top of page

Sejarah Indonesia

Mengatur Orang Asing Di Jawa Kuno

Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno

Pengaturan orang asing di Jawa Kuno. Ada petugas khusus yang menanganinya.

30 Mei 2021

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi: lukisan keragaman masyarakat di Batavia dalam gerbong trem karya J.C. Rappard yang dibuat pada sekira 1881 hingga 1889. (Wikimedia Commons).

Orang-orang dari mancanegara sudah sejak lama datang ke Jawa. Pemerintah kerajaan di Jawa pun merasa perlu membentuk petugas dan sistem untuk mengatur keberadaan orang-orang asing itu. 


Munculnya aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta dalam berbagai prasasti merupakan bukti bahwa pengaruh asing sudah diterima masyarakat Nusantara. Contohnya prasasti-prasasti dari Kutai di Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa yang berasal dari abad ke-5. 


“Tapi dulu belum ada penyebutan yang eksplisit tentang orang asing. Baru ada pada masa Airlangga. Selanjutnya makin sering muncul di Prasasti Majapahit,” kata Asri Hayati Nufus dalam webinar berjudul “Kajian Prasasti Masa Airlangga” yang diadakan Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) dalam rangka purnabakti arkeolog Universitas Indonesia, Ninny Soesanti pada Selasa (25/05/2021).


Raja Airlangga merupakan penguasa Kahuripan pada 1019–1042. Pada masanya, jumlah orang asing sudah banyak, sebagaimana dibuktikan lewat Prasasti Kamalagyan (1037). Misalnya, orang dari Kalingga, Arya, Srilangka, Pandikira, Dravida, Campa, Khmer, dan Remin. 


Sang raja pun merasa perlu menunjuk petugas untuk mengurusnya. Di antaranya ada petugas yang dinamai juru kling, juru hunjeman,dan paranakan.


“Tugas mereka menarik pajak dan melakukan pencatatan atau sensus terhadap orang asing,” jelas Asri. 


Dengan melakukan pencatatan, petugas dapat mendata tujuan kedatangan orang asing ke wilayah kerajaan. Jika orang asing datang untuk bedagang, dia akan dikenakan dua tipe pajak, yaitu pajak profesi dan pajak orang asing (kikeran). 


“Raja juga bisa mengetahui pengaturan apa yang efektif untuk dikenakan untuk orang asing dan seberapa banyak mereka di Jawa,” jelas Asri.


Pengaturan Khusus


Asri menjelaskan, dari 33 prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga hanya tiga yang menyebutkan keberadaan orang asing, yaitu Prasasti Cane (1021) yang menyebut istilah paranakan, juru kling, juru hunjeman;Prasasti Baru (1031); dan Prasasti Turun Hyang A (1040). 


Asri mengartikan paranakan sebagai petugas yang mengurus para keturunan campur. “Kemungkinan orang asing menikah dengan orang Jawa, jadi perlu ada petugas yang mengaturnya,” jelasnya. “Bisa jadi mengurus pedagang keturunan campur dan menarik pajak dari mereka.”


Asri mengutip pendapat Subbaralayu, sejarawan India, bahwa kata juru hunjeman berasal dari bahasa Persia, Anjumanyang artinyahimpunan atau perkumpulan.


“Jadi hunjeman ini sekelompok pedagang, terdiri dari orang Yahudi, Muslim, Kristen, Siria, atau Nasrani, dan orang Persia (Zarathustra) yang biasanya bermukim di kota-kota pesisir,” kata Asri. 


Orang hunjeman pada sekira abad ke-9 hingga ke-11 telah aktif berdagang di wilayah Malabar, India, hingga wilayah Asia tenggara. “Otomatis ke Jawa,” lanjut Asri.


Dengan pengertian itu artinya telah ada yang mengatur para kelompok dagang kala Airlangga berkuasa. Petugas itulah yang disebutkan dalam prasasti sebagai juru hunjeman.


“Mereka petugas yang mengatur dan mengambil pajak dari orang hunjeman atau kelompok pedagang,” kata Asri. 


