Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Perdana Menteri Piet de Jong dan Nota Ekses Belanda
Piet de Jong tutup usia, Rabu 27 Juli 2016, demikian diumumkan oleh CDA, Senin siang 1 Agustus 2016 pada situs web Partai Kristen Demokrat Belanda ini. Kelahiran 3 April 1915, De Jong mencapai usia 101 tahun. Dia adalah perdana menteri Belanda dari 1967 sampai 1971, jabatan penuh pertama selama empat tahun yang dipegang oleh seorang perdana menteri Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. De Jong dikenal sebagai seorang politikus yang tidak begitu suka berpolitik. Dia memang menempuh karier sebagai militer pada Angkatan Laut Belanda. Pada 1959 dia ditunjuk oleh pemimpin partai katolik KVP (pendahulu CDA) sebagai menteri muda marinir. Baru saat itu dia menjadi anggota KVP. Pada 1963 De Jong menjabat menteri pertahanan dan akhirnya pada 1967 menjabat perdana menteri. Itu pun hanya untuk sekali masa jabatan, maklum partai katolik KVP butuh pemimpin lain. Walau begitu De Jong berhasil memerintah selama empat tahun penuh. Ini prestasi sendiri, karena sebelum itu pelbagai kabinet Belanda, di bawah Ratu Juliana yang mulai bertakhta tahun 1948, selalu jatuh akibat pelbagai krisis. Tidak satu kabinet pun sesudah perang ini yang memerintah penuh selama empat tahun. Sebagai bekas komandan kapal selam, De Jong ternyata berhasil melampaui pelbagai kelokan krisis yang menghantam pemerintahannya. Salah satu krisis itu berakhir dengan apa yang disebut “ Excessennota ” alias nota ekses, dan ini berkaitan dengan Indonesia. Tanpa peran kunci De Jong mustahil nota ini keluar dan kabinetnya bisa terus berkuasa. Menariknya dalam pelbagai obituari yang hari-hari ini terbit, media massa Belanda ternyata sama sekali tidak menyinggung lagi peran kunci De Jong ini. Hanya mingguan De Groene Amsterdammer yang melakukannya, itu pun bukan dalam rangka kepergian De Jong, melainkan pada 2008, tatkala Excessennota digugat dan dicerca. Inilah alasan utama mengapa publik Indonesia perlu tahu peran kunci De Jong dalam masalah nota ekses ini.
- Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM
PERINGATAN 20 tahun peristiwa 27 Juli 1996 diisi dengan diskusi tertutup, tabur bunga, dan doa bersama di kantor DPP PDI Perjuangan Jalan Diponegoro 58 Jakarta, 27 Juli 2016. Acara ini dihadiri kader-kader DPP PDI Perjuangan, Komnas HAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan korban kerusuhan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Keluarga (FKK) 124. PDI Perjuangan melaksanakan diskusi itu sebagai langkah untuk menyelesaikan peristiwa yang banyak memakan korban. Peristiwa 27 Juli 1996 atau disebut Kudatuli merupakan penyerangan kantor DPP PDI pro-Megawati oleh kelompok DPP PDI pro-Soerjadi yang didukung pemerintah Orde Baru. “FKK 124 dulu dipenjara oleh rezim yang sangat otoriter yang menggunakan seluruh kekuasaan politiknya untuk mengambil alih kantor ini. kantor sebagai simbol kedaulatan partai diambil secara sepihak,” kata Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal PDI Perjuangan. Sementara itu, Trimedya Panjaitan, ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengatakan bahwa PDI Perjuangan sangat serius untuk mengusut kasus Kudatuli. PDI Perjuangan akan menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat lain seperti Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM, NGO dan LSM. PDI Perjuangan juga mengingatkan Presiden Joko Widodo yang telah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM yang terjadi di masa lampau. Komnas HAM menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa Kudatuli. Komnas HAM mendapatkan temuan bahwa lima orang meninggal, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa. Temuan ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran HAM pada kerusuhan 27 Juli 1996. Komnas HAM menuntut ada orang yang dimintai pertanggungjawaban. Namun, terjadi ketidakadilan dalam penegakan hukum atas kasus tersebut. Hal ini berdasarkan temuan dari pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan pada 2003. “Komnas HAM menemukan indikasi bahwa yang dikenai tuntutan secara intensif adalah pihak yang diserang bukan kelompok penyerang. Juga ada tindakan di luar prosedur yang dilakukan,” kata Imdadun Rahmat, ketua Komnas HAM. Selain itu, lanjut Imdadun, pemangku kebijakan pada saat itu harus dimintai pertanggungjawaban. “Bukan hanya pelaku lapangan yang dimintai pertanggungjawaban tetapi juga ada pembuat keputusan, otoritas yang memiliki kewenangan membina keamanan yang terlibat di dalam perencanaan dan juga pelaksanaan di lapangan,” tegas Imdadun. Bukti-bukti hasil penyelidikan Komnas HAM sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Selain itu, sedang dilakukan pencarian bukti-bukti lain untuk memperkuat hubungan antara hilangnya nyawa dengan Kudatuli. “Komnas HAM butuh dukungan publik dan politik untuk menyelesaikan kasus ini,” kata Imdadun.
