top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Lambang Polri Sebelum Gajah Mada

    POLISI Republik Indonesia disebut Korps Bhayangkara merujuk kepada nama pasukan yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada. Maka, lambangnya pun patung Gajah Mada. Ternyata, sebelum Gajah Mada, lambang Polri adalah patung Arjuna dan Sri Kresna. Hal itu terungkap dalam biografi terbaru Kapolri pertama, Jenderal Polisi RS Soekanto Tjokrodiatmodjo karya Awaloedin Djamin, mantan Kapolri, dan G. Ambar Wulan. Pada 1 Juli 1955, diadakan peresmian gedung baru Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia sekaligus peringatan Hari Bhayangkara. Di sebelah kiri gedung terdapat patung Sinar dan Bayangan berwujud patung dua manusia tidak sempurna (pendek) yang menggambarkan hujwala (getaran) pribadi sang Begawan Ciptoning (Arjuna) dan Sri Kresna. Makna pertama dari patung tersebut melambangkan Tri Brata sebagai pedoman Kepolisian yang bersifat sederhana dalam menghadapi sukses yang dicapai, satria dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, dan waspada dalam segala hal. Makna kedua, sebagai warna simbol kepolisian, yaitu kuning (sinar disamakan dengan pikiran) dan hitam (bayangan diartikan selalu menjaga dengan watak kepribadian kepolisian). Makna ketiga, sebagai lambang 17 Agustus 1945 yang disimbolkan dalam bentuk obor yang dipegang Arjuna dan dijaga oleh Sri Kresna. Pahatan yang terletak di tiang berbentuk lingkaran menggambarkan bagian-bagian kepolisian, meliputi pendidikan umum, reserse, mobile brigade, lalu lintas, dan sebagainya. Dasar bangunan terdiri dari tujuh lapis melambangkan angka suci yang mengandung arti bersih, sebagaimana pandangan kitab Injil yang mengatakan dunia terbentuk dalam waktu tujuh hari dan tujuh malam dan Alquran yang menyebutkan adanya langit lapis ketujuh sebagai tempat bagi arwah manusia yang masih hidup dengan bersih. Menurut Awaloedin dan Ambar, pembuatan patung tersebut bermula dari ilham yang diterima Soekanto yang dituangkan dalam bentuk patung oleh seorang pemahat, Ny. Tjokro Soeharto. Patung itu, menurut Ny. Tjokro Soeharto, melambangkan kepribadian Polisi Negara. Arjuna memegang obor menyala dengan tangan kanannya dan Sri Kresna memperlihatkan sikap siap menjaga jangan sampai api tersebut padam. Patung tersebut kemudian diganti dengan patug Gajah Mada.*

  • Asal-Usul Istilah Perang Dingin

    PADA 16 April 1947, istilah perang dingin (cold war) pertama kali diusulkan untuk menyebut konflik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.  Kamus Besar Bahasa Indonesia  daring mengartikan “perang dingin”: 1. perang tanpa mengangkat senjata, hanya saling menggertak 2. suasana internasional yang sangat tegang dan bermusuhan yang diakibatkan oleh konflik ideologi antara Blok Barat (liberal kapitalis) dan Blok Timur (sosial komunis) yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua.  Pada akhir Perang Dunia II, penulis Inggris George Orwell telah menggunakan “perang dingin” sebagai istilah umum dalam esainya “You and the Atomic Bomb” di surat kabar Inggris, Tribune , 19 Oktober 1945, tentang hidup dalam ancaman perang nuklir dan dunia yang terpolarisasi.  Orwell kembali menyebut istilah “perang dingin” dalam tulisannya di The Observer , 10 Maret 1946: “setelah konferensi Moskow pada Desember lalu, Rusia mulai melakukan ‘perang dingin’ terhadap Inggris dan Kerajaan Inggris.”  Istilah “perang dingin” pertama kali digunakan secara spesifik untuk menggambarkan konfrontasi geopolitik antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam pidato Bernard Mannes Baruch, penasihat Presiden Amerika Harry Truman, tanggal 16 April 1947. Pidato tersebut ditulis oleh jurnalis Herbert Bayard Swope.  Dalam The Age of Containment , David Rees menyebut kala berdiri di hadapan House of Representatives di South Carolina, Amerika, Baruch berkata: “Hari ini kita berada di tengah Perang Dingin. Musuh kita (Soviet-Komunisme) bisa ditemukan baik di luar maupun di dalam negeri.”   Koran New York Herald Tribune lantas mempopulerkan istilah “perang dingin” pada September 1947. Istilah “perang dingin” semakin terkenal setelah kolumnis Walter Lippmann (1889–1974) menerbitkan buku The Cold War: A Study in U.S. Foreign Policy (1947).   Ketika ditanya pada 1947 tentang sumber istilah “perang dingin”, Lippmann menelusurinya ke istilah Perancis dari tahun 1930-an, la guerre froide (perang dingin).  Bagaimana bisa terjadi Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet? Selepas Perang Dunia II berakhir pada 1945, hubungan Amerika dan Uni Soviet merenggang. Mereka tak lagi bersekutu karena perbedaan kepentingan.   Amerika mencoba membangun kembali negeri-negeri yang hancur akibat perang dengan ideologi dan ekonomi liberal-kapitalistik. Sedangkan Uni Soviet berusaha meluaskan pengaruh komunisme ke seluruh dunia. Amerika dan Uni Soviet pun terlibat konflik meski tak secara terbuka.   Beragam cara ditempuh Amerika dan Uni Soviet, antara lain menggelontorkan bantuan ekonomi dan propaganda politik. Tujuan mereka jelas untuk memperoleh kekuatan dari banyak negara guna mengukuhkan keadikuasaannya.*

  • Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka

    PADA dekade 1970-an, Harry A. Poeze bertandang ke Menteng, Jakarta Pusat. Sejarawan Belanda itu tengah mengadakan riset tentang perjuangan Tan Malaka dalam revolusi Indonesia. Poeze bersua dengan Maroeto Nitimihardjo, tokoh Partai Murba, partai yang dibentuk Tan Malaka tahun 1948. “Dia adalah informan yang penting,” ujar Poeze dalam acara bedah buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo karya Hadijojo Nitimihardjo yang diselenggarakan Tan Malaka Institute di Gedung Joang, Menteng, Jakarta Pusat, 24 Maret 2017. “Sepintas dia terlihat moderat tapi nyatanya sangat radikal,” ungkap Poeze menggambarkan sosok Maroeto. Maroeto Nitimihardjo lahir di Cirebon dari keluarga aristokrat, pada 26 Desember 1906. Persinggungannya dalam pergerakan diawali tatkala menjadi anggota Jong Java. Dia kemudian tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), salah satu organisasi pemuda yang menginisiasi Sumpah Pemuda. Menurut sejarawan Bonnie Triyana, kesaksian Maroeto yang dituturkan kepada putranya yang kelima, Hadidjojo dalam buku ini merupakan sumber sejarah yang bisa menjadi alternatif dalam memahami perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia. Jejak langkah Maroeto, menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, punya aspek menarik dan memberikan gambaran sejarah pada zamannya. Maroeto lahir di zaman kolonial dari kalangan status sosial menengah ke atas dan mendapat pendidikan ala Barat. Kemudian turut dalam gelanggang pergerakan nasional dan berjuang di zaman Jepang. Bersama Adam Malik, Maroeto turut membidani lahirnya Antara , cikal bakal kantor berita Indonesia. “Pergerakan Maroeto menjadi menarik karena di masa menjelang kemerdekaan, dalam buku ini dia menyatakan pemuda di kubunya adalah ‘kelompok tertutup,” tutur Bonnie. Dalam buku ini, Maroeto menyaksikan dan melakoni kisah lain di balik sejarah kemerdekaan Indonesia. Mulai dari langgam keroncong dalam lagu Indonesia Raya yang dialunkan WR Soepratman dalam Sumpah Pemuda hingga hingga kesakian tentang adanya testamen politik Bung Karno kepada Tan Malaka yang bertempat di kediaman Suharto, dokter pribadi Bung Karno, di Jalan Kramat raya, Jakarta Pusat. Sebagai seorang Murbais, persinggungan Maroeto dengan Tan Malaka tak serta merta. Muhammad Yamin-lah yang memperkenalkan Maroeto terhadap gagasan Tan Malaka. Saat Kongres Pemuda II, Yamin memberikan risalah Tan Malaka berjudul Massa Actie (Aksi Massa) dan Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Kendati demikian, sebagai seorang elite terdidik, Maroeto lebih memilih menjadi kader PNI Pendidikan yang dibentuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir hingga kedatangan Jepang. Di masa revolusi, Maroeto justru berseberangan dengan Sukarno-Hatta yang memilih berdiplomasi dengan Belanda. Program “Merdeka 100 persen” yang diserukan Tan Malaka pada Persatuan Perjuangan tahun 1946 menarik Maroeto menjadi pengikut Tan Malaka. Partai Rakyat yang dipimpinnya berfusi menjadi Musyawarah Orang Banyak atau Murba pada 7 November 1948 yang diketuai oleh Sukarni namun dipromotori oleh Tan Malaka. Di Partai Murba, Maroeto lebih banyak diam dan mengendalikan partai dari dalam. Pada dekade 1950-an, Maruto menjadi yang pertama mengeluarkan mosi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB). Dia menjabat Wakil Ketua Partai Murba antara 1952-1963 sebelum kemudian dibekukan pemerintahan Sukarno pada 1964. Hingga akhir hayatnya, Maroeto seorang Murbais yang konsisten ketika banyak tokoh Murba beralih haluan seturut dengan penguasa, seperti Adam Malik. Dia meninggal pada 17 Januari 1989. Kini, Maroeto yang telah menjadi perintis kemerdekaan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Ridwan Saidi yang juga turut sebagai pembicara mengapresiasi buku ini karna memperkaya perspektif sejarah. Kendati demikian, budayawan Betawi ini juga mengkritisi isi buku karena subjektivisme yang begitu kuat di dalamnya, terutama mengenai peran dan perjuangan kelompok Islam yang dipinggirkan.*

