top of page

Hasil pencarian

9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani

    BEBERAPA orang mengklaim dirinya sebagai titisan tokoh atau pemimpin pada awal 2020. Toto Santosa di Purworejo, Jawa Tengah, yakin dirinya adalah Raja Keraton Sejagat. Rangga Sasana di Bandung, bilang dirinya adalah Gubernur Jenderal Nusantara Teritory. Sebagian kecil orang mengikuti mereka. Mayoritas orang justru terbelalak kaget.

  • Berpacu Melawan Waktu dalam 1917

    PAGI 6 April 1917. Kopral Tom Blake (diperankan Dean-Charles Chapman) dan sahabatnya, Kopral Will Schofield (George MacKay), dari Batalyon ke-8 pasukan Inggris tetiba dibangunkan dari istirahat singkatnya oleh Jenderal Erinmore (Colin Firth). Keduanya diberi misi berbahaya: menyampaikan pesan berisi perintah langsung. Blake dan Schofield diperintahkan menerobos garis kubu Jerman guna mengantarkan pesan untuk Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch). Opsi itu diambil Erinmore lantaran jaringan telegram sudah diputus oleh Jerman. Sebelumnya Mackenzie, komandan batalyon ke-2 Resimen Devonshire, berencana mengejar sisa-sisa pasukan Jerman yang mundur. Namun laporan pengintaian udara menginformasikan, ternyata Jerman mundur secara teratur dan teroganisir membentuk kekuatan baru di Hindenburg Line. Jadi 1.600 pasukan Mackenzie, termasuk Letnan Joseph Blake, kakak Kopral Tom Blake, akan masuk ke perangkap Jerman. Demikianlah premis lima menit awal film 1917  karya sutradara Sam Mendes. Karya itu terinspirasi dari kisah kakeknya, Alfred Mendes, yang juga pernah bertugas di Perang Dunia I (PD I) sebagai kurir di pasukan Inggris. Jenderal Erinmore yang diperankan aktor watak Colin Firth (Foto: universalpictures.com ) Sebagaimana subjudul yang dicantumkan Mendes dalam 1917, “Time is the Enemy”, Mendes menggulirkan alur cerita dengan sangat cepat. Tak payah ia harus membangun emosi karakter-karakter pemerannya seperti film-film bertema perang lain semisal Saving Private Ryan (1998). Penonton akan diajak hanyut dalam petualangan Schofield dan Blake yang hanya punya waktu satu hari untuk melintasi beragam medan bermil-mil panjangnya dari markas mereka ke Hutan Croisille, tempat kubu terdepan pasukan Resimen Devonshire. Walau tak menghadirkan adegan perang secara kolosal, bisa jadi secara tak sadar semangat Anda akan ikut terpacu oleh aksi mereka dan itu jadi bagian menariknya. Hal menarik lainnya yakni beberapa scene menegangkan. Mulai dari scene keluar dari parit terdepan pertahanan Inggris hingga aksi sprint Schofield di tengah ledakan dalam pertempuran gelombang pertama Resimen Devons, demi menemui Kolonel Mackenzie. Berhasilkah ia? Saksikan sendiri lengkapnya di layar bioskop yang sudah tayang di Indonesia sejak Januari 2020. Akurasi Sejarah Beberapa kritikus film angkat jempol. Terutama karena Mendes menggarapnya dengan teknik continuous shot / one-shot alias kameramen mengambil gambar close-up maupun zoom-out dengan mengikuti si karakter utama. Memang tidak full 119 menit kameramen non-stop mengikuti pemerannya. Tapi setidaknya, 1917 hanya menerapkan sekali break dan kemudian “dijahit” dengan pengambilan gambar one-shot berikutnya, yakni scene Schofield terjatuh dari tangga dan pingsan usai mengenyahkan seorang sniper Jerman. Menjadikannya film perang pertama yang menggunakan teknik one-shot. “Saya ingin mengisahkan jalan ceritanya dalam waktu yang sebenarnya dalam dua jam. Jadi saya merasa kisahnya akan menjadi natural, di mana penonton akan hanyut dalam pengalaman yang dialami pemerannya,” cetus Mendes dalam wawancaranya dengan Alissa Wilkinson yang dimuat Vox , 10 Januari 2020. Music scoring garapan Thomas Newman kendati minimalis namun terasa pas mengiringi adegan-adegan menegangkan dalam 1917 . Hal menarik lainnya, Mendes menyelipkan dua puisi sebagai pengganti ekspresi di dua adegan berbeda. Pertama , ketika Blake dan Schofield hendak berangkat menjalankan misi. Blake bertanya, apakah hanya mereka berdua yang mengemban tugas genting itu? “ Down to Gehenna or up the Throne. He travels the fastest who travels alone, ” jawab Jenderal Erinmore. Mendes mengutip dua kalimat terakhir bait pertama puisi “The Winners” dari buku The Story of the Gadsbys karya Rudyard Kipling. Adegan Kopral Schofield melantunkan sajak "The Jumblies" untuk menenangkan bayi yang terlantar akibat perang (Foto: Universal Pictures) Puisi kedua diselipkan Mendes di saat Schofield bertemu seorang gadis dan bayi terlantar di rumah yang hancur di kota Écoust. Schofield yang teringat putrinya di kampung halaman, menyenandungkan syair: “ They went to the sea in a Sieve, they did. In a Sieve they went to the sea.In spite of all their friends could say. On a winter’s morn, on a stormy day. In a Sieve they went to sea ...,” yang merupakan potongan puisi bertajuk “The Jumblies” karya Edward Lear. Agar tak bikin “sakit mata” penonton yang paham sejarah, Mendes cukup berhati-hati pada wardrobe, properti film, dan sikap-sikap militer di era tersebut. Ia menggandeng sejarawan Andy Robertshaw dan konsultan sejarah militer Paul Biddiss. Kolase adegan menegangkan Kopral Schofield berkejaran dengan waktu mengemban misi berbahaya (Foto: Universal Pictures) Alhasil semua detail artistik dalam 1917 nyaris sempurna. Contohnya, penggunaan senapan Lee Enfield Mk. III yang memang digunakan Inggris saat itu, senapan Gewehr 98 untuk serdadu Jerman, dan pistol Webley Mk. IV yang acap jadi pegangan perwira Inggris. Mendes juga tak lupa menggambarkan latar beberapa horor dan kengerian korban-korban perang, mulai dari bangkai kuda hingga mayat-mayat yang membusuk terpendam baik di dalam tanah maupun kubangan air. Pun dengan detail lain untuk latar filmya, karena ia harus membuat kondisinya seperti asli lantaran menggunakan teknik one-shot tanpa CGI (Computer-Generated Imagery) atau ilusi buatan komputer. Seperti kondisi parit kubu Inggris yang berlumpur dan berantakan dan parit kubu Jerman yang rapi. Mendes juga menghadirkan tank asli seperti Tank Mk. II yang dipinjam dari The Tank Museum di Dorset, Inggris. Namun, namanya film pasti disarati dramatisasi sehingga membuat beberapa fakta sejarahnya kurang detail dan bahkan melenceng. Toh memang Mendes menggarapnya berdasarkan kisah kakeknya, Alfred Mendes, bukan kisah nyata. Oleh karenanya semua nama karakternya pun fiktif. Tank Mk. II yang turut dihadirkan untuk melengkapi akurasi sejarah di film "1917" (Foto: Universal Pictures) Hindenburg Line dan Pasukan Koloni Inggris Yang melenceng adalah pengambilan latar waktu. Mendes memulainya dengan keterangan waktu 6 April 1917, ketika pasukan Jerman mulai mundur dari front utara Prancis. Latar itu merujuk pada Unternehmen Alberich (Operasi Alberich) yang terjadi sudah sejak 9 Februari 1917. Mengutip Haig’s Enemy: Crown Prince Rupprecht and Germany’s War on the Western Front karya sejarawan Universitas Birmingham Jonathan Boff, Operasi Alberich digulirkan setelah perdebatan antara Jenderal Erich Ludendorff, putra mahkota Pangeran Rupprecht, dan Jenderal Fritz von Below. Hasilnya yakni perintah mundur taktis setelah pasukannya mengalami kerugian besar di Pertempuran Somme (1 Juli-18 November 1916). Pun dengan detail tentang respons pasukan Inggris saat mengetahui Jerman mengundurkan diri dari posisinya. “Ketika Jerman bermanuver mundur taktis, pihak Entente (Sekutu) tak segera menyadarinya. Saat mereka mulai insyaf, mereka maju dengan sikap hati-hati karena banyak jebakan dan perangkap di parit-parit Jerman yang ditinggalkan,” ungkap Boff. Fakta itu kontradiktif dengan sikap Kolonel Mackenzie dalam film yang ingin buru-buru mengejar pasukan Jerman yang mundur. Kolase adegan Kopral Schofield dan Blake yang menemukan parit-parit Jerman yang ditinggalkan usai mundur dari posisinya (Foto: Universal Pictures) Dalam faktanya, Jerman mundur ke Hindenburg Line (Jerman: Siegfriedstellung ) untuk mempersempit garis pertahanan mereka pasca-Pertempuran Verdun dan Pertempuran Somme. Jerman mundur dan membentuk garis pertahanan baru yang membentang dari Arras ke Laffaux sepanjang 140 kilometer. Di sinilah epilog Perang Dunia I. Hingga Jerman sudah menyiapkan diri di garis pertahanan baru itu, Inggris/Sekutu akhirnya tetap menyusul hingga meletuskan sejumlah bentrokan, mulai dari Pertempuran Arras (9 April-16 Mei 1917) hingga Pertempuran Meuse-Argonne (26 September-11 November 1918) yang sudah mulai mengikutsertakan Amerika Serikat, yang berlangsung sampai berakhirnya Perang Dunia I. Terlepas dari beberapa kekurangan itu, menariknya Mendes menghadirkan “warna” lain dalam pasukan Inggris. Satu di antaranya, karakter prajurit Jondalar (Nabhaan Rizwan), seorang tentara Sikh dari unit British India. Tentara yang khas mengenakan turban dan berkumis itu dijumpai Schofield kala diberi tumpangan Kapten Smith (Mark Strong) untuk ikut truk militer pasukannya ke kota Écoust, hingga harus terhenti gegara sebuah jembatan dihancurkan Jerman. Juga dihadirkannya serdadu Inggris berkulit hitam, Prajurit Grey (Elliot Edusah), yang tengah mengangkat tandu, sebelum adegan pertemuan Schofield dengan Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakak sahabatnya yang tewas di tengah jalan. Dua detail ini jarang ditampilkan berbagai film perang sebelumnya macam Dunkirk (2017). Unit kavaleri dari tentara British India di front barat Perang Dunia I (Foto: nam.ac.uk ) Padahal, menukil The Indian Army 1914-1947 karya Ian Sumner, pasukan “sukarela” dari India dan negara koloni Inggris lain seperti Nepal (Gurkha), Jamaika, Barbados, Tobago, Trinidad (kakek sang sutradara berasal dari Trinidad), Grenada, British Guiana, punya andil besar dalam pasukan Inggris di Perang Dunia I. Mulanya, Inggris punya jumlah personil terkecil ketimbang negara lain, yakni 250 ribu personil. Sekira 450 ribu lainnya didatangkan dari negara-negara koloni untuk menggenapi jumlah 700 ribu serdadu. Dari India jumlahnya sekira 130-140 ribu personil, terbagi masing-masing ke dua unit infantri dan kavaleri. Mereka sudah dikirim ke front sejak 1914, sebagai hasil dari rekrutmen sukarela Menhan Herbert Kitchener. Para serdadu India itu lebih dulu terlibat di Pertempuran Somme sampai Pertempuran Cambrai (20 November-7 Desember 1917) dalam rangka Inggris menembus Hindenburg Line. Mereka dipindahkan ke front Afrika Utara pada Maret 1918. Dari arsip laporan Commonwealth War Graves Commission on India 2007-2008, dari sekira 140 ribu tentara India yang terlibat di front Barat, nyaris sembilan ribu di antaranya tewas.

