Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Nobar Film Pengkhianatan G30S/PKI untuk Generasi Muda yang Mana?
SETELAH sempat dihentikan penayangannya semenjak September 1998, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer kembali diputar di berbagai tangsi militer dan sekolah-sekolah di Indonesia. Gagasan tersebut memicu kontroversi, bukan hanya karena persoalan akurasi sejarahnya, melainkan pula karena komentar eksentrik panglima atas pro-kontra pemutaran film itu: “Emang gue pikirin?!”
- Komentar Pers Arab tentang Pengangkatan Soeharto
PADA 9 Februari 1967, sidang paripurna DPR-GR mengeluarkan dua resolusi yaitu memberhentikan Presiden Sukarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS yang menurut pendirian DPR-GR terbukti dengan nyata kesalahannya (sesudah pendirian ini dibenarkan oleh MPRS), dan memilih/mengangkat pejabat presiden sesuai Pasal 3 Ketetapan No.XV/MPRS/1966; serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengusutan, pemeriksaan dan penuntutan secara hukum.
- Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
DALAM poster promosinya, film Pengkhianatan G30S/PKI hadir dengan slogan memikat: “Film yang tak mungkin terulang lagi.” Kontan saja, pancingan demikian membuat siapa saja tertarik untuk menyaksikan. Semula, film bergenre dokumenter-drama ini berjudul Sejarah Orde Baru namun diganti untuk kepentingan politik. Plot cerita mengambil latar peristiwa sejarah tentang Gerakan 30 September 1965 yang tragis: terbunuhnya enam jenderal pimpinan TNI AD. Akhir kisah menyimpulkan bahwa peristiwa kelam itu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Film berdurasi empat jam ini sukses besar di jagad sinema Indonesia. Pemutaran perdananya menembus angka 699.282 penonton. Menurut data Perfin (Persatuan Film Indonesia), rekor jumlah penonton tersebut tidak terpecahkan hingga 1995. Produksinya pun tak tanggung-tanggung memakan biaya 800 juta sebagai film termahal saat itu. Dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1984, film besutan sutradara Arifin C. Noer memenangkan Piala Citra untuk kategori skenario terbaik. Setahun kemudian, Pengkhianatan G30S/PKI dinobatkan sebagai film unggulan terlaris periode 1984-1985. Sejak itu, pemerintah menjadikan penayangan film ini sebagai agenda rutin melalui stasiun TVRI . Ia pun menjadi metode paling ampuh dalam mengangkat propaganda dan narasi sejarah Orde Baru. Sebanyak 10.000 pemain dan figuran terlibat di dalamnya. Berikut riwayat tujuh pemeran film Pengkhianatan G30S/PKI . Sukarno “Biasa. Itu biasa dalam revolusi,” demikian tutur Presiden Sukarno dalam film ini menyikapi peristiwa Gerakan 30 September. Presiden Sukarno bukan tokoh sentral dalam film ini. Namun Umar Kayam dengan piawai memperlihatkan bagaimana Sukarno berada diujung tanduk kekuasaannya Dalam film, Proklamator itu digambarkan sebagai pemimpin yang gontai akibat riuhnya situasi politik. Wibawanya memudar sebagaimana rambutnya yang mulai tipis. Umar Kayam lebih dikenal sebagai budayawan, akademisi, dan kolumnis. Kepada Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historia Indonesia Jilid 5, dia bercerita bahwa para pembantu rumah tangga di Istana Bogor tempat pengambilan gambar terkejut melihatnya setelah dirias mirip dengan Sukarno. Guru besar Fakultas Sastra UGM ini wafat di Jakarta pada 2002 dalam usia 69 tahun. Soeharto Sosok Mayjen TNI Soeharto mulai hadir pasca terbunuhnya para jenderal teras AD. Dalam film, dia digambarkan sebagai tokoh protagonis yang kalem namun sigap bertindak. Penampilan heroiknya terlihat saat berinsiatif mengambil alih pimpinan AD tatkala mendengar kup Dewan Revolusi yang disiarkan RRI . Dia pun berani berbantah terhadap Presiden Sukarno yang lebih memilih Jenderal Pranoto sebagai pimpinan AD. Soeharto bak pahlawan saat memimpin penggalian lahan penguburan enam jenderal di kawasan Lubang Buaya dan menjadi juru bicara kepada publik. Soeharto dalam film ini diperankan oleh Amoroso Katamsi. Aktor kelahiran 1940 ini sebelumnya berprofesi