  • Kisah di Balik Bandung Lautan Api

    Kamis, 21 Maret 1946. Sebuah Dakota milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) melayang-layang di atas Kota Bandung. Alih-alih melemparkan bom, justru pesawat angkut tersebut menurunkan ribuan lembar kertas. Isinya: Para ekstrimis Indonesia harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol. Asikin Rachman sedang di wilayah Cicadas saat kertas-kertas itu berhamburan dari udara. Betapa terkejutnya pejuang dari Lasykar Hizboellah tersebut ketika membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Giginya gemeretak, darahnya mendidih. “Kami ini dianggap apa sama Inggris? Tanah, tanah kami sendiri. Negeri, negeri kami sendiri. Mengapa harus ikut perintah mereka?” ujar lelaki yang kini berusia 93 tahun itu. Asikin tidak sendiri. Puluhan ribu pejuang Bandung yang tergabung dalam TRI (Tentara Republik Indonesia) dan lasykar-lasykar rakyat juga merasakan hal yang sama: geram terhadap ultimatum Sekutu itu. Otomatis suasana panas tersebut menjadikan Bandung laksana api dalam sekam. Guna mencegah situasi tidak menentu, Residen Ardiwinangun selaku Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Jawa Barat hari itu juga berangkat ke Jakarta dengan didampingi oleh pemuda Mashudi. Sesampai di Jakarta mereka lantas menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan meminta petunjuk lebih lanjut. Sjahrir hanya mengatakan bahwa sesungguhnya pemerintah pusat menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu. “Tapi kalau saudara-saudara tidak setuju, terserah apa yang mau saudara-saudara lakukan. Mau membumihanguskan Bandung, ya terserah. Bumihanguskan saja!” demikian seperti dikutip Mohamad Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pesan itu lantas diteruskan oleh Ardiwinangun dan Mashudi via telepon pada 22 Maret 1946. Seiring datangnya pesan dari Jakarta tersebut, tiba pula telegram dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta kepada para pejuang Bandung. Isinya tegas: pertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah! Sore harinya, giliran Kolonel AH Nasution, Komandan Divisi III TRI, berangkat ke Jakarta. Bukannya mempertegas sikap MBT, pemerintah pusat justru memerintahkan Nasution untuk menuruti ultimatum Sekutu. “Itu diperintahkan Perdana Menteri Sjahrir setelah permintaannya agar ada perpanjangan waktu untuk pelaksanaan pemunduran itu ditolak Komandan Tertinggi Sekutu di Jakarta,” tulis Rivai. Sementara Nasution masih di Jakarta, Jenderal Hawthorn, Komandan Divisi India ke-23, di Bandung merangsek maju. Pada 23 Maret 1946 sekitar jam 16.00, lewat radio dia mengumumkan bahwa Bandung Selatan akan dibersihkan dari unsur-unsur bersenjata. “Kepada warga sipil, Hawthorn meminta untuk tenang dan meninggalkan rumah selama periode tersebut…” tulis John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Nyatanya sebagian besar rakyat Bandung tidak mengindahkan seruan dari Hawthorn. Alih-alih bertahan, mereka berbondong-bondong meninggalkan Bandung menuju wilayah pinggiran. “Bahkan sebelum ada perintah bumi hangus, sebagian dari mereka sudah membakar lebih dahulu rumah-rumahnya sebelum pergi mengungsi,” kenang Asikin. Pagi 24 Maret 1946, Nasution sudah kembali di Bandung. Dengan berat hati, dia menginstruksikan kepada bawahannya untuk menuruti ultimatum Sekutu seperti diminta pemerintah pusat. Instruksi itu ditolak secara keras oleh para bawahannya yang diwakili oleh Letnan Kolonel Omon Abdurrachman, Komandan Resimen Kedelapan TRI. Nasution pun berang. “Kamu masuk TRI adalah untuk mematuhi seluruh permintaan atasan! Sebagai Komandan Divisi III, saya memerintahkan kepada kamu: tidak boleh turut dalam gerakan pembakaran dan perusakan-perusakan Kota Bandung!” bentak Nasoetion. “Baik Kolonel, kalau kami tidak boleh melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan… Saya akan melanjutkan berjuang bersama kaum “ekstrimis”!” ujarnya sambil meletakan tanda pangkatnya di depan Nasution. Setelah memberi hormat, Omon pun bergerak menuju Markas Resimen Kedelapan. Menurut Rivai, dia selanjutnya terlibat dalam operasi bumi hangus Bandung bersama anak buahnya dan ribuan rakyat Bandung. Tepat jam 12 malam, beberapa titik api mulai terlihat di seluruh penjuru kota disusul kemudian oleh api-api berikutnya. Dan Bandung pun menjadi lautan api.

  • Dokter Perempuan Pertama Indonesia

    Google membuat google doodle  Marie Thomas untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-125. Marie Thomas lahir di Likupang, Manado, pada 17 Februari 1896. Dia lulusan Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen atau Sekolah untuk Pendidikan Dokter Bumiputera). Stovia mulanya hanya menerima murid laki-laki. Menurut sejarawan Belanda, Liesbeth Hessleink dalam “Marie Thomas (1896-1966), de eerste vrouwelijke arts in Nederlands-Indie”, dimuat Javapost.nl , 6 September 2012, diterimanya perempuan tak lepas dari pengaruh Aletta Henriëtte Jacobs. Aletta merupakan dokter perempuan pertama di Belanda yang aktif dalam gerakan feminisme Eropa. Pada 1911, dia melakukan tur keliling dunia selama 16 bulan bersama rekannya, Carry Chapman Catt. Tujuannya untuk menyaksikan dan mengevaluasi kondisi sosial politik perempuan di berbagai wilayah termasuk Hindia Belanda. Marie Thomas (1896-1966) Pada 18 April 1912, Aletta singgah di Batavia dan bertemu dengan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg. Dalam pertemuan itu, dia mengusulkan agar perempuan bumiputra memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan kedokteran. Menurutnya, keberadaan dokter perempuan amat penting untuk melayani pasien perempuan. Dia juga mengkritik akal-akalan pihak sekolah menolak perempuan jadi murid dalam sekolah kedokteran. Harapan Aletta terwujud. Dengan beasiswa dari Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA) atau Yayasan Dana Pendidikan Dokter Perempuan, Marie Thomas masuk Stovia tahun 1912. Dua tahun kemudian siswi kedua, Anna Warouw, diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Keduanya orang Minahasa, Manado. Lulus tahun 1922, Marie Thomas bekerja di Centraal Burger Ziekenhuis (CBZ, kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Batavia. Dia kemudian menjadi spesialis bidang ginekologi dan kebidanan pertama di Indonesia. Sedangkan Anna Warouw menjadi spesialis THT.

