Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sejarah Manis Sepaktakraw
SEHARI sebelum Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 berakhir, Indonesia mendapat hadiah manis. Tim sepaktakraw putra Indonesia mempersembahkan sekeping medali emas. Medali emas terakhir Indonesia di ajang itu sekaligus menjadi sejarah baru: medali emas pertama Indonesia dari sepaktakraw. Indonesia selalu gagal menjuarai cabang olahraga khas Melayu itu sejak dipertandingkan di Asian Games 1990. Adalah tim yang dimotori Saiful Rijal, Rizky Abdul, dan veteran Nofrizal yang kemarin memetik emas takraw di nomor quadrant putra. Mereka mengalahkan tim Jepang 15-21, 21-14, dan 21-16 di Ranau Hall, Jakabaring Sports City, Palembang, Sabtu (1/9/2018). Tim Sepaktakraw Putra Nomor Quadrant Menyumbangkan Medali Emas ke-31 Bagi Kontingen Indonesia di Hari Terakhir Asian Games 2018 (Foto: INASGOC) Aksi tendangan salto Nofrizal dengan kaki kirinya yang terekam mata kamera bahkan menjadi viral dan menuai pujian. “Aksi Nofrizal menendang bola di udara dalam pertandingan final sepaktakraw quadrant putra Asian Games 2018 di Palembang, kemarin. Indonesia merebut emas mengalahkan Jepang. Ini medali emas pertama Indonesia dari sepaktakraw Asian Games. Selamat!,” kicau Jokowi di akun Twitter resminya, @jokowi, Minggu (2/9/2018). Sepaktakraw Merentang Sejarah Selain di Indonesia, olahraga dengan bola rotan yang dimainkan tiga atau empat pemain ini juga sohor di Malaysia, Brunei, Vietnam, Laos, Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Thailand. Menurut Susi Dunsmore dalam Sepak Raga , olahraga ini pertamakali jadi permainan tradisional pada abad ke-15 di Kesultanan Malaka, yang wilayah kekuasaannya mencakup Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Kepulauan Riau hingga Riau daratan. Susi Dunsmore yang mengupas manuskrip Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu juga menyebutkan, sepaktakraw lalu disebarkan para saudagar ke seluruh wilayah Sumatra dan pulau lain Nusantara hingga Sulawesi pada awal abad ke-16. Di Sulawesi, sepaktakraw dikembangkan lagi sehingga dikenal menjadi olahraga tradisional masyarakat Bugis dengan nama Ma’Raga. Permainan Ma'Raga yang Jadi Olahraga Tradisional Masyarakat Bugis (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id) “(Sementara) di Sumatera Barat, olahraga ini disebut Sipak Rago. Dimainkan dengan formasi melingkar. Sangat bermanfaat melatih ketangkasan kaki dan cukup populer,” kata Rhian D’Kincai dalam biografi eks Ketua Pengurus Besar Persatuan Sepaktakraw Seluruh Indonesia (PB PSTI) Rainal Rais: Abdi Organisasi. Sepaktakraw sempat populer di hampir seantero negeri ini pada 1950-an. “Tapi sayangnya pada 1960-an hilang dari peredaran. Sepaktakraw ini olahraga asli nusantara yang harus ditumbuhkembangkan. Kalau tidak kita yang mengembangkannya, siapa lagi?” cetus Rainal Rais dikutip Rhian D’Kincai. Kealpaan perhatian itu mengakibatkan induk olahraga sepaktakraw baru hadir pada 16 Maret 1971 dengan lahirnya PSTI. Sepaktakraw juga baru dijadikan olahraga resmi Pekan Olahraga Nasional (PON) pada 1981. Justru di pentas internasional sepaktakraw lebih dulu mendapat payung organisasi besar, yakni Asian Sepaktakraw Federation (1965) dan International Sepaktakraw Federation (1987). Untuk kompetisinya, sepaktakraw sudah dipertandingkan sejak SEA Games 1977. Sedangkan di Asian Games, sepaktakraw nomor beregu putra dan putri mulai dipertandingkan pada 1990. Di Asian Games 2018, nomor ganda beregu putra dan quadrant putra ditambahkan.
- Kala Soeharto Jadi Panglima (2-Habis)
Meski menduduki jabatan prestisius sebagai Panglima Komando Operasi Mandala, Soeharto sejatinya berada dalam tekanan. Rapat KOTI memutuskan bahwa paling lambat tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih sudah harus berkibar di Irian Barat. Ini berarti Soeharto hanya punya waktu tujuh bulan, sejak ditunjuk bulan Januari untuk menyusun kekuatan dan rencana operasi.
