Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Historia Raih LINE Indonesia Awards
MEDIA berbasis sejarah, Historia.id, mendulang penghargaan LINE Indonesia Awards pada malam penganugerahan, Selasa (17/12/2019). Bersama Kompas TV , Historia.id memperoleh award itu sebagai Most Innovative Partner (Mitra Paling Inovatif) di platform pesan instan cum penyedia ragam informasi daring terhangat asal Jepang itu. Historia . id dan KompasTV mengalahkan I DN Times, Opini.id, Tirto.id, dan Billboard Indonesia yang juga masuk nominasi kategori yang sama. Ini jadi kali pertama LINE menggelar ajang apresiasi yang tidak hanya untuk media, namun juga sejumlah publik figur. Para pemenangnya ditentukan melalui voting pengguna LINE. Para pemenang di kategori lain, yakni Reza Rahadian (Most Favorite Actor), Tara Basro (Most Favorite Actress), Tulus (Most Favorite Male Musician), Agnez Mo alias Agnes Monica (Most Favorite Female Musician), HiVi (Most Favorite Music Group), Pretty Boys (Most Favorite Movie), dan Enzy Storia (Most Favorite Influencer). Historia sendiri lahir pada 2010 dalam format daring sebagai media sejarah populer pertama di Indonesia. Dua tahun berselang, Historia mengeluarkan format cetak dalam bentuk majalah. Sesuai dengan misinya, konten-konten yang dihadirkan Historia berupa ragam informasi sejarah yang edukatif, aktual dan relevan dengan era kekinian baik lewat tulisan, infografis, maupun video. “ Historia telah berhasil menyediakan konten unik dan edukatif untuk para generasi muda. Juga mengakrabkan pembaca dengan kejadian penting di masa lampau dan membungkusnya dengan visual masa kini, sehingga menarik untuk disimak,” ujar Content BizDev Lead LINE Indonesia Febriamy Hutapea. Anugerah mitra paling inovatif dalam LINE Indonesia Awards 2019 yang diterima perwakilan Historia, Yusti Maredzki (Foto: Yusti Maredzki/HISTORIA) Hal itu senada dengan misi yang diusung Bonnie Triyana, pemred Historia , ketika mendirikan Historia . Historia berupaya mendobrak penulisan sejarah yang identik dengan hal kuno, tua, berat, dan ketinggalan zaman dengan cara menyajikan tulisan yang ringan dan menarik tanpa harus kehilangan esensi utamanya. “Harapannya, anak muda akan senang menikmati konten dari kami karena selain terhibur, juga bisa menemukan informasi masa lalu yang turut membentuk pengalaman hidup mereka di masa kini,” cetus Bonnie. Selain menyajikan konten-konten sejarah secara populer, Historia kerap menggelar pameran yang bukan hanya informatif namun juga inovatif. Salah satu suguhan inovatif yang menurut LINE direken sangat informatif adalah pameran Asal Usul Orang Indonesia , yang dihelat Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI belum lama ini. Proyek pertama di Indonesia yang menggunakan tes DNA itu dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Molekuler Eijkman. Tujuannya, untuk menyingkap secara ilmiah penelusuran nenek moyang orang Indonesia demi memberi pencerahan asal-usul, relasi dengan pihak luar, dan persilangan budaya yang membentuk manusia Indonesia. Tes DNA dilakukan dengan mengambil 16 relawan mulai dari masyarakat biasa hingga figur publik. Di antaranya, Najwa Shihab, Ariel ‘Noah’ , Grace Natalie , Riri Riza , Mira Lesmana , dan Ayu Utami . “Historia mengemas pemberitaan DNA/genetika yang sempat viral beberapa waktu lalu. Metode yang digunakan memberikan pesan unik, membuka wawasan pembaca, dan terpenting membuat bahasan tersebut relevan dengan pembaca LINE TODAY. Secara tak langsung Historia memberi edukasi positif pada generasi muda, untuk sadar akan pentingnya sejarah dan mengenal Indonesia lebih dalam lagi,” sambung Febri. Proyek itu viral lantaran hasilnya dipaparkan melalui pameran yang dibuka pada 15 Oktober 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Hasil tes DNA itu menunjukkan bahwa tidak ada yang disebut DNA asli pribumi Indonesia, lantaran manusia Indonesia eksis dari percampuran beragam manusia berbeda latar belakang yang datang dalam gelombang-gelombang migrasi yang awalnya berangkat dari Benua Afrika. Dengan kata lain, manusia Indonesia adalah pendatang. Oleh karena itu konsep pribumi-non pribumi tak relevan sama sekali. “Kami bungah juga, bersyukur ikhtiar kecil ini mendapatkan apresiasi. Semua kami anggap sebagai dorongan semangat untuk terus berkarya, membawa pesan dari masa lalu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik karena historia magistra vitae , sejarah adalah guru kehidupan,” tandas Bonnie.
- Sejarah Klub Malam di Indonesia
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta memberikan penghargaan kepada diskotek Colosseum pada malam Anugerah Adikarya Wisata 2019 di Jakarta, 6 Desember 2019. Pemberian penghargaan itu diwakilkan oleh deputi gubernur DKI Jakata. Adikarya Wisata adalah penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta untuk penggiat pariwisata di Jakarta.
- Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Sejauh ini yang dianggap bukti tertua Islamisasi terdapat di Pulau Jawa, yaitu nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, dari tahun 475 H (1082 M). Namun, peneliti dari Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, menyebut nisan itu digunakan sebagai jangkar kapal. "Anda tak bisa pakai ini sebagai bukti masuknya Islam di Jawa. Nisan ini dipakai sebagai anchor (jangkar, red . ). Ini hipotesis, intinya ini tak ada hubungannya dengan sejarah Islamisasi Indonesia," kata Daniel Perret, arkeolog dari École française d’Extrême-Orient (EFEO), seusai diskusi di Institut Français d’Indonésie (IFI), Jakarta, awal November 2019 . Demikian pula tak ada bukti arkeologis yang mendukung pendapat Islam telah masuk di Barus, Sumatra Utara, sejak abad ke-7. Dari hasil penggalian di Situs Lobu Tua, wilayah itu baru digunakan pada pertengahan abad ke-9 hingga akhir abad ke-11. "Kami yakin muslim sudah ada di sana. Pedagang muslim ada di sana. Tapi tak ada bukti sudah ada Islamisasi," kata Perret. Lobu Tua merupakan tempat perdagangan yang dibuka oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Mereka kemudian diikuti para pedagang dari Timur Tengah. Karenanya lokasi itu menjadi tempat persinggahan dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Timur Tengah, India, Sri Lanka, dan Nusantara. Di sana juga tak ada bukti okupasi yang permanen. Situs itu dulunya hanya dipakai para pedagang untuk transit. Misalnya, pedagang dari India membawa tekstil, sampai di Barus ditukar dengan kamper dan emas, lalu dibawa ke Jawa untuk ditukar lagi dengan rempah-rempah, dan kemudian dibawa ke India. Berbeda dengan situs di Bukit Hasang, Barus. Di kawasan itu banyak ditemukan nisan kuno. Artinya, di tempat itu dulunya dipakai untuk tinggal dan menetap. "Lobu Tua mungkin trading port tapi tidak ditinggali permanen. Sementara Bukit Hasang lebih stabil," kata Perret. Kedati begitu, Bukit Hasang baru mulai digunakan pada abad ke-12 hingga abad ke-16. "Ada evolusi situs, pada abad ke-12 baru ditemukan, luasnya masih 3 ha, kemudian pada awal abad ke-16 menjadi 60 ha," kata Perret. Di Bukit Hasang di antaranya ada 300 nisan dari abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Di nisan itu tertera tulisan Arab dan Persia dengan Bahasa Melayu. Salah satunya, kata Perret, adalah seseorang yang mungkin bernama Tionghoa, Suy, dari tahun 1370. Tulisan itu kira-kira berbunyi: "Meninggalnya perempuan mulia (ibuku?), Suy, pada 20 Safar. Tuhan memberkahi akhirnya dengan kemenangan dan kemakmuran pada tahun 772/September." "Mungkin dia seseorang dari komunitas Tionghoa muslim di Bengal," kata Perret. Perret mengatakan memang ada catatan pada masa Sriwijaya bahwa abad ke-7 telah ada orang-orang Islam. Namun, tak disertai bukti prasasti maupun arkeologis. "Kami tak mendapatkan political inscription (prasasti politik, red . ) seperti di Pasai. Karenanya, proses Islamisasi hampir impossible dibuktikan lewat ekskavasi," kata Perret. Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga mengatakan klaim Islamisasi telah terjadi sejak abad ke-7 di Barus tak berbukti. Dia memang tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Namun tak jelas, apakah mereka hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. "Kalau saya, ya, mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red. )," kata Azra. Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaannya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibnu Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349). "Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibnu Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara," ujar Azra. Meski begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi saat itu masih berlangsung. "Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam, red . )," tulis Ibnu Battutah dalam catatannya.
