top of page

Sejarah Indonesia

Melihat Lebih Jernih Dengan Kacamata

Melihat Lebih Jernih dengan Kacamata

Mata bekerja keras saat melihat benda berukuran kecil atau berada di kejauhan. Manusia lalu berpikir untuk menciptakan alat yang membantu mata. Diciptakanlah kacamata.

Oleh :
12 Juli 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Benjamin Franklin memakai kacamata untuk membaca. (Wikimedia Commons).

  • Aryono
  • 13 Jul 2024
  • 3 menit membaca

DI awal penemuannya, kacamata hanya dipakai kalangan terbatas seperti ahli mekanik (pembuat jam dan perhiasan) serta para pemikir (pendeta biara, fisikawan, dan filsuf). Lalu kacamata berkembang sesuai kebutuhan manusia, dari mengatasi gangguan penglihatan hingga bagian dari gaya hidup.


Berikut ini perjalanan sejarah kacamata.


Smaragdus


Kaisar Nero, penguasa Romawi pada 54–68 SM, merasa terganggu penglihatannya karena silau sinar matahari saat menyaksikan pertandingan gladiator di Colloseum, Roma. Menurut sejarawan Pliny (23–71 SM), Nero lalu mengenakan batu permata hijau atau disebut smaragdus yang sudah diasah untuk mengurangi silau.


Kaisar Nero. (Wikimedia Commons).
Kaisar Nero. (Wikimedia Commons).

Batu Baca


Claudius Ptolemy (100–178 M), ilmuwan Yunani, melakukan uji fisika terhadap “batu baca” tersebut dan melapangkan penelitian-penelitian berikutnya. 800 tahun kemudian, ilmuwan Arab, Ibnu Al-Haytham, menjadi orang pertama yang menjelaskan secara ilmiah mengenai alat berupa lensa dari batu yang diasah untuk membantu mata melihat lebih jelas. Cara menggunakannya, batu pipih ini diletakkan lebih dekat pada teks yang akan dibaca.


Claudius Ptolemy. (Wikimedia Commons). 
Claudius Ptolemy. (Wikimedia Commons). 

Baca juga: Awal Mula Kacamata


Lensa Cembung


Dalam buku Opus Majus yang terbit tahun 1268, Roger Bacon, biarawan ordo Fransiskan dari Inggris, menulis tentang keuntungan menggunakan lensa cembung untuk membaca teks. Dasar penelitiannya dikembangkan dari penelitian ahli optik Arab, Al-Hazen alias Ibnu Al-Haytham, yang hidup sekira 1000 M. Menurut Bacon, huruf dalam teks akan menjadi lebih besar jika dilihat dengan “batu kaca” berbentuk cembung. Dia juga menulis bahwa alat tersebut membantu mata yang sudah berkurang daya penglihatannya.


Ibnu Al-Haytham. (Wikimedia Commons).
Ibnu Al-Haytham. (Wikimedia Commons).

Occhiale


Lensa cembung yang dibentuk sesuai ukuran mata, dibingkai, dan kemudian diberi pegangan layaknya kacamata sudah dilakukan di Pisa, Italia sekira 1286. Giodano da Rivalto atau Jordan of Pisa, biarawan dari St. Catherine, menyebut kacamata sebagai Occhiale. Penggunaannya mulai menyebar ke seantero Italia dan negara Eropa lainnya.


Roger Bacon. (Wikimedia Commons).
Roger Bacon. (Wikimedia Commons).


Lensa Kaca


Pulau Murano di Venezia, Italia, menjadi salah satu pusat industri kacamata di Abad Pertengahan. Sekira April 1300 M, serikat buruh kaca di sana menyebut salah satu produknya dengan nama roidi da ogli atau vetri da ochi. Selanjutnya, produksi kacamata tak hanya berlensa cembung untuk penderita presbiopi atau rabun karena usia saja, tetapi juga lensa cekung untuk penderita miopi atau rabun jauh. Risalah Johannes Keppler (1571–1630), ilmuwan Jerman, menjelaskan pemanfaatan lensa cembung dan cekung untuk mengatasi masalah miopi dan presbiopi. Inovasi dalam produksi kacamata, yang awalnya terpusat di Italia kemudian merembet ke Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda.