  • Selma dan Sejarah yang Berlari Terlalu Cepat

    Sambil bercermin dan memasang ascotnya, pria kulit hitam itu bermonolog. “Kuterima kehormatan ini untuk orang-orang yang telah berkorban. Yang kematiannya telah membuka jalan kita. Dan untuk 20 juta pria dan wanita negro. Terhina oleh martabat dan penghinaan atas keputusasaan,” katanya. Martin Luther King Jr. (diperankan David Oyelowo), pria kulit hitam itu, langsung sadar monolognya membuyarkan konsentrasi sehingga dia salah memakai ascot. Dalam sekejap, adegan itu langsung berganti pada adegan lain: Istri King, Coretta Scott (Carmen Ojogo), buru-buru datang membantunya. Sutradara Ava DuVernay membuat adegan pembuka yang apik dengan memadukan dua setting berbeda dalam waktu hampir bersamaan. Didukung dengan visual effect canggih, pergantian berlangsung sangat halus. Adegan pembuka menceritakan King dan istrinya yang sedang bersiap menghadiri penganugerahan Nobel Perdamaian tahun 1964. Penghargaan bergengsi itu merupakan ganjaran atas perjuangan King selama bertahun-tahun dalam mewujudkan hak-hak asasi negro Amerika Serikat. King aktivis pejuang keadilan hak-hak asasi warga kulit hitam Amerika Serikat sejak muda. Dialah yang menggagas dan memimpin aksi boikot bus di Montgomery pada 1955. Pada 1957, King ikut membidani lahirnya Christian Leadership Conference (SCLC). Selma mengisahkan perjuangan Martin Luther King Jr. dan teman-temannya dalam mewujudkan hak pilih warga Afro-Amerika yang dimulai dari kota kecil Selma di negara bagian Alabama. Di kota tersebut, praktik rasialis kala itu terus berlangsung. Setelah adegan penganugerahan nobel sebagai simbol pencapaian perjuangan King dan teman-temannya, sutradara membawa mundur ( flashback ) penonton ke perjuangan mereka. Adegan pertemuan King saat dijamu Presiden Lyndon B Johnson (Tom Wilkinson) –yang lebih menyukai perjuangan King yang memuat pesan damai, dibanding perjuangan Malcolm X. Di lapangan, realitas yang ada berbeda dari yang dikatakan Johnson bahwa pemisahan kulit putih-kulit hitam di Amerika sudah tak ada lagi di masa pemerintahannya. Di negara bagian-negara bagian selatan, kata King, intimidasi, penyerangan, bahkan pembunuhan rasial terhadap warga kulit hitam masih banyak. Yang tak kalah penting, negro tetap tak mendapatkan hak memilih ( vote ). Annie Lee Cooper (Oprah Winfrey) mengalaminya saat mendaftar untuk mendapat kartu pemilihan umum. Oleh karena itu King mendesak Johnson agar pemerintah federal mengeluarkan undang-undang yang menjamin hak warga kulit hitam untuk bebas memilih, mengakui tindakan rasialnya selama 20 tahun, dan menghukum para oknum aparat. Penolakan Johnson, dengan alasan pemerintahannya sedang fokus pada pemberantasan kemiskinan, membuat warga kulit hitam berjuang sendiri melawan diskriminasi. King dan empat temannya berangkat ke Selma, Alabama dari Atlanta, Georgia. “Di sinilah tempat yang kita butuhkan. Di sinilah medan pertempuran selanjutnya,” Kata Diane Nash (Tessa Thomson), satu-satunya perempuan dalam mobil yang ditumpangi King. Di kota kecil itulah perjuangan mereka berawal. Berbagai halangan datang menghampiri mereka, dari mulai pemukulan King oleh seorang pemuda kulit putih di hotel, penyerangan dan penangkapan beberapa aktivis saat aksi damai ke Pengadilan Selma, hingga pembunuhan aktivis Jimmie Lee Jackson. King dan beberapa temannya juga sempat ditahan karena dianggap mengobarkan kerusuhan. Sutradara DuVernay lagi-lagi melakukan “manuver” baik. Saat King dipenjara, dia mengisi slot kosong dengan adegan kunjungan Malcolm X kepada istri King, Coretta. Kunjungan itu menjadi cerita tersendiri yang menggambarkan hubungan King dan Malcolm. Kesan negatif terhadap Malcolm itu diceritakan King saat dia menceritakan kepada Coretta yang membesuknya tak lama kemudian. Adegan kunjungan Malcolm kepada Coretta menjadi cerita penghubung menarik untuk menjelaskan bagaimana hubungan kedua tokoh perlawanan warga kulit hitam itu. DuVernay terampil dalam membangun plot dan mengisinya dengan adegan-adegan yang pas. Adegan long march King dan warga kulit hitam pada 21 Maret 1965 ke Montgomery, yang berbuntut rusuh dan membuat Johnson marah, sangat pas ditempatkan di bagian akhir film sehingga menimbulkan kesan heroik pada diri King. Puncaknya terjadi di akhir, saat Presiden Johnson berpidato sekaligus mengumumkan berlakunya Voting Righ Act atau hak memilih bagi warga kulit hitam. Dikriminasi dan Rasialisme Hingga kini diskriminasi rasial di negeri Paman Sam masih belum tuntas. Kendati tak sebanyak dan segamblang dulu, tapi kejadian serupa masih kerap terjadi. Penyebabnya beragam, mulai hal-hal sepele seperti lebih sukanya polisi menangkap pengguna narkoba kulit hitam ketimbang pengguna kulit putih, hingga tindakan diskriminatif lain. Awal 2015, kota Baltimore dilanda kerusuhan rasial. Kisahnya berawal dari terbunuhnya seorang tahanan kulit hitam di sebuah penjara. Insiden itu memicu aksi protes yang disertai kekerasan yang mengakibatkan banyak korban luka-luka dan kerusakan parah di kota. Untuk mengatasi keadaan, Gubernur Maryland Larry Hogan menerapkan status keadaan darurat dan mengaktifkan Garda Nasional. Empat puluh tujuh tahun silam, kota ini juga mengalami peristiwa serupa. Pembunuhan Martin Luther King Jr. pada April 1968 memicu negro Baltimore melakukan protes keras, penjarahan, dan melawan aparat keamanan. Peristiwa itu lalu menyebar ke kota-kota lain. Sampai-sampai presiden harus turun tangan menghentikan kerusuhan itu. Penyebab utama dari peristiwa kerusuhan itu adalah ketidakadilan yang sering diterima oleh warga kulit hitam. Mereka bak warga negara kelas dua yang tak pernah dianggap sebagai prioritas. Itu pula alasan kenapa mayoritas negro AS miskin. Sebuah poling pada 2012 menunjukkan, 51 persen warga Amerika masih memiliki sentimen negatif terhadap kaum negro. Angka itu meningkat sekitar tiga persen dari survei pada 2008. Visualisasi dalam Film Sutradara DuVernay jeli membaca dan menangkap keadaan tersebut. Pemilihan sudut pandang secara tematis pada perjuangan King dan warga kulit hitam AS mewujudkan UU Hak Memilih Warga Kulit Hitam secara teknik menjadikan film ini menarik tapi juga menghabiskan energi banyak untuk membuatnya. Dia tak terjebak pada biopic yang menjemukan: bertele-tele pada jalur cerita kronologis. Dan yang lebih penting, sudut pandang DuVernay membuat Selma aktual dengan kondisi AS kini. DuVernay juga membuat Selma seakan menjadi gambaran realita perjuangan warga kulit hitam Amerika kala itu. Tak berlebihannya penonjolan figur King membuat figur-figur lain mendapat tempat cukup, dan menjadikan Selma bukan monopoli perjuangan King. Namun dalam filmnya kali ini DuVernay “pelit” humor. Bila dibandingkan Kenau , misalnya, Selma terasa lebih “berat”. Film ini menjadi cerminan tentang Amerika yang tak pernah berhenti menghadapi persoalan rasialisme. Bahkan bangsa sebesar Amerika yang mengklaim sebagai pengusung utama nilai-nilai kebebasan dan demokrasi pun terseok-seok menghadapi persoalan itu. Film ini seakan menggugat kebebasan dan kesetaraan yang sering diajarkan oleh Amerika kepada bangsa-bangsa lain di dunia.