- Huru-Hara 27 Juli 1996 dalam Ingatan Wartawan
MENJELANG tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat selalu tampak ramai. Sejak seminggu sebelumnya, basis PDI kubu Megawati Sukarnoputri itu selalu dipenuhi gelombang massa. Lukas Luwarso menggambarkan suasana saat itu. Siang hari suasana kantor sangat meriah, seperti festival demokrasi; mimbar bebas untuk menumpahkan aspirasi demokrasi. Tokoh-tokoh politik oposisi dan aktivis bergiliran pidato di panggung, menyuarakan demokrasi. “Saya ditugaskan memantau kantor PDI. Jadi, hampir setiap malam selalu stand by di kantor PDI,” ujar Lukas kepada Historia. Lukas saat itu bertugas sebagai wartawan majalah Forum . Konflik politik memang tengah melanda partai berlambang banteng itu. Nakhoda partai terbagi dua antara Soerjadi dan Megawati. Rezim Orde Baru mengakui Soerjadi sebagai ketua umum lewat kongres PDI di Medan pada Juni 1996. Sementara itu, kubu Mega menolak tunduk. Restu pemerintah terhadap PDI Soerjadi dianggap sebagai rekayasa untuk melengserkan Megawati dari pimpinan partai. Mimbar bebas pun digelar sebagai tanda perlawanan. “Setiap malam selalu beredar rumor, kantor PDI akan diserbu. Di sisi lain, juga beredar info, aparat militer juga melakukan persiapan untuk merebut kantor PDI,” kenang Lukas. Edi Siswoyo, saat itu wartawan Pos Kota , juga mendengar desas-desas akan terjadinya penyerangan. “Isu yang berkembang, rencana penyerangan berasal dari seorang pejabat militer,” ujar Edi yang saat itu menjadi kordinator mimbar bebas. Pukul 06.00 pagi, tanggal 27 Juli, orang-orang berseragam merah hitam turun dari mobil di depan kantor PDI. Mereka memaksa masuk dan melemparkan bata dan batu ke kantor PDI. “Di belakang mereka (penyerang) ada pasukan polisi. Yang bisa melarikan diri loncat ke tembok belakang. Ada yang naik ke atas kantor. Dan yang tak sempat lari bertahan dan melakukan perlawanan dalam suasana ruang gelap gulita. Yang ada di ruangan kantor DPP dikumpulkan dan dibariskan menuju truk yang sudah disiapkan, dibawa pergi entah kemana,” kenang Edi. Kabar penyerbuan kantor PDI tersebar dari mulut ke mulut. Masa berdatangan dan ingin merebut kembali kantor PDI. Kerusuhan pun terjadi antara polisi dan massa di sekitar Jalan Diponegoro 58. Tengah hari, lautan massa semakin banyak dan terus bertambah pada sore, membanjiri Jalan Diponegoro. “Polisi bersikap represif membubarkan massa. Massa yang kecewa dan marah dipecah oleh polisi. Ada arus massa yang marah menuju Cikini, ada yang menuju Salemba, ada yang menuju Proklamasi. Konsentrasi massa terpecah dan semakin menjauh dari kantor DPP PDI,” kata Edi. Kerusuhan pun meluas ke Jalan Proklamasi, Jalan Salemba, dan Matraman Raya. Pembakaran terjadi terhadap beberapa bangunan. Sekira seratusan orang mengalami luka-luka dan lima orang tewas dalam kejadian tersebut. Tragedi ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). “Yang paling berperan-bertanggung jawab adalah Brigjen SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selaku Kasdam (Kepala Staf Daerah Militer),” ujar Dhia Prekasha Yoedha, mantan wartawan Kompas. “Dia yang memimpin dan memutuskan rapat penyerbuan pada 24 Juli. Termasuk skenario nanti menggunakan pasukan dari Kodam Jaya. Di situ terlibat Joko Santoso, Tri Tamtomo, kolonel-kolonel pada waktu itu. Data itu sebenarnya sudah ada pada tim pencari fakta, termasuk ke Komnas HAM,” jelasnya. Menurut Lukas, peristiwa penyerbuan itu adalah “skenario konyol”. Rezim Soeharto ingin mengesankan yang menyerbu dan merebut kantor PDI adalah kelompok PDI pro-Soerjadi. Jadi diskenariokan, seolah penyerbuan itu adalah kulminasi pertikaian internal PDI antara yang pro-Mega dengan yang pro-Soerjadi (yang didukung pemerintah). “Skenario itu konyol, karena jelas terlihat yang menyerbu adalah aparat gabungan, polisi dan militer. Namun ending -nya, Butu Hutapea (Sekjen PDI kubu Soerjadi), menyebut diri sebagai komandan lapangan penyerbuan, yang kemudian di depan pers mengklaim telah mengambilalih kantor PDI,” kata Lukas. “Saya saksikan denga mata saya sendiri,” lanjut Lukas, “Butu Hutapea muncul di area penyerbuan setelah penyerbuan. Boneka yang dimunculkan setelah huru hara usai.” Menurutnya, rezim Soeharto tak ingin terlibat langsung dalam pertikaian karena sudah kadung mengkampanyekan “era keterbukaan” sejak 1993 (akibat desakan Dubes AS, Paul Wolfowitz). Pemerintah harus berpikir keras, dan merancang skenario yang baik. Itu sebabnya, mimbar bebas festival demokrasi di kantor PDI bisa berjalan lama, dan terkesan pemerintah tak berani membubarkan. “Kudatuli adalah opera ‘setengah hati’ karena selain membuat skenario konyol boneka Butu Hutapea, rezim juga tak cukup punya nyali untuk membabat habis oposisi PDI pro-Megawati dan aktivis yang men- support -nya. Karena operasi setengah hati, maka penyelesaian hukum juga bukan menjadi bagian skenario untuk membabat aktor utama atau yang dianggap bertanggung-jawab,” pungkas Lukas.