- Kala K-pop Menggoyang Penutupan Asian Games
DUA pekan penuh gempita Asian Games (AG) XVIII resmi berakhir, Minggu (2/9/2018). Ratusan prestasi ditorehkan. Beragam rekor baru terukir. Tuan rumah tak ketinggalan, sukses sebagai penyelenggara sekaligus prestasi. Setelah upacara pembukaan yang membahana, upacara penutupan tak kalah greget. Panitia bahkan menghadirkan Super Junior (SJ), grup K-pop papan atas. Akar Sejarah K-pop Kehadiran SJ membuat banyak muda-mudi dan remaja ibukota tertarik untuk mendatangi upacara penutupan AG XVIII. Dea Faradita, salah satunya. Gadis berusia 30 tahun amat ngebet ingin menyaksikan langsung aksi boyband favoritnya itu. Namun, akhirnya Dea urung datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) lantaran kesulitan mendapatkan tiket sebagaimana para anggota ELF, fans fanatik SJ, lain. “Sistemnya crash terus. Lebih susah jadinya nonton (SJ) di Indonesia. Padahal kalau di luar Indonesia enggak pernah sesulit ini. Sebelum-sebelumnya pernah nonton di Bangkok (Thailand), Singapura, Malaysia, Makau, Seoul (Korea), kalau beli tiket online enggak pernah crash begitu,” ujar Dea, leader ELF Indonesia, kepada Historia . Sebagai pentolan ELF, Dea tak luput jadi sasaran calo. “Yang menawarkan banyak. Tapi saya pribadi enggak rela saja. Ya harganya dari yang resminya Rp450 ribu jadi Rp1,5 juta. Yang Rp1 juta bisa jadi Rp3,5 juta. Yang Rp2 juta bisa jadi Rp5 juta! Teman-teman yang lain tetap banyak yang rela beli. Sebenarnya lewat online akhirnya juga bisa dapet satu tiket. Tapi kemudian saya kasih teman yang sama sekali belum pernah nonton SJ,” tandasnya. Para Elf atau fans Super Junior yang tak kebagian tiket penutupan Asian Games 2018 berkumpul di Area Festival (Dok. ELF Indonesia). Dea hanya satu contoh dari sejumlah fans K-pop yang gagal menyaksikan langsung idolanya di upacara penutupan. Masalah tiket online dan masih maraknya calo membuat ribuan fans SJ yang datang ke Kompleks GBK tapi tak kebagian tiket terpaksa hanya menonton dari layar besar yang di ada di beberapa titik. Namun, meski diguyur hujan, mereka bertahan demi melihat idola K-pop mereka. Bukan hanya SJ yang dihadirkan panitia, namun juga boyband iKON. Kehadiran kedua boyband K-Pop asal Korea itu mesti diakui merupakan magnet terbesar dari closing ceremony AG XVIII. Bukan hanya di Indonesia, fans fanatik K-pop menyebar sampai ke Eropa hingga Amerika. Jumlah artis K-Pop, baik di Korea sendiri maupun yang populer di dunia, sudah tak terhitung hingga kini. Girl's Generation atau SNSD, salah satu grup K-Pop sohor di dunia. (LG Electronics). “Memang banyak sekali saingannya di Korea sendiri. Nah, seperti dalam kompetisi olahraga saja, band-band atau artis K-pop yang terbaiklah yang akhirnya diambil pemerintah untuk diikutkan dalam promosi budaya. Oleh karenanya, K-pop kini sudah sangat dikenal secara global,” ujar peneliti sejarah modern Korean Culture Center Bae Dong-sun. Meski begitu membanggakan K-pop, orang Korea mengakui bahwa akar K-pop bukan dari budaya asli mereka tapi percampuran budaya sejak akhir abad ke-19. Musik K-pop atau musik populer Korea berhulu dari musik atau lagu changga atau lagu-lagu yang aslinya berbahasa Inggris yang diperkenalkan misionaris Amerika Serikat Henry Gerhard Appenzeller. Menurut Michael Fuhr dalam Globalization and Popular Music in South Korea: Sounding Out K-Pop , Appenzeller datang ke Korea bersama istrinya, Ella Appenzeller, serta empat rekannya: Horace N. Allen, Horace G. Underwood, William B. Scranton, dan Marion F. Scranton pada 5 April 1885. Mereka datang ke Semenanjung Korea untuk menyebarkan Protestan ke masyarakat Korea yang saat itu masih banyak memeluk paganisme. Setahun kemudian di Seoul, Appenzeller bersama istrinya mendirikan Sekolah Paeje khusus untuk pria. Selain mengajarkan agama, Appenzeller juga mengadakan silang budaya lewat musik. Lagu-lagu yang banyak dikenal di Amerika, Inggris, dan Irlandia dimodifikasinya dengan lirik berbahasa Korea yang lalu dikenal sebagai Changga . Henry Gerhard Appenzeller (kanan atas) bersama para muridnya (Repro A modern pioneer in Korea; the life story of Henry G. Appenzeller ) Dalam K-POP: A New Force in Pop Music terbitan Korean Culture and Information Service (2011), diungkapkan beberapa lagu seperti “Shimcheongga” sebenarnya adalah lagu Amerika “My Darling Clementine” yang liriknya diubah pakai bahasa Korea. Pun lagu “Londonberry Air” yang di-Korea-kan dengan judul “Danny Boy”. Lagu-lagu changga (K-pop) kemudian jadi bentuk ekspresi rakyat Korea saat pendudukan Jepang (1910-1945) walau pengaruh Jepang kemudian juga menular ke musik Korea. Album K-pop pertama dalam sejarah, Yi Pungjin Sewol, yang dirilis duat artis Park Chae-seon dan Lee Ryu-saek pada 1925 berisi lagu-lagu berbahasa Korea yang diadaptasi dari lagu-lagu Jepang. “Kembalinya” arwah musik Barat ke jiwa K-pop baru terjadi usai Perang Dunia II. Lantaran pada 1950-an semua hal berbau Barat dilarang di Korea Utara, K-pop kemudian hanya berkembang di Korea Selatan. Usai Perang Korea, K-pop berkembang pesat hingga menghadirkan sejumlah legenda seperti The Kim Sisters (1959), Add4 (1962), Han Dae-soo, Cho Yong-pil (1975), Lee Gwang-jo (1985), dan Seo Taiji & Boys (1992). Seo Taiji & Boys menjadi penanda era baru K-pop, berbasis pada idolgroup . K-pop modern yang bergulir sejak 1990-an musiknya sangat kental dengan percampuran hip hop, rock, jazz, dan electro. K-Pop jenis inilah yang kita kenal di era milenial sekarang. K-pop “hibrid” ini bahkan digunakan dalam diplomasi antara Korea Selatan dan Korea Utara.