Sementara untuk pendatang India yang mengatur adalah petugas bernama juru kling. Menurut sejarawan George Coedes, kling atau Keling adalah orang yang berasal dari India Selatan, tepatnya dari Kerajaan Kalingga.


Sedangkan menurut Petrus Josephus Zoetmulder, pakar kesusastraan Jawa Kuno, Keling adalah Kerajaan Kalingga yang berasal dari India Selatan. Sementara juru kling adalah petugas yang mengurusi orang Keling atau kelompok pedagang yang berasal dari Tamil Nadu.


Karena begitu banyak orang India, selain mengatur orang dari Kalingga, juru kling juga kemungkinan mengatur orang India lainnya. Mereka adalah Malyala (orang Malayala), Aryya (orang dari Arya), Karnnataka (orang dari Karnataka), Cwalika (orang dari Cholika atau Kerajaan Chola), Pandikira (orang dari Kerajaan Pandya), Drawida (orang Dravida), Balhara (orang dari India Utara), Gala (orang dari Kerajaan Gauda), dan orang Singhala (orang Srilanka).


“Karena orang India sangat banyak di Jawa, yang ada bukan hanya orang Kling saja. Jadi, kemungkinan juru kling tak hanya mengatur orang dari Kalingga, tapi orang India secara keseluruhan,” jelas Asri.


Pengaturan orang asing juga menyangkut masalah pengadilan yang mengusut kasus orang asing. Pun soal larangan bagi mereka masuk ke wilayah tertentu. “Melihat itu artinya perdagangan internasional masa Airlangga sudah ramai,” kata Asri. 


Disambut Baik dan Hangat


Pada masa Majapahit, sumber terawal yang menyinggung keberadaan orang asing adalah Prasasti Balawi (1305) sebagaimana ditulis Hery Priswanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “Orang-orang Asing di Majapahit” yang termuat dalamMajapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Prasasti Balawi atau Prasasti Kertarajasa menyebutkan adanya orang dari Keling, Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mambaŋ. 


Selain Prasasti Balawi, Kakawin Nagarakrtagama (1365) juga menggambarkan kegiatan perdagangan yang melibatkan para pedagang asing. Suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan transaksi dagang pun dilukiskan.


Bukan hanya dalam hal perdagangan, hubungan dengan orang asing juga menyangkut kerjasama antarnegara. Dalam Kakawin Nagarakrtagama disebutkan negara-negara asing dari Syangkayodyapura, Dharmmanagari, Marutma, Singhanagara, Campa, Kamboja, dan Yamana. Majapahit juga mengikat hubungan persahabatan dengan Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, Karnnataka, Goda, dan Siam. 


Keberadaan orang asing juga dicatat Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho, dalam Yingya Shenglan. Pada 1412, Ma Huan menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.


Dalam catatannya, Ma Huan menyebut Majapahit dan kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya. Dia menyebut, kawasan Pantai Utara itu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina. 


Terutama orang Cina dan Arab, banyak yang menetap dan berdagang. Mereka masuk ke dalam tiga golongan penduduk Jawa.


Ma Huan mencatat, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad, berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catatnya.


Golongan kedua adalah Tangren atau Tenglang merujuk pada orang Cina. Umumnya mereka berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Golongan ketiga adalah orang Jawa yang lebih dulu menetap.


Ma Huan merupakan orang pertama yang menyebut bahwa penduduk Jawa ada yang berasal dari Cina. Meski kedatangan orang Cina di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6.


Banyaknya orang asing yang tinggal di Jawa rupanya tak banyak mendapat penolakan. Setidaknya begitu menurut Kakawin Nagarakrtagama. Mpu Prapanca menulis, pada saat kedatangan orang-orang dari negara lain, mereka disambut baik dan hangat.


“Itulah alasannya mengapa tanpa henti semua orang datang dari negara lain tak terkecuali dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana (Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Gauri), dan Syangka (Siam) yang berangkat dari tempat asalnya dengan naik kapal bersama-sama dengan pedagang,” tulisnya.


Makanya,menurut Hery Priswanto, “Para tamu asing yang mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta merasa puas dan senang menetap di Majapahit.”


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page