top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Nasib Nelangsa Maskot Pertama

    HADIRNYA maskot dalam suatu gelaran olahraga akbar seakan sudah jadi hal wajib. Maskot tak ubahnya ikon jati diri serta pelengkap promosi negara tuan rumah. Untuk Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018, Indonesia sebagai tuan rumah menghadirkan tiga figur maskot: burung cendrawasih bernama Bhin Bhin, rusa Bawean bernama Atung, dan badak bercula satu bernama Kaka. Tradisi maskot dalam pesta olahraga se-Asia ini baru mulai di Asian Games IX 1982 Delhi, India kendati event multi-cabang ini sudah eksis sejak 1951. Adalah seekor gajah Asia ( Elephas Maximus ) jantan yang diberi nama Appu sebagai maskot pertama itu. Beberapa pihak berhaluan politis menyebutkan pesta olahraga itu sebagai “Indira Gandhi Games” atau Asian Games-nya Indira Gandhi, perdana menteri India saat itu. Appu menjadi satu-satunya maskot yang merupakan hewan hidup. Asian Games berikutnya tak pernah lagi menggunakan hewan hidup sebagai maskot sebagaimana Appu bersanding dengan simbol Jantar Matar sebagai logo Asian Games 1982. Nasib Appu yang Berakhir Pilu Nama Appu, yang berarti lucu dalam bahasa India, baru diberikan setelah dijadikan maskot. Padahal gajah balita itu nama aslinya Kuttinarayanan. Ia dijadikan maskot setelah diambil dari Cagar Alam Seijusa, Negara Bagian Arunachal Pradesh. Sosok  Appu menjadi populer setelah stasiun televisi Doordashan menayangkan Indira Gandhi sedang membelai sang gajah balita Kuttinarayanan kala berkunjung ke cagar alam itu. “Asian Games merupakan panggung pencitraan pemerintah India kepada dunia dan televisi menjadi perantaranya. Appu, si gajah yang dijadikan maskot juga dijadikan simbol sebuah negara yang maju dan sejahtera,” singkap Boria Majumdar dan Nalin Mehta dalam India and the Olympics . Sebagai maskot, Appu dilatih di Sirkus Apollo jelang Asian Games. Appu dirawat, dilatih, diajarkan berbagai gerakan, termasuk gerakan salam Namaste . Hari yang dinantikan pun tiba. Tetapi sayangnya, Appu batal tampil karena sengketa dari pihak sirkus dengan pemerintah dan Komite Penyelenggara Asian Games (AGSOC) 1982. “Tidak ada Appu yang asli dalam program (upacara pembukaan) kami. Maskotnya hanya berupa simbolis saja yang akan diterbangkan ke udara,” ujar Letjen A.M. Sethna, wakil kepala Staf Angkatan Darat India yang menjadi penanggungjawab upacara pembukaan, kepada India Scope , 15 November 1982. Sosok Appu pada akhirnya memang hanya dihadirkan dalam bentuk balon gajah raksasa yang diterbangkan ke udara pada upacara pembukaan di Stadion Jawaharlal Nehru, 19 November 1982. “Maskot ‘Appu’ bagi (masyarakat) India dianggap simbol keberuntungan dan kekuatan dalam mitos dan cerita rakyat. Appu sebagai gajah kecil lucu dan ceria dengan mata berbinar-binar jadi ikon perwujudan semangat Asian Games,” tulis Mithlesh K. Singh Sisodia dalam “India and the Asian Games: From Infancy to Maturity” dalam literatur Sport, Nationalism and Orientalism: The Asian Games . Sayang, kemudian hidup Appu berakhir sendu. Setelah gelaran Asian Games, Appu diserahkan ke Sirkus Apollo. Suratkabar India Today , 15 Agustus 1988 mengungkap, berpindahtangannya Appu ke Sirkus Apollo berdasarkan surat permintaan salah satu bos sirkus, C. Shridharan, kepada Buta Singh, ketua AGSOC. Kondisi mengenaskan Appu, gajah maskot Asian Games 1982 setelah menderita demam tinggi akibat terjatuh ke lubang septic tank sebelum akhirnya tutup usia pada 2005/Foto: The Hindu 15 Mei 2005 Tak berapa lama setelah dieksploitasi Sirkus Apollo, pemerintah menuntut Appu dikembalikan. Appu akhirnya diasuh di Suaka Margasatwa Guruvayum Devaswam Aanathavalam, Punnathurkotta, Kerala, sampai tutup usia di umur 23 tahun, 14 Mei 2005. Appu meninggal gegara demam tinggi akibat peradangan sendi dan patah tulang kedua kaki depannya. Suratkabar The Telegraph edisi India, 15 Mei 2005 menyebutkan, Appu menderita demam dan patah kaki setelah jatuh ke lubang septic tank pasca-menjadi bintang dalam sebuah festival keagamaan di Palakkad, beberapa hari sebelumnya. Nama Appu lalu diabadikan sebagai nama taman hiburan di New Delhi yang berdiri tahun 1984: Appu Ghar.

  • Tujuh Gempa Lombok dalam Catatan Sejarah

    IBU pertiwi tengah menangis. Jelang ulangtahunnya yang ke-73 dan pesta olahraga  Asian Games XVIII, Indonesia dibuat sesenggukan oleh bencana gempa bumi dahsyat yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (5/8/2018), sekira pukul 19.46 WITA. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), titik gempa berada di 18 kilometer (km) barat laut Kabupaten Lombok Timur pada kedalaman 15 km. Guncangan yang mencapai 7,0 Skala Richter (SR) turut merobohkan ribuan bangunan dan memicu tsunami kecil. Hingga tulisan ini diturunkan, menurut data Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di laman bnpg.go.id , gempa tersebut sudah menelan 91 orang tewas dan 209 lainnya luka-luka. Gempa disebutkan sebagai gempa utama dari aktivitas Sesar Naik Flores yang dimulai sejak 29 Juli 2018, di mana turut mengguncang permukaan bumi dengan magnitudo 6.4 SR. Gempa kali ini menjadi gempa kesekian yang terjadi di Pulau Lombok sejak akhir abad ke-19. Menurut catatan historis, gempa tektonik kali ini merupakan yang terbesar. Berikut rangkuman saptapetaka atau tujuh gempa Lombok yang pernah terjadi dengan kekuatan di atas 6,0 SR: Gempa Lombok, 25 Juli 1856 Gempa ini gempa tektonik pertama yang tercatat dalam literatur era kolonial, tepatnya pada 1918, berupa disertasi Arthur Wichmann dari Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW) bertajuk The Earthquakes of the Indian Archipelago until the Year 1857. Wichmann mencatat bahwa gempa besar terjadi di Lombok, tepatnya di Labuan Tereng, pada 25 Juli 1856. Gempa itu juga memicu gelombang tsunami yang menghantam pesisir Ampenan di Mataram. Sayangnya, catatan itu tak menyebutkan berapa kekuatan gempa dan tinggi gelombang tsunaminya. Gempa Lombok, 21-24 Desember 1970 Data USGS turut mencatat, Kota Praya di Pulau Lombok juga diguncang dua gempa besar pada 21 dan 24 Desember 1970. Pada 21 Desember, gempa berkekuatan 6,0 SR dan berpusat di kedalaman 75 km itu mengguncang perairan di selatan Lombok. Pada 24 Desember, letak pusat gempanya di kedalaman 70 km dan kekuatannya 5,6 SR. Namun, tak ada korban tewas akibat dua gempa tersebut. Gempa Lombok, 28 Mei 1972. USGS kembali mencatat, getaran gempa berpusat di 262 km selatan Praya pada 28 Mei 1972. Kekuatannya mencapai 6,3 SR dengan kedalaman 15 km. Tak ada korban jiwa akibat bencana ini. Hanya beberapa bangunan runtuh akibat guncangannya yang terbilang besar namun tak memicu tsunami. Gempa Lombok, 10 April 1978 Menurut catatatan BMKG, gempa pada 10 April 1978 ini berpusat di 297 km selatan Praya dan berkekuatan 6,7 SR. Gempa tak menimbulkan korban jiwa. Gempa yang berada di kedalaman 19 km ini hanya menimbulkan sejumlah bangunan rusak parah namun tidak memicu tsunami. Gempa Lombok, 30 Mei 1979 Sebanyak 37 orang dilaporakan tewas, menurut data BMKG, dalam bencana gempa berkekuatan 6,1 SR. Selain itu, sejumlah rumah dan bangunan rusak berat. Gempa Lombok, 1 Januari 2000 BMKG mendata bahwa gempa Lombok di tahun baru itu merusak sekitar 2000 rumah. Pun begitu, gempa bermagnitudo 6,1 SR itu tak menelan korban jiwa dan memicu potensi tsunami. Gempa Lombok, 9 Juni 2016 Menurut data USGS, gempa berkekuatan 6,2 SR di 284 km selatan pesisir Kute pada kedalaman 19 km tersebut melukai sembilan orang. Guncangannya dirasakan kuat hingga ke Pulau Bali dan Pulau Sumbawa, namun tak memicu potensi tsunami.