Giodano da Rivalto. (Wikimedia Commons).
Giodano da Rivalto. (Wikimedia Commons).

Kacamata Gantung


Di kawasan Asia atau Timur Jauh, perkembangan kacamata agak berbeda. Kacamata mulai dikenal di Asia sejak kedatangan saudagar dan pendeta dari Eropa awal abad ke-15. Penggunaannya lebih sebagai penanda status sosial, bukan membantu penglihatan. Di Asia, kacamata diikatkan di telinga dengan menggunakan semacam kabel. Baru sekira tahun 1727 Edward Scarlett, ahli optik dari Inggris, mengembangkan kacamata modern dengan gagangnya yang bertengger di belakang telinga. Konsep ini sebenarnya telah dikembangkan di Spanyol sekira 1500-an.


Johannes Keppler. (Wikimedia Commons)
Johannes Keppler. (Wikimedia Commons)

Kacamata Lensa Berwarna


Memasuki abad ke-17, lensa berwarna mulai dikembangkan dan segera menjadi populer. Di Tiongkok, kacamata dengan warna menyerupai minuman teh digunakan sebagai alat terapi mata yang terkena infeksi. Tak hanya warna yang berinovasi. Lensa model bulat yang merajai hingga akhir abad ke-18 digantikan dengan lensa model oval yang lebih modern. Selain itu, bingkai kacamata pun berkembang; tak hanya menggunakan bahan logam, tetapi juga kayu, tulang, dan tanduk.


Sam Foster. (Rebecca Felix, Sam Foster: Sunglasses Success).
Sam Foster. (Rebecca Felix, Sam Foster: Sunglasses Success).


Kacamata Bifokal


Menginjak usia 78 tahun, Benjamin Franklin, ilmuwan yang merupakan salah seorang pendiri negara Amerika Serikat, mengalami penurunan kemampuan melihat sehingga membutuhkan bantuan kacamata. Dia memiliki dua jenis kacamata, satu untuk membaca dan satu lagi untuk melihat jarak jauh. Pada 1785, dia berpikir untuk menggabungkan keduanya yang dikenal dengan kacamata bifokal sehingga bisa dipakai membaca sekaligus melihat jauh.


Kacamata Antisinar Matahari


Kacamata dengan lensa berwarna, kekuningan dan kecoklatan, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulanya dikenakan penderita sifilis yang sensitif terhadap cahaya. Kacamata antisinar matahari ini berkembang pesat setelah Sam Foster, pemilik merek kacamata Foster Grand, mengenalkannya di Amerika pada 1929. Tujuh tahun kemudian, muncul kacamata dengan lapisan polaroid yang dipatenkan Edwin H. Land, ilmuwan Amerika. Pada Perang Dunia II, Ray Ban, pabrikan kacamata asal Italia, mengeluarkan produk khusus kacamata antisinar matahari khusus bagi pilot pesawat tempur, setelah sebelumnya, pada 1937, produknya dikenakan para pesohor Hollywood.


Charles Wheatstone. (Wikimedia Commons).
Charles Wheatstone. (Wikimedia Commons).

Kacamata Tiga Dimensi


Charles Wheatstone (1802–1875), ilmuwan Inggris, sekira tahun 1838 menciptakan stereoscope yang memperlihatkan foto-foto tiga dimensi. Namun, penggunaannya untuk menonton sinema tiga dimensi berkembang pesat di Amerika pada 1950-an dengan munculnya film-film tiga dimensi semacam Man of The Dark, House of Wax, dan Creature From The Black Lagoon.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Pesta Panen dengan Ulos Sadum dan Tumtuman

Kedua jenis ulos ini biasa digunakan dalam pesta sukacita orang Batak. Sadum untuk perempuan dan Tumtuman bagi laki-laki.
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
bottom of page