top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perempuan Pertama Penerima Bintang Gerilya

    Pada peringatan HUT TNI ke-4 tanggal 5 Oktober 1949 di Markas Divisi Siliwangi, Bandung, Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin menyerahkan penghargaan Bintang Gerilya kepada Erna Djajadiningrat. Erna menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya berkat jasanya selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Erna lahir di Serang, Banten, 4 Maret 1911. Anak ketiga Bupati Serang RAA Achmad Djajadiningrat ini mengenyam pendidikan sekolah dasar Europeesche Lagere School, sekolah menengah Hogere Burger School, dan Middelbare Huishouds School (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ensiklopedi Sunda menyebutkan bahwa meski keluarga bangsawan, Erna dekat dengan rakyat kecil. Mendapat pendidikan agama Islam yang mendalam dan mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Dia bersama saudara perempuannya diminta oleh ayahnya agar menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa. Setelah menyelesaikan Sekolah Kesejahteraan Keluarga, dia menjadi guru di Van Deventer School di Solo, Jawa Tengah. Di luar waktu mengajar, dia aktif di berbagai kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia aktif pula mempelajari adat-istiadat Sunda. Sejak tahun 1932, dia berpindah-pindah tempat tugas, dan hampir semua kota di Pulau Jawa pernah ditinggali dalam rangka tugas mengajar. Pada Oktober 1945, Erna bersama Suwarni Pringgodigdo dan Maria Ullfah mendirikan organisasi Wani (Wanita Indonesia) di Jakarta. Dalam bahasa Sunda dan Jawa, wani artinya berani. Menurut buku Seperempat Abad Badan Penghubung Organisasi-organisasi Wanita (BPOW) DKI Jakarta, Erna bertugas di dapur umum Wani bersama Maria Ullfah dan Ibu Subari, mula-mula di Jalan Mampang 47 kemudian pindah ke Pegangsaan Timur 19. Dapur umum menghimpun bahan makanan seperti ikan asin, rokok, daging kering, gula, kopi, beras dan lain sebagainya. Bahan-bahan makanan ini kemudian dikirim ke garis depan. Permintaan pakaian seragam ditangani bagian penjahit. Biasanya dikirimkan ke garis depan bersama dengan pengiriman makanan. Anggota Barisan Putri Indonesia dan ibu-ibu pekerja di kantor-kantor membantu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan. “Dapur umum Wani menyediakan makanan nasi bungkus untuk beratus-ratus orang dari Badan Keamanan Rakyat, Polisi Umum, dan Jawatan Kereta Api,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3 . Dapur umum Wani bekerja sama dengan Walikota Jakarta Soewirjo, Mayor Oetaryo dari Kantor Perhubungan Tentara, Mayor Kemal Idris dari Resimen Tangerang, dan Letkol Mufraeni dari Resimen Cikampek. “Mengingat situasi politik dan ekonomi pada masa itu, keamanan jelek, uang dan pangan sulit, maka usaha yang dijalankan oleh Erna dengan tabah dari hari ke hari patutlah memperoleh penghargaan,” kata Rosihan. Erna yang dijuluki “Si Nona Keras kepala” oleh Jepang dalam menyelenggarakan dapur umum benar-benar berkarakter wani atau berani. “Ketika saya di redaksi Merdeka mendengar berita bahwa rumah tempat Erna bekerja ditembaki serdadu NICA-Belanda yang lewat, sama sekali Erna tidak panik, tetap tenang. Itulah sosok wanita pejuang,” kata Rosihan. Erna pernah diperiksa oleh Belanda setelah mereka mengetahui kegiatan dapur umum Wani yang sebenarnya. Kepada Belanda, Erna mengatakan bahwa kegiatan dapur umum untuk membantu rakyat dengan makanan. Sementara itu, kegiatan pokok mengirim makanan ke garis depan tetap berlangsung. Belanda juga menggeledah rumah Erna. Meski tidak berhasil menemukan bukti bahwa Wani bekerja untuk kepentingan perjuangan, namun Belanda tetap melarang Wani. Agar pengiriman makanan ke garis depan tetap berjalan, Erna mengubah Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik). Pengiriman makanan tetap diteruskan sehingga para pejuang di garis depan bisa terus melanjutkan perjuangannya. Selain pengiriman makanan, PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda. Salah satu yang dibebaskan adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang masuk penjara Bukit Duri Jakarta tahun 1947. “Aku sendiri tercantum sebagai sersan mayor. Pada 12 Desember 1949 kami bersembilan dibebaskan sebagai orang-orang terakhir. Kebebasan kami dijemput oleh Panitia Korban Politik yang diketuai oleh Erna Djajadiningrat,” kata Pram dalam Nanyi Sunyi Seorang Bisu . Pada waktu penandatanganan penyerahan kedaulatan di Jakarta pada 27 Desember 1949, Erna bersama Maria Ullfah dan Ibu Yamin menjadi anggota delegasi dengan ketua Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Roofink. Erna menikah dengan Ir. Soetoto, Sekjen Departemen Perhubungan. Dia pernah menjadi anggota DPRDS Jawa Barat, penilik sekolah-sekolah rumah tangga seluruh Indonesia, serta kepala urusan pendidikan wanita pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia meninggal di Rumah Sakit Setia Mitra Jakarta, 8 November 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

  • Cerita di Balik Gambar Sisingamangaraja XII

