Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jakarta Kota Tinja
GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali mengumpat. Kali ini dalam siaran langsung ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi swasta. “Lalu apa tuduhan yang lebih keji lagi, istri saya menerima dana CSR (dana sosial perusahaan swasta) untuk main di Kota Tua. Lu buktiin, tahi, bangsat, goblok, nenek bego ,” ujarnya dengan jengkel sebelum disela. Umpatannya itu keluar terkait konflik antara dirinya dan DPRD DKI Jakarta dalam kasus APBD. Kata “tahi” bukan sekali ini keluar dari mulut Ahok. Tahun lalu, dia pernah menyebut Jakarta sebagai “Kota Tahi” kala mengomentari kepengurusan kawasan Kota Tua yang tak becus. Ternyata “tahi” memiliki ceritanya sendiri dalam sejarah Jakarta (dulu Batavia). Tepatnya ketika pasukan Mataram menyerbu Batavia pada 1629. Raja Mataram, Sultan Agung (1593-1646) berambisi menaklukkan Batavia untuk memuluskan jalan menaklukkan Kesultanan Banten. Pasukan Mataram menyerbu Batavia dua kali, tahun 1628 dan 1629. Adapun episode pertempuran yang berkaitan dengan “tahi” terjadi di salah satu menara benteng pertahanan Belanda, Hollandia , pada malam hari 20 Oktober 1629. Kisah tersebut ditemukan dalam buku karya penjelajah Belanda, Johan Nieuhof (1618-1672), Het Gezandtschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen Keizer van China (Kedutaan Besar dari Kongsi Dagang Belanda Republik Belanda kepada Tartar Cham, Kaisar Cina) yang kali pertama terbit pada 1665 di Belanda. Kala itu, pertahanan Hollandia dipimpin oleh sersan asal Jerman, Hans Madelijn. Sudah kehabisan senjata untuk mempertahankan benteng dari pasukan Mataram, Hans menelurkan gagasan sinting. “Benteng itu dipertahankan oleh hanya 15 serdadu. Mereka kehabisan peluru, dan untuk bertahan terpaksa melemparkan segala macam benda yang bisa dilempar, konon termasuk isi tangki kakus,” tulis Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia . Sejarawan Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta , mencatat, “saat mereka diserang oleh peluru jenis baru ini, orang-orang Jawa itu langsung melarikan diri sambil berteriak jengkel, “ 0, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay (Oh, Belanda setan, kalian berkelahi pakai tahi!).” “Ini adalah kata berbahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku yang ditulis oleh orang Jerman,” tambah Heuken. Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung mengatakan kejadian itu dijadikan dalih untuk menghentikan pengepungan. “Akan tetapi Valentijn melihat bahwa bukan karena alasan inilah mereka mundur melainkan terutama juga karena mereka melihat datangnya pasukan pembebasan dari kota menuju ke arah mereka,” tulis de Graaf mengutip dari catatan penulis Belanda, Francois Valentijn (1666-1727). Batavia gagal direbut dan prajurit Mataram pulang dengan terlunta-lunta. Orang Mataram kemudian menjuluki Batavia sebagai “Kota Tahi”, baik dalam artian umpatan maupun merujuk peristiwa konyol yang mereka alami di benteng Hollandia . Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) dalam bukunya, History of Java , menulis bahwa julukan tersebut masih digunakan oleh orang-orang Jawa setidaknya sampai awal abad ke-19. Sebuah kampung bernama “Kota Tahi” juga pernah eksis sebelum namanya menghilang di pertengahan abad yang sama. Adapun di bekas lokasi situs benteng Hollandia kini berdiri pusat perbelanjaan Glodok.
- Gudang Rempah Jadi Gudang Sejarah
DENGAN wajah ceria, lima gadis cilik melihat satu per satu koleksi Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan No 1 Jakarta Utara, Selasa (24/2) siang. Mereka sering berkunjung ke sana. Alasannya, selain dekat rumah, mereka suka koleksi-koleksi museum. Museum Bahari memiliki ratusan koleksi yang berkaitan dengan dunia maritim Nusantara. Dari foto, lukisan, alat navigasi, hingga keramik. Semuanya didapatkan melalui perburuan maupun hibah. "Kami pernah mendapatkan 200 koleksi peninggalan kapal Tiongkok yang tenggelam di Belitung pada abad ke-11. Ada mangkok, piring; ada yang sudah berkerak seperti karang, ada yang masih dengan karang-karangnya," ujar Isa Ansyari, kepala koleksi dan perawatan Museum Bahari. Perahu tradisional dari berbagai daerah menjadi koleksi terbanyak museum. Ada yang asli, ada pula yang sekadar replika. Ada juga patung-patung tokoh bersejarah yang berkaitan dengan dunia maritim seperti Ibnu Battutah. Semua ini membantu memperlengkap informasi mengenai masa lalu kemaritiman Nusantara. Mulanya bangunan Museum Bahari merupakan gudang rempah-rempah Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Setelah mendapat izin berniaga di Batavia, VOC membangun dua kompleks pergudangan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa: di sisi barat Kali Besar (Westzijdsche Pakhuizen) dan sisi timur (Oostzijdsche Pakhuizen). Bangunan Museum Bahari termasuk dalam kompleks pergudangan barat, yang dibangun secara bertahap mulai 1652 sampai 1771 (ada yang menyebut dibangun tahun 1645). Tak jauh dari gudang, berdiri sebuah menara (kini, Menara Syahbandar) yang dibangun pada 1839 masa Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens. Menara tersebut berfungsi mengawasi dan mengatur lalu-lintas pelabuhan. Peruntukan gudang tersebut berubah-ubah mengikuti pergantian penguasa. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang menggantikan VOC, menggunakan gudang itu untuk menampung komoditas seperti kopi, teh, dan kina. "Komoditas tersebut berasal dari kebun-kebun di Jawa Barat," kata Isa. Pemerintah pendudukan Jepang menggunakan gudang itu sebagai tempat perbekalan perang. "Baju-baju bagus rakyat diambil Jepang dan disimpan di sini lalu dikirim ke Burma, Malaysia," lanjut Isa. Pada masa Republik, gudang itu dimiliki Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon, yang kemudian jadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). PN Postel kemudian dipecah menjadi dua: Perusahaan Negara Pos dan Giro (kini, PT Pos Indonesia Persero) dan Perusahaan Negara Telekomunikasi (kini, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau biasa disebut Telkom). "Setelah Pos memisahkan diri, gudang ini akhirnya jadi gudang Telkom. Sementara Menara Syahbandar jadi Polsek Penjaringan," ujar Isa. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengambil-alih gudang Telkom tersebut pada 1976 dan menjadikannya Museum Bahari. Bang Ali meresmikannya pada 7 Juli 1977. Museum Bahari kemudian beberapa kali melakukan perbaikan dan pembenahan. "Museum mulai cantik itu sejak anggota dewan mulai memihak kepada museum. Kalau dulu ngajuin anggaran, susah," kata Isa.
