Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Saling Hajar Masyumi-PKI
PEMILU 2019 akan berlangsung 44 hari lagi. Namun persaingan antar partai politik (terutama partai-partai politik terkemuka) dan calon presiden sudah terasa sejak hari-hari kemarin. Berbagai cara dilakukan untuk menonjolkan kualitas masing-masing konstestan. Tak jarang itu dilakukan lewat prilaku saling menjatuhkan dan menjelek-jelekan lawan politik. Media sosial menjadi palagan efektif untuk melontarkan kampanye dan sumpah serapah politik. Kompetisi antara kubu #2019 Ganti Presiden dengan #2019 Tetap Jokowi pun terselenggara dalam situasi yang banal dan nyaris tanpa akal sehat. Situasi yang nyaris sama pernah terjadi menjelang berlangsungnya Pemilu 1955. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dua partai politik yang kerap terlibat adu tegang. Tidak hanya lewat poster, para juru kampanye kedua partai politik itu tak jarang menghamburkan provokasi yang kadang menimbulkan adu fisik antar masing-masing massa pendukung. Isu Anti Agama Bagi Masyumi, isu paling efektif untuk menghajar PKI adalah soal isu “keatheisan” partai berlambang palu arit tersebut. Dalam surat kabar Abadi , 30 Maret 1954, tokoh Masyumi Jusuf Wibisono menyatakan adalah suatu kemustahilan bagi pihak-pihak yang akan menyatukan kalangan agama dengan kalangan komunis. Terlebih kaum komunis tidak mengenal Tuhan dan agama. Itu pula yang diyakini para pemimpin Masyumi yang melihat “niat jelek” PKI kala mengusulkan mengganti sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama. “Suatu langkah pertama menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”,” demikian menurut pernyataan sikap yang dikeluarkan BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dalam Abadi , 18 Januari 1955. Isu yang menempatkan PKI sebagai lawan kaum beragama, disantap habis oleh masyarakat kebanyakan terutama di daerah-daerah. Di Cianjur, Atikah masih ingat saat remaja dirinya berkawan akrab dengan seorang putri dari tokoh PKI setempat. Namun menjelang Pemilu 1955 berlangsung tetiba orangtuanya yang merupakan pengikut Masyumi fanatik melarang Atikah untuk berkawan lagi dengan karibnya itu. “Alasannya dia orang kafir yang membenci agama,” kenang perempuan kelahiran Cianjur 74 tahun lalu tersebut. Menghadapi serangan politik itu, tentu saja PKI tak tinggal diam. Remy Madinier dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi&Islam Integral menyatakan sebagai upaya untuk menampik isu tersebut, PKI berupaya keras menampilkan wajah yang lebih toleran terhadap agama. “D.N. Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan sama-sama berjuang bahu membahu untuk menghancurkan imperialism”,” ujar peneliti sejarah Maysumi dari Prancis itu. Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang: “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya. Menurut Remy, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya: “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.” Tuduhan Pro AS Menjelang Pemilu 1955, bertiup kencang isu yang menuduh Masyumi bermain mata dengan AS (Amerika Serikat). Kendati ditolak mentah-mentah oleh kalangan pemimpin Masyumi, hubungan antara Masyumi-AS memang pernah terjalin. Setidaknya itu diakui oleh mantan agen intelijen CIA (Agency Intelijen Pusat) Joseph Burkholder Smith dalam Potrait of a Cold Warriors . “Perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang Pemilu 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya bergerak kea rah kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung oleh PKI,” tulis Joseph. Sebagai tindak lanjut dari dukungan itu, CIA menggelontorkan dana sebesar $1 juta ke Masyumi. Demikian menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA. Isu yang bertiup kencang itu tentu saja menjadi amunisi yang handal bagi PKI menghajar Masyumi sebagai partai politik yang didukung oleh kaum imperialis. Tak jarang tuduhan itu dilontarkan di depan khalayak dan memanaskan kuping para pendukung partai berlambangkan bulan sabit tersebut. Para pemimpin Masyumi sangat sadar bahwa isu yang ditiupkan PKI itu cukup mengganggu. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Jember pada 21 Juli 1954, Ketua Pengurus Masyumi Cabang Sukabumi Muchtar Chazaly bertanya kepada hadirin: “Apakah di sini ada yang memiliki potret (Dwight D.) Eisenhower (Presiden AS saat itu)?” Pertanyaan itu dijawab secara serempak oleh sekira 10.000 massa Masyumi dengan kata: tidak! Sang politisi Masyumi itu lantas menyimpulkan bahwa itulah buktinya bahwa Masyumi bukan agen AS, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang komunis. Secara sinis, Muchtar malah menyebut bahwa justru PKI merupakan agen-agen Uni Sovyet dan Tiongkok karena mereka kerap memajang foto para pemimpin komunis seperti Malenkov, Mao Tse Tung dan lain-lain.
- Kisah Sedih Sang Gubernur
Kota Bandung bukan tempat yang tentram pada bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang terdiri dari dua batalion (2.000 prajurit) tentara Inggris dari kesatuan Gurkha tiba di sana pada 12 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Komandan Brigade ke-37 Inggris, Brigadir Jenderal Mac Donald. Pasukan Belanda turut tergabung di dalamnya. Gubernur Jawa Barat, Soetardjo Kartohadikusumo kepayahan menghadapi tamu asing bersenjata modern ini. “Saban malam rumah gubernuran di pekarangan bagian belakang mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh, tetapi tidak sampai mengenai rumah,” tutur Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo. Rakyat Bandung tak tinggal diam. Kedatangan Sekutu disambut pamflet yang bertebaran ke berbagai penjuru kota. Isinya seolah-olah menyatakan perang terhadap Sekutu. Segala cara dan senjata dianjurkan untuk digunakan bertempur, mulai dari bambu runcing, golok, senapan, hingga ular berbisa. Cara penyambutan itu diinsiasi oleh berbagai organisasi perjuangan baik politik maupun militer. Saling Serang Serangan pertama terhadap prajurit patroli Gurkha terjadi pada 21 November 1945. Eskalasi bersenjata selanjutnya memuncak pada tiga hari berturut-turut. Harian Merdeka, 24 November 1945 melaporkan bahwa selama seminggu terakhir, tembakan-tembakan terdengar sepanjang pagi dan malam di seluruh kota. Pada malam hari pertempuran terbuka pecah dan revolusi di Bandung pun mulai memasuki fase yang paling sengit. Pada 26 November 1945, para pemuda mengganggu iring-iringan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), organisasi yang mengurus tawanan perang, dari Cimahi menuju bandara di Bandung. Walhasil, iring-iringan tak jadi diterbangkan ke Jakarta. Untuk menyikapinya, Sekutu mengirim sekompi pasukan untuk membersihkan “gerombolan pengacau.” Sebanyak sepuluh orang Indonesia tewas dan lima orang lainnya mengalami cedera. Kontak senjata merembet lagi dan terus berlanjut memasuki Bandung. Dalam suatu pertemuan, Jenderal Mac Donald meminta pertanggungjawaban Soetardjo atas serangan bersenjata pasukan Indonesia. Mac Donald juga meminta agar barikade harus disingkirkan dari jalan. Namun, Soetardjo menolak tudingan dan permintaan Mac Donald. Pertemuan diakhiri dengan tuntutan agar dalam dua hari ke depan, penduduk Indonesia di Bandung harus pindah ke arah selatan. Tuntutan Sekutu membagi kota Bandung diikuti serangkaian ultimatum. Peringatan itu sebagaimana dicatat sejarawan John Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 antara lain, tidak ada warga sipil yang diperbolehkan berada pada radius 200 meter dari posisi Sekutu. Selain itu, pihak Indonesia harus menjauhi wilayah sekitar gedung-gedung penahanan tawanan perang Sekutu (RAPWI) meliputi Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Setiap penduduk laki-laki yang menjaga atau berada di dekat barikade jalan akan ditembak. “Hal itu oleh rakyat tidak dipenuhi. Maka setiap malam terjadi lah pertempuran antara tentara Sekutu dan pasukan bersenjata Indonesia. Rumah gubernuran pun acapkali menjadi inceran musuh,” kenang Soetardjo. Situasi genting dan krisis ini kelak menjadi cikal bakal peristiwa Bandung Lautan Api. Mengungsikan Keluarga Gempuran terhadap kota Bandung mengancam keselamatan Soetardjo sekeluarga. Untuk alasan keamanan, Soetardjo mengungsikan keluarganya ke Majalaya. Wilayah yang terletak di arah selatan Bandung itu terkenal dengan curah hujan yang tinggi. Dalam kampung itu, Soetardjo tetap mengawasi jalannya pertempuran bersama bupati Bandung. Di Majalaya, keluarga Soetardjo dititipkan di rumah pesanggrahan Menteri Dalam Negeri Wiranatakumah. Kadangkala, Soetardjo terpaksa bolak-balik ke Bandung untuk urusan kegubernuran dan balik lagi ke Majalaya untuk mengunjungi keluarga. Apabila situasi kondusif, keluarganya diboyong kembali ke Bandung, Namun, saat situasi memanas, pengungsian kembali terjadi. Pengungsian sering kali berlangsung pada saat hujan lebat. Akibatnya fatal. Bolak-balik mengungsi berdampak terhadap penurunan kesehatan i stri Soetardjo, Siti Djaetoen Kamarroekmini Pada 1947, Siti Djaetoen, meningggal dunia di Surakarta. Duka ini terjadi setelah Soetardjo dipindahtugaskan ke Jawa Tengah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menurut Soetardjo, selama di Solo, Siti Djaetoen menderita penyakit jantung sesudah mereka sekeluarga pindah dari Bandung disebabkan perjuangan revolusi. “Pada waktu mana ia dengan anak-anaknya seringkali harus saya ungsikan di desa daerah Majalaya sebelah selatan Bandung, seringkali pada waktu malam di bawah hujan lebat,” ujar Soetardjo. Setelah pengakuan kedaulatan, keadaan berangsur-angsur tentram. Soetardjo kemudian menikah lagi dengan janda bupati Bantul, Siti Surat Kabirun (keponakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX), dan Koes Sabandinah (adik Sri Paku Alam VII).