- Setelah Pengadilan Rakyat Selesai
KEDUA bahu hakim Zac Yacoob tampak bergerak seirama dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dua tangannya, yang terletak di bawah meja, seperti meraba sesuatu, memandunya untuk menyampaikan putusan sidang yang telah dipimpinnya selama empat hari berturut-turut.
- Sepuluh Kejahatan Negara dalam Peristiwa 1965 dan Sesudahnya
SERAYA meraba alat brailenya, Zakeria Yacoob, mengambil sikap mantap. Pria tunanetra itu adalah ketua majelis hakim International People’s Tribunal (IPT), pengadilan rakyat internasional untuk tragedi kemanusian di Indonesia tahun 1965. Siang tadi, 20 Juli 2016/, dari Cape Town, Afrika Selatan, dia membacakan putusan sidang IPT yang telah digelar di Den Haag Belanda pada 11-14 November 2015. “Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa 1965 dan sesudahnya; kegagalan pencegahan atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya negara Indonesia,” ujar Zak yang disiarkan LBH Jakarta. Menurut Zak, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara terjadi secara sistematis dan meluas. Penyelenggara negara yang dimaksud adalah Tentara Nasional Indonesia, khususnya AD -melalui rantai komando di bawah pimpinan Jendral Soeharto- telah memerintahkan dan melakukan tindakan tidak manusiawi. Yang menjadi korban bukan hanya dialami mereka yang berafiliasi dengan PKI. Berkali-kali, Zak menyebutkan pendukung Sukarno dan kelompok progresif dari PNI. Pihak ini, menurutnya tidak punya sangkut paut dalam prahara politik yang terjadi pada 1965. Berikut ini 10 kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara sebagaimana dipaparkan oleh Zac Yacob. Pembunuhan massal Pembunuhan massal menjadi dakwaan pertama dalam persidangan IPT 1965. Bersumber pada dokumen dan laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang disajikan, menyebutkan sedikitnya sekira setengah juta orang dibunuh menyusul peristiwa G30S. Menurut Zak, pembunuhan massal ini adalah serangan meluas dan sistematis terhadap PKI, termasuk pendukung Sukarno dan kelompok progresif dari PNI. Pemenjaraan Sekira sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan tertentu (tahanan politik golongan A, B, dan C). Mereka ditahan tanpa diadili, dan sebagian besar ditahan tanpa surat penahanan. Tidak hanya melanggar hukum internasional, menurut Zak, itu adalah pelanggaran terhadap hukum Indonesia yang termaktub dalam pasal 9E UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. Penyiksaan Banyak kejadian penyiksaan direkam dalam laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Penyiksaan umumnya terjadi dalam skala besar yang dilakukan terhadap para tahanan politik dalam penjara. Hukum internasional melarang praktik penyiksaan. Selain itu, penyiksaan juga melanggar UUD 1945 Pasal 28 Ayat 2 yang menegaskan setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau hukuman tidak manusiawi yang merendahkan, dan berhak mendapat suaka politik dari negara lain. Perbudakan Penjara Pulau Buru adalah contoh perbudakan yang dialami para korban tragedi 1965. Ada cukup bukti yang menunjukan bahwa orang-orang yang ditahan dipaksa untuk melakukan kerja paksa. Tindakan ini masuk kategori pelanggaran atas Konvensi Kerja Paksa tahun 1930 juga UU No. 26/2000. Penghilangan paksa Penghilangan paksa muncul tatkala orang ditahan, dipenjara atau diculik, atau dicabut kebebasannya dengan cara apapun. Laporan Komnas HAM dalam persidangan membuktikan adanya penghilangan secara paksa dalam skala luas. Tindakan penghilangan paksa ini merupakan bagian dari serangan sistemik yang menyeluruh terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut. Kekerasan seksual Bukti-bukti lisan dan tulisan yang diajukan dalam IPT 1965 tentang masalah kekerasan seksual adalah lengkap dan tidak terbantahkan. Dalam persidangan, korban yang masih hidup dihadirkan didukung dengan data-data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan. Kejahatan ini berupa perkosaan, kekerasan seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual yang lain. Mereka yang menjadi korban adalah perempuan yang dikaitkan dengan PKI, pemerintahan Presiden Sukarno, ataupun PNI. Persekusi atau pengasingan Mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kepada IPT 1965, dapat disusun sejumlah fakta, bahwa banyak orang Indonesia yang berada di luar negeri saat peristiwa 1965 harus mengalami pengasingan paksa karena menolak rezim Orde Baru. Mereka yang disebut kelompok eksil ini, menurut Zak disamakan bobotnya dengan bentuk pemburuan (persekusi), yang merupakan tindak kejahatan kemanusiaan. Ini berarti melanggar hak kebebasan bergerak, hak untuk pulang, dan hak penuh sebagai warga negara. Propaganda kebencian Propaganda palsu maupun pidato kebencian kerap didengungkan pasca tragedi 1965. Hal ini dilakukan untuk membenarkan