- Sirnanya Kerajaan Pajajaran
MEMASUKI abad ke-15, hampir tidak ada kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang mampu menahan gempuran pengaruh Islam di wilayahnya. Bukan hanya di Jawa, fenomena peralihan kuasa agama itu juga terjadi di pulau-pulau lain. Tidak ada yang mampu menghentikannya. Dan keadaan itu akhirnya sampai juga mengancam tanah Pasundan pada abad ke-16. Di Tatar Sunda sendiri usaha menghalau pengaruh Islam di tengah masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak pertama kali agama itu masuk. Tercatat sejak era kekuasaan Galuh, para penguasa terus mengupayakan agar pengaruh Hindu-Buddha tetap menjadi yang utama di Jawa Barat. Bahkan ketika salah seorang pangeran Galuh yakni Haji Purwa, menjadi tokoh Muslim penting di tanah Sunda, kerajaan dengan cepat bertindak. Ia selamanya diasingkan dari negerinya sendiri oleh sang ayah. Namun pertumbuhan Islam yang begitu cepat, ditambah semakin melemahnya kekuatan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara membuat usaha raja-raja di tanah Sunda pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Kekuasaan Hindu-Buddha semakin terdesak. Puncaknya, raja Sunda memindahkan pusat pemerintahannya dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (sekarang Bogor). Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran pun menjadi benteng terakhir dan salah satu harapan untuk tetap menghidupkan ajaran Hindu-Buddha di Nusantara. "Alasan pemindahan pusat kekuasaan dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (kompleks kraton Panca Prasadha) oleh Prabu Jayadewata adalah kondisi geopolitik pada saat tersebut, karena posisi Kawali dirasakan sangat dekat dengan Cirebon yang pada saat tersebut merupakan pusat penyebaran Islam di Tatar Sunda bagian timur," kata sejarawan Sunda Budiansyah kepada Historia . Selain untuk menjauhkan diri dari pengaruh Islam di Cirebon, kata Budiansyah, pemindahan pemerintahan itu juga dilakukan agar akses menuju pelabuhan utama (Sunda Kelapa) lebih mudah. Hal itu terkait dengan pertumbuhan ekonomi kerajaan yang terus meningkat seiring dengan besarnya koneksi perdagangan Sunda dengan dunia internasional. Menahan Pengaruh Islam Menurut Naskah Carita Parahyangan , dalam Tjarita Parahiyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 karya Atja, Prabu Jayadewata (1482-1521) membangun sebuah kraton di Pakuan Pajajaran, yang diberi nama sri bima unta rayana madura suradipati . Raja yang memerintah kurang lebih 39 tahun itu dapat menekan (sementara) pengaruh Islam di wilayahnya. "Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja," tulis Nugroho Notosusanto, dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia II . Meski begitu, pengaruh Islam bukannya tidak ada sama sekali di Pakuan Pajajaran. Pada masa damai ini pun sudah ada penduduk yang memilih memeluk Islam ketimbang mengikuti ajaran Hindu dari sang raja. Diberitakan penjelajah Portugis Tome Pires, dalam Suma Oriental , komunitas Muslim di wilayah Pajajaran banyak ditemukan di Cimanuk, kota pelabuhan yang menjadi batas kerajaan Sunda di sebelah timur. Keberadaan komunitas Muslim itu sebenarnya cukup mengganggu pemerintahan Sunda yang bertekad mempertahankan kehinduannya. Namun Jayadewata memilih untuk tidak mengusiknya. Ia berusaha menghalau pengaruhnya dengan memperkuat ajaran agama Hindu di pusat. Sehingga kendati telah masuk Pajajaran, Islam tidak berkembang di pusat pemerintahan. Di samping itu, Jayadewata juga menjalin persekutuan dengan orang-orang Portugis yang kala itu telah menguasai Malaka. Salah satu usaha Jayadewata menggiatkan pengajaran agama Hindu di wilayah kekuasaannya adalah dengan menulis Sanghyang Siksa kandang Karesian . Naskah yang ditulis tahun 1518 itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh penduduk Sunda. Penafsirannya dilakukan berdasarkan ajaran-ajaran di dalam Hindu-Buddha dan aturan hidup yang diturunkan secara turun-temurun. Mengalami Kehancuran Pada 1522, di bawah pimpinan Surawisesa (1521-1535), Pajajaran menandatangani sebuah perjanjian dengan Portugis. Dalam perjanjian tersebut, Sunda meminta bantuan secara militer kepada Portugis jika sewaktu-waktu orang-orang Islam menyerang ke wilayahnya. Sebagai balasannya, Portugis diperbolehkan membangun benteng di sekitar bandar Banten dan menerima kiriman lada sebanyak 350 kwintal setiap tahunnya. Peneliti J.C. Hageman dalam "Geschiedenis de Soenda-landen" dimuat Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam perjanjian itu. Dari pihak Sunda yang menandatangani perjanjian tersebut ialah Raja Sanghyang (Surawisesa) sendiri, dengan tiga orang pembantu utamanya masing-masing Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis wakil-wakilnya ialah Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Countinho, Gil Barboza, Francisco Diaz, dan lain-lain. Namun meski keduanya telah menyutujui perjanjian itu, pembangunan loji dan benteng tidak benar-benar bisa dilakukan oleh Portugis. Pada 1527 Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Islam Demak pimpinan Faletehan (Fatahillah). Bangsa Portugis tidak bisa menembus pertahanan Islam yang telah rapat di sana. Berbagai usaha perebutan paksa pelabuhan pun tidak pernah membuahkan hasil. Keadaan gawat juga mulai dirasakan Pajajaran. Sembari mengharapkan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba, Surawisesa mencoba melawan sekuat tenaga desakan pasukan Islam. Tidak hanya dari Barat, Islam juga telah merangsak masuk dari arah Timur. Tercatat raja Sunda itu telah terlibat dalam 15 kali peperangan, dan tidak sekalipun mengalami kekalahan yang mengancam kerajaannya. "Ini dapat ditafsirkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, walaupun ancaman pihak Islam sudah sering terbukti, tetapi pihak Sunda masih dapat bertahan dan mengalahkan tentara Islam itu," tulis Notosusanto. Kemunduran kekuatan Sunda mulai terasa ketika Prabu Ratudewata (1535-1643) menduduki takhta. Keadaan berperang terus menghantui Sunda. Kekuatan Islam yang semakin besar tidak dapat diimbangi oleh pasukan Pajajaran yang mulai melemah. Pada masa ini, serbuan pasukan Islam telah berhasil menjatuhkan berbagai daerah milik kerajaan Sunda, termasuk Sumedang dan Ciranjang. Banyak pemimpin daerah vasal yang gugur. Ibu kota di Pakuan pun tidak luput dari kehancuran. Akibat dari jatuhnya Pakuan, raja terpaksa meninggalkan istananya. Ia dan beberapa pejabat melarikan diri ke wilayah yang masih aman. Pada masa pemerintahan raja yang terakhir, Raga Mulya (Prabu Surya Kencana), kerajaan Sunda sudah tidak dapat lagi mempertahankan kedudukannya. Pasukan Islam telah mendominasi jalannya pertempuran. Sunda sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Ditambah perubahan kepercayaan di masyarat terhadap penguasa Sunda juga turut mempengaruhi kejatuhan penguasa barat Jawa tersebut. "Dan bersamaan dengan itu (jatuhnya berbagai wilayah kekuasaan), tamat pulalah riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir budaya Hindu-Budha di Indonesia. Kira-kira pada 1579 Masehi."
- Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan
Setelah setahun di Boven Digul, Papua, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dipindahkan ke tempat pengasingan baru: Banda Neira di Maluku. Mereka tiba di Banda Neira pada Februari 1936. Sebelumnya, di Banda Neira ada dua keluarga yang dibuang, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Koesoema Soemantri. Dua keluarga lagi karena penugasan. Suroyo bekerja sebagai dokter pemerintah, sedangkan Mulyadi menjadi kepala Schakelschool (sekolah sambungan antara sekolah dasar dengan sekolah menengah pertama). Mulyadi dan Suroyo kemudian dipindahkan ke Jawa. Iwa dipindahkan ke Makassar pada 1939. Karena penyakit asma, Tjipto dipindahkan ke Makassar pada 1940, kemudian dibebaskan di Sukabumi. Hatta dan Sjahrir mendapatkan tunjangan masing-masing f.75 setiap bulan. Awalnya, mereka menyewa rumah milik Tuan De Vries. Mereka mempekerjakan Halimah untuk memasak dan Chaidir, biasa dipanggil Akhir, sebagai pelayan. "Setelah beberapa hari kami di Neira, tampak olehku Sjahrir dihinggapi oleh psikologi kesunyian. Di Digul dia biasa mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak," kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku Jilid 2: Berjuang dan Dibuang . Kesunyian Sjahrir terobati dengan mengangkat anak-anak yang bersaudara, yaitu Des Alwi, Lili, Mimi, dan Ali. Namanya anak-anak pasti suka bermain. Pernah suatu kali menumpahkan air yang membasahi buku-buku Hatta. Tak enak sama Hatta, Sjahrir memutuskan pindah, menyewa kamar di rumah orang tua Mimi. Rumah itu peninggalan Baadillah, seorang letnan Arab yang kaya, kepada anaknya, ibu Mimi. Sejak tinggal terpisah, anak-anak angkat Sjahrir mungunjungi Hatta tiga kali seminggu untuk belajar dan setiap Sabtu untuk makan siang bersama. "Kami lebih suka makan di rumah Oom Kaca Mata karena makanannya lebih baik dan lebih bervariasi daripada di rumah Oom Rir yang bagi kami 'rumah kami sendiri'," kata Des Alwi dalam Bersama Hatta, Syahrir, dr. Tjipto & Iwa K. Soemantri di Banda Neira. Anak-anak angkat Sjahrir memanggil Hatta dengan Oom Kaca Mata dan memanggil Sjahrir dengan Oom Rir. Des Alwi masih ingat menu makanan ketika Hatta dan Sjahrir masih tinggal serumah. Mereka biasanya sarapan dengan roti, mentega dan selai, telur mata sapi, atau nasi goreng dengan lauk sisa semalam, dan secangkir kopi. Sekitar jam sepuluh, Hatta akan memberi uang belanja kepada Halimah. "Koki baru kami, Halimah, diberinya untuk membeli ikan basah di pasar dan kusuruh Akhir membawa bon ke toko Kok Coi, memesan satu karung beras 50 kg, ikan sardin 2 kaleng, corned beef 2 kaleng, gula pasir 2 kg, merica, serta lain-lainnya seperti susu Cap Nona 1 kaleng," kata Hatta. Des Alwi mencatat menu makanan di rumah Hatta. Biasanya sayur-mayur, ikan, sambal, dan dua jenis gulai bersantan. Hanya pada hari Rabu menyantap ayam goreng dan rendang ayam. Hari Jumat ada gulai kambing karena kambing biasanya disembelih penduduk muslim Banda pada hari Jumat. Sedangkan daging sapi hanya dapat diperoleh satu kali sebulan, karena sapi baru disembelih jika para penjagal telah dapat mengumpulkan pembeli satu ekor sapi. Setelah tak lagi serumah, menurut Des Alwi, Sjahrir kurang begitu memperhatikan makanan, walaupun dia senang sekali makan ikan. "Dia amat menyukai loki , sejenis lobster atau udang pantai yang besar, yang hidup dan bersembunyi di lubang karang dan keluar jika air surut," kata Des Alwi. " Loki yang digoreng dengan minyak panas dicampur kecap adalah makanan kesukaan Oom Rir selama masa pembuangannya di Banda." Kiri-kanan: Iwa Koesoema Soemantri, Mohammad Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, Mulyadi, dua anak angkat Tjipto, dan Sutan Sjahrir. Duduk: Ny. Iwa Koesoema Soemantri dan tiga anaknya, Ny. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ny. Mulyadi dengan tiga anaknya. (Repro Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan ). Sjahrir sudah dianggap sebagai keluarga Baadilla. Nenek Des Alwi menyebutnya anak ke-15. Dia pun dilibatkan dalam berbagai persoalan keluarga. Dia ikut mengambil keputusan, tempat bertanya dan meminta nasihat. Setelah nenek Des Alwi meninggal, Sjahrir diminta tinggal di rumahnya yang disebut Rumah Besar karena paling mewah dan indah di Banda Neira. Rumah itu dibangun oleh kakek-buyut Des Alwi pada paruh pertama abad ke-19 ketika Banda Neira menjadi kepulauan terkaya di Hindia Belanda. Hatta juga kemudian pindah ke rumah milik Nanlohi, seorang keluarga Ambon yang tinggal di Makassar. Uang sewanya lebih murah karena katanya ada setannya. "Ketika kami pindah ke Rumah Besar setelah wafatnya nenek, semua barang-barang antik kami pindahkan ke museum yang ada di paviliun sayap kanan Rumah Besar itu, lalu digantikan dengan perabot-perabot modern Oom Rir yang dibelinya dari seorang guru Belanda yang pindah ke Jawa," kata Des Alwi. Ibu Des Alwi menyiapkan makan siang di rumahnya lalu dikirim dengan rantang ke Rumah Besar. Untuk makan malam, anak-anak angkat Sjahrir menyiapkan sendiri. "Oom Rir hanya memasak bila dia menerima kiriman loki dari teman-temannya para nelayan atau bila saya berhasil memperoleh loki di pantai ketika air sedang surut," kata Des Alwi. Hatta dan Sjahrir meninggalkan Banda Neira pada 1 Februari 1942. Sjahrir membawa tiga anak angkatnya, Lili, Mimi, dan Ali. Mereka dipindahkan ke tempat pengasingan baru di Sukabumi.
