top of page

Sejarah Indonesia

Bung Hatta Dan Rakyat Tapanuli Selatan

Bung Hatta dan Rakyat Tapanuli Selatan

Meski disambut dengan gegap gempita, ada yang mengganjal hati Bung Hatta: nyanyian Indonesia Raya dari orang-orang Tapanuli Selatan.

11 Agustus 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia. (Wikimedia Commons).

Padang Sidempuan, kota kecil di Tapanuli Selatan itu mendadak ramai. Orang-orang dari balik gunung-gunung datang berpuluh ribu banyaknya. Mereka berbaris di sepanjang jalan, semata-mata untuk melihat wajah seorang pembesar negeri. Mereka tak lain ingin menyaksikan dan mendengarkan Mohammad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu. 


Bung Hatta, seturut dengan reportase wartawan Antara, Muhammad Radjab, tiba di Padang Sidempuan pada 19 Juli 1947. Kedatangan Hatta disambut dengan gembira dan meriah sekali. Dari pagi sampai jam 5 petang, rakyat menunggu di tepi jalan. Yang tua renta juga tidak ketinggalan.


“Seorang kakek berkata,” tutur Radjab dalam memoarnya Tjatatan dari Sumatra, “Sekarang aku relalah mati, karena sudah melihat Raja Islam.”


Menurut Radjab, masyarakat Tapanuli Selatan agak berbeda dari orang-orang di Utara. Di Tapanuli Selatan banyak ditemui orang-orang yang air mukanya jernih peramah, lunak, dan lekas tertawa. Tidak seperti saudara mereka di Utara yang kasar, bengis, dan kaku walaupun mungkin hatinya baik. Masyarakat Tapanuli Selatan membuat orang pendatang lekas menyesuaikan diri. Mereka suka menjamu tamu dan cenderung tidak mencurigai orang baru.

   

“Keinsafan nasional mereka lebih tinggi dari daerah lain-lain, mereka menerima kita bukan sebagai orang Sunda, orang Jawa, atau orang Minangkabau, tetapi sebagai orang Indonesia,” kata Radjab.


Meski demikian, ketika Hatta datang, ada perkara yang membuatnya jengkel dengan orang-orang Tapanuli Selatan. Waktu itu sedang bulan puasa. Untuk menjaga pita suaranya tetap prima kala berpidato, Hatta suka menjeda waktu dengan meminta massa menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Kemudian, melanjutkan pidato lagi.


“Dalam perjalanan itu aku mengalami, rakyat Tapanuli Selatan kurang pandai menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’,” kenang Hatta dalam Memoir.


Pengalaman tersebut disaksikan Hatta tatkala dirinya turun dari mobil dan berdiri di atas meja yang telah disiapkan untuk menyampaikan amanat. Hatta lalu meminta rakyat menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Namun menurut Hatta, nyanyian mereka begitu sumbang dan kacau.


Hatta berkeluh kesah kepada Aboe Bakar Lubis, wartawan Berita Indonesia dari Kementerian Penerangan. Lubis yang juga orang Tapanuli Selatan ini bertepatan berada di samping Hatta. Dalam Memoir, Hatta mengenang pembicaraannya dengan Lubis.


“Lagu apa yang mereka nyanyikan itu,” ujar Hatta, “Itu toh bukan lagu daerah?”


Lubis hanya menjawab singkat, “Indonesia Raya,” katanya.


“O,” kata Hatta dengan nada datar, “Begitukah lagu “Indonesia Raya”?


Mendengar itu, Lubis jadi malu dan mencari alasan logis. “Maksud mereka menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’. Tetapi mereka tidak terlatih dan sedikit kacau,” ujar Lubis.


“Tidak sedikit, melainkan banyak kacau,” sergah Hatta.


Omelan Hatta di Padang Sidempuan itu kiranya menggambarkan wataknya yang lurus dan disiplin. Apalagi sesuatu yang berhubungan dengan penghormatan kepada negara yang diperjuangankannya. Seperti dikatakan Mochtar Lubis dalam kumpulan tulisan Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan, “pada diri Bung Hatta amat menonjol disiplin yang dipasangnya pada dirinya sendiri.”


Sesudah Padang Sidempuan Hatta melanjutkan perjalanan sampai ke Sibolga, Tapanuli Tengah. Di sana, rakyat menyanyikan lagi “Indonesia Raya” dengan baik dan benar. Dari Sibolga, lanjut lagi ke Tarutung, Tapanuli Utara.


Peristiwa Hatta di Tapanuli Selatan tampaknya menjadi sebuah sejarah kecil dari episode besar perjuangan masa revolusi. Menurut Aboe Bakar Lubis dalam Bung Hatta yang Saya Kenal, Hatta yang perangainya terlihat serius itu mendadak cair saban kali bersua dengannya seraya berkelakar. “Orang kampung Si Loebis tidak bisa menyanyi.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page