- Sepakterjang Batalyon yang Hilang
PULAU Jawa adalah kunci. Siapa yang menguasai Jawa, akan menguasai Nusantara yang kaya alamnya. Jepang menyadari ini demi menunjang keberlanjutannya di Perang Pasifik. Alhasil, kepentingannya pun berbenturan dengan Sekutu, yang Belandanya sudah lebih dulu menguasai Nusantara. Di Laut Jawa, Komando ABDA (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia) berjibaku dengan Jepang sejak 28 Februari 1942. Kapal penjelajah HMAS Perth (Australia) dan USS Houston (AS) jadi korban. Hal itu membuat Komando ABDA di darat cemas sambil sebisanya menghimpun kekuatan yang dipusatkan di Bandung. Namun, kisah-kisah perlawanan Sekutu di Jawa pada Perang Dunia II selama ini hanya mengungkap sepakterjang serdadu Belanda, Inggris, dan Australia, minus Amerika. Padahal, Amerika punya perwakilan di sana. Bahkan, sampai ada pasukan darat AS yang sohor dengan julukan “The Lost Battalion” alias Batalyon yang Hilang. “Kalau untuk kekuatan di udara, Amerika punya beberapa pilot Angkatan Darat. Kekuatannya berupa beberapa pesawat P-40 dari Skadron 17 yang berbasis di Blimbing, daerah Jombang, Jawa Timur. Salah satu ace -nya (pilot andalan) Letnan Satu Henry Keegan. Tercatat dia sendirian menembak jatuh lima pesawat Jepang,” tutur sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa dalam diskusi “Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II” di @America, Jakarta, 26 Februari 2019. Selain itu, lanjut Iwan Ong, ada satu Bomber Group 19 pimpinan Letkol Eugene L. Eubank yang berisi pesawat-pesawat pembom B-17 di Singosari yang sekarang menjadi Bandara Abdulrahman Saleh di Malang. Namun tetap saja, unit-unit udara itu tak mampu memukul mundur Jepang yang dengan cepat bermanuver hingga ke garis pertahanan Leuwiliang, Bogor Barat pada 2 Maret 1942. Kiprah Serdadu Texas di Leuwiliang Selama tiga hari, pasukan Sekutu sempat menahan gerak laju pasukan Detasemen Nasu dari Divisi II Angkatan Darat Jepang di Leuwiliang sebelum akhirnya ditarik mundur ke Bandung. Satu unit yang paling memberikan perlawanan gigih adalah para serdadu dari Texas, satu-satunya pasukan darat Amerika di Jawa. Sepakterjang serdadu Texas yang nama resminya Texas National Guard ini bermula ketika mereka dimobilisasi untuk memperkuat pertahanan Amerika di Filipina, 25 November 1940. Satuan berisi pemuda sukarelawan asal Texas itu lalu dilebur ke dalam Resimen Artileri ke-131 Batalyon ke-2 di bawah Divisi ke-36 AD Amerika. Dipimpin Letkol Blucher S. Tarp, pasukan berkekuatan 558 personel itu berangkat dengan kapal transport USS Republic pada 21 November 1941 via San Francisco. Namun mereka urung menuju Filipina karena telah direbut Jepang. Menurut Frank Fujita, veteran Texas National Guard berdarah Jepang-Amerika, dalam memoar berjudul Foo: A Japanese-American Prisoner of the Rising Sun , mereka dialihkan ke Australia. Pada 11 Januari 1942, merkea dikirim ke Jawa via Brisbane-Surabaya. Pasukan Garda Nasional Texas yang dimasukkan ke Resimen Artileri ke-131 Batalyon ke-2 di bawah Divisi ke-36 AD Amerika (Foto: Texas Military Forces Museum) Medio Februari, mereka dipindah ke Bogor untuk digabungkan dengan pasukan dari Australia. Pasukan Texas ini dijadikan bagian dari joint force berjuluk “Blackforce” yang dipimpin perwira Australia Brigadier (setara brigjen) Arthur Seaforth Blackburn. Texas Guard berada di Blackforce bersama Resimen Kavaleri 3 Hussars (Inggris) dan Batalyon 2 Pioneer. “Tiga hari (2-5 Maret) mereka menahan pasukan Jepang di Leuwiliang. Jadi pasukan Jepang yang mendarat di Banten dan masuk ke Bogor, ditahan pasukan ini. Pasukan dari Texas ini yang jadi andalan untuk mendukung tembakan meriam terhadap Jepang,” kata Iwan Ong menjelaskan kepada Historia. Kelly E. Crager dalam Hell Under the Rising Sun: Texan POWs and the Building of the Burma-Thailand Death Railway mencatat, Blackburn menempatkan kekuatan intinya di sisi timur tepi Sungai Cianten. “Pasukan Amerika menembak (meriam) dengan sangat akurat ke arah seberang sungai di mana pasukan Jepang berada. Tapi kemudian pada 4 Maret (5 Maret WIB), Jenderal Ter Poorten (Panglima ABDA) memerintahkan mundur ke Bandung via Sukabumi,” tulis Crager. Namun, sisa pasukan Texas ditawan pasca-Belanda menyerah di Kalijati, 8 Maret 1942. Sejak kapitulasi itulah keberadaan pasukan Texas tak diketahui lagi oleh para petinggi militer Amerika. Dari sinilah julukan “The Lost Battalion” bermula. Menurut Ronald Marcello dalam Lone Star POWs: Texas National Guardsmen and the Building of the Burma-Thailand Railroad, keberadaan mereka baru diketahui dari informasi tawanan perang lain pada 16 September 1944. Kala itu, sekira 2000 tawanan perang asal Australia dan Inggris hendak dibawa dari Burma ke Jepang. Tapi di tengah jalan, dua kapal Jepang yang membawa mereka ditenggelamkan dan para tawanan itu diselamatkan sebuah gugus tugas kapal selam Amerika. Dari merekalah Amerika baru mendengar kabar tentang keberadaan pasukan Texas itu, di mana sekira 500 personelnya dijadikan romusha. Ternyata, sejak kapitulasi di Kalijati, mereka dan ratusan penyintas awak USS Houston dibawa dari Batavia (kini Jakarta) ke Burma untuk dipekerjakan dalam pembangunan jalur kereta Burma-Siam (kini Thailand), yang difilmkan Pierre Boulle dengan judul The Bridge on the River Kwai . Keadaan mereka mengenaskan akibat beragam perlakuan kejam Jepang. Dari 500 personel yang dipekerjakan, 86 di antaranya tewas dalam masa tawanan, baik karena disiksa maupun karena kelaparan atau kehausan. Sisanya, dibebaskan di Tamarkan, Burma pada Agustus 1945. Kekejaman terhadap mereka berasal dari dendam Jepang, yang rugi besar dalam pertempuran di tepi Sungai Cianten, Leuwiliang. “Dari tiga hari pertempuran, korban Jepang besar sekali. Sampai di kemudian hari di dekat lokasi pertempuran, dibuat monumen untuk mendedikasikan pasukan Jepang yang gugur. Kini monumennya sudah dipindah ke Museum Taman Prasasti,” sambung Iwan Ong. Dari pengamatan Iwan terhadap situs pertempuran yang letaknya tak jauh dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), menurutnya, “Beberapa battle site -nya masih utuh. Sekarang lokasi tepatnya di lingkungan Museum Pasir Angin. Sisa-sisa pillbox -nya juga masih ada. Ya karena enklave komplek museum, jadinya masih terpelihara. Kalau tidak, mungkin sekarang sudah habis tak berbekas.”
