Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mata Uang dari Cangkang Kerang
Ada masa di mana selembar uang kertas seratus ribuan rupiah bewarna pink tak lagi bisa dipakai untuk membayar belanjaan. Tak laku ia dipasaran karena yang berlaku waktu itu adalah uang dari kulit kerang yang kini dengan mudah bisa didapat di antara serakan kerang-kerang di pantai-pantai Indonesia. Ingrid Van Damme dari Museum Bank Nasional Belgia dalam laman Citéco menulis, kulit kerang pada masa lalu pernah digunakan sebagai alat pembayaran dan dianggap sebagai simbol kekayaan dan kekuasaan. "Penggunaan sistem moneter ini berlanjut hingga abad ke-20," tulisnya. Dua varietas kerang yang paling utama adalah Cypreae moneta dan Cypraea annulus, atau apa yang sering disebut kerang cowrie. Keduanya punya semua fitur yang dapat diharapkan dari mata uang, yaitu daya tahan, kenyamanan, dapat dibagi, serta mudah diidentifikasi. "Dibandingkan dengan bahan makanan, yang tak tahan lama, dan bulu, yang dapat rusak oleh hama, kulit kerang mudah ditangani, kecil dan mudah diangkut," kata Ingrid. Gambar dari 1845 memperlihatkan cangkang kerangcowrie digunakan sebagai mata uang oleh pedagang Arab. (The Vintage News) Ditambah lagi, jenis kerang ini hampir selalu memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Mereka juga dapat dihitung atau hanya ditimbang untuk menentukan nilai pembayaran. The Vintage News menulis, jenis kerang ini berasal dari kawasan Samudera Hindia dan Pasifik. Populasinya sangat tinggi di perairan sekitar Kepulauan Maladewa, yang letaknya di barat daya India. Namun dengan uang ini orang-orang kuno bisa berbelanja di kawasan Asia, Afrika, Oseania, bahkan di beberapa bagian Eropa. "Karena kedekatan dengan sumber daya alam, seluruh industri kerang laut lahir di Maladewa. Pria, wanita, dan anak-anak semuanya mengumpulkan dan menyiapkan cangkang untuk diperdagangkan," jelasnya. Caranya, tikar anyaman yang terbuat dari cabang pohon kelapa ditempatkan di permukaan air. Bayi moluska akan berkumpul di tikar. Lalu tikar dikeluarkan dari air untuk dikeringkan. Setelah kering, cangkang dipoles, dinilai, dan diekspor. Sebagian besar ke Bengal yang merupakan pusat perdagangan utama pada saat itu. Cangkang cowrie kemudian dirangkai pada tali untuk dinilai secara terpisah. Kalau tidak, cangkang-cangkang itu dimuat dalam ember untuk dijual dalam jumlah yang lebih besar. Itu semua tergantung pada tempat perdagangannya. Di Bengal, misalnya, pembayaran kerang dilakukan dengan keranjang yang penuh dengan kerang. Setiap keranjang berisi sekitar 12.000 kulit kerang. Ilustrasi Cangkang Cowrie Kendati Maladewa merupakan sumber uang cowrie terpenting sepanjang sejarah, penggunaan kulit cowrie sebagai mata uang, yang menurut beberapa peneliti merupakan bentuk mata uang tertua, justru berasal dari Tiongkok kuno. Beberapa ribu tahun yang lalu, orang-orang Tiongkok membutuhkan mata uang yang efisien. Mata uang yang dapat digunakan untuk berdagang di semua bagian kerajaan besar mereka. Mereka pun lalu memilih kulit kerang karena sulit dipalsukan. "Tetapi yang terpenting sumber kerang jauh dari Cina, tak mudah didapat. Ini berarti hanya orang terkaya yang bisa memperoleh komoditas ini dalam jumlah besar," tulis The Vintage News. Jejak tertua penggunaannya sebagai mata uang dapat ditemukan pada benda-benda perunggu yang digali di Tiongkok. Yang tertua berasal dari abad ke-13 SM. Menariknya, selama penggalian di makam beberapa kaisar awal, ditemukan bahwa mereka dimakamkan dengan kulit kerang di mulutnya. Pun rupanya banyak karakter dalam bahasa mereka, yang merujuk pada uang atau perdagangan, mengandung simbol kulit kerang: 貝. "Karakter Tiongkok untuk kata-kata tertentu, seperti "uang", "koin", "beli", "nilai" juga menyerupai bentuk kerang cowrie ," tulis laman itu. Cara Menentukan Nilai Pertanyaannya, bagaimana masyarakat menentukan nilai mata uang cangkang cowrie dibandingkan dengan barang lain? Rupanya itu cukup sederhana. Nilai mereka ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan. Semakin jauh tempat itu berasal dari sumber cowrie atau pusat perdagangan primer, semakin besar nilai yang dimiliki uang cowrie . Itu berarti ada tempat-tempat di mana ia dihargai lebih tinggi. "Anda dapat membeli seekor sapi hanya dengan satu cowrie ," tulis The Vintage News. Sementara di tempat lain, di mana cangkang kerang lebih melimpah, satu cowrie bisa tak memiliki nilai. Di Maladewa, misalnya, seseorang membutuhkan ribuan kerang untuk ditukar dengan satu koin emas. Nilainya juga ditentukan berdasarkan waktu pemolesan cangkang kerang. Semakin banyak pekerjaan dimasukkan ke dalam kerang, semakin banyak nilai yang mereka miliki. "Mereka yang akrab dengan proses penambangan Bitcoin akan melihat bahwa ini terdengar sangat mirip. Ini adalah prinsip yang sama yang kita gunakan hari ini tetapi ditemukan ribuan tahun sebelumnya," lanjut laman itu. Peran cangkang kerang sebagai mata uang terus dipakai sampai pertengahan abad ke-20. Ini pun menunjukkan seberapa efisien dan stabil sistem purba ini.