  • Digulis Jadi Artis

    Untuk menyingkirkan para pemberontak, Belanda menyiapkan Boven Digul. Lokasinya yang kelilingi hutan di tengah-tengah Pulau Papua dan sungai-sungai penuh buaya membuat para tahanan hampir mustahil untuk kabur. Selain itu malaria dan isolasi dari peradaban manapun diharapkan membuat para pembangkang kapok. Banyak dari orang-orang buangan tetap pada pendiriannya. Banyak pula yang menyerah atau pura-pura jinak agar dipulangkan ke kampung halaman. Mereka yang berhasil bebas dari Digul ada yang tetap melawan kolonialisme, ada pula yang pensiun karena kapok dibui. Salah satunya adalah Mustajab Budrasa, digulis yang jadi artis. Mustajab Budrasa lahir di Tegal pada 13 April 1901. Menginjak remaja, ia masuk ke Sekolah Guru Normal dan kemudian lulus pada 1918. Ia lalu menjadi guru sekolah dasar di Pekalongan hingga 1925. Surat kabar Merdeka , menyebut karena bercita-cita kuat untuk mencapai kemerdekaan, Mustajab lalu terjun dalam gerakan Sarekat Rakyat, pecahan Sarekat Islam yang mendukung Semaoen. Ia dipilih sebagai ketua di daerah Tegal. "Berhubung dengan itu ia lalu meninggalkan kalangan perguruan dan dengan adanya pemberontakan pada tahun 1926, oleh pemerintah jajahan, Sdr. Moestajab diasingkan ke Boven Digul,” tulis Merdeka , 12 Februari 1947. Pada 1931, Mustajab dibebaskan dari Digul. Setelah bebas dari Boven Digul, ia bergabung dengan sandiwara Dardanella. Bersama Dardanella, ia ikut dalam berbagai pementasan ke Malaya, Muangthai, hingga India pada 1934. Pada 1936, Mustajab membentuk sandiwara Bolero bersama rekannya Bachtiar Effendy. Ketika pecah Perang Dunia II, ia sedang berada di Singapura bersama sandiwara Bolero. Ia baru bisa kembali ke tanah air setelah perang mereda pada akhir 1945. Potret Mustajab Budrasa pada 1975. (Arsip Sinematek). Setelah kembali dari Singapura, Mustajab bergabung dengan sandiwara Dewi Mada. Tak lama, ia keluar dan bergabung dengan sandiwara Bintang Surabaya dan Irama Masa. Dalam dua kelompok sandiwara itu, ia didapuk menjadi pimpinan. Karier sandiwara Mustajab cukup pajang. Setelah berkali-kali pindah kelompok sandiwara, akhirnya ia bergabung dengan sandiwara Pantjawarna dan Bintang Timur pimpinan Djamaludin Malik. Oleh Djamaludin Malik, ia diberi kepercayaan untuk memimpin Pantjawarna. Pada 1949, Mustajab mulai masuk ke dunia film. Film pertama yang ia bintangi berjudul Terang Bulan,  rilis pada 1950. "Barangkali telah jemu dengan sandiwara, yang memang pada waktu itu kurang mendapat perhatian yang layak dari masyarakat, Pak Mustajab coba-coba main di film. Memang waktu itu, film di Indonesia telah mulai dikenal masyarakat," tulis Minggu Pagi , 25 Januari 1959. Semasa aktif di dunia film, Mustajab mendorong para pekerja film untuk turut menjadi alat propaganda revolusi Indonesia dan perebutan Irian Barat. Ia belajar dari pengalaman bahwa pada masa pendudukan Jepang, seniman-seniman dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik. "Saran yang demikian itu dikatakan oleh Pak Mustajab, karena tampak adanya tendensi bahwa pemerintah yang berwenang belum menaruh perhatian ke sana (ranah kebudayaan)," sebut Minggu Pagi . Berdasarkan arsip Sinematek, dekade 1950-an menjadi tahun paling produktif bagi Mustajab. Ia muncul dalam film Djembatan Merah (1950), Ajah Kikir 1951), Si Mintje (1952), Lagu Kenangan (1953), Kasih Sajang (1954), hingga Kasih dan Tjinta (1956). Setidaknya, 32 film telah ia bintangi pada dekade ini. Mustajab tetap aktif pada 1960-an dengan membintangi D jakarta By Pass (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), dan empat film lainnya. Sedangkan pada 1970-an ia juga mendapat peran dalam film Ratu Amplop (1974). Salah satu anak Mustajab, yakni Endang Kusdiningsih, mengikuti jejak ayahnya sebagai artis. Sebelumnya, Endang juga pemain drama dan sandiwara seperti ayahnya. Endang membintangi film Tarmina (1954) dan terpilih sebagai aktris pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia yang pertama pada 1955. Endang kemudian berperan dalam film Hadiah 10.000 (1955) dan Kasih dan Tjinta (1956). Namun, karier Endang tak sepanjang ayahnya yang masih aktif hingga 1977. Endang pensiun dari dunia perfilman selepas bermain di film Malam Tak Berembun (1961). Film Manager Hotel (1977) menjadi film terakhir Mustajab sebelum meninggal dunia pada tahun yang sama. Tepatnya pada 12 September 1977, Mustajab Budrasa meninggal dunia di rumahnya di Jakarta. Tak banyak yang mengetahui berita duka ini dari kalangan pekerja film. Hanya dua orang artis film, yakni aktor Darussalam dan istrinya, Netty Herawaty, yang hadir pada hari pemakamannya.

