top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ketika Cicadas Dibombardir

    RABU, 12 Desember 1945. Asikin Rachman tengah berjalan di kawasan Pasar Cicadas, Bandung pagi itu. Suasana sangat ramai. Lazimnya di pasar, para pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi. Saat itulah, di langit biru tetiba muncul 6 pesawat tempur. Masing-masing berjenis 3 Mosquito dan 3 Thunderbolt. Setelah beberapa kalo bermanuver, burung-burung besi itu pun secara bersamaan menjatuhkan bom seraya memuntahkan peluru mitraIiur yang banyak. “Kami di bawah yang tadinya tidak menyangka mereka bermaksud akan membantai kami, jadinya kocar-kacir dan berlindung sebisanya,” ujar lelaki yang kini berusia 95 tahun itu. Insiden pemboman kali pertama oleh RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) itu tercatat dalam biografi Kolonel (Purn.) Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Akibat pemboman itu, Markas TKR Cicadas dan Gedung Komite Nasional Indonesia Daerah Cicadas hancur berantakan, puluhan rumah penduduk hancur lebur dan banyak rakyat tewas terkena reruntuhan bangunan. “Usai pemboman itu, sebuah lubang besar menganga muncul di tengah jalan besar,” kenang Asikin, yang saat itu prajurit lasykar Hizbullah. Nyaris berjam-jam, orang-orang tak berani keluar dari persembunyiannya. Barulah pada sore hari, rakyat dan para pejuang bergotong royong mengamankan mayat-mayat yang berserakan dan mencari jasad-jasad yang masih tertimbun reruntuhan. Hingga malam hari, pencarian terus dilakukan dengan menggunakan penerangan senter dan obor. “Bisa dibilang semuanya beres setelah kami bekerja siang-malam selama tiga hari berturut-turut," kata Asikin. Euis Sa’ariah alias Sartje, pejuang Laskar Wanita Indonesia (Laswi), terlibat dalam pencarian tersebut. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, Sartje bersaksi bahwa saat itu banyak korban pemboman yang ditemukan dalam kondisi sudah membusuk. “Sampai-sampai (setelah mengangkut mayat-mayat itu), saya enggak bisa makan,” ungkapnya. Di hari ketiga pencarian dan evakuasi korban, pesawat-pesawat tempur Inggris kembali menyerang. Mereka menjatuhkan 15 bom yang meluluhlantakan desa-desa sekitar Cicadas, sehingga kesengsaraan rakyat semakin hebat. “Namun sekali ini, korban jiwa tidak ada. Sebabnya rakyat dan pejuang baru mengerti jika sasaran penembakan dan pemboman musuh adalah desa-desa dan tempat-tempat yang tersembunyi,” ujar Mohamad Rivai. Maka ketika pesawat-pesawat itu mulai beraksi, para pejuang dan rakyat alih-alih mengamankan diri ke tempat berlindung, mereka justru bertiarap di sawah-sawah dan jalanan tanpa melakukan gerakan apapun. Dengan aksi seperti itu, para pilot RAF malah tidak menembak mereka. Namun, penderitaan rakyat Cicadas belum berakhir. Pada 21 Desember 1945, tepat jam 13.00, beberapa pesawat pembom Inggris kembali menyambangi kawasan yang sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai pusat tekstil tersebut. Kali ini Inggris menyasar Markas Batalion Hizbullah pimpinan Mayor Aminuddin Hamzah dan Unit Husinsyah. “Akibat pemboman itu puluhan rakyat tewas dan 35 lainnya mengalami luka-luka…Inggris sendiri mengumumkan telah menangkap satu truk penuh pasukan Banteng Hitam,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi dan Bertempur (Jilid II) . Dalam pemberitaannya pada 26 Desember 1945, harian Merdeka  menyebut bahwa korban pemboman Inggris pada 21 Desember 1945 telah banyak menimbulkan kematian di kalangan rakyat sipil. Secara jelas, Merdeka  menyebut mayoritas korban adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah sekitar Pasar Cicadas. Dua hari kemudian, Cicadas lagi-lagi disambangi pesawat-pesawat pembom Inggris. Kendati para petugas dari Palang Merah Indonesia (PMI) masih sibuk melakukan evakuasi korban pemboman 21 Desember 1945, pihak militer Inggris tak peduli dan tetap melakukan penyerangan lewat udara ke lembah Cicadas. Bahkan seolah tak cukup lewat udara, di darat pun mereka mengerahkan kekuatan-kekuatan tempurnya. “Sejak jam 06.00 telah terjadi pertempuran-pertempuran di mana musuh mempergunakan tank dan artileri,” ungkap Nasution. Apa yang menyebabkan militer Inggris begitu bernafsu menghabisi wilayah Cicadas? Menurut Nasution, militer Inggris sangat meyakini informasi dari intelijennya bahwa Cicadas merupakan salah satu basis terkuat para “ekstrimis Indonesia” yang ada di Bandung. Dan memang menurut sejarawan  John R.W. Smail, Cicadas yang padat dipenuhi oleh kekuatan kelompok-kelompok bersenjata Indonesia. Mulai TKR hingga badan-badan lasykar. “Di sana ada kekuatan Hizbullah paling besar di Bandung yakni batalion yang dipimpin oleh Aminuddin Hamzah,” ungkap Smail dalam Bandung Awal Revolusi (1945-1946).

  • Singa Itu Bernama Kasman

    BANYAK pemimpin pergerakan memiliki sikap tegas. Namun jika sikap itu dikaitkan dengan nama, mungkin baru Kasman Singodimejo saja yang memilikinya. Singodimejo sendiri berarti “singa di meja”. Ada begitu banyak anekdot tentang Kasman yang membuktikan betapa sikap berani memang melekat pada dirinya. Dalam biografinya, Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun , ada sejumlah kawan yang mengisahkan pengalamannya menyaksikan langsung singa dalam diri Kasman terbangun. Umumnya terjadi karena keadaan memaksa Kasman bertindak keras. Satu kisah diceritakan oleh Mohammad Natsir (Perdana Menteri Indonesia era demokrasi liberal). Suatu waktu, Kasman bertandang ke Ternate. Seusai menyampaikan pidato, ia sesegera mungkin harus menyeberangi laut menuju Bitung (Sulawesi Utara). Ada acara penting yang mesti dihadiri. Namun begitu sampai di pinggir laut, cuaca mulai berubah, ombak pun semakin meninggi. Dari pengalaman para nelayan di sana, sangat tidak mungkin untuk melaut saat kondisi demikian. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kapan ia dapat memulai perjalanan lautnya itu. Waktu yang terus berjalan semakin menyekik Kasman. Ia mulai gelisah. Di saat itu juga, kesingaan dalam diri Kasman keluar. Janji kepada warga Bitung membuat ia terpaksa menjadi orang yang berani (dibaca: keras kepala). Kasman mulai berteriak: “Apakah ada nakhoda Muslim yang percaya bahwa hidup dan mati itu di tangan Allah. Siapa yang bersedia mengantarkan saya dalam keadaan ini ke Bitung?” Teriakan Kasman itu cukup mengagetkan orang-orang di sana. Namun di saat yang bersamaan mengundang sekitarnya untuk ikut menjadi pemberani. Beberapa orang saat itu mengangkat tangan. Mereka bersedia menerjang ombak mengantarkan si pemberani menuju tempat tujuannya. Malam itu Kasman berhasil mendarat dengan selamat di Bitung. Kisah lain dari Kasman Singodimejo yang tidak kalah menarik terjadi saat ia ditangkap atas tuduhan merencanakan pembunuhan atas Presiden Sukarno. Tahun 1963, Kasman bersama-sama dengan Hamka, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Letkol Nasuhi, dan lainnya ditahan di Kompleks Sekolah Kepolisian, Sukabumi. Dalam sebuah pemeriksaan, Kasman didesak untuk mengakui segala tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Termasuk tuduhan mengadakan rapat rahasia di Tanggerang dalam upaya pembunuhan presiden itu. Bahkan demi mendapat pengakuan Kasman, para anggota pemeriksa memaksa Nasuhi memberikan keterangan palsu. “Tidakkah Letkol pada malam itu menjemput Pak Kasman dan membawanya ke Tanggerang?” desak salah seorang pemeriksa. Nasuhi hanya tertunduk diam. Si pemeriksa lalu kembali melayangkan pertanyaan, kali ini dengan sedikit ancaman. “Awas! Letkol diproses verbal (lisan) telah mengakuinya.” Nasuhi tetap tidak memberi jawaban. Melihat hal itu, meski masih diliputi suasana tegang, Kasman mencoba berbicara. Ketua pemeriksa pun memberi izin. “Bismillahirahmanirrohim, Nasuhi, dengan Allah sebagai saksi, jawablah pertanyaan tadi itu!” kata Kasman. Bak patung, Nasuhi tetap diam seribu bahasa. Kasman lalu kembali meminta Nasuhi mengungkap kebenarannya. “Nasuhi, kamu kan percaya dan takut kepada Allah Akbar. Jawablah secara jantan! Kamu kan laki-laki. Jawablah Allah sebagai saksi.” Nasuhi akhirnya buka suara, namun pelan sekali. “Yang keras suaramu! supaya kedengaran!” tegas Kasman. “Saya terpaksa,” jawab Nasuhi lirih. “Apa yang terpaksa,” timpal Kasman. “Saya terpaksa menanda tangani proses verbaal. Sebenarnya tidak begitu,” Nasuhi menjelaskan. “Nah, tuan-tuan pemeriksa. Itulah keadaan yang sesungguhnya. Isi proses verbaal itu dan pengakuan Nasuhi itu tidak betul,” pungkas Kasman. Dengan jawaban Nasuhi itu, Kasman sebenarnya telah unggul dalam perdebatan tersebut. Namun seakan tidak mau kalah, para pemeriksa menyebut bahwa kesaksian dari Nasuhi itu tidak membuktikan kebenaran apapun. Terlebih pernyataan dari orang-orang selain Nasuhi dalam proses verbal telah membenarkan kejadian yang melibatkan Kasman. Kasman yang terus tersudut keberatan dengan pernyataan para pemeriksa. Ia sangat yakin jika mereka melakukan paksaan hingga siksaan kepada para tertuduh agar berbicara lain saat proses verbal. “Maaf saya dapat kesan bahwa oleh tuan pemeriksa, telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain-lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka. Saya sebagai bekas Jaksa Agung, sebagai bekas Kepala Kehakiman Militer, dan sebagai bekas Menteri Muda Kehakiman persis mengetahui batas-batas dari wewenang pemeriksaan perkara. Semua itu tidak sah,” ucap Kasman. Setelah mengucapkan semua unek-uneknya, Kasman lantas berdiri. Ia dorong jauh-jauh kursinya ke belakang dan dengan kepalan tangan di atas, sambil melotot ia berteriak sekencang-kencangnya: “Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silahkan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembak! Tembaak!” Semua orang terkejut. Ketua pemeriksa lalu meminta proses pemeriksaan hari itu disudahi. Ia mempersilahkan Kasman untuk bersitirahat. Tanpa menoleh, ia langsung keluar dan masuk ke kamarnya. Orang-orang di dalam ruangan hanya bisa terduduk diam. Bagi Mohammad Roem, kawan yang telah dikenal Kasman sejak 1924 di STOVIA, sosok singa tidak hanya ada dalam diri Kasman, tapi ada di mana pun dirinya berada. Dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3: Wajah-Wajah Pemimpin dan Orang Terkemuka Indonesia , meyakini jika hati singanya keluar pada saat yang diperlukan. “Saya rasa anggota-anggota tim pemeriksa tangannya sudah gatal untuk menganiaya Bapak Kasman. Akan tetapi momentumnya adalah Pak Kasman yang mempergunakan,” kata Roem.