  • Belanda Mengganggu Kemerdekaan Aceh

    EMPAT kapal Belanda membuang sauh di Pantai Bandar Aceh. Tak lama kemudian juru bahasa Belanda, Said Tahir menghadap Sultan Alaudin Mahmud Syah, untuk menyampaikan surat dari Komisaris FN Nieuewenhuysen. Isi surat tersebut sangat mengejutkan karena Sultan Aceh diminta mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Tentu saja, Sultan menolaknya. Surat-surat berikutnya juga dijawab dengan tegas bahwa Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Empat hari kemudian, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian dengan Inggris dalam Traktat London yang menyebutkan bahwa Belanda dilarang mengganggu kemerdekaan Aceh. Pada serangan pertama, Belanda mengerahkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Dalam serangan ini, Kohler berhasil ditembak mati. Pada 1874, serangan kedua Belanda mengerahkan 8.000 tentara. Letjen J. van Swieten mengumumkan telah menguasai Banda Aceh. Namun, kenyataannya, rakyat Aceh terus melancarkan perlawanan hingga tahun 1904. Perang Aceh (1873-1904) menjadi perang terlama, terkuat, dan terbesar yang dihadapi Belanda, karena rakyat Aceh didorong oleh motivasi keagamaan melawan kaphee (kafir) yang dikenal sebagai Perang Sabil. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I , Perang Aceh menelan banyak sekali biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang tewas. Di pihak Belanda 35.000 serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) tewas. Mereka yang menderita luka-luka seluruhnya satu juta orang.*

