Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menolak Pandangan Lelaki Lewat Lukisan
USAI merapikan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas, Emiria Sunassa meninggalkan Jakarta. Tak ada yang tahu kapan persisnya dia pergi dan ke mana rimbanya. Sejak awal 1960-an hingga meninggal, kabar Emiria tak terdengar. Kepergiannya menjadi suatu yang misterius. Emiria dikenal sebagai perempuan-pelukis yang produktif. Karier melukisnya dimulai sejak 1930-an. Dari 1940 hingga 1950-an, Emiria rutin menggelar pameran. Dia menjadi satu dari segelintir pelukis yang produktif di masa penjajahan. Sedikit pelukis yang sanggup membuat banyak karya untuk menggelar pameran tunggal. Hanya pelukis sekelas Affandi, Kartono Yudhokusumo, dan Basuki Abdullah yang sanggup mengadakan pameran tunggal di masa itu. Emiria menjadi satu-satunya perempuan-pelukis yang sanggup mengadakan pameran di era itu. Pada 1943, dia mengadakan pameran tunggal pertamanya di Poesat Tenaga Rakyat (Poetra), Jalan Sunda, Jakarta. Tiga tahun berikutnya, dia kembali mengadakan pameran tunggal di Jakarta. Sekira 50 lukisannya, seperti Petik Padi, Tari kebyar, Bahaya di Belakang Kembang Teratai, dan Pasar dipajang dalam pameran ini . Hasil pameran dia donasikan untuk kegiatan kemanusiaan. “Emiria memproduksi banyak lukisan, sampai bisa bikin pameran tunggal. Emiria melukiskan kenyataaannya sendiri sebagai seorang perempuan,” kata Heidi Arbuckle saat mendiskusikan disertasinya tentang Emiria di Beranda Rakyat Garuda. Karya awal Emiria menangkap bentuk, warna, dan suasana budaya yang dia kagumi. Pada karya-karyanya yang lain, Emiria menuangkan keresahannya sebagai perempuan. Dia menolak cara pelukis era itu, terutama para pelukis dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) atau Mooi Indie, menggambarkan perempuan yang tak lebih dari objek pandangan lelaki nan statis dan patuh: menunduk atau melihat ke arah lain. Karya-karya Emiria menggambarkan perempuan secara hidup. Mata perempuan di lukisan-lukisannya memandang langsung mata pemirsa seni, bersemangat, dan tanpa belenggu. Emiria menolak pandangan lelaki ( male gaze ) ketika melukis perempuan. Tapi ada kalanya Emiria melukiskan perempuan yang terhimpit. Misalnya, Gadis Bali di Pintu Batu. “Perempuan terlihat terhimpit oleh sebuah bangunan. Seolah ia terhimpit oleh konstruksi budaya yang menghimpit perempuan. Tapi perempuan dalam lukisan Emiria membalas pandangan mata pemirsanya,” kata Heidi. Lewat lukisan, menurut Heidi, Emiria juga berusaha menolak pengidealan tubuh perempuan. Ia juga menggambarkan tubuh yang renta, yang sudah terbebas dari fungsi reproduksinya. “Ketika Emiria melukiskan tubuh perempuan yang mirip monster, ia melepaskannya dari tubuh perempuam yang dianggap ideal,” kata Heidi. Jiwa pemberontak Emiria atas bangunan budaya terhadap perempuan tak lepas dari lingkungan sosial-politik masa lalunya. Emiria merupakan putri sultan Tidore. “Kesultanan Tidore sangat rebelious terhadap penjajah. Ratu Nukila dulu juga berontak. Jadi ada kecenderungan untuk berontak dan melawan yang tinggi. Itu berpengaruh pada diri Emiria,” kata sosiolog Thamrin Amal Tomagola. Jiwa pemberontak Emiria sudah terlihat sejak kecil. Meski ayahnya berpikiran maju, Emiria hanya boleh sekolah sampai Europese Lagere School (setingkat SD). Hal itu memicu Emiria bertekad untuk pergi ke berbagai negeri guna mempelajari hal baru kelak. Tekad itu terbukti, Emiria berhasil berpetualang keliling Eropa. “Emiria seorang pemberani yang menggugat pusat. Dia berontak terhadap patriarki. Dia juga berontak dari dominasi laki-laki dalam dunia lukis,” kata Thamrin.
- Pramugari Hadapi Pembajakan
“Hei, koran!” teriak seorang lelaki penumpang dari tempat duduknya kepada Retna Wiyana, pramugari pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Palembang. Retna agak kaget. Semula dia dan dua pramugari lain dalam pesawat, Lydia Pangestu dan Deliyanti, asyik membincang tampang lelaki yang masuk pesawat bersama empat kawannya. “Kayaknya penumpangnya norak-norak gitu, kok!” kata Retna dalam Aktuil , 18-31 Oktober 1982. Tampang anti-baca, pikir mereka tadinya. Tapi dugaan mereka meleset. Maka Retna gegas menghampiri lelaki penumpang tadi dan memberinya koran yang disediakan maskapai untuk bahan bacaan para penumpang selama penerbangan. Retna kembali ke tempat duduknya. Pesawat lepas landas menuju Medan. Belum jauh pesawat lepas landas, lelaki penumpang yang meminta koran tadi berdiri dan berteriak. Empat temannya berlaku serupa. Beberapa memegang pistol, lainnya menggenggam granat. Pesawat jurusan Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981. Inilah pembajakan ketiga dalam sejarah dirgantara Indonesia. Kompas , 31 Maret 1981, menyebut dua pembajakan sebelum Woyla ini. Kali pertama terjadi di pesawat milik Merpati Nusantara Airlines pada 4 April 1972. Seorang pembajak membawa granat dan mengancam meledakkan pesawat. Pembajak itu gagal memperoleh tuntutannya. Dia mati tertembak oleh pilot. Pembajakan kedua berlangsung di pesawat milik Garuda pada 5 September 1977. Pembajaknya hanya seorang diri dan berbekal badik. Tapi dia sempat sandera pramugari beberapa lama. Pilot pesawat berhasil menghentikan aksi pembajak itu, sekaligus menyelamatkan nyawa pramugari. Tapi yang terjadi dalam pembajakan 28 Maret 1981 jauh berbeda dari pembajakan sebelumnya. Pembajakan kali ini bergerombol. Lebih rapi dan penuh persiapan. Para pembajak membelokkan tujuan pesawat, dari Medan ke Libya. “Kamu semua harus saya bawa ke Libya. Di sana baru kamu bisa lihat kesengsaraan manusia. Kalau di sini kalian masih mampu bermanja-manja dan hidup enak,” kata Mahrizal, pemimpin para pembajak. Libia saat itu karib dengan peperangan dan penderitaan. Tempat yang jauh dari hidup enak. Retna gemetaran. Telapak kakinya berkeringat dingin. Dia menunjukkan gelagat kalut. Seorang pembajak menuju ke arahnya dan menyepaknya. Dia refleks berucap, “Allahuakbar, Allahuakbar.” Tapi dia malah dapat hardikan dari pembajak. “Kami juga Islam!” Lydia coba membela Retna. “Kok galak-galak amat sih. Kita kan cuma cewek-cewek!” Pembajak tak senang dengan ucapan Lydia. Giliran Lydia