- Bandit-bandit Kakap di Batavia
SUATU malam di Kampung Melayu, Batavia, pada 1907. Keheningan pecah. Suara pistol berkali-kali terdengar. Enam bandit beraksi di rumah orang Tionghoa. Mereka berhasil membawa kabur perhiasan dan barang senilai 300 gulden. Warga berusaha mengejar. Tapi nyali mereka ciut ketika beberapa bandit melepaskan pelor ke udara.
- Di Balik Ciuman yang Diabadikan
MASYARAKAT Kota Yogyakarta digegerkan oleh aksi vandalisme yang menyasar relief Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di kompleks Museum Benteng Vredeburg. Pelakunya masih diburu polisi. Tindakan vandalisme itu diduga terjadi pada Jumat, 15 Februari 2016 dini hari. Aksi vandalisme ternyata juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Perilaku tak terpuji itu menyasar patung Unconditional Surrender atau biasa dikenal sebagai patung V-J Day pada Selasa, 19 Februari 2019 waktu setempat, sebagaimana dikutip ABC News , 20 Februari 2019. Sama seperti di Yogyakarta, hingga kini kasus vandalisme ini masih dalam tahap penyelidikan kepolisian. Patung berbentuk seorang serdadu AL AS dan seorang wanita yang tengah berciuman itu dibuat untuk merayakan kemenangan Sekutu atas Jepang di Perang Dunia II. Dalam aksi vandalisme tersebut, kaki kiri patung wanita, yang menggambarkan sosok Gretta Zimmer Friedman, seorang perawat di klinik gigi, dicoret dengan tulisan “#MeToo” berwarna merah. Ironisnya, aksi vandalisme terjadi tak lama setelah George Mendosa, sosok serdadu AL di patung itu, meninggal pada 16 Februari 2019 dalam usia 95 tahun. Mula Foto Ikonik Patung Unconditional Surrender dibuat Seward Johnson II berdasarkan foto lawas karya fotografer AL AS Victor Jorgensen yang menangkap pose fenomenal pada perayaan V-J Day di Times Square, 14 Agustus 1945. Kisah di balik jepretan foto itu juga merupakan aksi spontan Mendonsa. Mendosa merupakan seorang pelaut kelas satu yang bertugas di kapal perusak USS The Sullivans (DD-537). Dia ikut serta ketika USS The Sullivans ambil bagian dalam operasi amfibi di Hollandia (kini Jayapura), medio April 1944. Sedangkan Gretta Zimmer Friedman, adalah pelarian dari Austria saat Perang Dunia II berkecamuk di Eropa dan kemudian menjadi perawat dokter gigi. Gretta wafat pada 2016 di usia 92 tahun, di Richmond, Virginia. Saat berciuman, Mendonsa dan Gretta tak saling kenal. Mereka hanya dua dari puluhan ribu manusia yang menyemut dan ikut larut dalam euforia perayaan V-J Day. Mendonsa sedang mendapat cuti tugas, pun dengan Gretta yang sedang libur dari pekerjaannya. Mendonsa spontan mencium Gretta yang kebetulan berada di sebelahnya, lalu dijepret Eisenstaedt. Foto itu booming setelah Majalah Life menjadikannya cover dua pekan setelahnya . Life hanya menampilkan fotonya tanpa menyebut siapa kedua insan itu lantaran Eisenstaedt tak mendapatkan informasi kedua muda-mudi itu. Di waktu hampir bersamaan, muncul pula foto serupa miliki Victor Jorgensen dengan angle sedikit berbeda. Serupa foto milik Eisenstaedt, dua pemuda di foto milik Jorgensen pun masih misterius. Selama 74 tahun Mendonsa mengklaim itu adalah foto dirinya, namun tak satu pihak pun mengakui, termasuk majalah Life. Klaim Mendosa baru diamini banyak pihak tahun 2012, setelah Lawrence Verria dan George Galdorisi menelitinya. Hasil penelitian Verria-Galdorisi itu dibubukan Naval Institute Press dengan jugul The Kissing Sailor: The Mystery Behind the Photo That Ended World War II. Dalam risetnya, Verria dan timnya melakukan pemindaian wajah dengan teknologi facial recognition yang kemudian diteliti ulang oleh sejumlah ahli fotografi. “Hasilnya sangat menakjubkan. Tidak diragukan lagi orang ini layak mendapat pujian sepanjang hidupnya,” ujar Verria. Pengakuan terhadap Mendonsa lebih meluas lagi setelah tim Mitsubishi Electric Research Laboratories (MERL) di Cambridge, Massachussetts, melakukan riset serupa. MERL menggunakan teknologi pemindaian wajah Leading-Edge-3-D dan hasilnya juga jadi bukti bahwa sosok pelaut di pose bersejarah itu adalah Mendonsa. “Dengan kombinasi teknologi itu dan analisis para ahli foto, menghasilkan bukti nyata bahwa George Mendonsa, adalah pelaut dalam pose ciuman di majalah Life 1945 itu,” ungkap Robert Hariman dan John Louis Lucaites dalam No Caption Needed: Iconic Photographs, Public Culture and Liberal Democracy . Diabadikan Lewat Patung Foto Mendosa dan Gretta karya Jorgensen menjadi acuan Seward Johnson dalam membuat patung Unconditional Surrender. Johnson membuat patung perunggu setinggi 7,6 meter itu atas permintaan Sarasota Season of Sculpture (kini Sarasota Sculpture Center/SSC) yang mengadakan pameran di Sarasota pada 2005. “Direktur (SSC) Jill Kaplan merasa foto itu jadi kenangan yang paling diingat terkait perayaan V-J Day buat masyarakat Amerika. Foto tenar itu menjadi simbol abadi dalam perayaan berakhirnya perang,” tulis Susan Goldfarb yang dimuat dalam Longboat Key Life , 15 Februari 2008. Setelah beberapa kali dibongkar-pasang untuk dipindah, pada 2015 patung Unconditional Surrender dipasang secara permanen di New York. Johnson membuat beberapa patung serupa untuk dipasang secara permanen di Civitavecchia (Italia), Sarasota (Florida), Royal Oak (Michigan), Key West (Florida), dan Bastenaken (Belgia). Patung yang dijadikan sasaran vandalisme baru-baru ini adalah patung versi kedua karya Johnson yang dipasang di Sarasota.
- Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
SUARA gamelan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Warga desa berbondong-bondong langsung mendatanginya untuk menonton. Pentas ketoprak di lapangan kampung itu merupakan bagian dari kampanye yang dilakukan PKI. Lantaran bagian dari kampanye, dialog para pemain dalam ketoprak itu banyak berisi slogan-slogan komunis. Para pemain ketoprak biasanya sudah ahli dalam menyisipkan slogan partai tanpa mengganggu isi cerita. Teknik ini sangat efektif dalam mempopulerkan slogan karena bisa lama diingat dan disukai warga desa. “Orang-orang desa banyak berdatangan karena pada umumnya kekurangan hiburan. Sejauh itu, belum ada partai politik lain di Yogyakarta yang memiliki ide kampanye seperti PKI,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta. Selain menggelar kesenian tradisional, PKI juga berkampanye dengan cara melakukan kunjungan langsung terhadap calon pemilih atau anjang sana . Untuk mencegah kejenuhan calon pemilih gara-gara dikunjungi kader yang itu-itu saja, PKI di Gunung Kidul membuat sistem rolling . Tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda dalam satu periode. Cara ini cukup efektif karena pemilih yang rumahnya sering dikunjungi biasanya pakewuh kalau tidak memberikan suara. Partai politik selain PKI biasanya membatasi diri pada ceramah tentang masalah yang sedang hangat, program partai, dan pemasangan poster partai. Ceramah biasanya dilakukan di tempat terbuka, semisal Stadion Kridosono. Partai yang tidak punya cukup anggaran kampanye, seringkali menarik pemimpin formal, informal, atau tokoh masyarakat berpengaruh sebagai kader untuk menjaring suara. Ikatan kekeluargaan bahkan menjadi jalan terbaik untuk melakukan pendekatan di desa. Selain kampanye dari partai politik, sosialisasi mengenai pentingnya mengikuti pemilu, tugas konstituante, dan peran partai politik, juga dilakukan Kementerian Penerangan yang bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri. Tugas ini cukup sulit dilakukan mengingat angka buta huruf sangat tinggi. Di Yogyakarta, misalnya, angka buta huruf mencapai 60%. “Penduduk perkotaan biasanya mempunyai hubungan yang lebih erat dengan partai politik. Mereka lebih terdidik serta lebih paham dibanding penduduk di pedesaan,” tulis Selo Soemardjan. Di masa kampanye untuk Pemilu 1955 itu, persaingan antarpartai sangat terlihat, terutama partai dengan sasaran massa yang sama semisal NU dan Masyumi –NU memisahkan diri dari Masyumi pada 1952. Kedua partai berbasis agama ini bersaing untuk menarik dukungan para santri. Masyumi juga sempat bersitegang dengan Sukarno pada 1953. Kala itu, terjadi polemik antara Presiden Sukarno dan pemimpin Masyumi Isa Ansyari. Sukarno menginginkan negara kebangsaan daripada negara Islam. Sementara, Isa Ansyari menganggap sikap Sukarno sebagai pengingkaran hak-hak demokratis orang Islam. Sementara, PKI dan PNI bersaing untuk mendapatkan dukungan kaum abangan. Pejabat abangan dan elite sosial cenderung mendukung PNI karena identik dengan nasionalisme. PNI sangat membanggakan kedekatannya dengan Sukarno dan menggunakannya sebagai bahan kampanye. Mereka juga mengklaim punya peran besar dalam menentang kolonialisme. Dengan taktik kampanye ini, PNI cukup berhasil. Di Jakarta, para pegawai negeri sipil, kecuali pegawai Kementerian Agama, lebih banyak yang memilih PNI. Alhasil, PNI mendapat suara terbanyak dalam pemilu 29 September 1955 yang diikuti 118 peserta dengan 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan. PNI tercatat memperoleh 22,3% suara. Meski jumlah suara yang didapat PNI lebih banyak dari Masyumi dengan 20,9%, keduanya mendapat 57 kursi di DPR. Sementara NU mendapat 45 kursi dengan perolehan suara 18,4%. PKI mendapat 39 kursi dengan perolehan 16,4% suara. "PKI, PNI, NU merupakan partai-partai besar di Jawa Timur dan Tengah. Sedangkan Masyumi kuat di semua provinsi, kecuali Jawa Timur dan Tengah," tulis William Liddle dalam Partisipasi dan Partai Politik . Tingginya suara Masyumi di berbagai provinsi sudah dibuktikan pada pada pemilu percobaan di daerah. Tahun 1951 di Yogya, misalnya, Masyumi memenangkan 15 dari 40 kursi DPRD DIY. Selo Soemardjan menyebut, kemenangan Masyumi lantaran kuatnya Muhammadiyah di Yogyakarta.
- Mencicipi Masakan Kuno
Makanan disajikan melimpah di atas tikar, dialasi daun pisang sepanjang dua kaki dan selebar satu kaki sebagai ganti taplak. Makanan mereka seperti makanan kita, bergaram. Ada yang dipanggang, dirempahi, digoreng. Namun mereka hanya menggunaan minyak sebagai ganti mentega. Jamuan mereka seringkali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang. Dari catatan Van Goens itu, dapat sedikit terbayang penyajian masakan pada masa lalu. Duta VOC di Batavia itu beberapa kali mengunjungi Keraton Mataram ketika Amangkurat I (1645-1677) berkuasa. Sayang, penjelasannya kurang detail, sehingga masih sulit membayangkan rasa makanan itu, selain kalau masakan itu dirempahi. Epigraf asal Australia, Antoinette M. Barret Jones dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions , memperkirakan bumbu masakan pada zaman kuno, paling tidak di Jawa pada abad ke-10 M. Dia menyebut rasa masakannya berbeda dengan sekarang. Beberapa bahan masakan baru dikenal masyarakat Nusantara setelah orang Eropa menemukan Benua Amerika. Misalnya cabai, nanas, sawo, jagung, papaya, markisa, srikaya, jambu batu, dan singkong. Bumbu Jawa yang kini populer baru kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma ( saffron ) dibawa dari wilayah Mediterania. Ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania. Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Sementara itu, laos merupakan tanaman asli Jawa. Penjelajah Italia, Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa sekira abad ke-13 M. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa. “Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , meski terkenal sebagai negeri rempah dan terbiasa merempahi makanannya, rupanya tak banyak orang Eropa dan Tiongkok yang protes akan rasanya. Pada masa itu tidak pernah ada yang mengemukakan bahwa makanan di Asia Tenggara terlalu banyak bumbu, pedas, atau terlalu banyak memakai rempah. “Mungkin karena kedua bangsa pemakan daging ini, yang ingin menyembunyikan rasa daging lama mereka, ketika itu juga sudah terbiasa dengan rasa rempah dalam makanan Asia Tenggara,” tulis Reid. Aneka ragam tanaman juga sohor di pasar-pasar Asia Tenggara, seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Semuanya digunakan sebagai bahan penyedap makanan dan obat-obatan. “Bahan makanan yang masih digunakan sampai saat ini, misalnya gula aren, minyak, beras, asem, dan terasi, bagi Jawa merupakan komoditas ekspor,” tulis Reid. Bagi mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara, terasi dan kunyit merupakan bahan makanan pedas paling umum hingga diperkenalkannya cabai dari Amerika selatan pada pengujung abad ke-16. Berdasarkan laporan orang Belanda pada 1596 cabai telah tumbuh di beberapa bagian Jawa. Bahkan, gubernur Belanda di Banten menggunakannya sebagai pengganti lada ketika lada langka. “Lada hitam kendati dijual di mana-mana tak begitu penting artinya dalam makanan orang Asia Tenggara,” tulis Reid. Kemudian terasi yang sejak dulu bahan makanan ini dinilai sebagai penyempurna makanan. “Tidak sempurna makan nasi tanpa ikan, dan terutama terasi yang kaya protein dari ikan,” catat Reid. Terasi bagi orang Melayu disebut belacan. Orang Thailand menyebutnya kapi . Di Burma, terasi disebut nga-pee , di Vietnam nuoc mam . Terasi menjadi makanan kegemaran orang Asia Tenggara. Resep Warisan Masa Lalu Hingga kini sulit mendapatkan sumber yang menjabarkan resep masakan masa kuno. Berdasarkan penjelasan Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ada sedikit petunjuk dalam relief Candi Borobudur. Terdapat penggambaran dua ekor kepiting dan empat ekor ikan. Masing-masing hanya nampak bagian atasnya, yaitu sepasang capit kepalanya. Menurut Dwi, bisa jadi bagian bawahnya mungkin terendam kuah. “Boleh kadi kuah bersantan, kata santen telah kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, dalam arti: diperas dari daging kelapa, seperti disebut pada Kakawin Ramayana , Bharatayuddha , Sumanasantaka , kitab Tantri Kadiri , Korawa- srama ,” jelas Dwi. Kendati tak banyak petunjuk, menurut peminat kuliner dan arkeolog Lien Dwiari Ratnawati, racikan bumbu di Bali bisa menjadi contoh setidaknya bumbu yang dipakai pada era Majapahit. “Ketika Islam mendesak, banyak orang Majapahit lari ke Bali,” kata kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Masyarakat Tenganan, Pegrisingan misalnya. Dalam perayaan tertentu hingga kini masih menyajikan nasi tumpeng lengkap dengan berbagai jenis lauk seperti dalam prasasti. Tradisi Bali hingga kini masih mewarisi dan mempertahankan beberapa resep masakannya dalam bentuk Lontar Dharma Caruban. Beberapa resep dicatat misalnya otak-otak, beragam sate, ayam panggang, hingga brengkes yang pengolahannya hampir sama dengan pepes. Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyoroti minimnya penulisan resep masakan pada masa lalu juga berkaitan dengan masalah gender. Memasak sejak dulu dipandang sebagai urusan domestik. Hanya perempuan yang di dapur. “Dari dulu kan perempuan tidak dididik untuk menulis. Sudah tidak menulis, selalu di dapur, tidak keluar. Serat Centini saja hanya menyebut nama makanannya. Tidak pernah ada cerita bagaimana membuatnya,” ujarnya. Kendati begitu banyak kekayaan kuliner masa lalu yang masih bisa dicicipi pada hari ini. “Mereka mewarisinya secara lisan,” katanya.