  • Aming yang Dilupakan

    Pada 1973, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menggelar lomba desain logo untuk Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Salah satu jurinya adalah pelukis sekaligus kritikus seni rupa, Koesnadi. Lomba ini sampai dihelat dua kali karena dewan juri belum juga mendapatkan logo yang cocok untuk Korpri yang baru berumur dua tahun. Korpri dibentuk Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 tentang pembentukan Korpri sebagai satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri sipil (PNS). Tujuannya untuk menggiring PNS dan keluarganya agar memberikan suara bagi Golkar. Saat itu, Menteri Dalam Negeri Amirmahmud merangkap sebagai Ketua Korpri. Pihak penyelenggara lomba logo frustrasi. Akhirnya, pihak Departemen Dalam Negeri meminta beberapa pelukis antara lain Aming Prayitno, Mujitha, Suharto PR, dan beberapa seniman lain dari Bandung dan Jakarta, untuk merancang logo Korpri. Rancangan karya Aming yang terpilih. Dia mendapatkan hadiah Rp50.000 dan piagam penghargaan Nomor Peng. 02/K.III/wan/73 tertanggal 6 Maret 1973. Menurut Pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Mikke Susanto, logo Korpri karya Aming merupakan sekumpulan tanda yang disatukan dalam sebuah desain. Dalam logo tersebut tercantum beberapa simbol: Pohon Hayat atau Kalpataru merupakan pohon pelindung dan penyeimbang alam. Dalam pohon tersebut terdapat 17 ranting, 8 cabang, dan 45 daun sebagai simbol Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pohon tersebut menaungi sebuah siluet rumah yang memiliki 5 buah tiang yang melambangkan dasar negara Pancasila. Di bawahnya terdapat sayap yang menyiratkan kebebasan. Logo Korpri tersebut berwarna emas (atau kuning) sebagai warna paling mulia dan tinggi. “Logo ini lalu di-batik-kan. Maksudnya bukan batik dalam arti sebenarnya, tetapi dibuat sebagai baju seragam batik printing . Pakaian batik printing ini dipakai sebagai pakaian wajib dalam melaksanakan tugas sehari-hari para PNS,” ujar Mikke. Anehnya, kata Mikke, setelah mendapatkan sertifikat dan uang jasa pembuatan logo, Aming yang juga PNS sebagai dosen di STSRI Yogyakarta, tidak lagi mendapat peran apa pun. Bahkan, sebagai desainer logo, dia tak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya maupun hak kekayaan intelektual atas desainnya. Aming Prayitno lahir di Surakarta 9 Juni 1943. Dia pernah belajar seni di Koninklijk Akademie voor Schonkunsten di Gent, Belgia pada 1976, dan menyelesaikan studinya di STSRI Yogyakarta pada 1977.  Menurut Mikke, Aming dinilai oleh beberapa ahli sebagai salah satu perupa yang beraliran Lirical Abstraction atau Lirisisme. Aliran ini mulai berkembang di akhir dekade 1960 hingga 1970-an, di antara ramainya perdebatan dan polemik Manifesto Kebudayaan (Universalisme) melawan Manifesto Kerakyatan (Realisme Sosial). Lirisisme, terang Mikke, merupakan karya-karya yang memiliki kualitas dan proses kreatif yang bersifat personal, melahirkan ungkapan-ungkapan yang menitikberatkan pada perasaan dan emosi (liris). Dalam beberapa ungkapan visual terlihat intuitif, imajinatif, dekoratif dan nonformal improvisatoris, serta memiliki dimensi abstrak yang cukup kuat. Batik logo Korpri zaman Orde Baru menjadi motif batik paling dikenal dibanding motif batik lain. Maklum, batik itu menjadi atribut wajib PNS yang berjumlah ratusan ribu. Batik Korpri sempat surut di era Reformasi. Namun, tak lama kemudian muncul kembali motif batik baru untuk PNS masih menggunakan logo Korpri karya Aming Prayitno.  Aming Prayitno, pelukis yang merancang logo Korpri, meninggal dunia pada 24 Januari 2023.

  • Menebar Damai Lewat Reggae

    Untuk menepis anggapan miring tentang musik reggae, Muhammad Egar atau lebih dikenal dengan nama Ras Muhamad menulis sebuah buku berjudul Negeri Pelangi , yang diluncurkan bersama single album berjudul sama awal tahun 2014. Buku ini, buah dari perjalanannya ke Ethiopia, mengupas bukan hanya reggae tapi juga sejarah, semangat perlawanan, hingga Bob Marley, tokoh idolanya. Bob Marley dilahirkan di St. Ann Parish, Jamaika, pada 6 Februari 1945. Bakat bermusik dan menyanyinya berkembang di salah satu kota termiskin di Jamaika, Trench Town. Pada 1963, bersama Neville O’Rilley Livingstone dan Peter McIntosh, dia mendirikan grup band Wailing Wailers. Dari kota terkumuh di Jamaika, genre musik roots reggae yang Bob usung mendunia. Ditemui di sela kesibukan menyiapkan album keempatnya di sebuah studio musik di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Ras Muhammad berbagi cerita tentang tokoh idolanya. Kapan mulai mengenal sosok Bob Marley? Saya mengenal musik reggae pada 1993 namun baru tiga tahun kemudian menyukai genre root reggae yang disebarluaskan Bob Marley. Gara-garanya, saat saya sekolah setingkat SMP di New York, ada mata pelajaran yang menghubungkan musik dengan dampak sosial. Lagu-lagu Beatles dan Bob Marley menjadi bahan kajian. Salah satu lagu Bob yang dikupas adalah “Redemption Song”. Mengapa memilih Bob Marley? Saya suka perjuangannya, terutama pembelaannya terhadap bangsa Afrika, dengan cara yang manis melalui musik reggae. Pendapat radikal Bob tentang rakyat Ethiopia diungkap dalam lagu “Zion Train”: two thousand years of history, could not wiped away so easily . Jadi, Bob memandang sejarah identitas bangsa Afrika berusaha dihapuskan bersamaan datangnya kolonialisme bangsa kulit putih. Namun itu tak mudah. Salah satu yang bertahan dari gempuran kolonialisme adalah Ethiopia, sebagai satu kerajaan independen. Ras Muhamad. (Micha Rainer Pali/Historia.id) Alasan lainnya? Bob Marley pernah mengatakan, “don’t forget your history, know your destiny”. Kurang lebih berarti jangan lupakan sejarah, pahami takdirmu. Itu ada dalam lagu “Rat Race”. Dalam konteks kebangsaan, ini dapat dimaknai bahwa dengan mengetahui asal dan sejarah kita, maka kita bisa menentukan bagaimana akan melangkah ke depan. Kemudian dalam lagu “Zimbabwe”, ada lirik manis, every man gotta right to decide his own destiny . Setiap orang memiliki hak untuk mengontrol nasibnya. Seperti dirinya, Bob terlahir dari kalangan termiskin namun dia berjuang memperbaiki nasib hingga kita kenal sampai sekarang. Adakah semangat Bob Marley dalam karya Anda? Dalam bermusik, setidaknya saya mencoba menyuarakan suara-suara yang selama ini terpendam. Suara minoritas di negeri ini. Menurut Anda, adakah sisi kelemahan dari Bob? Plus-minus pasti ada, sebab dia juga manusia. Kalo minusnya ya dia lemah di depan perempuan. Istrinya satu, Rita Marley, melahirkan lima anak. Lalu dia punya delapan anak dari enam perempuan berbeda. Kabarnya, sampai sekarang, mereka akur satu sama lain. Namun, setidaknya dia tidak munafik dengan perempuan. Minus yang lain, dia keras kepala. Misalnya, dia menolak disebut punya kanker dan mengoperasi jempol kakinya di mana kanker itu bermula. Pada akhirnya, dia meninggal (11 Mei 1981) karena penyakit tersebut.

