top of page

Sejarah Indonesia

Beda Cara Psi Dan

Beda Cara PSI dan Masjumi

Kisah persekutuan timpang partai-partai penyokong pemberontakan. Berujung dengan kegagalan.   

12 Agustus 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sumitro Djojohadikusumo (kiri berkacamata) bersama dengan tokoh Permesta, salah satunya Letkol Ventje Sumual di Sulawesi Utara, 1957. Sumber: Repro buku jejak "Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo".

MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) serupa tapi tidak sama. Keduanya adalah partai yang berada di belakang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan pemerintah pusat. Sama-sama menentang rezim Sukarno dan anti-PKI. Tetapi dalam menjalankan oposisinya, dua partai ini punya cara yang berbeda. Masyumi berjuang di dalam negeri yang pusatnya di Sumatera Barat sedangkan pentolan PSI bergerak di mancanegara.


Sejak PRRI diproklamasikan 15 Februari 1958, PSI dan Masyumi getol melancarkan subversi. Namun menurut Ganis Harsono, saat itu menjabat juru bicara Departemen Luar Negeri, persekutuan PSI-Masjumi sarat keganjilan. Dalam gerakan perlawanannya, pembagian tanggung jawab duo partai tersebut berat sebelah.


“Masyumi mempertaruhkan segala-galanya, dan telah kehilangan segala-galanya pula di tengah hutan-hutan Sumatera Barat. Sebaliknya, PSI tidak menampilkan seorang pun untuk dilibatkan dalam hutan Sumatera, ataupun dalam hutan Sulawesi Utara, akan tetapi membiarkan dalang-dalangnya tinggal di luar negeri tanpa memberi sokongan yang berarti bagi jalannya pemberontakan,” kata Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno.


Soal ketimpangan itu, Ganis mendapat bocoran dari Abdullah Nazir, kawan masa kecilnya. Nazir tahu banyak soal Masjumi karena bekerja sebagai wartawan koran Masumi, harian Abadi. Dia menggambarkan ironi perjuangan yang dilakoni PSI dan Masyumi dengan kata “aneh dan menggelikan”.


“Kalau pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara tekun sembahyang lima waktu sehari semalam, mohon doa kepada Tuhan agar membantu perjuangan mereka di tengah-tengah hutan di sekitar Bukittinggi,” ujar Nazir. Sementara itu, “Pemimpin-pempin PSI enak-enak bersantai di meja judi di Jenewa, Roma, Monte Carlo, dan Beirut.”


Salah seorang tokoh PSI yang wara-wiri di luar negeri adalah Sumitro Djojohadikusumo. Selama sepuluh tahun, Sumitro hidup berpindah dari satu negara ke negara lain. Dia bertualang mulai dari Singapura, Hongkong, Malaya, Swiss, Inggris, hingga Thailand. Meski terbilang sebagai buronan negara, Sumitro memiliki banyak pendukung yang sehaluan dengannya.


Dalam biografinya, Sumitro disebutkan punya koneksi di berbagai negara. Dia rapat dengan kalangan intelijen Malaysia dan Inggris yang ikut memusuhi Sukarno. Di Jepang, Sumitro juga menjalin hubungan dengan aktivis mahasiswa Indonesia yang antikomunis. Kawan-kawan yang membantunya tersebar pula di Amerika, Belanda, Prancis, Polandia, hingga Polandia. Yang unik, mereka tidak pernah berkumpul lebih dari empat orang.   

 

“Bagaimana Sumitro bisa memiliki jaringan begitu luas agak sukar dijelaskan prosesnya satu demi satu. Pada umumnya hanya dapat dikatakan bahwa hubungan bermula dari rasa simpati terhadap perjuangan Sumitro,” tulis Aristides Katoppo, dkk dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo.


Selain Sumitro, orang PSI lainnya yang menonjol di luar negeri adalah Sutan Mohammad Rasjid. Berbeda dengan Sumitro yang banyak menghasilkan bantuan materi. Perjuangan Rasjid lebih banyak dalam bidang non-materi. Rasjid merupakan duta besar berkuasa penuh PRRI di kawasan Eropa. Secara gigih, dia menyebarluaskan dan memberikan pemahaman kepada dunia internasional tentang gerakan PRRI.


Menurut Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, keberhasilan PRRI mendulang bantuan asing tidak lepas dari lobi-lobi Sumitro dan Rasjid.  Mereka berperan dalam menyukseskan pertemuan antara pihak PRRI dengan petinggi negara asing. Diantaranya seperti menteri luar negeri Belanda, beberapa duta besar negara Barat hingga anggota kongres dan senat Amerika Serikat.


“Dalam hal ini, nama Sumitro Djojohadikusumo dan Sutan Mohammad Rasjid tidak bisa diabaikan,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an.


Kendati demikian, geliat orang PSI di luar negeri tidak mampu menyelamatkan PRRI. Pada 1961, Pasukan PRRI-Permesta menyerah kalah terhadap TNI yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution. Riwayat Masjumi dan PSI pun tamat lantaran dibubarkan pemerintah. Natsir dan Sjafruddin masuk penjara rezim Sukarno. Sementara Sumitro dan Rasjid tetap jadi pelarian di negeri orang sampai era Orde Baru terbit menjelang.  

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page