- Sejarah Garong: Gabungan Romusha Ngamuk
ANTARA tahun 1945-1947 tak ada seorang pun yang berani melewati jalur Tagogapu-Padalarang di atas jam 16.00. Pasalnya, dalam waktu tersebut gerombolan bersenjata mulai beroperasi. Menurut Arnasan (91), kelompok-kelompok liar itu adalah eks para romusha (pekerja paksa di era bala tentara Jepang berkuasa) yang kembali pulang dari seberang. “Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjannya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya,” ungkap lelaki yang masa mudanya dihabiskan untuk berdagang keliling itu. Khalayak kemudian menamakan mereka sebagai garong, yang merupakan singkatan dari gabungan romusha ngamuk. Istilah inilah yang selama revolusi berkecamuk cukup mengganggu masyarakat. Mereka bukan saja dicari oleh pihak keamanan Republik namun juga diincar oleh tentara Belanda. “Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda, selama berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun,” ujar Arnasan. Pengalaman Pramoedya Soal gejala munculnya garong ini dikonfirmasi oleh penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah karyanya yang berjudul Jalan Raya Pos Jalan Daendels , dia menuturkan pengalaman pribadinya semasa menjadi seorang prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakjat) berpangkat letnan dua bagian persuratkabaran di Resimen Cikampek. Pram berkisah suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. Bisa jadi yang dimaksud oleh Pram sebagai Doejeh adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin. “Tapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya. Anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Aku harus menunggu di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain,” ungkap Pram. Saat bercengkarama dengan prajurit-prajurit dari Resimen Cililin inilah, Pram mendengar cerita salah seorang dari mereka mengenai banyaknya garong merajalela di wilayah Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Menurut sang prajurit, para garong itu terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda. “Mereka melakukan perampokan di mana saja bila dianggap tak ada penjagaan yang kuat,” tulis Pram. Para garong ini biasanya merampok dengan menggunakan senjata api pendek. Senapan atau karabin pun digergaji larasnya menjadi pendek dan mudah disembunyikan di balik sarung. “Ketika aku tanya apa artinya garong, mereka menjawabnya: singkatan dari gabungan romusha ngamuk,” ungkap tentara yang kemudian banting setir menjadi sastrawan itu. Kasus Banyumas Gejala munculnya garong sebagai eks romusha yang memilih jalan gelap, ternyata terjadi juga di wilayah Banyumas. Hal ini diungkap oleh M. Alie Humaedi, seorang peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam sebuah tulisan hasil risetnya berjudul “Gaboengan Romusha Ngamoek: Pertarungan Kekerasan di Kaki Pegunungan Dieng Banjarnegara (1942-1957)”. Menurut Humaedi, antara tahun 1942-1957, di wilayah-wilayah seperti Kalibening, Karangkobar, Batur, Paweden, Wanayasa, Pekalongan atas dan Wonosobo, muncul kelompok-kelompok penjahat yang dijuluki khalayak sebagai garong. Kendati kepanjangan sama dengan garong yang berada di Jawa Barat, namun para eks romusha yang terlibat bukanlah berasal dari seberang, melainkan romusha lokal. “Mereka terdiri dari anak-anak muda yang pernah dipekerjakan oleh bala tentara Jepang di wilayah keresidenan masing-masing,” ujar Humaedi kepada Historia . Di wilayah keresidenan Banyumas tersebut, garong adalah nama kelompok yang seutuhnya penjahat. Mereka melakukan perampokan kepada siapapun, tanpa pandang bulu, dan bertujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sebagai paradoks dari mereka ada yang disebut maling suci. “Berbeda dengan garong, maling suci menjalankan perampokan hanya kepada orang-orang kaya yang dinilai pro Belanda. Mereka pun kerap membagikan hasil rampokan mereka kepada orang-orang tak berpunya,” ujar Humaedi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian garong sendiri adalah perampok atau kawanan pencuri, penyamun. Belum jelas benar apakah istilah tersebut terbilang baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Yang jelas, sebelum revolusi kemerdekaan, kata “perampok” sendiri kerap disejajarkan dengan kata “penyamun”.