- Batu Akik dari Zaman Purba
DEMAM batu akik melanda. Orang-orang membicarakan, mengenakan, dan saling menunjukkan batu akik mereka. Penjual sekaligus pengasah batu akik bermunculan di pinggir-pinggir jalan. Media tak henti memberitakan batu akik. Tren baru? Tidak. Batu akik sebagai perhiasan sudah digunakan manusia purba pada zaman logam sekira 3000-2000 SM. Pada tingkat perundagian ini, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Volume 1 , mereka membuat manik-manik (perhiasan kalung) dari bermacam-macam bahan dengan berbagai bentuk dan warna, antara lain batu akik (komalin), kaca dan tanahliat yang dibakar. Mingguan Djaja , 1964, mencatat bahwa batu akik dan batu-batu lain yang dianggap menarik memainkan peran penting dalam kehidupan rohaniah manusia-manusia prasejarah. “Batu setengah mulia yang diasah sebagai manik sering dijumpai sebagai bekal kubur bagi manusia nirleka itu.” Pada masa Hindu-Budha, batu akik juga menjadi salah satu benda yang dikuburkan dalam candi –berasal dari Candika, salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut. Menurut arkeolog R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 , yang dikuburkan ( cinandi ) di situ bukanlah mayat atau pun jenazah, “melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang disertai dengan saji-sajian.” Kerajaan-kerajaan Nusantara menjadikan batu akik sebagai salah satu komoditas perdagangan. Barang-barang yang diekspor kerajaan Aceh, menurut sejarawan Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 , antara lain perhiasan bebatuan seperti batu mulia, akik, batu ambar, dan hablur. Batu akik menjadi perhiasan yang lazim bagi masyarakat Nusantara setidaknya sejak 1930-an. Hal ini diketahui dari naskah berbahasa Jawa, Kawruh Makelar Barang Kina , karya P. Rubadi Wangsadimeja, yang tinggal di Ambarawa. Naskah ini menceritakan berbagai kisah tentang benda-benda yang umum diperjualbelikan sekira 1930 di daerah Kedu, Jawa Tengah. Masing-masing cerita dilengkapi dengan gambar-gambar sebagai ilustrasi. “Benda-benda seperti dhuwung atau keris, batu akik, dan kulit binatang yang dipercaya mengandung kekuatan magis, sangat digemari dan diburu oleh para peminat,” tulis T. E. Behrend dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A . "Para pedagang atau makelar sebagai orang yang menawarkan barang-barang tersebut, berupaya mendapatkannya dari masyarakat, untuk kemudian dijualnya kembali dengan harga yang sangat tinggi.” Naskah ini menunjukkan pada masa itu batu akik telah menjadi barang yang digemari masyarakat. Dalam Lembaga Budi, terbit tahun 1940, Buya Hamka, menyinggung hobinya mengoleksi tongkat, sekaligus batu akik yang lagi tren. “Berapa banyaknya tongkat yang harganya sampai Rp200, seketika musim bertongkat! Berapa banyaknya cincin akik yang berharga beribu rupiah, seketika musim bercincin,” kata Hamka.
- Hari Ini VOC Berdiri
PADA 20 Maret 1602, enam perusahaan dagang Belanda menggabungkan diri membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC atau Kongsi Dagang Hindia Timur). Penggabungan ini mengakhiri persaingan di antara perusahaan-perusahaan dagang Belanda. Juga membuat Belanda lebih siap menghadapi pesaingnya, Inggris, Portugis, dan Spanyol. VOC dipimpin suatu dewan pengelola atau majelis para pengurus yang terdiri dari 17 utusan dari enam kamar dagang yang sudah dilebur dalam VOC. Ketujuhbelas pemimpin itu dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien atau 17 tuan. Sementara itu untuk level manajerial ada 60 direktur yang terdiri dari 20 orang wakil dari Amsterdam, 12 wakil Zeeland dan tujuh wakil untuk empat kamar dagang kecil lainnya. Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan hak-hak istimewa ( octrooi ): monopoli perdagangan, memiliki mata uang, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan menyatakan perang. Oleh karena itu, VOC sering disebut “negara dalam negara.” Dari semua wilayah operasi VOC, wilayah Hindia Timur (sekarang Indonesia) yang terluas dan menjadi wilayah terpenting di Asia. Oleh karena itu, seluruh kantor VOC di Asia (dan Tanjung Harapan) tunduk pada gubernur jenderal VOC di Batavia. Menurut sejarawan Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia. Dari Batavia yang secara resmi dirayakan pembentukannya pada 30 Mei 1619, Kompeni dagang itu melebarkan sayap ke berbagai penjuru dengan berbagai intrik politik dan tarik ulur dalam menghadapi penguasa-penguasa lokal di wilayah Nusantara. Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Margana, campur tangan VOC dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara hampir semua kasus karena undangan mereka yang sedang mengalami masalah pemberontakan atau suksesi. Setiap kali campur tangan, kontrak atau perjanjian politik ditandatangani. Selama duaratus tahun VOC di Nusantara telah ditandatangani tidak kurang seribu perjanjian . “Dari fakta ini,” kata Margana, “tidak mengejutkan jika ada pendapat bahwa yang terjadi dengan penjajahan oleh Belanda di Indonesia adalah invited colonialism (kolonialisme yang diundang).” Setelah beroperasi hampir dua abad, VOC dibubarkan. Korupsi dianggap sebagai penyebabnya sehingga VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh Lantaran Korupsi). Namun, menurut Margana, akibat campur tangan dalam politik kerajaan-kerajaan di Nusantara, VOC terlibat dalam berbagai peperangan, baik di Jawa, Sulawesi maupun Maluku. Selain itu, mereka juga berperang dengan rivalnya, Inggris, Portugis, dan Spanyol. Peperangan ini telah menguras kas perusahaan. “Biaya perang dan ekspedisi militer ke berbagai wilayah ini sangat besar, bahkan lebih besar dari pemasukan VOC sebagai organisasi dagang,” kata Margana. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan. Seluruh utang dan aset-asetnya diambilalih oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan menjadikannya sebagai wilayah koloni yang disebut Hindia Belanda. Sejak itu, tahun 1800, didirikanlah pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang bertahan sampai tahun 1942.