- Penerjunan Pertama Indonesia
DERU mesin pesawat DC-3 Dakota RI-002 memecah keheningan pagi 17 Oktober 1947. Pilot Bob Freeberg, veteran AL AS yang menjadi pilot Commercial Air Lines Incorporated (CALI), dan co-pilot Mayor Makmur Suhodo berkonsentrasi penuh mencari dropping zone , Sapanbiha, Kalimantan. Langit masih gelap. Belantara Kalimantan di bawah hanya terlihat hamparan warna hitam. Mata Mayor (Ud.)Tjilik Riwut, pemuda Dayak yang menjadi perwira di Bagian Siasat Perang Sekretaris KSAU, terus memelototi daratan yang akan dijadikan titik penerjunan. Meski sulit, dia tak ingin gagal. Misi kali ini menjadi pertaruhan baginya sekaligus AURI dalam mempertahankan kemerdekaan di bumi Kalimantan. Sejak Indonesia diproklamirkan, para republiken berjuang secara swadaya mengusir Belanda yang dipasrahi AS memegang kendali ketertiban dan keamanan di Kalimantan. Perjuangan para republiken di Kalimantan dilakukan dengan bergerilya menggunakan persenjataan alakadarnya. Bantuan dari pusat selalu gagal mencapai tujuan lantaran blokade pasukan Belanda amat ketat. Bagi Gubernur Kalimantan Ir. Mohammad Nur, satu-satunya pengiriman bantuan yang mungkin hanya lewat udara. Sepucuk surat pun dikirimkannya kepada KSAU Komodor Suryadarma di ibukota RI Yogyakarta. “Isinya meminta bantuan agar AURI bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan, kemudian menerjunkan mereka kembali ke Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Permintaan itu membuahkan hasil. Setelah merundingkannya dengan pimpinan AURI, Markas Besar Tentara (MBT) membentuk staf khusus untuk membuat pasukan payung yang akan diterjunkan ke Kalimantan. Dalam waktu singkat, sekira 60 pejuang asal Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa berhasil direkrut. Mereka ditempatkan di Asrama Padasan, dekat Lanud Maguwo. Di bawah Tjilik Riwut, yang ditunjuk Suryadarma memimpin pembentukan pasukan itu, mereka kemudian menjalani latihan dasar terjun. Mereka dilatih oleh Opsir Udara II Sujono, Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Sersan Udara Mispar, dan Kopral Udara Sangkala. Namun karena sempitnya waktu, latihan terjun hanya didapatkan secara teori dan latihan di darat tanpa penerjunan dari pesawat. Dua belas orang akhirnya terpilih masuk dalam tim penerjuanan yang akan menggunakan pesawat RI-002 itu. Letnan Udara II Iskandar ditunjuk mengomandani tim. Dua personil PHB (perhubungan) AURI bakal menemani penerjunan mereka. Selain ikut terjun, Tjilik Riwut mendapat tugas menjadi penunjuk jalan, sedangkan Amir Hamzah sebagai jumping master . Dini hari 17 Oktober 1947, mereka diberangkatkan dari Lanud Maguwo. “Suryadarma turut hadir untuk memberikan briefing dan melepas keberangkatan mereka dengan manyalami seluruh anggota pasukan satu per satu,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . “Tujuan dan tugas operasi penerjunan rahasia itu adalah membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha, membantu perjuangan rakyat setempat, membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya,” tulis Irna dkk. Sekira subuh, pesawat RI-002 sudah mencapai langit Kalimantan. Pesawat itu terus terbang menuju sebuah bukit kecil yang berada di sebelah titik penerjunan. “Akan tetapi 10 menit kemudian di sebelah bukit kecil yang dimaksudkan itu kami tidak ada melihat suatu apapun kampung atau lapangan,” kenang Tjilik Riwut dalam memoarnya, Kalimantan Memanggil . Setelah Tjilik yakin mereka sudah di atas Sepanbiha, pintu pesawat pun dibuka. Satu per satu penerjun melompat keluar dan terjun, kecuali Jamhani yang batal terjun karena takut. Penerjunan personil itu kemudian diikuti penerjunan peralatan dan logistik bekal gerilya. Kendati beberapa penerjun sempat tersangkut di pohon, mereka semua selamat menapakkan kaki di darat. Mereka akhirnya bisa bergabung kembali pada hari ketiga lantaran tercerai-berai saat mendarat. Sebagian peralatan yang diternjukan pun tak dapat ditemukan. Namun yang menjadi masalah, mereka ternyata bukan mendarat di Sepanbiha ( droppingzone ), melainkan di Kampung Sambi, barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin. Alhasil, mereka pun terpaksa survive di dalam belantara. Pada hari ke-35, mereka bermalam di sebuah ladang di tepi Sungai Koleh. Dini hari 23 Nopember, ketika mayoritas mereka sedang nyenyak tertidur, tembakan dari pasukan NICA menghujani mereka dari tiga arah. Letda (Ud.) Iskandar, Sersan (Ud.) Achmad Kosasih, dan Kapten (Ud.) Hari Hadisumantri gugur seketika. Suyoto tertawan. Sisa pasukan yang selamat langsung menyelamatkan diri. Mereka langsung keluar-masuk hutan melakukan gerilya. Namun kepungan pasukan NICA begitu ketat, ruang gerak mereka kian terbatas. Kurang dari dua bulan kemudian, sisa pasukan penerjunan pertama yang selamat itu semua tertangkap. Setelah dibawa ke Banjarmasin, mereka ditahan di Penjara Bukitduri, Jakarta sebelum dipindah-pindah lagi ke Penjara Glodok, Cipinang, dan Nusakambangan. Mereka dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar. Untuk mengenang operasi penerjunan pertama Indonesia itu, sutradara Vladimir Sis membuat film berjudul Aksi Kalimantan . Selain Bambang Hermanto, film itu dibintangi antara lain oleh Bambang Irawan dan Mieke Wijaya. “Operasi penerjunan yang dilakukan oleh 13 prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan pasukan khusus AURI, yang kemudian dikenal sebagai Pasukan Gerak Tjepat (PGT),” tulis Adityawarman.
- HUT Kota Surabaya dan Pasukan Sriwijaya
DIRGAHAYU “kota pahlawan” Surabaya. Pada 31 Mei lalu, usianya sudah menginjak 726 tahun. Hari jadi Surabaya 31 Mei diambil dari momen pada 1293 ketika Raden Wijaya memimpin pasukan Majapahit menangkal invasi pasukan Mongol. Seiring perjalanan waktu, Surabaya berkembang pesat dan bertabur kisah heroisme hingga dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Sayangnya, majunya perkembangan kota justru membuat identitas kepahlawanan Surabaya perlahan menguap seiring dengan beralih fungsinya bangunan-bangunan bersejarah. Benteng Kedungcowek di sisi timur Jembatan Suramadu, salah satunya. Persoalan itu sedang digugat sekelompok aktivis dan penggiat sejarah dari komunitas Roode Brug Soerabaia. “Surabaya adalah kota petarung dengan karakter penduduknya yang egaliter serta blak-blakan. Mari kita jujur pada diri sendiri, ruh Surabaya sebagai kota pahlawan apakah semakin memudar? Jika semakin memudar lantas kita bisa apa?” bunyi penggalan surat terbuka Ady Erlianto Setyawan, periset sejarah serta founder Roode Brug Soerabaia. Surat terbuka itu tidak hanya disebar via media sosial namun juga sudah disampaikan secara resmi ke Kadisbudpar Kota Surabaya Antiek Sugiharti pada Jumat (31/5/2019) pagi. Ia tak ingin Benteng Kedungcowek senasib dengan sejumlah situs sejarah yang akhirnya musnah dalam lima tahun belakangan. “Sebelumnya kan ada Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo hilang (dibongkar). Lalu ada nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari sebagian dihilangkan. Ada juga rumah perundingan para pembesar Surabaya saat pertempuran 10 November di daerah Kayun juga hilang,” terang Ady ketika dihubungi Historia. Pernyataan dan surat terbuka itu diajukan setelah pada 23 Mei 2019 muncul dua kabar di dua media lokal bahwa situs Benteng Kedungcowek sudah ditukar guling ke pihak swasta. Situs itu sendiri kepemilikan lahannya ada di tangan Kodam V Brawijaya. “Jadi rame karena koran Surya dan Tribun menurunkan dua judul: ‘Benteng-Bunker Milik Swasta, Pemkot Surabaya Gagal Ubah Jadi Destinasi Wisata’, dan ‘Pemkot Surabaya Kubur Impian Jadikan Bunker di Kaki Suramadu Destinasi Wisata, Jatuh ke Pihak Swasta’,” sambungnya. Di salah satu berita itu disebutkan bahwa lahan situs itu sudah ditukar guling oleh Kodam ke perusahaan produsen kopi. Soal ini Historia sempat berusaha mengonfirmasi kepada Kapendam V Brawijaya Kolonel (Inf) Singgih Pambudi via pesan singkat namun belum ada respons hingga tulisan ini diturunkan. Pun begitu saat mencoba mengontak Purnawan Basundoro, salah satu anggota tim cagar budaya, setali tiga uang. “Pernah saya hubungi juga pihak Kodamnya tapi katanya tidak (benar). Cuma saja yang mengganjal saya, kenapa mereka tidak kasih pernyataan resmi? Dari pihak Pemkot ngeles -nya dengan alasan bahwa itu (lahan) milik Kodam. Padahal Undang-Undangnya tidak begitu,” kata Ady merujuk pada Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB) Nomor 26 ayat 1 tahun 2010, di mana intinya pemerintah punya kewajiban dalam pencarian cagar budaya dan meriset lokasi/bangunan/struktur yang diduga cagar budaya. Sejarah Benteng dan Epos Batalyon Sriwijaya Situs Benteng Kedungcowek mulai jadi perhatian setelah ditemukan kembali pada 2010. Sejumlah sisa bangunannya berselimut tumbuhan menjalar dan