  • Rezim Kopi Menak Guntur

    Ketika tiba di tanah Jawa pada  5 Januari1808, Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808—1811) mengemban tugas berat dari Lodewijk Napoleon, adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte yang menjadi Raja Belanda. Itu terjadi karena pada 1806 Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Prancis. “Semasa pemerintahan Daendels, Pulau Jawa dan seluruh bekas wilayah VOC merupakan representasi kekuasaan Prancis di wilayah Asia,” ungkap Prawoto Indarto dalam The Road to Java Coffee . Selain harus memperbaiki sistem administrasi di Pulau Jawa yang kacau balau, penganut ide-ide Revolusi Prancis yang fanatik itu wajib pula mendongkrak eknomi di tanah Jawa demi pemasukan kas Kerajaan Belanda. Salah satu yang harus dibenahi oleh Daendels adalah bisnis kopi. Menurut Prawoto, sang gubernur jenderal memberi perhatian khusus terhadap pengelolaan kopi di Jawa karena barang itu merupakan komoditas dunia yang tengah meroket harganya saat itu. Di masa sebelumnya, kopi juga telah memberi begitu banyak masukan bagi kas Belanda. Lantas langkah apa yang dilakukan oleh Daendels? Hal yang paling awal dilakukan Daendels adalah membentuk Inspektur Jenderal Tanaman Kopi pada 9 Juni 1808. Institusi yang dipimpin oleh C. van Winkelman itu bertugas mengatur semua yang berhubungan dengan bisnis kopi di Jawa: mulai dari pembukaan lahan perkebunan kopi hingga penyetoran biji kopi ke seluruh gudang pemerintah di Jawa. Dalam tesisnya yang berjudul Bupati Priangan, Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19 , sejarawan U. Sobana Hardjasaputra menyebutkan bahwa setiap tahun Winkelman wajib melaporkan daftar tanaman kopi di seluruh Jawa kepada Daendels. Dia juga yang bertanggungjawab terhadap peraturan yang mewajibkan setiap keluarga di Jawa untuk menanam 500 pohon kopi. “Padahal pada waktu sebelumnya hanya diwajibkan menanam 200 pohon kopi,” tulis Hardjasaputra. Pewajiban itu diikuti dengan pengangkatan tenaga pengawas perkebunan yang diberi pangkat militer sederajat dengan kapten. Seorang Kapten Kopi diharuskan menyetor 300 pikul kopi (perpikul=126 pon) kepada pemerintah Hindia Belanda. Andaikan dia tidak bisa memenuhi target tersebut, maka penurunan pangkat menjadi Letnan Pertama akan menantinya. Begitu seterusnya hingga dia berhasil kembali memenuhi kuota 300 pikul. Masalah harga kopi juga diurusi oleh Daendels. Pada 4 April 1809, dia menetapkan harga kopi perpikul seberat 225 pon adalah 4 ringgit uang perak bagi orang biasa. Sedangkan khusus untuk kopi yang berasal dari tangan para bupati, perpikulnya (seberat 126-128 pon) dihargai dengan uang seringgit. Guna memudahkan identifikasi, pada 1808-1809 Daendels pun membagi wilayah Priangan menjadi dua: wilayah penghasil kopi dan wilayah bukan penghasil kopi. Produsen tradisional kopi seperti Cianjur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang tentu saja dimasukan dalam kelompok pertama. Sedangkan wilayah-wilayah lainnya seperti Limbangan, Sukapura dan Galuh dimasukan dalam kelompok kedua. Daendels pun berupaya mengeliminasi peran para pelaku tradisional yang utama dalam bisnis kopi. Para menak Sunda yang terdiri dari bupati dan santana dijadikan Daendels hanya sebagai bawahannya dan secara resmi merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda. “Untuk menghilangkan hak-hak istimewa penguasa tradisonal, Daendels menerapkan sistem gaji buat mereka,” ujar sejarawan Bondan Kanumoyoso. Menurut Bondan, efesiensi birokrasi itu semata-mata bukan karena soal ekonomi. Sebagai penganut garis keras ide-ide Revolusi Prancis, Daendels sangat membenci sistem feodal yang sudah mendarahdaging di kalangan para menak Sunda. Karena itu, dia berupaya memberantasnya. Pemberlakuan peraturan itu dilaksanakan secara tegas oleh Daendels. Dia tak segan memecat para bupati yang membangkang terhadap perintahnya. Itu terjadi kepada Bupati Parakanmuncang Tumenggung Aria Wira Tanureja yang menolak untuk menanam 300.000 pohon kopi di wilayahnya. Begitu galaknya Daendels, hingga masyarakat Priangan menjulukinya sebagai Menak Guntur. Itu mengacu kepada, suara sang gubernur yang jika dalam keadaan marah bisa mengeluarkan suara yang keras laiknya guntur. Namun rezim kopi di bawah Sang Menak Guntur juga mengupayakan pembangunan infrastruktur di Jawa seperti jalan raya pos ( groote postweg ). Selain untuk memudahkan surat menyurat antar pejabat Hindia Belanda dan melancarkan jalur logistik jika terjadi penyerangan Inggris ke Jawa, upaya itu juga ditujukan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi (termasuk kopi) dari pelosok ke pelabuhan-pelabuhan besar. Kendati Daendels sudah mengupayakan berbagai langkah radikal untuk memajukan bisnis kopi, namun di masa dia berkuasa bisnis kopi justru terjun bebas. Sebagai perbandingan saat awal Daendels berkuasa pada 1808, ekspor kopi dari Jawa berjumlah 7.289 ton. Jumlah itu menurun tajam ketika akhir kekuasaannya: hanya 1.224 ton. Bisa jadi penurunan produksi kopi Jawa asal Priangan terjadi karena soal politik. Hubungan buruk antara para menak Sunda dengan Daendels menjadikan dukungan pengembangan bisnis kopi tersendat. “Citra Daendels memang buruk di kalangan para penguasa tradisional karena kebijakan-kebijakannya dinilai tidak populis,” ungkap Bondan Kanumoyoso. Kesalahan itu kemudian diperbaiki pada era Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830—1833). Malah di masa sang pencipta Cultuur stelsel  (sistem kultivasi) itu, keluar surat edaran dari pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada para bupati, lengkap dengan sanksi yang mengikutinya jika tidak dijalankan. Kebijakan itu terbukti efektif. Sejak 1834, kopi Jawa secara perlahan mulai menuju kejayaannya kembali. Sembilan tahun kemudian, seiring dengan melonjaknya permintaan dunia, kopi Jawa berhasil memasok 56.940 ton ke pasaran dunia. Itu setara dengan 27 persen jumlah kopi yang dibutuhkan dunia saat itu.

  • Mereka yang Diincar APRA

    Sersan Mayor Soedarja masih ingat rumor yang beredar pada awal Januari 1950. Tersebutlah orang-orang Belanda yang tak puas dengan kesepakatan Konfrensi Meja Bundar (KMB). Mereka bermaksud membentuk gerakan tersendiri guna memanjangkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. “Kelompok itu bernama APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh eks komandan Korps Pasukan Khusus (KST), Kapten R.P.P. Westerling,”ujar eks anggota intelijen Divisi Siliwangi itu. APRA akan memulai gerakan dari Bandung. Selain sebagian anggota Baret Hijau dan Baret Merah yang tergabung dalam KST, kelompok ini juga diperkuat oleh mantan prajurit-prajurit KNIL dan anggota polisi federal yang dipimpin oleh Van der Meulen. Mereka kemudian akan merangsek ke Jakarta dan merencanakan menguasai gedung parlemen RIS. Namun sebelum rencana itu diwujudkan, Westerling telah membuat rencana penyingkiran sejumlah tokoh militer dan sipil di Bandung. Menurut Soedarja, APRA berkepentingan menghilangkan orang-orang itu  karena dianggap akan menghalangi gerakan mereka di Bandung. Soal rencana APRA itu, dibenarkan oleh Kolonel (Purn) Mohamad Rivai. Dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia menyebut sejatinya Westerling mengicar 7 tokoh Jawa Barat. Mereka adalah Kolonel Sadikin (Panglima Divisi Siliwangi), Mayor Mohamad Rivai (Kepala Penerangan Militer Gubernur Militer IV Jawa Barat), Letnan Kolonel Soetoko (Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel dr.Errie Sudewo (Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata, Mayor CPM Roehan Roesli dan Sudjono (anggota Parlemen Negara Pasunda yang pro RI). Aksi itu rencananya akan diwujudkan pada 5 Januari 1950. Caranya dengan memberikan racun kepada mereka. Demikian menurut pengakuan Abdul Karim bin Djamin, seorang eks anggota Laskar Rakyat Djawa Barat (LRDR) yang kemudian bergabung dengan gerakan bawah tanah-nya Kapten Westerling. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisaris Polisi Kelas II M. Saud Wirtasendjaja (sebagai Kepala Bagian Pidana di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat) pada 8 Maret 1950 terbuhullah pengakuan dari Abdul Karim. Dia menyebutkan bahwa pada 5 Januari 1950, dirinya dan seorang overste (letnan kolonel) berkebangsaan Belanda bernama Cassa mendatangi salah seorang tangan kanan Westerling di Bandung, Sersan Mayor KNIL Herman Louis. “Di sana Cassa menyerahkan masing-masing 1 botol racun kepada saya dan Lois untuk membunuh ketujuh orang itu,” ungkap Abdul Karim seperti dikutip Mohamad Rivai dalam bukunya. Adapun cara menggunakan racun tersebut adalah dengan mencampurkan cairan maut itu dengan minuman yang pahit atau makanan yang panas. Namun rencanan jahanam itu tak bisa terwujud karena ketujuh orang itu keburu mengetahuinya. Itu disebabkan oleh kegagalan Cassa saat akan meracun Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Hotel Savoy Homan. Selanjutnya APRA merubah cara pembunuhan dengan rencana penembakan langsung. Pada malam 22 Januari 1950, Westerling sudah mengatur pembunuhan terhadap Mayor Rivai dalam suatu rapat antara TNI, KNIL dan Batalyon Pengawal Pasundan (VB). “Rencana itu gagal karena dihalangi oleh Kapten S. Manopo, perwira KNIL yang setia kepada kesepakatan KMB,” ujar Rivai. Begitu juga rencana pembunuhan terhadap Letnan Kolonel Soetoko dan lain-lainnya gagal pula. Jika Soetoko berhasil meloloskan diri dari penyerbuan APRA pada 23 Januari 1950 di Markas Besar Divisi Siliwangi, maka Mayor CPM Roehan Roesli dan Letnan Kolonel dr. Errie Sudewo masing-masing sedang ada Yogayakarta dan Subang pada saat tim pembunuh itu datang. Begitu pula dengan ketiga sasaran yang lain: sedang tidak ada di tempat masing-masing. Justru yang ketiban nasib sial adalah Letnan Kolonel A.G. Lembong (Kepala Pendidikan Angkatan Darat) dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Tanpa merasa curiga, pada saat penyerbuan APRA ke Markas Besar Divisi Siliwangi itu, mereka menghentikan mobilnya di depan markas. Begitu turun, alih-alih disambut pasukan penghormatan, mereka malah langsung diberondong ratusan peluru hingga tewas di tempat.