    PADA 1954, Augustin Sibarani, pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia, menghadiri pertemuan besar keluarga masyarakat Tapanuli yang diselenggarakan Panitia Sisingamangaraja XII di gedung Adhuc Stadt (sekarang gedung Bappenas) di Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu hadir seorang tokoh Batak yang sudah tua, Sutan Paguruban Pane, ayah pengarang terkenal Sanusi dan Armijn Pane. Waktu Sisingamangaraja XII bergerilya di daerah Dairi, Sutan bekerja sebagai klerk (juru tulis) di kantor pemerintah Hindia Belanda di Sibolga. Panitia memutuskan agar Sibarani membuat gambar Sisingamangaraja XII berdasarkan keterangan dari Sutan Paguruban Pane. Aneh memang, tidak ada foto Sisingamangaraja XII, sementara ayahnya, Sisingamangaraja XI ada fotonya yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis asal Jerman. Ada cerita bahwa tak ada foto Sisingamangaraja XII karena kesaktiannya membuat juru foto Belanda menjadi kaku ketika hendak memotret jenazahnya, dan kameranya hangus terbakar. Sibarani membuat lebih dari sepuluh sketsa Sisingamangaraja XII. Salah satunya, menurut Sutan Paguruban Pane, sudah cukup mirip tapi dia meminta Sibarani untuk menyempurnakannya. Untuk itu, Sutan menyuruh Sibarani untuk pergi ke Tapanuli, Sumatra Utara, menemui tokoh-tokoh lain yang mengenal Sisingamangaraja XII. “Ada sejumlah uang yang dikumpulkan oleh panitia untuk tujuan memberangkatkan saya ke Tapanuli. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena ada anggota panitia yang menyeleweng, karena itu saya tidak jadi pergi ke Sumatra. Dan selama beberapa tahun kemudian persoalan pembuatan gambar Sisingamangaraja dilupakan,” kata Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII . Pada 1957, Joramel Damanik, tokoh Batak yang memiliki penerbitan, mengirim pelukis terkenal, Zaini, ke Sumatra Utara untuk menemui keluarga Sisingamangaraja XII. Lukisan Sisingamangaraja XII yang dibuat Zaini ditolak keluarga Sisingamangaraja XII karena kelihatan terlalu gemuk. “Bila saja Zaini memakai logika sedikit, dia akan menyadari bahwa seorang pemimpin yang bergerilya dan terus-menerus mengadakan long march di hutan belantara dan daerah berbatu di Dairi selama lebih kurang 20 tahun, tidak mungkin berbadan gemuk atau bertubuh penuh lemak,” kata Sibarani. Setelah itu, persoalan gambar Sisingamangaraja XII tidak bicarakan lagi sampai tahun 1961 ketika Sisingamangaraja XII akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada Agustus 1961, Sibarani dikunjungi Kolonel Rikardo Siahaan, tokoh pejuang Medan Area, bersama Kapten Sinaga. Mereka meminta Sibarani segera pergi ke Tapanuli untuk merampungkan lukisan Sisingamangaraja XII. Mereka menyampaikan lukisan harus diserahkan kepada Presiden Sukarno pada Hari Pahlawan, 10 November 1961. Sibarani dibekali uang Rp6.000, jumlah yang cukup lumayan pada waktu itu. Sibarani pergi ke Tapanuli ditemani pelukis Batara Lubis dan Amrus Natalsya. Sesampainya di Medan, Sibarani didatangi pensiunan Bupati yang mengaku putra Raja Ompu Babiat Situmorang, raja yang berjuang bersama Sisingamangaraja XII di daerah Dairi. Sibarani mendatangi Raja Ompu Babiat Situmorang di Harianboho (Samosir) di tepi Danau Toba. Raja itu menerangkan ciri-ciri Sisingamangaraja XII: tingginya sekitar dua meter, wajahnya agak lonjong, tidak berkumis karena suka dicabutin pakai pinset, alisnya tebal, jenggotnya agak kemerahan pada ujung-ujungnya dan agak mengarah ke atas, rambutnya yang panjang diikat seperti timpus (buntelan di belakang kepala), dadanya yang bidang dipenuhi bulu yang agak kasar, hidungnya mancung tapi agak besar, dan dahinya lebar. Selain keterangan penting itu, Sibarani mendapatkan dua foto dari putri Sisingamangaraja XII, yaitu foto Raja Buntal dan Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII. Menurut Raja Ompu Babiat Situmorang, kalau wajah Raja Buntal disatukan dengan wajah Raja Sabidan, maka Sibarani dapat melihat wajah Sisingamangaraja XII. Setelah mengetahui ciri-ciri Sisingamangaraja XII, Sibarani membutuhkan model. Dia mengunjungi Raja Barita Sinambela sekaligus meminta restu untuk melukis ayahnya, Sisingamangaraja XII. Kebetulan di rumahnya tinggal Patuan Sori, putra Raja Buntal, yang berusia 18 tahun dan masih duduk di SMA. Dia memiliki alis mata yang tebal dan matanya agak besar mencekam sesuai dengan keterangan Raja Ompu Babiat Situmorang. “Putra dari Raja Buntal inilah, yaitu Patuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model,” kata Sibarani. Sibarani meminta bantuan seorang tua marga Sinambela untuk memakaikan pakaian kepada Patuan Sori. Orang tua itu mengenal Sisingamangaraja XII sekaligus sebagai pengantar surat-surat Sisingamangaraja XII kepada para panglimanya atau raja-raja lain. Selama beberapa hari, Patuan Sori dengan memakai pakaian Sisingamangaraja XII berpose di hadapan Sibarani. Sibarani menyelesaikan lukisan Sisingamangaraja XII di rumah iparnya di Medan yang tak jauh dari rumah Raja Barita Sinambela. Setelah selesai, Raja Barita Sinambela dan seorang tua marga Sinambela merestui lukisan Sisingamangaraja XII karya Sibarani. Sibarani menyerahkan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Kolonel Rikardo Siahaan untuk diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 10 November 1961. Namun, tidak jadi karena menunggu seorang ibu tua berusia 72 tahun, anak Sisingamangaraja XII. Dia mengaku kakak dari Lopian, putri Sisingamangaraja XII yang meninggal bersama ayahnya. Dia mengoreksi lukisan itu: bulu dada Sisingamangaraja XII tidak begitu tebal, jenggotnya tidak terlalu panjang, hidungnya harus dibesarkan sedikit, dan alis matanya terlalu tebal. Dia meminta Sibarani untuk mengubah lukisannya sebelum diserahkan kepada Presiden Sukarno. “Besoknya lukisan itu saya ubah lagi hingga lukisan Sisingamangaraja XII yang berdiri tegak memegang tongkat itu pun selesai,” kata Sibarani. Anggota panitia, tokoh-tokoh terkemuka sipil dan militer dan keluarga keturunan Sisingamangaraja XII menghadiri upacara penyerahan lukisan Sisingamangaraja XII kepada Presiden Sukarno di Istana Negara pada Desember 1961. Ketika lukisan itu diserahkan kepada Sukarno, ibu tua itu berteriak “Among (ayah)” lalu pingsan. “Semua tokoh yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Sisingamangaraja XII menandatangani suatu pernyataan bahwa mereka mengakui lukisan Sisingamangaraja yang saya buat,” kata Sibarani. “Tapi sayang, ini semua tidak dapat saya hadiri sebagai pelukisnya karena saya tidak berada di Jakarta. Saya sedang berada di Medan menghadiri perayaan hari ulang tahun ibu saya.”*