kena semprot. “Yah, tapi justru nanti cewek-cewek yang rusak acara!” balas pembajak. Khawatir bikin berang pembajak, Lydia memilih diam. Di sudut lain, Deliyanti kelihatan takut, gugup, dan juga diam. Retna, Lydia, dan Deliyanti mengaku tak pernah beroleh materi untuk menghadapi pembajakan pesawat selama masa pendidikan pramugari. Mereka cuma bisa memikirkan hal buruk tentang diri, awak, dan penumpang pesawat ketika pembajakan baru masuk babak awal. Apalagi sebagian besar pembajak bersikap kasar dan mengancam meledakkan pesawat. “Masih adakah harapan untuk hidup?” batin Retna. Tapi Retna, Lydia, dan Deliyanti enggan berada dalam kungkungan pikiran buruk dan rasa takut terus. Mereka berupaya lepas dari keadaan itu dengan beberapa cara. Retna sembahyang dalam hati. Seluruh perasaannya tercurah ke Tuhan. Deliyanti ambil sikap pasrah. Dia percayakan semua kepada Tuhan. Lydia pun tak jauh beda. Untuk mencapai Libya, pembajak menyusun rute: Penang (Malaysia)-Bangkok (Thailand)-Colombo (Srilanka)-Libya. Mereka mengisi bahan bakar pesawat, meminta peta perjalanan, dan memperoleh bekal logistik di Penang. Mereka juga menuntut beberapa hal ke pemerintah Indonesia. “Untuk membebaskan 80 orang tahanan yang terdiri atas tahanan yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki (Bandung) oleh gerombolan bersenjata pada tanggal 11 Maret 1981, tahanan yang terlibat dalam teror Warman di Raja Polah 22 Agustus 1980 dan tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad 1977/1978,” tulis Pelita , 1 April 1981. Selain itu, mereka minta pemerintah Indonesia sediakan uang sebanyak 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Pembajak menyuruh Herman Rante, pilot, dan Hedhy Juantoro, kopilot, terbang lagi setelah beberapa tuntutan mereka kabul. Antara lain bahan bakar dan bekal logistik untuk ke Bangkok. Retna, Lydia, dan Deliyanti mulai mampu memupus ketakutan dan menghapus pikiran buruk selepas di Penang, Malaysia. Deli yang berdarah Medan bahkan sudah berani menyindir Mahrizal yang logatnya Medan kental. “Payah pula Abang kita ini. Yang dibajak sama-sama sekampung pula,” kata Deli dalam Aktuil, 18-31 Oktober 1982. Mahrizal cuma senyum mendengarnya. Ketegangan agak cair. Para pramugari dan pembajak mulai saling kenal. Pramugari mengenali nama-nama pembajak selain Mahrizal: Wendy, Abu Sofyan, Zulfikar, dan Abdullah. Pramugari memperhatikan rupa-rupa pembajak lebih saksama. Kelimanya mempunyai kesamaan pada kening, sama-sama punya lingkaran hitam. Mahrizal agaknya sempat jatuh hati kepada Deliyanti. Lydia bersaksi Mahrizal melirik dan mengajak ngobrol Deliyanti cukup lama, sedangkan Zulfikar kelihatan terpikat dengan seorang perempuan penumpang yang berpakaian cukup terbuka. Padahal sebelumnya dia memarahi Lydia lantaran berpakaian lengan pendek. “Pakaian porno. Babu Garuda!” Kemudian pesawat mendarat di bandara Bangkok. Pembajak bernegosiasi dengan wakil pemerintah Indonesia yang berada di menara bandara. Pemerintah Indonesia menyatakan tak bisa memenuhi semua tuntutan pembajak. Kesannya malah balik mengancam pembajak. Karuan ketegangan memadat lagi. “Rupanya pemerintah kalian sudah merelakan pesawat ini untuk diledakkan,” kata seorang pembajak. Herman Rante, pilot, pun geram. “Kita ini dianggap apa sih sama mereka (pemerintah Indonesia, red. )?” Deli memperingatkan orang-orang di menara. “Jangan macam-macam deh! Turutin apa mau mereka!” Pesawat berhenti lama di bandara Bangkok. Negosiasi masih alot. Tak ada kata sepakat. Ancaman peledakan mengemuka lagi. Pendingin udara pesawat mati. Penumpang kepanasan. Seorang di antaranya minta diri untuk salat. Tapi pembajak justru membentaknya. “Kalau kamu sudah mau dimatiin, baru ingat sembahyang, ya?” Lydia berikhtiar mencairkan ketegangan. “Bang Rizal (Mahrizal, red. )! Pesanin aja deh ice cream . Enak nih minum ice dalam keadaan gerah begini. Ayo, pesanin deh. Mumpung gratis!” Malam tiba di Bangkok. Negosiasi hampir mencapai kata sepakat. Esok pagi sejumlah tuntutan pembajak dipenuhi pemerintah Indonesia. Para pembajak kegirangan. Pengawasan mereka mulai kendor. Mereka taruh pistol sembarangan saja. Lydia sempat kepikiran mengambil pistol. Tapi pelurunya hanya enam, sedangkan posisi pembajak terpencar. Dia urungkan niat itu. Gagal dengan pistol, Lydia masih ada niat lain untuk membekuk para pembajak. Caranya dengan membius pakai obat tidur. Dia rundingkan niat itu bersama Deli. Jawaban Deli, “Kalau untuk keselamatan kita, nggak usah pakai melawan. Toh, ada kesempatan untuk kabur. Tapi yang kita pikirkan untuk keselamatan bersama.” Lydia urungkan lagi niatnya melawan pembajak. Mereka memilih menunggu hingga akhirnya tidur pulas bersama penumpang lain. Tengah malam di bandara Bangkok. Suara tembakan membangunkan pramugari dan penumpang. Pasukan Komando Sandi Yudha (Kopassandha) menyerang pembajak. Lima pembajak roboh. Nyawanya melayang semua. Herman Rante juga tertembak, tapi nyawanya tetap tinggal. Dalam tiga menit, pasukan Kopassandha berhasil merobohkan para pembajak. Para pramugari dan penumpang selamat. Mereka segera bertemu keluarga. Kecuali Herman Rante. Sebab beberapa hari kemudian dia meninggal dunia. Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin menyatakan keberhasilan penyelamatan pesawat Woyla berkat andil dari awak pesawat juga. “Presiden sangat terharu terhadap keberanian awak Garuda yang sangat membantu keberhasilan pasukan antiteroris Indonesia membebaskan lebih dari 48 sandera di dalamnya,” kata Roesmin dalam Pelita , 6 April 1981. Seorang penumpang berkata dalam Sinar Harapan, 5 April 1981, bahwa "Pramugari-pramugari pesawat tersebut cukup berperan melemahkan emosi para pembajak sehingga tidak buas terhadap penumpang." Meski selamat dari maut, para pramugari mengaku trauma. “Saya sebetulnya sudah nggak mau mengungkit-ungkit itu lagi. Mental saya bisa terganggu,” kata Retna. Tapi keduanya tetap menyambung kerja sebagai pramugari, sedangkan Lydia berhenti dari pekerjaannya setelah mengambil libur beberapa lama untuk pulihkan mentalnya. Biar telah berbeda jalan, ketiganya meninggalkan jejak yang sama. Keberanian dan ketenangan menghadapi situasi sulit.