  • Mencari Penghuni Awal Natuna

    Syahdan, Sultan Johor Alaudin Riayat Syah mempunyai seorang putri bernama Tengku Fatimah. Tapi sultan malu karena sang putri lumpuh. Tengku Fatimah pun diasingkan ke Pulau Serindit. Di sana, ia bertemu dengan Demang Megat, pemuda asal Phatani yang terdampar. Mereka lalu menikah. Keduanya membentuk pemerintahan baru di Pulau Serindit. Demang Megat digelari Orang Kaya Serindit Dina Mahkota. Perkampungan pertama yang mereka dirikan disebut Mahligai. Rumah-rumah dibangun dari Kayu Bungur. Dari nama kayu inilah kemudian Pulau Serindit berganti nama menjadi Pulau Bunguran, salah satu pulau di Natuna.  Begitulah cerita rakyat yang dikenal di Natuna. Kisah itu disampaikan oleh Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema "Ada Apa dengan Natuna" di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, Kamis (30/1).   "Mereka tahunya Johor. Tapi apakah baru masa Johor saja (Natuna,  red. ) dihuni?" tanya Sonny memancing diskusi.  "Ceritanya selalu tentang Demang Megat. Masyarakat tahunya begitu. Jadi ada  gap  antara fiksi dan fakta. Yang mana sejarahnya?" tanyanya   lagi.  Riwayat Natuna tak cukup dipelajari hanya lewat legenda dan dongeng. Apalagi untuk mengungkap identitasnya. Dalam sejarahnya, Natuna memang pernah menjadi bagian dari daulat wilayah besar Johor-Riau. Kelangsungan pemerintahannya di bawah Orang Kayo, di tengah budaya Islam yang berkembang. Namun, riwayat masyarakat Natuna mungkin bisa ditarik lebih jauh ke belakang. Di Pulau Bunguran, pulau terbesar di Natuna, memiliki banyak situs arkeologi. Khususnya di sepanjang pantai. Ada satu situs bernama Batu Sindu, bukit di Semenanjung Senubing, pantai timur Bunguran. Di sinilah jejak hunian awal di Natuna ditemukan. Bukti-bukti artefak didapatkan di antaranya beliung batu dan pecahan tembikar berslip merah polos. Tembikar jenis ini mencirikan peralatan penutur bahasa Austronesia. Ada pula yang berhias tatap bercap atau berukir. Corak ini dikenal sebagai corak Batu Melayu. Biasanya ditemukan di situs-situs Asia Tenggara Daratan dan di Borneo, seperti di Gua Sireh. Pertanggalannya dari sekira 5.000 tahun lalu.  Ditemukan juga pecahan tembikar berhias geometris pola tumpal dan garis. Tembikar seperti ini populer di kawasan Sahuyn, Vietnam, dan Kalanay, Filipina. "Ini tempat-tempat yang berhadapan dengan Natuna," kata Sonny. "Jadi ada satu kelompok besar yang tinggal di peradaban Laut Cina Selatan." Temuan-temuan itu mengindikasikan adanya interaksi Natuna dengan kawasan perairan Laut Cina Selatan. "Belum ada data pertanggalan yang mendukung, jadi belum tahu kapan interaksi terjadi," kata Sonny. Beralih dari Batu Sindu, masih di pulau yang sama, di Desa Setapang, sebelah utara Kota Ranai ditemukan sisa permukiman dan keranda kayu. Keranda kayu ini berupa perahu lesung. Diduga ia dijadikan peti kubur. Keranda semacam ini juga ditemukan di Batu Bayan, selatan Kota Ranai. Bentuk kerandanya mirip dengan temuan di Sulawesi Selatan dari Bulukumba sampai Pulau Selayar. Keranda kubur juga ditemukan di Vietnam dan diidentifikasi sebagai bagian dari budaya Dong Son.  "Tak jauh dari peti kubur (di Setapang,  red. ), pada kedalaman yang sejajar ditemukan mangkuk. Tampaknya bagian dari bekal kubur dari peti kubur. Rangka atau tulangnya tak lagi bersisa," jelas Sonny. Arkeolog Puslit Arkenas, Naniek Harkantiningsih dalam  Arkeologi Perbatasan Natuna: Perlintasan Budaya dan Niaga  menulis, warga pernah mendapatkan keramik utuh di sekitar lokasi ini. Keramik itu bergaya Dinasti Yuan dari abad ke-13 sampai ke-14.  Keramik memang menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatan Naniek yang dipublikasikan dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat dalam  Di Balik Peradaban Keramik Natuna,  sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20. "Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, dari sekira abad ke- 9 sampai ke-20," tulis Naniek. Sementara itu, menurut Sonny, temuan di Natuna memiliki kesamaan dengan di Situs Kota Cina di Sumatra Utara, Muarojambi di Jambi, dan Palembang. Ini memperlihatkan adanya jaringan pelayaran. Dari banyaknya temuan, terlihat kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13.  Selanjutnya ada Situs Sepempang. Ditemukan kubur yang bagian kepalanya di arah barat laut, dan bagian kaki di tenggara. Namun tak ditemukan bekal kubur. Rangka manusia ditemukan pula di Situs Tanjung. Di tangan kirinya ditemukan gelang perunggu. Sama seperti sebelumnya, posisi kepala berada di arah barat daya, kakinya di timur laut.   “Kalau begini sudah pasti bukan muslim. Kuburan Islam arahnya utara,” kata Sonny.  Rangka manusia lain yang ditemukan di situs itu memiliki barang-barang   berupa senjata besi, seperti pisau dan keris.   Dari sini terlihat, jenis bekal kubur di situs-situs kuno Natuna berbeda-beda. "Apakah masing-masing mewakili suatu etnis tertentu? Jadi, Natuna tidak hanya satu jenis etnis. Ada banyak etnis di Natuna? Karena Natuna bisa dilewati banyak pelayaran," kata Sonny. Hingga kini, para peneliti masih mencari   penanggalan pasti kapan penghuni paling awal di Natuna. "Kami sempat mengajak Bu Hera (Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, red. ) untuk mengetes DNA-nya tapi belum dapat hasilnya," kata Sonny. Sayangnya, banyak situs yang sudah tak utuh. Kebanyakan karena ulah pemacok atau pemburu benda kuno yang mencari dengan cara menusuk-nusuk tanah menggunakan tongkat besi. Akibatnya kini para arkeolog kesulitan mengamati bukti cara hidup manusia pada masa lalu. "Kita keduluan 20 tahun. Sudah banyak yang hilang," kata Sonny.  Sementara hubungan Natuna dengan Johor bukan cuma sebatas legenda. Sumber sejarah dan arsip tentang Kesultanan Johor memperjelas hubungan keduanya. Kebesarannya berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.  Naniek menjelaskan,   Kesultanan Johor-Riau menerima sumpah setia dari masyarakat di kawasan yang membentang dari bagian selatan jazirah Melayu, Kepulauan Riau termasuk Singapura masa kini, Kepulauan Anambas, Tambelan, dan Kepulauan Natuna, kawasan sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur.  "Kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah para penguasa Kampar, bendahara Pahang, dan Trengganu adalah kawulanya," jelas Naniek. Jejak pemerintahan Melayu di Natuna terlihat di pesisir Selatan seperti Segeram, Sedanau, dan Pulau Tiga. Ada peninggalan kuburan Islam yang orientasinya ke utara. Nisan-nisannya dari batu karang laut. "Temuan-temuan di Natuna mengagetkan kita. Natuna itu kecil, tak pernah menjadi Sriwijaya, tak pernah jadi kerajaan besar,” ujar Sonny. "Temuan-temuan ini menunjukkan ada organisasi besar untuk mengatur perdagangan kala itu."