  • Anton Lucas dan Cerita Kutilnya

    Di antara kerumuman peserta Indonesia Council Open Conference 2017 pekan lalu (3-4 Juli) di Universitas Flinders di Adelaide, Australia, seorang pria berdiri menjulang karena tingginya lebih dari yang lain. Dia berjaket kulit hitam dengan kerah warna coklat, sesekali tampak bicara kepada peserta lain dalam bahasa Indonesia yang jernih dan tertata. Orang-orang menyapanya takzim, “Pak Anton”, lengkapnya: Anton Lucas, Indonesianis yang dikenal karena melakukan penelitian tentang revolusi sosial di wilayah pantai utara Jawa. Hasil penelitian setebal lima ratus halaman itu kemudian diajukan sebagai disertasi doktor di Australian National University dengan judul The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution Againts the Bureaucratic Elite in North Central Java in 1945 . Buat para peneliti sejarah dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, nama Anton Lucas tak lagi asing. Karyanya, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi itu, menjadi rujukan bagi mereka yang ingin memahami dinamika politik lokal pada era revolusi. Kariernya sebagai sejarawan justru tak dimulai dari pendidikan profesional kesejarahan. “Pendidikan sarjana saya ekonomi pertanian,” kata Anton. Tapi dia tak kerasan menekuni ilmu yang sama untuk jenjang masternya. Ketika dikirim kuliah ke East West Center di Hawai, alih-alih meneruskan master dalam bidang ekonomi pertanian, Anton mencari kesempatan untuk menekuni kajian Asia dengan fokus Indonesia. “Sebelumnya penasihat akademik saya ragu, tapi akhirnya setuju dengan keputusan saya pindah jurusan,” kata Anton mengenai kejadian di pengujung tahun 1969 itu. Berhasil menjadi mahasiswa pascasarjana kajian Asia, Anton menuju Indonesia untuk belajar bahasa di Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, dia menekuni bahasa Indonesia dan mengikuti kelas perkuliahan di Universitas Gadjah Mada. “Setiap sore saya naik sepeda ke rumah Ibu Sulastin Sutrisno untuk belajar bahasa Indonesia. Saya juga jadi mahasiswa pendengar kuliah kapita selekta sejarah Indonesia di kelas Pak Sartono,” kenangnya. Sulastin Sutrisno pengajar di Fakultas Sastra UGM (kini Fakultas Ilmu Budaya) jurusan bahasa Belanda, penerjemah surat-surat RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang . Sedangkan Sartono yang dimaksud Anton adalah Sartono Kartodirdjo, mahaguru sejarah UGM yang menulis disertasi Pemberontakan Petani Banten 1888. “Bu Sulastin sering mengingatkan saya. Mas Anton jangan bilang ‘pelan-pelan’, itu bahasa untuk tanda jalan,” kata Anton meniru ucapan Sulastin menegurnya pada masa-masa awal belajar bahasa Indonesia. Seiring makin mahirnya kemampun Anton berbahasa Indonesia, hasrat menekuni sejarah Indonesia pun makin meningkat. Namun Anton harus menemukan satu tema penelitian yang kelak bisa dijadikan bahan menulis disertasinya. “Dari Pak Sartono saya mendengar kisah tentang Sarimin Reksodiharjo, bupati Brebes zaman Jepang yang pernah ditangkap oleh pemuda,” ujar Anton. Kisah itu Anton peroleh langsung dari Sartono yang secara tak sengaja bertemu Sarimin dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta. “Waktu itu Pak Sarimin ditangkap pemuda, “didaulat” istilahnya, digembleng dikasih pengertian tentang revolusi dan proklamasi kemerdekaan.” Sartono menilai kisah Sarimin menarik untuk diperluas menjadi sebuah tema penelitian tentang masa revolusi. Menurut dia apa yang dialami Sarimin juga terjadi pada pangreh praja lainnya. Bak kepingan fragmen yang harus dirangkai menjadi sebuah gambaran peristiwa sejarah yang utuh, peristiwa tersebut menggejala di wilayah karesidenan Pekalongan. Peristiwa Tiga Daerah bermula dari pergolakan sosial yang terjadi pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, di mana seluruh elite birokrat di wilayah tersebut diganti oleh kalangan revolusioner yang datang dari golongan Islam, sosialis dan komunis. Struktur pemerintahan yang semula dikuasai oleh golongan birokrat dari kalangan feodal, dipreteli satu per satu sehingga sepenuhnya menjadi pemerintahan baru yang senafas dengan semangat revolusi kemerdekaan. Peristiwa tersebut acapkali diiringi pula oleh kekerasan serta aksi-aksi kriminal lainnya. Namun demikian menurut Anton, berbagai kasus yang mengiringi peristiwa Tiga Daerah itu harus dipandang sebagai akumulasi kekecewaan yang berbuntut panjang hingga ke masa kolonialisme Belanda dan kemerosotan ekonomi di masa Jepang. “Saya juga membaca disertasi Ben Anderson yang baru terbit waktu itu. Di situ disebutkan tentang apa yang terjadi di Pekalongan. Ben cerita secara garis besarnya. Dia bilang cerita lengkap kejadian itu belum pernah ditulis dan perlu ada penelitian lanjutan lagi,” kata Anton. Untuk itu dia pergi ke Semarang, melacak saksi-saksi yang kemungkinan masih ada. Tempat pertama yang ditujunya dinas sejarah militer Kodam Diponegoro (Semdam), di mana dia menemukan dokumentasi mengenai peristiwa Tiga Daerah. Menurut Anton, di sanalah dia menemukan nama Wadyono, salah satu tokoh kunci dalam peristiwa tiga daerah. Wadyono adalah komandan TKR Resimen XVII wilayah Pekalongan. Dialah yang menyusun rencana kontra atas kaum revolusioner yang menguasai wilayah Tiga Daerah. “Dari Semdam saya langsung ke rumah Wadyono, ketok-ketok pintu rumahnya. Saya memperkenalkan diri dan memulai bertanya tentang peristiwa Tiga Daerah,” kenang Anton. Selain memperoleh keterangan dari Wadyono, Anton juga mendapat bantuan sejarawan Djoko Suryo yang berasal dari Pekalongan untuk mengenali wilayah penelitiannya. “Kebetulan Djoko Suryo berasal dari wilayah selatan Pekalongan dan dia juga mengetahui peristiwa Tiga Daerah.” Pelacakan informasi dimulai dari mengumpulkan data-data dan saksi-saksi yang pernah terlibat di dalam peristiwa yang terjadi di wilayah Brebes, Pemalang dan Tegal itu. Sejak saat itu Anton mulai rajin bolak-balik pergi mengunjungi ketiga daerah penelitiannya. Tokoh-tokoh Peristiwa Tiga Daerah di penjara Wirogunan, Yogyakarta, Desember 1946. Deret belakang: Khambali, Sakhyani (Kutil), Dr. Muryawan, Kromo Lawi, Mohamad Nuh, Supangat. Deret depan: Miad, Saleh Yusuf, Sapili, Moh. Salim, M (?), S. Widarta. (Koleksi Anton Lucas) Salah satu temuan menarik dari riset Anton itu adalah kisah seorang tokoh lokal bernama Kutil. Kutil alias Sakhyani terkenal sebagai jagoan rakyat dari Kecamatan Talang, Tegal. Daerah Talang menurut Anton, “menjadi contoh terkenal selama revolusi sosial di Tiga Daerah” karena siapa saja yang melewati Talang semasa revolusi sosial berisiko ditangkap bahkan dibunuh. “...Kecamatan Talang terkenal terutama karena Kutil, jagoan rakyat Talang, yang kehidupan dan kematiannya telah dimitoskan oleh sejarah,” tulis Anton dalam bukunya. Ada pula anggapan umum yang berkembang di luar wilayah Talang bahwa “Kutil adalah algojo yang telah membunuh banyak orang, kejam, buas, anarkis, alat PKI, tapi ada juga yang beranggapan bahwa dia adalah agen NICA (pemerintahan Belanda di pengasingan Australia semasa Jepang berkuasa di Indonesia , red .),” lanjut Anton mengungkap kisah Kutil. Dalam sidang pengadilan di Pekalongan, Kutil mengaku telah melakukan banyak pembunuhan , dan menurut pendukungnya hal itu dilakukan demi melindungi teman-temannya di Talang. “Ia adalah orang pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman mati melalui proses pengadilan formal di Pekalongan. Peristiwa Tiga Daerah sering disebut sebagai ‘gerakan Kutil’,” tulis Anton. Di tengah tuduhan bahwa Kutil seorang komunis yang kerap digambarkan anti-Tuhan dan agama, Anton mengungkapkan kenyataan lain bahwa Kutil sebenarnya datang dari kalangan santri yang berprofesi sebagai guru agama. Mengutip keterangan dari anak Kutil, ayahnya seringkali bepergian jauh untuk memimpin pengajian dan baru pulang lewat tengah malam. Ketika masa revolusi tiba, Kutil mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Talang. “Tujuan AMRI bentukan Kutil di masa revolusi sosial adalah pembagian kekayaan (kepada rakyat , red. ). Tujuan lain adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA, yang dianggap sebagai pengkhianat Republik,” kata Anton. Salah satu yang dilakukannya adalah mendistribusikan kain di Talang dan wilayah sekitarnya. Saat itu kain menjadi kebutuhan mendesak karena selama pendudukan Jepang menjadi langka sehingga membuat sebagian besar rakyat menjadikan karung goni untuk pakaian. Kutil mementingkan pembagian itu atas dasar asas “sama rata sama rasa” tanpa pengecualian. Sebegitu legendarisnya Kutil sehingga kisahnya tetap bertahan sebagai mitos di kalangan masyarakat Tegal. Dadang Christanto seniman kelahiran Tegal yang kini bermukim di Australia bahkan masih ingat bagaimana nama Kutil digunakan untuk menakuti-nakuti anak-anak kecil. “Kalau ada anak nakal, orangtua zaman dulu suka bilang ‘awas nanti diculik sama Kutil’,” ujar Dadang kepada Historia . Anton merekam kisah tersebut dengan baik dalam bukunya. Tak hanya itu, riset yang dilakukannya selama lebih dari enam tahun itu berhasil membangun gambaran utuh peristiwa Tiga Daerah yang sebelumnya terpecah dalam beberapa kepingan cerita. Bahkan karya Anton diakui sebagai karya sejarah pertama yang menggunakan metode sejarah lisan ( oral history ) sebagai ikhtiar melengkapi kekurangan dokumen tertulis atas peristiwa tersebut. Kini Anton menikmati masa pensiunnya di kota Adelaide, Australia Selatan bersama istri tercintanya Sri Kadarsih. Anton bertemu Kadarsih ketika perempuan Yogyakarta itu bekerja sebagai asisten antropolog Masri Singarimbun. “Dulu waktu saya masih penelitian sering lewat mejanya di kantor Pak Masri,” kenang pria kelahiran Melbourne tahun 1946 itu mengingat kembali masa-masa awal cintanya bersemi. Mereka dikaruniai dua anak Trina dan Darma Lucas. Kecintaannya kepada Indonesia tak pernah padam. Sebagai wujudnya, seluruh koleksi dokumentasi yang dia kumpulkan sepanjang kariernya disumbangkan ke Flinders University sehingga bisa digunakan oleh para peneliti yang hendak meneliti Indonesia. Dia dan istrinya juga rajin mempromosikan sejarah dan kebudayaan Indonesia dalam berbagai acara di Australia.