  • Adopsi demi Integrasi

    BILIKI, Petrus Kanisius, Iqbal Menezes, Zacarias Pereira, Benvindo bukanlah sekadar nama-nama. Mereka, bersama ribuan putra dan putri asal Timor Leste, mewakili sebuah tragedi. Mereka tercerabut dari akarnya di tengah perang dan pendudukan militer Indonesia.

  • Keadilan bagi Penyintas Peristiwa 1965

    Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius 1965-1966 (IPT 1965) dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyusul sesudahnya telah dilangsungkan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Keputusan Panel Hakim juga sudah diumumkan di Jakarta dan Amsterdam oleh Hakim Zac Yacoob pada 20 Juli 2016. Intinya bahwa aparat negara pada masa itu bertanggungjawab atas berbagai elemen kejahatan terhadap kemanusiaan. Menyusul hasil IPT 1965 itu, para pegiatnya telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan Komnas HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM 1965. Namun, hingga kini proses penyelesaian yang diharapkan malah tidak ada kejelasan. Karenanya, para pegiat IPT65 bersama Komnas Perempuan akan terus berjuang sampai tercapai penyelesaian yang adil bagi korban Peristiwa 1965. Ketua penyelenggara gelaran “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas,” Harry Wibowo, mengungkapkan bahwa banyak penelitian dan temuan terkait tragedi 1965 yang sudah diungkap. Di antaranya adalah temuan kuburan massal korban tragedi 1965 di sejumlah titik di Jawa. Akan tetapi, menurutnya, Komnas HAM belum melakukan tindakan berarti. “Karena itu kami menuntut adanya penyelidikan lanjutan oleh Komnas HAM agar temuan-temuan baru tersebut dapat memperkuat penelitian terdahulu yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Kami juga mengusulkan Komnas HAM melakukan proteksi terhadap temuan-temuan itu,” terang Harry Wibowo dalam konferensi pers penutupan acara “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas,” Minggu (19/3). Penyelidikan oleh pegiat IPT 1965 juga mengungkap kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan. Sayangnya, karena kewenangan Komnas Perempuan terbatas, penyelesaiannya juga menemui jalan buntu. Hal ini menjadi intensi Komnas Perempuan untuk ikut serta mendesak penyelesaian kasus kejahatan HAM di masa lalu. “Pengungkapan kebenaran harus dilakukan oleh negara. Komnas HAM harus menjalankan fungsi dan tugasnya yang istimewa, yaitu melakukan penyelidikan atas tragedi 1965 dan mendesak Presiden Joko Widodo agar peristiwa ini tidak terualang,” tegas Mariana Amirudin, perwakilan dari Komnas Perempuan. Sementara itu Panitia Kongres IPT 1965, Dolorosa Sinaga, mengatakan akan terus mengupayakan hasil-hasil persidangan di Den Haag yang pernah mereka gelar mendapat respons pemerintah. Untuk itu, pihaknya akan menggelar suatu kongres di tahun ini guna mempertegas dua upaya sebelumnya. “Kami sepakat meneruskan perjuangan ini. Salah satunya melalui pembentukan organisasi yang lebih besar. Tidak hanya simposium tetapi berupa kongres, Kongres IPT 1965 Indonesia,” ujar Dolorosa. Sebagai langkah awal, pihaknya akan mensosialisasikan hasil-hasil IPT 1965 di Den Haag ke kota-kota yang bersinggungan dengan tragedi 1965. Dari kegiatan itu nantinya diharapkan dapat menjaring aspirasi yang lebih substansial dari setiap kota. Masukan-masukan itulah yang nantinya akan dibahas dalam Kongres IPT 1965 Indonesia. “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” sendiri adalah acara yang diselenggarakan oleh pegiat IPT 1965 bersama Komnas Perempuan dan YLBHI. Konferensi pers terkait pengungkapan kebenaran dan desakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 adalah rangkaian terakhir dari acara yang telah digelar sejak Jumat lalu. Konferensi pers ini sempat mengalami penundaan karena adanya aksi unjuk rasa dari sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Suara Rakyat. Para pengunjuk rasa meneriakkan penolakan terhadap acara ini karena dianggap untuk membangkitkan kembali komunisme. Acara yang dihadiri oleh para penyintas peristiwa 1965 itu akhirnya bisa dilangsungkan setelah tempat acara dipindahkan dari selasar ke salah satu ruang rapat dalam gedung Komnas Perempuan. “Acara ini bukan untuk melawan pemerintah, tapi justru kita ingin memberi ide kepada pemerintah untuk penyelesaian kasus 1965. Kami mendukung pemerintah dan Komnas HAM,” pungkas Sri Lestari Wayuningrum, perwakilan IPT 1965 Jakarta.