  • Jejak Kuasa Raja Sunda

    PERJALANAN penjelajah Portugis Tome Pires akhirnya sampai juga di Jawa. Sebuah negeri yang kebudayaannya jelas berbeda dengan Malaka (basis kekuatan Portugis di Asia) cukup membuatnya tercengang. Kondisi budaya dan politik di sana telah memberi pemahaman baru baginya. Satu kerajaan yang menarik perhatian sang penjelajah adalah Kerajaan Sunda, sang penguasa bagian barat Jawa. Keberadaan Sunda telah banyak diketahui Pires sejak pendaratan pertamanya di Jawa. Ia mendapat kabar dari orang-orang di pelabuhan tentang negeri itu. Berdasar informasi tersebut, Pires lalu menulis di dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental , tentang gambaran Kerajaan Sunda. “Sebagian orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa. Sebagian lainnya, yakni orang-orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, meyakini bahwa Kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau,” tulisnya. Pires menyaksikan secara langsung besarnya kekuasaan Raja Sunda di pulau tersebut. Namun sayang apa yang dilihatnya itu adalah akhir dari perjalanan kerajaan Hindu-Budha tersebut di Jawa Barat sebelum Islam benar-benar berkuasa di sana. Besar Kekuasaan Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II , diketahui bahwa Kerajaan Sunda yang disaksikan oleh Pires merupakan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Menurut berita dari prasasti Batutulis , kerajaan ini awalnya berpusat di Kawali namun karena keadaan tertentu akhirnya memutuskan untuk memindahkan kekuasaannya ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Bogor ( Buitenzorg ). Raja yang memerintah saat itu adalah Prabu Guru Dewataprana. Administrator Inggris John Crawfurd saat melakukan penelitian tentang Nusantara pada pertengahan abad ke-19, dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries , pernah mengungkapkan keberadaan Kerajaan Pajajaran ini berdasarkan penemuan prasasti dan sisa-sisa istana. Ia memperjelas informasi yang dibagikan oleh Pires. “Pajajaran ialah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda, 40 mil di timur Batavia (Jakarta). Dugaan ini muncul akibat ditemukannya fondasi istana dan batu prasasti,” ucap Crawfurd. Sejarawan Nugroho Notosusanto juga membenarkan penelitian Crawfurd tersebut berdasarkan sumber-sumber lokal, seperti Carita Parahyangan : “Adanya sebuah bangunan induk, di samping bangunan-bangunan lain yang ada di kompleks tersebut. Rupanya di bangunan induk itulah raja bersemayam sementara di bangunan-bangunan lainnya tinggal para pejabat kerajaan serta kerabat dekat keraton yang lain.” Di sebuah tempat bernama Dayo ( dayeuh /kota), raja menghabiskan sebagian besar waktunya. Kota yang cukup besar itu dipenuhi oleh rumah-rumah berbahan utama kayu, dan beratap daun kelapa. Kondisinya terlihat lebih baik jika dibandingakan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Dari pelabuhan utama yakni Sunda Kelapa, perjalanan ke Dayo membutuhkan waktu kurang lebih dua hari. Raja Sunda, kata Pires, merupakan orang yang taat beribadah. Ia dikelilingi oleh ahli-ahli agama. Masyarakatnya pun dikenal sebagai ksatria dan pelaut yang unggul. Bahkan dikatakan lebih baik daripada pelaut dan ksatria dari Jawa (bagian timur). Di beberapa tempat masyarakatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menggembala ternak dan becocok tanam. “Pria-pria Sunda berwajah rupawan, berkulit gelap dan berperawakan tegap,” kata Pires. Setiap tahunnya Kerajaan Pajajaran mampu menjual beras sebanyak ribuan ton (lebih dari 10 jung). Selain itu mereka mampu menghasilkan sayur-mayur yang tak terhitung jumlahnya, serta menjual aneka hewan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya. Selain bahan makanan, Pajajaran juga memperjualbelikan para budak  (laki-laki dan perempuan). Salah satu bukti besarnya Kerajaan Pajajaran ini juga terlihat dari kepemilikan raja atas 4000 ekor kuda dan 40 ekor gajah yang dipelihara. Raja menggunakan gajah-gajah itu untuk beberapa acara kerajaan, tidak sebagai alat berperang. Selama berada di Pajajaran, Pires tidak melihat adanya konflik di masyarakat. Menurutnya raja memerintah dengan adil dan bijak sehingga rakyatnya berada dalam keadaan yang selalu baik. Kerajaan Pajajaran telah melakukan perdagangan secara luas dengan negeri-negeri di sekitarnya. Bahkan mereka telah mencapai Malaka untuk bertransaksi dengan bangsa Portugis. Beberapa komoditi, termasuk bermacam kain khas Sunda, dikirim ke Malaka. Hubungan baik juga terjalin antara orang-orang Sunda dengan pedagang Arab dan Tiongkok di negerinya. “Mereka sudah terbiasa dengan perdagangan. Orang-orang Sunda sering pergi ke Malaka untuk berdagang. Mereka akan menaiki kapal-kapal kargo bermuatan 150 ton. Sunda memiliki lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara khas Sunda yang memiliki tiang kapal berbentuk bangu dan anak tangga di antara tiap kapal sehingga mudah untuk dikemudikan,” tulis Pires. Namun gambaran betapa besarnya kekuasaan Kerajaan Pajajaran oleh Pires itu hanya terjadi selama keberadaannya di sana. Setelah ia meninggalkan negeri itu, konflik anatara Sunda yang masih berpegang kepada Hindu-Budha, dengan Islam mulai memanas. Puncaknya, kira-kira pada 1579, kerajaan Sunda ini berhasil diduduki oleh kekuatan Islam. Perubahan di pemerintahan tentu berpengaruh besar pada kondisi masyarakat dan negeri Pajajaran dikemudian hari.