  • Paman Choo, Pelatih Asing Pertama Timnas Sepakbola Indonesia

    TIM nasional (timnas) sepakbola Indonesia kerap ditangani oleh pelatih asing. Pelatih asing pertama timnas setelah Indonesia merdeka adalah Choo Seng Quee dari Singapura. Paman Choo, begitu dia disapa, meramu sejumlah talenta Indonesia untuk pentas di Asian Games pertama tahun 1951 di New Delhi, India. Paman Choo lahir pada 1 Desember 1914 dan bermain sebagai gelandang tengah Singapore Chinese FA. Namanya melejit sejak melatih timnas Singapura periode 1949-1950. Setahun kemudian, dia dipinang PSSI untuk menukangi Maulwi Saelan cs. hingga tahun 1953. Asian Games I mempertandingkan tujuh cabang olahraga: atletik, renang loncat indah dan polo air, kesenian ( arts ), sepakbola, angkat besi, basket, dan balap sepeda. Komite Olahraga Indonesia memutuskan hanya mengikuti dua cabang olahraga yaitu atletik (17 atlet) dan sepakbola (18 atlet). Ke-18 pemain timnas antara lain Maulwi Saelan (kiper), Bing Mo Heng (kiper), Sunar ( full-back ), Sardjiman ( full-back ), Ateng (gelandang), Tan Liong Houw, Sidhi (poros halang) Pasanea (poros halang), Chaerudin ( full-back /gelandang), Jahja (gelandang), Sugino (kiri luar), Thee San Liong (kiri/kanan dalam), Ramlan (muka tengah), Bee Ing Hien (kanan dalam), Witarsa (kanan luar), Soleh (kiri/kanan luar), Ramli (muka tengah/kanan dalam), dan Darmadi (muka tengah/kiri dalam). Petinggi PSSI, Raden Maladi, merasa jika Indonesia ingin berbicara banyak di Asian Games I, timnas harus punya arsitek jempolan. Paman Choo dari Negeri Singa dianggap cocok menukangi timnas. Pimpinan timnas dipercayakan kepada Tony Wen dan dr. Halim sebagai wakil PSSI untuk menghadiri pertemuan internasional. Cabang sepakbola di Asian Games I diikuti enam negara: Afghanistan, Burma, India, Indonesia, Iran dan Jepang. Sayangnya, timnas belum bisa unjuk gigi. Di babak penyisihan, timnas dihajar 3-0 oleh tuan rumah India yang tampil nyeker alias tanpa sepatu pada 5 Maret 1951. Mengutip data RSSSF (Rec.Sport.Soccer Statistics Foundation), gawang Maulwi Saelan dijebol Sahu Mewalal di menit ke-27. Dua gol lainnya yang bersarang ke gawang timnas lahir dari gol bunuh diri bek Chaeruddin Siregar di menit ke-42 dan 50. India mengamankan medali emas setelah membekap Iran 1-0. Menurut buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah, kekalahan dari India agak terhibur karena beberapa hari kemudian, pada 9 Maret 1951, timnas mengalahkan timnas Burma (Myanmar) 4-1 dalam pertandingan persahabatan yang diadakan di New Delhi. Tur Singapura dan Timur Jauh Meski gagal di Asian Games I, Paman Choo sukses membuat timnas Indonesia menggegerkan Singapura dalam tur pada Mei 1951. Tur ini dibiayai sendiri oleh PSSI dan akomodasinya dibantu Konsulat Jenderal RI di Singapura. Akomodasi tempat menginap hanya sebuah aula sekadar untuk merebahkan badan para pilar timnas. Walau akomodasinya pas-pasan, bukan berarti timnas tampil loyo. Dalam Drama itu Bernama Sepakbola , Arief Natakusumah mencatat pada 5 Mei 1951, timnas menghajar Singapore Malays, juara Community League Singapore dan Federation of Malaya, dengan skor 7-0 di depan tatapan 8.000 penonton. Semenanjung Malaya geger. Koran-koran The Sunday Times , Strait Times , Singapore Free Press , Singapore Standard , menuai berita besar. Timnas lantas mempermalukan tim Singapura A dengan skor 4-1 dan mengimbangi tim Combine Services (tentara Inggris di Singapura) 0-0. Kemenangan kembali diraih pada 13 Mei 1951 kontra Combine Singapore 4-1. Sehari setelahnya, timnas bermain imbang 1-1 melawan tim Combine Chinese. Setelah tur Singapura, pada 1953, Paman Choo membawa timnas untuk Tur Timur Jauh (Far Eastern Tour) ke tiga negara: Manila (Filipina), Bangkok (Thailand), dan Hong Kong. Tur ini dalam rangka menghadapi Asian Games II di Manila. Di Manila, pada 18-21 April 1953, timnas digdaya menggilas tim Manila Football League 8-0, All Students XI 7-0 dan Manila Interport 5-0. Pertandingan Di Hong Kong pada 25-30 April, Paman Choo sukses membawa timnas memecahkan mitos bahwa Hong Kong tak pernah bisa dikalahkan di kandang sendiri. Timnas menggasak Hong Kong Interport XI 4-1, Hong Kong Selection 3-2, serta Combine Chinese 5-1. Timnas hanya sekali kalah lawan Korea Selatan 1-3 pada hari terakhir tur di Hong Kong. Berlanjut ke Negeri Gajah Putih, kegarangan timnas berlanjut dengan memakan korban Chaisot yang dibantai 6-2 dan Thai Royal Air Force 7-0. Tujuh tahun setelahnya, Paman Choo kembali terkenang dengan tur itu, terutama kala menukangi timnas Malaysia jelang laga kontra Hong Kong pada Oktober 1960. “Timnas Indonesia dulu belum dikenal dan dihormati ketika tampil di Hong Kong. Tapi ketika mereka mengalahkan All Hong Kong (tim Inerport Hong Kong XI) 4-1 di partai pertama dalam tiga laga tur, bantuan polisi ekstra terpaksa dipanggil untuk meredam penonton yang tak mendapatkan tiket untuk dua laga berikutnya,” tutur Paman Choo dikutip The Strait Times, 28 Oktober 1960. Selain tur tersebut, timnas juga menghadapi kesebelasan Yugoslavia di Jakarta. Sempat imbang di laga pertama, namun pada pertandingan kedua, timnas harus mengakui keunggulan tim tamu dengan skor 2-0. Menurut buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah, sejak berdirinya PSSI pada 1930, tahun 1953 barangkali merupakan puncak keemasan PSSI karena tahun mendulang kemenangan yang berturut-turut dalam Tur Singapura dan Tur Timur Jauh. Sayangnya, kegemilangan dalam tur tersebut tidak terulang dalam Asian Games II di Manila pada 1954. Timnas sempat membalas dendam dengan mengalahkan tim terkuat, India 3-0 di babak penyisihan. Namun, dalam perebutan juara ketiga, timnas malah kalah dari Burma, negara yang dikalahkan dengan mudah dalam laga persahabatan di India pada 1951. Tugas Paman Choo menukangi timnas berakhir pada 1953. Lima tahun berselang, Paman Choo mengarsiteki timnas Malaysia. Dia tak pernah jauh-jauh dari sepakbola meski tubuhnya terus tergerus usia, hingga tutup usia pada 30 Juni 1983 pada umur 68 tahun. Setahun sebelumnya, Paman Choo menerima penghargaan dari PSSI. “Federasi Sepakbola Indonesia (PSSI) mempersembahkan medali emas First Class atas jasa-jasanya terhadap sepakbola Indonesia. Pemberiannya dilakukan langsung oleh Mr. Sopariyo, executivechairman PSSI di kediaman Choo di Thomson Road (Singapura),” tulis The Strait Times , 4 Agustus 1982.*

  • Gaya Busana Pemimpin Asia Tenggara

    Pada Oktober 1961, Cindy Adams bersua dengan Presiden Sukarno. Jurnalis berparas cantik kebangsaan Amerika itu memang tengah bertugas mewawancarai Bung Besar. Sukarno meminta Cindy menjadi penulis otobiografinya. Dalam pertemuan pertama mereka, Cindy melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik namun terbilang berani. “Tuan, mengapa anda selalu mengenakan seragam?” tanya Cindy dalam My Friend the Dictator . “Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi. Rakyatku sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak,” jawab Sukarno. “Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam.” Namun, dengan setengah menggoda, Cindy menukas Sukarno dengan tatapan mata yang lekat, “Saya tidak percaya terhadap semua penjelasanmu. Saya yakin, kau selalu memakai pakaian seragam karena kau sendiri sadar, dirimu terlihat tampan jika memakainya.” Sukarno terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Kamu benar, tapi tolong jangan ceritakan keluar.” Tak hanya Sukarno. Beberapa pemimpin Asia Tenggara yang lain juga punya gaya yang ikonik dalam berbusana. Politik berpakaian memang kerap ditampilkan oleh pemimpin negara di Asia Tenggara, terutama setelah negerinya merdeka dari kungkungan kolonialisme. Jose Rizal pemimpin gerakan nasionalis Filipina dalam berbagai potret acap kali mengenakan jas mantel membaluti tubuhnya. Padahal, suhu musim panas dan musim dingin di negeri itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Jas mantel Rizal itu ternyata dibuat di Hong Kong. Menurut Karim Raslan, jas mantel Jose Rizal mencerminkan simbol perlawanan. Filipina dijajah Spanyol selama empat ratus tahun. Dalam cengkraman Spanyol, orang-orang Indio –penduduk Filipina asli seperti Rizal– begitu terdesak dan terasing. Sementara itu, Jose Rizal adalah segelintir nasionalis Filipina yang terdidik di masanya. Dia adalah seorang dokter-cum-sastrawan yang menulis dua buah novel dalam bahasa Spanyol. Dia juga seorang poliglot yang menguasai delapan bahasa, termasuk Belanda, Yunani, dan Latin. “Baginya (Rizal), menulis dalam bahasa Spanyol dan memperagakan segala perlengkapan lelaki budiman penghujung era Victoria mengampuhkan rasa kebanggaan nasional,” tulis Karim, jurnalis kawakan Malaysia dan pengamat Asia Tenggara dalam Menjajat Asia Tenggara . Ada lagi Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura periode 1959-1990. Yew terlihat khas dengan kemeja putihnya. Hal ini bisa jadi melambangkan egalitarianisme Lee yang memimpin Singapura dengan berbagai etnis dan kelas sosial di dalamnya . “Kesederhanaan jelas kemeja putih itu akan membantu merapatkan sedikit jurang perbedaan etnik,” tulis Karim. Di negeri Malaysia, pemimpin seperti Tunku Abdul Rahman malah menampilkan gaya berpakaian yang jauh dari kesan sederhana. Tak heran, dia memang putra seorang sultan. Dengan balutan kain sutera dilengkapi selempang dan aneka hiasan, pakaian resminya menyolok mata. Potretnya kini masih terpampang dalam mata uang ringgit. “Pakaian resmi gilang gemilang dan mahal zaman itu mencerminkan ciri feodal yang terus didaulatkan oleh masyarakat Melayu,” tulis Karim. Sementara itu, Sukarno, menurut Karim, dengan penampilannya juga melambangkan citra diri penuh kebanggaan. Sukarno kerap terlihat mengenakan seragam militer rancangannya sebagai panglima tertinggi lengkap dengan lencana-lencana –kendati dirinya bukan berlatar belakang militer. Tak lupa kaca mata hitam dan tongkat komando dalam kepitan. Dirinya pun tampak semakin sedap dipandang mata dengan peci, ibarat mahkota yang menudungi rambutnya yang mulai menipis. Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui citra dirinya bertujuan untuk meninggikan martabat bangsanya selepas penjajahan. “Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarnolah yang menjadi faktor pemersatu Indonesia.”