rimbun. Pencarian awal data, dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? karya Batara R. Hutagalung , didapati kisah bahwa benteng ini pernah jadi markas sejumlah pemuda Sumatera eks-Heiho (Pasukan Pembantu Jepang) dalam pertempuran dahsyat itu. Pada 2013, Roode Brug Soerabaia dibantu Batalyon Arhanudse 8 Gedangan Kodam V Brawijaya menggelar kerja bakti dan bersih-bersih benteng. Riset lebih dalam dilakoni Ady setahun berselang dengan melawat ke Arsip Nasional Belanda di Den Haag untuk mengintip cetak birunya. Situs Benteng Labrador di Singapura (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Dari situ ditemukan fakta bahwa benteng itu dibangun di era 1880-an dan selesai pada awal 1900-an. Rupa benteng pun “11-12” dengan Benteng Labrador di Singapura. “Keduanya sama-sama sebagai benteng pertahanan pantai. Benteng Labrador dibangun berhadapan dengan Benteng Siloso di Pulau Sentosa. Kedungcowek dibangun berseberangan dengan Pulau Madura,” sambung Ady, yang membukukan hasil risetnya menjadi Benteng-Benteng Surabaya. Selain adanya hoist dan minor recess maupun parapet -nya, kesemaan mencakup hingga vegetasi yang merangkul sejumlah badan bangunan. Perbedaan keduanya hanya pada penempatan titik-titik mounting meriam. Pada Pertempuran 10 November, benteng ini jadi salah satu pos terdepan dalam meladeni gempuran meriam-meriam kapal laut Inggris. Dituliskan Batara dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? , setelah “lepas dinas” dari Heiho, para pemuda Sumatera itu transit di Surabaya sepulang dari bertempur di Morotai. Sekira satu batalyon memutuskan tetap tinggal di Surabaya, sementara sisanya kembali ke daerah masing-masing. Mengingat situasi Surabaya mulai panas sejak Oktober 1945, mereka dikumpulkan untuk “direkrut” demi angkat senjata lagi. Para pemimpin Surabaya menunjuk Kolonel Wiliater Hutagalung untuk mengoordinir sesama pemuda dari Sumatera itu. Mereka diterangkan soal situasi terkini bahwa Republik Indonesia sudah diproklamirkan dan diminta bersumbangsih dalam mempertahankannya. Mereka berkenan kembali bertempur setelah izin membentuk pasukan sendiri dikabulkan. “Kemudian mereka memilih pimpinannya sendiri di antara mereka serta mengatur pangkat sesuai aturan dalam sebuah batalyon. Mereka kemudian menamakan dirinya pasukan Sriwijaya. Memang agak aneh karena sebagian besar berasal dari Tapanuli, Aceh, dan Deli, hanya beberapa yang berasal dari Sumatera Barat dan Selatan,” tulis Batara. Mereka ditempatkan di Benteng Kedungcowek dengan sisa-sisa persenjataan dan meriam artileri Jepang yang memang sudah mereka kuasai operasionalnya. Tambahan persenjataan lain didapat saat ikut perebutan senjata dari tangsi Jepang di Morokrembangan. Pagi 10 November 1945, Inggris menggelontorkan kekuatannya dari darat, laut, dan udara. Pasukan Sriwijaya bertugas meladeni muntahan meriam-meriam kapal perang HMS Glenroy , HMS Princess Beatrix , HMS Waveney , HMS Loch Glendhi , HMS Cavallier , HMS Lochgorm , HMS Sussex , HMS Carron, dan HMSEkma . Dengan meriam-meriam peninggalan Jepang, Batalyon Sriwijaya membalas walau tak seberapa kuat. Hasilnya, dari hari ke hari perlawanan kian melemah. Sepertiga jiwa pasukan melayang. Reka ulang pertempuran Batalyon Sriwijaya di Benteng Kedungcowek (Foto: Antara) Perlawanan Batalyon Sriwijaya baru berakhir pada 27 November 1945 setelah benteng itu diduduki Inggris. Catatan Public Record Office No. 172/6965 X/5 1512 dalam ISUM tertanggal 27 November melaporkan, tentara Inggris mendapati 400 ton peluru meriam yang belum sempat ditembakkan.Sisa-sisa Batalyon Sriwijaya yang mundur lantas meleburkan diri ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon Djarot (Djarot Subijantoro) untuk bergerilya di luar kota. Epos itulah yang ingin dilestarikan Ady Setyawan dkk. sejak 2015, saat mereka presentasi di depan tim ahli cagar budaya Disbudpar Kota Surabaya. Temuan-temuan di arsip-arsip Belanda turut diserahkan sebagai pertimbangan pemerintah kota menjadikan benteng itu sebagai cagar budaya. Namun pada April 2018 justru muncul pernyataan ganjil tim ahli itu bahwa benteng itu merupakan peninggalan Jepang. “Lho, berarti rapat-rapat yang diadakan sama kita sebelumnya itu apa? Hasil riset dan presentasi yang kita kasih diapakan sama mereka?” tandas Ady.
- Sumber Pemasukan Kerajaan Kuno
Kerajaan-kerajaan kuno punya kebijakan meringankan pajak bagi desa-desa perdikan ( sima ). Namun, pemasukan negara tetap terjaga, salah satunyaa dari pajak. Semua penduduk wajib membayar pajak. Di samping mereka harus kerja bakti untuk raja atau kerajaan. Menurut arkeolog UGM, Djoko Dwiyanto membayar pajak merupakan komitmen rakyat untuk menjaga keselarasan hubungan sosial dengan rajanya. “Seorang raja dianggap dapat melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyatnya,” tulisnya dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi” dalam Jurnal Humaniora I/1995. Pajak Tanah Ada beberapa hal yang dikenai pajak. Pertama, pajak tanah. Ini terkait dengan istilah pajak dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut drabya haji . Selain punya arti pajak secara umum, ia jua berarti “milik raja”. Djoko menjelaskan, pengertian ini muncul dari anggapan kalau rajalah yang punya hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah itu. Sementara rakyat hanya punya hak menggarap dan mengelola. “Hak raja atas sebagian pembagian hasil itu diwujudkan dalam bentuk iuran sejumlah emas dan perak. Iuran ini harus diserahkan ke kas kerajaan,” lanjut Djoko. Tanah yang kena pajak yaitu sawah, pegagan atau sawah kering, kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai. Besar pajaknya ditetapkan berdasarkan luas tanah, terutama untuk sawah dan kebun. Menurut epigraf Boechari dalam “Kerajaan Matarām dari Prasasti" yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti,” petugas kerajaan yang mengukur tanah itu bernama wilang thani . Artinya pemerintah pusat punya daftar catatan tentang luas dan berbagai macam tanah yang ada di seluruh kerajaan, dan berapa penghasilan pajak yang dapat diterima. Penetapan itu seringkali menimbulkan sengketa akibat standar ukuran yang berbeda. “Beberapa contoh kasus terjadi berupa permohonan revisi pajak dengan cara mengukur kembali luas tanah yang akan dikenai pajak,” jelas Djoko. Pajak Orang Asing Kedua, pajak perdagangan dan usaha. Boechari menerangkan usaha yang dimaksud yaitu hasil kerajinan dan keahlian tertentu yang digunakan untuk mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh gamelan, dan dalang. Ketiga, pajak orang asing yang dalam prasasti disebut warga kilalang . Misalnya, dalam Prasasti Palebuhan (927 M) disebut orang asing yang wajib membayar pajak, yaitu keling, Arya, dan Singhala. “Gambaran yang diperoleh dari prasasti orang asing masa itu erat kaitannya dengan perdagangan,” jelas Djoko. Pajak yang dikenakan kepada mereka bukan karena aktivitasnya, melainkan keberadaannya sebagai orang asing. Keempat, pajak keluar masuk wilayah yang dalam prasasti disebut pinta palaku . Artinya, pajak yang dikenakan pada orang yang melakukan perjalanan. Dalam praktiknya, penarikan pajak tidak kaku. Pada saat tertentu raja memberikan keringanan bahkan membebaskan dari pajak. Dalam penetapan sima , pajak tak dibebaskan sama sekali karena raja membutuhkan pemasukan untuk menggaji pegawai kerajaan. Menurut Djoko dalam usaha menjaga kestabilan sumber pemasukan itu muncul istilah pembatasan usaha. Ini dilakukan agar kerajaan tak kehilangan sumber pendapatan sama sekali. “Barangkali secara politis untuk menjaga agar tidak terjadi akumulasi pengusaha dalam sebuah sima yang bermaksud menghindari pajak,” jelas Djoko. Misalnya, perdagangan ternak. Dalam Prasasti Linggasutan (929 M) disebutkan pajak tidak dipungut di daerah sima jika tidak melebihi jumlah yang ditetapkan yaitu jumlah pedagangnya tiga orang dalam sebuah kelompok aktivitas perdagangan. Jika kerbau tak lebih dari 30 ekor, sapi 40 ekor, kambing (?) ekor, dan satu wadah pranjen ( wantayan ) itik. Jika pada periode Jawa Tengah jenis usaha yang dibatasi adalah perdagangan, pada periode Jawa Timur ditambah lagi. Pembatasan juga berlaku pada bisnis sarana transportasi, seperti pemilikan perahu dan kuda tunggangan serta budidaya di pantai dan kelautan. “Hasil ini sangat erat kaitannya dengan ketentuan bahwa sumber daya perekonomian yang bermanfaat bagi kemaslahatan umum sebaiknya dikuasai negara,” jelas Djoki. Sumber kas kerajaan lain adalah hasil rampasan perang. Petugas yang mengurusnya disebut tawān atau hañanan di ibukota kerajaan. Lalu cenderamata dari negara sahabat yang tak banyak disebutkan dalam prasasti. “Mungkin sekali karena jenis pendapatan itu tak begitu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian negara,” jelas Djoko.
- Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara
BEBERAPA minggu terakhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan harga tiket pesawat terbang yang naik gila-gilaan menjelang mudik Lebaran. Tiket kelas bisnis dari Bandung ke Medan, misalnya, mencapai Rp21 juta. Seberapa pun para perantau Sumatera di Jawa bekerja keras dan menabung untuk pulang kampung, jumlah sebanyak itu tetap saja terasa sangat berat dan sulit diterima. Akibatnya, kini terjadi penurunan tajam pemudik berpesawat sekaligus lonjakan drastis pemudik yang menggunakan bus, kereta, dan kapal, serta kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor yang dinaiki dua hingga empat orang, plus barang-barang.
- Ramadan Para Tahanan
SAMBIL duduk di teras sel tempat tahanannya dan menghirup udara segar, Mia Bustam bergantian memandangi langit malam dan menyaksikan rekan-rekan sesama penghuni kamp shalat tarawih di kamar F1. Selama Ramadan, pintu sel dibuka untuk lalu-lalang tapol perempuan yang ingin shalat tawarih. Para penghuni yang tidak tarawih menunggu di luar, termasuk Mia yang memutuskan masuk Katolik setelah jadi tahanan politik (tapol). “Pada bulan-bulan lain kami tidak pernah melihat bulan atau bintang-bintang karena langit tidak tampak, terhalang oleh atap emper. Selama bulan puasa kami nikmati benar pemandangan indah itu,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp. Sepulang tarawih, kawan-kawan Mia membawa pulang jaburan, snack yang dibagikan selepas tarawih untuk dinikmati sambil menyimak pengajian. Jaburan itu lantas dibagi rata dengan para penghuni kamp lain, biasanya setup jambu biji. Menu ini terbilang mendingan, pasalnya makanan di dalam kamp amat buruk. Kol dan ikan asin busuk atau grontol (jagung rebus dengan parutan kelapa) yang jagungnya amat keras (jenis metro) menjadi menu rutin mereka. Waktu makan normal para tapol ialah pukul 10 pagi dan 3 sore. Kala bulan puasa, mereka sebetulnya cuma memindahkan jam makan saja, lantaran jatah makannya dipakai untuk sahur dan berbuka. Hidangan untuk para tapol ketika puasa pun tak ada yang spesial, tetap kol busuk, ikan asin buduk, atau grontol super keras. Pernah suatu kali di Ramadan tahun 1966, ketika Mia masih ditahan di Beteng Vredeburg, terdengar suara orang muntah dari dalam sel pria lantaran berbuka puasa dengan makanan kadaluarsa. Sore itu jatah makan yang dikirim dari Wirogunan berupa gathot (singkong hitam yang diberi parutan kelapa). Rupanya, gathot itu sudah apek dan beracun. “Tahanan perempuan tidak memakan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa ,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”. Namun, namun beberapa tahanan pria yang kelaparan langsung memakannya. Tak lama setelah itu, beberapa di antaranya pun tumbang jalaran gathot beracun. Suasana jadi panik, para sipir mondar-mandir bingung. Para tahanan berusaha menolong teman satu selnya yang keracunan. Di tengah kekacauan itu, Pak Parman Jenthut, tapol asal Kricak yang disegani, berteriak, “Yang masih sehat, jangan makan gathot itu!” Salah seorang tapol ingat kalau daun papaya mentah bisa jadi penawar keracunan. Kebetulan, di halaman depan kamar petugas ada pohon pepaya yang belum berbuah. Maka, habislah daun-daunnya diambil untuk mengobati para tapol hingga tinggal pokoknya saja. Jatah makan tak layak terulang lagi pada Ramadan 1967. Mia kala itu sudah dipindahkan ke Wirogunan. Makanan yang dibagikan menjelang buka puasa ialah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di blok F dan tapol pria di blok E sepakat tidak menyentuh oyek itu. Mereka lebih pilih lanjut puasa sampai esok hari tanpa makan sedikitpun. Tapi pada akhirnya pihak pengurus dapur mengalah. Jam 9 malam mereka memberikan grontol yang masih hangat beruap. Jagungnya pun bukan metro seperti biasanya, melainkan jagung manis. Namun lantaran para petugas memasaknya dengan terburu-buru, alhasil jagung pun kurang matang dan jadi biang gas di perut. Tak lama kemudian keluar “tembakan-tembakan” dari dalam sel. “Dat-dut-dat-dut itu bisa terjadi kalau jagung dimasak tak matang benar,” kata Mia. Meski sudah rajin ibadah sejak sebelum masuk tahanan, para tapol yang digolongkan sebagai orang komunis (meski tidak semuanya demikian) diangggap tidak beragama. Mereka mendapat pembinaan mental. Mulanya para tapol diminta memilih agama yang akan dipelajari, kemudian tiap minggu akan ada rohaniawan yang datang berkunjung. Mereka sering merasa bosan dengan pengulangan materi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. “Kami semua ya beragama. Meski selalu dituduh PKI ateis, kami semua beribadah… nyatanya di dalam kamp ngajinya sudah bagus-bagus,” kata Indrasih, penghuni kamp Plantungan dalam Gerwani: Kisah Tepol Wanita di Kamp Plantungan.