  • Alkisah Cenderamata Lekra

    SEBUAH piringan hitam bersampul biru dan merah dengan ornamen warna emas itu tersimpan di bagian koleksi khusus milik sejarawan Anton Lucas yang kini dikelola Perpustakaan Universitas Flinders, Adelaide, Australia. Pada sampulnya tertera “Pilihan Lagu-Lagu Jang Diperdengarkan Oleh Rombongan Njanji Dan Tari Lekra Indonesia di Tiongkok.” Muka sampul pertama piringan hitam berisi lagu Pudjaan Kepada Pantai, Persahabatan Tiongkok-Indonesia, Asia Afrika Bersatu, Nasakom, Dari Rimba Kalimantan Utara, Lagu Perjuangan, Api Cubana, dan  Djamila. Sedangkan muka sampul kedua berisi susunan lagu rakyat Maluku Tarik Lajar , lagu rakyat Sulawesi Selatan Atiradja , Lagu Batak Simalungun Sihala Erdeng-Erdeng , lagu Batak Sing-Sing So , dan lagu Batak Karo Erkata Bedil . Musisi-musisi Lekra yang tergabung dalam kumpulan ini antara lain, SW Kuntjahjo, Slamet, Szuma Wensen, Make, Sudharnoto, Subroto K. Atmodjo, Mochtar Embut, serta Kondar Sibarani. Selain itu, turut pula solois Andy Mulja dan Eveline Tjiauw. Beberapa lagu dinyanyikan oleh paduan suara Kondar Sibarani dengan iringan piano Mochtar Embut. Album ini merupakan cenderamata Lekra dalam rangka misi kebudayaan ke Tiongkok pada 1963. Pada tahun tersebut, Lekra memang tengah menggalakan diplomasi kebudayaan ke berbagai negara seperti Tiongkok, Korea Utara dan Uni Soviet. Misi Kebudayaan Ke Tiongkok Pada 26 September 1963, rombongan Lekra yang mengemban misi kebudayaan ke Tiongkok tiba di kota Kanton. Rombongan ini diketuai oleh seniman Sunardi. Turut pula pelukis kenamaan Basuki Resobowo dan I Tarmizi, komponis Gesang dan rombongan, serta sastrawan Nusananta dan Anjasmara serta musisi-musisi yang mengisi kumpulan lagu dalam piringan hitam. Sebanyak 30 orang mempertunjukan lagu-lagu, tarian, keroncong, angkung, gamelan Jawa dan Sunda, serta paduan suara pada gala premier. Gala premier ini juga dihadiri oleh DN Aidit, Gubernur Jakarta Sumarno, serta delegasi Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) dan Gerwani. Pada 30 September malam, rombongan dijamu oleh PM Tjou En-lai di Gedung Kongres Kebudayaan Nasional di Kota Peking dalam rangkaian Hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober. “Segenap hadirin yang berjumlah lebih dari 4000 orang diantaranya 1800 orang lebih tamu-tamu asing dari lebih kurang 80 negara, dengan dipelopori oleh delegasi dari Indonesia yang ternyata merupakan delegasi terbesar di antara delegasi-delegasi lain-lain negara yang tahun ini diundang guna menghadiri perayaan 1 Oktober, menyambut dengan tepuk sorak hangat sekali diperdengarkannya lagu “Bengawan Solo” itu, termasuk P.M. Tjou En-lai, yang duduk sejajar dengan ketua delegasi DPR GR Indonesia MH. Lukman,” tulis Harian Rakjat, 3 Oktober 1963. Persahabatan Tiongkok Indonesia menjadi tema utama dalam berbagai pertunjukan yang dipersembahkan oleh delegasi Indonesia. “Lagu-lagu Tiongkok yang berdasarkan syair Ketua Mao Tse-tung, lagu-lagu pudjian untuk Kuba dan untuk pahlawan wanita Aldjazair Djamila Bouhired juga mendapat sambutan hangat,“ sebut Harian Rakjat , 10 Oktober 1963. Harian Ta Kung Pao , Peking, menyebut bahwa seniman-seniman Lekra telah membawa tema persahabatan revolusioner yang sedang tumbuh antara Indonesia dan TIongkok. “Adalah menjadi tugas yang tak dapat dielakkan bagi kita kaum seniman untuk melipatgandakan usaha-usaha kita untuk melindungi, memperkembangkan dan memperkokoh persahabatan ini”, kata Tien Han, seniman kenamaan Tiongkok, mengutip  Harian Rakjat, 17 Oktober 1963.   Keesokan harinya parade besar untuk memperingati 1 Oktober diadakan di lapangan Tiananmen. Parade ini memamerkan industri ringan dan berat, pertanian, pendidikan, kesehatan, hingga pertahanan negara. Delegasi Indonesia (Ansambel Gembira) tampil di Beijing pada 1963. (Repro Heirs to World Culture Being Indonesian 1950-1965 ). Irama Musik Lekra Selama kurun 1950 hingga 1965, Lekra telah menjadi bagian penting dalam panggung kebudayaan Indonesia. Lembaga-lembaga kebudayaan seperti Lekra, Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan lainnya tengah berada dalam masa pencarian identitas kebudayaan nasional. Di bidang musik, melalui Lembaga Musik Indonesia (LMI), Lekra mendasari kegiatan-kegiatannya sesuai cita-cita revolusi Sukarno. Irama ‘mars’, penuh semangat, patriotis dan bernuansa politik terdengar kental dalam lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu seperti Pudjaan Kepada Pantai, Asia Afrika Bersatu, Nasakom, dan Lagu Perjuangan misalnya,menunjukan keberpihakan politik dan mendorong keterlibatan rakyat dalam revolusi. “Fokus perhatian LMI mencakup musik asli Indonesia maupun musik Barat (diatonis), dan musik tradisional maupun ciptaan baru, khususnya yang berfokus pada musik yang dianggapnya revolusioner,” terang sejarawan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam tulisannya " Bersama LEKRA dan Ansambel; Melacak Panggung Musik Indonesia", dalam Ahli Waris Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950-1965 . Hubungan kebudayaan antara Lekra dengan berbagai negara seperti Tiongkok dan Uni Soviet juga mempengaruhi musik Lekra. Dalam suvenir piringan hitam Lekra misalnya terdapat lagu Dari Rimba Kalimantan Utara yang memiliki nuansa musik Tiongkok. Tak hanya itu, musik juga digunakan sebagai bahasa diplomasi dan solidaritas. Lagu-lagu seperti Persahabatan Tiongkok-Indonesia, Api Cubana, dan Djamila secara jelas menunjukan usaha diplomatis dan dukungan Indonesia terhadap negara sahabat seperti Kuba dan Aljazair. “Ciptaan lagu-lagu dengan tema ideologis merupakan salah satu aktivitas budaya yang amat didukung oleh negara-negara sosialis dan gerakan sosialis pada tahun 1950-an dan 1960-an. Sosialisme merupakan gerakan internasional. Tidaklah mengherankan kalua di Indonesia juga diciptakan lagu-lagu yang menjalin kesetiakawanan dan menekankan ikatan antar negara (atau gerakan) sosialis,” tulis Rhoma. Pengembangan musik daerah juga menjadi perhatian Lekra. Muka 2 piringan hitam khusus berisi lagu rakyat, mulai dari lagu Maluku Tarik Lajar , lagu rakyat Sulawesi Selatan Atiradja , hingga lagu Batak Karo Erkata Bedil . “Lekra dengan sadar menjadikan musik daerah bukan sekadar sampiran, atau pinggiran, melainkan musik yang porsinya harus di dorong ke tengah sekaligus derajatnya diangkat tinggi-tinggi,” sebut Rhoma. Selain program-progam untuk mengangkat musik daerah, Lekra juga menaikan citra musik daerah dengan menyelenggarakan festival-festival serta lomba paduan suara musik daerah, musik nasional, dan musik revolusioner. Pada awal 1960-an, juga berkembang ansambel nyanyi atau nyayi dan tari yang membawakan repertoir ciptaan baru yang ‘progresif’ atau ‘revolusioner’. Lagu-lagu nasional dan daerah juga diaransemen dengan gaya musik diatonis Barat. Beberapa ansambel yang terkenal pada era itu di antaranya Ansambel Gembira, Ansambel Njanji dan Tari Madju Tak Gentar, Ansambel Tari-Njanji Bhinneka, dan Ansambel Angin TImur. Ansambel Gembira inilah yang pada 1963 turut dalam rombongan delegasi LEKRA di Tiongkok serta mengisi sebagian lagu-lagu dalam cenderamata piringan hitam itu.