  • Majakerta yang Dilupa

    OBOR untuk upacara pembukaan Asian Games 2018 telah dinyalakan. Gempita perhelatan event  olahraga multicabang terbesar Asia mulai membahana. Namun, kemeriahan di ibukota itu tak sampai ke Desa Majakerta di pesisir Indramayu, Jawa Barat. Desa seluas 2,5 kilometer persegi itu memang tak populer. Namanya sempat jadi berita ketika terjadi bencana pada 1995.

  • Dari Majakerta ke Jakarta untuk Asia

    OBOR Asian Games 2018 telah dinyalakan. Sumber apinya diambil dari api abadi di Stadion Nasional Dhyan Chand, New Delhi, India dan disatukan dengan api Mrapen, Jawa Tengah. Selama 35 hari, obor ini akan diarak sepanjang 18.000 km di 54 kota di 18 provinsi di Indonesia. Pejabat pemerintah, media massa, para atlet serta masyarakat menyambutnya dengan antusias. Pawai obor ini mengingatkan pada pawai obor Asian Games tahun 1962 yang juga diadakan di Indonesia.

  • Pepera: Bersama Indonesia atau Mati

    PAPUA, 8 Oktober 1968. Tiga orang tentara menjemput Joel Boray di kediamannya. Salah satu dari mereka mengetuk pintu rumah. Yang lain berkata: “Pak Joel Boray, ikut kami sebentar, diperiksa sebentar nanti pulang.” Tidak kuasa melawan, Joel dan kawan-kawannya terpaksa ikut. Joel Boray kena tipu. Sesampainya di markas tentara setempat, dia ditahan. Tentara mengunci mereka dalam satu ruangan dilanjutkan dengan pemukulan hingga berdarah-darah. Penganiayaan itu terjadi karena Joel nekad mengadakan demonstrasi. Dalam aksinya, Joel bersama guru-guru di Biak menolak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan diseleggarakan pemerintah Indonesia.   “Oh tidak bisa, kami harus memilih one man one vote karena itu yang paling bagus dengan New York Agreement (Perjanjian New York)” ujar Joel dalam “Koteka Lebih Baik dari Celana” termuat di kumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey. Joel adalah seorang pamong praja. Dia bekerja di kantor Kabupaten Biak sebagai anggota staf. Karena menentang Pepera, dia dikurung selama empat bulan di kompleks Angkatan Laut. “Kalau diadakan pemilihan satu orang satu suara, sudah jelas rakyat Papua senang memilih merdeka sendiri. Ah, itulah rahasianya,” kenang Joel. Satu Pilihan Polemik soal Pepera berkaitan erat dengan Perjanjian New York yang ditandatangani pada 1962. Pasal 18 yang mengatur tentang "pemerintah Indonesia dan penentuan nasib sendiri manyatakan rakyat Papua diberi kesempatan kebebasan memilih bergabung dengan Indonesia atau merdeka". Sementara mekanisme pemungutan suara dilakukan seturut dengan ketentuan internasional. Dalam butir (d) disebutkan, “Hak pilih semua orang dewasa, pria dan wanita yang merupakan penduduk pada waktu pendatanganan persetujuan dan pada waktu perwujudan penentuan nasib sendiri untuk ikut serta…” Dengan kata lain, jajak pendapat rakyat Papua seyogianya diperoleh lewat mekanisme satu orang satu suara. Namun dalam praktik, pemerintah Indonesia menerapkan metode delegasi. Cara ini dianggap tepat dengan kebudayaan Indonesia, disamping kesulitan biaya untuk penyelenggaraannya. Para pemilih diwakilkan lewat Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dihimpun dari delapan kabupaten. Sekira 800.000 penduduk Papua saat itu diwakili oleh 1026 DMP. Siasat pemenangan Pepera yang demikian itu agaknya terjadi atas sepengetahuan dan inisiasi Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Dalam otobiografinya, Amir mengakui kementerian yang dipimpinnya paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pepera. Di sisi lain, Presiden Soeharto telah berpesan agar Pepera jangan sampai gagal. Ketika berkunjung ke Irian Barat untuk meninjau persiapan Pepera, Amir mendapati kenyataan yang menohok. Sebagian rakyat Papua tidak begitu memperlihatkan simpatinya kepada Republik Indonesia. Kemungkinan kalah dalam Pepera cukup terbuka. “Bagi saya, dan juga bagi pemerintah Orde Baru, tidak ada pilihan, Irian Barat harus tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Amir dalam H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang . Mengenai sikap antipati masyarakat Papua, Amir berdalih. Menurutnya propaganda Belanda yang menjajah mereka sekian lama masih mengakar kuat. Jadi, tidak mengherankan apabila sebagian penduduk enggan bergabung dengan Republik. “Bagi saya status Irian Barat telah jelas yaitu wilayah Republik Indonesia. Sebab itu tidak perlu diperdebatkan lagi dari segi hukum internasional,” demikian pengakuan sang menteri.  Indikasi Kecurangan Kesaksian pamong praja Papua dalam buku Bakti Pamong Praja Papua menyibak rupa-rupa penyimpangan yang terjadi. Jelang Pepera, tentara yang didatangkan dari luar Papua untuk operasi “pengamanan” kian masif. Tentara memobilisasi massa untuk berpihak kepada Indonesia. Mereka dikumpulkan dalam penampungan khusus serta harus menjalani masa pembinaan. Sebagian bahkan ada yang diboyong ke Jakarta untuk menerima indoktrinasi.   “Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih oleh orang Indonesia untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera dan ikut dalam Pepera pada tahun 1969.” ungkap Dolf Faidiban yang pada saat Pepera menjabat Kepala Pendidikan Pemerintah Daerah di Jayapura. Dirk Bernardus Urus, Kepala Pemerintah Setempat di Bentuni mengatakan hal serupa. Menurutnya pemerintah Indonesia tidak mengenal kompromi ataupun menanyakan pendapat masyarakat. Katanya lagi, jika tidak menggunakan kekerasan barangkali Indonesia tidak akan memenangkan Pepera. “Pemerintah sudah menetapkan satu pilihan saja: Harus berintegrasi dengan Indonesia! Tidak ada jawaban lain.”     Senada dengan kesaksian tadi, sejarawan Belanda Pieter Droogever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menguak pengakuan sejumlah peserta pemilih yang ditunjuk secara asal. Kebanyakan berasal dari Merauke, Wamena, Biak, dan Manokwari. Mereka dipaksa untuk mempelajari jawaban yang berkenan kepada Indonesia lalu membacakannya dengan ancaman mati.   Lebih lanjut, Drooglever mengungkapkan, anggota DMP yang terjaring kemudian dikarantina dalam barak atau gedung sekolah selama berminggu-minggu. Akses mereka untuk terhubung ke dunia luar ditutup. Selanjutnya, mereka diinformasikan secara panjang lebar mengenai apa yang harus dilakukan, memilih bergabung dengan Indonesia. “Untuk mengambil hati mereka, tulis Drooglever, “Semua memiliki transistor, sebuah lampu senter, pakaian, dan sedikit uang. Semua itu barang berharga yang sangat tinggi nilainya.”