  • Suromo DS, Maestro Seni Cukil Indonesia

    Pada awal 1950-an, seni cukil belum diminati secara serius oleh para seniman. Para pelukis dan pematung biasanya hanya membuat cukilan kayu untuk mengisi waktu luang. Peralatan dan bahannya pun sederhana. Misalnya menggunakan kentang atau ubi jalar yang digores seperti membuat stempel, maupun menggunakan batang bambu yang dicukil kemudian dicapkan ke atas kertas merang atau kertas padi. Saat itu, menurut Mustika dalam Seni Rupa Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei , seni cukil hanya dianggap sebagai latihan untuk memperlancar atau mengembangkan teknik atau cara melukis. Namun, dengan ketelatenan yang lebih, seorang seniman asal Surakarta, Suromo DS berhasil menghidupkan nyawa seni cukil di kancah seni rupa Indonesia. Suromo Darpo Sawego lahir pada 11 Oktober 1919 di Surakarta. Pria lulusan sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini mulai belajar menggambar pada pelukis Pirngadi di Jakarta pada 1937. Suromo juga belajar keramik, melukis kaca timah, dan tata dekorasi pada arsitek Robert Deppe. Pada tahun yang sama, ia mulai melukis dan bergabung dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). “Pada masa sesudah Persagi ia tetap dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai een geboren schilder  (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan produktif daripada berdebat dalam wacana,” tulis M. Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942. Suromo Darpo Sawego. (Repro  Perjalanan Seni Rupa Indonesia). Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada 1943, Suromo bergabung dengan organisasi kebudayaan bentukan Jepang, Keimin Bunka Sidosho dan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) Jakarta. Kemudian pada 1945, dia turut serta dalam aksi corat-coret poster di Jakarta dan Surakarta. Setahun pasca Proklamasi, ia bersama Affandi menyelenggarakan pameran perjuangan seni lukis di Universitas Indonesia. Pada 1946, Suromo bersama Sudjojono dan pelukis lain pindah ke Surakarta. Mereka mendirikan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM). Berpusat di Surakarta, SIM memiliki cabang di Yogyakarta dan Madiun. “Ia kemudian belajar grafis kepada seorang tukang klise. Dengan itu ia bisa memenuhi pesanan pelukis Sudjojono yang memintanya membuat ilustrasi dengan teknik cukil kayu untuk majalah SIM,” tulis FX Mulyadi, Hari Budiono, dan Ipong Purnama Sidhi dalam Setengah Abad Seni Grafis Indonesia . Di SIM, Suromo bertanggung jawab mengelola cabang seni keramik dan seni grafis dan secara khusus mengajar seni cukil kayu. Namun, SIM bubar pada 1949 karena agresi militer Belanda. Ia kemudian bergabung dengan kepengurusan Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Lingkaran putih menunjukan wajah Suromo DS menurut Mikke Susanto, pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Mia Bustam dalam Sudjojono dan Aku menyebut Suromo memimpin seksi seni rupa HBS, serta menjadi pengajar di ASRI pada 1952. Ia juga merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) cabang Yogyakarta. Menurut Mia, wajah Suromo turut dilukis Sudjojono dalam lukisan Kawan-Kawan Revolusi (1947). Kaboel Suadi dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia , sejak awal Suromo membuat sendiri peralatan dan perlengkapan cukilnya dan seringkali mengangkat tema-tema perjuangan dan revolusi. “Bermodalkan peralatan sederhana yang dibuatnya itu, dia mengerjakan karya cukil kayu. Objek yang menarik tentu saja kehidupan hangat sehari-hari yang diliputi suasana perjuangan. Di antara karyanya yang berjudul Penghadangan Gerilya dan Pertempuran Gerilya ,” tulis Kaboel. Kaboel menyebut ketelitian kerja pada karya cukil kayu Suromo hampir mendekati teknik engraving . “Biasanya teknik engraving dipergunakan orang bagi perwujudan yang amat terikat pada gambar, khususnya tuntutan gambar yang sifatnya realistis. Demikian pula karya grafis Suromo yang beranjak tidak jauh dari realisme,” tulisnya. Selain melakukan berbagai pameran, salah satu pencapaian besar Suromo ialah mengikuti pameran biennale di Italia untuk seni cukilan kayu pada 1954. Karya cukil kayu Suromo berjudul "Persiapan". (Repro majalah Seni No.11 November 1955). Keseriusan Suromo dalam mengembangkan seni cukil mendapat perhatian cukup besar dari para seniman lain yang baru mengenal seni cukil yang saat itu terbilang baru. Meski demikian, gagasan realisme dalam seni cukilnya tidak banyak diikuti. “Cukil kayu Suromo hampir tidak ada yang mengikuti, tidak juga para mahasiswa dari ASRI. Realisme Suromo membutuhkan ketelitian kerja yang terikat disiplin. Teknik cukil kayunya hampir menjadi wood-engraving ,” jelas Kaboel. Sejak Suromo giat membuat cukil kayu, cukup banyak seniman yang mulai membuat karya-karya cukil seperti Mochtar Apin, Baharuddin Marahsutan, Oesman Effendi, dan Zaini. Rino Wijaya, anak keempat Suromo mengatakan bahwa ayahnya melarang anak-anaknya menggeluti dunia seni. “Sama almarhum diberi pesan tidak boleh jadi seniman. Beliau bilang kalian cari makan apapun terserah. Jangan jadi seniman, jadi seniman itu susah hidupnya. Yang sangat kami ingat di situ,” kata Rino Wijaya kepada historia.id . Karya cukil kayu Suromo berjudul "Rapat". (Repro majalah Seni No.11 November 1955). Pasca peristiwa 1965, banyak seniman yang terafiliasi dengan Lekra dipaksa tiarap. Sejak 1966, Suromo kemudian memilih menjadi wiraswasta. Namun, ia tetap berkarya baik lukisan, keramik maupun cukil kayu, meski tidak lagi mengadakan pameran. “Tidak lepas dari berkarya, baik itu di keramik, lukisan, atau seni cukil kayu. Pokoknya tidak jauh dari urusan seni. Sampai beliau menjelang meninggal pun masih sempat pegang (membuat karya seni) apapun yang bisa dipegang,” ujar Rino. Suromo meninggal dunia pada 23 Januari 2003. Pada hari kematiannya, ribuan pelayat memenuhi rumah Suromo di Bausasran, Yogyakarta. Beberapa seniman termasuk pelukis kawakan Djoko Pekik juga meminta Suromo dimakamkan di Makam Seniman Girisapto Imogiri. “Tapi ibu tidak membolehkan, alasannya kalau di Imogiri nanti menengoknya jauh. Sudahlah pokoknya dekat sini saja kalau aku menengok bapak nggak jauh-jauh,” ungkap Rino.

  • Penculikan Kepala Stasiun CIA

    PADA pertengahan 1983, Letnan Kolonel William Francis Buckley menjabat Kepala Stasiun CIA dengan menyamar ( cover ) sebagai pejabat urusan politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut, Lebanon. Buckley ditugaskan untuk membantu Lebanon mengembangkan metode menghadapi terorisme. Dia juga berusaha membangun kembali intelijen Amerika Serikat setelah pemboman Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa bulan sebelumnya. Serangan itu menewaskan 17 orang Amerika, termasuk Robert C. Ames, kepala analis CIA Timur Tengah, dan beberapa petugas CIA.