  • Dendam Pilot Vietnam yang Bikin Hengkang Paman Sam

    ENTAH terpengaruh video penembakan massal yang ditontonnya beberapa hari sebelumnya atau bukan, Letnan dua udara Mohammed al-Shamrani, pilot Arab Saudi yang sedang menempuh pendidikan di Pangkalan AL Amerika Serikat (AS) Pensacola, melakukan aksi gila pada Jumat, 6 Desember 2019. Dia menembaki orang-orang di pangkalan itu. “Mohammed al-Shamrani membunuh tiga orang dan melukai delapan lainnya ketika menyerang menggunakan pistol Glock 9mm Jumat (6/12/2019),” tulis kompas.com . Sebelum melakukan aksi gilanya, Shamrani sempat menulis cuitan di akun Twitter -nya. “Saya melawan kejahatan, dan AS sudah sepenuhnya menjadi negara iblis. Saya membenci kalian karena setiap hari, kalian mendukung, mendanai, dan menyokong kejahatan tak hanya terhadap Muslim, tapi juga kemanusiaan,” ujarnya, dikutip kompas.com . Shamrani akhirnya tewas oleh tembakan beberapa aparat yang merespon aksi gilanya. Buntut dari ulah Shamrani, otoritas militer AS menahan sedikitnya 10 siswa asal Saudi pada hari berikutnya. Meski berbeda, apa yang dilakukan Shamrani mengingatkan kita pada pembelotan pilot AU Vietnam Selatan (Vietsel) Dinh Khac Chung, populer sebagai Nguyen Thanh Trung, di pengujung Perang Vietnam.  Pembelotan Trung disebabkan oleh dendam karena kematian Dinh Van Dau ayahnya. Van Dau merupakan gerilyawan Vietcong sekaligus sekretaris distrik partai komunis yang ditangkap dan dibunuh pasukan Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN), negara boneka AS, pada 1963. Selain membunuh Van Dau, ARVN juga menangkap istri Van Dau dan membakar rumah mereka. “Hari itu, saya tidak bisa kembali ke rumah. Saya tidak punya tempat untuk pergi. Jadi saya duduk di perahu (yang saya gunakan tiap hari untuk ke sekolah) bolak-balik, bolak-balik di sungai sepanjang malam. Saya bertanya pada diri sendiri, siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayah saya? Saya jawab sendiri. Saya berkata, Presiden Diem [pemimpin, pilihan orang Amerika], Anda bertanggung jawab atas kematian ayah saya. Dan saya katakan pada diri sendiri, kelak ketika dewasa, jika saya punya kesempatan, saya akan menjadi pilot. Dan saya akan membom istana pemimpin Vietnam Selatan,” kata Thrung sebagaimana dimuat laman pbs.org . Dinh lalu mengganti namanya demi menyembunyikan identitas diri dan keluarganya. “Ia mengadopsi nama samaran Nguyen Thanh Trung. Perubahan itu dilakukan oleh ‘kawan dekat’ ayahnya yang juga mengatur pemalsuan kisah hidup mereka,” tulis Fox Butterfield dalam “Pilot for Saigon Called Red Agent”, dimuat The New York Times 19 September 1975. Sebagaimana remaja lain di desanya yang miskin di Delta Sungai Mekong, Trung pun bergabung dengan Vietcong tak lama setelah itu. Militer lalu mengirimkannya ke Saigon Science University pada 1965. Tekad kuat Trung untuk membalas dendam atas kematian ayahnya –sekaligus untuk mengusir AS guna mengakhiri perang– dimanfaatkan Vietcong dengan mendorongnya masuk AU Vietsel. “Dia ditanam ke AU oleh Vietnam Utara untuk tugas khusus membom istana dan kedutaan (AS, red .) kelak ketika diperintahkan,” tulis laman www.deseret.com . Trung, tak melihat peluang lain untuk mewujudkan mimpinya kecuali bergabung dengan AU Vietsel. Setelah mendaftar masuk AU Vietsel dan diseleksi ketat latar belakangnya, Trung diterima pada 1969. Setahun kemudian, dia dikirim ke Texas untuk menjalani pendidikan penerbangan lanjutan. Dia lulus sebagai peringkat dua terbaik dari 500 siswa di angkatannya. Sepulang dari pendidikan, Lettu Trung terpilih bertugas di skuadron elit 534 AU Vietsel. “Trung, seorang pilot F-5E yang ditempatkan di Pangkalan Udara Bien Hoa,” tulis George Veith dalam Black April: The Fall of South Vietnam, 1973-75 .  Sebagai salah satu pilot tempur terbaik, dia berhak memiloti pesawat tempur canggih F-5 Tiger. Trung dilibatkan dalam banyak misi. Ratusan misi bombardir udara dilakukannya terhadap basis-basis Vietcong. Sambil terus menjalankan tugas resminya di AU Vietsel, Trung diam-diam terus menjalin kontak dengan Vietcong. Kontak rahasianya dengan Vietcong kian intens menjelang akhir 1974 sehubungan dengan akan digelarnya Ho Chi Minh Campaign atau The General Offensive and Uprising of the Spring 1975 (13 Desember 1974-30 April 1975). “Trung diberi perintah untuk membelot jika memungkinkan, karena ia diperlukan untuk melatih pilot AU Vietnam Utara mengoperasionalkan pesawat sitaan,” sambung Veith. Untuk bisa menjalankan misi rahasia itu, ia bahkan sempat dipertemukan dengan PM Vietnam Utara Pham Van Dong. Selain itu, Trung terus berlatih mendaratkan F-5 Tiger, yang secara normal butuh landasan minimal 3000 meter, di runway  yang hanya sepanjang 1000 meter. Yang tersulit baginya adalah mencari cara untuk melarikan pesawat tempur canggih itu. Keberuntungan baru menghinggapi Trung kurang dari sejam menjelang dimulainya operasi bombardir udara AU Vietsel terhadap pasukan Vietnam Utara di dekat Nha Trang, 8 April 1975. Seorang pilot yang harusnya ikut misi, belum datang. “Trung saat itu tak punya jadwal terbang tapi mengajukan diri pada menit akhir untuk mengisi kursi pilot lain itu, yang biasanya datang terlambat karena rumahnya di Saigon dan skuadron berbasis di Bien Hoa, 40 menit berkendara,” tulis Fox. Trung berada di pesawat nomor dua dari tiga pesawat yang dikerahkan dalam misi. Pikirannya terus mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Menjelang pesawat membentuk formasi, Trung mencari cara untuk memisahkan diri. Dia mengacungkan dua jarinya kepada komandan misi sebagai isyarat pesawatnya mengalami electric problem . Sesuai prosedur militer, dia hanya punya waktu 10 detik untuk memutuskan apakah membatalkan misi atau melanjutkan misi dengan menyusul menggunakan pesawat lain. Trung memutuskan membatalkan misi. Kesempatan itulah yang dia gunakan untuk mengarahkan pesawatnya ke Saigon. “Setelah lepas landas, saya terbang langsung ke Saigon. Hari itu, pesawat saya dimuati empat bom, dua untuk istana, dua untuk Kedutaan AS,” kata Trung, dikutip pbs.org . Begitu mencapai istana presiden, Trung langsung menjatuhkan dua bom pertama. Tanpa diduganya, bom itu meleset dan mendarat di taman samping istana. “Saya lalu mengambil keputusan dengan amat cepat. Dengan dua bom terakhir saya akan membom istana dan melupakan kedutaan,” sambung Trung. Dua bom terakhir itu jatuh tepat di atap istana. Trung langsung melarikan pesawatnya ke Pangkalan Udara Phuoc Binh di Provinsi Phuoc Long yang dikuasai Vietnam Utara. Selain dendamnya terbayarkan, pemboman Trung meruntuhkan moril pasukan Vietsel “Dia telah membawa perang ke pusat kota Saigon –dan memberi sinyal kepada para pemimpin Vietnam Selatan bahwa waktu mereka hampir habis. Ketika Trung mendaratkan F-5 Amerika di landasan terbang kecil di wilayah utara, ia disambut dengan sambutan pahlawan.” Dua puluh dua hari kemudian, Saigon direbut pasukan Vietnam Utara. Amerika pun dipaksa hengkang dalam malu.

