top of page

Sejarah Indonesia

Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis

Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis?

Di masyarakat Bugis, prosesi pernikahan menghabiskan biaya yang tinggi. Tujuannya untuk menaikkan status sosial hingga memperluas relasi kuasa.

17 November 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sipakarawa (saling memudahkan). Salah satu prosesi perkawinan Bugis setelah akad nikah dinyatakan sempurna. Ambe Botting (wali pengantin laki-laki), melakukan ritual agar kedua pasangan saling menyayangi dan langgeng. (Eko Rusdianto/Historia.ID).

PADA suatu malam di Sorowako, seorang pemuda menceritakan perjalanan cintanya selama enam tahun yang harus kandas karena biaya pernikahan. Keluarga pihak perempuan meminta syarat uang panaik sebanyak Rp120 juta. Sementara si pemuda hanya mampu Rp80 juta.


Fenomena ini menghantui pemuda dan pemudi di Sulawesi Selatan. Laki-laki harus bekerja keras mengumpulkan uang lalu diserahkan kepada pihak perempuan. Biasanya, pernikahan dengan uang panaik antara Rp5 juta hingga Rp15 juta, dianggap tidak bergengsi. Maka pesta pernikahan pun akan dilaksanakan dengan sederhana.


Seorang pemuda lain, Fajar Thalib memandang uang panaik yang dibebankan pada laki-laki cukup membebani, namun pemicu semangat. “Jadi ada usaha besar dalam mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan sejumlah uang. Jadi sebelum menikah, laki-laki tak berpikir bagaimana kehidupan kedepan, tapi berpikir menyelamatkan uang panaik,” katanya.


Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, Ima Kesuma mengatakan, tingginya uang hantaran di masyarakat Bugis sudah berlangsung sejak lama. “Uang panaik itu untuk menunjukkan gengsi dan kekuatan ekonomi pihak laki-laki,” katanya. “Ingat perempuan di Bugis adalah aset. Ia melambangkan kesuburan dan kehidupan.”


Pada masa lalu, kata Ima, anak-anak perempuan di tempatkan di lantai dua rumah. Tempat di mana beras dan sumber makanan disimpan. Sementara anak laki-laki di bagian tengah rumah. “Ini menunjukkan bagaimana perempuan Bugis itu dijaga dengan baik. Maka ketika hendak menikah, calonnya harus benar-benar matang secara ekonomi,” katanya.


Rentetan prosesi pernikahan masyarakat Bugis, dilakukan beberapa tahap. Ma’manuk-manuk dimana pihak laki-laki melakukan kunjungan ke pihak perempuan untuk menyatakan maksud perjodohan. Mappassio atau melaksanakan pertunangan. Kemudian lamaran. Akhirnya pernikahan.


Uang panaik atau dui menre, adalah uang hantaran yang diserahkan pihak laki-laki pada keluarga mempelai perempuan. Besarannya ditentukan saat prosesi lamaran. Pihak keluarga mempelai laki-laki akan menyampaikan kesanggupan dan mendiskusikannya bersama pihak mempelai perempuan. Tak jarang, di saat seperti ini terjadi debat.


Secara harfiah uang panaik adalah uang naik. Pada masa lalu uang hantaran tersebut diserahkan dengan menaiki anak tangga karena rumah-rumah Bugis kebanyakan rumah panggung. Tujuan uang hantaran ini untuk membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan.  Meskipun biasanya besaran uang itu tidak selalu menutupi biaya keseluruhan pesta.


Namun, kata Ima, pada prinsipnya masyarakat Bugis memegang prinsip eppa sulappa (empat sisi) dalam menentukan calon mempelai pengantin, yaitu pendidikan, akhlak, pekerjaan dan status darah atau keturunan. “Saya kira tiga yang utama adalah pendidikan, akhlak, dan pekerjaan,” katanya.


Sementara itu, Susan Bolyard Millar dalam Perkawinan Bugis menuliskan, tradisi uang panaik menjadi penanda status yang boros, bersifat pamer dan agresif. “Dalam setahun, sepasang suami istri yang sedang mencapai masa jaya akan siap mengawinkan anak laki-laki mereka yang paling menjajikan, yang cukup layak dipasangkan dengan wanita berstatus lebih tinggi dengan jumlah uang belanja yang lebih tinggi,” tulisnya.


Christian Pelras dalam Manusia Bugis juga menjelaskan, pernikahan di masyarakat Bugis dikenal dengan istilah siala (saling mengambil satu sama lain). Pasangan mempelai ini, walaupun dalam status sosial yang berbeda akan menjadi mitra, sebagai sebuah persekutuan dan penyatuan dua keluarga. Yang juga ditempuh dalam dua sahabat atau mitra usaha.


“Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi ‘bukan orang lain’,” tulis Pelras.


Hal itu jugalah yang diyakini Ima, di mana terdapat istilah dalam masyarakat Bugis, tellu cappa (tiga cara dalam berdiplomasi). Ujung pertama adalah lidah yakni diplomasi dilakukan dengan cara berdialog. Diplomasi kedua adalah ujung kelamin atau dengan kata lain upacara pernikahan. Dan diplomasi terakhir jika tak ada jalan lain adalah ujung badik, pertumpahan darah.


Diplomasi menggunakan tahapan pernikahan adalah hal lumrah yang dilakukan sejak masa kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan anak gadis mereka untuk dinikahi oleh bangsawan atau raja dari kerajaan berkuasa. “Jika sudah demikian, maka kerajaan bawahan tentu akan menaikkan status dan derajatnya, karena telah memiliki hubungan darah dengan kerajaan besar,” katanya.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page