- Mak Wok, Pemeran Film Sepanjang Zaman
Saat ini sangat langka pemain pendukung di dalam sebuah film bisa dikenal publik. Dahulu ada Wolly Sutinah yang terkenal dengan nama Mak Wok. Mak Wok bermain di banyak film, dengan peran sebagai pemain pendukung, tapi dikenal luas para penggemar film dan dunia hiburan tanah air. Bahkan orang-orang masih mengenangnya hingga kini. Mak Wok lahir dengan nama Sutinah di Magelang pada 17 Juli 1915. Kedua orangtuanya seniman opera (sandiwara), yang masuk-keluar perkumpulan-perkumpulan opera dan kerap manggung dari satu kota ke kota lainnya. Sutinah kecil kemudian dibawa orangtuanya yang manggung di Jakarta. Saat itu, di Jakarta semarak hiburan panggung. Sutinah rajin menonton pertunjukan. Terpikat dunia sandiwara, dia tak melanjutkan sekolah. Saat usia 10 tahun, Sutinah sudah naik pentas. Karena orangtuanya tak memberi restu, dia mencuri-curi ikut main sandiwara, sebagai pemain ekstra, menyanyi, menari, dan mendapatkan peran kecil. Buku Apa dan Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 menyebut Sutinah pernah ikut dalam kelompok sandiwara Tionghoa bernama Sim Ban Lian yang kerap membawakan cerita-cerita klasik Tiongkok. Dari sinilah dia mahir silat dan memainkan toya, yang mengantarkannya berperan di film Pat Kiam Hiap (1933) dan Ouw Pe Coa (1934) besutan The Teng Chun. Setelah itu Sutinah kembali ke dunia panggung, menggembara dengan berbagai rombongan sandiwara keliling. Dari panggung sandiwara ini pula dia bertemu Husin Nagib yang kemudian menjadi suaminya. Dari perkawinan inilah lahir Aminah Tjendrakasih, yang mengikuti jejaknya di dunia seni peran. Dunia film tak benar-benar ditinggalkan. Dia sempat bermain di film Aladin dengan Lampoe Wasiat , Poesaka Terpendam , Koeda Sembrani , dan Panggilan Darah –seluruhnya dirilis tahun 1941. Ketika pendudukan Jepang, bersama Tan Tjeng Bok, dia ikut sandiwara Bintang Djakarta. Dia juga sempat bermain di dua film, yakni Ke Seberang (1944) dan Jatoeh Berkait –keduanya tahun 1944. Sempat kembali ke pentas selama masa revolusi, Sutinah kembali ke dunia film sejak 1950 dengan membawakan peran-peran kecil dan memuncak pada 1970-an. Kenapa Mak Wok? Sejak kecil, Sutinah biasa dipanggil “Wuk” ―yang merupakan panggilan kesayangan bagi anak perempuan di Jawa. Nama itu masih melekat ketika dia remaja, sehingga dipanggil “Wuk Tinah”. Suatu saat Sutinah ikut rombongan sandiwara keliling untuk pentas di Filipina. Selama di sana interaksi dengan seniman setempat terjalin. Rupanya seorang sutradara sandiwara bernama Gary mengalami kesulitan mengucapkan panggilan “Wuk Tinah”. Menurut majalah Femina edisi 8 November 1977, sang sutradara kemudian memberikannya nama “Miss Wolly”. Nama tersebut rupanya membawa hoki sehingga dilekatkan di depan namanya. Bahkan setelah puas keluar-masuk berbagai kelompok sandiwara, bersama suaminya, dia mendirikan perkumpulan sandiwara sendiri: Miss Wolly Opera –majalah Aneka , 1 Agustus 1954 menyebut Wolly Opera adalah milik orangtuanya. Di sini dia mematangkan segala bakatnya, dari menyanyi, menari, hingga melawak. Lalu, kenapa lebih dikenal dengan nama Mak Wok ketimbang Wolly Sutinah? Ceritanya sederhana. Husin Nagib dan Roekiah, seorang aktris tenar, bersaudara angkat. Anak Roekiah, Rahmat Kartolo, kerap memanggil Wolly dengan sebutan “Mak”. Aminah Tjendrakasih juga memanggil Roekiah dengan sebutan yang sama. Bila Rahmat dan Aminah memanggil bersamaan, kompak Wolly dan Roekiah menyahut. “Rupanya untuk menghilangkan kekeliruan itu, lalu panggilan Mak untuk Wolly ditambah Wuk, yang lama-lama berubah jadi Mak Wok,” tulis Femina . Emak Bawel Bisa dikatakan, tahun 1970 hingga 1980-an merupakan masa keemasan Mak Wok. Dia bermain di sejumlah film komedi yang dibintangi pelawak-pelawak ternama, seperti Ateng-Iskak, Bing Slamet, S. Bagio, Ratmi-B29, Benyamin S, dan Warkop DKI. Mak Wok memang memegang peran-peran kecil. Namun, karakternya yang kuat, biasanya sebagai emak-emak rewel dengan logat Betawi kental, membuatnya dikenang orang. Karakternya di film-film Benyamin S mungkin yang paling diingat penggemar film. Di film-film itu dia nyaris menjadi pasangan abadi Hamid Arief. Selain komedi, Mak Wok ikut bermain di film-film bergenre drama, horor, dan religi. Tapi tetap saja komedi lebih lekat dengan perannya. Bisa dikatakan, Mak Wok merupakan ikon emak-emak bawel tahun 1970-an. Karakternya bikin sebel, gregetan, sekaligus mengundang tawa. “Film saya memang banyak, biarpun peranan saya kecil, hanya ikut ngeramein saja,” kata Mak Wok kepada Femina . Di layar kaca, Mak Wok muncul di sejumlah program acara TVRI . Salah satunya serial Rumah Masa Depan garapan Ali Shahab. Mak Wok tak pernah benar-benar meninggalkan panggung sandiwara. Sejak 1950-an dia masih kerap meramaikan pementasan teater. Bahkan dia ikut mendirikan Teater September pada September 1979. Serangan jantung membuat Mak Wok wafat pada 9 September 1987 di usia 72 tahun. Padahal 12 jam sebelum wafat, Mak Wok masih sempat muncul bersama rekan-rekannya dari Teater September dalam drama komedia berjudul Kumpul Kebo di panggung Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Wolly Sutinah alias Mak Wok dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Mak Wok merentang zaman di dunia hiburan, terutama film, bukan lewat peran-peran utama. Namun, karakternya yang kuat mampu membuat orang tak pupus memori tentang sosoknya. Hebatnya, dia tak pernah mendapatkan pendidikan teater dan sinematografi. Semua dilakukan otodidak.
- Bobotoh, Suporter Militan yang Patut Dicontoh
SORE itu, hawa di sekitar Stadion Persib di Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 252 masih sejuk meski Bandung sudah tak lagi musim hujan. Tiga pria paruh baya asyik bercakap-cakap di depan pintu utama stadion yang pada 1930-an merupakan milik klub Sidolig (Sport in de Openlucht is Gezond) itu. Iwan, Soni, dan Budi, ketiga pria paruh baya itu, merupakan anggota Bobotoh, suporter loyal Persib Bandung, sejak 1980-an. “Ya katakanlah kita sudah kepala lima (usia 50-an). Kita mah dari zaman masih SMP-lah sudah sering nonton Persib. Ya kita simpatisan, pendukung di mana pun Persib main. Ya dari 1980-an udah sering dukung dan sering jadi bolos sekolah, hahaha ...,” kata Iwan berkelakar pada Historia. Soni tak jauh beda. Dia mengaku jadi Bobotoh juga sejak muda. Fanatismenya terhadap Persib kian menjadi setelah jadi menantu mantan kiper Persib Yusuf Hasan. “Ya kadang saya mengoordinasikan bawa pendukung dari tingkat RT, RW, kecamatan. Ya saya membawa nama bapak (mertua) untuk galang dukungan, ajak mereka nonton,” kata Soni menimpali. Di depan Stadion Persib itu, menurut Budi, dulu sering jadi titik kumpul para Bobotoh jika hendak mendukung Persib bertanding ke luar kota. “Dulu Bobotoh itu massa-nya start dari sini. Ya bisa dibilang sekretariatnya di sini. Pembagian tiket juga di sini,” sahut Budi. Kiri-kanan: Budi, Iwan dan Soni, tiga Bobotoh senior yang ditemui di Stadion Persib Sidolig (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soal militansi, Bobotoh tak kalah dari Bonek (fans Persebaya). “Kalau main di luar kota, kita naik kereta itu di atas (gerbong). Tidak sedikit yang saya dengar kena kecelakaan. Ada yang kena kabel listriknya, ada yang sampai jatuh dari atas gerbong,” kata Iwan. “Dapat atau enggak dapat tiket, dulu saya harus tetap nonton. Pas masih SMP, saya panjat pohon di stadion (Siliwangi) karena enggak punya tiket. Sampai digebukin, disentrum tentara, disuruh turun,” Soni menimpali. Persib sudah jadi harga mati untuk Bobotoh. “ Persib nu Aing! ” sebutannya sekarang. Militan tanpa Tawuran Betapapun militannya Bobotoh, tak satupun dari ketiga anggota Bobotoh tadi yang punya pengalaman tawuran dengan suporter tim lain. Karena, menurut anggota Bobotoh yang juga peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto, “Bobotoh lahir dari kecintaan masyarakat Jawa Barat (tidak hanya Kota Bandung) terhadap Persib sejak 1930-an.” Bobotoh lahir dari istilah bahasa Sunda yang artinya mendukung sesuatu yang baik atau positif. “Jadi kata-kata Bobotoh sebenarnya relevan juga diterapkan (menyebut pendukung) di olahraga lain, seperti basket, bulutangkis. Bahkan, juga di musik atau kompetisi cerdas cermat, misalnya. Ya orang Sunda bilangnya mau ngabobotoh tim ini, tim itu,” lanjut pegawai Kementerian Hukum dan HAM RI itu kepada Historia . Istilah Bobotoh untuk mengartikan suporter setia Persib sudah eksis ketika Persib juara Perserikatan 1937. Di final yang dimainkan di Stadion Sriwedari Solo, 16 Mei, Persib menang 1-0 atas tuan rumah Persis Solo. “Ketika Persib pulang, mereka disambut banyak pendukung dalam acara penyambutan di Stadion Persib. Mungkin enggak seheboh kemarin (juara ISL 2014 dan Piala Presiden 2015). Tapi ya jumlahnya sudah cukup banyak juga ketika itu. Walau hujan turun pun, mereka tetap di sana. Acaranya simple , hanya syukuran dan makan-makan di antara mereka,” imbuh Eko. Yang mesti ditekankan, kata Eko, Bobotoh bukanlah sebuah organisasi pendukung. Oleh karena itu, anggota Bobotoh tak pernah diketahui jumlah pastinya. Pun sekretariat resmi atau kostum, Bobotoh tak pernah punya. Ia tumbuh beriringan dengan alunan cinta masyarakat Bandung kepada Persib. Bobotoh & pengamat hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Kecintaan itu membuat mereka pernah menyesaki Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) pada final Perserikatan, 23 Februari 1985. “Dulu pas terjadi rekor penonton di Senayan (kini Stadion Gelora Bung Karno), pelakunya kan juga Bobotoh. Sampai 150 ribu orang dan membludak sampai ke pinggir lapangan,” tambahnya. Meski begitu, Bobotoh tak sok jagoan. Jumlah besar ditambah kekalahan Persib 2-3 dari PSMS tak sedikit pun memancing emosi mereka untuk ricuh. “ Alhamdulillah enggak ada ribut-ribut dengan (suporter) PSMS. Paling saya kegencet-gencet aja di tribun itu saking sesaknya. Sepulangnya aman, walau saya sempat nyasar waktu keluar stadion untuk cari bus yang bawa kita dari Bandung ke Jakarta,” tutup Soni yang turut datang mendukung Persib di Senayan kala itu.