  • Lebaran dan Natalan Terakhir Bersama Wiji Thukul

    FAJAR Merah terduduk di sebuah lahan berumput. Meski badannya menghadap ke kamera yang dipasang Yuda Kurniawan sang sutradara, matanya seringkali melengos ke kanan-kiri. Butuh satu helaan nafas panjang baginya sebelum bisa menjawab satu pertanyaan sulit yang dilontarkan Yuda.  “Sejauh apa aku mengenal bapakku? Gimana ya,” cetus Fajar berupaya menjawab pertanyaan tentang Wiji Thukul ayahnya. Scene itu jadi salah satu inti cerita dokumenter Nyanyian Akar Rumput karya Yuda Kurniawan, yang diputar sejumlah bioskop mulai 16 Januari 2020. Kegagapan Fajar menggambarkan Wiji Thukul bisa dimaklumi lantaran sang ayah tak bisa berperan sebagai ayah sebagaimana umumnya di sebuah keluarga akibat aktivitasnya sebagai aktivis HAM di masa Orde Baru yang anti-kritik. Fajar baru berusia lima tahun kala Wiji Thukul jadi korban penghilangan paksa pasca-Tragedi Mei 1998. Fajar hanya bisa mengenal ayahnya setelah remaja lewat puisi-puisi sang ayah yang dia musikalisasi bersama tiga rekannya dalam band Merah Bercerita. “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” sambung Fajar. Wahyu Susilo berkisah masa-masa kecil ia mengenal Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Meski sudah turun layar sejak 23 Januari 2020, Nyanyian Akar Rumput setidaknya mengingatkan publik dan pemerintah bahwa kasus-kasus semacam kasus Wiji Thukul masih jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan negara. Selain itu, menurut Wahyu Susilo yang juga adik Wiji Thukul, film kedua tentang kakaknya itu –yang pertama, drama Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen–  juga menyingkap beberapa sisi tentang Wiji Thukul yang jarang diperhatian orang. “Dari film ini kan juga diungkapkan bahwa keluarga merasa bahwa Thukul juga bersalah. Dia melarikan diri, menghilang, enggak urus keluarga, macam-macam. Dalam konstruksi keluarga yang normal, (Thukul) tak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga,” ujar Wahyu kala ditemui Historia di sebuah rumah makan di gedung toko buku ternama di Matraman, Jakarta Timur. “Ini juga penting ya bagi orang yang selama ini selalu mendewa-dewakan aktivis demokrasi macam-macam, tapi juga ada nilai keluarga yang saya kira juga penting untuk disajikan,” sambungnya. Natal dan Lebaran Terakhir Rumah makan di gedung toko buku itu berseberangan dengan sebuah restoran masakan Padang. Dalam perbincangan dengan Historia , tetiba Wahyu terdiam kala menengok ke jendela besar yang menghadap restoran masakan Padang itu. “Kira-kira di situ. Dulu di situ rumah makan Padang juga, tapi enggak sebesar ini. Di situ dulu saya ketemu Mas Thukul. Salah satu momen terakhir ketemu dia,” ujarnya yang kemudian berdiri ke dekat jendela dan menatap restoran Padang itu. Seingat Wahyu, pertemuan dengan Wiji Thukul di restoran Padang itu terjadi medio Oktober 1997. Seetahun sebelumnya, sang kakak dituduh sebagai dalang Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) 1996 oleh rezim Soeharto. “Jadi ketika disebutkan dalang peristiwa 27 Juli itu, ada lima orang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Mas Thukul salah satunya. Kemudian dia menyingkir. Berpindah-pindah sebagai statusnya buron. Sempat bersembunyi sampai ke Kalimantan, sampai akhirnya balik ke Jakarta dan ketemu saya di restoran Padang itu,” kata Wahyu. Wahyu Susilo menatap restoran Padang seberang jalan di mana pada Oktober 1997 ia bertemu kakaknya, Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Keterbatasan waktu dan kewaspadaannya membuat Wiji Thukul tak bisa bicara banyak dengan Wahyu. “Masih diskusinya tentang perkembangan politik. Sedikit juga bicara tentang keluarga. Mas Thukul menanyakan bagaimana kabar Mbak Sipon (Siti Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul) dan anak-anak,” tambahnya. Nada bicara Wahyu berubah, suaranya bergetar, dan matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan tentang kumpul keluarga besar lengkap dengan Wiji Thukul yang terakhir. “Di keluarga kami kan ada yang Katolik dan ada yang Muslim. Biasanya kumpul bareng itu di Yogya untuk Natalan sekaligus lebaran. Karena kan akhir tahun 1997 dan awal 1998 itu Natal sama lebaran harinya dekat. Itu juga sembunyi-sembunyi ketemunya. Itu Desember 1997 terakhir ketemu fisik dengan mas-ku. Jadi Natalan dan lebaran berikutnya akhir tahun 1998 sudah mulai enggak lengkap,” tuturnya lirih. Keluarga di Belakang Wiji Thukul Selain keluarga dan rekan aktivis seangkatannya, mungkin banyak yang tak mengenal dari keluarga seperti apa Wiji Thukul tumbuh sampai menjadi penyair yang kata-katanya ibarat peluru buat rezim Soeharto. Keluarga itulah yang jadi kisah Wahyu selanjutnya. Wiji Thukul merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Di antara Wiji dan Wahyu sebagai si bungsu, ada Nasri Nugroho. Orangtua mereka, Sayem dan Kemis Harjosuwito, orang biasa dengan ekonomi pas-pasan. “Dulu ceritanya kakek saya orang Karanganyar, dari utaranya Solo. Kemudian mereka jadi transmigran awal di Metro Tanggamus, Lampung. Bapak dan ibuku menikah di sana, tapi kemudian jadi urban ke Solo sekira tahun 1955-1956, setelah jual sawah untuk beli becak. Pekerjaan bapak ya penarik becak. Kalau ibu, ikut cari nafkah dengan jadi pembatik,” ungkap Wahyu. Wiji Thukul (kanan) bersama ayah-ibunya, Sayem dan Kemis Harjosuwito (Foto: Dok. Wahyu Susilo) Sejak kecil, kata Wahyu, Wiji Thukul sudah getol dengan banyak kesenian. “Seingat saya bapak ya pernah ikut kesenian di desa. Ya mungkin di zaman lalu, berkesenian di desa itu biasa selain narik becak,” sambungnya. Ketiga bocah sering diajak ayah mereka menyaksikan gamelan di Masjid Agung Solo saat Sekatenan. “Waktu Maulid-an, dulu biasanya selalu ada gamelan Kiai Guntur Madu dan gamelan Kiai Guntur Sari. Biasanya selepas (waktu salat) Isya’ sampai tengah malam diajak sama bapak,” tutur Wahyu. Di usia sekolah dasar sampai SMP, Wiji Thukul mulai tumbuh jadi anak yang kreatif dan relijius. Selain rajin ibadah, Thukul sering terlibat dalam banyak kegiatan seni di gereja. “Aktivitas seninya sebenarnya karena pengaruh gereja. Dia anggota paduan suara, anggota teater paroki, sampai dia masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia,” ujarnya. Namun Thukul tak sampai menamatkan sekolah itu. Ia memilih putus sekolah agar biaya pendidikan yang ditanggung kedua orangtuanya dialihkan untuk kedua adiknya. “Ya itu. Dia orangnya baik, enggak pernah jahil sama adik-adiknya. Selalu ngalah orangnya sama adik-adiknya,” kata Wahyu yang kembali terdiam setelahnya. Meski putus sekolah, kegiatan teater Wiji Thukul jalan terus. Ia ikut ke Teater Jagat, lalu mendirikan perkumpulannya sendiri, Teater Suka Banjir. “Saya ketemu Mas Thukul di Teater Jagat. Kemudian kita dekat sampai menikah. Tapi karena di Teater Jagat ada aturan anggotanya enggak boleh menikahi sesama, akhirnya Mas Thukul keluar dan membuat Sanggar Suka Banjir,” ungkap Sipon dalam salah satu cuplikan di Nyanyian Akar Rumput. Kolase kebersamaan Sipon dan Wiji Thukul yang menikah pada 1988 (Foto: Dok. Wahyu Susilo) Wiji Thukul mulai menyentil rezim Orde Baru dengan puisi-puisinya kala sudah terlibat di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), perkumpulan seniman dan budayawan yang kemudian menjadi salah satu sayap organisasi di PRD. “Sebelumnya dia nulis puisi-puisinya di masa awal-awal, ya semacam puisi gelaplah. Puisi yang abstrak begitu. Sempat dibacakan di RadioPTPN Solo tahun 1979-1980-an, waktu saya masih SD. Mulai isu-isu politik di puisinya sejak di Jakker itu. Dia yang jadi kepala seksi budaya dan seni di PRD itu dengan Jakker-nya,” sambung Wahyu. Imbas dari aktivitasnya itu, kediaman keluarga Wiji Thukul acap menerima teror. Namun, lanjut Wahyu, keluarga akhirnya terbiasa. Tetapi ketika sudah sampai puncaknya, saat Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain dihilangkan paksa, sampai detik ini keluarga belum mau menyerah walau mulai lelah setelah 21 tahun. “Harapan kita (keluarga) itu, dulu dia ngumpet atau apa, tapi ternyata kan enggak pulang-pulang. Hasil investigasi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, red .) bahwa ternyata menjelang kejatuhan Soeharto ada gerakan-gerakan yang, enggak tahu terkomando atau tidak, dari militer melakukan penculikan,” sambungnya. Pada 2000, KontraS menyatakan 13 aktivis HAM yang hilang itu jadi korban penghilangang paksa, termasuk Wiji Thukul. Tidak hanya Sipon dan kedua anaknya, Wahyu dan kedua orangtuanya pun turut memendam pedih. Rona kepedihan itu dihadirkan Yuda Kurniawan dalam Nyanyian Akar Rumput lewat footage Sayem dan Kemis Harjosuwito turut hadir dalam penyerahan penghargaan Yap Thiam Hien 2002 untuk Thukul yang diterima keluarga. Footage itu didapat Yuda dari Lexy Rambadeta, videografer-aktivis yang sering mengikuti aktivitas keluarga Wiji Thukul semasa memperjuangkan pencarian sang akvitis. “Dari ceritanya Mas Lexy, Mbah Sayem dan Mbah Kemis di situ berpikirnya dia akan ketemu Wiji Thukul, tapi ternyata enggak ada. Setelah acara selesai, mereka menanyakan terus, ‘ Dadi piye iki , Wiji Thukul iki ? Kapan sido mulih ?’ (Jadi bagaimana Wiji Thukul? Kapan jadinya dia pulang),” kata Yuda pada Historia di tempat berbeda. Yuda Kurniawan, sutradara dokumenter "Nyanyian Akar Rumput" (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Adegan lain yang tak kalah mengharukan adalah ketika Fajar menginap di rumah Wahyu di Depok. Kebetulan Yuda berhasil merekam momen Mbah Sayem membangunkan Fajar yang tidur di sofa depan rumah Wahyu. Seraya mengucek mata, Fajar menyambut pelukan Mbah Sayem yang pecah tangisnya. “Kangen aku, le ,” (Kangen aku, Nak). “Ngopo, Mbah? Kalo ketemu pasti nangis,” jawab Fajar. Sayem mengira Fajar adalah Wiji Thukul, anaknya yang hilang lebih dari dua dasawarsa lalu. “Karena mungkin perawakannya Fajar mirip ya sama bapaknya. Rambutnya ikal, badannya kurus, wajahnya juga mirip banget. Sampai dicubit-cubit pipinya Fajar,” sambung Yuda. Kemis dan Sayem Harjosuwito tak pernah mendapatkan jawaban sampai keduanya menutup usia. Kemis wafat pada 2005, sementara Sayem pada 2017. “Mereka (Kemis dan Sayem) selalu tanya. Kadang-kadang kita enggak tahan juga, kan, baik saya maupun Mbak Sipon. Kita hanya bisa bilang, ya (Thukul) belum pulang, begitu terus. Kita juga enggak ingin menyampaikan anaknya hilang karena politik. Bapak dan ibu enggak pernah berhenti tanya sampai hari terakhirnya,” tandas Wahyu.