  • Pierre Tendean dan Kelompok Berandalan

    APRIL 1965, Pierre Tendean kedatangan kawan lama bernama Soesono. Pierre dan Soesono adalah sejawat seangkatan semasa menempuh pendidikan taruna di Akademi Teknik AD (Atekad, kini masuk satuan Zeni). Keberadaan Soesono di Jakarta sehubungan dengan tugas menjemput truk yang akan digunakan peletonnya di Sei Mencirim, Medan. Sebagai bentuk keramahan, Pierre mengajak Soeseno makan bakmi di Jalan Sambas, Blok M, Jakarta Selatan. Setelah makan, perjalanan dilanjutkan ke paviliun dinas Pierre di Jalan Teuku Umar, Menteng yang juga kediaman Jenderal Abdul Haris Nasution. Pierre memang merupakan ajudan Nasution. Di tengah jalan, Soesono dikejutkan dengan temuan sepucuk pistol di lantai kabin belakang jip. Merasa heran dengan keberadaan senjata tersebut, Soesono menanyakannya kepada Pierre. Ditanya demikian,  Pierre hanya tertawa. “Kamu ikut aku ke Teuku Umar. Kita kerjai itu crossboy-crossboy  (anak-anak berandalan). Sudah aku tangkap-tangkapi,” ujar Pierre ditirukan Soeseno sebagaimana dikisahkan dalam biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi  suntingan Abie Besman. Crossboy  yang dimaksud Pierre adalah kelompok pemuda badung yang suka meresahkan disekitar permukiman Menteng. Pierre memang dikenal tegas dalam menindak para pengganggu tersebut. Pasalnya, lingkungan tempat tinggal Nasution kerap diusik oleh kehadiran crossboy  yang suka petantang-petenteng membawa senjata api. Sebagai ajudan yang bertugas menjaga Nasution sekeluarga, Pierre berkewajiban menertibkan mereka. Selain crossboy , menurut Masykuri dalam biografi  Pierre Tendean , banyak anak pembesar, termasuk anak Perwira Tinggi TNI yang suka kebut-kebutan di Jalan Teuku Umar. Pihak kepolisian pun seolah tidak berdaya entah karena kewalahan atau segan berurusan dengan pejabat. Tanpa sepengetahuan Nasution, Pierre berinisiatif menghentikan kebiasaan berandalan tanggung ini.        Meski lalu lalang dengan kecepatan tinggi, Pierre nekat saja menyetop pengendara ugal-ugalan yang ditemuinya. Diperintahkannya anak-anak muda tanggung itu turun dari mobil. Pierre lantas menahan dan menjemur mereka di pekarangan belakang rumah Nasution. Ada yang coba-coba menantang karena merasa anak tentara, malah dibentak balik oleh Pierre. Setelah itu, Pierre menelepon orang tua mereka masing-masing. Hanya anak-anak yang dijemput oleh orangtuanya yang akan dilepaskan. “Mereka diminta menulis surat pernyataan dan bapaknya dipanggil. Para bapak mereka yang notabene pejabat negara, juga sungkan terhadap Pierre karena semua tahu prestasi Pierre dan di kalangan tentara juga mengetahui Pierre dipilih oleh Pak Nas untuk menjadi ajudannya,” kenang Hamdan Mansjur, ajudan Nasution dari Korps Kepolisian dalam biografi resmi Pierre Tendean.    Yanti Nasution, putri sulung Nasution mengingat kejadian bagaimana Pierre menangkapi anak-anak pejabat yang kebut-kebutan di Jalan Teuku Umar. Yanti yang waktu itu berusia 13 tahun menuturkan betapa paniknya anak para pembesar yang ditahan dan dihukum oleh Pierre. Jelas Yanti ingat karena sebagian besar adalah kawan sekolahnya.    “Berkat usaha Lettu Pierre ini, kebiasaan kebut-kebutan menjadi berkurang dan banyak orang yang menyatakan terimakasih kepadanya,” tulis Masykuri.

  • Gerilyawan Kota Bernama Karna

    SEORANG lelaki tua berjalan tertatih-tatih di depan Masjid Agung Cianjur. Langkahnya terhenti jika ada bekas botol air mineral terserak di jalanan. Dipungutnya botol plastik tersebut lalu dimasukannya ke dalam kantong kresek besar yang selalu dibawanya ke mana-mana. “Daripada menjadi sampah, lebih baik saya jual. Lumayan hasilnya sekedar untuk jajan dan ngasih ke cucu,”ujarnya. Ahmad Sukarna (dipanggil Karna), nama lelaki tua itu. Usianya sekarang sudah melewati angka 100. Kendati sudah uzur namun terlihat masih kuat. Puasa Senin-Kamis dan meminum air putih merupakan rahasianya. Kendati demikian, penyakit pikun tetap menyerang dirinya. Tapi kalau ditanya soal era revolusi, mulutnya akan lancar bercerita. Bahkan akan terlihat sangat emosional.Ya, Karna adalah pejuang di era itu. Ketika proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dia bersama kawan-kawan seangkatannya di Bogor lantas bergabung dengan sebuah kelompok perjuangan bernama Lasykar Ciwaringin 33, pimpinan Harun Kabir. Itu nama seorang tokoh pejuang ternama di Jawa Barat saat itu. “Pak Harun itu sohibnya Bung Karno. Kalau ke Bogor Bung Karno pasti ke rumahnya Pak Harun di Jalan Ciwaringin No. 33,” ungkap Karna. Nama Harun Kabir sebagai kolega Bung Karno memang dibenarkan oleh Fatmawati Sukarno. Dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I , Fatmawati mengakui bahwa sebagai sahabat, Harun Kabir banyak berjasa bagi kehidupan keluarganya. Termasuk saat dia dan suaminya harus menitipkan Guntur Sukarnoputra (putra pertama mereka) kepada keluarga Harun Kabir, saat situasi Jakarta tak menentu pada akhir 1945.   Begitu juga Lasykar Ciwaringin 33. Nama itu terkonfirmasi dalam Bogor Masa Revolusi (1945-1950)  karya sejarawan Edy Sudrajat. Disebutkan di buku itu bahwa Lasykar Ciwaringin 33 merupakan kelompok milisi rakyat yang eksis di Bogor pasca proklamasi. “Pada 1946, Lasykar Ciwaringin 33 dilebur dalam Divisi Siliwangi,” ungkap Hetty Kabir, putri ke-2 dari Harun Kabir. Karna masih ingat wajah Bung Karno, ketika kali pertama melihatnya di Jalan Ciwaringin No.33 yang menjadi markas pasukannya. Dia juga masih  terkenang wajah Mayor Harun Kabir dan Letnan Soeroso, dua komandannya yang gugur ditembak serdadu Belanda. Bicara tentang orang-orang itu matanya akan bersinar penuh semangat, walau kadang terisak diiringi panjatan doa buat mereka. “Orang-orang itu adalah pejuang besar, saya selalu hormat kepada mereka,” ujarnya. Tapi tak ada orang yang lebih sering dikenang Karna selain Toeti. Tanyalah nama Toeti kepada Karna, orang tua itu akan pasti terdiam lama. Air matanya meleleh dan terlihat wajahnya sangat berduka. Siapakah Toeti yang membuat hati Karna begitu terluka? Toeti sejatinya adalah sahabat karib Karna di Lasykar Ciwaringin 33. Kedua pejuang itu dikenal sebagai para pencari senjata yang sangat piawai. Seminggu mereka bisa mendapatkan 4-5 senjata api. Bahkan mereka berdua pernah mendapatkan 10 senjata api dari beberapa tempat di Bogor. Bagaimana caranya? Untuk mendapatkan senjata-senjata itu, terlebih dahulu Karna dan Toeti mempelajari watak para serdadu Belanda nyaris setiap hari. Setelah lama melakukan pengamatan lapangan, mereka berkesimpulan para serdadu yang jauh dari rumah itu sangat lemah jika dihadapkan kepada perempuan. "Makanya dengan menggunakan Toeti yang berwajah rupawan sebagai "umpan", kami berdua beraksi " tutur Karna. Modus aksi mereka hampir selalu sama: Toeti pura-pura mandi di sungai atau kolam yang terlihat dari jalan besar hingga patroli-patroli musuh kerap tergoda untuk turun. Saat situasi seperti itulah, Karna yg sudah siap siap, dari tempat persembunyiannya langsung bergerak dan menyambar senjata-senjata yg ditinggal begitu saja dalam jip. Dia lantas menembakan salah satunya untuk "memancing" prajurit-prajurit musuh itu kembali ke atas sekaligus menyelamatkan Toeti. Selanjutnya, mereka berdua langsung kabur. "Kami memang menghindar bentrok langsung, karena tugas kami memang bukan untuk bertempur tapi khusus mencari senjata dan pelurunya," kenang lelaki yang saat muda jago bermain sepakbola itu. Satu hari, mereka merencanakan operasi di tepi Sungai Ciliwung dekat Kebun Raya Bogor. Kala menjalankannya, aksi itu awalnya seolah akan sukses. Mereka berhasil menipu satu regu serdadu Belanda.   Namun tanpa disadari, mereka ternyata telah masuk perangkap musuh dan terkepung. Tak ada jalan lain. Untuk meloloskan diri, mereka berdua harus terjun ke Sungai Ciliwung yg tengah banjir dan airnya berwarna coklat. Mereka pun hanyut dipermainkan kecamuknya air. Karna yg sempat meraih akar pohon selamat. Namun tidak demikian dengan Toeti. Ia terseret arus bah dan tak bisa diselamatkan lagi. "Saya masih melihat tangannya menggapai, mungkin minta tolong. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa bersalah tak bisa menyelamatkannya," ujar Karna seraya terisak. Karna berhasil pulang ke markas. Namun jiwanya terguncang. Karena taktik aksinya sudah tercium, komandannya kemudian mengungsikan Karna ke wilayah Cianjur. Malang tak dapat dicegah untung tak dapat diraih, saat perjalanan ke Cianjur mereka terjebak suatu pertempuran seru di wilayah Puncak. Kaki Karna pun sempat terkena pecahan peluru mortir. Kendati kakinya kemudian menjadi agak pincang, tidak menjadikan Karna lantas berhenti menjadi gerilyawan. Dia tetap aktif sebagai pejuang di Cianjur. Usianya panjang dan bisa merasakan alam kemerdekaan. Namun bayangan sahabat seperjuangannya, Toeti, tetap lekat di benaknya hingga kini. Tak mungkin pergi, walau penyakit pikun sudah menyerang di usia senja sang gerilyawan tua itu.

  • Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi

    Presiden Joko Widodo memilih menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember 2019 di SMKN 57 Jakarta. Dalam sesi tanya jawab, seorang siswa bertanya mengapa negara tidak berani menghukum mati koruptor? Jokowi menjawab bahwa kalau masyarakat berkehendak, hukuman mati bagi koruptor dapat diakomodasi dalam revisi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebenarnya hukuman mati sudah ada dalam UU Tipikor, yaitu Pasal 2 ayat (2) bahwa pidana mati dapat dijatuhkan bila korupsinya dalam “keadaan tertentu.” Dalam penjelasannya diterangkan bahwa maksud “keadaan tertentu” adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Selama ini memang belum ada koruptor yang dihukum mati. Terlebih hukuman mati menjadi perdebatan terutama di kalangan pegiat hak asasi manusia. Dalam hal korupsi, mirisnya, pemerintah malah memberikan grasi (keringanan hukuman) kepada para koruptor. Dalam sejarah, hukuman mati terhadap koruptor pernah diberlakukan oleh Marsekal Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat singkat (1808-1811). Sejarawan Onghokham menyebut Daendels sebagai penguasa Belanda pertama (saat itu Belanda di bawah Prancis) yang membawa konsep negara modern ke Hindia Belanda. Negara modern ini mengenal batas-batas daerah, wilayah, hierarki kepegawaian, serta tindakan antikorupsi dan penyelewengan lain yang menjadi kelaziman pada zaman VOC. “Korupsi di antara pejabat Belanda di koloni menjadi sasaran Daendels, yang lalu terkenal sebagai Tuan Besar Guntur,” tulis Onghokham dalam buku kumpulan tulisannya, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang . Dalam makalahnya yang disampaikan di Kongres Nasional Sejarah 1996, Onghokham menjelaskan bahwa Daendels memiliki obsesi untuk menghilangkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia melihat korupsi sebagai konflik kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Baginya korupsi merusak hierarki para pejabat Hindia Belanda dan efisiensi pemerintahan. Misalnya, karena korupsi gubernur Belanda di Jawa Barat dan gubernur pantai utara Jawa memiliki kekuasaan lebih besar dari gubernur jenderal di Batavia. Para pejabat rendahan yang korup dan menguasai penghasilan haram juga memiliki kekuasaan yang nyata dan lebih besar daripada atasannya yang juga mereka suap. Djoko Marihandono, pengajar Program Studi Prancis di Universitas Indonesia, menerangkan bahwa Daendels menerapkan hukuman yang berat kepada para koruptor. Jika terbukti di pengadilan, mereka akan dihukum membayar denda, dicopot dari jabatannya, bahkan dihukum mati. Selain itu, beberapa pejabat yang melakukan korupsi dihukum dengan cara dipermalukan di depan umum dengan cara diikat dan dipertontonkan kepada masyarakat. Tujuannya agar menjadi pembelajaran. Sepertinya boleh juga hukuman dipermalukan diterapkan sekarang. Tapi kan, koruptor sudah tak punya malu. Buktinya ketika ditangkap KPK masih bisa tersenyum dan merasa sedang mendapat ujian dari Tuhan. Menurut Djoko, hukuman mati akan diberlakukan kepada koruptor bila terbukti merugikan negara sebesar 3.000 ringgit ke atas atau setara dengan gaji satu bulan ketua Raad van Indie (Dewan Hindia). “Hukuman mati dijalankan dengan cara ditembak sampai mati. Hukuman ini dijalankan oleh Daendels,” tulis Djoko dalam “Penerapan Gagasan Revolusi Prancis Awal Abad XIX: Pemberantasan Korupsi di Hindia Timur,” termuat di Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya. Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal, apabila seseorang bersalah dan pengadilan menghukum terdakwa dengan hukuman mati, maka putusan itu harus memperoleh persetujuan dari Gubernur Jenderal. Nahasnya, hukuman mati itu justru menimpa Kolonel JPF Filz,perwira yang diandalkan Daendels. Itu pun bukan karena korupsi secara langsung, melainkan karena dia dianggap bertanggung jawab atas kerugian negara. “Filz adalah perwira yang dipercaya oleh Daendels untuk mempertahankan Maluku,” tulis Djoko Marihandono dalam Sejarah Benteng Inggris di Indonesia . Kolonel Filz dari Prancis reputasinya tak diragukan. Dia memimpin pasukan cukup besar, mencapai 1.500 orang gabungan serdadu Belanda dan milisi Jawa dan Madura, di benteng Victoria. Namun, pada 16 Februari 1810, sekitar 600 tentara Inggris dan India di bawah Mayor Henry Court menyerang benteng Victoria. Pasukan ini bagian dari armada yang dipimpin Laksamana Madya William O’Bryen Drury yang berlayar dari Bombay, India. Kolonel Filz tidak memberikan perlawanan yang berarti. Dia malah menarik pasukannya dari benteng Victoria ke Teluk Laetitia di Bukit Batu Gantung, dan membangun pertahanan di sana. “Akan tetapi pertahanan ini tidak berlangsung lama dan segera dipatahkan. Akhirnya Kolonel F il z menyerahkan seluruh Pulau Ambon kepada Court,” tulis Djoko. Penyerahan ini diikuti oleh sejumlah pulau di sekitarnya pada 19 Februari 1810. Pada Mei 1810, Daendels menerima berita jatuhnya Ambon dan pulau-pulau sekitarnya ke tangan Inggris. Dia terpukul karena Ambon merupakan pangkalan terkuat di wilayah timur dengan benteng-bentengnya, seperti benteng Victoria yang dipimpin oleh perwira andalannya, Kolonel Filz. Setelah dilepaskan Inggris,Filz kembali ke Batavia. Daendels menyeretnyake Mahkamah Militer yang menjatuhkan hukuman mati. Menurut laporan Inggris, Filz dihukum mati karena tidak mampu mempertahankan Maluku. Namun, menurut versi Belanda, Filz dihukum mati karena mengorbankan semua kekayaan negara di sana tanpa bisa menyelamatkannya. “Tekanan pada kekayaan negara ini lebih layak dipercaya, mengingat Cranssen (gubernur Belanda di Ambon) yang menyerah kepada Inggris tetapi mampu mengirim rempah-rempah ke Jawa dibebaskan dan bahkan menerima penghargaan. Jadi, prioritas Daendelsadalah mengorbankan pertahanan luar Jawa,” tulis Djoko. Mahkamah Militer mendakwa F il z telah merugikan negara karena tidak dapat menyelamatkan rempah-rempah milik negara dari serangan Inggris. Mahkamah menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena merugikan negara lebih dari 3.000 ringgit. Dia dihukum mati dengan cara ditembak pada 10 Juni 1810.