- Pasang Surut Pasar Tanah Abang
Kerusuhan melanda kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 21—22 Mei 2019. Selama dua hari berikutnya, Pasar Tanah Abang terdampak. Para pedagang menutup kiosnya. Mereka jatuh rugi. Perputaran uang senilai Rp200 miliar per hari hilang. Tapi tiga hari setelah kerusuhan, Pasar Tanah Abang buka kembali. Pengunjung pun menyesaki pasar untuk membeli pakaian Lebaran. Sejarah Pasar Tanah Abang ialah sejarah bangkit berkali-kali dari hantaman bala. Kerusuhan dan kebakaran pernah menimpa pasar ini silih berganti. Tapi pasar ini mampu bertahan. Bahkan kemudian menjelma pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Pasar Tanah Abang bermula dari permintaan Justinus Vinck, pejabat kaya VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), untuk mendirikan pasar di atas dua lahan miliknya pada 1733. Satu di wilayah Weltevreden (sekarang Pasar Senen), lainnya berada di Tanah Abang. Vinck melihat perkembangan Batavia ke wilayah selatan telah membentuk permukiman baru. Ada pula pembukaan kebun-kebun baru seperti kebun kacang, kebun jahe, kebun pala, kebun sirih, dan kebun melati untuk penduduk di Tanah Abang. Tetapi belum ada pasar di sekitar wilayah hunian baru ini. Vinck memperoleh izin pendirian dari Gubernur Jenderal Abraham Patras dua tahun berselang, pada 30 Agustus 1735. Surat izin Gubernur Jenderal menyebutkan hari buka pasar milik Vinck. “Pasar diselenggarakan hari Senin untuk Pasar Weltevreden, hari Sabtu untuk pasar yang akan dibangun di Bukit Tanah Abang,” tulis Abraham Patras dalam suratnya kepada Vinck, dikutip PD Pasar Jaya dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun. Terdampak Huru-Hara 1740 Dua pasar Vinck memiliki jenis dagangan berbeda, sesuai aturan Gubernur Jenderal. Pasar Senen untuk jenis sayur mayur dan keperluan sehari-hari. Tanah Abang kebagian jenis tekstil, klontong, dan sedikit sayuran. Vinck membangun sebuah jalan untuk menghubungkan dua pasar ini. Keberadaan jalan mempermudah pedagang dan pembeli menjangkau pasar tersebut. Kemudahan akses terhadap pasar menumbuhkan jumlah transaksi. Dua pasar ini selalu ramai selama lima tahun beroperasi. Sebuah lukisan karya Johannes Rocht pada 1750 menggambarkan keramaian Pasar Weltevreden. Tampak bangunan pasar terbuat dari bambu dan atapnya berbahan rumbia. Gerobak sapi, kerbau, dan kuda memenuhi jalanan pasar. Tersua juga pedagang sedang memikul barang di jalanan pasar. Rocht memang hanya melukis suasana Pasar Weltevreden. Tidak ada lukisan tentang Pasar Tanah Abang. Tetapi lukisan tentang Pasar Weltevreden dianggap mewakili keadaan serupa di Pasar Tanah Abang selama lima tahun pertama operasional pasar. Dalam lima tahun pertama pula salah satu pasar milik Vinck menghadapi bala. Pasar Tanah Tanah Abang beroleh serangan dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff pada 8 Oktober 1740. Serangan Von Imhoff merupakan jawaban atas perilaku agresif orang-orang Tionghoa di Tanah Abang terhadap pos jaga VOC sehari sebelumnya. Banyak orang Tionghoa menjadi pedagang di Pasar Tanah Abang. Mereka juga bertempat tinggal di sekitar kawasan pasar. Pasukan VOC menggunakan meriam untuk menghadapi orang-orang Tionghoa di Tanah Abang. “Dengan mudah W. von Imhoff membubarkan gerombolan Tionghoa yang bikin gaduh di Tanah Abang,” catat Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Adolf menambahkan orang-orang Tionghoa lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Tembakan meriam merusak sejumlah bangunan Pasar Tanah Abang. “Baru lima tahun berdiri Pasar Tenabang terkena bencana, porak-poranda, dan terbakar ludes,” tulis Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe. Huru-hara ini melumpuhkan Pasar Tanah Abang hingga 20 tahun. Kumuh dan Sarang Gelandangan Pasar Tanah Abang beroperasi kembali setelah hubungan VOC dengan orang-orang Tionghoa membaik. “Malah orang Cina diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk memungut cukai pasar secara borongan,” ungkap Abdul Chaer. Orang Tionghoa juga memperoleh izin pengelolaan rumah madat atau candu di sekitar Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang terus semarak memasuki 1800-an. Hari buka pasar tidak lagi cuma pada Sabtu, melainkan juga pada hari Rabu. Keramaian aktivitas perdagangan di pasar tak seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan. Bangunan-bangunan pasar kian lama kian rapuh dan kusam. Sampah-sampah menumpuk dan semrawut. “Sampai akhir abad ke-19 bahkan awal abad ke-20 Pasar Tanah Abang belum mempunyai bangunan permanen,” tulis PD Pasar Jaya. Perbaikan fisik di Pasar Tanah Abang berlangsung secara kecil-kecilan pada 1913. Lantai bawahnya mulai dikeraskan pondasi adukan. Perbaikan ini kurang berdampak banyak bagi lingkungan pasar. Khawatir pedagang dan pembeli berkurang, pemerintah kolonial akhirnya merombak Pasar Tanah Abang secara besar-besaran pada Agustus 1926. Bangunan lama nan rapuh berganti bangunan permanen. Lebih nyaman untuk aktivitas para pedagang dan pembeli. Lebih bagus pula untuk promosi nama Pasar Tanah Abang keluar Batavia dan Hindia Belanda. Tetapi kedatangan Jepang pada 1942 mengubah banyak hal di Pasar Tanah Abang. “Pasar Tanah Abang yang tadinya kesohor tekstilnya, saat itu berubah menjadi los-los dan kios kosong melompong tidak ada tekstil sama sekali bahkan banyak yang tutup dan ditempati gelandangan,” cerita H.M. Hasan, pensiunan kepala pasar dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun . Preman dan Kebakaran Pasar Tanah Abang kembali memperoleh cerlangnya setelah sempat masuk tahun-tahun kegelapan selama masa Jepang hingga Revolusi Fisik (1945—1949). Di bawah pengelolaan Pemerintah DKI Jakarta lewat Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang mengalami perombakan secara besar-besaran pada 1973. Pasar Tanah Abang menjadi bangunan bertingkat tiga. Bangunan baru mengerek harga sewa kios lebih mahal. Banyak pedagang tak bisa membayar. Mereka memilih dagang di luar pasar, di pinggir jalan. Keberadaan mereka menyalahi aturan. Pemerintah berupaya menertibkan mereka. Tetapi mereka memperoleh perlindungan dari centeng-centeng atau jago Tanah Abang. Demi keamanan berdagang, mereka rela membayar uang jago. “ Masalah keamanan pasar dirasakan sangat baik. Tentang jawara, tidak pernah mereka melakukan tindak yang menjurus semacam pemerasan. Dengan kami mereka malah saling bekerja sama secara dekat ,” kata seorang pedagang dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun . Pemerintah mulai kehilangan kendali atas keamanan pasar. Mereka bahkan menyerahkan urusan keamanan renovasi pasar kepada salah satu centeng tersohor Tanah Abang dekade 1970-an, Haji Bidun. Kehadiran pemerintah di Pasar Tanah Abang menjadi sebatas pengatur. Keamanan berada di tangan para jago. Jago-jago memperoleh banyak uang atas jasa keamanan, parkir, dan kebersihan dari para pedagang. Tetapi lama-lama mereka tidak lagi melindungi para pedagang, melainkan memerasnya. Bahkan mereka juga menjadikan pembeli sebagai sasaran. Istilah jago tidak lagi tepat untuk mereka. Istilah preman muncul untuk menyebut perilaku mereka. Perputaran uang di Pasar Tanah Abang pada 1990-an mencapai Rp8—10 miliar per hari. Para preman dari berbagai etnis dan wilayah berebut kendali atas Pasar Tanah Abang. Puncaknya terjadi pada November—Desember 1996. Bentrok antarpreman di Pasar Tanah Abang meminta korban jiwa. Pedagang dan pembeli menghindari kawasan ini beberapa lama. Usai rusuh antarpreman, pedagang dan pembeli kembali ke Pasar Tanah Abang. Ini terjadi terus menerus. Kerusuhan Mei 1998 sempat membuat nadi Pasar Tanah Abang berhenti. Tetapi kemudian berdetak kembali. Kebakaran besar pada 2003 menghentikan aktivitas perdagangan selama beberapa hari. Tetapi setelah kebakaran, sembari menunggu bangunan baru dibangun, pedagang menggelar dagangan di jalanan sekitar pasar. Pembeli tetap berdatangan di tempat seadanya itu. Tidak ada satu pun bala mampu meruntuhkan Pasar Tanah Abang untuk selama-lamanya.