  • Cinta Sultan Bersemi di Perpustakaan

    SELEPAS belajar beladiri di Kadilangu, Kustiah, nama kecil Nyi Ageng Serang, harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Notoprojo, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro. Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama. Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”. Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan. Awal Perjodohan Dua Sahabat Raden Ajeng Kustiah Retno Edi merupakan putri Adipati Serang, desa terpencil di utara Solo, bernama Panembahan Notoprojo. Notoprojo merupakan kawan seperjuangan Pangeran Mangkubumi ketika Mataram perang melawan Belanda. Dalam pemberontakan Mangkubumi, Notoprojo memimpin pasukan di Serang yang ditugaskan merebut kembali wilayah Semarang dan Rembang. Setelah Mangkubumi dinobatkan jadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dia meminta Notoprojo tinggal di keraton. Namun, Notoprojo menolak secara halus dengan bilang dirinya sudah terlalu sepuh untuk tinggal di keraton dan lebih memilih untuk kembali ke Serang. Mendengar jawaban itu, sultan mengajukan usul lain: menjodohkan kedua anak mereka, Raden Ajeng Kustinah dijodohkan dengan Putera Mahkota Raden Mas Sundoro. Perjodohan itu bertujuan agar persahabatan mereka tidak terputus kelak ketika keduanya sudah wafat. Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, kerabat keraton mendesak agar pernikahan Kustiah dan Sundoro segera dilaksanakan. Kustiah mengiyakan ajakan Sundoro untuk menikah namun dia mengajukan syarat: mereka tidak harus tinggal bersama. Kustiah masih ingin memperdalam ilmu beladiri dan membutuhkan lebih banyak pengalaman hidup untuk memperkuat semangat juangnya. Kustiah meyakinkan calon suaminya untuk memenuhi keinginan itu. Raden Mas Sudoro atau Sultan Hamengku Buwono II menyepakati syarat Kustiah meski baginya suami-istri tidak tinggal bersama adalah hal yang lucu dan janggal. Menjelang hari pernikahan, Kustiah kembali mengajukan syarat: upacara pernikahan cukup secara simbolik saja. Sultan Hamengku Buwono II menerima syarat itu. Mereka pun menikah. Nama Kustiah berubah menjadi Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi dan masuk dalam daftar kerabat keraton. Ketika kesehatan Panembahan Notoprojo memburuk, Kustiah meminta izin suaminya untuk merawat sang ayah. Sultan tidak bisa menolak keinginan Kustiah. Selama kepergian Kustiah, sultan menyadari bahwa mereka tidak cocok menjadi suami-istri. Sultan akhirnya memberi kebebasan pada Kustiah untuk memilih jodohnya sendiri. Pada 1787, mereka bercerai. Setelah berpisah, Kustiah menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumowijoyo yang bergelar Pangeran Serang I sehingga dikenal sebagai Nyi Ageng Serang. “Gelar Nyi Ageng,” tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, “dia dapat dari dinasnya di Korps ‘para nyai’ di Keraton Yogya. Sedangkan Serang, didapatnya karena menikahi Pangeran Serang.” Meski sudah bercerai, Sultan Hamengku Buwono II dan Nyi Ageng Serang masih menjalin hubungan baik. Sultan tak ingin melepaskan hubungan batin dengan perempuan yang dikenal kuat, tangguh, dan pintar itu. Mereka akhirnya menjadi besan ketika Kustinah, anak Nyi Ageng Serang, menikah dengan Pangeran Aria Adipati Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengku Buwono II.

  • Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita

    ISI benak Dean Karny (Taron Egerton) sekonyong-konyong disesaki peluang saat bertemu Joe Hunt (Ansel Elgort), teman lama semasa SMA, di sebuah kafe elit di WeHo (West Hollywood), California, 9 Juli 1983. Dean yang hanya berbisnis mobil punya mimpi untuk jadi lebih kaya dengan memanfaatkan kecemerlangan otak Joe, teman yang dianggapnya paling cerdas namun kurang beruntung nasibnya. Begitu cara sutradara James Cox membuka adegan dalam film Billionaire Boys Club . Adegan pertemuan Joe-Dean membuka kisah sekumpulan mahasiswa yang menjadi kaya raya secepat kilat dengan ide brilian tapi jatuh dalam sekejap mata yang jadi inti cerita film. Film berdurasi 108 menit ini mentas berkat produksi Armory Films. Debut rilisnya pada 17 Juli 2018 bukan melalui bioskop-bioskop, melainkan via VOD (Video on Demand). Rencananya, film baru akan tayang di bioskop pada 17 Agustus 2018 lewat distributor Vertical Entertainment. Film ini seolah me- remake kisah serupa dengan judul yang sama karya sutradara Marvin J. Chomsky yang terbit 8 November 1987. Bedanya, karya Chomsky berdurasi 200 menit dan hanya ditayangkan lewat stasiun televisi NBC . Cepat Kaya Berakhir Derita Sineas muda James Cox menuangkan kisah nyata sekumpulan mahasiswa yang membentuk sebuah firma investasi dan tentang bagaimana Joseph Henry Gamsky alias Joe Hunt yang hidupnya melesat dalam sekejap dari kondisi pas-pasan. Dari pertemuan Dean dan Joe di WeHo, tercetus ide untuk bermitra dan mendirikan firma investasi dengan nama BBC di tahun yang sama. Nama BBC terinspirasi dari Bombay Bicycle Club, sebuah klub dan restoran elit yang semasa SMA selalu jadi impian Dean untuk bisa jadi anggotanya. Joe langsung menyetujuinya karena dia harus memiliki harta agar bisa menggapai tahta dan wanita. “Di Amerika, uang sama dengan respek,” ujar Dean yang memancing gairah Joe. The Bombay Bicycle Club yang menjadi inspirasi nama firma BBC Kunci untuk menjalankan bisnis mereka: meracik Skema Ponzi, skema tipu-tipu ala MLM ( multi-level marketing ) yang digagas tahun 1919 oleh penipu ulung bernama Charles Ponzi. Jika Ponzi memulainya dengan manipulasi investasi kupon perangko mahal, BBC start dengan investasi mobil BMW. Mereka membelinya dengan harga murah di negara asal, Jerman, untuk kemudian dijual lagi dengan harga berkali-kali lipat di Amerika. Untuk modal awal, Dean menarik investasi dari teman-teman kuliahnya yang tajir di Harvard School for Boys (kini Harvard Westlake School, Los Angeles). Mereka semua berusia 30 tahun ke bawah dan anak-anak konglomerat yang acap bingung bagaimana menghabiskan uang jajan dari orangtua. Dana merekalah yang digunakan untuk membeli BMW-BMW itu selain suntikan investasi dari pengusaha ternama, Ron Levin (Kevin Spacey). Bisnis investasi mereka sukses besar. Saking besarnya laba, Joe sampai berani membeli perusahaan tambang batubara di Chicago yang nyaris bangkrut, Cogenco Energy, seharga USD250 juta. Dengan harta itu, Joe dan Dean merengkuh tahta dan wanita. Joe sendiri meraih mimpi pribadinya untuk bisa menjalin cinta dengan gadis dambaannya, Sydney Evans (Emma Roberts). Terus mengalirnya investasi-investasi baru mengubah gaya hidup mereka. Nyaris setiap hari berpesta. Lucunya, BBC sebagai perusahaan penipu justru memulai kehancurannya dari kena tipu. Ron Levin mengerjai Joe dkk. dengan cek kosong. Rencana BBC ingin menjalankan Cogenco dengan investasi dari Ron jadi berantakan. Gara-gara itu Ron dibunuh bodyguard Joe, Tim Pitt (Bokeem Woodbine), setelah diancam Joe untuk memberi cek asli senilai USD1,5 juta, pada 6 Juni 1984. Sempat bangkit dengan memanfaatkan pertemanan mereka dengan Reza ‘Izzy’ Eslaminia, putra Hedayat Eslaminia, eks-pejabat Shah Iran yang mencari suaka ke Amerika, BBC ambruk lagi gara-gara pembunuhan Hedayat oleh Dean Karny. Cox menutup kisah para pendiri BBC dengan drama nan apik. Fakta Film BBC Sutradara Cox jelas telah meriset film seri dengan judul sama yang ditayangkan NBC pada 1987. Benang merahnya, Cox mengikutsertakan Judd Nelson, pemeran Joe Hunt di film 1987. Di film 2018, Nelson memerankan Ryan Hunt, ayah Joe Hunt. Judd Nelson memerankan Joe Hunt di edisi 1987 dan memerankan Ryan Hunt di film 2018 Namun, sebagai film yang berhubungan dengan sejarah, film ini jelas tak bebas dari “terpeleset” soal fakta. Contoh, percintaan Joe Hunt dengan Sydney Evans. Faktanya, tulis Hype edisi 27 Juli 2018, tokoh Sydney tak pernah ada. Karakter dan penampilan Sydney sengaja dibuat mirip penyanyi Debbie Harry demi menguatkan suasana 1980-an. Pun begitu dengan tokoh Quintana Bisset (Suki Waterhouse) sebagai pacar Dean Karny.

