juga merayu sultan untuk memihak Belanda, namun ditolak mentah-mentah.  Sebelumnya, sultan didatangi perwira tinggi Belanda Jenderal Meijer dan beberapa pejabat sipil Belanda, tapi menolak ajakan mereka. Kemudian, Spoor sendiri yang mendatanginya dengan tank ringan M3 Stuart sambil mengancam akan menerobos penghalang di gerbang keraton. “Sultan segera meminta Spoor turun dari tanknya dan jalan kaki ke dalam keraton. Kedatangan Spoor hendak membicarakan tentang ‘kerjasama’ dan apa yang akan diberikan sebagai imbalan. Tetapi satu-satunya yang ingin dibicarakan Sultan adalah penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta dan setelah berbicara 10 menit, Spoor beranjak meninggalkan pertemuan,” tandas Wawan.*

  • Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

    DARI basis kekuasannya di Bakkara, Sisingamangaraja suatu kali melawat ke daerah Simalungun. Turut mendampinginya beberapa pengikut orang dari Aceh dan Toba. Namun, mendekati Pematang Raya, Tuan Rondahaim Saragih, penguasa Kerajaan Raya, enggan menyambut rombongan Sisingamangaraja. Tuan Rondahaim hanya bersedia menerima Sisingamangaraja di Dalig Raya, berjarak 5 km dari Pematang Raya, sebagai gerbang depan kerajaannya. “Dalig Raya adalah juga kampung saya, kesana saja Oppung  (Kakek), biar nanti saya yang menghadap kesana,” kata Rondahaim, sebagaimana dituturkan Pdt. Wismar Saragih dalam Barita Ni Tuan Rondahaim  atau Riwayat Hidup Tuan Rondahaim . Dinasti Sisingamangaraja kesohor sebagai raja-imam yang berkuasa di Tanah Batak. Pengaruhnya cukup diakui sampai ke wilayah kerajaan tetangga seperti Simalungun maupun Aceh. Tuan Rondahaim sendiri, dalam catatan Wismar Saragih, menaruh hormat pada Sisingamangaraja yang dipanggilnya “ Oppung ”. Namun, menurut hemat Rondahaim, jika Sisingamangaraja berkunjung ke Raya, tentulah banyak orang gentar, karena mengangapnya sebagai imam atau datu  agung yang diutus Allah. Penyambutan terhadap Sisingamangaraja dapat berakibat habisnya harta rakyat untuk dipersembahkan kepadanya. Itu sebabnya, Rondahaim lebih memilih untuk menyambutnya di Dalig Raya dan dia sendiri yang langsung memberikan persembahan bagi Sisingamangaraja. “Kemudian diperintahkanlah agar semua rakyat mengantarkan persembahan masing-masing kepada Sisingamangaraja. Tuan Rondahaim mempersembahkan ringgit sebanyak $120. Masyarakat Raya berikut penghulu masing-masing berbondong-bondong mengantarkan persembahan syukurnya karena negeri disinggahi Sisingamangaraja,” tutur Wismar. Setelah memberikan persembahan kepada Sisingamangaraja, Tuan Rondahaim meminta kepada Sisingamangaraja agar perkaranya dengan Tuan Dolok Kahean didamaikan. Menurut pengaduan Rondahaim, Tuan Dolok Kahean suka menyamun ke wilayah Raya. Selain itu, pengantar mesiu Tuan Rondahaim yang melintasi Dolok Kahean, kerap kali dihadang dan disita bawaannya. Mendengar masalah tersebut, Sisingamangaraja menyuruh orang menjemput Tuan Dolok Kahean. Tuan Rondahaim pun kembali ke Pematang Raya. Seperti dijelaskan dalam Barita Ni Tuan Rondahaim , Tuan Rondahaim sejatinya telah menyiapkan siasat agar “balik modal” dan tak kalah wibawa dengan Sisingamangaraja. Kepada salah satu panglimanya, Tuan Bulu Raya Jombit diperintahkan untuk mengepung dan mengacungkan bedil begitu Tuan Dolok Kahean datang. Untuk menebus kebebasannya, Tuan Dolok Kahean harus membayar $1000. Begitulah yang terjadi setibanya Tuan Dolok Kahean di Dalig Raya. Demi memadamkan huru-hara dan pertumpahan darah, Sisingamangaraja bersedia menebusnya. Sisingamangaraja pasang badan karena harus menjamin keselamatan Tuan Dolok Kahean yang diundang datang atas permintaannya. Sisingamangaraja pun tampaknya menyadari perbuatan orang Raya yang terkesan menjebak dirinya. Uang tebusan