- Ibu Ani Pergi
Ibu Negara Ani Yudhoyono meninggal dunia di National University Hospital, Singapura, Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu setempat, setelah menjalani perawatan penyakit kanker darah sejak Februari 2019. Kristiani Herrawatilahir pada 6 Juli 1952 di Yogyakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Sarwo Edhie Wibowo dan Sunarti Sri Hidayah. Ada kisah di balik nama Kristiani Herrawati. Saat dia lahir, Sarwo ditugaskan di Batalyon Kresna di Yogyakarta. Ini suatu kebetulan karena dia mengagumi tokoh pewayangan yang berkarakter baik itu. “Begitu aku lahir, Papi langsung mendapat ilham untuk menyematkan ‘Kresna’ dalam namaku,” kata Ani dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah. Tentu saja tidak mungkin diberi nama Kresna karena identik dengan laki-laki. Ditambahi “wati” pun terdengar lucu: Kresnowati. “Akhirnya Papi memberi nama Kristiani.” Sedangkan nama Herrawati dipilih dari penggalan kisah yang pernah diceritakan ayahnya. Herrawati memiliki makna kekuatan yang bisa menyapu bersih halang rintang saat terjadi huru-hara. Ani tumbuh seiring penugasan ayahnya. Setelah Yogyakarta, Sarwo ditugaskan di Gombong, kemudian Magelang. Di sini lahir Pramono Edhie Wibowo pada 5 Mei 1955. Kelak menjabat posisi strategis: Danjen Kopassus, Pangdam Siliwangi, Panglima Kostrad, dan Kepala Staf TNI. Dari Magelang, Sarwo pindah tugas ke Sekolah Para Komando Angkatan Darat di Batujajar, pada 1959. Dia kemudian menjabat komandan RPKAD (Kini Kopassus) yang memimpin penumpasan PKI pasca Gerakan 30 September 1965. Setelah itu, Sarwo menjabat Pangdam II Bukit Barisan dan Pangdam XVII Cenderawasih. Dianggap menyaingi pamor Presiden Soeharto, Sarwo kemudian ditugaskan menjabat Gubernur Akademi Militer di Magelang. Di sinilah dia mendapat menantu, siswa Akmil, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika menghadap Sarwo, SBY bertemu Ani yang tengah mengunjungi ayahnya. Saat itu, Ani tinggal di Jakarta karena kuliah kedokteran di Universitas Kristen Indonesia. Sayangnya, dia gagal menyelesaikan pendidikannya. Hubungan SBY dan Ani berlanjut. Keluarga merestui hubungan mereka. SBY dan Ani tunangan pada 1974 karena Ani ikut ayahnya tugas sebagai duta besar di Seoul, Korea Selatan. Ketika Ani kembali ke Indonesia, giliran SBY yang tengah mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat. Setelah kembali dari Negeri Paman Sam, SBY menikahi Ani pada 30 Juli 1976. Mereka dikaruniai dua orang putra: Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono. Ani mengikuti jejak ibunya yang bersuami tentara. Ibunya berpesan: “begitu masuk ke dalam kehidupan tentara, Ani, kamu harus belajar dua hal: kuat mendampingi suami dalam berbagai kondisi tugasnya, serta harus pandai beradaptasi. Tiada lain.” “Pengalaman menjadi anak tentara membuat saya tak kaget setelah menjadi istri tentara. Saya bisa mendampingi SBY menempuh karier militernya dengan corak kehidupan yang berubah-ubah,” kata Ani dalam 10 Tahun Perjalanan Hati karya Alberthiene Endah. Karier militer SBY sampai puncak dengan pangkat jenderal. Dia menjalani pendidikan militer di dalam dan luar negeri. Begitu pula penugasannya. Jabatan terakhir di militer sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Sedangkan penugasan ke luar negeri sebagai Chief Military Observer United Nation Peace Forces di Bosnia-Herzegovina. SBY pensiun dari militer karena ditunjuk menjadi menteri. Dia menjabat Menteri Pertambangan dan Energi kemudian Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Dia kembali menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu, dia mendirikan Partai Demokrat pada 9 September 2002. “Hal yang terasa beda, ketika SBY akhirnya terjun ke dunia politik. Inilah penyesuaian diri saya yang memerlukan mental lebih tangguh. Karena flavour politik beda dengan tempaan dalam kehidupan tentara. Kelihatannya memang tidak sekeras di barak, tapi politik itu 'makan dalem'. Batin dan pikiran digerus,” kata Ani. Walau begitu, Ani mendukung SBY memilih jalan politik untuk mengabdi kepada negara. “Dari istri menteri saya kemudian ikut menyibukkan diri mendampingi SBY membangun Partai Demokrat. Hingga akhirnya dia diantar ke posisi puncak. Menjadi seorang presiden,” kata Ani. Selama mendampingi SBY, Ani dengan semangat menjadi anak-anak tangga yang dilintasi SBY. "Dan sepanjang itu saya berada di sisinya.” Kini, dia berada di sisi-Nya.
- Tottenham Hotspur Tak Pernah Lelah Bertempur
MENDEKATI hari-H final Champions League, Minggu (2/6/2019) dini hari, Mauricio Pochettino kian dinaungi kegalauan. Pembesut Tottenham Hotspur itu tentu ingin menurunkan pasukan dengan komposisi terbaiknya untuk meladeni Liverpool. Namun apa daya, sudah dua bulan-an Spurs tampil tanpa kapten sekaligus mesin gol Harry Kane akibat cedera engkel. Kendati Kane sudah dua kali nongol di kamp latihan akhir pekan lalu, kekhawatiran tetap masih terpancar di wajah Pochettino. “Jumat dan Sabtu pekan lalu dia sudah mulai bergabung ke latihan tim. Situasinya sangat positif baginya. (Tapi) saya tak bisa bilang bahwa dia akan 100 persen bugar, atau jika dia akan bisa bermain dari menit awal atau tampil dari bangku cadangan atau mungkin tak masuk susunan pemain. Namun kami menyambut positif progres kepulihannya,” sebut Pochettino, dikutip Daily Star , Rabu (29/5/2019). Skenario terburuk jika Kane gagal tampil, Pochettino terpaksa memaksimalkan sisa skuad mudanya macam Dele Alli, Son Heung-min atau Lucas Moura. Sudah kepalang tanggung buat Spurs jika bersikap nothing to lose . Maklum, seumur-umur Spurs hanya punya koleksi tiga gelar Eropa kelas medioker: satu trofi Winners Cup (1962-63) dan dua UEFA Cup yang kini jadi Europa League (1971-72 dan 1983-84). Tottenham Hotspur saat memenangi UEFA Cup 1984 (Foto: Twitter @SpursOfficial) Raihan trofi “Si Kuping Besar” jelas bakal jadi penyempurna kejutan “The Lilywhites” (julukan Spurs) musim ini. Namun yang terpenting, itu bakal jadi momen pertama klub berkomposisi pemain muda itu mencicipinya. Dilahirkan Sekumpulan Bocah Sekolah Kini, anak-anak muda dari London utara itu sedang menatap sejarah baru. Tinggal Liverpool yang menghalangi mereka nanti di Estadio Wanda Metropolitano, Madrid, tempat laga final bakal digelar. Terlepas dari bagaimana hasilnya nanti, anak-anak muda itu harus bangga ditakdirkan sebagai pencipta sejarah. Mereka bak sebelas pemuda yang mendirikan klub tempat mereka kini merumput. Sebagaimana disingkap dalam A Romance of Football: The History of the Tottenham Hotspur F.C. , penggagas lahirnya Spurs merupakan sebelas siswa Mr. Cameron’s School (kini Scotch Prebysterian Academy) yang sebelumnya merupakan anggota Hotspur Cricket Club. “Para pendirinya adalah J. Anderson, T. Anderson, E. Beaven, R. Buckle, H.D. Casey, L. R. Casey, F. Dexter, S. Leaman, J.H. Thompson Jr, P. Thompson dan E. Wall. Dengan