top of page

Sejarah Indonesia

Meledakkan Sejarah Petasan

Meledakkan Sejarah Petasan

Sejarah petasan yang telah menjadi bagian penting dalam berbagai tradisi dan perayaan.

Oleh :
25 Agustus 2010

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Menyalakan sumbu untuk meledakkan petasan. (Wikimedia Commons).


LEBARAN mungkin takkan lengkap tanpa petasan. Begitu pula yang dirasakan bocah kecil Kusno di Mojokerto. Saat itu, menjelang lebaran, dia hanya bisa mengintip, dari lubang udara kecil pada dinding bambu kamarnya, teman-temannya bermain petasan. Hatinya pilu.


“Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon,” keluhnya.


Betapa girang hatinya ketika seorang kenalan ayahnya memberi hadiah berupa petasan. Itulah hadiah terindah yang pernah diterimanya, dan takkan dilupakan Kusno kecil selamanya. Kusno, bocah kecil itu, adalah Sukarno, proklamator dan presiden pertama Indonesia.

Pengalaman masa kecil Sukarno, seperti dikisahkan S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia, menunjukkan betapa petasan sudah menjadi permainan anak-anak selama Ramadan dan Lebaran. Hingga kini, membakar petasan seolah sudah menjadi tradisi. Bunyinya yang memekakkan telinga justru menjadi daya tarik.


Tradisi membakar petasan, menurut legenda yang tersebar di China, sudah dimulai sejak pemerintahan Dinasti Han pada 200 SM, jauh sebelum penemuan bubuk mesiu. Ini berhubungan dengan sosok makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru China, Nian keluar gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Nian hendak memakan mereka! Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di China, termasuk Imlek atau tahun baru China.


Petasan kemudian berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia.


Petasan lalu mengalami perkembangan. Tak lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah Eropa melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia pada 1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.


“Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia,” tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.


Di Indonesia, kuat dugaan petasan dibawa para pedagang Cina di Nusantara. Bahaya petasan membuat penguasa VOC pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari. Petasan dianggap memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia. Alasan lain yaitu faktor keamanan, penguasa VOC sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api.


Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Cina, sebagaimana ditulis Bakdi Soemanto dalam buku Cerita Rakyat dari Surakarta, pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Ceritanya, pada 30 Juni 1742, orang-orang Cina di Surakarta merasa tak puas dengan perlakuan sewenang-wenang pengausa terhadap orang-orang Cina di Batavia. Mereka melawan. Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang saat itu memihak Belanda, mengirimkan pasukan keraton untuk meredam perlawanan itu tapi tak berhasil. Pasalnya, orang-orang Cina menggunakan petasan! Banyak anggota pasukan keraton lari terbirit-birit; mengira bunyi senapan. Kebingungan juga melanda pasukan kompeni.


Larangan serupa juga diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih saat perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi masyarakat. Dalam pesta-pesta hajat seperti khitanan, perkawinan, dan maulidan orang Betawi, misalnya, petasan meramaikan suasana.


Sejarawan Alwi Shahab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang-orang Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo dulu biasa menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat. Ia juga menjadi penanda rasa syukur.


Tapi petasan pernah menjadi persoalan politik yang pelik. Ceritanya, pemerintah Jakarta membikin “pesta petasan” di Jalan Thamrin pada malam Tahun Baru tahun 1971. Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta petasan”. Berton-ton mercon dibakar malam itu. Sialnya, korban berjatuhan. Seperti ditulis Tempo, 13 November 1971, 50-60 orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik. Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.


Presiden Soeharto kemudian turun tangan, apalagi Idul Fitri akan segera tiba. Dalam Sidang Kabinet Paripurna 12 Oktober 1971, presiden mengeluarkan serangkaian larangan dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit" dan "lombok merah" yang diperbolehkan; itu pun harus bikinan dalam negeri –dengan alasan menghemat devisa negara.


Menteri Dalam Negeri Amirmachmud lalu mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia, antara lain tentang ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih panjang dari 8 cm, tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan isinya tidak boleh berat dari 10 gram.” Amir Machmud juga tak lagi mengeluarkan izin impor mercon. Kepala Polisi RI Komjen Polisi Drs. Moh. Hasan menginstruksikan semua pejabat polisi tertinggi di setiap propinsi untuk menertibkan pemasangan dan pembuatan mercon.


Tempo juga melaporkan bagaimana para pemimpin agama sudah kewalahan melarang petasan. Bahkan Hamka hingga menteri agama pernah mencarikan ayat maupun hadist yang mencegah orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah pula melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khotbah dua tahun sebelumnya di Masjid Istiqlal, “tapi orang-orang melototkan matanya pada saya.”


Karena itulah, pada 22 Oktober 1971, bersama Jenderal Maraden Panggabean selaku Panglima ABRI, Machmud berseru: "Pemasangan petasan bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan hanyalah suatu penghamburan uang yang tak berguna," tanpa mengutip ayat Alquran atau kitab suci lainnya. Seruan itu disiarkan oleh RRI dan pers ibu kota.


Polisi merazia penjual dan pemilik petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja masuk lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia, hingga kini.


Zaman sekarang tidaklah sama seperti Sukarno kecil yang kekurangan permainan. Ada banyak cara untuk menunjukkan status atau rasa syukur. Lalu, masihkah pendar dan suara petasan dibutuhkan?*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page