  • Tiongkok Kalahkan Vietnam di Paracel

    Pemerintah Tiongkok berang. Pada 2 Juli lalu, kapal perang USS Stethem milik Amerika Serikat berada di dekat Pulau Triton, Kepulauan Paracel. Tiongkok menganggap kepulauan yang berada di Laut China Selatan itu miliknya dan pelayaran tersebut sebagai provokasi. Bagi Tiongkok, USS Stethem dinilai telah melanggar kedaulatan wilayahnya serta mengancam keamanan negeri Tirai Bambu. Sebagai respons, Tiongkok mengirim sejumlah kapal perang dan pesawat tempurnya. Menurut juru bicara Tiongkok Lu Kang, Beijing tak segan mengambil langkah apapun demi menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan negerinya. Hingga kini, Kepulauan Paracel masih menjadi sengketa antara Tiongkok, Vietnam, dan Taiwan. Masing-masing negara bersikukuh dengan klaimnya. Tiongkok dan Vietnam bahkan adu bukti baik dengan menyodorkan bukti artefak, catatan tertulis, hingga peta kuno. Saling klaim antara Tiongkok dan Vietnam Selatan –kala itu Vietnam masih terbagi dua, Utara dan Selatan– bahkan sampai menimbulkan perang, Pertempuran Paracel, pada awal 1974. Pertempuran dipicu oleh sikap sepihak pemerintah Vietnam Selatan, kolega AS, dalam merespons meningkatnya kehadiran Tiongkok di kepulauan berisi 130 pulau itu. Pada Agustus 1973, Vietnam Selatan mengklaim Paracel secara administratif merupakan miliknya. Klaim itu mendasari keputusan Saigon, ibukota Vietnam Selatan, mengeluarkan izin eksplorasi minyak di perairan sekitar pulau-pulau itu. Saigon, yang memusatkan pendudukannya di Gugusan Bulan Sabit, rangkaian kepulauan bagian barat, membuat garnisun berkekuatan peleton di tiga pulau di Paracel. Sejak itu, kapal-kapal Angkatan Laut Vietnam Selatan rutin melakukan patroli. Akibatnya, kapal-kapal nelayan Tiongkok tak lagi bebas berlayar di perairan sekitar Paracel. Pukat-pukat ikan mereka kerap harus kucing-kucingan dengan kapal-kapal patroli Vietnam Selatan. Namun, keadaan berubah setelah Mao mulai agresif dan menggerakkan angkatan lautnya. Penyerangan-penyerangan terhadap kapal patroli Vietnam Selatan oleh kapal-kapal nelayan Tiongkok, yang sudah dimodifikasi dengan tambahan senjata, mulai sering terjadi. Pada Oktober, pukat bernomor lambung 402 dan 407 milik Tiongkok bersandar di Pulau Duncan, pulau terbesar di Paracel. Selain mendirikan tempat penampungan dan pengolahan ikan, mereka juga mengibarkan bendera RRC. Sebulan kemudian, Angkatan Laut Vietnam Selatan menangkap beberapa pukat ikan Tiongkok dan menahan para kru kapal. Mereka dibawa ke Da Nang dan oleh otoritas Vietnam Selatan dipaksa mengakui kesalahan di depan kamera televisi sebelum dibebaskan. Mao marah. Dia memerintahkan Angkatan Laut Tiongkok untuk mempersiapkan aksi-aksi guna mendukung nelayan-nelayan mereka di Laut China Selatan. Pada 10 Januari 1974, bersamaan dengan bersandarnya pukat-pukat Tiongkok –yang kemudian memproses hasil tangkapan mereka di tempat yang telah mereka dirikan– di Pulau Robert, Gugus Bulan Sabit, Beijing menyatakan kedaulatan Tiongkok atas Paracel, Spratly, dan Macclesfield Bank merupakan hal tak terbantahkan. Saigon langsung merespons dengan mengirim beberapa kapal perangnya. Bersamaan dengan tibanya fregat HQ-16, HQ-4, HQ-5 dan sebuah kapal penyapu ranjau di Pulau Robert, pasukan komando Vietnam Selatan langsung menduduki pulau. Kapal-kapal perang Vietnam Selatan langsung mengusir pukat-pukat ikan Tiongkok di perairan itu. Kabar dari tindakan itu akhirnya sampai ke Beijing, yang langsung merespons dengan pengerahan kekuatan. Petang hari itu juga, Beijing langsung mengirim dua kapal perang kelas Kronstadt-nya. Kapal bernomor lambung 271 dan 274 dari Armada Laut Selatan itu membawa empat peleton milisi maritim ke Pulau Woody, untuk selanjutnya dikirim ke Gugusan Bulan Sabit. Sebagai tambahan, Tiongkok juga mengerahkan dua pesawat tempur Shenyang J-6 untuk memberi dukungan dari udara. Pada 18 Januari, dua kapal Tiongkok mendaratkan peleton-peleton milisinya ke Pulau Drummond, Pulau Palm, dan Pulau Duncan. Di sana, para personel langsung menggali tanah untuk ditaruh ranjau dan dibuat jebakan. Dua kapal perang pemburu kapal selam kelas Hainan, kemudian menyusul dari Pangkalan Shantou untuk memperkuat armada yang ada. Meski mereka siap menunggu perintah lebih jauh, Beijing tetap pada perintah awal: “Jangan mulai tembakan pertama. Tapi jika pertempuran pecah, menangkan!” Baik Angkatan Laut Tiongkok maupun Vietnam Selatan, yang kapal-kapalnya dalam kondisi sama kurang baik, langsung mengorganisir armadanya. Setelah menurunkan para personel komando menggunakan perahu karet, kapal Vietnam HQ-10 langsung menyasar kapal penyapu ranjau 389. Kapal Angkatan Laut Tiongkok itu rusak parah setelah tertabrak. Tapi, awak mereka yang terus menembakkan senjatanya ke arah kapal Vietnam, menewaskan banyak personel Angkatan Laut Vietnam. Di darat, pasukan komando Vietnam Selatan langsung memberi perlawanan begitu mendarat. Namun, personel Tiongkok yang lebih besar dan lebih dulu tiba telah siap menunggu. Perlawanan pasukan komando Vietnam akhirnya mereka patahkan. Di bawah hujan tembakan, para personel komando Vietnam Selatan itu akhirnya mundur. Kapal-kapal Vietnam di depan mereka membentuk formasi sejajar dan terus menghujani tembakan ke tempat nakhoda lawan berada. Mereka terus bermanuver agar jarak mereka dengan kapal-kapal lawan tetap terjaga. Dengan persenjataan yang baik, kapal-kapal Vietnam akan efektif bila bertempur jarak jauh. Sebaliknya, para kapten kapal Tiongkok menyadari bahwa kapal mereka unggul dalam kecepatan tapi kalah dalam persenjataan. Oleh karena itu, mereka memilih “adu pisau” dengan pertempuran jarak dekat. Selain menabrakkan kapal ke kapal-kapal lawan, para personel Angkatan Laut Tiongkok juga akan menggunakan senjata jarak dekat begitu posisi kapal mereka telah memungkinkan menjangkau lawan. Sementara dua kapal kelas Kronstadt Tiongkok fokus memburu HQ-4 Vietnam, kapal penyapu ranjau Type 10 terus menembakkan kanonnya ke HQ-16. Setelah kapal Vietnam itu mundur akibat rusak parah di bagian ruang kemudi, pusat informasi, dan radarnya; ia langsung mundur, Type 10 langsung memburu HQ-10. Kanon Type 10 langsung membuat ruang mesin di buritan HQ-10 meledak. Ketika kedua kapal telah berjarak hanya sekira 10 yard, kanon kapal HQ-10 tak bisa bekerja efektif. Para awak Type 10 yang lebih kecil, langsung naik ke dek kapal lawan begitu kapal mereka saling dekat. Para personel Tiongkok langsung menembaki personil HQ-10, menyebabkan tewasnya kapten kapal dan sebagian besar awak navigasi. HQ-16 yang hendak membantu, gagal karena tembakan kanon kapal Tiongkok hampir tak berhenti. HQ-10 yang sudah babak belur pun akhirnya tenggelam pada siang 19 Januari setelah kapal kelas Hainan menembak dengan kanonnya. Tiongkok yang khawatir Vietnam Selatan menambah kekuatannya, mengirim tambahan pasukan yang terdiri dari satu kapal fregat, lima kapal torpedo, dan delapan kapal patroli kecil dengan masing-masing kapal mengangkut sekitar 500 personel. Mereka terbagi dalam tiga armada. Ketiga armada, yang menyerang Pulau Robert, Pulau Pattle, dan Pulau Money, tak mendapat perlawanan berarti. Dalam tempo satu jam, ketiga pulau telah mereka kuasai. Di Pulau Pattle, selain merebut garnisun Vietnam para personel Tiongkok juga menawan seorang penasihat militer AS. Menjelang pergantian hari, Angkatan Laut Tiongkok sudah menguasai seluruh Parecel. Sekira 100 personil Vietnam Selatan tewas dan luka-luka dalam pertempuran itu, sementara 48 lainnya tertawan. Tiongkok sendiri kehilangan 18 personelnya sementara 67 lainnya luka-luka. “Pada 20 Januari, pulau-pulau ini secara resmi dianeksasi oleh RRC, dan dimasukkan ke dalam Provinsi Guangdong,” tulis buku Naval Power and Expeditionary Wars: Peripheral Campaigns and New Theaters of Naval Warfare yang diedit Bruce A. Elleman dan M. Paine.