mandiri mereka membeli sendiri bola dan tiang gawang kayunya. Lapangannya dipinjamkan Kapten Delane yang punya hubungan kerabat dari salah satu Thompson bersaudara di Park Lane,” sebut buklet yang dirilis bersama oleh The Tottenham dan Edmonton Weekly Herald pada Februari 1921. Sejumlah pelajar yang menggagas berdirinya Tottenham Hotspur (Foto: Repro A Romance of Football) Seiring waktu, tambahan pemain Hotspur FC berdatangan dari sekolah lain dan pada Desember 1882 anggota mereka sudah mencapai 18 pemain. Tujuh anggota barunya dibebankan biaya masuk untuk menambah kas klub. Hingga 1921, jersey yang acap mereka pakai berwarna biru gelap. Adapun logo klub baru sekadar lambang huruf “H”. John Rispsher, guru mata pelajaran Alkitab di All Hallows Curch, yang lantas dijadikan presiden pertama klub, menata klub menjadi terorganisir. Laga kandang pertama mereka, 6 Oktober 1883, melawan klub amatir lain, Brownlow Rovers. Hotspur menang telak 9-0. Namun, sumber lain, A People’s History of Tottenham Hotspur karya Martin Cloake dan Alan Fisher, menyebutkan debut Spurs terjadi pada 30 September 1882 kontra tim lokal Radicals. Spurs keok 0-2. Sementara, kompetisi resmi pertama yang diikuti Spurs baru terjadi pada 1892, yakni kompetisi amatir Southern Alliance. Setelah menjadi profesional dan diakui FA (otoritas tertinggi sepakbola Inggris) pada 20 Desember 1895, Spurs diikutsertakan ke divisi satu Southern League musim 1896. Dua tahun berselang klub ini naik kelas dengan dinaungi perusahaan yang lebih profesional. Namanya pun diganti menjadi Tottenham Hotspur and Athletic Company dengan dibesut pelatih pertamanya Frank Brettell. Nama Spurs mulai dikenal luas setelah menjuarai FA Cup 1901 mengalahkan Sheffield United 3-1 di final. Jersey Spurs berubah menjadi putih pada 1898 yang jadi warna kebanggaan sampai kini. Hingga 1921, logo klub masih berupa huruf “H” berwarna merah. Logo itu berubah sekaligus mengusung moto Audere est Facere (Berani dalam Bertindak) setelah Spurs untuk kedua kalinya memenangkan FA Cup, 1921. “Ayam jantan muncul sebagai logo di jersey setelah 1921. Inspirasinya diambil dari kekaguman Sir Henry Percy, bangsawan yang dijuluki Hotspur, pada taji ayam jantan, meski logo ayam jantan ini sudah dipakai klub sejak 1901,” tulis Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests: The Design, Meaning and Symbolism of World Football’s Most Famous Club Badges . Pada 1956, logo Spurs diubah lagi dengan tambahan lambang perisai Sir Henry Percy plus sisipan ayam jantan. Namun pada 1983 hiasan perisainya dihilangkan lagi. Pada 2006 logo Spurs dikembalikan seperti awal, ayam jantan yang berdiri gagah di atas sebutir bola tapi tanpa dibubuhi motto klub. Tottenham Hotspur di musim pertamanya berlaga di White Hart Lane pada 1899 Selain logo, kandang Spurs pun mengalami evolusi. Setelah tak lagi menempati Park Lane yang disewa sejak awal berdiri, pada 1888 Spurs pindah ke Northumberland Park. Setahun berselang, Spurs hijrah lagi ke White Hart Lane, dan menetap sampai sekarang. Laga pertama Spurs di kandang baru mereka dihelat 4 September 1899 kontra Notts County. Di markas-markas itulah nama Spurs terus diukir hingga akhirnya jadi klub kuda hitam sepakbola Inggris. Spurs bahkan menjadi pemasok utama striker timnas Inggris era 1980-an hingga 1990-an. Glenn Hoddle, Clive Allen, Gary Lineker, dan Chris Waddle merupakan striker Spurs yang jadi andalan lini depan Inggris. Hampir semua turnamen pernah dimenangi Spurs. Hingga kini, lemari gelar Spurs sudah terisi masing-masing dua titel Second Division dan First Division, delapan FA Cup, empat League Cup, tujuh Charity Shield, satu Winners Cup, dan dua UEFA Cup. Jika menang kontra Liverpool besok, lemari itu akan kedatangan penghuni baru: trofi “kuping besar” Champions League.
- Mudik Tahun 1960-an
BAGI banyak orang Indonesia, mudik Lebaran sudah jadi tradisi. Setelah 365 hari bekerja banting tulang di rantau, mudik menjadi momen tepat untuk mengambil jarak dari keriuhan kota, bertemu keluarga, dan mengunjungi tempat-tempat penuh kenangan masa kanak-kanak. Salah satu sarana transportasi favorit untuk mudik Lebaran adalah kereta api. Tiket bisa dipesan secara daring dan jauh-jauh hari. Perjalanan nyaman dan menyenangkan. Tapi itu cerita masa kini. Di masa lalu sungguh lain ceritanya.
- Berebut Takhta Mataram Kuno
TAK semua raja yang bertakhta di Mataram Kuno adalah pewaris sah. Prasasti mencatat adanya pergantian kekuasaan yang tak wajar. Setidaknya ada dua prasasti yang memuat nama-nama penguasa Mataram. Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M), keduanya dikeluarkan pada masa Balitung. Berdasarkan daftar raja yang tertulis dalam Prasasti Mantyasih (907 M) terdapat sembilan penguasa di Kerajaan Mataram Kuno sebelum Balitung. Diawali Rakai Mataram sang Ratu Sanjaya, Śrī Maharaja Rakai Panangkaran, Śrī Maharaja Panunggalan, Śrī Maharaja Rakai Warak, Śrī Maharaja Rakai Garung, Śrī Maharaja Rakai Pikatan, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, Śrī Maharaja Rakai Watuhumalang. Terakhir adalah raja yang menulis prasastinya, Śrī Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. Sementara itu, berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, di Mataram ada 13 raja yang berkuasa sebelum era Balitung. Berbeda dengan Prasasti Mantyasih, Prasasti Wanua Tengah III menyebut raja-raja berikut hari dan tahun mereka naik takhta. Disebutkan, Rakai Panangkaran naik takhta pada 746 M. Tiga puluh delapan tahun kemudian (784 M), dia digantikan Rakai Panaraban. Pada 803 M berganti Rakai Warak Dyah Manara yang menjabat 24 tahun. Pada 827 M, dia diganti Dyah Gula yang hanya bertahan tiga tahun. Pada 829 M, Rakai Garung menggantikannya. Delapan belas tahun kemudian, pada 847 M Rakai Pikatan Dyah Saladu naik ke singgasana. Rake Kayuwangi Dyah Lokapala bertakhta delapan tahun kemudian pada 855 M. Dia bertahan selama 30 tahun untuk kemudian diganti Dyah Tagwas pada 885 M. Berdasarkan informasi prasasti itu, Dyah Tagwas tak lama bertahan. Hanya tujuh bulan berkuasa, dia tersusir ( kādəh ) dari istana. Penggantinya adalah Rake Panumwangan Dyah Dawendra. Namun, dia hanya bertahan dua tahun kemudian diusir dari istana. Rake Gurunwangi Dyah Bhadra menggantikannya pada 887 M. Raja baru ini rupanya kepayahan juga bertahan di singgasana. Tak sampai sebulan, dia melarikan diri ( mińgat ) dari istana. Terjadi kekosongan kekuasaan selama kurang lebih tujuh tahun. Baru pada 894 M, Rakai Wungkalhumalang Dyah Jəbań bertakhta selama empat tahun. Rakai Watukura Dyah Balitung dimahkotai pada 898 M. Kusen dalam “Raja-Raja Mataram Kuno dari Sanjaya Sampai Balitung, Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III” termuat di Berkala Arkeologi 1994, mencermati jumlah raja yang tercantum dalam Prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III berbeda. Perbedaan itu