itu konon diserahkan dalam sepiring besar uang ringgit dan setelah dihitung berjumlah $700. Setelah perkara beres, uang tersebut diantarkan kepada Tuan Rondahaim. Tuan Dolok Kahean dibebaskan. Sementara itu, Sisingamangaraja kembali ke Toba melewati Dolok Saribu. Rombongan Sisingamangaraja membawa serta beberapa orang Dolok Kahean, karena sudah membayar hutang mereka. Rencananya mereka hendak dijual sebagai budak belian. Namun, ditengah jalan, orang-orang Dolok Kahean ini melarikan diri setelah “dikompori” utusan Tuan Rondahaim. “Mereka pun lari ke Sinondang. Ada 50 orang banyaknya. Sebagian mereka itu dijadikan menantu oleh Tuan Rondahaim dan tinggal di Sinondang,” catat Wismar Saragih, “Demikianlah usaha Tuan Rondahaim agar dimuntahkan kembali apa yang sempat dimakan Sisingamangaraja dari Simalungun.” Namun, Wismar Saragih tak menyebut titimangsa maupun Sisingamangaraja ke berapa yang bertemu dengan Tuan Rondahaim. Menurut Augustin Sibarani, pertemuan Sisingamangaraja dengan Tuan Rondahaim, terjadi pada 1871 sehingga dapat disimpulkan itu adalah Sisingamangaraja XI atau bernama asli Raja Ompu Sohahuaon. Penerusnya, Patuan Bosar yang kemudian bergelar Sisingamangaraja XII baru berkuasa pada 1875. “Pada 1871 Raja Sisingamangaraja XI telah mengadakan suatu pertemuan tingkat tinggi dengan Teuku Nangta Sati dari Aceh untuk menggariskan suatu dasar pertahanan antara Aceh dan Tanah Batak. Pada tahun itu juga Raja dari Bakkara ini telah berkunjung ke Pematang Raya di Simalungun untuk menemui Raja Rondahaim Saragih guna membicarakan suatu perjanjian pertahanan bersama,” sebut Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII . Sementara itu, Walter Bonar Sidjabat, sejarawan penulis biografi Sisingamangaraja XII, mengatakan Sisingamangaraja XI dan Sisingamangaraja XII berkenalan baik dengan Tuan Rondahaim. Sisingamangaraja XII juga pernah berkunjung ke Raya. Bersama Tuan Rondahaim, keduanya mengadakan kerja sama dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Efeknya secara historis terjadi di daerah Deli dan Serdang. “Setelah kunjungan Sisingamangaraja XII ke Raya, maka para pendukung Tuan Rondahaim pun, segera membakari banyak gudang-gudang tembakau di daerah Deli Serdang. Pembakaran ini dilakukan dengan memberikan uang bagi kuli gintrokan  (kontrak) sebanyak 20 ringgit seorang, asalkan orang bersangkutan berhasil membakar bangsal atau gudang pengeringan daun tembakau di perkebunan di daerah Deli Serdang itu,” ungkap Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja . Semasa Rondahaim berkuasa, Kerajaan Raya tak dapat ditaklukkan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perkebunan yang dikuasai Belanda di daerah Kerajaan Raya. Sebaliknya, Rondahaim bersama pasukannya kerap menebar ancaman terhadap basis-basis ekonomi Belanda di kawasan Sumatra Timur. Perlawanan Rondahaim terhadap Belanda mulai berlangsung sejak 1871 hingga 1890. Surat-surat kabar sezaman berbahasa Belanda kerap memberitakan aksi-aksi yang dilancarkan Rondahaim yang menyebabkan pemerintah kolonial kerepotan. “Tuan Rondahaim pada akhirnya berlebihan. Ia menyerbu Padang dan Bedagei, dan rakyatnya menderita akibatnya. Semua upaya damai untuk membujuknya agar mengakui supremasi Belanda gagal. Ia memproklamirkan kemerdekaannya ketika penguasa Batak lainnya telah menyerah,” demikian diwartakan Deli Courant , 27 Februari 1935. Perlawanan Rondahaim terhenti menyusul wafatnya pada 1892. Sementara itu, Sisingamangaraja XII terus menyalakan perlawanan lebih lama lagi terhadap Belanda. Sisingamangara XII berjuang hingga gugur di tangan anak buah Kapten Hans Christoffel pada 1907. Baik Sisingamangaraja XII maupun Tuan Rondahaim telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.*