- Konflik Awal Dunia Penerbangan
HARI ini, 17 Desember, 116 tahun lalu. Wilbur dan Orville Wright mencoba menerbangkan kembali pesawat buatan mereka, The Flyer, di lahan milik US Weather Bureau, Kitty Hawk, North Carolina. Upaya tersebut telah dicoba Wright bersaudara tiga hari sebelumnya, namun gagal. Kegagalan itu disebabkan malfungsi pada perangkat pengangkat The Flyer. Diketahuinya pangkal masalah membuat Wright bersaudara bisa tepat mengambil tindakan perbaikan The Flyer. Maka, keduanya tak ingin gagal kembali pada percobaan kedua itu. Persiapan bahkan mereka lakukan bukan sebatas pada masalah teknis pesawat. “Orville telah memasang kamera di ujung lintasan dan meminta John Danieels, pria setempat yang telah membantu mereka selama tiga tahun, untuk mengambil foto pada saat peluncuran,” tulis Lawrence Goldstone dalam Birdmen: The Wright Brothers, Glenn Curtiss, and the Battle to Control the Skies . Sekira pukul 10.30 waktu setempat, mesin The Flyer dihidupkan. Wilbur langsung berlari ke salah satu ujung sayap untuk memberi kestabilan. Semua prosedur berjalan baik. “Pesawat lepas landas di ujung lintasan dan terbang; mungkin hanya 120 kaki, tetapi 40 yard penerbangan itu adalah yang pertamakali dilakukan manusia dalam penerbangan yang dikendalikan, bertenaga mesin, dan (menggunakan alat, red .) berbobot lebih berat dari udara,” sambung Lawrence. Penerbangan Wright bersaudara menandai era baru peradaban manusia. Terbang yang selama berabad-abad “dimonopoli” burung dan serangga, mulai saat itu juga bisa dilakukan manusia. Namun, bukan hal mudah bagi Wright bersaudara bisa mewujudkan impian tersebut. Jalan yang mereka lalui panjang, berliku, dan tak lepas dari konflik. Salah satu yang terpopuler, konflik Wright bersaudara dengan Glenn H. Curtiss, pionir aviasi lain yang menjadi anggota Aerial Experiment Association (AEA) bentukan Alexander Graham Bell pada 30 September 1907. Pangkal konflik keduanya bermula dari teguran Wilbur terhadap Curtiss tak lama setelah Curtiss menjuarai perlombaan terbang Scientific American pada 4 Juli 1908. Wilbur menegur karena pesawat buatan Curtiss, June Bug, menggunakan sayap lengkung dan sistem pengendalian Aileron. Aileron merupakan sirip yang berfungsi sebagai pengontrol gerak lateral pesawat yang biasa diletakkan di ujung trailing sayap pesawat. Paten atas sistem tersebut menjadi bagian dari paten atas mesin terbang (Thy Flyer) yang dipegang Wright bersaudara sejak 1906. Oleh karena itu, penggunaannya untuk tujuan komersil tanpa membayar lisensi kepada Wright bersaudara berarti melanggar hukum. AEA tak mengindahkan teguran Wright bersaudara dan malah memproduksi tiga June Bug baru serta mendapatkan patennya pada 1911. Sementara, Curtiss memilih menjual pesawatnya kepada Aeronautic Society of New York pada 1909. Dia kemudian berkongsi dengan Augustus Herring, rekan pakar penerbangan Octave Chanute, mendirikan Herring-Curtiss Company.Herring-Curtiss Company berhasil membuat biplane Gold Flier atau Golden Bug. Untuk menghindari paten Wright, Curtiss meletakkan aileron di tengah kedua sayapnya. Dengan menggunakan Golden Bug, Curtiss berhasil mengadakan pertunjukan berbayar keliling beberapa tempat. Curtiss juga kembali merebut trofi Scientific American untuk kedua kalinya. Semua itu membuat Wilbur marah. Pelanggaran hak paten oleh Curtiss mendorongnya memejahijaukan kasus tersebut. Curtiss pun melayani gugatan Wright. Sementara proses pengadilan berjalan, dia menyempatkan diri terbang ke Prancis menggunakan Golden Bug guna mengikuti Le Grande Semaine d’Aviation, airshow internasional utama, yang dihelat pada akhir Agustus 1909. Curtiss berhasil membawa pulang James Gordon Bennett Cup atas prestasinya menjadi penerbang dengan kecepatan rata-rata tertinggi. Pertarungan di meja hijau dimulai sepulang Curtiss dari Prancis. Kedua belah pihak bersikeras dengan pendirian masing-masing. Upaya penyelesaian damai yang diusulkan tim pengacara kedua kubu tak berhasil. Pertarungan Wright-Curtiss tak hanya amat menyita kocek masing-masing namun juga waktu dan tenaga. Kesehatan Wilbur menurun drastis akibatnya. Sementara proses pengadilan masih berjalan, demam akibat tifoid mengakhiri hidup Wilbur pada 1912, membuat keluarga Wright amat terpukul. Pada Februari 1913, pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan Wright bersaudara. Tindak lanjutnya, pengadilan memerintahkan Curtiss menghentikan pembuatan pesawat menggunakan dua aileron yang beroperasi secara simultan di arah yang berlawanan. Upaya gugatan makin gencar dilakukan kubu Wright setelah Orville menggandeng Glenn L. Martin, pionir industri pesawat, mendirikan Wright-Martin Corporation. Pada 1916, Wright-Martin mengajukan tuntutan royalti kepada semua produsen pesawat sebesar lima persen dari tiap pesawat yang terjual dan royalti tahunan 10 ribu doler per produsen. “Wright bersaudara tidak menginginkan royalti dari Curtiss; mereka ingin dia gulung tikar. Begitu pahit konfliknya sehingga ketika Wilbur meninggal karena demam tifoid pada 1912, Orville menyalahkan Glenn Curtiss,” tulis Charles R. Mitchell dan Kirk W. House dalam Glenn H. Curtiss: Aviation Pioneer . Upaya kubu Wright itu membuat banyak produsen pesawat menjadi takut sehingga memandekkan perkembangan industri pesawat Amerika. Akibatnya, industri pesawat Eropa berjalan tanpa pesaing. Kondisi tersebut memunculkan simpati para produsen lain terhadap Curtiss. Dengan bantuan Henry Ford, raja mobil Amerika yang bersimpati padanya, Curtiss mengajukan banding. Curtiss menggunakan pengacara Ford ketika mengalami masalah serupa soal paten di industri mobil. Namun, upaya kubu Curtiss dengan bertahan pada prinsip bahwa sistem pengendalian pesawatnya dikembangakan dari aerodrome milik Samuel Langley, bukan Thy Flyer milik Wright, tetap tak berhasil di pengadilan. Kondisi itu membuat pemerintah AS, terutama Angkatan Laut dan Angkatan Darat, cemas mengingat ancaman “hantu” Perang Dunia I kian kuat. Ketika Perang Dunia I akhirnya menghentikan sementara perang paten Wright-Curtiss itu, Franklin D. Roosevelt, asisten sekretaris Angkatan Laut, menginisiasi pembentukan organisasi lisensi dan mengahasilkan Manufacturers’ Aircraft Association (MAS). Berdirinya MAS tak hanya memaksa semua produsen pesawat terbang Amerika menjadi anggotanya, namun juga mematuhi semua aturan yang dikeluarkannya, seperti membayar fee untuk tiap pesawat yang diproduksi. MAS juga mengurangi besarnya royalti menjadi sebesar satu persen dan yang terpenting, MAS membebaskan penggunaan dan pertukaran ide dan penemuan di antara sesama produsen pesawat. Dengan berdirinya MAS, semua litigasi paten berhenti. Pun “perang paten” antara Wright dan Curtiss. Kendati tanpa Wilbur, pada 1929 Wright dan Curtiss akhirnya berdamai dengan memerger Wrights Aeronautical Corporation dan Curtiss Airplane and Motor Corporation menjadi Curtiss-Wright Corporation. “Kisah Wrights dan Curtiss adalah kisah penerbangan awal. Tidak ada seorang pun dan tidak ada dalam dekade luar biasa dari 1905 hingga 1915 itu di mana satu atau keduanya tidak memberi sentuhan atau mempengaruhi. Drama mereka dimainkan di atas panggung yang dihuni oleh tokoh-tokoh tak tertandingi yang terlibat dalam kinerja yang membawa umat manusia mewujudkan hasratnya sejak awal peradaban. Pertikaian sengit satu dekade Wright-Curtiss yang mengadu satu sama lain dari dua inovator paling cemerlang negeri itu telah membentuk jalur penerbangan Amerika,” tulis Lawrence.