pemburuan dan pembasmian sistematis terhadap PKI dan onderbouw -nya, pendukung Presiden Sukarno, serta pendukung PNI. Contoh propaganda ini seperti peristiwa di Lubang Buaya dan pemotongan kelamin para jenderal. Selama lebih dari tiga dekade, hal ini terus berlangsung dan tidak pernah dipertanyakan. Propaganda kebencian ini membawa dampak yang tidak manusiawi, tidak hanya bagi para korban, melainkan keturunannya. Hal ini menyebabkan penyangkalan hak-hak sipil para penyintas serta tiadanya upaya keadilan bagi mereka. Keterlibatan negara lain Zak mengungkapkan ada tiga negara yang mengetahui praktik pembantaian massal di Indonesia pada 1965: Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Berdasarkan kajian para sejarawan yang bersaksi dalam persidangan didukung arsip-arsip terdeklasifikasi, ketiga negara mengetahui dan menyokong kejahatan kemanusiaan yang digerakan oleh TNI AD dan ormas-ormas. Amerika Serikat memberikan daftar nama-nama kader dan simpatisan PKI yang harus diburu dan membantunya dengan bantuan logistik. Sementara Inggris dan Australia, lewat pemberitaan masif di media mendukung aksi dan pembasmian kelompok kiri di Indonesia. Genosida Genosida atau pemusnahan secara massal terang-terangan ditujukan terhadap PKI. Dalam cakupan yang lebih luas, genosida juga ditujukan kepada mereka yang setia kepada Sukarno, PNI, dan juga kelompok etnis Tionghoa. Sebuah laporan penelitian dalam persidangan menegaskan, “di Indonesia sebagian besar orang Tionghoa dibunuh karena mereka anggota BAPERKI, perhimpunan Indonesia-Tionghoa yang berafilisasi dengan PKI.” Motif etnik berperan dalam pembunuhan massal orang Tionghoa, khususnya di Aceh, Medan, Makassar, dan Lombok. Zak menegaskan masuk akal untuk menggolongkan pembunuhan itu sebagai genosida sebagaimana tertera dalam Konvensi Genosida tahun 1948.
- Putusan IPT 1965: Negara Harus Meminta Maaf dan Mengadili Pelaku Kejahatan Kemanusiaan
KEPUTUSAN Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal, IPT 1965) diumumkan hari ini, 20 Juli 2016, oleh Hakim Ketua Zakeria Yacoob di Cape Town, Afrika Selatan. IPT 1965 dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Kendati tunanetra karena meningitis sejak lahir, Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang dipilih Presiden Nelson Mandela. Zak menyatakan majelis hakim pengadilan IPT 1965 memutuskan negara Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965. Kejahatan kemanusiaan tersebut berupa pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, penghilangan paksa, propaganda kebencian, dan keterlibatan negara asing. Negara asing yang terlibat adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. “Definisi kejahatan kemanusiaan secara umum serupa baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun hukum Indonesia,” kata Zak. Zak menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah serangan terhadap warga negara. Semua penyerangan ini merupakan bagian integral dari serangan yang luas dan sistematis terhadap PKI, organisasi underbouw -nya, pemimpinnya, anggotanya, pendukung serta keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya. Bahkan, serangan tersebut lebih luas lagi terhadap orang-orang yang tidak berkaitan dengan PKI lalu akhirnya juga menjadi “pembersihan” menyeluruh terhadap para pendukung Presiden Sukarno dan anggota progresif PNI. Oleh karena itu, laporan keputusan IPT 65 menyerukan kepada pemerintah Indonesia secara mendesak dan tanpa syarat untuk meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarganya untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan; menyidik dan mengadili semua kejahatan terhadap kemanusiaan; memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas. Laporan ini, lanjut Zak, sepenuhnya mendukung dan mendesak semua otoritas untuk mengindahkan dan mematuhi: seruan Komnas Perempuan agar pemerintah melakukan penyidikan sepenuhnya dan memberikan ganti rugi sepenuhnya bagi penyintas kekerasan seksual termasuk keluarganya; seruan Komnas HAM agar Jaksa Agung bertindak berdasarkan laporan tahun 2012 untuk melakukan penyidikan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 1965-1966 dan sesudahnya; seruan para korban dan berbagai individu dan kelompok-kelompok HAM di Indonesia agar pemerintah dan semua sektor masyarakat Indonesia untuk: memerangi impunitas bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak dihukum telah meracuni masyarakat dan membiakkan kekerasan baru; merehabilitasi para penyintas dan menghentikan persekusi yang masih dilakukan pihak berwajib atau pembatasan bagi para penyintas sehingga mereka dapat mendapatkan HAM sepenuhnya yang dijamin oleh hukum internasional dan hukum Indonesia. Dan akhirnya, mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi agar generasi masa depan bisa belajar dari masa lampau.