- Awal Profesi Pramugari di Indonesia
BERWAJAH elok, bercakap aneka bahasa, berbusana semarak, dan berkesempatan terbang ke sana-sini gratisan. Itulah mereka, pramugari pesawat terbang komersial. Mereka membersamai perjalanan para penumpang pesawat di tiap kelas. Semua orang mafhum tugas mereka: memandu para penumpang selama penerbangan. Bagaimanakah profesi ini bermula di Indonesia? Kehadiran pramugari pesawat terbang komersial di Indonesia bertalian dengan pembukaan rute penerbangan sipil oleh maskapai nasional pertama Indonesia, Garuda Indonesian Airways (GIA). “Penerbangan pertama dilakukan ketika membawa Presiden Sukarno dari Djokja ke Djakarta pada tanggal 28 Desember 1949,” tulis Ipphos Report , 15 Oktober 1950. Sejak penerbangan pertama itu, GIA mulai menerapkan kebijakan serupa maskapai negara lain. Salah satunya dengan membuka lowongan kerja untuk posisi stewardess atau nyonya rumah di udara, begitu sebutan pramugari pada awal kehadirannya di Indonesia. “Untuk kepentingan para penumpang, tiap-tiap pesawat mempunyai stewardess yang melayani mereka di perjalanan,” tulis Ipphos Report . Profesi pramugari di negara lain telah bercambah di Amerika Serikat pada 1930. “Ellen Church adalah seorang jururawat Amerika yang pada 1930 datang pada direksi Boeing Air Transport (BAT, sekarang United Airlines, red. ) dengan usul supaya diadakan pelayan-pelayan wanita dalam kapal terbang,” ungkap Nasional , 17 November 1951. Usul Ellen jadi bahan tertawaan. Banyak orang tak merasa butuh pelayan selama penerbangan. Tapi lama-lama mereka ternyata butuh juga. Sebab penerbangan tak selamanya menyenangkan. Hanya melihat awan putih dan langit biru. Belum lagi selalu ada penumpang pemula dalam penerbangan. Mereka takut dan bingung harus berbuat apa selama penerbangan. Maka, usul Ellen pun meraih tempat. “Hari bersejarah bagi kaum stewardess itu adalah 15 Mei 1930,” tulis Nasional . Ellen bersama tujuh perempuan lainnya terbang dari San Franscisco ke Chicago. Mereka mengantar makanan dan minuman, menjawab pertanyaan polos anak-anak kecil, dan membantu penumpang pemula mengikat sabuk pengaman. Maskapai lain meniru cara BAT menghadirkan pramugari di pesawat terbang. Tak terkecuali GIA. Mereka membentuk panitia pemilih calon pramugari dan menyebar informasi lowongan kerja untuk posisi pramugari. Panitia kebanjiran surat lamaran. “Bukan main banyaknya surat lamaran yang mengalir di atas mejaku selama minggu-minggu belakangan ini. Rupanya pemuda dan pemudi mempunyai minat besar juga terhadap jenis pekerjaan baru ini,” kata seorang panitia dalam Minggu Pagi , 10 Desember 1950. Sementara Nasional menyebut surat lamaran datang dari beragam pulau seperti Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Sumatera. Dari keterangan panitia, kita mengetahui bahwa lelaki juga boleh melamar. Kelak mereka disebut pramugara. Tapi jumlah lelaki pelamar tak sebanyak perempuan. Mengingat profesi ini juga bermula dari prakarsa perempuan. Toh sebutannya pun nyonya rumah di udara, bukan tuan rumah di udara. Para perempuan pelamar mesti melalui beberapa proses untuk menjadi pramugari. Tahap pertama seleksi administratif. Panitia mematok pendidikan minimal untuk para pelamar. Setidaknya tingkat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau SMP. Selain itu, para pelamar harus berpengetahuan umum luas. Jika lolos tahapan ini, para pelamar akan memperoleh pelatihan. Biasanya selama enam pekan. Materi pelatihan berkisar pada ilmu penerbangan umum, pengetahuan haluan terbang, meteorologi, cara menyajikan makanan dan minuman, etiket terhadap orang lain, urusan pabean serta tiket, dan kemampuan bahasa asing seperti Inggris atau Belanda. “Kursus selama 6 minggu itu, sudah tentu tidak meluluskan orang steward yang lantas baik begitu saja. Hal ini terutama dalam praktik. Maka sehabis kursus, kepada angkatan baru segera diadakan kesempatan untuk ikut terbang,” tulis Minggu Pagi. Dari praktik itulah pramugari akan tahu mana penumpang pemula, mana yang sudah pernah terbang; mana yang sedih, mana yang bahagia menikmati perjalanannya; mana yang khawatir, mana yang biasa saja. Mereka akan kasih sikap berbeda sesuai dengan kebutuhan penumpangnya. Pramugari senior menjadi mentor pramugari pemula selama penerbangan. Satu nama disebut oleh Nasional sebagai pramugari pelopor berkebangsaan Indonesia. Namanya Radiana Wargaprawira atau Anna Warga. “Anna ini boleh dikatakan stewardess bangsa Indonesia yang tertua dinasnya. Ia sudah dalam dinas hampir 2 ½ tahun… Dialah yang pada 28 Desember tahun 1949 mendapat kehormatan untuk ikut serta dalam kapal terbang yang menjemput Presiden Sukarno dari Jogjakarta ke Djakarta,” ungkap Nasional , 17 November 1951. Pramugari umumnya bekerja selama 80 jam di udara dalam satu bulan. Mereka punya waktu mengaso setelah 2-3 hari bekerja. Pramugari pemula terbang melintas pada rute-rute pendek seperti Jakarta-Bandung dan Jakarta-Palembang. Akumulasi jam terbang mereka menentukan seberapa jauh tugas mereka. Bila telah mencapai 500 jam penerbangan, mereka akan terbang melintas rute panjang seperti Jakarta-Singapura dan Jakarta-Manila. Sejumlah pramugari menyatakan rasa lelahnya ketika menjalani tugas-tugas perdana. Tapi mereka lama-lama kesenangan juga dengan pekerjaanya. “Siapa pula yang tak mau terbang ke sana, terbang ke mari, lihat kota sana, lihat kota sini, memperdalam pepatah ‘lain ladang, lain belalang’,” kata seorang pramugari kepada Nasional . Pramugari lain berkata kepada Minggu Pagi , “Sekali terbang, tetap terbang.” Pramugari tidak jemu-jemu memberi tenaga sepenuh-penuhnya dalam melayani penumpang yang beraneka karakter itu.