- Berburu Mata-Mata di Era Revolusi
LANGIT masih terang ketika serangkaian kereta api memasuki Stasiun Kranji. Begitu berhenti, para anggota lasykar bersenjata langsung meminta semua penumpang untuk turun dan memeriksa identitas mereka satu persatu. Beberapa orang yang dicurigai langsung digiring ke kantor kepala stasiun dan dihadapkan kepada tim interogator. Di antara yang tercurigai adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang anak perempuannya. Mereka dianggap mata-mata NICA karena didapati ada kertas berwarna merah putih biru (simbol bendera Belanda) di dalam tas-nya masing-masing. “Pas sesudah magrib, itu laki dan anak gadis-nya langsung dieksekusi dengan sebilah celurit persis di belakang stasiun,”ungkap Mat Umar (92), salah seorang saksi kejadian tersebut. Di era revolusi (1945-1949), elan perjuangan melawan Inggris dan Belanda begitu menderu. Kerap kali semangat berlebihan di kalangan para pemuda itu menjadi tak terkendali hingga menjadi suatu kegilaan. Kopral (Purn) Soempena (94) masih ingat, bagaimana seorang pemuda dari Jakarta mati mengenaskan di Stasiun Purwakarta pada suatu hari di awal 1946. Gegaranya sangat sepele: dia kedapatan membawa selembar saputangan bercorak merah putih biru di saku bajunya. Kendati Soempena dan kawan-kawannya dari Divisi Siliwangi telah berupaya keras menyelamatkan pemuda itu, namun massa yang jumlahnya puluhan sudah terlanjur kalap. “Pada akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa saat dia dikeroyok banyak orang hingga tewas dan mayatnya diinjak-injak di atas rel kereta api,” kenang eks anggota Resimen Purwakarta itu. Sejarawan John R.W. Smail sempat merekam pula kebrutalan “kaum revolusiener” itu. Dalam bukunya Bandung in The Early Revolution, 1945—1946 (dialihbahasakan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946 ), Smail menyebut tingkat kecurigaan orang-orang Indonesia pada 1945-1946 (terutama kepada orang Indo, orang Tionghoa dan orang-orang bule) begitu tinggi. Mereka yang dicurigai sebagai bagian (atau hanya sebatas) antek kaum penjajah itu memiliki potensi besar untuk mendatangi maut lebih awal. Praktek kebrutalan itu tercatat mencapai puncaknya di Bandung pada November-Desember 1945. “…Dapat disimpulkan bahwa terdapat 1.500 korban pembunuhan dari total populasi non-Indonesia yang berjumlah sekitar 100.000, belum termasuk sejumlah orang Indonesia sendiri yang juga lenyap dalam kondisi serupa,” ungkap Smail. Seorang saksi yang diwawancarai oleh Smail (pada 1945 dia baru berusia 12 tahun) mengungkapkan dua kasus perburuan mata-mata musuh di Bandung. Yang pertama, tertuduh adalah seorang bocah kecil yang kemudian diikat di tali pancang pada sisi jalan. Para pemuda kemudian menyiksanya hingga keesokan paginya dia mati. Kasus kedua, sang saksi juga melihat sebuah pamer kegilaan para pemuda yang membunuh seorang lelaki tua yang dituduh mata-mata Belanda. Para algojo itu, kata Smail, adalah sekelompok kecil manusia yang rata-rata masih sangat belia dan muncul dari kalangan yang tidak terpelajar. Memang ada banyak orang seperti Soempena, yang (dengan menafikan keselamatan dirinya sendiri) berupaya membela korban. Namun kecenderungan massa mengagumi aksi para algojo itu menjadikan upaya tersebut sebagai kesia-sian semata. Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution memiliki pendapat sendiri terhadap gejala itu. Dia secara langsung menyebut bahwa kebrutalan itu merupakan bentuk aksi provokasi yang sukses dari NEFIS (badan intel Belanda). Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam hoax yang diciptakan para agen intelijen Belanda tersebutkarena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu. “Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I . Pendapat Nasution di atas bisa jadi ada benarnya. Usai proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, di kalangan rakyat ada upaya untuk membenturkan secara langsung antara orang-orang keturunan Tionghoa dengan orang-orang lokal. Hal itu juga berlaku untuk orang Ambon (Maluku) dan Manado (Minahasa) yang dianggap secara genelogis merupakan antek Belanda yang paling setia. “Kemunculan lasykar-lasykar bercorak etnis seperti Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), Barisan Pemberontak Tionghoa (BPT) dan PIM (Pejuang Indonesia Maluku) seolah menjadi pembukti bahwa anggapan itu tidak selamanya betul,” ujar sejarawan Rusdy Hoesein kepada Historia .
- Rela Mati Demi Dirikan Perwari
PUKUL satu siang 27 November 1945 di Yogyakarta. Bom-bom dari pesawat-pesawat Inggris menghujani daerah belakang (selatan) Gedung Kantor Pos dan De Javasche Bank di Gondomanan. Penduduk kocar-kacir. Itu merupakan pengeboman kedua. Pada 25 November 1945, Inggris sudah menjatuhkan bom di kota itu juga. Ketika bom di Gondomanan meledak, para aktivis pergerakan perempuan di Yogyakarta sedang berkumpul membincangkan rencana kongres perempuan pascamerdeka, 15-17 Desember 1945. Perang tak membuat mereka patah semangat untuk berkumpul dan menyatukan pikiran guna mendukung kemerdekaan. Pasca-proklamasi, aktivis perempuan di Yogyakarta sudah membentuk Persatuan Wanita Indonesia (Perwani), perubahan dari Fujinkai bentukan Jepang. Di saat yang sama, ex-anggota Fujinkai Jakarta membuat Wanita Negara Indonesia (Wani). "Kalau di Jogja Perwani mengajarkan tentang pengentasan buta huruf supaya masyarakat bisa lebih memahami tentang identitas Indonesia. Akan sulit mengajarkan identitas Indonesia bila membaca pun mereka tak bisa," kata Galuh Ambar Sasi, peneliti sejarah dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana, pada Historia. Setelah Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan amanat 5 September 1945 bahwa Yogyakarta bagian dari Indonesia, gerakan perempuan makin gencar melakukan sosialisasi. Mereka mengajarkan lagu "Indonesia Raya", pekik merdeka, dan baca-tulis. Selain itu, mereka juga mengajari tentang pengertian negara, Indonesia, jabatan pemerintahan, dan arti bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dari para aktivis perempuan itulah identitas Indonesia mulai dimunculkan kembali dan disebarkan ke masyarakat di desa-desa. Ketika menyelenggarakan sosialisasi, ide untuk mengadakan kongres muncul. Diraihnya kemerdekaan memunculkan keinginan para aktivis perempuan untuk punya organisasi skala nasional sebagai wadah berkumpul dan menyatukan gerakan. Sejak pendudukan Jepang, mereka tidak bisa berkumpul dan bergerak karena seluruh organisasi perempuan dibubarkan dan harus melebur jadi Fujinkai. Maka, disepakatilah saat itu untuk mengadakan kongres di bulan Desember 1945. Namun apa daya, bombardir Inggris pada 27 November membuyarkan rencana itu. Mulanya para aktivis perempuan ingin berkongres di Senisono, tempat Kongres Pemuda 1945. Namun sehari setelah pengeboman Inggris, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan imbauan untuk tidak mengadakan kongres atau berkumpul di Yogyakarta karena tidak aman. "Kalau ada kongres besar lagi dikhawatirkan serangan musuh makin banyak. Mereka lantas berpikir untuk keluar dari Jogja," kata Galuh. Bombardir Inggris juga membuat panitia dan calon peserta kongres khawatir hingga membatalkan kedatangan mereka. Beberapa anggota panitia lantas mengundurkan diri. Panitia persiapan yang tersisa pun hanya lima orang, yakni Ny. Soesanto (ketua), Ny. S. Iman Soedijat (penulis I), Sri Soendari Imam Panudja (penulis II), Ny. Din Soerjadiningrat (bendahara I), dan Ny. Soekardi (bendahara II). Lokasi kongres akhirnya dipindah ke Klaten dengan alasan dekat dari Yogya dan aman. Beruntung, Bupati Klaten Yudhonegoro menyediakan Gedung Kabupaten sebagai tempat kongres. Ia bahkan ikut jadi panitia pembantu kongres itu. Untuk akomodasi panitia kongres yang harus bolak-balik Yogya-Klaten, para perempuan menggunakan dana dari Perwani di samping jip pinjaman dari Sultan Hamengkubuwono IX. Situasi genting akibat perang itu tidak membuat para perempuan takut demi menyelenggarakan kongres. Terkadang di jalan mereka digeledah oleh tentara atau laskar. Bahkan, mereka harus menyingkir karena adanya pertempuran. Betapapun beratnya rintangan, semangat untuk kembali berkumpul tetap menyala di dada mereka. Dalam Wanita Dulu Sekarang dan Esok, Ani Idrus mencatat kongres yang diselenggarakan pada 15-17 Desember 1945 itu diikuti oleh utusan dan pemimpin dari berbagai organisasi perempuan. Selain Wani dan Perwani, ada Muslimat, Aisyiah, Wanita Katolik, Pemuda Putri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Peserta kongres amat senang lantaran sudah lama tidak berkumpul dan membicarakan masalah perempuan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas pergerakan perempuan supaya dapat ikut menegakkan kemerdekaan yang sudah diplokamirkan. Mereka menyepakati untuk selalu mengucapkan salam dan pekik merdeka dan memakai lencana merah putih. "Pertemuan di Klaten itu penting karena jadi tempat pertukaran pikiran aktivis perempuan yang gerakannya sempat mati setelah Perang Dunia II sampai berakhirnya penjajahan Jepang," kata Galuh. Pada hari ketiga kongres, para perempuan sepakat untuk membuat organisasi bersama. Sayangnya, tidak semua organisasi bisa melebur. Pasalnya, sebagian perwakilan organisasi perempuan yang datang merupakan afiliasi dari organisasi lain seperti Aisyiyah yang bagian Muhammadiyah atau Wanita Taman Siswa. Hanya Perwani dan Wani yang difusikan menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). “Tadinya nama yang diusulkan Perwindo, Persatuan Wanita Indonesia namun beberapa anggota kongres menolak karena Perwindo terdengar seperti nama partai politik,” kata Galuh. Nama Perwari akhirnya dipilih karena terdengar lebih feminin. Kongres juga menetapkan Sri Mangunsarkoro sebagai ketua dan Darmiyati (Ny. Hadiprabowo) sebagai wakilnya.