- Membunuh Planet Pluto
MALAM, 18 Februari 1930. Langit di atas Observatorium Lowell, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat, cukup cerah untuk melakukan pengamatan astronomi. Di dalam observatorium Clyde William Tombaugh, seorang pemuda dari Kansas berusia 23 tahun yang direkrut Observatorium Lowell karena karya-karya gambar astronominya, sedang mengamati langit. Dia mencari apa yang oleh para astronom saat itu sebut dengan Planet X, sebuah planet lain di belakang Neptunus. Pencarian Planet X sudah dimulai Percival Lowell, pendiri Observatorium Lowell, sejak 1905. Namun pencariannya tidak membuahkan hasil, sampai kematiannya pada 1916. Berbekal hasil penelitian Lowell inilah Tombaugh melakukan penelitian intensif untuk menemukan Planet X. Dan malam itu dia berhasil. Dia menemukan sebuah benda langit menyerupai planet. Penemuan Tombaugh kemudian dipublikasikan. “Observatorium Lowell mempublikasikan penemuan Tombaugh kepada dunia pada 13 Maret, tanggal yang secara hati-hati dipilih karena bertepatan dengan 75 tahun kelahiran Percival Lowell dan perayaan 149 tahun penemuan Uranus,” tulis David Andrew Weintraub dalam Is Pluto a Planet? A Historical Journey Through the Solar System. Saat itu planet yang baru ditemukan belum bernama. Ribuan saran masuk ke Observatorium Lowell, yang kemudian mengerucutkan tiga nama yang dianggap terbaik: Minerva, Cronus, dan Pluto. Setelah diadakan pemilihan suara, Observatorium Lowell akhirnya memutuskan untuk menamakan Planet X ini Pluto. Sejak itu, Pluto menjadi planet kesembilan yang diketahui manusia. Nama Pluto bukan dicetuskan astronom atau ilmuwan, tapi gadis berumur sebelas tahun dari Oxford, Inggris, bernama Venetia Burney. Dia terinspirasi berkat hobinya mempelajari mitologi klasik. Dalam mitologi Romawi, Pluto adalah nama dewa yang menguasai dunia kematian, seperti Hades dalam mitologi Yunani. “Dalam opini Burney, dunia kekuasaan Pluto yang ‘suram dan misterius’ cocok dengan keadaan Planet X itu,” tulis Laurence A. Marschall dan Stephen P. Maran dalam Pluto Confidential: An Insider Account of the Ongoing Battles over the Status Pluto . Kesan angker nama Pluto menguap begitu saja di mata masyarakat. Mayoritas justru menyukainya. Buku-buku pelajaran dan ensiklopedia ilmu pengetahuan diperbarui untuk mencantumkan Pluto sebagai planet terbaru. Pluto juga mendapat tempat tersendiri di hati anak-anak, terutama karena ia dianggap sebagai planet paling bungsu dan ukurannya kecil. Walt Disney membuatnya kian populer setelah memberi nama salah satu tokoh kartunnya Pluto, anjing peliharaan Mickey Mouse. “Menurut Studio Walt Disney tidak ada dokumen resmi yang menyatakan bahwa tokoh anjing ini dinamakan sama dengan planet, tapi tak dapat diragukan bahwa film-film Disney dan komik-komiknya membantu membuat Pluto menjadi planet favorit anak-anak,” tulis Govert Schilling dalam The Hunt for Planet X: New Worlds and the Fate of Pluto. Namun euforia penemuan Pluto juga diikuti dengan sikap skeptis beberapa astronom, yang menyangsikan Pluto temuan Tombaugh adalah Planet X yang dimaksud Lowell. Status Pluto sebagai sebuah planet pun makin dipertanyakan pada medio 2000-an. Pada 24 Agustus 2006, Himpunan Astronomi Internasional mengeluarkan definisi terbaru tentang planet. Sebuah benda langit dapat dikatakan sebagai sebuah planet apabila memenuhi tiga syarat: mengorbit matahari, berukuran besar sehingga mampu mempertahankan bentuk bulat, dan memiliki jalur orbit yang bersih atau tak ada benda langit lain di orbit tersebut. Pluto gagal memenuhi syarat ketiga; orbit Pluto kadang memotong orbit Neptunus. Pluto akhirnya dikategorikan hanya sebagai “planet katai” atau planet kerdil. Statusnya sebagai planet kesembilan dicabut. Buku-buku pelajaran di seluruh dunia pun mesti direvisi. Namun muncul protes dari masyarakat, terutama di Amerika Serikat. Pluto adalah satu-satunya planet yang ditemukan di Amerika, dan pencabutan statusnya dianggap melukai harga diri mereka. Bahkan, “seorang asisten profesor bidang fisika dan ilmu tata surya di disoraki 300 mahasiswanya ketika dia mengabarkan hal ini, ‘Aku memberitahu kelasku bahwa Pluto bukanlah sebuah planet lagi’,” tulis Marschall dan Maran. Neil deGrasse Tyson, salah satu astronom kenamaan yang berperan besar dalam mengubah status Pluto, pun mendapat surat kaleng dari seorang anak sekolah karena dianggap “membunuh Pluto.” Sampai saat ini, para astronom masih belum tahu banyak tentang permukaan Pluto, kecuali suhunya yang sangat dingin karena terletak amat jauh dari matahari. Pada 2015, wahana New Horizons yang diluncurkan pada 2006 akan tiba di dekat Pluto untuk mengambil gambar. Sampai saat itu tiba, Pluto tetap menjadi misteri sains. Namun, bagi mayoritas masyarakat yang terlanjur menyukai, Pluto telah menjadi ikon kultural, apapun statusnya.