  • Para Pelarian dari Penjara

    HIDUP dalam penjara tidak pernah enak. Saban hari menyantap makanan itu-itu saja: nasi, sayur asem, sop, ikan asin, telur. “Sudah itu saja. Tiap hari diselang-seling dan dijatah. Nasinya setaraf makanan bebek,” ungkap Ibrahim, mantan narapidana kasus kepemilikan narkoba kepada Historia . Cakrawala napi sebatas kompleks penjara selama berbulan-bulan, bahkan tahunan. Rasa bosan dan rindu akan keluarga mudah hinggap. Kekerasan dan penularan penyakit sering menimpa napi. “Penjara itu neraka dunia. Tak banyak kebebasan,” lanjut Ibrahim. Beberapa napi tak tahan dan berupaya kabur.    Percobaan napi untuk kabur dari penjara telah mengada sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem penjara pada abad ke-19. Menurut R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional , alasan utama napi kabur tersebab tekanan dari sipir dan poorman , napi tukang pukul. “Makin keras tekanan, makin keras mendidihnya gerak daya tersebut. Akibatnya pelarian atau pembunuhan. Ibarat bensin yang direbus. Makin keras ditutup, makin keras tekanan keluar,” tulis Koesnoen. Koesnoen tak menyebut contoh kasus pelarian napi secara detail. Tapi dia mencatat ada aturan tentang kepenjaraan muncul dari sejumlah kasus pelarian para napi. Aturan itu termaktub dalam Surat Edaran Kepala Djawatan Pendjara, 15 September 1932, No. G. 1/278/4. “Narapidana yang suka melarikan diri dikirim ke penjara yang ada pekerjaan dalam penjara atau dipekerjakan dalam tambang batubara di Sawahlunto,” demikian sepenggal isi surat tersebut. Penyebab Napi Kabur Kemerdekaan Indonesia pada 1945 mengubah orientasi pengelolaan penjara. Pemerintah berupaya menjadikan penjara tempat resosialisasi napi ke masyarakat. Artinya, perlakuan terhadap napi tak harus selalu condong pada tekanan dan kekerasan. Ada pembinaan spiritual, jasmani, dan keahlian untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Tapi gagasan penjara sebagai tempat resosialisasi bukanlah bermaksud menjadikan napi betah di penjara. Apalagi sampai hidup enak-enakan. Hidup dalam penjara tetaplah keras dan terbatas. Terlebih lagi sebagian besar penjara Indonesia menempatkan napi bersama-sama dalam satu sel. “Dengan adanya mereka bersama-sama dalam kamar mudahlah mereka mengadakan permufakatan-permufakatan jahat. Baik untuk pemberontakan dan pelarian besar-besaran maupun untuk perusakan tembok atau pelarian sendirian,” tulis Koesnoen. Maka, kasus pelarian napi tetap tersua. Majalah Suara Buruh Kependjaraan , gawean organisasi Serikat Buruh Kependjaraan, edisi Oktober-Desember 1959 mencatat dua kasus pelarian napi selama dekade 1950-an di kompleks penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Penjara Nusakambangan berada di sebuah pulau. Sekelilingnya hutan lebat. Ia terbagi atas tiga kompleks: Permisan, Karang Tengah, dan Batu. “Sebagian besar penghuninya narapidana berat dan ditambah dengan narapidana ringan yang berasal dari sekitarnya,” tulis Koesnoen. Peristiwa pelarian pertama terjadi di Permisan pada 9 September 1957 dan peristiwa kedua di Karang Tengah pada 7 Oktober 1959. Peristiwa pertama meminta dua nyawa pegawai penjara dan beberapa rekannya terluka parah. Peristiwa kedua makan satu nyawa pegawai penjara gugur dan satu rekannya kena sabetan parang.  Napi dalam peristiwa kedua berhasil merebut parang dan senapan mauser dari lemari penyimpanan pada siang hari. “Adapun cara narapidana tersebut mengambil senjata yang berada di dalam almari senjata tersebut dengan jalan merusak gembok sehingga patah karena dibetel,” tulis Suara Buruh Kependjaraan . Usai melumpuhkan dua pegawai penjara, napi pelarian mendapat serangan balasan dari pegawai penjara lainnya. Sebuah peluru bersarang di tubuhnya, tapi tak cukup membuatnya rebah. Dia mampu bertahan dari rasa sakit dan keluar dari bangunan penjara. Dia masuk ke hutan sekitar kompleks penjara. Sore hari bantuan untuk pegawai penjara datang dengan persenjataan lengkap. “Pasukan Korps Keamanan Nusakambangan (KKN) telah siap di Karang Tengah bersama dengan kepolisian untuk menghadapi peristiwa tersebut dan mengadakan operasi di dalam hutan mencari pemberontak tadi,” tulis Suara Buruh Kependjaraan . Napi pelarian tak berdaya menghadapi belasan pasukan dan luka menganga di tubuhnya. “Pada jam 18.00 lebih dari pihak KKN bersama dengan pihak kepolisian telah berhasil membekuk batang lehernya pemberontak tersebut,” catat Suara Buruh Kependjaraan . Tapi ini bukanlah akhir dari upaya pelarian napi di penjara kelas berat Nusakambangan. Zaman kemudian berganti. Dan pelarian di Nusakambangan melibatkan napi dalam jumlah yang lebih besar. Pelarian Massal Johny Indo, perampok ulung toko emas di Jakarta, telah menjalani masa hukuman hampir 15 bulan di penjara Permisan. Awal Mei 1982, dia menerima surat dari anaknya. Surat itu bercerita tentang keadaan Stella, istrinya. Sudah banting tulang, penghasilannya hanya cukup untuk beberapa hari. Di bagian lain surat, anaknya juga mengabarkan ibu kandung Johny sedang sakit keras. “Surat itu sungguh membangkitkan rindu pada rumah, rindu pada istri, anak-anak, dan ibunya,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo Tobat dan Harapan . Johny merenungkan isi surat beberapa hari. Di sesela perenungan, dia melihat gelagat mencurigakan dari rekan-rekannya. Dia tahu mereka merencanakan pelarian. Suatu Minggu, Johny mengikuti kebaktian di dalam penjara. Pikirannya tertuju lagi pada surat anaknya. Dia juga teringat rencana pelarian rekan-rekannya. Niat ikut melarikan diri pun tumbuh. Johny menghampir ke rekan-rekannya, mengatakan dia akan turut pelarian. Rekannya tak langsung menyambut niat Johny. Mereka para bajingan. Tidak gampang percaya satu sama lain. Kalau bukan karena ingin mencapai kebebasan, mereka biasanya berkelahi untuk membuktikan siapa paling jago. Tapi sekarang mereka berusaha percaya satu sama lain, biarpun pelan-pelan. Setelah meyakinkan rekan-rekannya bahwa dirinya bukan pengkhianat, Johny mendapat kepercayaan. Dia mengusulkan cara pelarian. Kontak fisik dengan sipir tak mungkin dihindari. Tapi Johny tak suka perebutan senjata. “Ini kan bukan zaman revolusi lagi,” kata Johny. Sebagian napi menolak usul Johny, beberapa lainnya mengiyakan. Tak ada kesepakatan. Hari Kamis, 20 Mei 1982, Permisan sepi dari penjagaan. Sebagian besar sipir berwisata dengan keluarga. Hanya ada empat sipir berjaga. Salah satunya berusia setengah baya. Para napi baru saja makan siang. Sebagian besar bermalas-malasan di suatu ruangan. “Tiba-tiba narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara 13 tahun (dan baru akan habis tahun 1988 mendatang), ditambah lagi 17 tahun penjara untuk kejahatan lain, menyerang sipir penjara setengah baya itu sehingga terjadi pergulatan,” tulis Subagyo PR dkk. dalam Rekaman Peristiwa 1982 . Johny ambil bagian mengeroyok sipir. Belasan narapidana kemudian menyasar ruang penyimpanan senjata. Tiga sipir kewalahan menghadapi mereka, dan akhirnya roboh. Para napi menguasai ruang penyimpanan senjata. Mereka membuka gerbang. Puluhan narapidana yang tadinya tak terlibat dalam rencana pelarian, jadi ikut-ikutan kabur. Tercatat 34 narapidana kabur menuju hutan lebat, mencari bibir pantai, mengharap kebebasan. Berita pelarian menyebar ke penduduk sekitar penjara. Mereka mengungsi. Napi kabur merupakan hal biasa di penjara. “Dimana-mana narapidana dengan berbagai cara pasti ingin bebas dan keluar. Ini menunjukkan mereka masih manusia normal,” kata Ahmad Arif, Direktur Jenderal Pemasyarakatan ketika itu. Tapi lain cerita jika puluhan napi kabur bersamaan. Maka, ketakutan segera menyebar. Ratusan petugas berdatangan. Mereka tidak semua masuk hutan. Sebagian berjaga di pinggir pantai. Mereka tahu hutan Nusakambangan begitu liar. Ada ular, macan kumbang, dan binatang buas lainnya. Napi pelarian melawan banyak hal di hutan. Kegelapan, binatang buas, kelaparan, dan tembakan petugas. Satu per satu napi pelarian kandas. Johny juga menyerah pada 1 Juni 1982. Upaya pelarian 34 napi itu gagal. Ada yang mati diterjang timah panas petugas, ada yang menyerah, ada pula yang diterkam binatang buas. Berhari-hari cerita pelarian napi ini menyita halaman depan surat kabar nasional. Persoalan tentang pengelolaan penjara muncul lagi. Pejabat menjawab dengan mengatakan bahwa hukum tetap akan mengejar yang berbuat salah kemana pun. Mereka juga berjanji memperbaiki keadaan penjara untuk mencegah napi kabur dan peristiwa berdarah terulang. Baca juga:  Penjara Tak Bikin Tobat Penjara untuk Perempuan Kriminal Ketika Sipir Berserikat di Dalam Penjara Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara

  • KSAD Kirim Purnawirawan TNI Jadi TKI di Arab Saudi

    PADA 1980-an, KSAD Jenderal TNI R. Widodo gelisah memikirkan 2.000 bintara yang akan pensiun. Dia menanyakan kepada Bondan Gunawan –kelak menjadi menteri sekretaris negara masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid– apakah dapat mencarikan pekerjaan untuk mereka? Bondan kemudian menghubungi dua pengusaha di Jakarta, Suko Sudarso dan Ir. Harsono, seniornya di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Dia menanyakan apakah bisa mencarikan pekerjaan bagi 2.000 bintara TNI yang bakal pensiun. Mereka mengatakan punya hubungan baik dengan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, terutama dengan pejabatnya bernama Bakr Khomais. Kebetulan, saat itu pemerintah Arab Saudi memerlukan banyak tenaga kerja, terutama para mekanik dan sopir pada musim haji. “Singkat kata, para bintara pensiunan itu bisa dipekerjakan di Arab Saudi. Peluang itu langsung ditindaklanjuti dengan membentuk PT. Rabindo sebagai perusahaan pengirim tenaga kerja ke Arab Saudi,” kata Bondan Gunawan dalam memoarnya yang baru terbit, Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur. Bondan bersama delapan jenderal aktif dan purnawirawan menjadi pemegang saham PT. Rabindo. Namun, Jenderal Widodo tak ingin menjadi pemegang saham. PT. Rabindo menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk para pensiunan bintara itu agar siap bekerja di Arab Saudi. Para calon sopir dilatih di kantor pusat Perum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) Jakarta. Sedangkan calon mekanik di kompleks bengkel militer Berland, Matraman, Jakarta. “Saya masih ingat, pensiunan yang sudah tua atau tak berminat bekerja di Arab Saudi dapat digantikan oleh anak atau kerabat lainnya,” kata Bondan. Setelah selesai pelatihan, para purnawiran siap diberangkatkan. Kloter pertama dikirim 700 bintara pensiunan. Mereka dilepas dalam suatu upacara resmi di Markas Besar Angkatan Darat. Inspektur upacaranya adalah Jenderal TNI (Purn.) Djatikoesoemo dan Bondan sebagai komandan upacara. Bondan bahkan mendampingi mereka ke Arab Saudi. Dalam pengiriman tenaga kerja itu, PT. Rabindo bekerja sama dengan perusahaan Darlah Afco di Arab Saudi. Pimpinan perusahaannya pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu Jenderal Widodo. Setelah sukses mengirim tenaga kerja ke Arab Saudi, giliran Irak melalui Kedubesnya di Jakarta meminta bantuan tenaga kerja kepada PT. Rabindo. PT. Rabindo pun mengirim sekitar 300 sopir dan mekanik untuk bekerja di Irak. “Jadi, sejak adanya PT. Rabindo, saya mulai mengenal dunia bisnis dan tokoh-tokoh militer,” kata Bondan. Jenderal Widodo pun dapat bernapas lega. Para purnawirawan dapat bekerja di Arab Saudi dan Irak. Namun, tak lama kemudian dia harus melepaskan jabatannya sebagai KSAD. Musababnya, kata Bondan, pada suatu kesempatan bertemu, “kami meminta melalui Jenderal Widodo agar kegiatan bisnis putra-putri Jenderal TNI (Purn.) Soeharto janganlah terlalu menonjol karena bisa merusak nama baik Pak Harto.” Jenderal Widodo berjanji akan meneruskan permintaan itu kepada Presiden Soeharto. Akan tetapi, dua pekan kemudian, Jenderal Widodo dicopot dari jabatannya sebagai KSAD. “Saya tidak mengetahui, apakah Jenderal Widodo sempat membicarakan usulan kami itu kepada Presiden Soeharto,” kata Bondan. “Kami juga tidak mengetahui apakah pencopotan Jenderal Widodo ada kaitannya dengan usulan kami atau tidak.”*

  • Angling Dharma, Tokoh Nyata atau Rekaan?