- Cuma Manis di Atas Kertas
SAKIT perut sampai ke punggung, pusing, lemas, keringat dingin, mual, dan muntah menjadi pengalaman rutin bagi sebagian perempuan ketika hari pertama atau kedua haid. Kalau sudah begitu, jangankan bekerja, mengambil makanan di dapur pun mereka tak sanggup. Tak semua perempuan haid mengalami itu, memang. Masing-masing perempuan punya “corak” haid sendiri. Namun, yang cilaka adalah perempuan yang terpaksa bekerja meski sakit karena haid. Mereka melakukan itu karena tak mengetahui hak cuti haid, takut kena PHK, atau perusahaan tidak memberi hak cuti haid. Padahal, hak untuk istirahat selama sehari-dua ketika haid diatur dalam pasal 81 Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Sementara, “Pasal 93 nomor 2 huruf B berbunyi bila pekerja mengambil cuti haid karena merasakan sakit akan tetap mendapatkan upah,” kata Kepala Bagian Biro Humas Kementerian Tenaga Kerja Sahat Sinurat kepada Historia . Bagi pihak pemberi kerja yang tidak memberikan hak cuti haid bila buruh merasakan sakit pada hari pertama, akan dikenakan sanksi. “Perusahaan yang tidak memberikan cuti haid bagi pekerja yang merasa sakit akan dikenai sanksi sesuai Pasal 185, sanksi pidana,” kata Sahat. Dalam kenyataannya, hak cuti haid buruh perempuan hanya manis di atas kertas. Diah Pratiwi dalam skripsinya tentang pelaksanaan cuti haid di PT. Lintas Marga Sedaya Majalengka menulis, pada 2017 pekerja perempuan di perusahaan tersebut tidak diberikan izin untuk cuti haid. Pengalaman serupa juga dialami beberapa buruh perusahaan garmen yang diwawancara Sasmito pada akhir 2017 untuk buku Perempuan di Dunia Kerja. Alih-alih mendapat cuti haid, mereka justru kena marah atasan begitu mengajukan cuti haid. Buruh lain bahkan dipindahkerjakan ke bagian yang lebih berat karena hal itu. Bukan hanya perusahaan garmen, hotel-hotel mewah dan restoran elit juga banyak yang tak memberlakukan cuti haid untuk pekerja mereka. Menurut Linda, sekretaris Serikat Pekerja PT Amos Indah Indonesia (perusahaan garmen), dia dan kawan-kawan serikat mengaku lebih mudah memberi penyadaran hak cuti haid kepada perempuan pekerja daripada berharap pada pemerintah. Padahal, pemberian hak cuti haid sudah diatur sejak lama melalui UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja. UU ini diperbarui pemerintah lewat UU Nomor 1 tahun 1951 yang mengatur tentang cuti haid selama dua hari bagi perempuan pekerja. Tetap saja, beberapa perusahaan tak memberikan cuti haid kepada perempuan pekerja yang merasakan sakit. Hal itu membuat banyak organisasi perempuan dan serikat buruh pada 1950-an menyerukan agar perusahaan-perusahaan swasta menyediakan tempat kerja ramah bagi perempuan. Pada 1953, Gerwani menuntut pemberlakuan cuti haid bagi semua penyedia kerja. Perempuan yang mengalami nyeri haid membutuhkan cuti tersebut untuk istirahat. Menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan PerempuanIndonesia, tahun 1950-an Ketua Biro Wanita SOBSI Sri Ambar dan rekan-rekan buruhnya kerap berdemonstrasi untuk memperjuangkan hak buruh yang sudah diatur dalam undang-undang. “Aksi-aksi itu kami tujukan pada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah…. Kami menuntut hak-hak kaum wanita yang sudah ditetapkan Undang-Undang, termasuk dua hari cuti haid,” kata Sri Ambar yang diwawancara Saskia tahun 1983. Sri Ambar juga menceritakan, kampanye memperjuangkan cuti haid mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk organisasi perempuan. Yetty Noor dari Kowani, misalnya, menolak pelaksanaan cuti haid lantaran baginya merugikan pemerintah. Pemerintah sendiri lebih condong melindungi kepentingan perusahaan swasta. Lewat Kementerian Perburuhan, pemerintah mengkritik UU Nomor 1 tahun 1951. Menurut instansi plat merah itu, peraturan ini justru merugikan perempuan. “Peraturan ini membuat minat perusahaan untuk mempekerjakan perempuan semakin berkurang,” seperti dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia. Perjuangan menuntut cuti haid makin berat ketika Orde Baru. Tuntutan pemberlakuan cuti haid jarang terdengar lantaran pingsan oleh represi penguasa. Cuti haid –di samping tuntutan kenaikan gaji dan pemenuhan hak-hak buruh lainnya– paling terdengar saat Marsinah, buruh PT Catur Surya Perkasa (PT CPS), melakukan demonstrasi pada 5 Mei 1993. Itu pun tak mendapat tanggapan dan Marsinah malah tewas.
- Mengukur Sejarah Tukang Cukur
SEBUAH foto hitam putih dari dekade 1910-an. Seorang lelaki tua berdiri di bawah pohon rindang tepi jalan. Peci di kepala dan gunting di tangan kanan. Tangan kirinya memegang kepala lelaki muda berkumis yang duduk di kursi kayu sambil menyilangkan kaki. Kedua lelaki itu tak memakai alas kaki. Perkakas cukur tampak di meja dan tergantung pada pohon. Begitulah gambaran tukang cukur dan pelanggannya di Batavia dalam buku Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 karya Scott Merrilless. Tapi Scott tak banyak menjelaskan kegiatan dan jasa cukur rambut. Sesuatu yang agaknya baru lazim bagi orang-orang tempatan di Hindia Belanda setelah mereka mempraktikkan agama Islam dan berkontak dengan orang-orang dari negeri Barat. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, mencatat rambut sebagai sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mereka percaya rambut menyimpan kekuatan. “Oleh sebab itu pola yang berlaku hingga Kurun Niaga tampaknya ialah didorongnya pria dan wanita untuk menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin,” ungkap Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 . Jika orang Asia Tenggara mencukur rambut, itu berarti dia sedang bersedih atas suatu peristiwa. Di Aceh dan negeri-negeri Melayu, para kawula laki dan perempuan mencukur rambut ketika sultan mereka mangkat. Mencukur rambut bisa pula wujud praktik keberagamaan orang Asia Tenggara. “Pemotongan rambut pria jelas merupakan pertanda yang penting dari kepatuhan pada Islam,” lanjut Reid. Misalnya dalam praktik haji. Ada masanya orang muslim yang naik haji harus mencukur rambutnya, atau ber- tahallul . Sementara itu di Jawa, Pangeran Diponegoro menganjurkan para pengikutnya untuk mencukur rambut menjadi lebih pendek agar bisa membedakan diri dari orang-orang Jawa yang “murtad” ke Belanda. Orang-orang dari negeri Barat turut mengubah konsep lawas orang Asia Tenggara terhadap rambut. Revolusi industri abad ke-18 telah memunculkan kelas pekerja di Eropa. Para buruh pabrik tak boleh berambut panjang sebab identik dengan gelandangan dan kaum kriminal. Para orang kaya Eropa mencitrakan diri sebagai sosok terhomat melalui potongan rambut pendek. Lelaki terhormat tidak lagi berambut panjang seperti perempuan. Pemakaian wig panjang pada lelaki dewasa juga mulai ketinggalan zaman. Karuan mencukur rambut jadi kebutuhan. Karena tidak tiap orang bisa mencukur rambut, maka menjelmalah ia jadi profesi dan bisnis. Bersamaan itu, barber shop atau salon rambut perlahan pisah dari segala macam praktik medis. Sebelumnya, para pencukur rambut merangkap pula sebagai pembedah pasien operasi medis. Di barber shop inilah orang Eropa datang secara khusus untuk mencukur rambutnya, membuat diri mereka kelihatan rapi. Cara orang Eropa memandang dan merawat rambut terbawa ke negeri-negeri jajahan mereka. Di Hindia Belanda, sebagian mereka membuka usaha cukur rambut untuk melayani pejabat Belanda dan orang Eropa. Para pencukur rambut ialah orang-orang terampil. Mereka melewati serangkaian pelatihan mendandani rambut dan selingkarnya (jambang, kumis, dan jenggot). Mereka biasa bekerja di salon rambut yang terdapat di hotel-hotel. “ Barber shop di Grand Hotel Java. Tiga pekerjanya berpakaian ala tukang cukur Eropa sedang melayani pelanggan berkebangsaan Eropa. Seorang penduduk tempatan, berada di sudut kiri, bekerja membantu mereka,” demikian Scott Merrillees menjelaskan sebuah foto bersuasana barber shop di Grand Hotel Java, Batavia, pada 1910-an. Barber shop di hotel memasang harga layanan mahal. Tak banyak orang bisa membayarnya. Orang-orang berkantong tipis akan pergi ke deretan pohon rindang dekat pasar atau jalan utama kota. Di sini mereka menggunakan jasa tukang cukur bertarif murah-meriah. Tak ada atap, bangunan permanen, atau lantai marmer seperti barber shop di hotel. Terbuka dan apa adanya saja. Kebanyakan tukang cukur itu penduduk tempatan. Umar Kayam, budayawan sekaligus guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menyebut tukang cukur model begitu sebagai cukur pitingan atau barber rakyat. “Di mana sang tukang cukur itu, dan yang dicukur sama-sama mlarat nya nyaris tidak bermodal apa-apa kecuali pisau dapur yang agak tajam dan gunting ‘all purpose’,” tulis Umar dalam “Salon/Coiffeur/Tukang Cukur”, termuat di Satrio Piningit ing Kampung Pingit . Tapi dari tukang cukur model begitu justru muncul cerita lucu. H.C.C Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL, mengungkapkan pengalaman berkunjung ke Pasar Senen, Batavia, pada awal abad ke-20. “Seorang tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas para jongos perwira dan pembantu rumah tangga. Tukang cukur itu bukan saja cepet dan pandai mencukur, dengan bermacam peralatan ia mengerjakan telinga, bagian mata, lubang hidung orang yang datang bercukur,” tulis H.C.C. Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20 . Ujug-ujug kuda seorang perwira lepas. Ia berlari ke arah tukang cukur dan pelanggannya. Sekonyong-konyong tukang cukur dan pelanggannya bubar. Tukang cukur menjerit-jerit sembari lari lintang-pukang. Pelanggannya juga berlaku demikian. Rambutnya grepes belum tuntas dicukur. Cerita lucu lain berasal dari Umar Kayam. Dia kenang masa kecilnya di Sala pada 1930-an, tentang ketakutannya terhadap tukang cukur keliling yang kebanyakan berasal Madura. Dia enggan serahkan urusan cukur rambut ke mereka. Ada mitos perisoal pisau cukur mereka. Pisau itu digunakan untuk mengiris kuping orang yang menyakiti hati mereka. “Tidak terasa sakit, tapi tahu-tahu akan ‘ kiwir-kiwir’ telinga itu nyaris coplok dari kepalanya,” terang Umar. Sekarang cerita lucu tentang tukang cukur pitingan atau barber rakyat mulai jarang terdengar. Kehadiran mereka pun perlahan menghilang. Terdesak oleh barber shop modern.*
- Yang Melaporkan dari Medan Perang
Jurnalis legendaris Indonesia almarhum Rosihan Anwar pernah berkisah kepada saya. Di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), bukan hanya kaum pemanggul senjata yang ikut berperang, tetapi juga para kuli tinta dari kedua kedua negara yang tengah berkonflik ikut turun ke gelanggang. “Salah satu jurnalis Belanda yang pernah berpolemik dengan saya adalah Alfred van Sprang,” ungkap Rosihan. Van Sprang merupakan jurnalis perang terkemuka yang pernah bertugas di Indonesia (1946-1949). Dia tercatat sebagai jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers . Sebagai warga negara Belanda, Sprang memiliki akses istimewa dalam setiap gerakan militer Belanda di Indonesia. Rekaman reportasenya selama melekat pada Divisi 7 Desemberdi Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil). Pada saat Aksi Polisional I (pihak Indonesia menyebutnya Agresi Pertama), Sprang mengikuti pergerakan pasukan Belanda dari Klender menuju Karawang. Dia melaporkan jalannya pertempuran antara pejuang Indonesia dengan tentara Belanda nyaris dari front ke front. Salah satu laporannya yang paling impresif adalah saat dia menjadi saksi mata bagaimana keuletan pasukan HMOT (milisi bumiputera yang direkrut dari kalangan penjahat dan eks pejuang Indonesia) saat bertempur melawan sebuah batalyon TNI bernama Beruang Merah. Selain Sprang, Belanda juga menurunkan para jurnalis fotonya. Setidaknya ada dua nama fotografer perang mereka yang aktif di palagan Indonesia: Hasselman dan Charles Brejer. Nama terakhir adalah fotografer yang paling banyak menghasilkan foto-foto human interest mengenai situasi-situasi perang di Jawa, termasuk penderitaan para penduduk sipil. Fotografer asal Prancis Henri Cartier Bresson juga termasuk ciamik merekam situasi-situasi Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan salah satu essai foto-nya di Majalah LIFE berjudul ‘Young Men Are Both The Peril and The Hope’ termasuk salah satu laporan paling legendaris mengenai Indonesia era revolusi. Akses Bresson ke kubu Republik juga termasuk kuat. Dia pernah beberapa kali mewawancarai sekaligus mengambil gambar Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tak mau kalah dengan para jurnalis tersebut, pada 1948 majalah terkemuka National Geographic (NG) menurunkan jurnalis Ronald Stuart Kain untuk meliput gejolak perang di tanah Jawa. Saya pernah membaca tulisan Kain itu di majalah NG edisi 93 Mei 1948. Pemaparannya sangat detail dan sungguh memukau. Secara detail dan deskriptif, dia menuliskan situasi sosial politik yang terjadi selama perang kemerdekaan berlangsung di tanah Jawa: para pengungsi yang berdesakan di kereta api, lasykar-lasykar pribumi berambut gondrong yang menikmati peran mereka sebagai tentara, serta para serdadu muda yang muak akan perang dan rindu pulang ke kampung mereka di Belanda. Selain jurnalis-jurnalis dunia asal United Pers , Reuters , ANETA , LIFE , Time dan National Geographic , ada juga para kuli tinta dari Swis, India, Australia dan negara-negara lainnya. Tak boleh dilupakan, para jurnalis Indonesia pun hadir untuk meliput setiap kejadian-kejadian dari medan perang. Selain Rosihan Anwar, ada jurnalis kawakan Mochtar Lubis serta para fotografer IPPHOS : Frans Mendoer, Alex Mendoer, J.K. Oembas, Alex Mamoesoeng, F.F. Oembas, Abdul Rachman dan M.Jacob. Jika Rosihan dan Mochtar sangat aktif melaporkan situasi perang yang terjadi di Jakarta, Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan Yogyakarta (Rosihan bahkan merupakan jurnalis pertama yang bisa mewawancarai Panglima Besar Soedirman), maka Alex Mendoer cs menghadirkan gambar-gambar dari medan perang. Mereka bertebaran nyaris di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera.
- Kisah Kuli yang Terbuai di Perkebunan Deli
AWAL bulan menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu kuli kontrak perkebunan tembakau Deli. Masa gajian berarti akan segera tiba. Pihak perkebunan biasanya menyuguhi para kuli dengan serangkaian hiburan semisal pertunjukan wayang atau teater Tionghoa. Rombongan khusus dari Malaka atas biaya perusahaan perkebunan sengaja didatangkan. Itu adalah pesta besar ala masyarakat perkebunan Deli. “Yang jauh lebih penting untuk mengurangi kebosanan dibandingkan dengan pesta-pesta khusus itu adalah permainan judi,” ungkap Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli . “Hiburan inipun secara resmi dibatasi hanya untuk masa lumbung (masa panen), dan untuk itu disediakan bangsal khusus.” Menurut Breman, para majikan mempersukar kebebasan para kuli bergerak di luar perkebunan. Permintaan cuti tak pernah dikabulkan untuk mencegah kuli melarikan diri. Dengan demikian, hiburan pun hanya dapat dilangsungkan di perkebunan. Judi dadu merupakan salah satu hiburan yang begitu digemari kaum kuli Deli. Bisnis hiburan gelap ini dikelola oleh pemuka Tionghoa kaya setempat. Sementara pengorganisasiannya dilakukan para mandor yang menyalurkan kredit terhadap para kuli yang berniat meminjam uang. Pelesiran dan kesenangan yang dialami kuli kontrak ibarat penjara tak kasat mata. Mereka dibuai tanpa sadar. Tujuannya membuat kuli-kuli tersebut hidup dalam kemelaratan. Dengan begitu, kuli-kuli tak akan berdaya menolak perpanjangan kontrak yang disodorkan. “Selain membuka kedai kelontong yang melayani kuli-kuli sehari-hari, mereka menjual opium, mengelola rumah gadai, menjadi bandar judi dan membangun barak-barak pelacuran,” ujar Emile W. Aulia dalam roman Berjuta-juta dari Deli Nikmat berujung Sengsara Dalam roman lain Merantau ke Deli , sastrawan Hamka berkelakar bila sang buruh menang judi, berseri-seri lah mukanya. Ada pula yang geram menepuk-nepuk tangan ke paha. Sebabnya, uang gaji yang baru diterima pukul lima sore telah lenyap di meja judi pukul tujuh malam. Penyelenggaraan judi menjadi senjata bagi pengusaha perkebunan untuk menjerat kuli. Mereka yang telah datang ke Deli sebagai pekerja kebun sukar untuk kembali ke tempat asal karena harus memperbaharui kontrak. “Tetapi biasanya alasan untuk memperbaharui kontrak adalah habis ludasnya uang simpanan tabungan buruh itu selama suatu pesta pasar malam yang diselenggarakan oleh onderneming pada setiap akhir