- Makan Daging Masa Jawa Kuno
Jamuan mereka sering kali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang. Dengan itu mereka mengadakan pesta besar-besaran. Nasi ditumpuk begitu tinggi, setinggi bahu orang yang duduk bersila. Ayam dan unggas panggang, serta berbagai jenis makanan kering dari daging lembu, ditumpuk sebanyak-banyaknya, di mana-mana. Seolah itu merupakan pemborosan yang nista. Namun tidaklah demikian. Begitu raja dan kaum bangsawan selesai makan, sisanya dipindahkan bersama tikarnya. Lalu diberikan semuanya kepada para pelayan raja. Bagi kaum bangsawan, jika ada yang tersisa, mereka membawanya pulang untuk dinikmati bersama anak-anak mereka atas tanggungan raja. Begitulah kebiasaan dalam jamuan besar di Jawa sebagaimana dicatat Van Goens pada 1656. Duta VOC dari Batavia itu beberapa kali berkunjung ke Keraton Mataram di bawah Amangkurat I (1645-1677). Dalam acara semacam itulah rakyat bisa makan daging. Seperti disebut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, penyediaan daging yang nampak berlebihan seperti ini bukan hanya menjadi ajang pamer kebesaran penguasa. Itu juga cara membagi-bagi persediaan daging yang terbatas kepada rakyat. Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho, terkejut dengan kebiasaan makan orang di Nusantara, khsususnya di Jawa. Dalam Yingya Shenglan, dia tercengang melihat makanan orang Jawa ketika datang pada awal abad ke-15. “Makanan penduduk sangat kotor dan buruk, contohnya ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing, mereka panaskan sebentar di atas api dan langsung dimakan,” katanya. Di luar itu, rakyat jelata biasanya lebih sering makan ikan, baik tawar maupun laut, karena mudah didapat. “Ikan ini kelihatannya agak tersebar di berbagai tempat dan dengan demikian dapat dinikmati oleh orang kaya maupun miskin, priyayi, atau rakyat jelata,” jelas Reid. Pada masa yang lebih kuno, raja juga punya kebiasaan menjamu rakyatnya makan beragam daging hewan dalam sebuah pesta, biasanya penetapan desa perdikan. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan daging dan ikan dibedakan tegas dengan istilah serapan dari bahasa Sanskreta, yaitu mamsa untuk daging dan matsya untuk ikan. Kakawin Nagarakrtagama mencatat jenis daging yang dihidangkan di Keraton Majapahit. Ada daging domba, kerbau, ayam, babi liar, lebah, ikan, dan bebek. Dijelaskan pula sederetan daging yang tidak dihidangkan kepada orang-orang yang taat pantangan Hindu, meskipun itu banyak digemari oleh rakyat biasa. “Kodok, cacing, penyu, tikus, anjing, alangkah banyaknya orang yang menggemari daging-daging ini mereka dibanjiri daging-daging ini, sehingga mereka tampak sangat senang,” tulis Mpu Prapanca. Berbagai daging yang sering dikonsumsi juga disebutkan dalam beberapa prasasti. Di antaranya babi ternak ( celeng ), babi hutan ( wok ), kerbau ( kbo/hadangan ), kijang ( kidang ), kambing ( wdus ), sapi ( sapi ), kera ( wrai ), serta dikenal juga kalong ( kaluang ). Adapun yang masuk kategori unggas adalah bebek ( andah ), sejenis burung ( alap-alap ), angsa ( angsa ), ayam ( ayam ) dan telur ( hanttrini ), kemungkinan telur ayam. “Mengingat ayam sudah dijinakkan sejak masa bercocok tanam, dan penggambarannya dapat dilihat pada relief Karmawibhangga (di kaki Candi Borobudur, red. ),” tulis Kresno Yulianto Sukardi, arkeolog Universitas Indonesia, dalam makalahnya “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV . Seseorang tengah berburu burung dengan alat sumpit dalam relief Karmawibhangga Dalam panil relief yang sama digambarkan juga babi. Pada masa itu mungkin sudah diternakkan. Pasalnya berbagai jenis babi memang sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun, bahkan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun SM. Ketersediaan Daging Babi termasuk dalam daging yang paling banyak tersedia selain ayam dan kerbau. Kata Reid, babi adalah pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging. Ia merupakan sumber utama daging di daerah di mana Islam belum masuk. Sementara kerbau, meski banyak peternak cenderung enggan menyembelihnya karena lebih berharga sebagai hewan pembajak. “Kerbau yang lebih kuat ada di mana-mana tapi tingkat reproduksinya yang lambat, satu atau lebih anak tiap tiga tahun atau lebih,” jelas Reid. Baik kerbau, kambing, maupun unggas, seperti itik sudah sejak lama telah diternakkan secara sungguh-sungguh. Hal ini dapat diduga berdasarkan Prasasti Sangsang (829 Saka/907 M). Isinya antara lain menyebutkan batas jumlah hewan yang tidak dikenai pajak bila dijual dalam wilayah sima: 20 kerbau, 40 sapi, 80 kambing, dan itik satu wantayan. Soal perdagangan hewan juga tertulis dalam Prasasti Kubu Kubu (827 Saka/905 M). Selain kerbau, kambing, sapi, dan itik, ayam termasuk hewan yang dijual. “Hewan ini barangkali sengaja dijual untuk dimakan atau dipelihara oleh masyarakat pada masa itu,” jelas Kresno. Orang sedang menyembelih kambing dalam relief Karmawibhangga Bukan cuma hewan yang masih hidup yang diperdagangkan. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi menemukan kata hajagal dalam prasasti dan naskah. Itu merujuk pada pemotong hewan ternak atau tukang jagal. “Sangat mungkin pada masa Mataram Kuno, selain hewan ternak telah dijual pula daging secara eceran,” lanjutnya. Lagi-lagi, pembelinya tak sembarangan. Mengingat sampai masa kini pun, bagi penduduk desa daging masih merupakan makanan mewah untuk dikonsumsi sehari-hari. “Mereka mengkonsumsi daging hanya pada hari-hari besar seperti hari raya atau bila ada yang berkenduri,” kata Titi.