    LEGENDA berkisah Prabu Angling Dharma dilahirkan oleh Pramesti, putri Jayabaya. Sementara Jayabaya merupakan putra Gendrayana, cucu Yudayana dan cicit Parikesit. Silsilahnya jika ditarik sampai ke tokoh Mahabharata: Abimanyu, ayah Parikesit dan Arjuna, kakek Parikesit. Dia bertakhta di Kerajaan Malawapati. Bagi banyak orang, kisah Angling Dharma bukan legenda. Beberapa daerah, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, percaya tokoh itu pernah hidup di masa lalu. Misalnya, di daerah Pati, Jawa Tengah, terdapat makam yang diyakini tempat peristirahatan Angling Dharma. Letaknya di Desa Mlawat, Kecamatan Sukolilo. Nama Mlawat mirip Malawapati, kerajaan Angling Dharma. Dua kilometer dari sana, di Desa Kedung Winong, Kecamatan Sukolilo, diyakini terdapat makam Patih Batik Madrim, tokoh dalam kisah Angling Dharma. Tak hanya daerah Pati, di Bojonegoro juga terdapat Situs Mlawatan di Desa Wotangare, Kalatidu, yang dipercaya sebagai petilasan Angling Dharma. Lebih dari itu, Angling Dharma sempat diwacanakan menjadi ikon Kota Bojonegoro. Sampai-sampai tulisan di gapura perbatasan berbunyi: Selamat Datang di Bumi Angling Dharma. Tim kesebelasan kota itu, Persibo, juga punya julukan Laskar Angling Dharma.   Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar Sejarah Universitas Negeri Malang menjelaskan, sebelum berkembang kisahnya di berbagai daerah, Angling Dharma muncul lebih dulu dalam sastra lisan pada masa Hindu-Buddha. “Yang menarik kemudian muncul klaim setting area untuk daerah-daerah tertentu. Dalam kisah yang kini dikenal luas, misalnya ada yang disebut Negara Boja atau Bojanagara, yang kemudian dianggap sebagai toponimi daerah yang kini dikenal dengan Bojonegoro,” ujar Dwi lewat sambungan telepon. Penyebutan tokoh Jayabaya di kisah itu mengingatkan pada Sang Mapanji Jayabhaya, penguasa Kadiri yang memerintah pada 1135-1157 M. Dia naik takhta menggantikan Bameswara. Tak banyak keterangan soal asal usulnya. Selama memerintah 22 tahun, baru tiga prasasti yang sampai pada hari ini. Kabarnya, dia menjadi raja setelah merebut hak naik takhta dari kakaknya yang putra mahkota. Pertanyaannya, apakah Angling Dharma tokoh sejarah? Apakah dia berhubungan dengan sejarah Kadiri, khususnya Jayabaya? Dwi sepakat bahwa kemungkinan tradisi lisan kisah Angling Dharma sudah ada sejak sebelum Majapahit. Versi tertulis berjudul  Ari Dharma dan adaptasi ke dalam relief candi baru muncul pada era Majapahit. Namun, tak semua karya sastra mengabadikan peristiwa historis. Penokohannya juga tak mesti selalu ada dalam dunia nyata. Sastra jenis kidung yang berkisah tentang tokoh historis misalnya  Kidung Ranggalawe  dan  KidungSorandaka . “Dalam pengisahannya itu juga ada bias. Ada tambahan pengurangan, bias dari fakta untuk dramatika,” kata Dwi. Apalagi hingga kini dikenal banyak versi naskah tentang Angling Dharma. Menurut Lydia Kieven dalam  Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit , Angling Dharma sekarang adalah versi Bahasa Jawa Modern dari kidung bahasa Jawa Pertengahan berjudul Aji Dharma . Kisah yang kemudian berkembang itu tak lagi bisa dikorelasikan dengan kisah yang terpahat dalam relief candi.  “Saya tidak tahu, kenapa bisa jadi perubahan itu. Saya tidak melihat apakah itu merujuk pada arti harfiah yang sama,” ujar Dwi. Tokoh Rekaan Dwi meyakini Angling Dharma hanyalah tokoh rekaan. Namun, meski tokohnya fiktif, nama tempat, geografis ekologis, jenis tanaman, sungai, dan laut, tetap mencerminkan kondisi nyata pada masa itu. Ia juga sah dianggap sebagai gambaran sosial dan budaya ketika sastra itu ditulis. “Itulah kenapa susastra tetap bisa dijadikan sumber. Tidak untuk memfaktualkan tokoh fiktif. Tokoh bisa rekaan, namun kisahnya bisa saja memang kisah faktual,” kata Dwi. Jika karya fiksi itu kini dianggap seolah faktual, itu wajar. Pasalnya, dia begitu memasyarakat. Itulah, menurut Dwi, mengapa kemudian ada pelokalan atau pengkaitan kisah dengan wilayah tertentu. “Bahkan ada kadang-kadang yang mengatakan, tradisi lisan asal usul daerah itu tergambar di Angling Dharma,” ujar Dwi. Pun jika kemudian dihubungkan dengan Jayabaya. Menurutnya, ini merupakan penjelasan yang ditambahkan kemudian. Soalnya, dalam tradisi sebelumnya, Angling Dharma tak dikenal asal usulnya. “Di kisah ini tidak disebut anak siapa, dari raja mana, baru kemudian pada perkembangan selanjutnya dicantolkan dengan Jayabaya. Ya, itu wajar saja, Jayabaya kan raja yang begitu dikenal orang Jawa,” kata Dwi. Begitu juga soal keberadaan Kerajaan Malawapati. Tanpa ada bukti yang jelas, kerajaan itu pun bisa jadi hanya rekaan. Kalaupun ada tempat yang mirip namanya, kemungkinan hanya meminjam dari kisah Angling Dharma yang sudah begitu dikenal. “Bisa saja kisahnya terkenal dulu, baru kemudian desa-desa itu meminjam nama-nama dalam sastra yang sudah terkenal,” kata Dwi. Makna Ari Dharma Dwi mengatakan kisah Angling Dharma hingga bisa diminati seperti sekarang ini karena keragaman tokohnya. Terutama karena berkaitan dengan cerita binatang. Buktinya, kisah tantrik atau cerita hewan banyak dijumpai sebagai relief dinding candi karena memang disukai pada masanya. Pesan yang terkandung dalam cerita Angling Dharma juga dalam. Tentang kesetiaan dan  dharma . “Biasanya yang setia itu istri, tapi ini tidak. Ia (Angling Dharma, red. ) laki-laki yang setia pada istri. Dia ingin ikut mati ketika istrinya mati. Setelah istrinya meninggal, dia bahkan hanya akan mencari wanita yang mirip dengan almarhum istrinya, Satyawati,” jelas Dwi. Dari segi bahasa,  ari  artinya adik, jika diambil dari judul awalnya,  Ari Dharma . Menurut Dwi,  ari  seperti sebutan suami kepada istrinya. Kebiasaan ini dibuktikan oleh keterangan di Prasasti Muncang dari masa Mpu Sindok pada 866 saka (944 M). Disebutkan istri yang merupakan putri dari raja sebelumnya, Wawa, disebut  ariparameswari dyah kepi .  "Ada kata ari ' di sana. Ini sebutan Mpu Sindok untuk istrinya, Dyah Kbi," jelas Dwi. Adapun dharma  artinya ajaran. Dengan demikian, menurut Dwi, tokoh ini tengah memberikan tuntunan mengenai dharma suami kepada istri termasuk kesetiaan seorang suami kepada pasangannya.  "Nampaknya kisah tuntunan. Tokoh ini bukan nama diri. Ini nama sebutan. Tokoh kisah yang memberikan tuntunan, kesetiaan suami," kata Dwi. Di luar itu, kisah ini terbukti mampu melintasi zaman. Ceritanya tak sarat dengan bahasa-bahasa agama, tapi lebih kepada hubungan sosial manusia. Ketika Islam berkembang pun, cerita ini tetap diminati. Bahkan, bentuknya tak lagi literer dan visual, tapi seni pertunjukkan. “Nilai-nilainya universal. Jadi mampu melintas zaman,” ucap Dwi.