sebagai dokter jiwa di Angkatan Laut dengan pangkat letnan kolonel. Di salah satu edisi majalah Panji Masyarakat tahun 1998, Amoroso menganggap ada yang kurang seimbang pada sosok Soeharto. “Dilebih-lebihkan sih tidak, cuma porsinya lebih banyak dibanding yang lain,” katanya. Amoroso masuk nominasi pemeran utama pria terbaik dalam FFI 1984. Keberhasilannya memerankan Soeharto membuatnya akrab dengan keluarga Cendana. DN Aidit “Jakarta adalah kunci,” ujar Ketua PKI, DN Aidit dalam sebuah rapat biro politik menjelang operasi Gerakan 30 September. Dialah tokoh antagonis dalam film Pengkhianatan G30S/PKI . Satu ciri khas Aidit dalam film ini adalah kebiasaannya mengisap rokok hampir di setiap adegan. Padahal dalam kehidupan nyata, Aidit melalui resolusi partai menghimbau kader-kader PKI untuk tidak merokok dan mengalokasinnya untuk biaya kongres partai. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. “Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda . Dalam film, karakter Aidit yang licik, bengis, dan konspirator ulung dilakonkan oleh Syu’bah Asa. Pada era 1970-an, Syu’bah adalah anggota Dewan Kesenian Jakarta. Namun dia lebih dikenal sebagai sastrawan dan jurnalis senior Tempo, kemudian pemimpin redaksi Editor, lalu pindah ke Panji Masyarakat . Dia wafat di Pekalongan pada 24 Juli 2011. Untung Sjamsuri Letnan Kolonel Untung Sjamsuri adalah komandan batalion Tjakrabirawa. Dia yang menjadi pimpinan militer Gerakan 30 September. Dalam film, Untung digambarkan selalu berada di bawah pengaruh Aidit sebagai perwira progresif revolusioner. Untung sosok yang bimbang, terutama setelah Soeharto berhasil mengonsolidasikan TNI AD untuk menumpas Gerakan 30 September 1965. Untung diperankan oleh Bram Adrianto. Dilansir situs filmindonesia.or.id , aktor kelahiran 1942 ini memulai karier seninya sebagai anggota teater Wijaya Kesuma pimpinan Rendra Karno. Namanya melambung usai memerankan Letkol Untung dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Di luar karier film, Bram menekuni minat lain sebagai pelukis dan wiraswasta. Sarwo Edhie Wibowo Sesosok tentara berbaret merah, gagah, dan tampan diperintahkan Mayjend Soeharto merebut stasiun RRI yang dikuasi pasukan Gerakan 30 September. Dialah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) cikal bakal Kopassus. Sarwo Edhie disebut-sebut bertanggung jawab atas banyaknya korban tak bersalah dalam penumpasan anasir PKI di Indonesia. Dalam film, Sarwo Edhie diperankan Didi Sadikin. Saat memerankan Sarwo Edhie, Didi tercatat sebagai kapten Koppasandha (kini Kopassus). Johana Sunarti “Pak Nasution, beliau di Bandung, sudah tiga hari di Bandung. Kalian datang kesini cuma untuk membunuh anak saya!” Itu adalah kalimat epik yang dilontarkan Johana Sunarti, istri Jenderal Nasution saat rumahnya disatroni pasukan Tjakrabirawa. Dalam adegan itu, Sunarti dengan tegar menggendong putrinya, Ade Irma yang bersimbah darah terkena tembakan. Seorang diri, dia juga nekat menghadapi geromobolan Tjakrabirawa agar suaminya, Nasution dapat melarikan diri ke belakang rumah. Walau tampil singkat, karakter Sunarti tampil apik. Dia diperankan oleh Arzia Dahar atau lebih populer dengan nama Ade Irawan. Ade Irawan yang kini berusia 80 tahun adalah artis peran kawakan Indonesia yang malang melintang di dunia perfilaman dan sinetron. Ade Irma Suryani Nasution Ade Irma adalah karakter paling belia dalam film ini. Dia adalah putri bungsu Jendral Nasution berusia lima tahun yang tertembak saat tentara Tjakrabirawa menyergap kediaman Nasution. “Engkau gugur sebagai perisai ayahmu,” demikian Nasution mengenang Ade Irma. Dalam sebuah adegan lain, Ade yang periang ingin menjadi jendral berbintang seperti ayahnya. Dia juga kerap bercanda dan bergurau dengan “Om Pierre” ajudan Jenderal AH Nasution. Tokoh Ade Irma diperankan oleh Henneke Adinda Tumbuan, akrab dipanggil Keke. Keke tak lain putri dari pasangan artis peran ternama Rima Melati dan Frans Tumbuan. Kini, Keke lebih aktif sebagai sineas di balik layar.