- Tafsiran dan Ejekan Lambang Partai
PEMILIHAN umum pertama tahun 1955 dianggap paling demokratis. Meski demikian persaingan untuk meraih pemilih sangat keras. Selain mengajak orang untuk memilih partainya dengan berbagai alasan, para juru kampanye, terutama dari partai-partai besar, tak segan menyerang partai lain dengan cara mengejek dan menjelek-jelekkan lambang partai. Partai-partai dikenal melalui simbol mereka yang terpampang di poster, papan iklan, dan baliho: Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan palu dan arit, Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan banteng di dalam segitiga, Masyumi dengan bulan sabit dan bintang, dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan bola bumi yang dikelilingi tali dan sembilan bintang. Menurut sejarawan MC. Ricklefs, berbagai poster, papan, dan baliho suatu partai tidak jarang diturunkan lawan-lawannya. “Hal tersebut juga menginspirasi klaim, klaim-balik, serta lelucon-lelucon politik yang mudah dimengerti oleh mereka yang buta huruf sekalipun,” tulis Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa. Partai-partai, menurut Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia , membuat tafsiran-tafsiran atas lambang partai mengingat betapa pentingnya tanda gambar sebagai alat untuk menciptakan ikatan yang efektif dengan partai. Juru kampanye PNI berbicara tentang ciri-ciri banteng yang telah lama menjadi lambang kaum nasionalis. Rakyat Indonesia, kata mereka, seperti banteng, sabar dan tidak cepat marah, tetapi sekali marah akan mengamuk tanpa ampun. Juru kampanye NU punya banyak tafsiran tentang lambang gambar mereka. Menurut mereka, tali melambangkan Islam; sembilan bintang adalah walisongo, sembilan wali yang menjadi tokoh kunci penyebaran Islam; dan bumi atau dunia sebagai tempat manusia tinggal bentuknya bulat karenanya harus diikat agar tidak bergoncang, sehingga mereka seharusnya memilih gambar bumi dengan tali yang terikat di seputarnya. “Atau, bahwa simbol NU bukanlah ciptaan manusia, melainkan diterima sebagai semacam wahyu ilahi,” tulis Ricklefs. Semboyan PKI yang paling sederhana: “PNI partai priayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat.” Juru kampanye PKI mendorong para pemilih miskin untuk mencoblos palu dan arit karena “mereka berharap untuk mencoblos (yaitu membajak) tanah pertanian,” tulis Ricklefs. PKI menekankan pegangan para petani seharusnya “palu dan arit” dan bukan “lintang rembulan” (bintang bulan, Masyumi) atau gambar “jagat lintang sanga” (bumi dengan sembilan bintang, NU), karena petani bekerja dengan arit. Sedangkan Masyumi mengajak mencoblos lambang bulan sabit dan bintang, sebab dua benda itulah yang memberi terang semua umat Islam. Di pihak lain, menurut Feith, adalah biasa bagi sebuah partai menyerang partai lain dengan memburuk-burukkan tanda gambar partai lawannya. Di daerah-daerah tertentu di Jawa, Masyumi diserang atas dasar takhayul bahwa bulan dan bintang lambang kejahatan. Sebaliknya, Masyumi menyerang PKI sebagai partai kafir, siapa yang ikut bisa menjadi kafir. Masyumi juga mengejek kiai yang bergandengan tangan dengan PKI. “ Kiai sing nganten iku yen dicukur sirahe, terus diwenehi jeruk pecel, mesti medal gambare palu arit (Kiai semacam itu apabila dicukur kepalanya, kemudian diberi jeruk pecel, pasti akan keluar gambar di kepalanya palu arit),” tulis Achmad Zainal Huda dalam Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa. Masyumi tidak hanya menyerang musuh bebuyutannya, PKI, tetapi juga menyerang partai Islam lain, NU dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). “Masing-masing dengan lambang yang mengandung huruf Arab, menjadi bulan-bulanan serangan juru kampanye Masyumi yang mengatakan huruf Arab itu suci dan menusuknya berarti menodainya,” tulis Feith. NU mengutip sebuah mitos dari buku kuno bahwa nanti akan ada ratu kembar berebut untuk menjadi ratu. Tak ada yang mampu menjadi ratu kecuali ratu yang tidak ada bayang-bayangnya. Siapa? Kerbau, sapi (maksudnya PNI), ada bayangnya. Linggis, pisau, bendo, palu dan arit (PKI), semua memiliki bayangan. Bintang (Masyumi), matahari, rembulan semua ada bayangannya. “Yang tidak memiliki bayangan hanya satu, yaitu jagad (bumi, lambang NU, red ),” tulis Zainal Huda. PNI yang dengan tegas menyatakan diri sebagai Partai Sukarno, menyerang PKI sekaligus partai-partai Islam: “Saudara jangan mau dibawa ke Arab, dan jangan mau diajak ke Rusia. PNI adalah partai Bung Karno. Belum ada partai-partai lain yang berjuang, PNI telah memperjuangkan kemerdekaan.” Menghubungkan Islam dengan sesuatu dari Arab juga jadi bahan kampanye PKI. Ketika kampanye di Lapangan Banteng Jakarta, menurut Alwi Shihab dalam Betawi: Queen of The East, seorang pembicara PKI mengatakan, “Saudara-saudara jangan memilih partai Islam karena nantinya Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Onta.” “Tentu saja ini merupakan joke politik guna menggembosi partai lain,” tulis Alwi Shahab.