  • Cerita Para Desersi Jepang

    ALKISAH pada pertengahan April 1946, Squadron Leader Frederick George Birchall dikabarkan hilang di perbatasan Sukabumi dan Bogor. Petugas AWCD (Australian War Crimes Detachment) yang tengah memburu para penjahat perang Jepang tersebut disinyalir telah tewas bersama tiga rekannya. Menurut Priyatna Abdurrasyid, mereka kabarnya dibunuh oleh satu seksi TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) yang dipimpin seorang eks tentara Jepang. “Rupanya serdadu Jepang itu adalah bekas algojo kamp konsentrasi di wilayah Indonesia Timur yang tengah diburu oleh pihak Australia,” ujar eks pimpinan tim pencari tiga petugas AWCD dari pihak Republik Indonesia tersebut. Selama Perang Kemerdekaan (1945-1949) berlangsung di Indonesia, sekira 1500 eks tentara Jepang memutuskan untuk bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia. Mereka bahu membahu bersama para pejuang Republik melawan militer Belanda di Jawa dan Sumatera. “Di Jepang, kami menyebut mereka sebagai zanryu nihon hei (serdadu yang memilih tinggal),” ungkap sejarawan Aiko Kurasawa kepada Historia . Putus Asa Begitu tersebar berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, para serdadu Jepang di Indonesia nyaris seluruhnya merasa kecewa. Menurut Shigeru Ono (eks tentara Jepang yang membelot ke kubu Republik), mereka rata-rata tak menyangka negaranya yang dipimpin oleh seorang “keturunan dewa” bisa bertekuk lutut begitu saja. “Pada akhirnya kami semua merasa putus asa, banyak kawan-kawan yang melakukan harakiri (bunuh diri dalam tradisi Jepang guna menunjukan kehormatan) dan malah ada juga yang menjadi gila,” ujar zanryu nihon hei terakhir di Indonesia itu. Selain patah harapan, mereka pun merasa takut aksi balas dendam yang dilakukan pihak Sekutu, terutama kepada para serdadu yang terlibat langsung dalam penyiksaan tawanan kulit putih di berbagai kamp konsentrasi. Ancaman kematian menjadikan mereka pragmatis dan memilih berlindung di balik gerakan pembebasan Indonesia. Hasegawa adalah salah satu serdadu Jepang yang diburu pihak Belanda dan Sekutu pasca Perang Dunia II. Menurut salah satu dokumen NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) yang disimpan di Arsip Nasional Belanda, Hasegawa merupakan algojo sadis pada sebuah kamp konsentrasi di Flores. Sadar posisinya diambang bahaya, Hasegawa yang kemudian tertangkap oleh suatu unit Lasykar BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) di Garut bernama PPP (Pasukan Pangeran Papak) kemudian memutuskan untuk bergabung dengan pihak yang menawannya. Dia kemudian merubah namanya menjadi lebih Indonesia: Aboebakar. Petualangan Hasegawa di Garut berakhir pada awal Agustus 1948. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa keluaran Sejarah Kodam VI Siliwangi, Hasegawa tertangkap saat dia tengah mengikuti rapat rahasia bersama para pimpinan Brigade Tjitaroem yang dibentuk oleh Letnan Kolonel Soetoko di Kampung Parentas, termasuk kaki Gunung Dora (terletak di perbatasan Garut-Tasikmalaya). “Dia dihukum mati beberapa hari setelah tertangkap,” ungkap Raden Ojo Soepardjo, eks anggota PPP, kepada Historia . Karena Cinta Namun menurut Aiko, motivasi terbesar para zanryu nihon hei bertahan di Indonesia adalah cinta. Bukan rahasia lagi jika selama bertugas di Indonesia banyak tentara Jepang yang menjalin hubungan cinta dengan perempuan-perempuan Indonesia. “Mereka merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya lantas memilih bertempur di pihak bangsa kekasihnya,” ujar peneliti sejarah dari Keio University tersebut. Aiko tak menafikan ada memang kelompok kecil eks tentara Jepang yang bergabung dengan para pejuang Indonesia karena rasa simpati dan cintanya kepada Indonesia. Salah satu contoh dari kelompok ini adalah Tatsuo Ichiki, seorang Jepang yang sangat dituakan oleh para zanryu nihon hei . Keberpihakannya kepada Indonesia sudah terjadi sejak 1945, ketika ia bergaul akrab dengan diplomat senior Indonesia Haji Agus Salim di Jakarta. “Dia bahkan diangkat anak oleh ayah saya dan diberi nama Indonesia: Abdul Rachman karena sikapnya yang penuh kasih kepada bangsa Indonesia,” ujar Bibsy Soenharjo, salah satu putri Haji Agus Salim. Sejarah mencatat Abdul Rachman terlibat dalam penerjemahan buku-buku taktik dan strategi perang Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bidang penerjemahan buku-buku pegangan intelijen jepang, dia pun pernah bekerjasama dengan Kolonel Zulkifli Lubis, orang yang dijuluki sebagai “bapak intel Indonesia”. Pada 1948, dia ditugaskan oleh Kolonel Sungkono untuk mengumpulkan seluruh eks serdadu Jepang di Jawa Timur dan menghimpunnya dalam suatu kesatuan khusus. Maka pada 28 Juli 1948, berkumpullah 28 zanryu nihon hei di Wlingi dan mendeklarasikan berdirinya Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di bawah koordinasi Brigade Surachmad. Sebagai pimpinan, Sungkono mengangkat Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi), senior dari Abdul Rachman. Namun karena Mayor Arif kerap sakit-sakitan (kemudian meninggal pada 10 Agustus 1948), akhirnya pucuk pimpinan PGI diserahkan kepada Mayor Abdul Rachman. “ Sensei Ichiki akhirnya gugur dalam suatu pertempuran di wilayah selatan Malang pada awal Januari 1949,” ungkap Shigeru yang meninggal pada 2014.