  • Penyebab Lain Keruntuhan Majapahit

    KEGEMILANGAN Majapahit ditutup dengan rentetan peristiwa berdarah. Situs kota Majapahit di Trowulan, dulunya pernah ditinggalkan penduduknya karena perebutan kekuasaan menjelang runtuhnya kerajaan itu. “Semacam bedol desa memang benar, bahwa memang perebutan kekuasaan di Jawa selalu berdarah-darah. Jadi, kalau satu kedaton ditundukan, itu hancur habis,” jelas arsitek dan arkeolog, Osrifoel Oesman dalam diskusi Omah-Desa-Kuto Majapahit Trowulan , di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/7). Sepeninggal Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mulai meredup. Sebelum menjadi semakin lemah akibat menguatnya kekuatan Islam Demak, pertentangan di tengah keluarga kerajaan telah lebih dulu membuat Majapahit goyah. Osrifoel, yang akrab dipanggil Ipul, menjelaskan bahwa sumber tradisi menyebut Majapahit runtuh tahun 1478 pada masa pemerintahan Girindrawarddhana akibat serangan kerajaan Islam Demak. Tahun itu berdasarkan candrasengkala Serat Kanda yang menyebut sirna ilang kertaning bumi yang berarti 1400 saka atau 1478 M. Padahal, setelah itu masih ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan Majapahit masih ada. Dalam Masa Akhir Majapahit, arkeolog dan epigraf, Hasan Djafar menyebutkan adanya prasasti-prasasti dari Raja Girindrawarddhana. Pada masa pemerintahan Girindrawarddhana antara 1408-1433 saka juga masih ada kegiatan pembangunan tempat suci bercorak Hindu di lereng Gunung Penanggungan. Hasan menafsirkan bahwa apa yang disimpulkan dalam candrasengkala itu lebih menunjukkan peristiwa gugurnya Bhre Krtabhumi di Kedaton akibat serangan Girindrawarddhana. Soal kapan runtuhnya Majapahit, petunjuk lain bisa diambil dari berita Antonio Pigafetta, seorang penjelajah Venesia, Italia. Pigafetta menyebut Pati Unus sebagai Raja Majapahit yang sangat berkuasa ketika masih hidup. Pati Unus meninggal pada 1521. “Kami berpendapat antara tahun 1518-1521, kira-kira pada 1519, Pati Unus telah menguasai Kerajaan Majapahit,” tulis Djafar. Dengan dikuasainya Majapahit oleh Pati Unus, kerajaan itu telah hilang kedaulatannya. Maka, tahun 1519 bisa dianggap sebagai saat keruntuhan Majapahit yang sebenarnya. Meski begitu, penyebab keruntuhannya dapat dipandang bukan hanya akibat serangan Demak tapi adanya perebutan kekuasaan antara keluarga raja. Djafar berpendapat tindakan Pati Unus, sebagai penguasa Demak, dapat dipandang sebagai perjuangan seorang penguasa daerah untuk menguasai Majapahit. Sebab, Demak merupakan salah satu daerah kekuasaan Majapahit. Para penguasanya, menurut Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda, adalah keturunan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak, adalah anak Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Oleh karena itu, serangan Pati Unus, anak Raden Patah, dapat dianggap sebagai upaya keturunan raja Majapahit merebut haknya atas takhta kerajaan. “Ini menimbulkan polemik Islam menyerang Hindu, padahal didahului perebutan kekuasaan,” ujar Osrifoel. Selain perebutan kekuasaan, faktor agama tak bisa dikesampingkan sebagai pendorong runtuhnya kerajaan besar itu. Meski menjadi bagian dari Majapahit, namun Demak telah sepenuhnya berlandaskan Islam. Hal ini yang juga mendorong Demak untuk berusaha lepas dari pengaruh Majapahit yang “kafir”.*

  • Aksi Pejuang Bekasi

    Banyak veteran pejuang kemerdekaan yang hidupnya prihatin. Mereka hanya bergantung kepada tunjangan veteran setiap bulannya. Namun, H. Ilyasa bin H. Malih, veteran asal Babelan, Kabupaten Bekasi, enggan menerima tunjangan. Kendati hidupnya sederhana, mantan anggota Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali ini, punya alasan mengapa menolak tunjangan itu. “Kita mah enggak berharap tunjangan. Dulu kita ikut laskar kan juga udah disumpah jabatan sebagai anggota pakai Alquran segala di atas kepala kita, bahwa kita berjuang tanpa pamrih. Kita berjuang jangan ngarepin (mengharapkan) gaji, kita berjuang dengan ikhlas,” kata Ilyasa di kediamannya kepada Historia. “Kalau kita minta tunjangan, minta pamrih, ya kita mengingkari sumpah kita sendiri. Tapi itu kalau saya. Kalau (veteran) yang lain berharap tunjangan, ya silakan aja. Tapi memang sering tuh saya ngedapetin orang yang suka ngaku-ngaku. Bilangnya dulu berjuang, padahal mah saya tahu dia dulu enggak ikut perang,” tambahnya. Kalau ada yang mengaku-ngaku sebagai mantan anak buah KH Noer Ali, Ilyasa biasanya akan mengajukan pertanyaan: di mana baku tembak pertama Laskar Hisbullah dengan Sekutu (Inggris) dan Belanda di Bekasi? “Kalau jawabnya tidak sama dengan saya, berarti dia bukan pejuang dulunya,” lanjut Ilyasa. Ilyasa menceritakan bahwa baku tembak pertama Laskar Hisbullah dengan Sekutu terjadi di Pedaengan atau kini Cakung, Jakarta Timur. Tepatnya di sekitar front garis demarkasi pasca Jakarta dijadikan kota diplomasi pada 9 November 1945. Sebagaimana diungkapkan Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Resimen V/Jakarta Raya Letkol Muffreni Mu’min dalam biografinya, Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min , semua pasukan bersenjata kecuali polisi, diharuskan keluar dari Jakarta. Sementara eksistensi tentara Republik hanya boleh diwakili kantor penghubung di Jalan Cilacap Nomor 5. Semua badan-badan perjuangan, keluar dari Jakarta dan Letkol Muffreni memilih markasnya yang baru di Cikampek, hingga mengubah unitnya dari Resimen V/Jakarta Raya menjadi Resimen V/Cikampek. Meski begitu, wilayah pengawasannya tetap meliputi Jakarta, Bekasi, Cikarang, Karawang, hingga Cikampek. Kali Cakung dijadikan front terdepan karena di situlah garis demarkasinya. Muffreni tidak hanya menempatkan pasukannya dari Batalyon III Bekasi, tapi juga meminta bantuan dari sejumlah badan perjuangan lain, termasuk Laskar Hisbullah. “Sering itu ada infiltrasi dari sekutu atau Belanda yang coba-coba melewati garis demarkasi di Cakung. Biasanya kita takutin dengan tembakan, baru dia mundur lagi. Tapi seiring waktu, kita terus terdesak. Terutama setelah ada bentrok besar, Pertempuran Sasak Kapuk (kini Pondok Ungu, Bekasi Utara),” kata Ilyasa. Pertempuran Sasak Kapuk Pertempuran Sasak Kapuk terjadi pada 29 November 1945. Konvoi Inggris datang dari arah Klender menuju Cakung melewati Kranji. Dekat Stasiun Kranji, pasukan Punjab Ke-1, Pasukan Perintis ke-13, Resimen Medan Ke-37, Detasemen Medan ke-69 serta Kavaleri FAVO ke-11, sempat dihadang lebih dulu oleh kelompok Pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja. Meski dampaknya tidak besar, setidaknya konvoi Sekutu itu sempat tercerai-berai sebelum akhirnya dihantam lagi di Sasak Kapuk oleh gabungan Laskar Hisbullah, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pimpinan M. Hasibuan, serta para pemuda rakyat. “Dari arah Kranji setelah mereka diserang kelompok pesilat, mereka nembakin mortirnya ke arah Sasak Kapuk. Kita yang masih pada ngumpet , melihat mortir-mortirnya enggak ada yang meledak. Pada takabur yang lain dan ketika keluar dari tempat persembunyian, baru ditembakin infantrinya Inggris,” kenang Ilyasa. Ilyasa dan rekan-rekannya yang lain, termasuk KH Noer Ali pun memilih mundur ke arah Kaliabang. Beruntung, Inggris tak ikut mengejar, hanya terus menembaki artileri dan mortir, sementara para pejuang mundur. Ilyasa juga mengaku bahwa ketika tengah lari tunggang langgang mundur dari pertempuran, senapan Lee Enfield-nya nyaris hilang karena terjatuh. “Itu senjata kita satu-satunya. Dulu itu dapatnya dari penghubung tentara yang sering komunikasi dengan KH Noer Ali. Sebelumnya waktu awal-awal ikut mah , pegangnya masih golok sama bikin panahan. Mata panahnya kita bikin dari bambu, terus dikasih racun kodok,” aku veteran kelahiran 1928 itu. Ilyasa ikut KH Noer Ali sekitar usia 16-17 tahun. Thamam, mantan tentara Heiho (tentara pembantu Jepang), melatihnya menembak, melempar granat Jepang yang kepala pinnya kuning ( Kyunana-shiki Teryudan /Granat Tangan Type 97), biasanya digetok di kaki dulu, ditahan pinnya, baru diayun tiga kali sebelum dilempar. Kisah tentang front terdepat di Kali Cakung juga didapat dari veteran Hisbullah lainnya, H. Mursal. Sebagaimana diceritakan Ilyasa, Mursal juga mengalami baku tembak pertamanya di Pedaengan, Cakung. “Sampai kita harus bikin halang rintang itu. Nebangin pohon-pohon yang kecil sampai yang gede buat menghalangi Inggris sama Belanda yang sering nyolong-nyolong (menyusup) masuk ke wilayah kita. Tapi ya yang namanya Belanda, peralatannya banyak, gampang aja menerobos penghalang yang kita bikin,” aku Mursal. Ilyasa dan Mursal untuk sementara ini tercatat sebagai dua dari tiga mantan anggota Laskar Hisbullah yang tersisa. Satu veteran lainnya yang juga pernah ditemui Historia adalah Mat Ali yang tinggal di Tarumajaya. Sedianya sebelum ini masih ada satu lagi, H. Abdullah di Karawang yang sayangnya terakhir kali coba disambangi, ternyata sudah tiada sejak medio Juni 2017. Menariknya, kesemua veteran Laskar Hisbullah itu menggemari senapan Lee Enfield buatan Inggris. “Kalau senjata Jepang mah jarang kita bisa ngenain musuh. Lebih enak pakai LE (Lee Enfield). Pasti kena kalau nembak pakai itu,” cetus Mat Ali.