- Kekecewaan Sutradara Film Pengkhianatan G30S/PKI
PANGLIMA TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan kepada jajaran TNI AD untuk nonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI. Film ini sebenarnya telah dihentikan penayangannya sejak 30 September 1998 atas permintaan masyarakat dan keluarga besar TNI AU. Film Pemberontakan G30S/PKI diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Presiden Soeharto. Tokoh penting di balik film ini adalah sejarawan Nugroho Notosusanto. Dwipayana memilih Arifin C. Noer sebagai sutradara film yang awalnya berjudul Sejarah Orde Baru . “Pak Dipo (panggilan Dwipayana) memilih Arifin karena Arifin ini dipandang sebagai orang yang independen. Dia tidak memiliki afiliasi dengan organisasi mahasiswa manapun atau organisasi masyarakat apapun,” ujar Jajang C. Noer, istri mendiang Arifin C. Noer, kepada Historia beberapa waktu lalu. Arifin lahir pada 10 Maret 1941 di Cirebon. Dia menulis drama dan puisi sejak di Sekolah Lanjutan Pertama. Dia melanjutkan sekolah ke Solo dan bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Pada 1960, dia pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan Lingkaran Drama Yogya, kemudian masuk Teater Muslim. Setelah pindah ke Jakarta, dia mendirikan Teater Kecil. Pada 1972, naskah dramanya, Kapai Kapai memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta. Arifin mulai terjun ke dunia film sebagai penulis skenario Pemberang pada 1971 . Dia kemudian menulis skenario film Melawan Badai, Rio Anakku, Sanrego, Senyum di Pagi Bulan Desember, Kenangan Desember, dan Kugapai Cintamu . Arifin menyutradarai film pertamanya, Suci Sang Primadona (1978) yang memberi Piala Citra untuk Joice Erna. Namanya melambung setelah menyutradarai film Serangan Fajar yang meraih penghargaan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1982 dengan menyabet lima Piala Citra. “Arifin kembali meraih gelar penulis skenario terbaik melalui film Pengkhianatan G30S/PKI ,” tulis Suara Karya , minggu ketiga Agustus 1992. Film Pengkhianatan G30S/PKI dikerjakan selama dua tahun dengan biaya terbesar saat itu, yaitu Rp800 juta. Setelah selesai, film ini ditayangkan dalam sidang kabinet dan semuanya setuju. Film berdurasi lebih dari tiga jam ini ditayangkan di bioskop dan TVRI sebagai tontonan wajib anak-anak sekolah dan pegawai pemerintah. Ternyata, Arifin kecewa setelah melihat hasilnya. Dia mengungkapkan kekecewaannya kepada Eros Djarot, sutradara, penulis lagu, dan politisi. “Hingga menjelang turunnya Soeharto hanya ada satu versi untuk melihat peristiwa G30S, yakni versi film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer, sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut,” tulis Eros Djarot, dkk., dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI . “Berbicara soal film yang sangat ‘luar biasa’ mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini, saya jadi ingat Mas Arifin C. Noer. Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya,” kata Eros Djarot, sutradara film fenomenal Tjoet Nja’ Dhien (1988). Setelah membuat film Pengkhianatan G30S/PKI , Arifin ingin berhenti membuat film. Mungkinkah karena kekecewaan terhadap film itu? Dia menyampaikan keinginannya itu dalam surat tanggal 10 Februari 1984 kepada Ajip Rosidi, sastrawan yang berdiam di Jepang pada 1980-2002. Ajip membalas surat itu pada 17 Februari 1984. “Keputusan untuk tidak membuat film lagi tentu keputusan yang penting. Buat saya, juga mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberi alasan yang lebih terperinci. Kau mengatakan bahwa selama 5 tahun membuat film merupakan tahun-tahun yang percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” tulis Ajip dalam buku kumpulan surat-suratnya, Yang Datang Telanjang. Ajip memberikan penilaian terhadap film-film karya Arifin dan memintanya agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk berhenti membuat film. Ajip menyebut bahwa Arifin sepertinya punya masalah dengan PFN (Produksi Film Negara). “Baik sekali kau mempertimbangkan hubunganmu dengan PFN. Tetapi jangan hendaknya karena itu kau lantas memutuskan mau berhenti membuat film. Sebab, kalau begitu, maka dunia perfilman Indonesia akan terus hanyut dalam selera Indo –atau Cina,” kata Ajip yang berharap “filmmu akan membuat tradisi, atau baik disebutkan: melanjutkan tradisi film pribumi seperti yang dibuat oleh Usmar Ismail.” Akhirnya, Arifin pun urung berhenti bikin film. Setelah Pemberontakan G30S/PKI , dia membuat film Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), dan terakhir, Bibir Mer (1991). Film Taksi yang dibintangi Meriam Bellina dan Rano Karno terpilih menjadi film terbaik FFI 1990 dan menyabet enam Piala Citra. Arifin C. Noer meninggal dunia pada 28 Mei 1995.
- Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum
Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dikepung massa pada Minggu (17/09) hingga Senin (18/09). Gegaranya, LBH menyelenggarakan acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Melalui rilisan pers yang diterima Historia, LBH Jakarta menulis, “Massa meneriakkan ancaman mengerikan, melakukan stigma dan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, serta mencoba masuk, melempari dengan batu dan melakukan provokasi, serta mencoba membuat kerusuhan.” Padahal, YLBHI saat itu sedang menyelenggarakan acara yang menampilkan pertunjukan seni dengan nama #AsikAsikAksi. Ancaman terhadap LBH sesungguhnya tidak hanya terjadi pada hari ini saja. Pada era Orde Baru (Orba), ancaman dan tekanan juga pernah mereka alami. Kendati pada awal pembentukannya, LBH didukung pemerintah namun belakangan pemerintah Soeharto menunjukkan ketidaksukaannya kepada LBH. Demikian menurut Adnan Buyung Nasution dalam Demokrasi Konstitusional: Pikiran & Gagasan. Buyung menyebutkan, pada 1974 Ali Moertopo pernah memerintahkan untuk menangkap dirinya saat terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Buyung lantas ditahan selama dua tahun tanpa proses peradilan karena dituduh sebagai dalang Malari. “Semua pengacara LBH masuk dalam daftar hitam pemerintah. Kantor, rumah, dan kendaraan mereka sering dirusak. Bahkan ada yang diancam akan ditahan,” ungkap Buyung. LBH sendiri merupakan lembaga bantuan hukum yang digagas Buyung pada 1969. Dalam otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969. Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. Selain dukungan politis dari Peradin, Buyung juga mendapat dukungan moril dari mahasiswa dan cendekiawan. Agar LBH "tidak digebuk", Buyung melakukan "siasat ala Jawa" untuk sekadar kulonuwun kepada pemerintah dengan menemui Ali Murtopo untuk meminta persetujuan pendirian LBH. Secara personal, Buyung mengenal Ali sejak aktivis-aktivis kesatuan aksi pengganyangan PKI sering berkumpul di markas Kostrad. Pangkostrad Kemal Idris memperkenalkan Ali sebagai orang kepercayaannya. “Wah saya gembira sekali, saya akan mendukung,” kata Ali. Tidak cukup sampai Ali Moertopo, Buyung juga menyiapkan uraian tertulis mengenai pembentukan LBH untuk Presiden Soeharto. “Pak Harto sudah baca, katanya bagus, teruskan ide ini,” kata Ali kepada Buyung. Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah, Buyung mencari dukungan dari pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Buyung mengenal Ali Sadikin sebagai orang yang mendukung para seniman dan budayawan dengan membangun Taman Ismail Marzuki. Buyung optimis mendapat dukungan dari Ali Sadikin. Dalam otobiografinya, Buyung menulis bahwa Ali Sadikin memiliki peran besar dalam pembentukan LBH. Bersama seorang aktivis sosial Nani Yamin, Buyung menemui Ali Sadikin di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Sekretaris Gubernur Kris Hutapea ikut dalam pertemuan tersebut. “Negara hukum tidak bisa ditegakkan hanya dengan pidato, tapi dengan tindakan nyata, yaitu membela rakyat. Supaya rakyat sadar akan hak dan kepentingan hukumnya... Ini termasuk pelayanan negara kepada rakyat yang butuh bantuan di bidang hukum... Dalam pembangunan Jakarta saya lihat bidang pelayanan hukum ini bagian yang belum digarap Bang Ali,” ujar Buyung. “Wah, saya setuju dah, setuju! Saya mau. Buyung bikin proposalnya ya,” jawab Ali Sadikin. Selain membuat proposal, Buyung juga diminta untuk melampirkan SK organisasi. Namun, Buyung tidak memiliki organisasi. Ali Sadikin lantas mengusulkan untuk melampirkan SK yang dibuat oleh Peradin untuk pendirian LBH. Permintaan Buyung tentang SK ini sempat membuat bingung Lukman Wiradinata. Lalu dia disarankan untuk pergi menemui S. Tasrif. “Ya sudah, Pak Tasrif, sekjen suruh bikin SK.” Dengan sedikit mengomel akhirnya S. Tasrif membikin SK pembentukan LBH yang dibuat Peradin. Setelah syarat pembentukan LBH lengkap, perngurus LBH dilantik pada 28 Oktober 1970 di Balai Kota oleh Ali Sadikin. Frans Hendra Winata dalam Pro Bono Publico menyebut langkah Buyung sebagai awal gerakan perkembangan bantuan hukum di Indonesia. Pada peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. Tidak hanya itu, para pengacara LBH juga sering menerima ancaman ketika menangani kasus. Kasus yang diangkat umumnya melibatkan orang kurang mampu yang terintimidasi oleh militer. Misalnya, membela orang-orang yang tanahnya diambil untuk pembangunan Simprug, kasus Tanjung Priok, pembangunan TMII, buku putih ITB, dan Kasus Waduk Kedungombo. Beragam tantangan dan ancaman terhadap LBH datang dari dulu hingga kini. Buyung menyebut bahwa tantangan paling ringan berupa upaya penyuapan hingga intimidasi dan ancaman kekerasan. “Namun, lama-kelamaan pengacara kami kebal dengan ancaman, terutama dalam kasus penting,” kata Buyung.
- Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah
PADA era Orde Baru (Orba), tiap tanggal 30 September, stasiun televisi nasional TVRI selalu menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI . Saat kali pertama rilis pada 1984, film ini bahkan wajib ditonton oleh para siswa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) di seluruh Indonesia. Sejak Presiden Soeharto lengser pada 1998, film garapan Arifin C Noer itu berhenti ditayangkan TVRI. Itu terjadi atas desakan sebagian kalangan masyarakat dan pihak TNI AU, yang menganggap film itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Setidaknya, ada beberapa adegan di film itu yang berlawanan dengan fakta sejarah. DN Aidit Perokok Dalam suatu adegan pada film tersebut, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok. Padahal kenyataannya Aidit bukan bukan seorang pecandu tembakau. Alih-alih menggilai rokok, Aidit justru menganjurkan kawan-kawannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya. Dalam isi "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" tertanggal 5 Januari 1959, Aidit menyerukan teman-temannya untuk menghentikan kebiasaan merokok atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada rokok. Aidit mengatakan akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. "Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda. Perlakuan Bengis terhadap Para Jenderal Secara gamblang, film Pengkhianatan G30S/PKI melukiskan bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya, digambarkan mengalami penyiksaan hebat. Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta. Bisa jadi, gambaran itu terinspirasi dari laporan-laporan berita yang dimuat Berita Yudha pada 9 Oktober 1965. Koran milik tentara itu bahkan menyebut tentang para jenderal yang dicukil matanya serta alat-alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organ perempuan yang menjadi bagian dari PKI. Kenyataanya tidak seperti itu. Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak. Dari hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin atau pencungkilan mata. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali. Bung Karno Jatuh Sakit Di film itu Presiden Sukarno dikisahkan tengah sakit keras. Bung Karno (yang diperankan oleh Umar Khayam) juga digambarkan selalu berjalan bolak-balik layaknya orang yang tengah kebingungan. Fakta sejarah yang sebenarnya Bung Karno kala itu sehat-sehat saja. Memang sempat ada isu beredar bahwa Bung Karno sedang sakit keras, namun kehadiran Si Bung dalam sejumlah kegiatan seremonial (seperti pembukaan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta pada 30 September 1965) menafikan isu itu lebih jauh beredar. Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta. Perawatan yang tidak intensif membuatnya tutup usia pada Juni 1970. Tarian Aktivis Gerwani Salah satu adegan yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah adanya "pesta besar" di Lubang Buaya lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, sejatinya penggambaran itu merupakan sebentuk propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata . Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri, walau punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut. Dalam kesaksian Suharti, salah satu eks Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah , Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya. Peta di Ruang Kostrad Ada pemandangan "unik" dan membingungkan dalam adegan yang menggambarkan Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pasca-terjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Adalah peta Indonesia di ruangan tersebut jadi penyebabnya karena sudah memasukkan Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa menuliskan bahwa tahun 1965/1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI. “Jadi peta yang ada di sana bersifat anakronis,” ujar Asvi.