  • Pogau dan Marco

    MALAM itu, enam tahun lalu, seorang pemuda bertopi masuk ke ruangan saya. Tubuhnya ceking, berkulit gelap. Dia bicara setengah berbisik walaupun dia tahu tak ada yang memata-matainya atau menyadapnya di ruangan itu. Waspada seperti sudah tertanam dalam kepalanya. Mungkin cemas, entahlah. Oktovianus Pogau, nama pemuda itu, datang dari tanah yang jauh, nun di Papua sana. Malam itu dia bercerita banyak: tentang orang-orang yang dianiaya, kekayaan alam yang dijarah dan tuan-tuan tanah yang datang dari antah berantah. Okto, demikian dia dipanggil, terlihat gelisah. Ada semacam gugatan dari sorot matanya. Sejurus kemudian, dia pun bertanya, “kapan bung tulis sejarah kami, orang Papua?” Pertanyaannya menyisakan beban, semacam utang yang harus dibayar. Tak ubahnya banyak pemuda di negeri ini, yang terlalu lama diajari kisah sejarah yang sepihak, Okto dikejar rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada masa lalu bangsanya. Papua seperti suara yang jauh: di mana kabar tentang kekerasan dan kekayaan alam selalu terdengar sayup-sayup. Tapi Papua bukan tanah yang asing bagi mereka yang pernah melawan kesewenangan kaum kolonialis, setidaknya bagi Mas Marco Kartodikromo (1890-1932) dan ratusan aktivis politik lainnya yang mengenyam ganasnya Boven Digul. Setelah perlawanan yang gagal pada 1926, mereka disapu bersih, ditangkap dan sebagian dihukum mati di atas tiang gantung. Bagi Marco, Papua, yang saat itu masih disebut Nieuw Guinea adalah tanah harapan, “di tempat pembuangan itu kami tentu bisa mengatur diri kami sendiri sesuai dengan cita-cita kaum Communist yang telah bertahun-tahun dibicarakan di rapat-rapat dan ditulis di surat-surat kabar dan buku-buku,” ujarnya bernada mengejek diri dalam buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul. Tapi lekas-lekas Marco menimpali sendiri harapannya itu sebagai sebuah kemustahilan. “Sebab mustahil sekali Pemerintah Hindia Belanda dan Nederland berkehendak menguji praktek kaum Communist untuk membuktikan kebaikan teorinya,” imbuhnya. Marco memang benar. Mana mungkin pemerintah kolonial memberi celah pada orang-orang buangan untuk membuktikan keyakinan politiknya yang dirasuki semangat kemerdekaan. “Pikiran kami ini adalah rekaan kami sendiri,” kata dia. Maka Marco hanya berharap agar kisah orang buangan di Digul, mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. “Kalau kelak sejarah Indonesia ditulis oleh historicus (sejarawan), kami berharap dari tanah buangan ini, agar tuan-tuan yang menimbang dan menceritakan perjalanan pergerakan kebangsaan di jaman sekarang ini menyediakan beberapa hoofdstukken (bab-bab) bagi kami orang yang terbuang di sini, kami yang dibenci orang, yang yang dianggap manusia rendah, kami yang merasai cambuk koloniale politiek (politik kolonial) dengan sekeras-kerasnya,” tulis Marco berpesan. Seperti Okto, Marco juga berharap sejarahnya ditulis. Marco sebagai pelaku yang ingin diketahui bahwa apa yang dilakukannya bukan hal yang sia-sia. Sementara Okto sebagai pemuda yang berharap bisa memahami akar persoalan yang selalu datang merundung orang Papua. Marco dan Okto, dalam beberapa hal, seperti bernasib sama: mereka terasing dan dianggap liyan. Hari-hari ini, ribuan orang ditangkap di Papua. Tak terhitung lagi berapa yang tewas sejak lama. Kini bisa dipahami kenapa Okto ingin mengetahui sejarahnya. Dia seperti mencari cara untuk memahami kenapa pada tanah kelahirannya, ada begitu banyak kekerasan. Dan kenapa kekerasan itu menyebabkan banyak darah tumpah di atas tanah yang kaya raya. Tapi Okto mati muda. Belum lagi sempat membaca kisah sejarah yang didambakannya. Seperti Marco yang hanya bisa terus berharap sampai kemudian komplikasi malaria dan TBC menjemput ajalnya. Di Tanah Papua, pengertian yang asing datang silih berganti. Di masa kolonial, Marco adalah orang asing di tanah pembuangan. Maka kini, orang Papua seperti Okto seperti terasing di tanah kelahirannya sendiri.*

bottom of page