- Palu Arit Selalu Bikin Sengit
Tugu di pinggir jalan tol Madiun diributkan. Ada yang menganggapnya palu dan arit, lambang Partai Komunis Indonesia (PKI). Roy Suryo, politisi dan mantan Menpora, mencuit di akun twitter -nya, @KRMTRoySuryo2 pada Minggu (9/2): "Tweeps, patung yg terletak di pinggir Jalan Tol Madiun ini lagi kontroversi, banyak pihak yg menginginkan Patung ini dibongkar karena mengingatkan Trauma masa lalu di daerah tersebut sekitar tahun 1948 silam. Bagaimana pendapat anda? Benarkah Patung ini mirip2 simbol2 tertentu?" Kicauan Roy Suryo ditanggapi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, yang menulis di akun twitter -nya, "Kesan 'Palu Arit' tak bisa dinafikan. Apakah ada kesengajaan." PT Jasamarga (Persero) membantah tugu itu logo palu arit. Itu adalah logo perusahaan pengelola jalan tol Ngawi-Kertosono, yaitu PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK), anak perusahaan PT Jasamarga. Palu arit sebagai lambang komunisme muncul ketika Revolusi Rusia pada 1917. Palu melambangkan pekerja industri dan arit mewakili para petani. Paham Marxisme-Komunisme dibawa Henk Sneevliet ke Hindia Belanda pada 1913. Dia mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) yang kemudian berubah menjadi PKI pada 23 Mei 1920. PKI melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada 1926, namun gagal. Karena itu, pemerintah kolonial melarang PKI terhitung 3 Mei 1926. Tugu di simpang susun gerbang tol Madiun yang dianggap palu arit, lambang PKI. Padahal, itu adalah logo PT JNK (PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri), pengelola jalan tol Ngawi-Kertosono. (Dok. Jasa Marga) Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia , PKI secara efektif menjadi gerakan bawah tanah, keanggotaannya terlarang bagi pegawai negeri, dan mereka tidak dapat menggelar pertemuan dan tidak dapat menyatakan diri secara terbuka. “Bahkan sarung dengan motif palu arit dilarang oleh hukum yang baru,” tulis McVey. Seorang anggota partai telah membuat desain batik palu arit pada pertemuan PKI Desember 1920 di markas Sarekat Islam Semarang. Menariknya, lanjut McVey, pakaian batik dengan motif palu arit atau bintang dan bulan sabit (emblem Sarekat Rakyat, perubahan dari Sarekat Islam Merah), yang dibuat industri batik di Surakarta, disukai kalangan pendukung Mua′alimin (kelompok komunis dari kalangan Islam). Sarung serupa juga menarik minat orang-orang di pesisir barat Sumatra. Padahal, “Terlarang untuk menjual ataupun memakai sarung dan batik ini,” tulis McVey. PKI baru muncul dan menjadi partai resmi setelah Indonesia merdeka dengan keluarnya Maklumat X oleh Muhammad Hatta pada Oktober 1945 tentang pendirian partai-partai politik. PKI keluar sebagai salah satu partai besar setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama, berdasarkan hasil pemilu pertama 1955. Hingga akhirnya PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang pasca Peristiwa 30 September 1965 hingga sekarang. Pasal 2 Tap MPRS No. XXV/1966 menyebutkan bahwa “setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.” Namun, ketetapan tersebut mengizinkan “kegiatan mempelajari secara ilmiah komunisme/marxisme-leninisme seperti pada universitas-universitas...” Ternyata, aparat pernah mengizinkan penggunaan lambang palu arit untuk keperluan film Soe HokGie (2005). Badan sensor, yang memeriksa film tersebut selama 3-4 hari, juga meloloskan adegan yang menampilkan PKI dengan lambangnya, bendera palu arit. Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal , pembuat film tentang Soe Hok Gie harus meminta izin polisi untuk menggunakan bendera palu arit sebagai perlengkapan dan menyerahkan bendera-bendera itu kepada polisi untuk segera dibakar sesudah pembuatan film selesai. *Tulisan ini diperbarui pada 11 Februari 2020.
- Pertanda dari Gunung
PADA 21 dan 22 Mei 1901, Gunung Kelud meletus. Tak lama kemudian, 6 Juni 1901, Sukarno lahir. Bencana ini dianggap banyak orang yang percaya tahayul sebagai “penyambutan terhadap bayi Sukarno” yang kelak akan menjadi orang besar: tokoh pergerakan, proklamator, dan presiden pertama Republik Indonesia. Mengapa masyarakat Indonesia –khususnya Jawa dan Bali– menganggap gunung (meletus) sebagai pertanda? Dalam Wastu Citra , YB Mangunwijaya mencatat bahwa gunung dalam banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai Tanah Tinggi, tempat yang paling dekat dengan Dunia Atas. Para dewata selalu dibayangkan hidup dalam wilayah puncak-puncak gunung: Olympia (Yunani), Haraberezaiti (Iran), Gerizim (Palestina), dan Meru (India, Jawa, Bali); bahkan sampai membuat gunung buatan seperti bangunan zigurat (Mesopotamia), pagoda (Birma, Thailand), atau stupa (India, Jawa). Di Jawa, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 3 , pemujaan asli yang lebih kuno ditujukan kepada gunung-gunung dan dikaitkan pada diri sang raja. “Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, lalu gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung,” tulis Lombard. Kendati pemujaan terhadap gunung sudah ada sejak masa awal sejarah Jawa, namun baru pada abad ke-11, dalam kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa, ditemukan adanya pemujaan gunung di Jawa. Arjunawiwaha menyebut Raja Airlangga memanjatkan pujian kepada Gunung Indraparwata. Bukti-bukti lebih banyak lagi terdapat pada abad ke-14. Dalam Nagarakertagama , Prapanca memohon perlindungan Parwanatha (penguasa gunung), yang tiada lain adalah Raja Majapahit yang sedang berkuasa, Hayam Wuruk. Mpu Tantular berbuat serupa dalam karyanya