tahun penanaman di mana segala hiburan termasuk perjudian diadakan,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria . Seperti judi, candu pun dibiarkan masuk ke lingkungan perkebunan. Obat penenang berupa daun opium yang dibakar dalam pipa ini diakrabi para kuli terutama dari Tionghoa. Bagi mereka, menghisap candu menjadi sarana kenikmatan pelepas penat sehabis bekerja setiap hari. Namun pengunaan candu menyebabkan ketergantungan yang justru melemahkan fisik. Selain itu, candu akan melilit kuli ke dalam kemiskinan karena memaksanya untuk berutang. Pemerintah kolonial punya kepentingan dibalik konsumsi candu para kuli. Breman mencatat, biaya pemerintahan dalam negeri, pengadilan, dan penempatan tentara seluruhnya dapat ditutup dengan uang borongan candu yang berarti dibayar oleh para kuli. “Penghasilan ini merupakan surplus yang tidak kecil untuk anggaran belanja daerah pada umumnya,” ujar Breman. Pada 1901, pengeluaran pemerintah di Sumatera Timur sejumlah 2.200.000 gulden sedangkan pemasukan mencapai 5.300.000 gulden. Dari total pemasukan itu, candu menyumbang 2.259.500 gulden dan judi sebesar 2.321.980 gulden. Dengan demikian, Sumatera Timur mencuat sebagai kawasan penghasil devisa terbesar pemerintah kolonial dibanding hampir semua daerah di Hindia Belanda. Nasib Buruh Perempuan Selain judi dan candu, kuli perempuan yang dilacurkan juga menjadi komoditas komersil di kebun Deli. Perekrutan kuli perempuan baru dilakukan pada 1875. Mereka dipekerjakan untuk menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantung, hingga mencari ulat tembakau. Memasuki abad 20, dari 62.000 pekerja di perkebunan Deli, hanya 5.000 yang perempuan. Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 menyebut kuli perempuan didatangkan dari Jawa dan didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka juga dipekerjakan sebagai pelacur untuk membuat betah pekerja laki-laki - terutama kuli asal Jawa – untuk memperpanjang kontraknya. Lelaki Jawa sebagaimana diungkap Breman betapa sulit bertahan hidup di perkebunan tanpa kehadiran perempuan. Kuli perempuan terpaksa melacurkan diri. Mereka hanya menerima upah 1,5 gulden sebulan, setengah dari pendapat pekerja laki-laki dan tak mendapat tempat penampungan. Akibatnya, mereka punya fungsi lain di perkebunan: memikat pekerja laki-laki di malam hari. Dalam skripsinya “Pelacuran pada wilayah Perkebunan di Deli tahun 1870-1930” di Universitas Sumatera Utara, Wahyu Putra Kelana mencatat pelacuran terjadi pada setiap malam gajian. Di saat itulah kuli perempuan akan berdandan dengan cantik dan menjadi penari ronggeng. Setelah pertunjukan ronggeng, praktik pelacuran dimulai. Pengusaha perkebunan turut memfasilitasi dengan membangun tenda-tenda prostitusi di tanah-tanah kosong perkebunan. Tak hanya kuli, beberapa tuan kebun menikmati praktik pelacuran di perkebunan. Mereka mengambil kuli perempuan yang cantik untuk dijadikan nyai. Adapun yang berparas biasa saja menjadi jatah kuli-kuli yang telah lama bekerja sebagai istri tanpa ikatan pernikahan yang resmi. Maraknya pelacuran atau prostitusi membuat penyebaran penyakit kelamin mewabah di perkebunan. Para kuli perempuan rentan terjangkit sifilis karena kerap berganti-ganti pasangan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terjadinya praktik pergundikan dan maraknya anak-anak yang lahir di luar nikah.
- Tangan Dingin Moon Jae-in
Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un berhasil membuat masing-masing rakyatnya dan dunia internasional bisa bernapas lebih lega. Jumat (27/4/2018) lalu, keduanya menandatangani Deklarasi Panmunjom. Deklarasi bernama lengkap Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification of the Korean Peninsula itu menjadi tonggak sejarah baru dalam mengakhiri Perang Korea secara permanen. Dari rezim ke rezim di Korsel, baru sekarang wacana rekonsiliasi dua Korea nampak realisasinya. Di luar gedung pertemuan, keduanya bergandengan tangan. Era dan harapan baru memancar dari wajah keduanya. “Saya sangat yakin era baru perdamaian akan tercipta di semenanjung, di mana kedua Korea meredam tensi militer dan membangun kepercayaan,” ujar Presiden Moon, dimuat Korea.net , media milik Badan Kebudayaan dan Informasi Korsel (KOCIS), Senin, 30 Maret. Anak Pengungsi Pembawa Harapan Unifikasi Upaya kedua pemimpin Korea itu menjadi jawaban penting dari harapan banyak rakyat Korea, Selatan maupun Utara. Seorang pejabat Kedutaan Besar Korsel di Jakarta yang enggan disebut namanya mengatakan dalam obrolan santai pada medio April 2016, unifikasi Korea sejak lama didambakan olehnya dan mayoritas publik negerinya. “Kami menginginkannya. Kami punya bahasa yang sama, juga budaya yang sama. Sudah seperti saudara. Kami satu negara (kerajaan) selama ribuan tahun,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia terbata-bata kepada Historia . Harapan itu kini tinggal beberapa pijakan anak-tangga berkat tangan dingin Presiden Moon. Serangkaian langkah jitunya, dimulai dari pemberian izin para atlet Korut tampil di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchan pada Februari 2018,membuat Korut “tersentuh” dan berhasrat mengiyakan ajakan damai. Moon man of the match dalam game ini. Usut punya usut, Moon ternyata pemimpin Korsel yang lahir dari anak pengungsi Korut. Orangtua Moon termasuk di antara belasan ribu penduduk Korut yang melarikan diri dari Hungnam antara 15-25 November 1950. Mereka dievakuasi Amerika Serikat (AS) menggunakan kapal SS Meredith Victory ke Busan, Korsel. Dari Busan, orangtua Moon menetap di Geoje, kota tempat Moon dilahirkan pada 24 Januari 1953. Sebagaimana lazimnya keluarga pengungsi Korut, Moon hidup dalam keterbatasan. Terlebih setelah ayahnya terlilit utang akibat bisnis kaus kakinya mandek. Kendati begitu, Moon tetap jadi pelajar teladan dengan nilai-nilai tinggi di Sekolah Menengah Kyungnam, hingga menerima beasiswa studi hukum di Universitas Kyunghee. Moon Jae-in saat masih wamil di Pasukan Khusus Korea Selatan. (Kantor Berita Yonhap) Wajib Militer Menghadapi Korut Gara-gara mendalangi demo mahasiswa menentang Konstitusi Yusin, Moon ditahan dan di-DO kampusnya. Moon lantas menebus masa hukumannya dengan menjalani wajib militer (wamil) di satuan khusus Angkatan Darat Korsel. Wamil ini membawa Moon “bersentuhan” dengan negara kelahiran ortunya. Moon yang sudah menyandang baret hitam, ditugaskan dalam Operasi Paul Bunyan. Operasi psywar itu merupakan balasan terhadap aksi pembunuhan dua prajurit Amerika, Kapten Arthur Bonifas dan Lettu Mark Barrett, oleh serdadu Korut di Panmunjom, 18 Agustus 1976. Menurut Reed R. Probst dalam Negotiating with the North Koreans: The U.S. Experience at Panmunjom , insiden itu berawal dari sebuah misi pimpinan dua prajurit AS yang ikut dalam penjagaan DMZ di Panmunjom, untuk menebang sederetan pohon di antara pos jaga UNC (Komando Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Korut di kawasan perbatasan. Misi itu kepergok 15 serdadu Korut dan berujung pada pembunuhan Kapten Bonifas dan Lettu Barrett. Moon dan rekan-rekannya berhasil menjalankan Operasi Bunyan dengan lancar. Mereka kembali ke zona mereka tanpa desingan peluru dari Korut. Selepas wamil pada 1979, Moon mengulang studi hukumnya. Dia kemudian bermitra dengan Roh Moo-hyun menjadi pengacara HAM. Karier Moon melejit berbarengan naiknya Roh ke kursi Korsel 1 (2003-2008). Moon dipercaya Roh jadi Sekretaris Senior Presiden Bidang Kemasyarakatan. Moon juga masuk ke parlemen di Pemilu 2012 dengan kendaraan Partai Persatuan Demokratik. Pasca-pemakzulan Presiden Park Gyun-hye pada 2017, Moon mencalonkan diri sebagai presiden dan menang. Meski pernah dituduh sebagai simpatisan Korut, Moon tetap mendapat 41,08 persen kepercayaan rakyat Korsel. Moon berhasil menjawab kepercayaan itu dengan membawa Korsel ke era baruuntuk bisa kembali berangkulan dengan saudara mereka dari Utara. “Saya sangat senang karena pertemuan ini terjadi di tempat bersejarah. Dan saya tergerak melihat Anda mau menerima saya di Garis Demarkasi Militer Panmunjom. Mungkin kini saat yang tepat buat Anda (bergantian) datang ke wilayah Utara,” tandas Kim Jon-un kepada Presiden Moon, disitat Time , 27 April 2018.