- Umbu Landu Paranggi dan Yori Antar Raih Penghargaan Akademi Jakarta 2019
Penyair Umbu Landu Paranggi dan arsitek Yori Antar meraih Penghargaan Akademi Jakarta 2019 atas "pencapaian sepanjang hayat" di bidang humaniora. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16 Desember 2019. Penghargaan Akademi Jakarta awalnya bernama Hadiah Seni. Pertama kali diberikan kepada penyair dan dramawan WS Rendra pada 22 Agustus 1975. Kemudian pada 1978 Hadiah Seni diberikan kepada pelukis Zaini. Setelah itu, Hadiah Seni absen selama 25 tahun. Pada 11 Maret 2003 Akademi Jakarta kembali memberikan Hadiah Seni kepada perupa Gregorius Sidharta. Tahun berikutnya Hadiah Seni diberikan kepada koreografer Gusmiati Suid dan pemusik Nano S. Pada 10 November 2005, Hadiah Seni berubah menjadi Penghargaan Akademi Jakarta yang diberikan kepada koreografer Retno Maruti. Sejak itu, berturut-turut Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada para insan seni yang dipilih oleh dewan juri. Tahun 2019, Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada dua orang yang dianggap berjasa dalam kesusastraan dan arsitektur Indonesia: Umbu dan Yori. Keduanya bagian dari sejarah yang kemudian menjadi bangunan sastra dan arsitektur Indonesia hari ini. "Dilihat dari konteks kehidupan dan budaya kita selama ini hingga kini, dinamika hiruk pikuk serta keserbamungkinannya, dua tokoh ini, menjadi sangat menarik, penting dan niscaya karena sangat relevan," kata Riris K. Toha, Ketua Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2019. Gregorius Antar Awal atau kerap disapa Yori Antar, lahir di Jakarta pada 4 Mei 1962. Yori lulus dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 1989. Pada 2008, setelah melakukan ekspedisi ke Sumba-Flores, Yori mendirikan Rumah Asuh. Yayasan yang bertujuan untuk menyelamatkan situs atau bangunan tradisional yang terancam punah di berbagai daerah di Indonesia. Yayasan ini telah mendirikan kembali berbagai rumah adat, dari rumah tenun Dayak Sintang, rumah adat Mbaru Niang di Wae Rebo, hingga rumah adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah. Rumah Asuh tak semata-mata membangun rumah adat, namun telah menjadi jembatan antara pengetahuan masa lalu masyarakat adat kepada generasi penerusnya. Bahkan, tak hanya rumah adat yang terancam punah, Yori juga berupaya menggali kembali memori masyarakat adat terhadap rumah-rumah adat mereka yang telah punah dan hanya tersisa dari ingatan-ingatan para tetua. Pada 2010, Yori Antar bersama fotografer Oscar Motuloh dan Jay Subyakto mendirikan Liga Merah Putih. Mereka menggelar berbagai pameran foto antara lain, pameran foto situs Kota Tua Trowulan, pameran foto Sawah Lunto, pameran foto Singkawang, dan ekspedisi situs Muara Jambi pada 2012-2013. "Dilihat dari kreativitas dan totalitas dedikasinya, pada pemahaman, penggalian, pendokumentasian, pelestarian dan pembangunan kembali arsitektur lokal, termasuk dorongan terbangunnya kesadaran masyarakat untuk menghargai jati dirinya, melalui arsitektur Nusantara tersebut, maka penghargaan Akademi Jakarta 2019 diserahkan kepada saudara Yori Antar," kata Riris. Sementara itu, Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Waingapu, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943. Sejak 1960, puisi-puisinya telah tersebar di berbagai media massa seperti Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Pelopor Yogya , hingga Majalah Kolong. Puisi-puisinya juga terbit dalam antologi bersama, Manifes (1968), Tonggak III (1987), Teh Ginseng (1993), Saron (2018), dan Tutur Batur (2019). Pada 1969, ketika mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya , yang berkantor di Jalan Malioboro, Umbu bersama Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S. Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono, mendirikan Persada Studi Klub (PSK). PSK melahirkan penyair-penyair ternama seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Umbu sendiri saat itu dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Pada 1975, Umbu pulang ke Sumba. Tiga tahun kemudian dia menetap di Bali. Pada 1979, ia menjadi redaktur sastra di harian Bali Post dan menjadi guru bagi para sastrawan muda Bali. Beberapa muridnya di Bali antara lain, Putu Fajar Arcana, Cok Sawitri, Oka Rusmini hingga Raudal Tanjung Banua. Umbu aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi, Bali, hingga meninggal pada 6 April 2021. "Selama 50 tahun lebih, tanpa pamrih, tanpa menghendaki panggung, dan tanpa jaminan apapun dari masyarakat, dia bekerja hanya untuk membangun kehidupan dan budaya serta siapa Indonesia. Melalui puisi, pembimbingan dan pengembangannya," kata Riris.
- Mengingat Kembali Sanento Yuliman
Dalam dunia seni, orang seringkali menyematkan kata maestro pada seorang seniman yang memang telah punya nama besar atau masyur karya-karyanya. Namun, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam program pameran maestro seni rupa, mengangkat sebuah nama dalam dunia seni rupa yang barang kali jarang dibicarakan: Sanento Yuliman. Sanento Yuliman sebenarnya juga seorang pelukis, kartunis, dan penyair. Tetapi, Sanento sebagai kritikus, memiliki tempat sendiri dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sanento telah turut menghidupkan dunia seni rupa Indonesia, melalui esai-esai, skripsi, dan disertasinya. Kumpulan arsip dan karya Sanento tengah dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran bertajuk "Mengingat-Ingat Sanento Yuliman" ini berlangsung hingga 15 Januari 2020. Sanento Muda Sanento Yuliman lahir di Jatilawang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 14 Juli 1941. Dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1960 dan lulus pada 1968 dengan skripsi berjudul Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis Indonesia. Skripsinya mendapat Anugerah Hamid Bouchoureb dari Seni Rupa ITB. Ketika masih mahasiswa, Sanento aktif sebagai kartunis. Pada 1966, dia mengikuti pameran dan mengurus rubrik kebudayaan pada mingguan Mahasiswa Indonesia . Lalu pada 1967, dia menjadi kartunis di Mimbar Demokrasi . Selain membuat kartun, dia juga menulis puisi. Puisinya, Laut meraih penghargaan majalah Horizon pada 1968. Majalah sastra itu juga memberi penghargaan pada esai Sanento berjudul Dalam Bayangan Sang Pahlawan . Esai tersebut menjadi salah satu tulisan Sanento yang terkenal. Merupakan satir atas narasi sejarah kepahlawan Indonesia yang disebutnya sangat teatral. Yang harus memenuhi syarat-syarat teater yang agung, dramatis, dan fiktif. "Kepahlawanan adalah konsep teatral. Menganjur-anjurkan, menghidup-hidupkan, dan membesar-besarkan kepahlawan di Indonesia berarti kita harus menyiapkan Indonesia menjadi suatu teater," tulis Sanento. Sanento mengaitkan masalah heroisme itu dengan gerakan massa, fanatisme, dan persoalan individualitas. Pada paragraf terakhir, dia mengatakan, "adalah bangsa yang besar bangsa yang dapat menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa." Sumbangan Terhadap Seni Rupa Pada 1969, Sanento kembali ke almamaternya di Seni Rupa ITB untuk mengajar. Kemudian pada 1972 hingga 1974, dia menjadi anggota redaksi majalah Horizon . Pada 1975, dia aktif dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRSBI). Dan pada tahun yang sama, dia juga menjadi pengurus dan penulis Galeri Pop Art di majalah Aktuil . Sanento menulis buku Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar . Sayangnya, menurut