- Rebutan Gagasan dan Hak di Jalan M.H. Thamrin
MOBIL berpelat "Indonesia 1" melintas dari arah selatan Jalan M.H. Thamrin menuju Istana Merdeka di utara. Penumpangnya Presiden Sukarno dan Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964. Mobil baru saja melewati Hotel Indonesia. Tak ada lagi bangunan tinggi selepasnya, kecuali Bank Indonesia di ujung jalan. Kanan dan kiri jalan hanya bangunan bertingkat dua dan tanah merah.
- Misi Diplomatik Hayam Wuruk ke Wilayah yang Memberontak
DALAM lawatannya ke Lamajang, rombongan Hayam Wuruk berjalan melewati Kunir dan Basini terus ke Sadeng. Mereka bermalam beberapa hari di sana. Sang Prabu bersantai menikmati pemandangan alam di Sarampwan. Perjalanan itu ditulis Mpu Prapanca dalam karya adiluhung, Nagarakrtagama. Rombongan itu bertolak dari ibukota Majapahit pada 1359 M. Padahal, 28 tahun lalu, Sadeng salah satu wilayah yang memberontak kepada Majapahit. Lawatan itu rupanya menjadi salah satu cara diplomatik Hayam Wuruk merekatkan kembali hubungan dengan wilayah bawahannya. Dalam karyanya itu, Prapanca memberi petunjuk kondisi politik wilayah-wilayah bawahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk. Sebelumnya, Majapahit di bawah pemerintahan Wijaya dan putranya, Jayanagara diberondong rentetan pemberontokan yang bisa dipadamkan. Perluasan daerah Majapahit ke luar Jawa lalu dilakukan. Politik Nusantara itu diumumkan pada 1258 Saka atau 1334 M lewat sumpah Gajah Mada. Setelah sumpah, Gajah Mada melakukan perluasan daerah ke luar Jawa. Namun, sebagaimana dicatat Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, konsolidasi ke dalam terus dilakukan demi memulihkan pemerintahan akibat huru-hara pada masa lalu. Selain Sadeng, menurut Hadi Sidomulyo dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca , misi diplomatik dibawa pula ke wilayah lain. Terutama daerah Arenon, Keta, Pajarakan, Gendhing, dan Patukangan. Wilayah-wilayah itu, berdasarkan keterangan Serat Pararaton, pernah berseteru dengan Majapahit. Arenon, misalnya, sering dihubungkan dengan peristiwa kekalahan Mpu Nambi pada 1316 M di tangan pasukan Jayanagara. Kini, letaknya di Desa Kutorenon, 6 km di sebelah utara Lumajang, Kecamatan Sukodono. Pajarakan dan Gendhing disebut pula dalam Serat Pararaton sebagai benteng yang diserbu Majapahit ketika melumpuhkan pasukan Nambi. Gendhing letaknya di muara sungai, 12 km di sebelah timur Probolinggo. Adapun Pajarakan mewakili sebuah kecamatan di pantai utara Kabupaten Probolinggo. Sementara di Lamajang huru-hara terjadi di era Jayanagara. Setelah diangkat sebagai penguasa Lumajang pada masa Wijaya, Arya Wiraraja tak pernah lagi menghadap ke keraton. Dia kemudian bersekutu dengan Nambi menentang raja Majapahit karena kematian putranya, Ranggalawe. Rupanya pada masa Hayam Wuruk, hubungan dengan Lamajang pun belum begitu dekat. Meskipun Prapanca menyebutkan Lamajang sebagai tujuan rombongan Hayam Wuruk, ternyata deskripsi mengenai daerah itu terbatas pada urutan nama-nama desa. Tanpa menyajikan informasi tambahan apa pun. Akibatnya, kata Hadi, pembaca sama sekali tak mengetahui keadaan di dataran sebelah timur gunung Semeru pada pertengahan abad ke-14 M. “Terdapat kesan bahwa rombongan justru tergesa-gesa dalam perjalanan melalui Lamajang dan Sadeng, dan ingin sampai di Patukangan,” lanjut sejarawan yang juga bernama lain Nigel Bullogh itu. Sebaliknya, kata Hadi, Prapanca terlihat lebih bersemangat pada waktu pulang melalui pantai utara. Banyak hal yang menarik perhatiannya. Di Patukangan misalnya, terlepas dari rasa sedihnya karena sahabatnya meninggal di sana, dia menjabarkan misi politik dan diplomatik sang penguasa Majapahit. Prapanca melukiskan kegirangan masyarakat yang menyambut kedatangan raja di wilayah mereka. Suasana serupa ditemukan pula di sepanjang pantai. Penyair memunculkan nama-nama pejabat di Ketha, Pajarakan, dan Gendhing , pertapaan di Sagara serta biara di Dharbaru . Kondisi itu, Kata Hadi, menunjukkan administrasi pemerintahan di ujung timur Pulau Jawa pada masa Hayam Wuruk lebih stabil di daerah pesisir. Daerah itu mudah dijangkau dengan kapal laut. “Kalau mengingat, baik Lamajang maupun Sadeng pernah memberontak terhadap Majapahit, ada kemungkinan bahwa sembutan yang diterima oleh raja di kedua daerah tersebut tidak semeriah di pantai utara,” catat Hadi. Selain Sadeng, Keta juga pernah memberontak terhadap Majapahit pada 1331 M. Namun, Hadi menilai Prapanca memberi kesan pada waktu dikunjungi Hayam Wuruk, Keta telah bersatu dengan pusat kerajaan. Adapun pemberontakan yang telah lalu itu sudah dilupakan. “Bahkan sambutan hangat yang diberikan oleh masyarakat setempat tidak kalah dengan yang di Patukangan beberapa hari sebelumnya,” jelas Hadi. Seperti tetangganya di sebelah timur, Keta memiliki beberapa daerah bawahan. Semuanya menghadap raja dengan sukarela sambil membawa persembahan. Di antara para pejabat tercatat kedua upapatti , yang mewakili aliran Siwa dan Buddha, serta pemimpin wilayah, bernama Arya Wiraprana. “Sekalipun hubungan dengan Keta sudah pulih kembali pada 1359 M, belum tentu di pedalaman,” katanya.