- Cerita Lama Soal Kudeta di Indonesia
DI Bandara Halim Perdanakusuma, sesaat sebelum terbang menuju Jerman dan Hungaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan berdasarkan laporan intelijen akan ada gerakan kudeta. Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) yang didirikan ratusan tokoh di Cisarua, Bogor pada Januari 2013, akan turun ke jalan secara besar-besaran pada 24-25 Maret menuntut SBY turun karena dianggap gagal.
- Hilangnya Rumah Komunal di Sulawesi
RUSTAN Lebe, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, kebingungan ketika pertama kali menapak Kampung Kalumpang, di pesisir sungai Karama, Sulawesi Barat. Dia menemukan umpak batu yang digunakan sebagai pondasi rumah. Tapi anehnya, umpak itu, tidak sama rata, ada yang tingginya hingga satu meter, ada pula yang pendek hanya 20 sentimeter. Umpak-umpak itu pun tidak tersusun sejajar. “Jadi secara arsitektur, penggunaan umpak ini sangat unik. Kayunya, diletakkan secara horizontal,” kata Rustan. Menurut Rustan, penggunaan umpak yang tidak sama tinggi dan sejajar itu disesuaikan dengan rangka rumah yang menggunakan kayu gelondongan. Kayu besar itu ditelatakkan dengan mengandalkan teknik takik –membuat celah untuk dudukan umpak– jadi bisa saja kayu tidak akan sama besar. Dan bisa juga tidak akan lurus. “Nah, umpak-umpak yang tidak sejajar itu menjadi kunciannya,” katanya. Di Kalumpang, rumah komunal itu dikenal dengan nama Banua Batang . Rumah-rumah itu dihuni oleh kelompok keluarga. Antara lima kepala keluarga hingga mencapai 20 kepala keluarga. Di Banua Batang , setiap keluarga akan memiliki kamar masing-masing. Dan dalam satu rumah terdapat satu dapur umum yang digunakan bersama. Rumah-rumah yang dihuni keluarga dalam skala kecil, biasanya hanya menggunakan sembilan tiang vertikal. Namun, bangunan akan terus mengalami perubahaan jika anggota keluarga bertambah. Banua Batang di Kalumpang memiliki teras di bagian depan. Tangganya berada di samping. Dan di dekat tangga, dipersiapkan satu kamar untuk menjamu tamu. Tamu dalam setiap rumah, akan menjadi tanggung jawab keluarga yang menghuni rumah. Tidak hanya di Kalumpang, di wilayah Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, juga dikenal rumah komunal itu. Andry, salah seorang penduduk di Desa Tana Makalaeng mengatakan, rumah besar itu biasanya dihuni oleh To Bara –tokoh adat. Penggambarannya, serupa dengan Banua Batang di Kalumpang. Kalumpang dan Seko memang berpisah wilayah administrasi. Namun, wilayah ini berdekatan. Sungai Karama yang menjadi andalan warga Kalumpang, hulunya berada di Seko. Jika menarik garis lurus tak sampai 20 kilometer. Untuk itu, kata Rustan, sangat memungkinkan ada migrasi manusia dari Kalumpang menuju Seko. “Saya kira, dari tipologi temuannya (dalam perspektif arkeologi), Kalumpang adalah kebudayaan tua,” katanya. “Lalu menyebar ke Seko hingga Sulawesi Tengah.” Kini, rumah-rumah komunal itu hanya ada dalam ingatan. Di Seko, Andry dan beberapa masyarakat lainnya telah merancang bangun kembali rumah To Bara . Dia berdiskusi dengan para tetua kampung. “Kami sedang mencari lokasi. Kami ingin mengembalikan apa yang baik dan berharga untuk tidak dilupakan,” katanya. Selama ini, keberadaan rumah komunal secara arsitektur di Indonesia hanya dikenal berada di Kalimatan. “Ada banyak pertanyaan mengenai rumah komunal di bagian tengah pulau Sulawesi ini. Kita baru bisa meraba model arsitekturnya. Untuk setiap makna dan fungsi bagian rumah kita belum tahu,” kata Rustan. Bagi Rustan, hilangnya rumah komunal di Sulawesi, seperti “kecelakaan” kebudayaan. Rumah bersama (komunal) mendekatkan orang per orang dalam membangun hubungan sosial dan sistem kekerabatan.
- Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
AUSTRONESIA, rumpun bahasa yang mencakup sekitar 1.200 bahasa dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Penuturnya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Harry Widianto menjelaskan, wilayah Indonesia sebagai kawasan penutur bahasa Austronesia sangat luas. Letaknya juga berada di tengah kawasan sebaran. “Penghuninya melingkupi 60 persen lebih dari seluruh penutur Austronesia. Keberadaan penutur non-Austronesia di wilayah timur menambah daya tarik studi untuk mengetahui interaksi dua ras yang berbeda dalam ruang dan waktu,” jelasnya kepada wartawan di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Jakarta, Rabu (13/7). Harry menerangkan, para penutur Austronesia merupakan bangsa yang mengenalkan cara bercocok tanam hingga domestikasi binatang kepada penghuni kepulauan di Indonesia. Selain sebagai bangsa agraris, mereka pun pelaut andal. Disebutkan, penutur Austronesia muncul sekira 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan kemudian pada sekira 5.000 tahun yang lalu menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik yang dicirikan dengan kehidupan menetap dengan kegiatan bertani juga beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak sekitar 4.000 tahun yang lalu seiring kedatangannya dari Taiwan melalui Filipina. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang. “Mereka menaklukkan samudera untuk memperkenalkan sistem pertanian. Mereka ini pelaut ulung yang memperkenalkan pertanian,” lanjut Harry. Dengan kenyataan itu, Austronesia pun menjadi rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia. Ini merupakan jumlah bahasa terbesar di antara belasan rumpun bahasa di dunia. Adapun penutur Austronesia dapat digolongkan ke dalam ras Mongoloid Selatan. Berdasarkan penelitian sejauh ini, temuan rangka ras mongoloid selalu mengiringi temuan lukisan dinding cadas dan gua di berbagai pulau di Indonesia. “Dari sini gambar cadas kita yakini berhubungan dengan Austronesia dan selalu berkitan dengan rangka manusia mongoloid,” jelas Harry. Tinggalan budaya Austronesia juga diduga masih digunakan hingga kini dalam sistem pertanian. Kepala Puslit Arkenas, I Made Geria mencontohkan, sistem Subak di Bali merupakan sistem irigasi yang sudah mendasar sejak dulu. Sitem ini diindikasikan membawa pengaruh dari budaya Austronesia. “Unsur perdaban Austronesia sangat membumi di masyarakat. Makanya di Bali ada semacam tradisi yang masih dianut masyarakat,” papar dia. Melihat itu, pihak Puslit Arkenas bekerja sama dengan Direktorat Pelestari Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Simposium Internasional di Nusa Dua, Bali pada 18-23 Juli 2016 dengan tema diaspora Austronesia. “Para ahli menyebut ini fenomena besar dalam evolusi manusia dan kebudayaan. Tanpa diaspora, kita mungkin tidak di sini,” ungkap Peneliti Arkenas, Truman Simanjuntak. Simposium ini nantinya akan diikuti oleh 200 peserta, 45 orang di antaranya merupakan pakar dari berbagai negara. Pertemuan ini dihadiri para ahli Austronesia dari berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, linguistik, dan genetika. “Sebelumnya hanya orang luar saja yang fokus membicarakan ini. Dengan begitu di mata dunia Indonesia pun aktif menelusuri leluhur masyarakat penuturnya,” ucap Truman.