- Semarak Konser Musik Rock di Indonesia
KONSER musik di alam terbuka sering digelar di berbagai kota. Salah satunya RockAdventure 2018 yang digelar di sejumlah kota dan akan berakhir 5 Mei ini. Pada 1970-an, konser musik serupa tak kalah semarak. Yang tak bisa dilupakan adalah Summer 28 . Puluhan ribu orang menyemut di sebuah lapangan luas pusat pembuatan film, semacam laboratorium film, di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat ini tempatnya persis di pertigaan lampu merah, Pasar Minggu, sebelum pusat perbelanjaan Pejaten Village. Mereka berjingkrak, mengikuti irama lagu yang sedang dimainkan grup musik di atas panggung. Summer 28 ―akronim Suasana Menjelang Kemerdekaan RI ke-28― digelar pada 16 hingga 17 Agustus 1973. Pengamat musik Bens Leo mengatakan, Summer 28 merupakan konser musik di alam terbuka pertama di Indonesia. Selain itu, ia merupakan konser musik pop dan rock pertama berskala internasional. “Buat Indonesia, ini pesta musik internasional pertama. Setahu saya yang ikut (selain Indonesia) ada negara tetangga terdekat, seperti Singapura, mungkin juga Malaysia,” kata Bens Leo kepada Historia.id. Pengamat musik Denny Sakrie dalam tulisan di laman pribadinya berjudul “40 Tahun Summer’28” menyebut, Summer 28 melibatkan 20 grup band yang punya nama dan kualitas mumpuni dari berbagai genre dan subgenre musik. Sebut saja Koes Plus, God Bless, Idris Sardi & The Pro’s, Young Gipsy, hingga Broery Marantika. Flybaits, band asal Singapura, ikut memeriahkan acara itu. Summer 28 , lanjut Sakrie, bisa dianggap etalase perjalanan musik Indonesia. Dari puluhan kelompok musik yang hadir, The Rollies asal Bandung mendapat apresiasi besar penonton. Bens menuturkan, pertunjukan band yang dikomandoi Bangun Sugito alias Gito Rollies itu sangat atraktif. Mereka memadukan gamelan bersama instrumen musik modern. “Ini buat pertama kalinya musisi Indonesia memadukan gamelan dengan instrumen musik modern gitar, bas, keyboards , drum, alat musik tiup di atas panggung. Waktu itu, The Rollies membawakan lagu ‘Manuk Dadali’,” ujar Bens. Pendana Tionghoa Tak bisa dipungkiri Summer 28 terpengaruh gelaran Woodstock Festival di Amerika Serikat pada 1969. Festival musik akbar itu merupakan puncak perayaan budaya kaum hippies yang menjangkiti kaum muda. Tak heran pula jika Summer 28 disebut sebagai Woodstock-nya Indonesia. Bens Leo mengatakan, pendana acara itu adalah Njoo Han Siang. “Saat itu di Indonesia tidak ada yang namanya sponsorship , yang punya duit saja yang bisa ambil bagian sebagai penyelenggara,” kata Bens Leo . Menurut buku Njoo Han Siang : Pertemuan Dua Arus yang ditulis tim lembaga Centre for Strategic and International Studies , Njoo Han Siang merupakan salah seorang pendiri Bank Umum Nasional, bank nasional pertama di Indonesia. Dia juga pemilik PT Inter Pratama Studio Laboratorium, studio film berwarna pertama di Indonesia. Summer 28 diadakan di lapangan Inter Pratama Studio milik Han Siang. Njoo Han Siang tak sendirian. Denny Sakrie menyebut Summer 28 juga digagas sutradara film Wim Umboh dan A. Soegianto dari PT Intercine Studio. Ide ini muncul setelah ketiganya melakukan perjalanan ke luar negeri, di antaranya ke Amerika Serikat. Summer 28 dihadiri sekitar 100 ribu penonton —menurut Prisma volume 7-11 tahun 1991, jumlah penonton hanya 20.000. Sayangnya, konser yang rencananya berakhir pada 17 Agustus 1973 pukul 04.00, harus dihentikan pukul 02.00, karena terjadi kekacauan. Menurut Muhammad Mulyadi dalam bukunya Industri Musik Indonesia, kerusuhan terjadi akibat panitia tak menepati janji untuk menggelar konser hingga pukul 06.00. Panitia juga dituding ingkar karena tak menampilkan grup band rock AKA dari Surabaya dengan pentolannya Ucok Harahap dan Terncem dari Solo. Karena kecewa, penonton melemparkan botol-botol minuman dan benda-benda lain ke atas panggung. Sepuluh menit kemudian, pihak keamanan memukul mundur penonton menjauhi panggung. Mundurnya penonton malah berakibat lebih luas. Mereka merusak lapak penjual makanan, spanduk iklan, dan empat mobil. Bens mengatakan, keributan semacam itu merupakan hal yang biasa, karena saat itu belum terbentuk standar pengamanan berlapis dari petugas keamanan. “Setelah Summer 28 , polisi baru mulai melakukan standar pengamanan pertunjukan seni, terutama musik, karena sifatnya massal dengan penonton heterogen kesukaan musiknya,” ujar Bens. Batu-Batu Bicara Usai Summer 28 , konser musik serupa diadakan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Medan, Bandung, dan Surabaya. Di Surabaya, konser musik yang berlangsung pada September 1973 berakhir dengan keributan. Penonton mengamuk setelah tahu grup musik AKA tak bisa tampil, karena tak dapat izin kepolisian setempat. Massa makin beringas karena band Terncem, yang juga menjadi favorit anak muda Surabaya, tak bisa datang lantaran kesulitan transportasi. “Batu-batu mulai berbicara dan makian dilontarkan ke arah panitia. Penonton tak ingin pulang, sebelum batu-batu melayang,” tulis majalah Sonata, Oktober 1973. Di Medan, konser musik rock bertajuk Pesta Musik Udara Terbuka Aktuil yang digelar pada 11 Mei 1975 juga berakhir dengan kericuhan. Semula, band yang direncanakan hadir ada 12, berasal dari Banda Aceh, Padang, dan Penang (Malaysia). Tapi, niat penyelenggara tak terlaksana. Konser ini hanya menampilkan tujuh band, di antaranya Destroyer, Brigif 7, Electone, Maranti Sisters, dan The Rhythm King’s. Aparat yang berjaga hanya berjumlah 20 orang, tak sebanding dengan jumlah penonton yang mencapai 1.000 orang. Penonton berusaha mendekati panggung. Aparat kewalahan. “Acara pukul-memukul ini mendapat sambutan berupa lemparan sandal dan batu, yang menyebabkan beberapa orang harus masuk rumah sakit,” tulis majalah Midi edisi 30 Mei 1975. Di Medan, menurut majalah Midi, konser memang punya masalah pengamanan. Saat itu aparat keamanan tersedot ke pertandingan gokart yang berlangsung di hari yang sama. Mustahil panitia mengerahkan angkatan bersenjata, karena akan berakibat lebih fatal. Kericuhan juga terjadi di helatan konser musik rock Pesta Musik Kemarau pada 1975 di Lapangan Gasibu, Bandung. Konser musik ini digagas majalah Aktuil , menghadirkan band rock papan atas seperti God Bless, Brotherhood, Blod Stone, Rhapsodia, Giant Step, Lizard, Rawa Rontek, dan Voodoo Child. Kini, penyelenggara konser musik di alam terbuka lebih profesional. Pengamanan sudah terorganisir dengan baik.





