- Dari Defile hingga Kembang Api
PENUTUPAN Asian Games 2018 dilakukan pada hari Minggu, 2 September 2018, di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Acaranya dipersiapkan dengan sangat semarak. Pengisi acaranya beragam, mulai dari grup musik Gigi hingga boyband Korea, Super Junior dan iKon. Media massa, baik cetak, elektronik maupun internet sudah jauh-jauh hari memberitakan persiapan acara penutupan ini. Masyarakat juga memperbincangkannya; mereka bahkan rela antre untuk mendapat tiket acara penutupan. Pendeknya, upacara penutupan ini adalah salah satu acara puncak Asian Games 2018 yang paling ditunggu-tunggu publik.
- Dulu Sekadar Rawa, Kini Menjamu Pesta Olahraga Asia
BERDIRI kokoh di ujung utara jalur protokol Jalan Jenderal Ahmad Yani Kota Bekasi, Stadion Patriot Candrabhaga menjadi satu dari sedikit landmark kota bersemboyan “Kota Patriot”. Stadion Patriot jadi ikon mendongkrak citra Kota Bekasi yang pernah di- bully warganet di media sosial. Stadion apik berkapasitas 30 ribu penonton ini baru dibangun jelang Bekasi menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Daerah (Porda) Jawa Barat 1984. “Baru dibangun tahun 1980-an bersamaan dengan pembangunan kompleks pemerintahan daerah Bekasi (di seberang stadion),” ujar Abdul Khoir, budayawan Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi cum dosen Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi, kepada Historia. Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi Dijadikan Satu dari Empat Venue Sepakbola Putra Asian Games 2018 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Mengalami beberapakali renovasi, stadion bernama awal GOR Bekasi itu mendapat kehormatan menggelar beberapa laga sepakbola putra. Stadion itu menjadi venue antara lain, laga pembuka antara Laos vs Hong Kong (1-3) dan Palestina vs China Taipei (0-0) pada 10 Agustus 2018. Masa Lalunya Berupa Rawa-Rawa Di masa lalu, kawasan yang sekarang menjadi Stadion Patriot dan kompleks Pemerintahan Kota Bekasi merupakan rawa-rawa. “Dulu perkampungan di Bekasi hanya ada di Kampung Duaratus (kini Jalan Kemakmuran Kota Bekasi). Kalau area stadion (Patriot) sekarang, dulu itu disebutnya Rawa Tembaga,” sambung Abdul Khoir. Nama Rawa Tembaga, kata Abdul Khoir, berasal dari dua versi cerita. Pertama, cerita rakyat yang muncul sejak abad ke-16. Cerita itu mengenai Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak, yang memerangi koalisi Portugis-Pajajaran di Sunda Kelapa (kini Jakarta) pada 1527. Abdul Khoir, Budayawan BKMB Bhagasasi cum Dosen Unisma Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Dalam versi legenda, diceritakan Fatahillah yang punya anak perempuan, mau dilamar Prabu Siliwangi. Kemudian dipersyaratkan (mahar) Prabu Siliwangi untuk membawa miniatur perahu atau kapal dari emas. Tapi kemudian yang dipersembahkan justru (miniatur) dari tembaga, bukan emas. Maka kemudian ditolaklah miniatur perahu atau kapal itu. Nah, disebutkan dibuangnya di rawa itu. Semenjak itu makanya disebut Rawa Tembaga,” terang Abdul Khoir, yang mengakui bahwa versi legenda macam itu lemah karena tak ada catatan tertulis ilmiah. Versi kedua, lebih rasional. “Versi kedua Rawa Tembaga itu populer sebutannya baru setelah pembangunan pusat pemerintahan daerah Bekasi (di bilangan Jalan Juanda). Karena itu dikenal orang sebagai rawa yang paling dalam. Yang lain rawa bisa ‘ dijajakin ’, kalau yang ini enggak. Nah , itu waktu mau ada pengurukan kan banyak truk yang bobotnya berat. Pas lewat ke rawa itu selalu ‘ kejeblos ’. Enggak bisa diangkat lagi. Disebutnya Rawa Tembaga karena banyak truk tanah yang tenggelam di rawa itu,” tandasnya. Kawasan Stadion Patriot dan Sekitarnya Mulanya Disebut Rawa Tembaga (Foto: Youtube Bappeda Kota Bekasi) Kini sebutan Rawa Tembaga menciut. Setelah kawasannya mulai disesaki banyak bangunan pemerintahan, ruko-ruko, dan stadion, nama Rawa Tembaga hanya diabadikan menjadi nama jalan di belakang Kompleks Pemerintahan Kota Bekasi yang membentang hingga Asrama Haji Kota Bekasi. Bekasi sendiri di masa silam merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara (abad keempat). Saat itu masih disebut Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Seiring waktu, Bekasi juga pernah jadi wilayah yang dipegang Kerajaan Pakuan Pajajaran pimpinan Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja sejak 1482.
- Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Tuyul di kebanyakan film horor diwujudkan bagai sesosok bocah dengan kepala plontos. Mirip permen lolipop. Kerjanya nyolong uang atas perintah sang tuan. Ia adalah makhluk gaib yang lahir dari mitos Nusantara. “Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, tuyul adalah sosok demit (roh halus) yang berbentuk anak kecil, gundul, dan telanjang,” tutur sejarawan Onghokham dalam artikel Kompas , 13 November 1985 berjudul “Legitimasi Melalui Gaib”. “Tuyul menurut kepercayaan, melakukan pencurian bagi yang si empunya sehingga sang pemilik menjadi kaya.” Kepercayaan pada tuyul, kata Ong, menjatuhkan status orang kaya di Jawa. Orang kaya itu bukan lagi orang Jawa sebab ia memiliki hubungan dengan setan. Lebih-lebih dalam masyarakat Jawa tradisional, orang kaya adalah pencuri. “Dan yang mencuri tentu tuyulnya,” ujar Ong. Tak hanya tuyul. Ong juga menyinggung kawanan demit lainnya, semisal babi kepet dan Nyi Blorong. Sebagai sejarawan, wawasan Ong memang kaya. Ong mengulik sejarah dari aspek keseharian bahkan yang intim dengan kehidupan. Menurut Adrian Lapian, rekan sesama sejarawan di UI, Ong mengingatkannya pada sosok sejarawan Amerika, Charles Beard yang banyak mempopulerisasi sejarah untuk kepentingan masyarakat umum. Sementara menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, warisan Ong yang paling berharga adalah menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang berasal dari masyarakat dan mengembalikannya ke masyarakat. “Ia adalah sedikit dari sejarawan Indonesia yang menulis tentang sejarah makanan termasuk menikmatinya secara total,” kata Asvi dalam “Ongokham Sejawaran Publik” termuat di kumpulan tulisan Onze Ong: Ongokham dalam Kenangan . Dari Gila Londo ke Java Junky OnghokHam lahir pada Mei 1933 di Surabaya. Ong berasal dari keluarga elite keturunan Tionghoa-Jawa di Semarang. Keluarganya sangat pro-Belanda. Di rumahnya, Ong punya panggilan akrab: Hans. Para pembantu kerap menyapa, “Sinyo Hansje”. Sehari-hari, mereka berbahasa Belanda. Yang sangat penting bagi mereka adalah pendidikan dan budaya Belanda. Keluarganya sangat jauh dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Tapi siapa nyana Ong justru menjadi sejarawan handal dari Indonesia? “Sejak usia muda saya sudah tertarik pada sejarah,” kata Ong dalam kata pengantar kumpulan tulisannya yang dibukukan Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara . Ong mengakui, dirinya melahap semua buku sejarah maupun roman sejarah tentang sejarah Eropa dalam bahasa Belanda di perpustakaan sekolah. Semua berpangkal pada 1953. Ong belajar di Hoogere Burger School (HBS—semacam sekolah lanjutan tingkat menengah) Surabaya. Di sekolah itu, Ong terkesan dengan Broeder Rosarius, guru sejarah. Ong mendapat dua hal dari Broeder Rosarius: api sejarah dan kesadaran tentang kewarganegaraan. “Ketika kebanyakan anak-anak lulusan HBS Surabaya melanjutkan pendidikan mereka di luar negeri, Ong malah memilih untuk menjadi warga Indonesia dan ingin melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan sejarah Indonesia,” kata David Reeve, sejarawan University of New south Wales yang sahabat karib Ong, dalam seminar Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah , di FIB UI, Depok tiga warsa yang lalu. Sejarah Indonesia adalah konsep yang masih baru saat itu. Tak heran, pilihan Ong untuk menekuni sejarah Indonesia ditentang oleh keluarganya. Ong sempat menjalani studi hukum di Universitas Indonesia (UI), namun hanya sebentar karena dia bosan. Pada 1960, Ong kembali ke UI dan memilih studi jurusan sejarah di Fakultas Sastra. Pada masa ini, Ong selalu berbicara tentang topik-topik Indonesia, dengan suara sebagai seorang Indonesia, bukan sebagai Indonesia-Chinese. Ong meneliti petani-petani di Jawa dan Gerakan Samin. “Yang spesial dari Ong adalah tekanan pada kultus Bima. Dari gila-Belanda, dia menjadi Java Junky pada 1960-an. Dan minat Ong terhadap Jawa tak pernah lepas sampai akhir hidupnya. Kebanyakan penelitian Ong sesudah itu adalah tentang Jawa,” kata Reeve. Memulihkan Diri ke Luar Negeri Reeve menuturkan, Ong sempat tertekan mental sekira tahun 1964—65 karena stres politik yang ada di Indonesia saat itu. Ong tertarik pada kubu PSI