- Di Balik Penghentian Penayangan Film Pengkhianatan G30S/PKI
Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi film wajib pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Setelah Orde Baru berakhir, film ini secara resmi tidak ditayangkan lagi di televisi sejak 30 September 1998. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam melacak siapa yang berperan di balik penghentian penayangan film itu. "Dari Purnama Suwardi, wartawan senior TVRI , saya beroleh informasi, film itu tidak diputar lagi atas permintaan masyarakat," kata Asvi dalam Menguak Misteri Sejarah. Asvi kemudian mendapat informasi penting bahwa tokoh yang meminta penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI adalah Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Sri Mulyono Herlambang, mantan KSAU (1965-1966) yang menjabat ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI). Namun, Asvi tidak menemukan arsip surat pada sekretariat Persatuan Purnawirawan AURI. Selain dari PP AURI, permintaan penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI juga datang dari Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarah, mantan KSAU (1973-1977). Saleh menelepon Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi karena menyudutkan TNI AU. "Saya mendengar pengakuan dari Saleh Basarah bahwa pada tahun 1998 dia menelepon Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono agar film Pengkhianatan G30S/PKI tidak diputar lagi. Di dalam film tersebut terkesan bahwa 'Halim adalah sarang pemberontak'," kata Asvi. Asvi mendengar pengakuan itu ketika dijamu makan siang di rumah Saleh Basarah pada 2 Mei 2009 dalam rangka persiapan peluncuran biografi Saleh Basarah berjudul Perjalanan Hidup dan Pengabdianku . Menurut Asvi, TNI AU berkepentingan agar film propaganda itu tidak ditayangkan lagi karena TNI AU dituding terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Omar Dani dipenjara selama 29 tahun karena dituduh terlibat G30S. "Akibatnya, sepanjang Orde Baru stigma negatif itu melekat pada korps ini. Peluang untuk meluruskan sejarah AURI baru terbuka setelah kejatuhan Soeharto," kata Asvi. Permintaan mantan KSAU itu disambut baik oleh Yunus Yosfiah, seorang jenderal TNI AD dan veteran perang di Timor Timur. Dia memutuskan film Pengkhianatan G30S/PKI tidak akan ditayangkan lagi mulai 30 September 1998.
- Anak Pahlawan Revolusi Kecewa Film Pengkhianatan G30S/PKI
PADA 1986, keluarga Nani Nurrachman Sutojo kembali ke Indonesia dari penugasan di Amerika Serikat. Nani adalah anak dari Mayjen TNI (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan pada dini hari 1 Oktober 1965. Saat itu, sedang marak pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Setiap tanggal 30 September, film ini diputar di televisi dan menjadi tontonan wajib segala usia. Pada 30 September 1986, Nano anak bungsu Nani yang berusia delapan tahun menonton dengan tekun seluruh film berdurasi tiga jam itu. Nani mendampinginya. Alangkah terkejutnya Nani ketika selesai nonton, Nano menanyakan, “ Ma…what is a communist? Was it them who killed Eyang Tojo? ” Nani terdiam, berpikir keras, apa yang harus dikatakan kepada anaknya, sementara dia sendiri belum memiliki jawaban untuk diri sendiri. “Tunggu ya, No. Pertanyaan itu sama sulitnya dengan pelajaran Matematika kamu di sekolah. Sampai kamu menyebutnya ‘mati-matian’. Tunggu sampai kamu cukup umur untuk bisa mengerti apa yang nanti Ibu jelaskan,” kata Nani dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965 suntingan Imelda Bachtiar. Malam harinya, Nani salat dan menangis. Dia menyadari bahwa dialah yang sebenarnya ditanya oleh Tuhan: sudahkah engkau selesai dengan dirimu? Sebab bagaimana bisa menjelaskan dengan baik bila belum bisa menyelesaikan trauma diri sendiri. Nani terus terang bahwa film ini menerbitkan gundah: apakah seperti ini informasi yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965? Apa sebetulnya yang ingin disampaikan film ini? Film ini panjangnya luar biasa, tetapi tidak berhasil mengangkat situasi sosial yang sedang terjadi saat itu. Nani mengira film ini juga menggambarkan gejolak sosial masyarakat saat itu yang tidak terlepas dari peristiwa 1965. Semacam film sejarah yang menukik. “Saya kecewa. Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan menonjolkan Pak Harto. Bukan saya tidak setuju pada peran Soeharto sebagaimana digambarkan melalui film itu, hanya film itu tidak menceritakan konteks sosial yang lebih dalam. Penonton, apalagi generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu meletus pasti tidak akan paham karena gambarannya tidak utuh,” kata Nani. “Kata ‘pengkhianatan’ pada judulnya juga mengundang tanda tanya besar untuk saya dan tentunya juga siapa pun yang menonton dengan kritis, ‘pengkhianatan kepada siapa?’ semakin berat dan semakin sulit jawabannya, karena sekali lagi, tak ada konteks sosial di dalamnya, baik sebelum atau sesudah peristiwa 1965,” kata Nani. Nani berusaha keluar dari trauma dan melakukan rekonsiliasi. Dia dan mereka yang orangtuanya terlibat dalam sejarah gelap bergabung dalam wadah rekonsiliasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang didirikan pada 25 Mei 2003. Dalam FSAB terdapat keluarga Pahlawan Revolusi, anak dan cucu tokoh PKI, DI/TII, PRRI/Permesta, korban konflik bersenjata sampai mereka yang dulu ayah atau kakeknya saling berseberangan ideologi politik. “Kami berhasil berkumpul dalam suasan akrab dan tanpa prasangka, malah mampu mengahasilkan tekad untuk berhenti mewariskan konflik dan berhenti membuat konflik baru,” kata Nani.