  • Nasib Tragis Kapal Inggris

    BERT “Curly” Harris selalu ingat hari ketika peristiwa yang merenggut nyawa Edwin, kakaknya, dan juga nyaris merenggut nyawanya terjadi. Peristiwa itu terjadi perairan Norwegia, Laut Utara, awal Perang Dunia II. Bert merupakan personil AL Inggris yang –diterima pada 14 Februari 1938– bertugas sebagai stoker  di kapal perusak (destroyer) HMS   Glowworm . Di kapal itu pula Edwin berdinas sebagai stoker . Menyusul pecahnya Perang Dunia (PD) II, Glowworm  bersama beberapa destroyer lain ditugaskan mengawal kapal penjelajah berat HMS Renown  melancarkan Operasi Wilfred pada 5 April 1940. Operasi penebaran ranjau di perairan Norwegia itu bertujuan untuk menutup jalur distribusi impor bijih besi Jerman dari Swedia. Inggris menggelarnya setelah gagal mendapat izin dari Swedia dan Norwegia untuk menempatkan pasukan di kota-kota utara dua negeri netral itu, terutama kota pelabuhan Narvik, Norwegia. Dari kota pelabuhan itulah bijih besi, bahan pembuat baja beragam peralatan militer Jerman, Swedia dikirim ke Jerman. Dengan menutup jalur perairan itu, Inggris berharap mematikan industri Jerman. Pasalnya, Swedia jadi satu-satunya pemasok bijih besi ke Jerman setelah terhentinya pasokan bijih besi dari Prancis menyusul pecahnya PD II. Bijih besi itu bisa dikirim langsung Swedia ke Jerman lewat pelabuhan Lulea hanya pada musim panas. Namun, perairan di pelabuhan itu membeku saat musim dingin sehingga bijih besi untuk Jerman hanya bisa dikirim menggunakan keretaapi ke pelabuhan Narvik untuk kemudian dibawa kapal-kapal Jerman lewat Laut Utara. Dengan menebar ranjau di laut itu di lepas perairan Norwegia, Inggris berupaya untuk menggiring kapal-kapal pengangkut bijih besi Jerman masuk ke perairan internasional. Di perairan internasional, kapal-kapal AL Inggris bisa menenggelamkan atau menangkap kapal-kapal Jerman. Misi itulah yang diemban Glowworm ketika berlayar mendampingi HMSRenown pada 5 April 1940. Pelayaran itu terasa berat lantaran kabut tebal, gelombang tinggi mengguncang-guncang kapal, dan udara sangat dingin. “Begitulah yang terjadi sampai pagi 6 April ketika alarm berbunyi memperingatkan bahwa seorang pelaut tercebur ke laut, dia petugas bagian torpedo,” kata Harris, dimuat hmsglowworm.org.uk . Setelah mengirimkan sinyal ke Renown dan mendapat balasan, Glowworm putar balik untuk melakukan pencarian. Renown dan kapal-kapal lain tetap melanjutkan perjalanan. “Itu membuat kami sendirian. Kami tak pernah melihat mereka lagi,” kata Harris. Alih-alih berhasil menemukan awaknya, Glowworm malah terpisah dari konvoinya. Upayanya mencari konvoi sepanjang hari sia-sia. Kesialan itu masih berlanjut hingga keesokan paginya, ketika satu awak lain mengalami nahas terlempar dari dek. Kendati berhasil diangkut kembali ke kapal, awak itu sudah terluka parah. Harris dan beberapa rekannya mengganggap itu sebagai pertanda buruk. Benar saja, pagi 8 April, Harris yang sedang tidur di ranjang gantungnya dikagetkan oleh bunyi alarm keras. Dia langsung bergegas menuju tempat tugasnya –yang berada di bagian belakang; tempat para stoker memasok peluru atau peledak lain ke kru senjata ( gun crew ) guna ditembakkan– sebagaimana awak lain menuju tempat tugas masing-masing. Dalam perjalanan, Harris melihat sebuah destroyer di kejauhan dan bertanya-tanya kapal siapa itu. “Kapten kami, Lt. Cdr. Roope, mengirim sinyal yang menanyakan kebangsaan dan tak mendapat balasan. Momen berikutnya kapal (destroyer, red .) itu menjawab dengan sebuah salvo dari meriam-meriamnya,” kata Harris. “Kesenangan pun dimulai.” Destroyer itu merupakan Bernd von Arnim (Z11) dan Hans Ludemann (Z18) milik Kriegsmarine (AL Jerman). Destroyer-destroyer itu mengawal kapal penjelajah berat Admiral Hipper dari Grup 2 naval detachment dalam Operasi Weserubung, operasi penyerbuan Denmark dan Norwegia oleh Jerman. Glowworm langsung membalas dengan kanonnya. “Setelah saling berputar, ia berbalik dan menjauh bersama kami yang mengejarnya,” kata Harris. Destroyer-destroyer meminta bantuan Admiral Hipper . “Beberapa saat kemudian, kami diberi tahu bahwa kami mengejarnya ke posisi skuadron armada kami yang bisa dilihat dari kejauhan. Namun, kami segera mendapati kesalahan karena itu adalah skuadron Jerman yang kami masuki.” Pukul 9.50, Glowworm bertemu Admiral Hipper yang panjangnya dua kali lipat darinya. Alih-alih kabur, komandan Glowworm Letnan Komander Gerard Broadmead Roope memilh melawan. “Selama kampanye Norwegia, kapal-kapal Inggris berulangkali menunjukkan tekad bunuh diri. Salah satu alasannya adalah, peraturan angkatan laut; yang lain adalah sikap umum para perwira angkatan laut negara-negara yang berperang, yang mengharapkan bertempur dengan gagah melawan musuh dan tenggelam dengan kibaran bendera, dan penghormatan pantas bila terjadi,” tulis buku yang dieditori Holger Afferbach dan Hew Strachan, How Fighting Ends: A History of Surrender . Meski selamat dari tiga tembakan kanon 8 inci Hipper , Glowworm akhirnya terbakar setelah dihantam kanon keempat Hipper . “Sementara kami terus memasok senjata, rasanya semua kacau. Ia ( Hipper ) sepertinya memukul kami dengan keras saat kami mengejar,” kenang Harris.   Dalam “lindungan” kabut dan asapnya sendiri, Glowworm menjauh dari Hipper . Upaya itu sia-sia karena persenjataan Hipper telah dipandu radar. Beberapa saat kemudian, beberapa kanon 4,1 inci Hipper kembali menghantam Glowworm. Ruang radio, bridge , kanon 4,7 inci Glowworm langsung hancur. Sementara, kanon 4,7 inci Hipper memporak-porandakan ruang mesin, ruang kapten, dan menara Glowworm . Di tengah kondisi parah itu, Glowworm menembakkan lima torpedonya. Sayang tak satupun dari lima torpedo itu menyentuh Hipper . Glowworm terus bermanuver untuk menghindari senjata-senjata lawan. Begitu kabut menipis, Roope memerintahkan nahkoda untuk mengarahkan Glowworm menabrak Hipper . “Saya masih di magazine (kompartemen senjata) ketika Glowworm memberi dorongan ekstra ke depan dan ada tabrakan dan bergetar. Lampu padam, kapal berguling dan terombang-ambing,” kata Harris. Glowworm berhasil menabrak Hipper tepat di atas jangkarnya. Selain kehilangan seorang awak yang terbentur akibat tabrakan, Hipper kehilangan jangkar dan sebuah torpedo depan-kanan. Tabrakan juga membuat lambung depan Hipper bolong sehingga mengalami kebocoran kendati tak parah dan bisa ditangani para awaknya. Glowworm sendiri terbakar hebat dan terapung-apung di lautan. “Kami baru saja membuat permainan besar terakhir. Kemudian datang perintah untuk meninggalkan kapal,” kata Harris. Evakuasi dimulai. Saat melintasi tempat kakaknya ketika akan menuju dek atas, Harris sempat berhenti dan mencari kakaknya. Tak berhasil. Dia melanjutkan ke dek atas. Suasana amat kacau lantaran para personil Hipper masih menembaki awak Glowworm yang hendak menyelamatkan diri menggunakan senapan mesin maupun pistol. Sementara Glowworm telah terbalik ke kanan dan mulai tenggelam, Harris ragu apakah akan melompat atau tetap di kapal sebagaimana banyak dipilih stoker lain meski sudah mengenakan pelampung. Selain ombak besar, tumpahan minyak amat tebal dan dinginnya air bisa membekukan. Dia akhirnya melompat ke laut setelah diperintahkan Roope yang berkeliling untuk memastikan evakuasi berjalan baik. “Itu terakhir kali saya melihat Lt.Cdr Roope,” kata Harris. Harris terombang-ambing oleh ombak. “Saya hanya hanyut, berenang atau tidak tak ada bedanya,” kenangnya. “Lalu tiba-tiba saya melihat kapal Jerman di depan saya. Saya berenang sekuat mungkin, karena saya pikir jika saya tak mencapainya saya akan hilang selamanya.” Awak Hipper akhirnya ikut menyelamatkan awak Glowworm . “ Admiral Hipper menunggu setidaknya satu jam untuk mengambil orang yang selamat,” tulis Henry Buckton dalam Retreat: Dunkirk and the Evacuation of Western Europe . Dari perahu Jerman, Harris dipindahkan ke Hipper . “Saat saya pindah, salah satu dari mereka memberi rokok dan bertanya apakah saya baik-baik. Saya berada di bawah pancaran lampu yang mereka pasang untuk menghangatkanku. Kata-kata pertamaku adalah menanyakan kabar kakakku, tapi tak ada,” kata Harris yang akhirnya merelakan kepergian kakaknya bersama 109 awak Glowworm lain yang tenggelam. Sebanyak 29 – versi lain menyebut 31– awak Glowworm akhirnya selamat setelah dinaikkan ke Hipper . Sayang Roope tak berhasil diselamatkan. Lukanya terlalu parah sehingga dia tak sanggup menggapai tali yang dilemparkan oleh awak Hipper . Para awak Glowworm di kapal Hipper akhirnya dibawa ke Jerman dan dijadikan tawanan. Selama pelayaran, mereka diperlakukan dengan baik. “Saya mengatakan mereka adalah pelaut Jerman terbaik yang pernah saya kenal. Mereka menjaga kami sebaik mungkin. Kapten mereka mendatangi kami dan memberitahu bahwa kapten kami adalah orang yang sangat pemberani,” kata Harris. Kekaguman Hellmuth Heye, komandan Hipper , akan keberanian Roope lalu dilanjutkannya dengan meminta Kementerian Angkatan Laut Inggris agar menganugerahi Roope sebuah penghargaan. Permintaan itu disampaikannya lewat pesan yang dikirim ke palang merah.   “Raja (George VI) dengan senang hati menyetujui pemberian Victoria Cross kepada mendiang Letnan Komander Gerard Broadmead Roope atas keberaniannya,” tulis The London Gazette yang dikutip Buckton.