  • Tetsu Nakamura Sang Samurai Kemanusiaan

    LAIKNYA seorang samurai, Tetsu Nakamura tetap menyongsong permulaan hari dengan tegar betapapun di sekitarnya jamak ancaman. Rabu, 4 Desember 2019 itu ia teguh untuk berperjalanan jauh dari Jalalabad, Provinsi Nangarhar, Afghanistan, menuju lokasi proyek kemanusiaan yang tengah dijalaninya, sekira 25 kilometer dari Jalalabad. Tak dinyana, di tengah jalan rombongan kendaraannya diserang kelompok bersenjata yang hingga kini belum jelas dari kelompok mana. Yang pasti, serangan itu bikin hari Rabu itu menjadi kelabu bagi keluarga Nakamura maupun segenap rakyat Afghanistan yang kehidupannya tertatih-tatih dikoyak konflik bersenjata. Selain Nakamura, beberapa staf dan anggota polisi yang mengawal rombongan juga dilaporkan tewas. Nakamura masih hidup saat dibawa ke rumahsakit di Nangarhar. Kondisinya kritisnya membuat Nakamura mesti dirujuk ke fasilitas kesehatan militer Amerika di Bagram. Namun dalam perjalanan ke landasan udara untuk bisa diterbangkan ke Bagram, Nakamura mengembuskan nafas terakhir di usia 73 tahun. Segenap rakyat Afghanistan berduka. Istri dan putri Nakamura menjemput jasadnya ke Kabul pada Sabtu, 7 Desember 2019. Sebelum dipulangkan, jasad Nakamura diberi penghormatan militer oleh pemerintah Afghanistan. Upacara pelepasan “sang samurai” ke negerinya itu dipimpin langsung Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Dr. Tetsu Nakamura di Afghanistan. ( fukuoka-prize.org ). Paman Murad di Jalan Kemanusiaan Tak banyak cerita dari masa kecil Nakamura, yang lahir di Fukuoka pada 15 September 1946. Selepas pendidikan dasar dan menengah, ia melanjutkan pendidikan tingginya ke jurusan medis di Universitas Kyushu hingga lulus pada 1973.  Keinginannya untuk mengabdikan diri ke wilayah-wilayah terpencil di luar Jepang terinspirasi kisah dokter Iwamura Noboru. Menurut Ryuhei Hatsuse, guru besar hukum dan hubungan internasional Universitas Tokyo,  dalam “Nakamura Tetsu and the Peshawar-kai” yang dimuat di Pan-Asianism: A Documentary History, 1920-Present , dokter Iwamura mengabdikan dirinya bertahun-tahun menjadi relawan kemanusiaan di Nepal dengan sokongan Japan Overseas Christian Medical Cooperative Service (JOCS). “Inspirasi itu yang membuat Nakamura juga bergabung dengan JOCS. Pada Mei 1984 dia dikirim ke Rumahsakit Misi JOCS di Peshawar di utara Pakistan, di mana dia memimpin unit perawatan penyakit kusta. Nakamura juga didukung LSM Peshawar-kai yang berbasis di Fukuoka yang didirikan beberapa temannya pada September 1983, saat Nakamura tengah menyiapkan diri berangkat ke Pakistan,” ungkap Hatsuse. Perang di Afghanistan membuat Nakamura juga menangani para pengungsi Afghanistan yang melarikan diri ke Peshawar. Untuk mengakomodasi aktivitasnya, Peshawar-kai mendirikan Japan-Afghanistan Medical Service (JAMS) dan menunjuk Nakamura sebagai pemimpin lapangannya. Namun, kegiatan JAMS tak hanya dilakukan di Peshawar namun juga lintas perbatasan. “Hal itu melanggar aturan JOCS. Alhasil Nakamura terpaksa mengundurkan diri dari JOCS pada 1990,” sambung Hatsuse. Kanal irigasi yang dibuat Tetsu Nakamura, baik sebelum dan sesudah rampungnya kanal. ( peshawar-pms.com ). Setahun berselang, Nakamura bersama stafnya di JAMS dan Peshawar-kai mendirikan tiga klinik di Provinsi Nangarhar, Afghanistan dengan pusatnya di Distrik Khewa. Dari pengalamannya, sejumlah penyakit yang ditanganinya ternyata bersumber dari minimnya air bersih. Fakta inilah yang membuat Nakamura mulai mencanangkan proyek kanal irigasi di Nangarhar menjelang akhir 1990-an. Ia gunakan metode tradisional Jepang dengan beberapa modifikasi, mengingat berbedanya kondisi alam di Jepang dan tanah yang menghampar luas namun tandus di timur Afghanistan itu. “Satu kanal irigasi akan lebih bermanfaat ketimbang 100 dokter. Sebuah rumahsakit merawat pasien satu per satu, namun (kanal) ini membantu segenap desa. Saya senang melihat sebuah desa bisa hidup kembali,” ujar Nakamura saat diwawancara NHK World , 11 Februari 2017. Namun rencana itu terhambat situasi politik internasional akibat Tragedi “9/11” di New York, Amerika Serikat (AS), 11 September 2001. Kelompok Al-Qaeda dan Taliban di Afghanstan dan perbatasan Pakistan jadi sasaran pembalasan AS. Padahal hingga Oktober 2001 saat Amerika mulai menghantam Afghanistan, Peshawar-kai yang dibantu warga setempat sudah berhasil menggali 600 sumur air di Kuz Kunar. Nakamura memilih bertahan di Nangarhar meski harus bekerja dalam ancaman bahaya. Ia dan sejumlah stafnya bahkan nyaris jadi sasaran serangan helikopter AS saat membangun kanal itu. “Dua heli Amerika pada 2 November 2003 menembaki warga sipil, termasuk di dalamnya para relawan dan pekerja konstruksi Jepang yang sedang menggali kanal irigasi yang dikira basis Taliban. Beruntung tidak ada korban. Itu membuat motivasinya terhadap solidaritas terhadap sesama orang Asia bertambah, terutama mereka yang teraniaya dan rasa marahnya terbangun akibat dominasi dan kesewenangan pihak Barat (Amerika cs.),” sambung Hatsuse. Sampai 2003, ia berhasil membangun Kanal Marwarid sepanjang 25,5 kilometer yang sumber airnya dialiri dari Sungai Kunar. Kanal itu berkah bagi warga setempat. Sekira 16 ribu hektar lahan perkebunan untuk menopang kehidupan 600 ribu warga di Gurun Gamberi, Nangarhar diairi oleh kanal itu. Nakamura pun kian dipuja hingga mendapat panggilan “ Kaka Murad” yang artinya Paman Murad. “Murad” merupakan pelafalan pendek Nakamura dari lidah orang setempat. Namun keberhasilan Nakamura itu tak serta-merta mendatangkan penghargaan dari pemerintah negerinya mengingat Nakamura mengecam dukungan Jepang terhadap agresi Amerika di Afghanistan. Justru pemerintah Filipina yang pertamakali mengakui dedikasinya dengan anugerah Ramon Magsaysay Award, penghargaan kemanusiaan, pada November 2003. “Saya merasa beruntung bisa memperlihatkan dan berbicara tentang keadaan yang sebenarnya terkait Afghanistan yang sepertinya, banyak orang dibuat bingung akibat perang terhadap terorisme. Pengalaman saya di sana membantu saya melihat lebih jernih. Bagi saya ini waktunya merenungkan dan mencari apa yang sebenarnya paling dibutuhkan dan tidak dibutuhkan umat manusia,” ujar Nakamura di podium Ramon Magsaysay Center, Manila, saat menerima penghargaan itu, dikutip Jurnal The Handstand edisi Desember 2003. Sayangnya situasi tahun 2007 menjadi lebih gawat bagi Nakamura. Para pelarian Taliban ke Peshawar membuat kacau aktivitas Peshawar-kai yang selalu mengirim bantuan yang diperlukan klinik-klinik mereka di Afghanistan. Pemerintah Pakistan lalu memerintahkan Peshawar-kai menutup semua kliniknya. Dr. Tetsu Nakamura mendedikasikan hidupnya pada kemanusiaan di Pakistan dan Afghanistan hingga akhir hayatnya. ( peshawar-pms.com / fukuoka-prize.org ). Penculikan dan pembunuhan Ito Kazuya, kontraktor pertanian asal Jepang, oleh Taliban pada Agustus 2008 membuat para relawan Jepang kian terancam. Mereka terpaksa dievakuasi dari Afghanistan dan Pakistan, kecuali Nakamura. Bersama beberapa staf Peshawar-kai yang tersisa dan bantuan warga desa, Nakamura tetap menyelesaikan kanal irigasi lain yang mancapai 24,3 kilometer. Kanal yang rampung pada April 2009 itu mengairi 14 ribu hektar lahan pertanian dan menghidupi 100 ribu warga di sekitarnya. Hingga 2019, nyaris setiap saat nyawa Nakamura terancam. Sebulan belakangan, ia dan beberapa staf Peshawar-kai dikabarkan jadi target pembunuhan. Peringatan kepadanya sudah berulangkali disampaikan otoritas Afghanistan, bahkan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang. Namun, Nakamura tak sejengkal pun mundur dan bersikukuh menyelesaikan proyek kanal irigasi yang tengah digarapnya. “Dengan senang hati saya mati di sini,” cetus Nakamura, sebagaimana yang dikenang jurnalis Nikkei Asian Review dalam obituarinya, 5 Desember 2019. Maut akhirnya menjemput Nakamura di tanah antah-berantah yang dipilihnya untuk mendedikasikan hidup guna membangun kehidupan ratusan ribu warga setempat. “Dia (Nakamura) sudah tahu bahwa situasi dirinya akan sangat membahayakan saat dia berperjalanan. Dia tak pernah berperjalanan jauh tanpa pengawalan keamanan dan selalu mengubah rutenya setiap waktu,” ungkap Direktur Humas Peshawar-kai Mitsuji Fukumoto, dikutip Mainichi , Sabtu 7 Desember 2019. Sayonara , dokter Tetsu Nakamura!