- Kapolri Pertama Lengser Karena Kebatinan
PARA perwira tinggi Polri beberapa kali mengadakan rapat untuk menggulingkan Kapolri pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjabat sejak 1945. Mereka juga menghadap Presiden Sukarno menyatakan sikap anti-Soekanto. Alasannya unik. “Karena Soekanto lebih mementingkan kebatinan daripada urusan kepolisian,” kata Hoegeng Iman Santoso dalam otobiografi Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan . Dalam upaya menjatuhkan Soekanto, Hoegeng mengaku “tidak terlibat, tidak dilibatkan dan tidak melibatkan diri di dalamnya.” Hoegeng tidak memandang jelek kebatinan, namun dia setuju pejabat tidak efektif menjalankan tugasnya harus diganti. Dalam kasus Soekanto, dia dinilai oleh banyak perwira tinggi karena kesukaannya terhadap kebatinan. Selain kebatinan, Soekanto juga bergabung dengan gerakan Freemason bahkan diangkat menjadi Suhu Agung Loji Timur Agung pada 1959 menggantikan Soemitro Kolopaking. Laku kebatinan Soekanto dapat dilihat dari Pataka Polri, bendera lambang Polri. Noegroho Djajoesman, sekretaris Direktorat Samapta Polri, berhasil menyelamatkan Pataka Polri ketika Mabes Polri kebakaran pada 1995. Ayahnya, Hendra Djajoesman, tahu persis sejarah Pataka Polri karena pernah menjadi ajudan Soekanto. Menurutnya, Pataka Polri dibuat khusus oleh Soekanto. Benderanya dijahit oleh Nyonya Soekanto. “Tiang Pataka berasal dari pohon yang terdapat di Pulau Karimun Jawa, yang secara khusus diambil Soekanto dengan cara tirakatan,” kata Hendra dalam biografi Nugroho Djajoesman, Meniti Gelombang Reformasi. Menurut Hoegeng, Soekarno mengabulkan tuntutan para perwira Polri anti-Soekanto. Soekanto pun kehilangan jabatannya karena menganut kebatinan. Soekarno menawarkan jabatan duta besar di Turki, namun Soekanto menolak. Soekanto diganti Soekarno Djojonegoro sebagai Menteri Panglima Angkatan Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara pada 14 Desember 1959. Sementara itu, Moehammad Jasin, panglima Korps Mobiele Brigade (kemudian Brimob) yang berada di pihak Soekanto, punya cerita lain penjatuhan Soekanto. Dia tidak membantah soal kebatinan yang dilakoni Soekanto. Namun, dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang , dia menguraikan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berada di balik penggulingan Soekanto. Soekarno mengangkat Jasin sebagai wakil Soekarno Djojonegoro, namun dia menolak. “Saya lebih baik dikembalikan ke daerah jika Bung Karno mengangkat Soekarno Djojonegoro sebagai pemimpin Kepolisian Negara karena dia diarahkan oleh PKI,” kata Jasin yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 2015. Bahkan, Jasin meminta kepada Soekarno agar meninjau kembali pengangkatan Soekarno Djojonegoro. Akibatnya, Jasin dikirim menjadi minister counselor pada kedutaan besar Indonesia untuk Jerman Barat. Soekarno Djojonegoro menjabat Menteri Panglima Angkatan Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara sampai 30 Desember 1963.
- Indikasi Kebangkitan PKI
PARA pemrasaran simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1 Juni 2016, meyakini Partai Komunis Indonesia (PKI) akan bangkit lagi. Masing-masing menyebutkan tanda-tandanya. “Kegagalan pemberontakan PKI 1965 adalah kerugian bagi RRC (Republik Rakyat Cina). Oleh karena itu, tidak heran jika sekarang PKI bangkit lagi,” ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Menurut tokoh intelektual TNI itu, tanda kemunculan kembali PKI mulai terlihat saat diadakan Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag, Belanda, November 2015. Tanda-tanda tersebut terus berkembang seperti belakangan ini terdapat penggunaan simbol-simbol palu arit di kalangan anak muda. “Itu adalah dalam rangka usaha mereka mempengaruhi masyarakat. Atas dasar itulah para pembela Pancasila melakukan gerak untuk melawan, untuk mengamankan NKRI dari ancaman komunisme,” ujar Sayidiman. Senada dengan Sayidiman, imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab menguraikan indikasi kebangkitan PKI antara lain ada kelompok yang kukuh terhadap pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966. “Kalau ini dicabut yang untung adalah kader-kader PKI,” katanya. Rizieq menyebut tanda yang lain yaitu penghapusan materi sejarah pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948 dan Gestapu 1965 dari kurikulum sekolah. Menurut Rizieq, reformasi 1998 berperan menghapuskan materi pengkhianatan PKI dari kurikulum sekolah. Dia mengusulkan agar materi tersebut dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran sejarah. “Kurikulum itu penting. Siapa ini manusia yang punya kekuatan bisa menghapus kurikulum pengkhianatan PKI? Dia pasti bukan orang biasa. Pasti dia punya kekuatan politik, sosial, ekonomi,” kata Rizieq berapi-api. Selain itu, Rizieq mengusulkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI karta Arifin C. Noer