kurator pameran Hendro Wiyanto, gagasan-gagasan Sanento hingga sekarang hanya berhenti sebagai pengantar. "Lagi-lagi naskah itu tetap menjadi naskah dan tidak pernah menjadi apa-apa, tidak banyak orang yang membaca sungguh-sungguh tulisan Sanento," sebutnya. Sanento melanjutkan studi doktoral di Universitas Montpellier, Prancis. Dia menyelesaikan studinya pada 1981. Disertasinya berjudul Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia: Peran S. Sudjojono (Genese De Lo Peinture Indonesienne Contemporaine: Le Role De S. Sudjojono) dibimbing oleh sejarawan Denys Lombard. Sanento kemudian pulang ke Indonesia dan menulis makalah Apresiasi Seni Lukis: Jika Cakrawala Diperluas . Pada 1982, dia menulis buku G. Sidharta di Tengah Seni Lukis Indonesia bersama Jim Supangkat. Dia juga menulis makalah Dua Seni Rupa pada 1984. Namun, sama seperti sebelumnya, tulisan-tulisan Sanento belum mendapat respons dari seniman maupun kritikus setelahnya. "Lagi-lagi juga kita tidak pernah sungguh-sungguh bertanya, Dua Seni Rupa yang dimaksud oleh Sanento Yuliman itu sebenarnya apa," terang Hendro. "Jadi saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Sanento bahwa seni rupa Indonesia masuk ke dalam suasana 'segala sesuatu menjadi legenda' dan kita tidak pernah bertanya apa-apa," lanjutnya. Membaca Kembali Melalui pameran ini, Danuh Tyas Pradipta, anak Sanento yang juga menjadi kurator dalam pameran ini menyebut banyak hal yang bisa disampaikan lewat arsip ayahnya. "Lebih kepada jejak-jejak yang mungkin itu personal atau intelektual. Dan tentunya pemikiran Sanento dari mulai hal kecil sampai yang mungkin terasa besar dan berat seperti dalam skripsi atau disertasinya," kata Danuh. Dari karya-karya itu, Danuh berharap muncul respons yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan Sanento maupun muncul perdebatan-perdebatan lain darinya. "Saya pikir, sebuah pameran lagi-lagi seperti Pak Hendro bilang bukan hanya masalah produksi karya seni tetapi juga yang lebih penting dari itu juga pembacaan dan pemaknaan terhadap karya-karya seni dan fenomena seni rupa itu sendiri. Itu kemudian yang tidak kalah penting dalam dunia seni rupa kita," ujarnya. Hendro menambahkan, "kami berharap bahwa 'Mengingat-ingat Sanento Yuliman' mendorong kita bukan hanya sekadar mengingat tetapi juga membaca kembali, mengkaji kembali, dengan pikiran Sanento." Bersamaan dengan pembukaan pameran ini, DKJ juga meluncurkan tiga buku Seri Wacana Seni Rupa, Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961) , Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019) oleh Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) oleh Sanento Yuliman. Sanento pernah mendapat Anugerah Adam Malik atas sumbangsihnya sebagai kritikus seni rupa pada 1984. Sejak tahun itu juga dia aktif menulis di majalah Tempo . Kemudian pada 1990, dia menulis tiga rangkaian esai Ke Mana Seni Lukis Kita? Sanento kemudian juga terlibat dalam pengembangan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI). Dua tahun setelahnya, pada 1992, Sanento meninggal dunia karena pendarahan otak, meninggalkan istri dan tiga orang anaknya.
- SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi
SEA Games 2019 Filipina meninggalkan banyak kesan negatif. Khusus buat Indonesia, ia meninggalkan banyak catatan yang perlu ditangani segera. Selain target berada di peringkat dua klasemen akhir tak terpenuhi, prestasi atlet-atlet kita buruk di kategori olahraga atletik dan akuatik. Cabang sepakbola putra yang awalnya digadang-gadang bakal membuahkan prestasi, berakhir jeblok. Beruntung, cabang olahraga SAMBO memberi kita prestasi. “Kita awalnya target satu medali emas. Tapi kita bisa bawa pulang empat emas. Terlepas dari anggaran persiapan kita salah satu yang terkecil dan pelatnas lima bulan di Puncak, Bogor,” ujar Ketum PP Persambi Krisna Bayu kepada Historia. Empat emas itu diraih Ridha Wahdaniyaty Ridwan dari kategori sport 80kg putri, Fajar di combat 57kg putra, Seni Kristian di combat 90kg putra, serta Desiana Syafitri, Emma Ramadinah, Erik Gustam, dan Rio Akbar Bahari di kategori mixedteam (beregu campuran). Ditambah sekeping perak dari Jasono Fitono Sim (perak, combat 82kg putra) serta dua perunggu dari Rio Bahari (sport 82kg putra) dan Deni Arif Fadhillah (combat 74kg putra, Indonesia jadi juara umum di cabang SAMBO. Para atlet SAMBO Indonesia yang membawa pulang 4 emas, 1 perak & 2 perunggu di SEA Games 2019 (Foto: Dok/Facebook Krisna Bayu) Capaian itu tentu layak dibanggakan mengingat baru di SEA Games kali ini SAMBO menyumbang medali kepada kita. Di Asian Games 2018, SAMBO juga sudah dimainkan sebagai cabang resmi, namun tak satupun dari delapan atlet kita yang mendapatkan medali. Juara umumnya kala itu Kazakhstan, salah satu negara pecahan Uni Soviet, dengan dua emas dan tiga perunggu. Mongolia, Uzbekistan, Tajikistan, dan Jepang berturut-turut mengikuti di belakangnya. Tak heran bila tiga dari lima besar itu ditempati negara-negara pecahan Soviet. Seni beladiri SAMBO memang berasal dari negeri “Tirai Besi”. Dari Judo Lahirlah SAMBO Melihat pertandingan SAMBO kategori Sport, Combat, dan Mixed Team, terlihat nyaris tak ada bedanya dengan beladiri-beladiri berintikan gerakan bantingan seperti judo, gulat, jiu-jitsu, atau kurash. Menurut Krisna, bisa dikatakan teknik bantingan dan kuncian SAMBO memang serupa dengan yang digunakan di beladiri-beladiri itu. “Soal bantingan, judo, kurash, gulat, SAMBO seratus persen sama. Di pertarungan ground -nya di kategori sport maupun combat juga seratus persen sama. Di combat, semua olahraga yang menggunakan pukulan dan tendangan adalah sama. Di kategori ini juga ada gerakan cekikan. Jadi SAMBO benar-benar olahraga mix atau campuran,” ujar maestro judo Indonesia era 1990-2000-an itu. Ketum PP Persambi Krisna Bayu saat ditemui di kantornya berbincang mengenai SAMBO Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Persamaan itu wajar karena SAMBO memang diciptakan dari modifikasi judo. Adalah Vasili Sergeyevich Oshchepkov, mata-mata Uni Soviet pada 1920-an, yang menciptakannya. Bersama praktisi beladiri Viktor Spiridonov, Oshchepkov mengembangkannya secara terpisah di kalangan Tentara Merah dengan tambahan modifikasi dari gulat dan jiu-jitsu. Lantaran dikembangkan secara terpisah itulah SAMBO kini bercabang menjadi dua kategori: sport dan combat. Kiprah Oshchepkov bermula dari penugasannya ke Tokyo pasca-kekalahan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1905. Selain ditugaskan untuk mempelajari judo, Oshchepkov juga ditugasi menjadi mata-mata. Di sanalah Oshchepkov mempelajari judo dan jiu-jitsu dengan masuk klub judo Azabu yang bernaung di bawah Resimen Infantri I Tentara Kekaisaran. Oshchepkov lalu membawa judo dan jiu-jitsu ke kalangan militer Soviet pada 1927. “Dia memuat sebuah artikel: ‘Jiu-jitsu Jepang masuk Tentara Merah’ di suratkabar militer Krasnoarmeyskaya Zvezda (30 September 1927), di mana ia menuangkan pemikiran akan relevansi pertarungan jarak dekat dalam perang modern,” sambung Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth dalam Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation, Volume I . Sementara di sisi lain, Spiridonov juga mengembangkan jiu-jitsu di klub olahraga Dynamo, milik NKVD (Polisi Istimewa Soviet), yang dipimpinnya. Bedanya, Spiridonov mempelajari jiu-jitsu via literatur, bukan dari instruktur Jepang langsung, lantaran memang kala itu