Sutasoma dengan mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girinatha (raja gunung), yang mengacu pada dewa tertinggi Siwa sekaligus gunung kosmis. Nama Girindra , tulis Lombard, masuk dalam gelar beberapa raja Majapahit. Pada abad 10, yang berfungsi sebagai gunung suci adalah Gunung Penanggungan, terletak di Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur. Sekalipun relatif rendah (1.659 meter), gunung ini terdiri dari sebuah kerucut pusat disertai empat kerucut kecil tambahan, sehingga merupakan perwujudan sistem mata angin kosmis. Dari masa ke masa, di lereng-lerengnya dibangun candi dan pertapaan yang menurut para arkeolog berjumlah tidak kurang 81 situs. Selain sebagai tempat pertapaan, kaki gunung biasanya menjadi ibukota kerajaan dan tempat pemakaman para raja. Ketika Islam masuk ke Nusantara, kosmologi gunung sebagai kosmis dipertahankan. “Tema gunung kosmis sebagian diambil-alih karena para wali (penyebar agama Islam, red ) juga berusaha menetap (dan dikuburkan) di ketinggian: di Gunung Giri, Gunung Jati (di dekat Cirebon), Bayat (dekat Klaten),” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 2. Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, dan Sunan Bayat lebih dikenal ketimbang nama aslinya Syarif Hidayatullah, Raden Paku, dan Ki Ageng Pandanaran. Dalam arsitektur, menurut Mangunwijaya, citra gunung dapat dilihat pada bangunan-bangunan pintu gapura di Bali dan masjid-masjid, bahkan wantilan-wantilan (balai sabung ayam) di Bali. Lombard mencontohkan, struktur bagian atas salah satu pintu gerbang menuju halaman Masjid Sendang Duwur di Tuban, Jawa Timur, yang dibangun pada abad ke-16, menyerupai gunung kosmis dengan kedua sayap di sampingnya yang terbuat dari bata. “Struktur ini dipinjam dari simbolik Hindu Jawa,” tulis Lombard. Mengingat kosmologi gunung sebagai poros dunia dan terkait “orang besar yang berkuasa,” tidak mengherankan bila masyarakat Jawa menganggap aktivitas gunung sebagai pertanda. Sukarno lahir tidak lama setelah Gunung Kelud meletus, dan –bisa saja kebetulan– “Raja Jawa” ini jatuh dari kekuasaannya setelah menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), juga ditandai dengan meletusnya Gunung Kelud pada 26 April 1966. Lantas, pertanda apa dari letusan Gunung Kelud kali ini? Paling tidak, sebentar lagi kita akan pemilihan umum untuk memilih penguasa yang baru.
- Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati
DI pusat kawasan “kota taman” Menteng terdapat sebuah taman yang dikelilingi pepohonan rindang dan dihiasi bebungaan. Sekarang dikenal sebagai Taman Suropati, taman yang menyimpan banyak cerita sejak masa Hindia Belanda. Berdasarkan rancangan pembangunan wilayah tanah partikelir Gondangdia dan Menteng yang dibuat arsitek P.A.J. Moojen pada 1912, pusat kota taman Menteng adalah lapangan bundar yang luas. Lapangan ini menjadi titik temu jalan-jalan utama. Namun, lantaran lapangan bundar yang luas itu tak mendukung kelancaran lalu lintas, rencana Moojen diubah. Pada 1918, pemerintah Gementee (Kota) Batavia lantas menugaskan arsitek F.J. Kubatz dan F.J.L. Ghijsels untuk menyempurnakannya. Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia menuliskan, “Menteng sekarang menunjukkan pola yang diciptakan Kubatz atas dasar rencana Moojen.” Taman Suropati kini pun merupakan hasil penyempurnaan dari rencana Moojen. Dari rencana lapangan luas kemudian direalisasikan menjadi sebuah taman di pusat kawasan Menteng. Lahan tersebut mulai ditanami pohon dan bunga pada 1920. Pada masa Hindia Belanda taman di pusat Menteng ini dikenal dengan nama Burgemeester Bisschopsplein sebagai penghormatan bagi burgemeester (walikota) Batavia pertama, G.J. Bisshop (menjabat 1916-1920). Burgemeester Bisschopsplein terletak di depan Logegebouw , kini gedung Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Setelah Indonesia merdeka, Burgemeester Bisschopsplein berganti nama menjadi Taman Suropati. Warga memanfaatkannya untuk olahraga, jalan santai, sekadar mencari kesejukan, bermain, atau duduk-duduk menikmati keindahan taman. Selain itu, bahkan hingga kini, Taman Suropati kerap dijadikan tempat dadakan perkumpulan dan rapat terbuka. Di masa Orde Lama misalnya, sebagai respons atas kondisi politik kala itu, Nahdlatul Ulama Jakarta Raya bersama organisasi masyarakat lainnya mengadakan rapat umum di Taman Suropati. Seperti diberitakan Kompas , 21 Oktober 1965, mereka menghimpun kekuatan untuk mendukung langkah pemerintah dalam Konferensi Internasional Anti Pangkalan Asing (KIAPMA), mengganyang imperialis Inggris dan Amerika Serikat, serta menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak hanya aksi politik, Taman Suropati adalah saksi dan rumah bagi para seniman beserta karyanya. Banyak seniman menjajakan lukisan karyanya di Taman Suropati. Taman ini juga dihuni enam patung atau monument karya seniman dari negara-negara pendiri ASEAN sebagai simbol persahabatan. Karya tersebut ditempatkan secara resmi pada 20 Desember 1984. “Keberadaannya menggeser patung-patung lama yang berupa binatang, seperti gajah, jerapah, dan sebagainya,” tulis Kompas , 21 Desember 1984. Memasuki dekade 1990-an, seperti berita Kompas 19 Agustus 1994, taman tak semasyhur dulu. Ruang terbuka hijau tak lagi jadi pilihan utama untuk melarikan diri dari kebisingan kota. Hal ini dipicu perkembangan pusat perbelanjaan dan hiburan modern, serta taman yang kurang terawat. Namun kini, dengan perbaikan kondisi taman, Taman Suropati kembali jadi pilihan untuk tempat berkumpul berbagai komunitas setiap akhir pekan.