- Belanda Mulai Teliti Agresi Militernya ke Indonesia
SEORANG pria, kelihatan lebih dari 70 tahun, berdiri meminta waktu bicara, memperkenalkan diri sebagai veteran perang Belanda. Tidak ada pertanyaan darinya kecuali pernyataan keberatan istilah yang berulang kali digunakan oleh para pembicara: kejahatan perang ( oorlogsmisdaden ). Kamis malam tadi, pukul 20:00 waktu Belanda, veteran serdadu tersebut hadir di gedung Pakhuis De Zwijger, Amsterdam bersama sekitar duaratus orang peserta acara peluncuran program penelitian dekolonisasi lainnya. Remy Limpach, penulis buku De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Kampung-kampung yang Ter(di)bakar Jenderal Spoor) yang berhasil mengungkap kekerasan masa agresi militer Belanda di Indonesia tampil sebagai salah satu pembicara. Temuannya itu menggemparkan Belanda. Foto-foto kekerasan serdadu Belanda di Indonesia kurun tahun 1946 sampai 1949 yang ada dalam bukunya, terpampang di berbagai media massa. Mendorong para politikus Belanda membawa topik tersebut sebagai perdebatan di dalam parlemen dan, akhir tahun lalu keluar keputusan pemerintah untuk mendanai penelitian besar tersebut. Tiga lembaga bakal menjadi pelaksana proyek penelitian itu, Lembaga Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan (KITLV), Lembaga Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida (NIOD) dan Lembaga Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH). Penelitian yang disponsori oleh pemerintah Belanda tersebut memperoleh dana 4,1 juta euro atau sekitar 60 milyar rupiah lebih dan akan dilakukan selama empat tahun ke depan. Ireen Hoogenboom, kordinator penelitian untuk wilayah Indonesia, dalam keterangannya mengatakan proyek ini juga melibatkan pihak Indonesia. “Ada dua sejarawan dari Universitas Gadjah Mada yang akan terlibat di dalam penelitian ini, sejarawan Bambang Purwanto dan Abdul Wahid,” kata Hoogenboom dalam presentasinya semalam. Proyek penelitian ini mengundang kontroversi karena banyak hal tentang perang Belanda di Indonesia yang akan terungkap, termasuk praktik kekerasan di dalamnya. Gert Oostindie, pemimpin proyek ini, menyampaikan kepada publik bahwa perang Belanda di Indonesia adalah perang terbesar yang pernah terjadi pada masa sejarah modern mereka. Frank van Vree, direktur NIOD, membeberkan lebih lanjut sembilan proyek penelitian yang akan dilakukan. Termasuk di dalamnya tiga proyek yang melibatkan Indonesia, yaitu periode Bersiap, kajian regional di pelbagai wilayah Indonesia dan laporan para saksi mata. Di Belanda periode Bersiap dikenal sebagai periode kekerasan yang dialami oleh orang-orang Belanda, kalangan Indo berdarah campuran dan warga minoritas lain. Pelaku kekerasan itu menurut mereka adalah orang-orang Indonesia. Tetapi menurut Remy Limpach situasi selama periode Bersiap ini lebih rumit lagi. Menyebutnya sebagai perang saudara, peneliti keturunan Belanda Swis ini melihat waktu itu kekerasan juga terjadi di kalangan orang Indonesia sendiri, antara mereka yang pro kemerdekaan dan pro kembalinya Belanda. Yang jelas istilah kekerasan kalangan Indonesia sudah muncul dalam jumpa pers Perdana Menteri Mark Rutte awal Desember 2016 ketika dia mengumumkan dukungan pemerintah bagi penelitian besar ini. Menurut Rutte penelitian ini tidak hanya mengarah pada ulah kalangan militer, tetapi juga peran kalangan politik, pemerintahan dan kehakiman. Dia berlanjut, “Juga kekerasan Indonesia dalam apa yang disebut periode Bersiap, termasuk keputusan di Den Haag dan kejadian setelah 1949.” Pada saat itu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Silang pendapat tajam juga terjadi dalam diskusi semalam. Penyelenggara dinilai tidak berhasil mendatangkan para pengkritik rencana penelitian besar ini. Nama Jeffry Pondaag berkali-kali disebut, dia adalah aktivis komite hutang budi Belanda yang menggugat pemerintah Belanda atas pelbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia semasa perang kemerdekaan. Bersama pengacara Liesbeth Zegveld ahli waris korban itu sekarang memperoleh ganti rugi, seperti diputuskan oleh pengadilan. Begitu selesai, ketika keluar hadirin disodori selebaran yang mengkritik penelitian ini. Kalau pemerintah Belanda ingin meneliti periode Bersiap, bagaimana dengan Perang Aceh dan perang-perang lain di Hindia Belanda? Mengapa itu diabaikan? Koran terkemuka di Belanda, NRC Handelsblad , menulis proyek penelitian ini sebagai upaya untuk melihat sejarah dengan cara yang lain ( Een andere kijk op de geschiedenis ). Semenjak perang usai, sebagian besar publik Belanda menerima versi sejarah pemerintahnya yang menyebut kedatangan serdadu mereka ke Indonesia sebagai “aksi polisionil”. Ini berbeda dengan apa yang publik Indonesia pahami bahwa aksi tersebut merupakan agresi militer ke negara yang sudah merdeka dan berdaulat.