  • Penjara untuk Perempuan Kriminal

    ZARIMA Mirafsur, Sheila Marcia, dan Jennifer Dunn. Tiga nama tenar yang punya satu kesamaan. Mereka pernah terperosok ke bui lantaran tindak kriminal terkait narkoba. Letak penjara mereka berlainan, tapi sama-sama khusus untuk perempuan. Tidak banyak penjara khusus perempuan di Indonesia. Lebih sedikit lagi tentang sejarahnya. Gagasan penjara khusus untuk perempuan kasus kriminal berkembang dalam kurun berbeda di pelbagai belahan dunia. R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional mencatat negeri Belanda telah menerapkan pemisahan antara narapidana laki-laki dan perempuan pada 1597, disebut penjara spinhuis . “Mereka ditempatkan sendiri-sendiri dalam kamar masing-masing siang-malam dan terdiri dari pencuri, perampok, pengemis, pelacur, dan pemalas kerja,” tulis Koesnoen. Artinya mereka berada dalam satu bangunan, tetapi menempati sel berbeda. Belum secara khusus ada bangunan penjara untuk perempuan. Di Amerika Serikat, pemisahan napi perempuan dan laki-laki terjadi pada 1830-an. Tapi tidak semua negara bagian menerapkannya. Penjara khusus perempuan pertama di AS terletak di New York. Bertipe seperti spinhuis , penjara ini terdiri atas sel-sel tunggal napi perempuan dan lelaki dalam satu bangunan.  “Kompleks lingkungan dengan populasi berlebih dan tanpa kemanusiaan di mana perempuan kerapkali jadi bahan serangan dan hinaan,” tulis Nicole Hahn Rafter dalam “Prisons of Women, 1790-1980”, termuat dalam Crime and Justice , Volume 5, 1983. Pemisahan napi perempuan dan lelaki pada kompleks terpisah berlangsung di negara bagian Indiana pada 1870. Pemisahan kompleks penjara perempuan dan laki-laki untuk mencegah serangan fisik dan penularan penyakit dari napi lelaki kepada napi perempuan. Bersama itu pula muncul gagasan pemisahan napi anak-anak dari orang dewasa.   Jatuh Cinta Antar Napi Di Hindia Belanda, penjara pertama khusus untuk perempuan kasus kriminal terletak di Bulu, Semarang. Napi perempuan di sini menjalani hukuman bersama napi anak-anak. Kebijakan ini berlandaskan pada Gestichten Reglement (Peraturan Penjara) 1917, Surat Edaran Kepala Djawatan Kepenjaraan 10 Maret 1926 No. G 1/88/21, dan Surat Edaran Direktur Justisi 23 April 1935 No. G 1/82/23. Pemerintah kolonial telah menyadari dampak buruk pencampuran napi perempuan dan laki-laki dalam satu kompleks. Antara lain serangan seksual napi lelaki terhadap perempuan dan kemungkinan penularan penyakit di penjara. Pemerintah kolonial juga memandang penting untuk memperlakukan perempuan sesuai dengan keperempuanannya. “Jadi laki-laki dipisahkan dari wanita-wanita, tidak cukup bahwa asal tidak berhubungan saja, tapi juga, jika mungkin, harus dijaga jangan sampai dapat saling melihat atau mendengar,” tulis Koesnoen. Tetapi pemerintah kolonial tidak punya cukup biaya untuk mendirikan penjara khusus untuk perempuan kriminal di banyak wilayah. Praktik di lapangan menunjukkan pemerintah kolonial masih sering mencampur napi perempuan dan lelaki dalam satu kompleks. Mereka hanya terpisah oleh blok dan dinding setinggi tiga meter. Dalam keadaan napi perempuan dan lelaki bercampur begitu, ternyata bukan hanya pencabulan dan penularan penyakit yang terjadi, melainkan juga kadangkala cinta bersemi di kalangan mereka. Dinding setinggi tiga meter tak membatasi keluarnya cinta antara sejumlah napi perempuan dan lelaki. Hubungan khayal ini kebanyakan bermula dari suara. Napi perempuan dan lelaki bisa saling sahut. Jika seorang napi mendengar suara merdu dari seberang, hati langsung meleleh. “Secarik kertas dengan sekadar tulisan pada suatu saat, melayanglah dari blok laki-laki melalui atas tembok ke blok wanita,” tulis Koesnoen. Pertumbuhan cinta antar napi ini dianggap kurang baik. Sebab banyak napi telah memiliki keluarga. “Dapat bikin keluarga dua belah pihak menjadi berantakan dan kocar-kacir,” ungkap Koesnoen. Maka gagasan pemisahan napi perempuan dan lelaki dalam kompleks berbeda terus berlanjut. Setelah Indonesia merdeka, Djawatan Kependjaraan menggelar Konferensi Dinas Kepenjaraan di Nusakambangan pada 1951. Hasilnya antara lain menegaskan kembali pentingnya pembangunan, pemisahan, dan pengelompokan penjara laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Sepanjang dekade 1950-an, Indonesia telah mempunyai tiga penjara khusus napi perempuan. Letaknya di Bulu, Semarang; Malang, Jawa Timur; dan Bukitduri, Jakarta. Menurut Wanita No. 7-8, 15 April 1955, jumlah napi perempuan di tiga penjara tersebut mencapai 547 napi. Jumlah tersebut sebenarnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah napi perempuan yang mencapai ribuan di seluruh Indonesia. “Di kota-kota lain yang belum terdapat penjara-penjara wanita, di dalam penjara setempat selalu disediakan blok khusus untuk hukuman-hukuman atau tahanan-tahanan perempuan,” tulis Wanita . Bloknya terpisah dari blok lelaki dan pegawai penjaranya pun harus perempuan pula.    Kegiatan sehari-hari para napi perempuan tak jauh beda dari napi lelaki. Mereka punya jadwal ketat sedari tidur, apel pagi-siang-sore, kerja bakti, sampai istirahat lagi. Ada pula kursus pemberantasan buta huruf, menjahit, menenun, membatik, membordir, olahraga, dan ceramah agama. Napi perempuan sesekali dapat kunjungan organisasi perempuan. “Kadang-kadang wanita-wanita malang itu dikunjungi serta dihibur pula oleh organisasi wanita setempat, misalnya Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia),” tulis Wanita . Rasio antara kapasitas dan penghuni penjara khusus itu masih memadai. Misalnya penjara Malang dan Bulu masing-masing berkapasitas 400-an orang, sedangkan penghuninya 200-an orang. Kebanjiran Tapol Keadaan berubah drastis pada 1966. Tiga penjara khusus napi perempuan kelimpahan penghuni. Peristiwa G30S tahun 1965 jadi pangkal perkaranya. Tuduhan mengarah ke PKI dan Gerwani sebagai dalang peristiwa G30S. Tentara, polisi, dan massa anti-PKI dan Gerwani main kasar setelah peristiwa itu. Penangkapan besar-besaran menyasar anggota Gerwani dan simpatisan PKI. Tak ada kesempatan membela diri dan pengadilan untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak. Salah tangkap juga banyak terjadi. Mereka yang tertangkap disamakan dengan para pelaku kriminal. Bahkan diperlakukan tak manusiawi: disiksa dan diperkosa. Demikian terungkap dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan karya Amurwani Dwi Lestariningsih. Untuk mengurangi kelebihan penghuni penjara khusus perempuan kasus kriminal, pemerintahan Soeharto mendirikan penjara khusus perempuan tahanan politik (tapol) di Plantungan, Jawa Tengah pada 1971. Pemerintah memindahkan semua tapol dari penjara khusus perempuan kasus kriminal ke Kamp Plantungan. Di sini petugas lelaki terus-menerus menginterogasi, menyiksa, dan melecehkan perempuan tapol. Sebagian besar tapol bebas pada 1979. Tapi ingatan mereka masih mendekam di tempat tersebut. Orde Baru telah rebah pada 1998. Tak ada lagi penjara khusus untuk perempuan tapol. Kamp Plantungan kini menjelma Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas 2B. Pemerintah kini justru giat memperbanyak penjara khusus perempuan pelaku kriminal. Sebab pelaku-pelaku kriminal terus bertambah.*

bottom of page