  • Wanita Perkasa Pembela Jelata

    API Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia, menyala dalam dadanya. Sepanjang hidupnya, Surastri Karma (S.K.) Trimurti tak pernah mengesampingkan pentingnya pendidikan politik bagi perempuan. Sebuah lagu berjudul “Dialog Suami-Istri” bisa mewakili kekaguman sejumlah orang akan peran Trimurti, juga Kartini, dalam pendidikan. Lagu ini, dibawakan kakak-beradik Rita Ruby Hartland dan Yan Hartland, begitu akrab bagi pencinta musik country  era 1980-an. Liriknya menyiratkan kebahagiaan sepasang suami-istri karena putri mereka menjadi seorang guru, yang mengamalkan ilmu untuk perangi kebodohan hingga jauh ke ujung desa. Begini sepenggal liriknya: Pergilah anakku simpan doaku… songsonglah tugasmu dengan senyummu banyak saudaramu yang masih buta huruf ajarilah mereka… Jadilah Kartini atau S.K. Trimurti pintarkanlah bangsamu. Namun, Trimurti bukan sekadar seorang pendidik. Dia juga wartawan, pengarang, politisi, serta aktivis buruh dan perempuan tiga zaman yang menunjukkan diri sejajar dengan sejawatnya, kaum lelaki. Dia pejuang perempuan yang komplet, yang disegani kawan maupun lawan. “Trimurti dikenal keberaniannya, kelincahan otaknya dalam perdebatan politik dan ketajaman penanya,” tulis Achmad Subardjo Djojoadisuryo dalam Lahirlah Republik Indonesia . “Yu Tri adalah satu pribadi yang istimewa dan yang jarang terdapat di kalangan masyarakat Indonesia. Api yang tetap menyala dalam tubuhnya tak mungkin dapat dipadamkan,” tulis Adam Malik dalam otobiografinya, Mengabdi Republik . “Bagi saya pribadi Yu Tri tetap Yu Tri, seorang ‘wanita jantan’ tanpa takut dan tanpa pamrih telah mengabdikan dirinya untuk kemerdekaan bangsa dan negara dan seiring ditimpa percobaan namun sama sekali tidak menyebabkannya menyesal.”* Berikut ini laporan khusus S.K. Trimurti S.K. Trimurti Gadis Berlawan dari Sawahan S.K. Trimurti Bergerak S.K. Trimurti Bukan Tokoh Kelas Berat S.K. Trimurti di Tengah Perpecahan S.K. Trimurti Menteri Bersandal S.K. Trimurti di Tengah Tokoh Kiri S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno S.K. Trimurti Menyalakan Api Kartini S.K. Trimurti dan Sayuti Melik Pecah Kongsi Perkawinan S.K. Trimurti Biarkan Batin Melayang

  • Hetairai, Pelacur Athena

    SOCRATES, filsuf ternama asal Athena, Yunani, memilih mati minum racun ketimbang hidup mengingkari kebenaran. Pengadilan mendakwanya menyebarkan ajaran yang merusak generasi muda. Sebelum mati, masa hidupnya (470 SM-399) sebagian besar dihabiskan untuk bertanya kepada orang-orang untuk membantu orang lain memperoleh wawasan dan pengetahuan yang benar dengan mencari dan mendapatkannya sendiri. Karenanya metode filsafatnya disebut seni kebidanan (maieutika). Dari kesenangannya bertanya-tanya, dia tak disukai sebagian orang, tapi punya banyak kawan. Salah satu kawan akrabnya, Theodote, seorang hetairai atau pelacur kelas atas masa peradaban Yunani Kuno.

  • Sentuhan Mewah ala Prancis

    Hermes seolah memiliki magnet tersendiri bagi pecinta dunia mode, terutama kaum hawa dari kalangan sosialita. Hermes jadi salah satu penunjuk status sosial. Kisah Hermes berawal ketika Thierry Hermes, kelahiran kota Krefeld (Jerman) pada 1801, bermigrasi ke Prancis pada usia 27 tahun. Trampil mengerjakan benda-benda berbahan kulit, pada 1837 Thierry membuka sebuah toko berlabel "Hermes" di The Grands Boulevards of Paris untuk segmen bangsawan Eropa.

  • Arsitek Kesultanan Banten

    DUA pucuk surat tulisan tangan Kyai Ngabehi Cakradana tersimpan di Kopenhagen. Di muka amplop salah satunya bertahun 1671-1672, ditambahkan catatan dalam bahasa Denmark: "Cinabij Sabandorz hos sultanen til Bandtam" artinya "syahbandar kota Pecinan untuk sultan Banten." Dari kata-kata itu diketahui bahwa Cakradana adalah syahbandar kerajaan sekaligus pemimpin masyarakat Tionghoa. Ternyata tak hanya itu. Dia juga dikenal sebagai arsitek permukiman dan pertahanan Banten. Tak diketahui pasti tempat dan tanggal lahir Cakradana, tapi kemungkinan dia lahir sebelum tahun 1630. Dia keturunan Tionghoa dan menyandang nama Tantseko. Mengawali karier sebagai pandai besi, dia kemudian diangkat menjadi syahbandar dan kepala bea cukai di bawah syahbandar utama, Kaytsu . Diduga, kedudukan sosial Cakradana naik berkat Kaytsu.

bottom of page