- Kisah Pierre Tendean Si Ajudan Tampan
Pierre Tendean dan Efendi Ritonga adalah taruna Akademi Teknik AD (Atekad) lulusan tahun 1961. Keduanya kawan dekat. Tingkat satu, mereka satu peleton dan tinggal bersama di barak. Sekamar saat menginjak tingkat dua. Sekali waktu, mereka keluar asrama turun ke arah Ciumbuleuit menghabiskan akhir pekan. “Pierre cerita bahwa ada lima wanita siswi SMA Dago yang taruhan untuk mendapatkan dirinya yang ganteng itu,” tutur Efendi dalam peluncuran buku biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi di Perpustakaan Nasional Jakarta Pusat, 25 Februari 2019. Menurut Efendi, tak satupun dari gadis Bandung itu yang diterima oleh Pierre karena alasan sedang belajar untuk menyelesaikan pendidikan. “Kelihatan dari jiwanya, dia bisa memisahkan mana yang harus dilakukan mana yang akan mengganggu,” tutur purnawirawan dengan pangkat terakhir brigjen itu. Acara peluncuran buku biografi resmi Pierre Tendean di Perpustakaan Nasional, 25 Februari 2019. Foto: Martin Sitompul/Historia. Ketampanan Pierre bisa disebut sebagai takdir bawaan. Lahir di Batavia, 21 Februari 1939, Piere merupakan putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dari suku Minahasa dan Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Namun Pierre sendiri tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluarganya pindah ke Semarang. Di kota itu, Ayah Pierre yang dokter spesialis jiwa menjadi pimpinan Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang. Pada 1958, Pierre memutuskan masuk militer. Padahal, keluarganya menginginkannya berkuliah di ITB. Atekad menjadi tempat bagi Pierre meniti ilmu sebagai prajurit TNI. Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo menuturkan, di Atekad, Pierre termasuk siswa yang populer. Pengamatan Sayidiman ini cukup beralasan, karena saat itu dirinya menjabat sebagai komandan taruna Atekad. Pierre sering datang kepadanya untuk berbincang dan bertanya. “Semua taruna-taruna di Atekad kenal Pierre karena disiplin sehingga jadi komandan korps taruna. Pierre populer sebagai olahragawan, pemain bola basket, tenis, dan sepak bola,” ujar Sayidiman. Di kalangan taruna, Pierre kerap mendapat ledekan karena paras indonya. Pelecehan itu sering secara verbal berupa pertanyaan sindiran, “Indo ya?”. Sesekali, Pierre pernah menjawab dengan nada marah. “Barangkali rasa nasionalismemu lebih rendah daripada nasionalisme saya,” kata Pierre sebagaimana dituturkan karibnya, Efendi Ritonga. Setamat dari Atekad pada 1963, Pierre ditempatkan di Medan. Dia bertugas di satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan. Di kota itulah Pierre bertemu tambatan hatinya, Rukimini Chamim, gadis Medan keturunan Jawa. Pierre tak lama dinas di Medan, namun kisah cinta dengan Mimin – panggilan Rukmini – tetap berlanjut. Pada pertengahan, 1963, Pierre sekolah lagi di Bogor. Bersama beberapa rekannya, Pierre mengikuti pelatihan intelijen di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel). Pierre dipersiapkan untuk operasi khusus, salah satunya mengawal Menteri Oei Tjoe Tat ke Malaysia. Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan semua pihak yang anti dengan pembentukan federasi Malaysia. Misi ini dilakukan Oei dan Pierre dengan cara menyamar. Oei berlakon sebagai pedagang Tionghoa. Sementara Pierre, dengan wajah bulenya cukup apik berperan sebagai turis. Setelah misi intelijen dalam Operasi Dwikora ganyang Malaysia, Pierre mendapat penugasan baru, sekaligus yang terakhir dalam hidupnya. Pada April 1965, Pierre dipercaya menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pangkatnya naik jadi letnan satu dan tergolong ajudan termuda. Dari garis ibunya, Pierre masih berkerabat dengan Johana Sunarti Gondokusumo, istri Nasution. Dalam pekerjaan sehari-hari mengawal Nasution, Pierre kerap jadi pusat perhatian karena ketampanannya. Apabila Nasution diundang sebagai pembicara dalam seminar atau konferensi, sosok Pierre ikut jadi sorotan terutama dari kaum hawa. Dari sinilah kemudian terkenal istilah, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.” Malam 1 Oktober 1965 jadi hari pengabdian terakhir Pierre bagi keluarga Nasution. Pierre jadi korban saat pasukan Tjakrabirawa hendak meringkus Nasution. Saat itu, Pierre keluar dari paviliunnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution. Pasukan yang hendak menangkap Nasution malah menyangka Pierre sebagai Nasution dan membawanya ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Nasib Pierre kemudian dapat diketahui. Dirinya menjadi salah satu korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965 bersama enam perwira tinggi AD. Mereka yang gugur dalam peristiwa itu kelak disebut Pahlawan Revolusi. “(Pierre) perwira muda yang masih haus latihan tapi harus sudah berkorban,” kata mantan Panglima TNI dan juga Wakil Presiden Jenderal (Purn.) Try Sutrisno yang masih kakak senior Pierre semasa di Atekad. “Waktu taruna, kita diajar untuk loyal, untuk setia. “Kalau dia bilang, dia bukan Nasution pasti dilepas. Pierre memiliki rasa kesetiaan yang luar biasa.” Senada dengan Try Sutrisno, Sayidiman mengatakan, Pierre Tendean mengorbankan dirinya untuk keselamatan Jenderal Nasution, perbuatan yang juga menyelamatkan negara dan bangsa.
- Melindungi Kenangan Kapal Perang
SETELAH melarung karangan bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 lalu, Armada Pasifik AL AS akan melakukannya lagi pada 1 Maret 2019 untuk untuk mengenang kapal penjelajah USS Houston (CA-30) beserta para awaknya yang tenggelam dalam Pertempuran Laut Jawa tahun 1942. Ritual itu akan dilakoni para awak kapal penyapu ranjau USS Chief (MCM-14) dan beberapa kolega mereka dari AL Australia. “Kami senang dan merasa terhormat untuk bisa mengenang mereka. Sampai sekarang masih banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana (Selat Sunda),” ungkap komandan USS Chief Lieutenant Commander (setara mayor) Frederick Crayton dalam diskusi “Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II” di @America, Mal Pacific Place, Jakarta, Selasa (26/2/2019). Para personel AL AS berharap bisa terus melakukannya tanpa harus khawatir bangkai kapal USS Houston bakal senasib dengan sejumlah bangkai kapal perang Belanda dan Inggris yang raib di dasar beberapa perairan Indonesia. NLMS De Ruyter , Java, dan Kortenaer milik AL Belanda maupun HMS Electra dan HMS Exeter milik AL Inggris bangkainya sudah raib dirongsok para pedagang besi bekas. USS Houston merupakan kapal yang tergabung dalam armada Komando ABDA (American, British, Dutch, Australia) saat menahan ofensif Jepang di Hindia Belanda pada Februari-Maret 1942. Bersama Perth , Houston ditenggelamkan kapal-kapal Armada Invasi Barat Jepang di Selat Sunda, dekat Pulau Panjang, 1 Maret 1942. “Sekitar 300 awak Houston sempat selamat dan mencapai pesisir pantai Banten, tetapi kemudian ditangkap Jepang. Mereka ikut dikirim bersama para tawanan perang Sekutu lainnya ke Burma (kini Myanmar) dan Thailand untuk membangun jalur kereta,” ujar Atase AL AS Commander (setara letnan kolonel) Greg Adams. Sisanya, sekitar 700 awak, termasuk Kapten Albert H. Rooks, tewas dan terbawa bangkai kapal ke dasar laut. Lebih dari tujuh dekade keberadaan Houston jadi misteri, ia akhirnya ditemukan pada Juni 2014 oleh AL AS dan Indonesia saat menjalani latihan bareng Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT). Saat Arkeologi Nasional (Arkenas) Indonesia dan tim arkeolog maritim Australia mensurvei keberadaan HM A S Perth p ada 2016 , pemerintah AS meminta mereka untuk sekaligus men- scan bangkai Houston yang lokasinya tak jauh dari Perth . “Ini penting buat kami karena mereka kami anggap pahlawan perang. Apalagi pada November 2016 kami tahu ada bangkai kapal Belanda dan Inggris yang hilang. Makanya kami ingin meningkatkan kepedulian bersama dan diskusi ini jadi bagian dari proses serta kampanye, di mana kami ingin ada legal proteksi terhadap Houston ,” imbuhnya. Pentingkah Perlindungan Indonesia terhadap Bangkai Kapal? Pertanyaannya, apakah penting masyarakat dan pemerintah Indonesia ikut peduli menjaga keberadaan bangkai kapal-kapal yang asing itu? “Yang pasti secara langsung dan tidak langsung, ada peran Amerika Serikat dalam kemerdekaan Indonesia. Kemenangan Amerika terhadap Jepang dalam Perang Pasifik dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki turut mempercepat dekolonisasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Belum lagi beberapa orang-orang Amerika secara individual membantu kemerdekaan,” ujar sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa. Atase AL AS Commander Greg Adams saat memperlihatkan hasil scan sonar USS Houston (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pemerintah AS tergelitik untuk membawa isu memori kolektif