- Riwayat Panggilan Hormat Pada Pejabat
Arteria Dahlan, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP, protes tidak dipanggil dengan sebutan “Yang Terhormat” oleh pimpinan KPK dalam Rapat Dengar Pendapat pada 11 September 2017. Dia menyebut bahwa Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol.) Tito Karnavian juga memanggil anggota DPR dengan sebutan “Yang Terhormat” bahkan Tito Karnavian terkadang menyebut “Yang Mulia.” Publik menilainya negatif dan menyebut anggota DPR “gila hormat.” Dalam sejarah Indonesia, pernah ada panggilan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia, dan Padukan Tuan. Jenderal Polisi (Purn.) Awaluddin Jamin, mantan Kapolri (1978-1982), mengalami masa ketika sebutan tersebut digunakan dalam rapat-rapat pemerintahan. “Saya menjadi Kepala Seksi Umum dari 1955 sampai 1959, di bawah Kapolri Said Soekanto. Saya mendampinginya saat rapat, lalu mencatat apapun yang disampaikannya. Saat itu ya, kalau rapat, Soekanto dipanggil oleh anak buahnya Paduka Tuan Soekanto. Kan dulu berlaku panggilan Paduka Yang Mulia Presiden, Yang Mulia Menteri, dan Paduka Tuan. Kalau Soekanto memanggil bawahannya dengan sebutan tuan-tuan,” kata Awaluddin kepada Historia . Sejarawan Peter Kasenda yang banyak menulis buku tentang Sukarno mengatakan bahwa panggilan Paduka Yang Mulia muncul dari orang-orang di sekitar Sukarno. Hal ini berbeda dengan panggilan yang muncul pasca Demokrasi Terpimpin, yakni Pemimpin Besar Revolusi. “Pemimpin Besar Revolusi itu dari Sukarno sendiri. Dalam pidato-pidatonya dia sering bilang kalau dia adalah penyambung lidah rakyat. Tapi kalau penyebutan Paduka Yang Mulia itu menurut saya dari orang-orang sekitar istana,” kata Peter Kasenda kepada Historia . Sebutan Pemimpin Besar Revolusi disahkan melalui TAP MPRS No. II/MPRS/Mei 1963 sekaligus menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Namun, menurut Barlan Setiadijaya dalam 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia , sebutan Paduka Yang Mulia dan sebagainya merupakan warisan feodalisme Jepang. Kebiasaan menambah san (tuan), kan (paduka tuan), kaka (yang mulia) digunakan sejak awal kemerdekaan. Tapi pada 6 September 1945, Presiden Sukarno membuat pengumuman di media massa terkait sebutan Paduka Yang Mulia, sebagai berikut: “Ketjoeali dalam oeroesan jang resmi-resmi benar mengenai NEGARA REPOEBLIK INDONESIA, maka saja minta didalam seboetan sehari-hari diseboet ‘BOENG KARNO’ sadja, djangan ‘PADUKA JANG MOELIA’. Djakarta, 6 September 1945. ttd. SOEKARNO.” Sebutan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia dan Paduka Tuan digunakan selama masa Orde Lama dalam acara-acara resmi pemerintahan. Sampai-sampai Soetedjo menciptakan lagu Oentoek PJM Presiden Soekarno pada 1963 dan dinyanyikan oleh Lilis Suryani. Sebutan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia, dan Paduka Tuan dihapuskan melalui TAP MPRS No. 31/1966 karena mencerminkan feodalisme dan kolonialisme serta tidak egaliter. Penggantinya dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari.






