  • Yang Setia dengan Jalannya

    Panas menyengat Jalan Raya Ampera, Jakarta Selatan siang itu. Pada satu ruas trotoar, seorang lelaki tua tengah berjalan dengan kaki setengah pincang. Sementara bahu rentanya memikul seperangkat alat untuk mematri (anglo, air keras, solder tradisional dan lain-lain), tangan kanannya mengayunkan rangkaian lempengan logam yang mengeluarkan bunyi khas: krelek…krelek…krelek. Hamik, nama lelaki asal Cirebon itu. Kali pertama datang ke Jakarta pada 1970 dan langsung mengambil pematri sebagai profesinya. Ada beberapa alasan ia mengambil profesi tersebut. Selain mengikuti jejak sang ayah, juga (kala itu) banyak orang-orang yang memerlukan jasa tukang patri. Rata-rata langganan Hamik adallah ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warung tegal (warteg). Mereka kerap meminta tolong kepada Hamik untuk menambal panci, dandang dan kompor. Bahkan saking banyaknya, dalam satu hari ia bisa mengerjakan puluhan pematrian. “Sampai-sampai, lagi ngerjain di Cilandak eh dari Ragunan udah ada yang manggilin…” kata Hamik sambil tertawa. Sejatinya, situasi bisnis patri stabil terus saat itu. Namun pada 1989, Hamik sempat tergoda untuk pindah profesi. Ia kemudian banting setir: mencoba peruntungan lain dengan menjadi tukang cendol lalu tukang gorengan-gorengan. Namun bidang niaga kuliner itu ternyata tidak cocok dengan dirinya. Singkat cerita, Hamik pun memutuskan untuk kembali menjadi tukang patri hingga kini. “Ternyata pekerjaan yang membuat saya lebih nyaman ya jadi tukang patri kayak begini,” ungkap ayah dari enam anak itu. Kiamat kecil mulai mengunjungi hidup Hamik, ketika pada awal 2000-an ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warteg mulai meninggalkan kompor minyak tanah dan menggantikannya dengan kompor gas. Sejak itulah, ia banyak kehilangan pelanggan. Kendati ia sudah berupaya menyiasati dengan lebih menambah jangkauan jelajah, namun keuntungan tak jua kembali menghampirinya. “Di mana-mana orang sudah pakai kompor gas, terlebih zaman sekarang memasak nasi saja enggak pakai dandang lagi tapi langsung ada wadahnya yang dicolokin ke listrik,” keluh lelaki kelahiran tahun 1945 itu. Kini Hamik praktis mengandalkan rasa belas kasihan semata. Kendati ada satu-dua pedagang mie ayam minta dandang nya yang bocor dipatri atau pengendara sepeda motor yang kebetulan knalpotnya bolong lalu menggunakan jasa Hamik untuk menambalnya, namun pendapatan yang paling banyak justru didapat dari pemberian orang-orang di jalanan. Termasuk untuk makan , ada saja orang yang mengantarkan bungkusan nasi dan lauk pauk kepadanya setiap hari. “Saya ini sudah seperti setengah pengemislah istilahnya. Tapi ya gimana, jalan hidup saya harus begini, saya terima saja…” kata Hamik. Lantas kenapa Hamik tidak mencari profesi lain yang lebih kekinian? Selain pofesi sebagai pematri sudah menjadi panggilan hidup, ia pun merasa umur sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan terutama di bagian kakinya. Kendati ia paham dunia telah banyak berubah, namun ia meyakini semua mahluk Tuhan pasti sudah memiliki rezekinya masing-masing. Itulah yang utama membuat ia setia dengan jalannya tersebut. Akibat perubahan zaman , bisa dikatakan kini hidup Hamik ada dalam jurang kemiskinan. Menurutnya dengan profesi sebagai tukang patri pada hari ini, sangatlah mustahil diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dirinya dan salah satu anak lelakinya selama di Jakarta. “Kontrakan rumah saja sebulan 500 ribu, sedangkan keuntungan jadi tukang patri sebulan 100 ribu saja enggak ada,” ungkapnya. Kenyataan pahit yang melingkari hidupnya menjadikan Hamik tak lagi memiliki harapan untuk menurunkan ketrampilan mematri kepada anak-anaknya. Berbeda dengan ayahnya yang meyakini profesi ini akan memberi penghidupan sehingga mewariskan kepadanya, Hamik sangat sadar profesi pematri sebentar lagi akan mati. “Ya, kalau dunia tambah modern, siapa yang butuh lagi tukang patri?” tanyanya seolah kepada dirinya sendiri. Profesi tukang patri pernah menjadi bagian penting dalam masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Menurut antropolog S. Ann Dunham, meskipun bersifat usaha kecil namun patut dicatat bahwa pernah ada sejumlah pandai besi yang pekerjaan rutinnya adalah memperbaiki alat . “Mereka memang tidak dihitung oleh sensus industri…” tulis Dunham dalam Pendekar-Pendekar Besi Nusantara .

  • Rencana Ibukota Pindah ke Surabaya

    Presiden Joko Widodo telah memutuskan ibukota negara pindah ke Kalimantan Timur. Ternyata, pemindahan ibukota sudah direncanakan sejak zaman kolonial. Dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels ingin memindahkan ibukota dari Batavia ke Surabaya. Achmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia, mengatakan ada dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya. Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. “Batavia sempat dijuluki sebagai Koningin van den Oost (Ratu dari Timur), namun kemudian terkenal sebagai kuburan orang Belanda karena banyaknya penyakit malaria dan kolera,” kata Sunjayadi. Kematian Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen karena penyakit kolera membuktikan betapa buruknya kawasan Batavia. Menurut Bernard HM Vlekke Daendels tahu bahwa Batavia tidak akan pernah bisa dipakai sebagai pusat utama pertahanan pulau Jawa. Istana tuanya dengan tembok-tembok yang rapuh dapat dihancurkan dari laut. Iklimnya bisa membunuh serdadu garnisun bahkan sebelum musuh menyentuh pantai. “Instruksi kepada Daendels memberinya hak untuk memindahkan ibukota ke daerah yang lebih sehat,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia. Pendahulunya, lanjut Vlekke, Gubernur Jenderal Van Overstraten telah mengembangkan rencana untuk memindahkan kedudukan pemerintah ke pedalaman Jawa Tengah, tempat kekuatan gabungan Belanda dan raja-raja Jawa dapat melawan kekuatan yang lebih besar untuk waktu yang lama. “Daendels sendiri berpikir-pikir akan memindahkan ibukota ke Surabaya, yang dia reorganisasi sebagai basis yang lebih baik untuk operasi militer daripada Batavia,” tulis Vlekke. Purnawan Basundoro, sejarawan Universitas Airlangga Surabaya, mengatakan sebenarnya Surabaya juga kota di tepi pantai, tapi di beberapa tempat lebih tinggi kawasannya dari Batavia dan mungkin diangggap lebih sehat. Selain itu, alasan Daendels memindahkan ibukota ke Surabaya karena mendapat ancaman dari Inggris. Untuk itu, dia menjadikan Surabaya sebagai pusat pertahanan dengan membangun pabrik senjata ( artillerie constructie winkel ), Rumah Sakit Militer, dan Benteng Lodewijk. Benteng Lodewijk merupakan benteng pertahanan militer yang berada di Pulau Mengare di sebelah utara Gresik. Nama benteng ini diambil dari Raja Belanda Lodewijk (Louis) Napoleon, saudara Kaisar Napoleon Bonaparte. Sedangkan artillerie constructie winkel merupakan pabrik senjata pertama di Indonesia. “Sebelumnya memang sudah ada pabrik senjata, namun kemudian dikembangkan oleh Daendels antara 1809-1810. Sejak dikembangkan itulah pabrik menjadi semakin besar,” jelas Purnawan. Menurut Purnawan, Rumah Sakit Militer yang dibangun Daendels merupakan rumah sakit terbesar dan dikenal juga sebagai Rumah Sakit Simpang. Letaknya agak jauh ke timur dari rumah dinas gubernur Jawa Timur. Sayangnya, Rumah Sakit Militer itu dirobohkan pada 1970-an dan berganti menjadi Mall Delta Plaza. Selain membangun infrastruktur militer, Daendels juga memperluas rumah dinas Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Menurutnya rumah dinas tersebut terlalu kecil untuk ditempati seorang penguasa. “Nampaknya dengan memperluas rumah dinas ini, ada indikasi bahwa Daendels ingin menjadikan Surabaya sebagai ibukota karena menurut dia seorang penguasa harus ditempatkan di istana,” jelas Purnawan. Menurut Purnawan Daendels gagal memindahkan ibukota ke Surabaya karena membutuh dana besar sedangkan Prancis dan Belanda lebih mengutamakan dananya untuk perang melawan Inggris. Sementara itu, Vlekke mencatat bahwa Daendels batal memindahkan ibukota ke Surabaya karena berbagai kesulitan memindahkan seluruh permukiman Batavia dengan gudang-gudang dan kapal-kapal barang berharga. Dia pun memutuskan untuk memindahkan bagian perumahan kota itu ke daerah yang lebih tinggi, Weltevreden. Sebelumnya, pada 1800 Gubernur Jenderal Van Overstraten telah memindahkan kantor-kantornya ke Weltevreden. “Maka ibukota pun berganti, dari kota pelabuhan menjadi kota garnisun. Tindakan ini dilakukan sepenuhnya semasa Daendels pada 1809,” tulis Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC . Daendels kemudian memperluas kawasan Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta) dan membangun gedung-gedung perkantoran. “Seperti yang sekarang ditempati Departemen Keuangan, itu gendung yang dibangun oleh Daendels,” kata Purnawan. Ketika Daendels ditarik ke Prancis pada 30 Juni 1811, penggantinya, Jan Willem Janssens sudah hadir di Batavia sejak 16 Mei 1811. “Pembatalan pindahnya ibukota karena kondisi Prancis tidak stabil dan berpengaruh pada kondisi di Batavia. Sehingga, saya kira Janssens tidak tertarik dengan ide untuk memindahkan kekuasaan ke Surabaya,” pungkas Purnawan.