antara Indonesia dan Amerika dengan harapan, pemerintah Indonesia bersedia memberi perlindungan hukum terhadap Houston . “Karena selain memperingati para pahlawan kami, peringatan 1 Maret nanti juga untuk memperkuat hubungan diplomatik Amerika dan Indonesia sejak 1949, di mana Amerika juga turut andil dalam mengakhiri konflik dengan Belanda,” sambung Adams. Amerika ingin pemerintah Indonesia bisa memberi perlakuan sama seperti terhadap HMAS Perth . Pada 2018, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat bekerjasama melindungi situs bangkai Perth di Selat Sunda lewat penetapan zona konservasi maritim. “Pertanyaan soal pentingkah bagi kita melindungi kapal perang mereka, timbul tidak hanya di kalangan mahasiswa tapi juga sampai ke level para pengambil kebijakan. Pertanyaan ini muncul karena memang kurangnya informasi dan pengetahuan (terkait sejarah bersama),” ujar Zainab Tahir, kepala seksi Barang Muatan Kapal Tenggelam Kementerian Kelautan dan Perikanan (BMKT KKP). Soal Perth , kata Zainab, lahir dari komitmen bersama soal proses-proses penetapannya. Mulai dari tiga kali pertemuan bilateral dengan pemerintah Australia, hingga riset dan survei bersama di dasar laut. “ Perth saja waktu ditemukan bangkainya tinggal 40 persen. Sisanya sudah di- scrap (dicuri). Soal siapa pelakunya selalu jadi pertanyaan, sulit buat dijawab. Termasuk kasus hilangnya HMS Exeter di perairan Pulau Bawean. Dalam pemindaian bawah laut 2008, masih terlihat utuh. Tapi pada pemindaian berikutnya pada 2016, sudah hilang tak berbekas. Kami hanya bisa menjawab, pelakunya terkait industri besar,” lanjut Zainab. Untuk payung hukum perlindungan situs makam bawah laut, pemerintah punya Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 dan Peraturan Menteri (Permen) KKP Nomor 17 tahun 2008 tentang konservasi maritim, serta UU Nomor 11 tahun 2010 tentang perlindungan warisan budaya. Selain itu, pemerintah Indonesia pun sudah meratifikasi UU terkait warisan bersama dalam naungan UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut Internasional sejak 1982. Zainab Tahir, Kasie BMKT Kementerian Kelautan dan Perikanan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Tapi yang diatur adalah perlindungan obyek budaya (di UU dan Permen) tidak spesifik menyebutkan tentang warships (kapal perang). Kemudian, soal warship menjadi complicated (rumit) karena di situ ada hak negara pemilik kapal. Di UNCLOS menyebut adanya kedaulatan negara pemilik bendera. Inilah yang kemudian timbul polemik ketika bicara soal proteksi bangkai kapal perang,” jelas Zainab. Pun begitu, KKP menyatakan keprihatinannya bahwa beberapa bagian kapal Houston sudah hilang saat ditemukan para penyelam AS dan Indonesia pada 2014. Antara lain, beberapa bagian lapisan baja lambung kapal dan sejumlah paku bajanya. Zainab menyatakan, KKP siap membantu jika sudah ada penetapan kerjasama lewat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). “Wewenang awalnya ada di Kemenlu. Tentu kita tidak mau terjadi lagi seperti kasus kapal-kapal Belanda, di mana Indonesia disomasi, diprotes pemerintah Belanda. Ibu Susi (Pudjiastuti, menteri KKP) tetap berkomitmen untuk bersedia melindungi Houston . Tapi kami masih menunggu penetapan kerjasama, serta riset bersama lebih mendalam sebagai referensi dan dasar penetapan,” kata Zainab.
- Pertempuran Surabaya dari Mata Perempuan
SUATU hari di Surabaya pasca-proklamasi. Pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya. Riet dan suaminya, Boenakim, yang sedang berjaga di pos dekat Pasar Kupang, menyaksikan mereka menembak ke segala arah dengan membabi buta. Sejak pertempuran pecah, Riet ambil bagian dalam perjuangan sebagai anggota palang merah. Sementara, Boenakim sebagai komandan pos. “Aduh!” kata Boenakim yang sekonyong-kongyong ambruk. Riet langsung menjerit. Dilihatnya punggung Boenakim berlubang terkena peluru yang menembus lewat dadanya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim. Di tengah kepanikannya, Riet terus memberi pertolongan pada suaminya. Parto, anak buah Boenakim, lantas datang membantu. Riet dan Parto bahu-membahu merawat luka Boenakim. Namun sayang, nyawa Boenakim tak tertolong. Di pangkuan istrinya, Boenakim meninggal pada 11 November 1945 pukul 10.45. Sampai di rumah Riet, Kampung Asemjajar, suasana sudah sunyi. Seluruh penduduk kampung mengungsi lantaran takut sewaktu-waktu dibom Sekutu. Pasalnya, kampung sebelah, Asemrowo dan Dupak, sudah dibumihanguskan Sekutu dengan hujan bom. Setelah satu jam menyiapkan pemakaman hanya bersama Parto, Riet kedatangan empat perempuan tetangga yang membantunya bekerja di dapur. Suara bom dan mortir terus-menerus terdengar di kejauhan. Semua bekerja dengan cemas. Pukul tiga sore, suara ledakan bom makin menjadi namun hilang setengah jam kemudian. Riet mengira kedua belah pihak kehabisan amunisi. Di saat itulah, anak buah Boenakim berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada komandan mereka. Menjelang penguburan, suara letusan senjata kembali terdengar. Jenazah Boenakim yang semula akan dimakamkan bersebelahan dengan ibunya, batal dilakukan. Situasi terlalu berbahaya, jalan-jalan ditutup. Satu-satunya tempat aman yang bisa dijangkau adalah kebun milik Riet di dekat sawah. amun ketika rombongan baru jalan sekira 100 meter, letusan senjata kembali terdengar. Mereka langsung tiarap dan mencari tempat aman. Keranda terpaksa mereka taruh di tanah. “Karena keadaan inilah jarak dekat antara rumah dan kebon, kami tempuh tak kurang dari satu jam,” kata Riet Boenakim dalam memoarnya, Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi jilid 3. Malamnya, Riet langsung meninggalkan kampung dan bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Riet bekerja di dapur umum merangkap juru rawat dan dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Pada hari kelima pasca-kematian Boenakim, Pos Banyuurip diserang. Seluruh pengungsi dan para pejuang pindah ke Kandangan. Riet mengikuti dengan menumpang tank. Setelah Kandangan tak lagi aman, warga Surabaya mengungsi ke berbagai tempat. Riet memilih ke Yogyakarta. Kembali ke Yogyakarta Yogyakarta bukan kota asing buat Riet. Ia lahir dan besar di sana. Riet menempuh pendidikan di Neutrale Hollandsche Javanesche Meisjeschool bersama Arini Soewandi, kelak menjadi anggota DPRD DIY 1966/67. Semasa sekolah, Riet dan Arini aktif di kepanduan yang diketuai Pranyoto. “Kami mempunyai idola pemimpin yang sama, yakni Bapak Pranyoto. Orangnya tenang, sabar, dan berwibawa,” kata Arini dalam memoarnya di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi V. Sekembalinya ke Yogyakarta, Riet langsung aktif di Perwari dan menjadi pengurus ranting Danureja. Mereka lalu membuka kelas penghapusan buta huruf untuk anak-anak kelas bawah dan perempuan dewasa yang belum pernah mengenyam pendidikan Barat. Riet juga aktif menyelenggarakan dapur umum dan mengumpulkan informasi sembari menyamar sebagai mbok - mbok pencari bayam. Keaktifannya di Perwari tak membuat Riet meninggalkan kepanduan. Kesibukannya makin bertambah setelah menjadi pegawai sipil menengah di bagian pemeriksaan Markas Besar Polisi Tentara Laut pada November 1946. “Tugas sosial Perwari dan kepanduan tetap kukerjakan pada sore harinya, bahkan sampai malam hari,” kata Riet. Semasa Ki Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Riet bekerja di Pendidikan Masyarakat bagian Kepanduan, Pemuda, dan Olahraga. Riet kemudian diperbantukan di Kwartir Besar Putri Pandu Rakyat Indonesia. Banyaknya pelatihan yang diikutinya membuat Riet kemudian diangkat menjadi Komisaris Besar (Andalan Nasional) golongan Kurcaci yang memimpin Pramuka Siaga Putri. Bersama Eni Karim, Rimmy Tambunan, Otti Adam, dan Mulyati, Riet dilantik menjadi anggota inti Korps Wanita Angkatan Darat dengan pangkat mayor pada 1960. Dari kedua lembaga ini, Riet mendapat banyak ilmu baru dan sering dikirim untuk mengikuti kursus-kursus kepemimpinan, salah satunya pelatihan pandu putri internasional di Australia pada 1971. Terbitan pramuka putri Australia, Matilda , memberitakan kedatangan Riet bersama dua orang perwakilan Indonesia. “Sangat sulit mengenali seorang Letnan Kolonel Nyonya Riet D Boenakim dari Indonesia, mengenakan pakaian nasional dan menampilkan tarian tradisional,” ditulis Matilda, Juli 1971. Riet terus aktif dalam kepanduan dan militer. Ia menjadi Komandan Detasemen Korps Wanta Angkatan Darat II di Bandung dan menjadi staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Kepengurusannya di Perwari juga terus dipertahankannya. Selama lima tahun sejak 1973, Riet menjadi direktris Panti Asuhan Trisula milik Perwari. Keaktifan di militer dan kegiatan sosial Riet menjadi pembunuh sepinya pasca-kematian suaminya. “Aku merasa hidup kembali dan menghirup kesegaran,” kata Riet.