masih berlaku aturan ketat pelarangan olahraga asing diterapkan di Soviet. Vasili Sergeyevich Oshchepkov (kiri) & Viktor Spiridonov, dua tokoh pelopor SAMBO di Uni Soviet (Foto: sport.sambo/samoz.ru) Keduanya lantas berkolaborasi pada 1923 hingga menciptakan beladiri baru bernama SAMBO. Nama SAMBO merupakan singkatan dari Samozashchita Bez Oruzhiya (beladiri tanpa senjata/tangan kosong). Namun, tak lama kemudian keduanya berseberangan jalan. Masing-masing pun memperkenalkan SAMBO secara terpisah. Oshchepkov di CDKA atau Mabes Tentara Merah, Spiridonov tetap di NKVD. Pada 1950, Soviet menggelar eksebisi internasional SAMBO pertama. Enam tahun kemudian, SAMBO diterima jadi bagian Fédération Internationale des Luttes Associées (FILA) atau federasi gulat internasional sebagai salah satu turunan gulat bebas. Namun baru tahun 1972 FILA merestui kejuaraan terbuka resmi pertama, di Riga, Latvia dan Kejuaraan Dunia SAMBO pertama di Tehran, Iran setahun berselang. Pada 13 Juni 1984 SAMBO memisahkan diri dari FILA untuk kemudian mendirikan federasinya sendiri, Fédération Internationale Amateur de SAMBO (FIAS), di Madrid, Spanyol. Sayangnya hingga kini SAMBO belum diterima sebagai cabang resmi olimpiade. Pembelokan Sejarah SAMBO Sebelum masuk ke pentas olahraga bertaraf internasional pada 1950-an, sejarah SAMBO sempat dibelokkan. Kisah tentang Oshchepkov dimarjinalkan dan Soviet membuat sejarah baru lewat SAMBO yang dibawakan praktisi Anatoly Arkadyevich Kharlampiyev. “Pendekatan risetnya sendiri harus menyerah pada tekanan pertimbangan ideologis, kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, serta simpati personal. Hasilnya adalah manipulasi fakta-fakta dan versi-versi berbeda tentang penciptaan SAMBO. Kini (setelah Soviet bubar, red. ) dokumen-dokumen pemerintah sudah bisa diakses publik dan banyak wawancara dengan saksi mata yang dikumpulkan. Hal itu memungkinkan rekonstruksi penciptaan SAMBO secara mendetail,” ungkap Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth. Terlepas dari pengakuan dunia terhadap Oshchepkov dan Spiridonov sebagai pencipta SAMBO pasca-runtuhnya Soviet, faktanya Kharlempiyev berperan banyak dalam mengembangkan SAMBO. Sepeninggal Oshchepkov pada 1937 setelah ditangkap atas tuduhan mata-mata dan tewas di penjara, Kharlempiyev “memonopoli” pengembangan SAMBO. International SAMBO Tournament yang digelar secara terbatas di Moskva pada 1969 (Foto: sambo.sport/FIAS ) Saat jadi petinggi Komite Olahraga Soviet pada 1938, ia memasukkan SAMBO menjadi salah satu olahraga resmi dan menetapkan hari lahir SAMBO pada 16 November 1938. Saat berkiprah di Departemen Pendidikan Fisik Soviet pada 1953, Kharlempiyev meracik sistem dan regulasi baku SAMBO hingga dijuluki “Bapak SAMBO”. Julukan ini baru diralat setelah kisah tentang Oshchepkov dan Spiridonov dalam arsip Soviet dibuka pada 2000-an. Kharlempiyev kini digelari sebagai “Bapak SAMBO Modern”. Perbedaan SAMBO yang dikembangkan Kharlempiyev terletak pada banyaknya teknik gulat-greco dan gulat bebas –bukan judo– yang diadopsi. Maka ketika SAMBO mulai diperkenalkan ke luar secara terbatas pada 1950-an, para praktisi SAMBO enggan menyatakan SAMBO berakar dari judo. “Beberapa pejudo Jepang yang melihat aksi-aksi petarung SAMBO mengklaim bahwa seni beladiri itu meniru judo, bahwa 75 persen teknik SAMBO sama persis dengan judo. Namun para praktisi Rusia tak mengakui. Mereka bersikeras bahwa sama sekali tak ada pengaruh beladiri Jepang dalam SAMBO,” tulis majalah bulanan Black Belt edisi Februari 1967. Di era itupun SAMBO baru diperkenalkan terbatas di negara-negara Blok Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Rumania, dan Jerman Timur. Sedari awal 1950-an, para atlet SAMBO Soviet pun lebih banyak berkiprah di ajang-ajang judo dan gulat. Belum sepenuhnya ajang resmi SAMBO. “Karena saat itu sebenarnya SAMBO belum benar-benar dikembangkan secara komplit. Para praktisi Rusia masih terus bereksperimen dengan teknik-tekniknya secara utuh untuk membuat sistem keseluruhan yang rasional dan lebih dekat dengan gulat ketimbang judo,” lanjut majalah itu. Oleh karena itu perkembangan SAMBO terbilang lambat dan masih terbatas di Eropa Timur. SAMBO baru benar-benar go -internasional setelah berdirinya FIAS yang diikuti berdirinya federasi serupa di Eropa, Asia, Amerika, Australia dan Oseania, dan Afrika. Meski belum masuk olimpiade, SAMBO sudah dipertandingkan secara resmi di Asian Games 2018 (Foto: sambo.sport/FIAS ) SAMBO Merambah Indonesia Di Indonesia, SAMBO baru populer pada 2006. Ir. Aji Kusmantri, wakil sekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014, jadi pionirnya. Aji jua yang lantas mendirikan Pengurus Besar Persatuan SAMBO Indonesia (PB Persambi). “Sebenarnya di awal 2000-an sudah ada orang Indonesia yang berlatih SAMBO, tapi memang tidak mengembangkan. Sekadar hobi saja. Mereka ini para mahasiswa Indonesia yang sebelumnya studi di Belanda. Dibawa ke Indonesia hanya dalam bentuk komunitas saja,” kata Aji kepada Historia saat dihubungi via telepon. “Resminya”, SAMBO datang ke Indonesia lewat Mr. Pulatov, pejabat polisi Rusia yang mengembangkan SAMBO di Uzbekistan sekaligus salah satu petinggi SAMBO Union of Asia. Misi yang dibawanya adalah untuk belajar dari padepokan judo Indonesia di Ciloto untuk kemudian diadopsi untuk mendirikan perguruan SAMBO di Uzbekistan sekaligus untuk lebih mengglobalkan SAMBO agar bisa masuk cabang resmi olimpiade. “Mulanya Mr. Pulatov itu bersurat ke Kemenpora tapi enggak direspon. Lalu dia kontak pengurus judo Singapura yang juga teman saya, Gerard Lim. Dari teman saya itu yang memberikan kontak saya kepada Mr. Pulatov,” tambahnya. Setelah kontak tersambung, Pulatov menemui Aji untuk kemudian diantarkan ke Kemenpora. “Saya bawa ke Almarhum Pak Latif, orang Kemenpora. Tapi karena dari Kemenpora melihatnya ini barang (baca: olahraga) baru, mereka enggak begitu komentar banyak. Indonesia ini negara ke sekian yang didatangi Pulatov. Cita-citanya agar SAMBO masuk olimpiade,” lanjut Aji yang lantas mendirikan PB Persambi pada 2006. “Pak Aji melihat olahraga SAMBO ini bakal berkembang. Makanya dia ikut mempelopori-lah. Tapi 13 tahun mati suri. Karena belum adanya kesamaan visi-misi dengan Pak Aji, terus saya ambil alih. Saya ingin Persambi ini ada legalitasnya karena waktu itu belum ada,” sambung Krisna. Krisna Bayu memimpin PP Persambi sejak 2017 yang berharap SAMBO sudah akan dipertandingkan secara resmi di PON 2024 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Krisna mengubah sedikit nama menjadi PP (Pengurus Pusat) Persambi. Pada musyawarah nasional tahun 2017, Krisna terpilih menjadi ketua umumnya. “Memang sempat clash dengan Pak Aji, namun kita berdua membuat kesepakatan. Karena sebuah organisasi kan harus ada landasan hukumnya, harus punya legalitas,” tambahnya. Meski sudah diikutkan dalam Asian Games 2019, PP Persambi baru resmi menjadi anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada Juni 2019. Itupun, aku Krisna, setelah sempat tiga kali ditolak menjadi anggota. “Banyak alasanlah waktu itu. Tapi akhirnya kita dilantik jadi anggota KONI dan KOI itu Juni 2019. Kini kita sudah punya 27 pengurus provinsi. Dengan hasil SEA Games ini (4 emas, 1 perak, 2 perunggu), saya akan berusaha untuk masuk eksebisi PON (Pekan Olahraga Nasional) 2020. Harapannya di PON 2024 sudah include di dalam PON sebagai cabang resmi,” tandas Krisna.






