Soedjatmoko-Rosihan Anwar. Ong juga tertarik kepada GMNI, tempatnya anak-anak muda nasionalis yang berkiblat pada ideologi Bung Karno. Ong ikut Kiri dan ikut Kanan. Tetapi waktu Kiri dan Kanan semakin jauh, Ong semakin tertekan dan menderita batin. “Pasca 1965, dia begitu tersentak dengan pembunuhan massal di Jawa Timur. Ong mengalami semacam mental breakdown dan mulai teriak, “hidup PKI!”, “hidup Aidit” di jalanan. Sesuatu yang tak begitu bijaksana sesudah PKI kalah dari panggung politik. Jadi, Ong ditahan dan dipenjara selama enam bulan, diselamatkan oleh Nugroho Notosutanto,” ujar Reeve. Ong kemudian dikirim ke Amerika untuk memulihkan diri sekaligus melanjutkan studi sejarahnya. Ong menemukan dirinya kembali di Amerika, di Yale University. Di sana, selain membawa pulang ijazah doktoral, Ong punya keahlian baru: memasak. Ong menulis disertasi tentang Karesidenan Madiun pada abad ke-19. Ia meneliti interaksi dan simbiosis antara kerajaan-kerajaan setempat dengan mesin kolonial Belanda. Ong menyimpulkan bahwa raja-raja Jawa ingin menegakan konsep dewa-raja lewat mesin penjajahan Belanda. Menurut Ong, pemberontakan mesianis ratu adil yang terjadi di Madiun bukan terjadi karena faktor budaya tetapi karena faktor pajak dan soal kepemilikan tanah yang dikontrol oleh sistem kolonial. Penelitian Ong itu membantu Peter Carey, yang telah bertahun-tahun meneliti struktur masyarakat Jawa. Carey sungguh menyayangkan mengapa karya semonumental ini tak diterbitkan dalam bentuk buku. Tuyul, Tempe dan Seksualitas Menurut Reeve, Ong adalah tipikal manusia dengan dua sisi. Dia adalah orang yang punya bakat, tapi bakatnya di sia-siakan dengan terlalu banyak pesta, whiski, dan menulis populer di kolom pers. Ong juga flamboyan, suka makan, suka minum, suka pesta. Ia berasal dari sub multikultur minoritas. Sangat tak biasa untuk menyebutnya sebagai sejarawan. Ketika kembali ke Indonesia pada medio 1970, Ong kembali ke alamamaternya. Dia mengajar sebagai dosen. Wilson, salah seorang mantan mahasiswa Ong yang kini dikenal sebagai aktivis, mengenang Ong sebagai dosen yang doyan guyon tapi rada bengis. Ong pernah berkelakar, katanya, sebab utama dari kolonialisme adalah ibu-ibu. “Rempah-rempah itukan kebutuhan dapur ibu-ibu, karena kebutuhan rempah-rempah untuk ibu-ibu, Barat menjajah bangsa lain, tutur Ong ditirukan Wilson dalam “Sejarawan yang Jago Masak: Mengenang Ong Hok Ham”. Ong juga tak segan melempar penghapus ke kepala mahasiswanya yang tak mampu menjawab pertanyaan. Tak seperti halnya sejarawan kampus, yang berkutat dengan penelitian atau silabus kuliah yang menjemukan. Ong malah lebih suka berkecimpung di media meluapkan gagasan dan kritik. Dia banyak menulis sejarah pop yang berangkat dari aktualita kekinian di kolom Tempo , Kompas , Prisma , dan Jakarta Post . Ia menghabiskan waktu sebagai seorang intelektual publik. Karena eksis sebagai esais, Ong tak meninggalkan karya besar sebagaimana sejarawan kelas begawan macam Sartono Kartodirjo ataupun Taufik Abdullah. Meski demikian, esai-esai Ong membuktikan bahwa dirinya kaya ide dan penuh warna . Ong menulis begitu banyak tema-tema sejarah kuliner, seksualitas, dan seni. Merentang dari budaya riijstafeel , tempe, sampai ke lukisan Mooi Indie yang dihubungkan dengan pemikiran Belanda hingga nasionalisme Indonesia. Ong menulis tentang tuyul. Dia sangat terkenal sebagai ahli tuyul, bagaimana rasionalitas ekonomis bisa dipadukan bersama kepercayaan takhayul. Dia menulis tentang Sukarno, tentang Soeharto. Ong pun menulis tentang orang marjinal, tentang jago, tentang preman, tentang gelandangan. Kemampuan yang sedemikian rupa itu memoles nama Ong sebagai public intellectual-activist historian di kalangan cendekiawan pada masanya. “Ada anggapan umum bahwa sejarah itu ilmu yang membosankan dan sejarawan juga orang yang membosankan. Tetapi Ong membuktikan bahwa sejarah bisa menjadi ilmu yang menarik dan bisa dinikmati. Dan sejarawan bisa menjadi orang yang menarik pula,” ujar Reeve sambil terkekeh manja. Selera makan yang glamor agaknya mempengaruhi kesehatan sejarawan yang memang doyan makan (dan minum) ini. Ong menghabiskan enam tahun masa senjanya di atas kursi roda karena stroke. Dia wafat di Jakarta pada 30 Agustus 2007 dalam usia 74 tahun.
- Pemberontakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten
PEMBERONTAKAN terhadap pemerintah kolonial Belanda terjadi beberapa kali di Banten. Pada 1810, Nuriman memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial di Pasir Peuteuy, Pandeglang. Pemicunya karena pembubaran Kesultanan Banten. Pemerintah kolonial pun menobatkan kembali Sultan Banten untuk meredam pemberontakan. Namun, upaya tersebut gagal, pemberontakan terus berkobar. Selanjutnya, tidak diketahui bagaimana pemberontakan yang dipimpin Nuriman. Namun, pada 1811, Mas Jakaria memimpin pemberontakan dan dapat menguasai hampir seluruh kota Pandeglang. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo gerakan-gerakan sosial kepribumian kerap kali menyatakan keinginan untuk menghidupkan kembali keadaan prajajahan dengan memproklamasikan kembalinya sebuah kerajaan kuno atau ditegakkannya suatu dinasti. “Selama satu setengah abad," tulis Sartono dalam Ratu Adil, "orang di Banten secara berkala telah digerakkan oleh harapan-harapan untuk memulihkan kembali kerajaan besar yang didirikan oleh para sultan mereka yang telah lama lenyap." Melalui pertempuran hebat, akhirnya Mas Jakaria tertangkap dan dipenjara di Batavia. Pada Agustus 1827, dia berhasil melarikan diri dan untuk kembali menyusun kekuatan. Dia berhasil menghimpun pengikutnya sebanyak seribu orang dan menyerbu kembali kota Pandeglang dan membunuh anggota detasemen tentara. “Kemudian Mas Jakaria hidup dalam pengembaraan untuk menghindari kejaran pemerintah Belanda. Dengan segala cara dan kekerasan pemerintah Belanda berusaha menangkap Mas Jakaria; memaksa penduduk uniuk memberikan keterangan, membakar desa, dan menteror, sehingga rakyat hidup dalam ketakutan,” tulis M. Yoesoef Effendi dalam Catatan Kepahlawanan yang Anti Kolonial Nan Tak Kunjung Padam . Untuk menangkap Mas Jakaria, pemerintah kolonial Belanda menjanjikan hadiah seribu piaster Spanyol kepada siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau mati. Beberapa bulan setelah menyerbu Pandeglang, Mas Jakaria dapat ditangkap dan dihukum mati dengan dipenggal kepalanya dan mayatnya dibakar. “Dalam tradisi sejarah Banten, Mas Jakaria yang dihormati dan dikeramatkan penduduk setempat adalah masih keturunan dari Kiayi Santri yang kuburannya di Kolle, dan dari anak keturunan Mas Jakaria ini muncul pemimpin-pemimpin pemberontakan yang merepotkan penjajah,” tulis Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten. Anak-anak Mas Jakaria yang melanjutkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda adalah Mas Jabeng pada 1836, sedangkan Mas Anom, Mas Serdang, dan Mas Andong pada 1845 dalam Peristiwa Cikande Udik.
- Cita-cita Sukarno Tertinggal di Jalan M.H. Thamrin
JALAN M.H. Thamrin di Jakarta Pusat kini tampil lebih elok. Trotoar berdesain modern dan lebar terhampar di sisi kiri dan kanan untuk memanjakan para pedestrian. Lengkap dengan lampu cantik dan fasilitas pendukung untuk kaum difabel. Zebra-cross dan yellow box junction kelihatan mencolok dengan warna putih dan kuning di tiap simpangan. Marka di tengah jalan tampak cerah bagi para pengendara bermotor.
- Migrasi Muslim dari Cina ke Nusantara
LAMPIRAN XXXI berjudul “Peranan Orang2 Tionghwa/Islam/Hanafi Didalam Perkembangan Agama Islam Di Pulau Djawa, 1411–1564” pada buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan yang menjadi rujukan utama orang-orang yang meyakini Wali Songo merupakan ulama berdarah Tionghoa itu, dimulai dengan pernyataan begini:





