- Wasit yang Tak Mempan Digoda Suap
SEJAK dibentuk Polri pada pertengahan Januari 2019, Satgas Antimafia Sepakbola sudah menetapkan 16 tersangka match fixing alias pengaturan skor. Selain para pengurus PSSI dan klub, enam di antaranya merupakan perangkat pertandingan, baik wasit maupun Komite Wasit hingga Direktorat Penugasan Wasit PSSI. Hampir di semua skandal suap dan pengaturan skor yang terjadi dalam sepakbola di berbagai penjuru dunia, keterlibatan perangkat pertandingan senantiasa hadir. Di Indonesia, perkara yang berembus kencang pascaprogram “Mata Najwa” akhir tahun lalu itu sejatinya bukan barang baru. Makanya, Kosasih Kartadiredja geleng-geleng kepala kendati tidak kaget. “Dari dulu itu mah . Di zaman saya juga sudah marak pengaturan skor, tapi cukong-cukong orang Tionghoa itu pelakunya,” ujar Kosasih saat ditemui Historia di kediamannya di Cikole, Sukabumi pada 12 Februari 2019. Kosasih dikenal sebagai wasit yang tak kenal kompromi di kompetisi Perserikatan. Reputasinya mulai disegani semenjak menjadi wasit Indonesia pertama yang memegang lisensi FIFA pada 1972 dan dikenal dunia karena menjadi perangkat pertandingan dalam Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang. Sebagai wasit, Kosasih tentu tidak bebas dari incaran para cukong penjudi bola yang berupaya menyuapnya agar memenangkan satu tim tertentu. Bukan sekali-dua kali Kosasih ditawari duit jutaan rupiah oleh mereka. Namun, Kosasih tak sekali pun mau terima. “Banyak dulu mah (yang menawarkan uang). Memang dulu gaji wasit paling hanya sekitar Rp20 ribu per pertandingan. Kadang ada yang menawarkan Rp5 juta, sampai Rp10 juta. Tapi tidak pernah mau saya terima. Ke saya enggak mempan, malah kemudian dia (cukong pengaturan skor) masuknya ke pemain,” kenang lelaki berusia 85 tahun itu. 10 Ribu Dolar di Bungkus Rokok Tidak hanya di level Perserikatan, saat Kosasih bertugas di SEA Games 1981 tawaran juga mendatanginya. Kosasih masih ingat betul peristiwa itu. Menjelang laga final Thailand vs Malaysia, 15 Desember 1981, seorang suruhan pejudi bola mendatanginya ke tempatnya menginap, Hotel Admiral di Manila. Orang suruhan itu minta Kosasih memenangkan Malaysia. “Dia telepon ke kamar hotel saya. Minta bertemu di restoran hotel. Saya samperin. Ketemu sama yang mau kasih uang sama orang suruhannya, orang Indonesia namanya Hasan. Pejudinya bilang, ‘ help me , Thailand must not win against Malaysia’,” sambung Kosasih. Kosasih ditawari uang 10 ribu dolar yang dibundel dalam bungkus rokok. Kosasih menolak mentah-mentah. “Lalu saya pilih pergi. Pas mau balik ke kamar, dicegat sama orang suruhannya, si Hasan. Dia bilang, ‘kenapa tidak diambil? Kamu bodoh!’ Begitu katanya sambil nyodorin duit itu ke tangan saya. Saya katakan tidak mau. Saya kasihkan lagi duitnya. Buat apa saya terima uang begitu? Nama baik saya jadi jelek,” lanjutnya. Kosasih makin mengerti alur pengaturan skor saat sudah pensiun dan menjadi inspektur wasit dalam Komisi Wasit PSSI periode 1986-1995. Beberapa langkah antisipatif pun dibuat Kosasih agar para wasit yang memimpin pertandingan tak menerima suap. “Waktu saya sudah jadi inspektur wasit, kan biasanya tugas saya yang menyusun perangkat pertandingan. Pernah juga ada yang langsung datang ke saya mau kasih uang. Waktu itu ada pertandingan Blitar (PSBI) vs Kendal (Persik Kendal),” kata Kosasih, yang sayangnya sudah tak ingat tahun atau musim kompetisinya. Bersama beberapa wasit yang diduga sudah terlibat, cukong judi bola mendatangi Kosasih di ruangannya. “Ada yang datang ke saya bilang, ‘Pak Kos, ini amplop. Terima saja, buat shopping-shopping lah.’ Saya lihat isinya Rp5 juta dari (oknum) PSBI Blitar itu. Ternyata saya sadari juga wasitnya main (suap). Saya tolak. Saya marah-marah. Saya sanksi besoknya tidak boleh memimpin pertandingan lagi,” ujarnya. Kosasih akhirnya memblokir semua telepon yang tersambung ke kamar-kamar hotel yang jadi tempat penginapan para wasit jelang pertandingan. Sial, upaya itu ternyata belum cukup. “Sudah saya blokir telepon di semua kamar wasit. Tapi dia (oknum wasit) malah bandel. Keluar dia pas sudah dini hari untuk transaksi pengaturan skor. Termasuk kawan saya, Djafar (Umar). Maaf ya karena orangnya juga sudah meninggal, dia juga ikut main dengan mafia itu,” terang Kosasih. Djafar Umar akhirnya tersandung perkara pengaturan skor pada Liga Indonesia 1998. Oleh Tim Pencari Fakta Mafia Wasit PSSI, sang ketua Komisi Wasit itu disanksi larangan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup. Kosasih Kartadiredja (kiri) saat diterima Presiden Soeharto di Istana Negara pasca-Kongres PSSI 1987 (Foto: Dok. Pribadi Kosasih Kartadiredja) Tawaran untuk mengatur skor nyatanya juga datang dari pengurus PSSI. Namun, Kosasih enggan menyebut namanya. “Dia minta bantu timnya menang. Ya tim dari Sumatera lah. Saya tegaskan tidak mau. Wah kacau bener, ternyata dari pusat ada yang ingin main mata begitu (pengaturan skor),” kenangnya lagi. Kosasih mengaku, lebih nyaman hidup pas-pasan dari hasil keringat sendiri ketimbang berlebih tapi dari hasil “uang panas”. Hal itu membuatnya selalu menolak tawaran menggiurkan yang datang padanya. “Ingat pesan-pesan orangtua saya dulu. Hidup itu harus jujur. Saya saja dulu tidak boleh jadi polisi karena biasanya menangkap orang yang tidak bersalah. Tidak boleh jadi sopir karena rawan menyeleweng dan main perempuan. Tidak boleh kerja di bank karena renten,” kata Kosasih. Hal itu pula yang membuatnya memutuskan pensiun dini dari Pemda Kabupaten II Sukabumi pada 1993. Ia tak mau makan gaji buta lantaran jarang masuk kerja gara-gara sibuk di Komisi Wasit PSSI. Hingga saat ini, Kosasih hanya hidup pas-pasan dari uang pensiunan PNS Golongan III-C. “Karena malu akhirnya saya mengundurkan diri tahun 1993 dari PNS Pemda (Sukabumi). Memang awalnya mereka dulu selalu kasih izin tapi kadang sayanya yang malu karena enggak bisa mengerjakan pekerjaan di wilayah (pemda),” tandas Kosasih.






