- Berpesta di Braga
KALA akhir pekan datang, para pengusaha perkebunan di Priangan “turun gunung”. Sejak 1870-an mereka mengadakan pertemuan Perkumpulan Pertanian Bandung ( Bandoengsche Landbouwvereniging ) di sebuah bangunan kecil di Jalan Pos atau Grotepostweg . Selain pertemuan formal, mereka kerap mengadakan acara hiburan. Pada 1879, perkumpulan yang semula beranggota 18 orang itu resmi berdiri dengan nama Societeit Concordia . Pada 1895, untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan hiburan, Societeit Concordia pindah ke bangunan megah di Jalan Pedati (kemudian lebih dikenal sebagai Jalan Braga atau Bragaweg ). Sebelumnya bangunan itu digunakan Perkumpulan Sandiwara Braga ( Toneelvereeniging Braga ). “Di sinilah Societeit Concordia sebagai perkumpulan kaum elite mencapai puncak popularitasnya,” tulis Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dalam Braga Jantung Paris van Java. Societeit Concordia adalah satu dari sekian banyak societeit yang muncul di kota-kota besar di Hindia Belanda pada abad ke-19. Kemunculannya mempertegas jurang pemisah antara kalangan Eropa dan bumiputera. “Orang Eropa mengemban gaya hidup eksklusif,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1 . Keseharian mereka sarat dengan kenangan Barat. Mereka menciptakan perkumpulan dengan hiburannya yang hanya bisa dinikmati kalangan elite dan terlalu mahal untuk diikuti kaum bumiputera. Biasanya, Societeit Concordia menghelat pertunjukan musik, sandiwara, dan dansa setiap Sabtu. Pertunjukan digelar hingga sore. Jelang malam, mereka menikmati minuman keras dan berakhir dengan pesta dansa. Di hari Minggu, Societeit Concordia ramai oleh remaja bermain sepatu roda. Ada kalanya diadakan pertunjukan panggung di halaman gedung. Kadangkala orkes amatir pegawai perkebunan tampil menghibur. Tak hanya hiburan rutin setiap akhir pekan, Societeit Concordia pun menggelar acara khusus pertunjukan musik dan tari setiap tiga bulan sekali bertajuk Bragabal . Pada malam pergantian tahun, Societeit Concordia mengadakan perayaan. Societeit Concordia yang selalu ramai oleh hiburan rutin dan acara khusus membuatnya disebut sebagai societeit tebaik di Hindia Belanda. Kegiatan Societeit Concordia terus berkembang. Karenanya, pada 1921 dilakukan perbaikan dan penambahan gedung. Di bawah arsitek Wolff Schoemaker, Schouwburg Concordia , yakni gedung khusus pertunjukan, didirikan berdampingan dengan gedung utama Societeit Concordia . Menurut A. Sobana Hardjasaputra dalam disertasinya “Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906,” Societeit Concordia mencirikan bertambahnya kehidupan modern di Kota Bandung pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sejalan dengan bertambahnya penduduk Eropa beserta aktivitas-aktivitasnya. Societeit Concordia mendorong tumbuhnya pertokoan di Jalan Braga yang khusus menjual kebutuhan berpesta. Perkumpulan ini pun berperan dalam mengembangkan sarana dan jalur transportasi menuju Jalan Braga. Hingga akhirnya, Jalan Braga dikenal sebagai jantung kota Bandung. Gedung Schouwburg Concordia semasa Sukarno kemudian berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Sedangkan gedung Societeit Concordia sekarang dikenal sebagai Museum Asia Afrika. Gemerlap Hindia Belanda di Jalan Braga menjelma menjadi kenangan bersejarah bangsa Asia-Afrika yang mengadakan konferensi menuntut kemerdekaan bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika pada April 1955.
- Atas Nama Berdikari
PEMILIHAN umum presiden kian dekat. Tiap calon mengusung misi dan visi masing-masing. Walau terkadang berlawanan, dalam bidang ekonomi keduanya bersepakat bahwa perekonomian Indonesia harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Prabowo menyebutnya “ekonomi kerakyatan” sedang Jokowi “ekonomi berdikari”. Jargon-jargon seperti itu bukan barang baru. Di masa pemerintahan Sukarno, gagasan kemandirian ekonomi sudah diserukan, “bahkan dijadikan sebuah orientasi politik pembangunan,” ujar Amiruddin Al-Rahab, penulis buku Ekonomi Berdikari Sukarno , dalam diskusi di Freedom Institute, Menteng, 26 Juni 2014. Turut hadir pula Peter Kasenda sebagai pembicara dan Wilson sebagai moderator. Menurut Amiruddin, Sukarno ingin mengubah perekonomian Indonesia yang masih berjiwa kolonial dan didominasi asing menuju perekonomian berdikari yang lebih menguntungkan Indonesia. Caranya melalui pelaksanaan sebuah kebijakan ekonomi baru: Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Program transformasi ekonomi itu pada akhirnya berbenturan dengan sentimen modal asing. Penyelesaiannya? Sukarno berkompromi; modal asing boleh masuk namun dengan batasan yang jelas. “Pada tahun 1963, Sukarno menyerukan kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi). Di dalamnya, Sukarno sedikit berkompromi terhadap asing dan pihak swasta. Modal asing boleh masuk, tapi sharing . 60% untuk Indonesia, dan 40% untuk asing, ditambah setelah 20 tahun akan menjadi milik Indonesia sepenuhnya,” tutur Amiruddin. Peluncuran dan Diskusi buku Ekonomi berdikari sukarno Kompromi ala Sukarno itu tidak disukai negara-negara poros Barat. Maka, Sukarno berpaling ke Tiongkok dan Uni Soviet. Dia mengandalkan modal dari poros Timur untuk menopang kebijakan ekonomi berdikarinya. Pada kenyataannya, upaya merealisasikan kebijakan itu teramat sulit. Salah satu alasannya, badan-badan politik saat itu belum sepenuhnya dikuasai Sukarno, defisit anggaran akibat operasi Trikora dan Dwikora, serta praktik korupsi dalam negeri. “Selain faktor dalam negeri, Sukarno menghadapi pembusukan dari dalam yang bekerja sama dengan luar negeri,” tutur Peter Kasenda. “Sebenarnya Indonesia saat itu berusaha mengimpor beras dari Burma dan Thailand, namun banyak perusahaan asing mencekalnya sedemikian rupa.” Tak lama, perekonomian negara ambruk, disusul runtuhnya kuasa politik Sukarno. Di masa Orde Baru, gagasan ekonomi berdikari pun menghilang. Suharto juga menganggap pentingnya kontribusi modal asing dalam perekonomian nasional. Namun, kebijakan investasi modal asingnya yang kelewatan justru membuat negara nyaris bangkrut di akhir masa Orde Baru. Sekarang tinggal kita tunggu, ekonomi berdikari seperti apa yang akan diterapkan presiden terpilih. Atau hanya janji semata.