  • Mengagumi Jiwa Seni Sukarno

    SUDAH setengah abad lebih berkiprah, kariernya belum juga redup. Hingga kini, setidaknya sudah 80 judul film dan 30 judul sinetron telah dia bintangi. Mieke Wijaya, berusia 76 tahun, mulai dikenal ketika membintangi film drama musikal Tiga Dara (1956). Kariernya kian bersinar ketika meraih gelar aktris terbaik pada Pekan Apresiasi (Festival) Film Nasional berkat aktingnya dalam film Gadis Kerudung Putih (1967). Dia juga berhasil meraih dua Piala Citra: sebagai Aktris Pembantu Terbaik dalam film Ranjang Pengantin (1974) dan Pemeran Utama Wanita Terbaik lewat film Kembang Semusim (1980). Di layar kaca, perannya sebagai Bu Broto dalam sinetron Losmen (1987) mencuri hati masyarakat. Sinetron Antara Jakarta-Perth (1996) mengantarkannya menjadi Aktris Pemeran Pembantu Terbaik dalam ajang Asian Television Award. Kepada Historia , selain soal film, Mieke berbagai cerita mengenai perkenalannya dengan Bung Karno, proklamasi dan presiden pertama Indonesia, sosok yang dikaguminya. Kenapa mengaguminya? Saya kebetulan kenal Bapak; sebagai bapak bangsa, tegas terhadap penjajah. Saya juga kagum Bapak itu merakyat sekali. Jiwa seninya kan juga tinggi; suka lukisan dan lain-lain. Bagaimana bisa bertemu Bung Karno? Bapak kan suka mengundang artis-artis kalau ada acara. Di Istana Negara, Istana Bogor. Saya juga sering diundang. Ya sebagai rakyat saja. Saya bukan hanya kenal baik dengan Bapak. Saya juga kenal baik dengan Ibu Fatmawati, Mas Guntur, dan anak-anaknya yang lain. Apa sih yang paling diingat dari Bung Karno? Beliau ramah sekali. Ada pengalaman menarik dengan Bung Karno? Bapak itu suka menari. Tari lenso. Saya pasti diajak lenso sama Bapak. Terus kan kalau acara-acara begitu banyak duta dari mancanegara, saya suka dituntun sama beliau sambil bilang ke tamu: “ Beautiful lady …” (tertawa). Terus kalau acara duduk, saya datang terlambat, saya pasti disuruh duduk di kursi belakangnya. Tapi yang paling senang ya lenso itu. Saya sih ketemu Bapak cuma kalau ada acara. Bung Karno sudah tiada, bagaimana cara Anda mengenang beliau? Yang jelas berdoa selalu. Kita terus menjalankan apa yang sudah diperjuangkan. Saya sih ingin berbuat baik kepada sesama, sama seperti beliau.*

  • Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia

    PADA akhir 1963 atau awal 1964, Horst Henry Geerken, wakil perusahaan telekomunikasi Jerman AEG-Telefunken, beberapa kali berdiskusi tentang stasiun pemancar gelombang pendek untuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana R.E. Martadinata. Mengingat Geerken dari Jerman, Martadinata memuji peran seorang pelaut Jerman bagi ALRI, yaitu Kapten August Friedrich Hermann Rosenow. Geerken pun penasaran dengan sosok Rosenow. Akhirnya, Geerken dapat bertatap muka dengan Rosenow di kapal Hamburg American Line HAPAG yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Acara jamuan makan malam itu dihadiri para perwira senior dari ALRI dan perwakilan sejumlah perusahaan Jerman. “Saya beruntung menjadi salah satu yang diundang. Rosenow berambut lurus, tubuhnya tinggi kekar dengan wajah lebar, dada bidang, gambaran seorang pelaut sejati. Dia orang yang menyenangkan dan para perwira Indonesia sangat menghormatinya. Petang itu saya mendengar banyak cerita mengenai kisah hidup dan petualangannya yang mengagumkan,” ungkap Geerken dalam bukunya, Jejak Hitler di Indonesia . Geerken mencatat bahwa Rosenow lahir di Usedom, sebuah pulau di Laut Baltik pada 1892. Dia menjadi perwira di kapal Hamburg American Line HAPAG. Saat pulang kampung pada 1926, dia menemukan jodohnya. Istrinya kemudian menemaninya berlayar sampai Hindia Belanda. Mereka dikaruniai dua putri. Ketika pecah Perang Dunia I, Rosenow ditahan Belanda di kamp Belawan, Sumatra Utara. Setelah perang berakhir, dia menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda dan mengambil kewarganegaraan Belanda. Dia bekerja sebagai nakhoda di perairan Indonesia sampai Perang Dunia II. Pada 1940, untuk menghindari masuk kamp interniran, Rosenow mengungsi ke Jepang, sekutu Jerman. Di Jepang, dia menjadi instruktur sekolah tinggi pelayaran milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang ( Kaigun ). Dua tahun berselang, dia kembali ke Indonesia bersama tentara Jepang. “Dalam kurun waktu itulah dia sempat bertemu Sukarno dan memberi nasihat dan bantuan. Rosenow antara lain menganjurkan agar Sukarno mendirikan sebuah akademi militer,” kata Geerken. Sukarno menerima usulannya dan akademi militer pertama dibuka di Sarangan, Yogyakarta. Setelah Indonesia merdeka, Rosenow bergabung dengan pejuang kemerdekaan. Selama perang kemerdekaan, dia menjadi pelatih kadet-kadet di akademi militer. “Sukarno mengangkatnya menjadi perwira di ALRI. Ketika Sukarno menempati Istana Merdeka pada Desember 1949, dia teringat Kapten Rosenow dan mengangkatnya menjadi penasihat utama dalam urusan kemaritiman,” kata Geerken. Rosenow menyarankan kepada Sukarno agar Indonesia memiliki kapal latih yang dibangun di Jerman untuk mendidik para kadet Indonesia. Pada 1952, dia pergi ke Jerman untuk menjajaki kerjasama dengan H.C. St lcken & Sohn. Galangan kapal ini membangun kapal layar barquentine tiga tiang dengan bayaran karet dan kopra. Rosenow menjadi penyelia pembangunan kapal itu bersama Kapten Oentoro Koesmardjo, seorang perwira muda ALRI yang kemudian jadi menantunya. Kapal itu memulai pelayaran ke Indonesia pada Juli 1953 dengan nakhoda Rosenow dan Kapten A.F. Hottendorf sebagai mualim. Kapal itu menempuh perlayaran perdana dan berhasil sampai pangkalan ALRI di Surabaya pada 1 Oktober 1953. Kapal latih itu diberi nama KRI Dewa Ruci atas saran Oentoro Koesmardjo, menantu Rosenow. Upacara pemberian nama dipimpin oleh Laksamana R.S. Subijakto dan sebuah patuh setengah badan Dewa Ruci dipasang di haluan kapal. Pada kesempatan itu pula KRI Dewa Ruci diserah kepada kepada komandan pertamanya, Rosenow, yang pangkatnya dinaikkan menjadi letnan kolonel. Pada 1964, sebagai Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok, Rosenow bersama Presiden Sukarno melepaskan KRI Dewa Ruci untuk misi keliling dunia pertamanya. Rosenow melakukan tradisi seorang pelaut di atas geladak KRI Dewa Ruci. “Dia melukai ibu jari tangan kanannya dengan pisau lipat dan darah merah yang mengucur dioleskannya silang-menyilang tiga kali pada pangkal tiang tengah kapal. Sebuah ritual pribadi seorang pelaut sejati,” ungkap Letkol (Purn.) Cornelis Kowaas dalam Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra. Dua tahun kemudian, Rosenow meninggal dunia. Jenazahnya dikremasi dan abunya dilarung di Selat Sunda. Pada papan nama kehormatan di KRI Dewa Ruci, Rosenow tertulis paling atas sebagai komandan kapal pertama. “Dia sangat dihormati di kalangan maritim Indonesia hingga sekarang,” tandas Geerken. KRI Dewa Ruci pensiun pada 2013 dan digantikan oleh KRI Bima Suci yang dibangun di galangan kapal Freire Shipyards, Vigo, Spanyol.

bottom of page