  • Bailout Garuda Indonesia dari Bangkrut

    Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng, mendapat tugas berat dari Presiden Soeharto. Dia diminta menyelamatkan Garuda Indonesia yang akan dibangkrutkan oleh para kreditur asing. Dengan persetujuan Soeharto, dia pun mengganti seluruh direksi. Tanri Abeng meminta Robby Djohan untuk menjadi direktur utama Garuda. Dia yakin sahabatnya itu dapat menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan. Namun, guru para bankir itu malah menolak. “Dia tak butuh kerjaan karena dia sudah kaya dan ingin pensiun,” kata Tanri Abeng dalam No Regrets . Tanri Abeng membujuknya agar mau berbuat untuk negara. Akhirnya, Robby bersedia dengan syarat diberi kewenangan menentukan sendiri orang-orang yang akan membantunya dalam jajaran direksi. Salah satunya Emirsyah Satar. Namun, Emir menolak karena merasa sudah cukup dengan apa yang didapatnya sebagai CEO Niaga Finance Co. Ltd. di Hongkong. Robby menyadari Garuda tak bisa membayar mahal. “Saat itu saja, mungkin Garuda hanya bisa menggaji dia sekitar Rp80 juta, sementara gaji dia di Hongkong bisa mencapai Rp500 juta per bulan,” kata Robby dalam swa.co.id . “Dengan teknik yang sama yang dilakukan Tanri ke saya, saya yakinkan Emir agar mau berkontribusi buat negara.” Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia. ( iluni-feb-ui.com ). Akhirnya, Emir menerima tawaran sebagai direktur keuangan Garuda. Dia mendampingi Robby dalam negosiasi utang Garuda dengan kreditur asing. Selain negosiasi utang, Robby juga melakukan restrukturisasi Garuda. “Robby butuh uang Rp800 miliar untuk rasionalisasi karyawan. Dia berjanji selama satu tahun uang akan kembali. Ternyata, dalam delapan bulan saja utangnya telah dibayar,” kata Tanri Abeng. Robby menjadi dirut Garuda tak sampai setahun (Februari-Oktober 1998). Namun, dia berhasil menyelamatkan Garuda dari kebangkrutan, untuk sementara. Tanri Abeng memintanya untuk memimpin proses merger empat bank bermasalah menjadi Bank Mandiri. Posisinya sebagai dirut Garuda digantikan Abdul Gani. Emir tetap pada posisinya sebagai direktur keuangan. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, dalam kompas.com , antara tahun 1995-1998 Garuda rugi sekitar Rp5 triliun. Akan tetapi setelah diperbaiki Robby Djohan, pada 1999 bisa untung sekitar Rp0,4 triliun. Namun, Garuda tetap terjerat oleh utangnya. Sehingga meminta pemerintah turun tangan. Pada 11 April 2000, ketika Kwik Kian Gie, menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, memimpin delegasi Indonesia ke perundingan di Paris Club tentang penjadwalan ulang utang luar negeri multilateral, di lobi hotel sejak pagi, dia melihat seorang Indonesia yang masih muda. Siangnya, dia tanyakan kepada stafnya, apakah orang itu wartawan? “Ternyata dia adalah Emirsyah Satar yang ketika itu menjadi direktur keuangan Garuda Indonesia,” kata Kwik Kian Gie dalam Menelusuri Zaman, Memoar dan Catatan Kritis . Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1999-2000). ( kwikkiangie.com ). Emir terbang ke Paris untuk menemui Kwik Kian Gie karena urusan yang mendesak. Kwik Kian Gie menerimanya dan ternyata soal utang Garuda dalam valuta asing yang sangat besar dan tidak mampu dibayar tepat pada waktunya. “Sudah default (gagal bayar), tetapi masih diberi waktu untuk membayarnya. Kalau tidak, akan diumumkan ke seluruh dunia bahwa Garuda Indonesia bangkrut,” kata Kwik Kian Gie. Kwik Kian Gie mengatakan kepada Emir bahwa sepulangnya ke Jakarta pemerintah akan mem- bailout (dana talangan) Garuda. Kwik Kian Gie dan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo sepakat bahwa berapa pun, Garuda tidak bisa dibangkrutkan karena Garuda adalah flag carrier Indonesia. Garuda adalah lambang negara. Sekembalinya ke Indonesia, Kwik Kian Gie melapor kepada Presiden Abdurrahman Wahid tentang hasil Paris Club sekaligus tentang kondisi keuangan Garuda. Gus Dur memanggil semua direksi Garuda, antara lain tentunya Direktur Utama Abdul Gani dan Direktur Keuangan Emirsyah Satar. Bambang Sudibyo juga hadir. Gus Dur meminta Kwik Kian Gie berbicara atas nama pemerintah. Dia mengatakan bahwa Garuda adalah flag carrier sehingga akan segera di- bailout oleh pemerintah. Menteri keuangan tidak akan melakukan audit terlebih dahulu karena akan makan waktu sangat lama. Audit bisa belakangan. “Namun, ada satu syarat mutlak yang harus dipenuhi, yaitu seluruh direksi harus janji bahwa setelah bailout ini mutlak tidak akan ada korupsi lagi,” kata Kwik Kian Gie. Dengan bailout , Garuda selamat dari bangkrut. Namun, setelah Kwik Kian Gie menjadi kepala Bappenas (2001-2004) dan setelahnya, Garuda tetap terjerumus dalam utang-utang yang menumpuk. “ Dugaan saya besar kemungkinannya dikorup lagi,” kata Kwik Kian Gie. “Ketika menulis (buku) ini saya membaca bahwa mantan Dirut Emirsyah Satar terkena dakwaan korupsi oleh KPK. Menyedihkan!” Setelah lima tahun menjadi direktur keuangan Garuda (1998-2003), Emir pindah ke Bank Danamon sebagai wakil dirut. Dia kembali ke Garuda pada 2005 dan menjadi salah satu dirut Garuda terlama, hampir sepuluh tahun. Sebelum masa jabatannya habis, Emir mengundurkan diri pada 2014. Tiga tahun kemudian, pada 16 Januari 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus suap dan pencucian uang dalam pembelian pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC. Dari hasil penyidikan, KPK menemukan aliran uang mencapai Rp100 miliar ke puluhan rekening. Penanganan perkara itu membutuhkan waktu cukup lama, sekitar dua tahun sebelas bulan. Akhirnya, pada 4 Desember 2019, KPK menyerahkan dua orang tersangka, Emirsyah Satar dan pengusaha Soetikno Soetardjo, ke penuntut umum dan segera akan disidang.

  • Sultan Jailolo Mencari Leluhur Hingga Cianjur

    Jarum jam menunjuk angka 10.30. Sinar matahari cukup terik. Rombongan keluarga Sultan Jailolo Ahmad Sjah dari Maluku Utara memasuki Kampung Salegedang, Cianjur, Jawa Barat. Jumlah mereka sepuluh orang. Rombongan itu menuju makam leluhur mereka, Sultan Hajuddin atau Sultan Jailolo ketiga. Mereka sempat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari Halmahera. Tapi kelelahan itu sirna begitu mereka berdiri tepat di depan makam Sultan Hajuddin. Makam berukuran 1,5 x 2 meter persegi itu terletak di belakang Taman Makam Pahlawan Cianjur. Usianya sudah satu abad lebih. Makam tersusun dari beberapa batu kali. Di sesela batu kali, rumput liar tumbuh subur. Seolah menjadi pelindung makam dari panasnya sinar matahari. Tugu di kota Cianjur, Jawa Barat. (Fernando Randy/Historia). Rombongan Sultan Ahmad Sjah saat tiba di lokasi pemakaman di kota Cianjur. (Fernando Randy/Historia). Sultan Hajuddin diasingkan ke Cianjur oleh pemerintah kolonial pada 1832. Sebab sikap keluarga Sultan Jailolo tak sejalan lagi dengan politik pemerintah kolonial. Sultan Hajuddin menghabiskan hari-hari terakhirnya di Cianjur. Selama ratusan tahun, keluarganya tak mengetahui letak pasti makamnya. Sultan Ahmad Sjah dan keluarga saat berdoa di makam leluhur mereka. (Fernando Randy/Historia). Surat-surat yang dibacakan sebagai doa di makam leluhur mereka. (Fernando Randy/Historia). Salah satu rombongan saat berdoa di makam leluhur mereka. (Fernando Randy/Historia). Hari itu, Jumat 25 Oktober 2019, akhirnya keluarga Sultan Hajuddin berhasil menemukan makam Sultan Hajuddin setelah membaca artikel historia.id . Rombongan kemudian menengadahkan tangan untuk berdoa. Beberapa warga dan sesepuh kota Cianjur yang menemani mereka, juga ikut berdoa. Suasana haru dan hening sesaat. Makam milik Sultan Hajuddin di Cianjur. (Fernando Randy/Historia). Sultan Ahmad Sjah mengaku lega bisa berkunjung ke makam leluhurnya. “Selama ini, ayah kami tidak pernah memberi tahu kami di mana makam leluhur kami. Jadi ketika sekarang akhirnya kami bisa menemukannya lalu ziarah sekaligus berdoa untuk beliau, rasanya plong sekali.”  Khareudin, Perdana Menteri Jailolo, mengatakan sebenarnya mereka sudah tahu kisah pengasingan Sultan Jailolo ketiga sejak 2006. Tapi kisahnya tak lengkap. “Setahu kami Sultan itu diasingkan hanya sampai Batavia. Tapi ternyata sampai di Cianjur, dan sekarang kami bisa menelusurinya hingga ketemu itu rasanya luar biasa.” Ekspresi Sultan Ahmad Sjah saat berdoa di makam leluhurnya. (Fernando Randy/Historia). Sementara para warga sekitar tidak pernah tahu secara pasti siapa yang bersemayam di makam itu. “Sebelumnya orang-orang di sini hanya tahu bahwa itu makam orang besar dari seberang, dan mereka mengenalnya hanya sebatas itu. Makam Haji Lolo, bukan Sultan Jailolo,” kata Agus Thosin (65 tahun), sesepuh Salegedang. Sultan Ahmad Sjah dan Agus Thosin berbincang mengenai penemuan leluhur Sultan Jailolo di Cianjur. (Fernando Randy/Historia). Saat akan meninggalkan makam, Sultan Ahmad Sjah menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada warga. “Saya ucapkan terima kasih kepada semua warga Cianjur yang sudah membantu saya dan keluarga menemukan makam leluhur kami. Insya Allah kami akan sering ke sini untuk menjaga dan merawat makam keluarga kami ini.” Sultan Ahmad Sjah dan makam leluhurnya. (Fernando Randy/Historia).

bottom of page