disebabkan latar belakang dikeluarkannya prasasti itu. Prasasti Mantyasih diterbitkan untuk melegitimasi Balitung sebagai pewaris takhta yang sah. Raja-raja yang dicantumkan dalam prasastinya pun merupakan raja yang berdaulat penuh atas seluruh kerajaan. “Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewendra, dan Dyah Bhadra tidak pernah berdaulat penuh terlihat dari singkatnya masa pemerintahan mereka,” tulis Kusen. Baskoro Daru Tjahjono, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan awalnya Balitung bukanlah pewaris takhta yang sah. Dalam “Balitung Putra Daerah yang Sukses Menjadi Raja Mataram Kuno” termuat di Berkala Arkeologi Vol. 28, No. 1, 2008, Baskoro menyebut Balitung bukanlah keturunan langsung Dinasti Sailendra. Dia berhasil menjadi raja karena mengawini putri raja sebelumnya. Sementara itu, Prasasti Wanua Tengah III berkaitan dengan perubahan status sawah di Wanua Tengah. Maka, semua penguasa yang punya sangkut paut dengan perubahan status sawah dimasukkan dalam daftar. Begitu pula epigraf Boechari memandang, raja Mataram yang dimahkotai tak selalu seorang pewaris sah. Lewat “Tafsiran Prasasti Wanua Tengah III” termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, dia menyebut telah terjadi beberapa kali perebutan kekuasaan di Mataram. Terutama melibatkan raja-raja yang hanya memerintah sebentar yaitu Dyah Gula, Dyah tagwas, Rake Panumwangan, dan Rake Gurunwangi. Dari penyebutan nama-nama mereka di prasasti pun perebutan kekuasaan itu nampak. Nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas tidak mengandung nama daerah lungguh. Pasalnya kedua raja itu tak disebutkan gelar rakai- nya. “Mereka itu bukan pemegang suatu jabatan, baik di pusat maupun di tingkat watak,” jelas Boechari. Gelar lengkap raja-raja wangsa Sailendra, yaitu keluarga raja penguasa Mataram Kuno yang diawali dari Sanjaya, dalam prasasti biasanya terdiri atas tiga unsur. Pertama adalah gelar rakai yang diiikuti nama daerah lungguhnya. Selanjutnya adalah nama yang mereka terima waktu lahir, diikuti gelar penobatan. Contohnya seperti Rakai Kayuwangi dyah Lokapala Śrī Sajjanotsawatungga. Nama ini menunjukkan sebelum menjadi raja, dia berkuasa di Kayuwangi. Nama lahirnya adalah dyah Lokapala. Gelar penobatannya Śrī Sajjanotsawatungga. Adapun nama Dyah Gula dan Dyah Tagwas hanya menunjukkan nama lahirnya. Sedangkan yang terjadi dengan Rake Panumwangan dan Rake Gurunwangi jelas. Dalam prasasti keduanya dikisahkan terusir dan melarikan diri dari istana. Paling tidak, perebutan kekuasaan di takhta Mataram Kuno ini terjadi makin sering sejak pengangkatan Rakai Kayuwangi yang menurut Boechari menyalahi aturan. Dia merupakan putra bungsu Rakai Pikatan dengan permaisuri Pramodawardhani. “Karenanya terjadi banyak perebutan kekuasaan setelah dia meninggal,” lanjut Boechari. Adapun menurut Sugeng Riyanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, setelah kepemimpinan Balitung situasi politik makin tak menentu. Perebutan kekuasaan masih menjadi alasannya. Dalam “Situs Liyangan dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno” termuat di Berkala Arkeologi Vol. 37, Edisi No. 2, 2017 , Sugeng menjelaskan putra mahkota Daksa atau Śri Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya bukanlah anak Balitung. Dia mungkin iparnya. Bersama Rakai Gurunwangi yang masih kerabat Rakai Pikatan, Daksa bersekongkol untuk merebut kembali takhta kerajaan dari Balitung. Daksa berhasil. Dia dimahkotai sejak 910/911 M selama 8 tahun. Lalu diangkatnya seorang putra mahkota, Rakai Layang Dyah Tlodhong, yang ternyata bukan pejabat eselon pertama. Dia menggantikan Daksa sekira 918/919 M sebelum digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada 928 M. Dyah Wawa bukan anak Tlodhong. Dia juga sebenarnya tak berhak atas takhta Mataram. “Pemerintahannya sangat singkat bahkan berhenti mendadak,” tulis Sugeng. Berita berikutnya, Raja Mpu Sindok memindahkan kerajaannya ke bagian timur Jawa. Dia membangun pusat kerajaan di Tamwlang sekaligus membangun wangsa yang baru, yaitu Iśāna. “Meskipun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra,” jelas Sugeng.*
- Mengerjai Tentara Pelajar
Pada akhir Januari 1946, satu seksi pasukan tentara pelajar di bawah pimpinan Murdoyo dan Poly Sulistio, dari Yogyakarta tiba di Jetis, asrama TRIP setelah mundur dari Surabaya. Mereka bermaksud bergabung dengan kesatuan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Setelah melalui latihan kemiliteran, pada suatu malam yang gelap, mereka dibangunkan agar bersiap-siap berangkat ke front untuk menyergap kedudukan Belanda. Semua anggota pasukan berangkat dengan hati berdebar-debar. Mereka bergerak dalam formasi satu-satu ke belakang dengan jarak 1-2 meter dengan teman di depannya. Perintah disampaikan secara beranting. Mereka berjam-jam bergerak terus, diselingi dengan menikung ke kiri dan kanan, melalui pematang-pematang sawah dan tegalan serta menerobos berbagai perkampungan penduduk. Sekitar jam 03.00 pasukan diperintahkan berhenti dan membentuk posisi pertahanan menyamping serta mencari perlindungan di balik pohon atau gundukan tanah. Senjata yang sudah diisi dan dikunci sejak berangkat meninggalkan Jetis, kini mulai disiapkan dan diarahkan ke sasaran. Setiap anggota pasukan jantungnya berdebar-debar, mulutnya komat-kamit membaca doa, dan mengingat pesan orangtua apabila ada teman sedang sekarat agar dibisikkan kalimat syahadat. Tiba-tiba datang perintah agar mengunci kembali senjata, karena sarang musuh harus diserang dari dekat. Semua anggota pasukan harus merayap mendekati sarang musuh. Setelah beberapa saat merayap di atas rumput dan batu-batu yang basah karena embun pagi, kembali pasukan diperintahkan berhenti dan bersiap untuk menyerang bila kedudukannya sampai diketahui oleh musuh. Komandan kemudian mengirimkan seseorang utuk menyelidiki kedudukan musuh secara tepat. Secara kebetulan saat itu front Kedamean sedang sepi, tak terdengar satu pun suara tambakan. Setelah lama menunggu dalam kedinginan embun pagi, tiba-tiba pasukan diperintahkan bergerak sambil merundukkan tubuhnya karena sarang musuh yang akan disergap sudah dekat. Dari berbagai penjuru mulai terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan. Hari pun mulai terang-terang tanah. Ketika itulah setiap anggota pasukan mengetahui di mana mereka berada. “Tanpa setahunya mereka tidak berkisar terlalu jauh dari Jetis, mereka hanya berputar-putar di daerah itu sepanjang malam. Terdengar anak-anak Yogya itu mengumpat gaya Jawa Timur: Jancuk, jancuk, jancuk,” kata Asmadi, mantan anggota TRIP, dalam Pelajar Pejuang. Menurut Asmadi, selama semalam mereka dicekam ketegangan, malah ada yang berpikir “apakah masih bisa ketemu nasi besok pagi”, tak tahunya mereka hanya diuji ketabahannya jika menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.





















