top of page

Sejarah Indonesia

Jago Pukul Betawi

Jago Pukul Betawi

Tradisi jago pukul masyarakat Betawi telah menyimpang dari arti sejatinya.

14 November 2013

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Muali Yahya, guru silat Beksi Haji Hasbullah di Jakarta, berlatih bersama murid-muridnya.

Muali Yahya, guru silat Beksi Haji Hasbullah di Jakarta, berlatih bersama murid-muridnya. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.


MEDIA memiliki andil besar dalam membentuk gambaran yang kemudian jadi patokan untuk melihat Betawi. Salah satunya, jago pukul. Melalui berita, sinetron, dan film, televisi menampilkan jago pukul Betawi erat dengan organisasi paramiliter yang menenteng golok. Orang Betawi yang demikian tak berhak disebut jago, tapi jagoan yang ke mana-mana menebar ancaman. Sebab, seorang jago yang baik tak akan petantang-petengteng dengan golok.


Demikian diungkapkan sejarawan JJ Rizal dalam diskusi “Menggali Mutiara Betawi” di Bentara Budaya Jakarta, 14 November 2013. Acara ini dimeriahkan pementasan kebudayaan Betawi: Palang Pintu, Teater Tutur (Gambang Rancak), dan Tari Kembang Topeng oleh Kartini Kisam, maestro Topeng Betawi.


Menurut Rizal, sejatinya jago pukul mendapat kedudukan penting dalam masyarakat Betawi. Tak sembarang orang mampu menjalaninya. Selain mampu menguasai jurus atau main pukul, juga mendalami ilmu agama. Golok yang menjadi senjata dan identitas jago pukul tidak ditenteng sembarangan. Misalnya, pada foto penangkapan jago pukul oleh pihak kolonial di koran Pemberita Betawi, tak terpampang golok yang dipakai sang jago pukul.


Golok bagi jago merupakan barang suci, tak bisa sembarang dibawa-bawa, karena biasanya memiliki wafak (ukiran ayat suci Alquran). Itulah sebabnya membawa golok harus dalam keadaan suci. Dalam teater lenong ada aturan seorang jago boleh membawa golok tapi tak boleh keluar dari sarungnya.


Namun, dalam perjalanan sejarah, ada jago yang tak lagi mempergunakan ilmu kesaktian dan bela diri untuk mencapai kesempurnaan spiritual, tapi sebaliknya disalahgunakan untuk mendapat kepuasan materi. Misalnya, pada zaman tanam paksa, sebagian besar jago lebih suka berpihak kepada kolonial atau tuan tanah ketimbang membela kaum lemah. Mereka menjadi tukang pukul untuk memaksakan kepentingan tuan tanah di wilayah tanah-tanah partikelir seperti di Tangerang, Ciomas, Bekasi, dan Cililitan.


Penulis buku-buku tentang Betawi, Abdul Chaer, mengungkapkan hubungan ilmu kesaktian untuk menunjang spiritual atau kegiatan agama. Menurutnya “ngaji, berkelahi, dan pergi haji” menjadi pegangan masyarakat Betawi pada masanya.


Dia menceritakan pengalaman ayahnya yang menunaikan ibadah haji pada 1927. “Waktu itu ayah saya, sebelum berangkat haji, berlatih silat di sekitar daerah Rawa Belong, karena perjalanan haji kala itu cukup berbahaya, bertemu dengan jagal,” kata Chaer.


Jago pukul juga menjadi corak perlawanan orang Betawi melawan kolonial. Entong Gendut di Condet menjadi salah satunya. Namun perjuangan jago pukul dalam menghadapi kolonial tak selamanya menggunakan otot. “Perjuangan si Pitung sendiri banyak menggunakan otak, seperti membeli senjata ke Siangapura dan mengatur strategi,” kata Rizal.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page