top of page

Sejarah Indonesia

Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel

Kiai Modjo Sahabat Pendeta Riedel

Kiai Modjo lebih senang bersahabat dengan orang asing beda agama namun baik, ketimbang sesama orang Jawa yang tak baik dan kebarat-baratan.

25 Desember 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kiai Modjo, perwira kepercayaan Diponegoro, semasa dibuang ke Tondano bersahabat dengan pendeta J.F. Riedel asal Jerman. (KITLV).


DI sebuah bukit teduh empat kilometer dari sisi utara Danau Tondano, sebuah gapura bergaya arsitektur Jawa berdiri berdampingan dengan pagar modern perpaduan besi-tembok. Gapura itu persis di muka tangga untuk meniti ke atas bukit. Selain ada plang bertuliskan Makam Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa'i di pagar dekat gapura itu, ada juga plang serupa dengan tulisan Makam Pahlawan Kiai Mojo dkk. Ya, di sanalah Kiai Mojo dan beberapa pengikutnya dikebumikan. 


Setelah menjadi tahanan pemerintah Hindia Belanda, Muslim Mochammad Khalifah alias Kiai Modjo (1792-1849) dan puluhan pengikutnya dibuang ke tepi Danau Tondano. Kendati keras kepada Belanda dan bangsawan Jawa yang kebarat-baratan, rupanya ia bisa bersahabat dengan orang-orang sekitar di tempat pembuangannya. Termasuk kepada orang Minahasa di sekitar desa yang kini menjadi Kampung Jawa Tondano, yang melahirkan orang-orang “Jaton” alias Jawa Tondao.


Kiai Modjo dan pengikutnya ikut membawa kebiasan baru di Tondano. Roer Allan Kembuan dalam tesisnya “Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908” mencatat, mereka membawa kebiasaan bersawah padi dan mengendalikan kuda. Setelah 1830, banyak pengikut Kiai Modjo kawin dengan anak-anak pemuka Minahasa. Selain melahirkan orang-orang Jaton tadi, mereka menularkan kebiasaan itu.


Di sisi lain, Danau Tondano yang tak jauh dari tempat kelompok Kiai Modjo, hidup seorang pendeta bernama Johann Friedriech Riedel  (1798-1860). Kata koran De Avond Post tanggal 18 Juni 1931, Riedel bersama Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859) tiba di Manado tanggal 12 Juni 1831. Keduanya bekerja untuk Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) alias Serikat Misionaris Belanda yang sukses menggkristenkan Minahasa.


Sebelum Islam dan Kristen masuk ke sana, masyarakat Minahasa adalah penganut Alifuru. Namun, mereka terbuka pada hal-hal dari luar. Maka ketika agama Islam dan Kristen baru datang di Minahasa, kedamaian antara dua agama tersebut sudah terbentuk.

Kiai Modjo juga tidak alergi untuk bertemu pemuka agama yang berbeda keyakinan dengannya. Bahkan, dia bersahabat dengan pendeta Kristen tadi.


“Kiai Modjo sering berkunjung pada pendeta zendeling Riedel dan berbicara banyak dengannya. Ia menerima darinya sebuah Injil,” tulis Pendeta Nicolaas Graafland dalam Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya.


Injil bukan satu-satunya hadiah yang pernah diterima Kiai Modjo dari sang pendeta. Sebab, keduanya memang biasa bertukar hadiah. Meski begitu, keyakinan masing-masing tidak berubah, Kiai Modjo tetap Islam dan Riedel tetap pendeta. Kedekatan Pendeta Riedel dan Kiai Modjo itu membuat orang Islam dan Kristen di sana bisa hidup damai berdampingan, bahkan bertahan hingga sekarang.


“Pelajaran sejarah toleransi dari akomodatifnya hubungan antara pengungsi Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Kiai Modjo dan 63 pengikutnya, semua laki-laki, menjadi contoh kerukunan yang berpengaruh paling signifikan dan sering dibicarakan,” tulis Nono Sumampow dalam Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial .


Kiai Modjo tutup usia di tepi Danau Tondano pada 20 Desember 1949. Dia dimakamkan di sebuah kaki bukit di sekitar danau. Sepeninggalnya, para pengikutnya tetap di sana hingga beranak-pinak hingga dapat dikenali dari nama belakang orang Jaton umumnya berasal dari nama leluhur yang datang ke sana.


Kampung Jawa Tondano yang banyak orang muslimnya itu hingga kini tidak “alergi” pada tempat ibadah agama lain. Gereja ada di sekitar kampung tersebut. Dari gerbang Kampung Jaton ke makam Kiai Modjo pun melewati gereja juga. Selain itu, sinagog yang ada di sisi lain Danau Tondano, tak jauh dari makam Pahlawan Nasional Sam Ratulangi, tak pernah membuat orang-orang Jaton keturunan pengikut Kiai Modjo itu ribut.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
bottom of page