top of page

Sejarah Indonesia

Lebih Dekat Dengan Museum Nasional

Lebih Dekat dengan Museum Nasional

Sudah 240 tahun Museum Nasional berdiri. Tantangannya mendekatkan museum dengan masyarakat.

30 April 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Museum dan masyarakat 1950-1965. foto: koleksi Museum Nasional

GEDUNG Arca, Gedung Perabot, lalu kini menjadi Gedung Gajah atau Museum Gajah. Begitulah, dari masa ke mana, masyarakat menjuluki Museum Nasional Indonesia.


240 tahun lalu, tepatnya pada 24 April 1778, cikal bakal Museum Nasional didirikan, yaitu Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG). Salah satu penggagasnya seorang pejabat VOC, Jacobus Cornelis Mattheus Rademacher. Lembaga independen ini didirikan untuk memajukan penelitian, khususnya dalam bidang seni, arkeologi, etnologi, biologi, dan sejarah.


Kala itu, masyarakat Eropa keranjingan dengan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. “Ada semacam penciptaan ilmu pengetahuan untuk mengenal jajahan, seperti munculnya kajian indologi,” kata sejarawan Bonnie Triyana dalam bedah buku Cerita dari Gedung Arca di Museum Nasional, Senin (30/4).


Sejak awal berdiri, koleksi BG terus dikumpulkan dari sumbangan para anggotanya. Rademacher mengawali dengan menyumbangkan rumahnya di Jalan Kali Basar. Dia juga mengikhlaskan koleksinya berupa buku, naskah, alat musik, mata uang, spesimen flora, tanaman kering, dan sebagainya.


Pada masa itu, kalangan atas gemar mengoleksi benda-benda unik dan antik (antiquarian). Sejak 1779 rumah koleksi itu dibuka dan dipamerkan untuk umum. Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles kemudian menambahkan bangunan di belakang Societeit de Harmonie untuk menampung koleksi yang makin banyak dan tak tertampung di Jalan Kali Besar. Lokasi bangunannnya di Jalan Majapahit yang kini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara. Setelah gedung ini juga tak memadai, pemerintah kolonial kemudian membangun gedung di Medan Merdeka Barat pada 1862.


Setelah Indonesia merdeka, BG terus berjalan. Namanya berganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950 dan dibubarkan pada 1962. Namun, museumnya masih berdiri dan dikenal dengan Museum Pusat. Baru pada 1979, namanya berubah jadi Museum Nasional.


“Dulu di sini perpustakaan dan museum menjadi satu. Tan Malaka setiap hari jalan kaki empat jam dari Rawajati, Kalibata ke sini membaca buku yang kemudian menjadi Mandilog (1943, red.),” kata Bonnie.


Pada masa berikutnya, 1996, dimulai pembangunan gedung baru di samping Gedung A Museum Nasional. “Wardiman Djojonegoro (mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1993-1998, red.) berjasa menambah luas lantai pameran Museum Nasional,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.


Memperingati 240 tahun Museum Nasional, kenangan masa lalunya ditampilkan lewat pameran foto di selasar Museum Nasional. Tak banyak yang berubah, terutama jika dilihat dari bagaimana koleksi arca-arca ditata. Melalui foto diketahui sejak 1896 arca-arca yang begitu banyak hanya berjajar tanpa penjelasan yang berarti. Melalui foto pula diketahui kalau sejak dibuka untuk umum, fungsi museum berubah dari sekadar tempat menyimpan koleksi.


“Museum bukan hanya tempat menyimpan barang, tapi pusat kebudayaan, tempat orang-orang belajar segala hal, main gamelan, menonton wayang, menari, dan lain-lain,” lanjut Hilmar. 


Begitu juga yang disaksikan Soedarmadji J.H. Damais ketika pada 1968 bersama saudaranya pergi ke Museum Nasional. Di museum itulah dia menyaksikan pertunjukkan wayang kulit bersama kawan-kawan kuliahnya, yaitu Ong Hok Ham, Ben Anderson, dan Soe Hok Gie. Ketika itu Museum Nasional masih merupakan pusat kesenian kecil dengan berbagai kegiatan.


“Waktu itu, setiap hari Minggu siang, aneka gamelan diperagakan dalam pekarangannya dan setiap bulan diadakan pergelaran wayang kulit dan wayang golek,” ujar mantan kepala Museum Sejarah Jakarta itu.


Soedarmadji menilai pada masa kini menjadi tantangan besar untuk membuat museum dekat dengan masyarakat. Agaknya penting untuk kembali dirumuskan soal apa arti museum, khususnya untuk hari ke depan. Penting pula bagi museum agar mengikuti perkembangan zaman.


“Saya rasa sekarang belum ada museum yang bisa menyesuaikan dengan keinginan masyarakat. Karena jarang juga yang belajar urusan museology. Ilmu ini cukup rumit, bagaimana penyajian koleksi, bagaimana sejarahnya, sampai keamanannya,” ucapnya.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page