ditayangkan kembali setiap tanggal 30 September. Bahkan, Rizieq mengusulkan agar Litsus (Penelitian Khusus) –metode screening yang diterapkan Orde Baru kepada masyarakat– diberlakukan kembali, terutama untuk calon pejabat negara. Indikasi lain yang diungkap Rizieq adalah adanya lembaga swadaya masyarakat liberal atau komprador. Dia mencontohkan Komisi Nasional HAM salah satunya; kerja sama partai politik ke Tiongkok; usulan penghapusan kolom agama dalam KTP; seminar-seminar bertajuk ideologi kiri; sosialisasi lambang PKI pada kawula muda; jargon revolusi mental yang identik dengan melepaskan diri dari agama; pengusungan tokoh-tokoh PKI dalam karnaval; dan dorongan untuk minta maaf kepada korban PKI. “Sekalian saja minta maaf sama Belanda dan Jepang. Jangan tanggung-tanggung kalau minta maaf,” kata Rizieq yang juga menolak pelabelan korban terhadap para penyintas 1965. “Kalau mereka menganggap diri sebagai korban berarti penjahatnya NU, Banser, tentara, penjahatnya negara. Enak saja umat Islam diancam semua sebagai pelaku kejahatan,” ujarnya. Rizieq menginstruksikan kepada jajaran FPI untuk membubarkan hal-hal yang berbau PKI. “Kegiatan PKI dalam bentuk apapun akan kami bubarkan di seluruh wilayah Republik Indonesia,” pungkas Rizieq. Tokoh PMKRI dalam peristiwa 1965, Cosmas Batubara, menyetujui indikasi-indikasi tersebut. Dia menegaskan hanya dengan Pancasila kita bisa bergandengan tangan. “Reformasi membuka (demokrasi) tapi juga memberi kesempatan (kebangkitan PKI),” ujar Cosmas. Sementara Haji Lulung, ketua ormas Pemuda Panca Marga, menyesalkan ketiadaan figur Soeharto yang tidak lagi memimpin negeri ini. “Berhentinya Pak Harto adalah kekalahan bagi rakyat Indonesia, karena itu telah membuka kesempatan bagi bangkitnya PKI,” tukas Lulung yang juga wakil ketua DPRD DKI Jakarta. Sedangkan Mayjen (Purn.) Kivlan Zen mengatakan, indikasi kebangkitan PKI terlihat melalui pemugaran kembali bangunan kantor yang menurutnya markas PKI. Dia juga bertekad memerangi segala bentuk upaya menghidupkan PKI. “Ya, sudah bangkit, kantor PKI yang lama di samping Hotel Akasia di Jalan Matraman, itu kantornya. Sekarang itu mau direhab, pura-pura jadi PT (perusahaan), kantor PKI sekarang mau dibangun lagi. Kalau mereka siap perang, kita juga siap perang. Sebelum mereka memulai, kita pukul lebih dulu,” tegas Kivlan pada awak media.
- Tuntut PKI Membubarkan Diri
PARTAI Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan oleh Jenderal Soeharto dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Selain itu, TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan menyebarkan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, hingga sekarang masih berlaku. Namun, rekomendasi simposium nasional “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” yang berakhir hari ini, 2 Juni 2016, menyebutkan bahwa PKI masih eksis hingga hari ini. Mereka menuntut agar PKI membubarkan diri dan menghentikan segala kegiatan dalam bentuk apapun. “Sejak awal reformasi PKI telah melakukan kongres rahasia sebanyak tiga kali, berusaha memutarbalikan fakta sejarah dan mengedarkan film dan video yang bersifat menghasut dan fitnah; melimpahkan kesalahan pada pihak lain, khususnya Orde Baru, TNI, dan umat Islam,” kata Indra Bambang Utoyo, mantan ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), yang membacakan rekomendasi tersebut didampingi para purnawirawan jenderal dan tokoh agama. Simposium ini menetapkan peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965 sebagai pemberontakan PKI. Karena itu, pihak PKI harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Namun, simposium juga mengakui bahwa peristiwa 1948 dan G30S 1965 menimbulkan korban jiwa, baik dari pihak pemerintah, TNI, rakyat, maupun PKI. Selanjutnya, rekomendasi simposium “meminta dengan sangat kepada pemerintah, LSM, dan segenap masyarakat agar tidak lagi mengutak-atik kasus masa lalu, karena dapat dipastikan memicu konflik horizontal berkepanjangan yang dapat mengancam integrasi bangsa dan NKRI.” “Akan lebih bijak dan bermanfaat bagi bangsa di masa depan apabila kita melupakan masa lalu dan melihat masa depan,” kata Indra, yang juga politisi Partai Golkar. Hal ini didasarkan anggapan telah terjadi rekonsiliasi alamiah terhadap keturunan PKI sehingga tidak ada lagi stigma yang tersisa pada mereka. Semua hak sipil mereka telah pulih kembali. Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk mengadakan rekonsiliasi. “Banyak di antara mereka yang telah menjadi anggota partai politik, pegawai negeri, bupati, gubernur, anggota TNI/Polri tanpa ada yang mempersalahkan.” Rekomendasi simposium juga meminta kepada pemerintah supaya konsisten menegakkan Pancasila tentang pelarangan PKI sebagaimana termaktub dalam TAP MPRS No. XXV/1966 serta menindak setiap kegiatan yang terindikasi sebagai upaya membangkitkan PKI.






