- Tentang Arsip dan Laporan untuk Tuan
SALAH satu tujuan utama kedatangan saya ke Den Haag adalah mencari arsip-arsip yang berkaitan dengan Boedi Oetomo. Organisasi yang digagas oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo dan didirikan oleh dr. Soetomo itu berdiri pada 20 Mei 1908. Hari berdirinya Boedi Oetomo lantas diberlakukan sebagai hari kebangkitan nasional, karena dianggap sebagai awal tersemainya benih-benih nasionalisme Indonesia sekaligus dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia. Banyak terjadi perdebatan ihwal penetapan tersebut. Ide awal berdirinya organisasi ini lebih kepada untuk membantu pendanaan mahasiswa kedokteran yang sekolah di Stovia. Namun pada kenyataannya organisasi ini bergerak lebih jauh. Sebagian anggotanya, yang datang dari generasi muda, mulai mendiskusikan ke arah mana nasib bangsa Hindia. Ada perdebatan di dalam, tentang akan kemana nasionalisme akan dituju: Nasionalisme Hindia atau Jawa. Hanya selang setahun setelah berdirinya, organisasi ini mengalami kemunduran. Pangkal perkaranya karena organisasi ini dikuasai oleh para kaum feodal. Ketua Boedi Oetomo, Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, lebih terlihat sebagai seorang yang tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Dia bukan seseorang yang datang dengan gagasan kemerdekaan di kepalanya. Tak lama kemudian kedudukan Tirtokoesomo digantikan oleh Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Boedi Oetomo semakin terlihat sebagai perkumpulan kaum ningrat ketimbang organisasi pembebasan yang progresif. Perpecahan pun mulai terjadi di dalam. Sebagian anggota muda menyatakan keluar dari organisasi. Tjipto Mangoenkosoemo salah satu yang memprotes keras arah kebijakan organisasi yang semakin konservatif. Feodalisme memang tumbuh subur di bawah kolonialisme Belanda. Pemerintah kolonial merawat feodalisme untuk bisa kuat berkuasa mencengkeram Hindia Belanda. Persis apa kata Multatuli dalam roman Max Havelaar bahwa untuk menguasai orang Jawa, cukuplah dengan menguasai para kepalanya. Sehingga rakyat jajahan akan lebih mudah dikuasai dengan menggunakan perantara para kepalanya. Tak aneh jika zaman Belanda, hanya kaum priayi yang bisa dapat akses ke pendidikan terbaik, di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Salah satu orang yang mendapatkan sedikit dari keberuntungan itu adalah Hussein Djajadiningrat. Lulus dari HBS, Hussein melanjutkan kuliah di Universiteit Leiden. Pada 1913, dia lulus doktor dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul De Critische Bewchouwing van De Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sejarah Banten). Disertasi itu ditulis di bawah bimbingan Snouck Hurgronje, pakar Islam yang disebut-sebut banyak memainkan peran penting dalam penaklukan Aceh. Sebagai orang Indonesia pertama yang meraih doktor di Leiden, Hussein banyak mendapat banyak sanjungan dari kolega Belandanya. Untuk mengenangnya, akhir Maret lalu Universiteit Leiden membuatkan patung sosok Hussein yang disimpan di ruang pamer kampus. Sejumlah barang pribadi milik Hussein juga dipamerkan di ruangan yang terletak di lantai dasar Academiegebouw itu. Wakil Presiden Boediono secara resmi membuka selubung patung Hussein sekaligus meresmikan patung tersebut di kampus Universiteit Leiden, akhir Maret lalu. Selain meresmikan patung Hussein, Wapres Boediono juga didaulat untuk menyampaikan pidatonya di hadapan para civitas akademika Universiteit Leiden. Setelah lulus dari Leiden, Hussein bekerja di Kantor Urusan Bumiputera (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Salah satu kegiatan dia adalah membuat laporan tentang aktivitas orang-orang bumiputera. Salah satu dokumen yang saya temukan di kantor Arsip Nasional Belanda adalah laporan yang ditulis oleh Hussein mengenai jalannya sidang Boedi Oetomo di Surakarta, 24–26 Desember 1921. Laporan tersebut ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam laporan disebutkan secara mendetail tentang bagaimana jalannya pertemuan tersebut. Hussein melaporkan tentang seorang pembicara yang mengemukakan pentingnya memiliki alasan politik dalam menjalankan aksi-aksi Boedi Oetomo. Dia juga mencatat apa-apa saja yang akan dilakukan oleh Boedi Oetomo, mulai dalam bidang sosial sampai dengan urusan pendidikan. Dari laporan yang dia buat, dan bukan hanya satu laporan saja, Hussein lebih tampak sebagai seorang mata-mata ketimbang ilmuwan kesohor lulusan Leiden. Ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apakah laporan-laporan itu ditujukan untuk karya ilmiah? Apakah memang laporan tersebut sebagai bagian dari kewajiban pekerjaannya di Kantor Urusan Bumiputera? Untuk kepentingan apa dia mencatat dan melaporkan itu ke pemerintah kolonial Belanda? Karena penasaran, saya pun pergi mengunjungi kampus Universitas Leiden. Ditemani dua orang mahasiswa asal Indonesia, Jajang Nurjaman dan Ravando, kami ingin “menengok” di mana patung Hussein berada. Tapi ternyata, patung yang akhir Maret lalu diresmikan Wapres Boediono tak ada di ruang pamer. Kami mencoba untuk mencari ke seantero gedung, tapi tak jua menemukan di mana patung tersebut berada. Lantas kami berandai-andai, “jangan-jangan Hussein tak sedang menyamar jadi patung hari itu.” Ya mungkin. Atau, dia sedang membuat laporan tentang soal lainnya. Semoga patungnya bukan hilang diculik Tim Mawar.





