  • Bidan Berjuang di Medan Perang

    SAMIARTI Martosewojo, Sulastri, Mardiana Firdaus, Rusdiati Koesmini, Supiah, Sufitah, Kus Adalina, Djoharnin, Maryati, Sumartinah, Clara Lantang, Corrie Probonegoro, Daatje Idris, Murni Kadarsih, dan Soejati tak sedikitpun takut pada suasana perang. Perang mempertahankan kemerdekaan justru membulatkan tekad 15 siswi sekolah bidan itu untuk maju ke medan perang sebagai tenaga medis bagi para pejuang. Kala itu, jumlah tenaga medis di Indonesia amat minim. Di Jakarta misalnya, jumlah dokter yang semula 26 menyusut menjadi 14 orang lantaran ada rumah sakit yang tutup. Dokter-dokter itu kembali ke negaranya atau berpihak pada Sekutu. Jumlah bidan pun amat minim. Di Rumah Sakit Budi Kemulyaan yang sebelumnya terdapat enam biro konsultasi kehamilan, jumlahnya justru berkurang. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier,  pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit ini pun agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, selama enam bulan dari 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan. Minimnya jumlah bidan membuat Budi Kemulyaan membuka pelatihan bidan untuk gadis, minimal tamatan SMP atau yang sudah mendapatkan pendidikan keperawatan, antara 1945 hingga 1947. Sebanyak 163 gadis mendaftar sebagai murid sekolah bidan tersebut, 15 di di antaranya dikirim ke palagan Surabaya. Mereka dikirim ke palagan di bawah bendera Palang Merah. Dokter Walter Tambunan bersama O.E. Engelen, asistennya yang seorang mahasiswa kedokteran di Ika Daigaku, memimpin rombongan tersebut. Kala itu, kondisi medis di Surabaya amat memprihatinkan. Hampir seluruh rumahsakit di Surabaya mengalami masalah serupa, yakni pasien membludak, alat medis terbatas, dan kekurangan petugas medis. Untuk menjaring bantuan dari luar daerah, selama pertempuran Surabaya berlangsung, Radio Pemberontak terus menyiarkan berita perang terbaru. Berkat pidato dan popularitas Bung Tomo, obat-obatan, bantuan medis, bahan pangan, tentara, dan beragam dukungan berhasil dikumpulkan  dari luar daerah. Dalam siarannya, Bung Tomo acap memaki pasukan musuh dalam bahasa Jawa Surabaya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku  lebih jauh mencatat, di medan laga kala itu jumlah korban berjatuhan tak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang harus merawat mereka. Beruntung, perawat, dokter, dan bidan baru terus berdatangan dari daerah lain untuk membantu rumah sakit yang masih kebanjiran pasien. Bahkan gedung-gedung sekitar rumah sakit pun dijadikan ruang perawatan. Para relawan ini, kemudian hari dikenal sebagai gadis-gadis P3K. “Relawan baik pejuang maupun tenaga medis datang dari berbagai penjuru Nusantara,” kata Rosihan Anwar, seperti dikutip Frank Palmos. Begitu tiba di Surabaya, para bidan dan dr. Walter Tambunan langsung bergabung dengan relawan medis dari daerah lain. Orang-orang yang terluka langsung dibawa ke RSU Pusat namun semakin hari pasien makin banyak. RS Karangmenjangan yang tadinya RS Angkatan Laut Jepang pun sudah tak mampu menampung pasien. Ketika situasi perang makin memburuk dan pengeboman Inggris dimulai, kaum perempuan Surabaya berbondong-bondong turun tangan sebagai tenaga medis. Semua tim medis yang terkumpul dibagi menjadi beberapa kelompok dan dikirim ke Ngemplak, Plampitan, Kampemen, Kedungdoro, dan Embong Sawo. Merekalah yang membantu para korban untuk dibawa ke rumah sakit. Salah satu perempuan yang bergabung dengan tim medis ialah Truus Iswarni Sardjono. Ia bergabung dengan Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Pada Historia Truus bercerita bahwa ia pernah menyaksikan anak-anak kecil yang tewas terkena bom Inggris. Banyaknya korban membuat tim medis keteteran dan kurang tidur. Mereka harus berjaga secara bergiliran untuk menolong korban-korban perang. “Kita itu 24 jam…. Kalau kita bisa merem, itu sudah hebat,” kata Truus. Lantaran rumah sakit dianggap sebagai wilayah netral untuk keperluan kemanusiaan, para relawan medis bisa keluar masuk daerah perang dengan relatif aman. Biasanya mereka naik mobil ambulans atau kendaraan dengan atap bertuliskan Palang Merah. Selain membawa pasien, truk-truk medis juga membawa obat, bahan farmasi, alat medis, dan bedah. Setelah perang usai, dari seluruh bidan yang berangkat, hanya delapan di antaranya meneruskan sebagai bidan dan bergabung dengan Ikatan Bidan Indonesia yang dibentuk pada 1950.

  • 17 Tuan dan Kehancuran VOC

    Dibentuknya Heeren Zeventien   atau 17 Tuan sebagai dewan tertinggi perdagangan di Belanda terbukti berhasil membawa kejayaan bagi negeri di barat benua Eropa tersebut. Melalui Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda mampu menguasai perdagangan di Benua Biru pada abad ke-17. Mereka menjadi kongsi dagang terbesar yang menjajakan rempah-rempah dari timur, terutama wilayah Hindia Timur (sekarang Indonesia) dan sebagian Asia. Selama lebih dari setengah abad, sejak berdirinya Heeren Zeventien pada 1602, VOC mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Dewan yang berisi wakil-wakil dari enam kamar dagang –Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen– ini mengatur manajemen di tubuh VOC dengan sangat baik. Perputaran ekonomi di Belanda juga berjalan lancar, hanya terjadi masalah-masalah kecil yang dengan cepat diatasi. Namun seiring berjalannya waktu, prilaku para pejabat VOC di negeri jajahan semakin tidak terkendali. Dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 , CR Boxer menyebut jika sejak pertengahan abad ke-17, Heeren Zeventien kesulitan mengatur anak buahnya. Banyak pelanggaran yang akhirnya membuat 17 Tuan ini menaruh curiga terhadap orang-orang di tanah jajahan. “Mengenai mutu para abdi VOC, entah ini pedagang, pendeta, pelaut atau serdadu, kebanyakan pendapat masa itu mengenai mereka sangat kritis, Heeren XVII sejak mulanya menaruh kecurigaan terhadap bawahan mereka di Timur, terus-menerus. Para pengurus cenderung meragukan kejujuran mereka dan efisiensi mereka,” tulis Boxer. Musabab Kehancuran Kehancuran VOC pada abad ke-18 memang memberi pukulan berat bagi ekonomi Belanda. Mereka kehilangan banyak sekali pemasukan demi keperluan penjajahan di wilayah koloninya. Bahkan kedudukan sebagai pemilik ekonomi terbesar di Eropa pun harus rela mereka lepaskan. Namun runtuhnya kongsi dagang utama milik Belanda ini adalah ulah mereka sendiri. Banyak faktor di baliknya. Dalam hal ini, Heeren Zeventien juga ikut bertanggaung jawab karena membuat keputusan yang keliru. Mereka membiarkan para pejabat VOC menjalankan bisnis pribadi di wilayah koloni. Pada awalnya mereka melarang segala bentuk kegiatan di luar kepentingan negeri Belanda. Tetapi dengan pertimbangan rendahnya gaji para pegawai, larangan-larangan itu akhirnya terabaikan. Akhirnya banyak praktek berjalan tanpa sepengatuan Heeren Zeventien. “Tidak dapat disangkal bahwa banyak mereka yang tidak baik wataknya bekerja pada VOC dengan tujuan memperkaya diri, secepat mungkin, dengan daya apa saja,” ucap Boxer. Sebenarnya kejahatan-kejahatan di tubuh VOC dapat dihindari manakala para pejabatnya membuat pernyataan yang jujur dalam setiap laporannya. Sejarawan Universitas Leiden FS Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC , mengatakan jika surat-menyurat antara Dewan Hindia di Batavia dan Heeren Zeventien   di Amsterdam berjalan lancar. Namun mengenai kebenaran isi laporannya itu menjadi soal lain. Saling kirim laporan ini sering dilakukan dengan nada sengit karena baik Heeren Zeventien maupun dewan di negeri jajahan memiliki ego yang sama-sama tinggi. Runtuhnya pondasi VOC juga terjadi akibat Heeren Zeventien   dianggap tidak sigap dalam merespon keluhan para pegawainya. Seperti terlihat saat mereka enggan menyediakan serdadu dan kelasi kapal yang baik mutunya. Pada 1630 para pejabat di Batavia mengirimi Heeren Zeventien   surat agar bisa diberi serdadu yang baik kualitasnya. Namun dewan pusat malah memberi mereka serdadu dengan pengalaman serta watak yang buruk. “Lagi-lagi begitu banyak orang yang bejat dan tidak berpengalaman di antara mereka yang baru saja tiba di sini (Batavia) hingga beberapa orang nakhoda dan perwira menyatakan keheranannya bahwa kapal-kapal sempat juga bisa selamat sampai ke mari,” ujar Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dalam salah satu suratnya. Ketegangan antara Heeren Zeventien   dengan para pejabat di Dewan Hindia juga diyakini sebagai sebab keruntuhan VOC. Dalam kurun masa 1700-an, para pejabat di Batavia telah sering dicap lalai bertugas oleh dewan pusat. Puncaknya, jalur perdagangan dari Batavia ke negeri Belanda ditutup. Bahkan kapal-kapal dari wilayah Asia yang semula singgah di Batavia membuat jalur baru agar dapat langsung menuju Belanda. Seperti jalur dari India dan China. Namun keputusan Heeren Zeventien itu memberikan kerugian yang amat besar bagi VOC. Dari setiap keberangkatan, hanya sebagian kecil kapal yang berhasil tiba di Belanda ataupun sebaliknya. Perjalanan panjang tanpa istirahat, serta kondisi cuaca dan kapal menjadi alasan kapal-kapal itu tidak bisa kembali. Menuju Kematian Memasuki abad ke-18, dewan pusat di Amsterdam mendesak para pejabat di negeri-negeri jajahannya untuk segera menambah pemasukannya. Di Hindia, VOC akhirnya mencari jalan pintas, yakni dengan cara ikut campur dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hal itu dilakukan agar mereka segera menarik simpati para penguasa daerah sebagai pemilik sumber daya alam. Mereka mulai terlibat dalam urusan pelik di negeri jajahan. Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana, VOC terlibat dalam berbagai peperangan di Jawa, Sulawesi, dan Maluku, yang memakan kas perusahaan dalam nominal yang tidak sedikit. Senada dengan Margana, Gaastra juga menyebut jika perang dengan Inggris paling menguras keuangan VOC. Keadaan tersebut memaksa Heeren Zeventien melakukan peminjaman modal ke berbagai kamar dagang di Belanda. Hutang di tubuh VOC pun semakin membengkak. Dewan menanggung malu dan kepercayaan terhadap penanaman modal di kamar dagang pusat itu perlahan mulai hilang. Reinout VOS dalam Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and The Tightrope of Diplomacy in The Malay World 1740-1800  menyebut jika perang dengan Inggris pada 1780 telah menguras 70% dari seluruh aset VOC. Hal itu telah benar-benar membuat VOC kehilangan kekuataan untuk menjalankan perusahaannya. “Beberapa tahun terakhir (VOC) diliput berbagai pertentangan. Dua faktor utama yang menyebabkan kemerosotan: kehilangan laba dan akumulasi utang,” tulis Reinout. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut. Ketidakmampuan mempertahankan kondisi keuangan perusahaan memaksa pemerintah Belanda akhirnya mengambil tindakan pembubaran kongsi dagang yang telah berjasa hampir 2 abad tersebut. Heeren Zeventien juga ikut dihilangkan, meski sejumlah kongsi dagang yang ada di bawahnya masih tetap berjalan. Seluruh utang dan aset-asetnya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, termasuk bekas wilayah koloninya di Hindia. Sejak 1800, didirikanlah pemerintahan kolonial baru bernama Hindia Belanda.

bottom of page