Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pengalaman Pasukan Kelaparan
PADA 17 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani oleh pihak pemerintah Kerajaan Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia. Salah satu klausul dalam kesepakatan tersebut adalah kewajiban bagi Divisi Siliwangi untuk meninggalkan kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat. Maka terjadilah dalam sejarah apa yang dinamakan hijrah pasukan Siliwangi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun dalam kenyataannya pihak MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta diam-diam memerintahkan kepada Divisi Siliwangi untuk meninggalkan sebagian kecil pasukannya di Jawa Barat. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya para peneliti Pusat Sejarah Kodam VI Siliwangi, beberapa batalyon (satu batalyon setara dengan 700-1000 prajurit) memang diperintahkan untuk tidak ikut hijrah dan bertahan melawan militer Belanda di Jawa Barat. Salah satu batalyon yang diperintahkan untuk bertahan adalah Batalyon 22 pimpinan Mayor Soegih Arto yang menguasai wilayah Cililin, Gunung Halu, Batujajar dan sebagian wilayah Ciranjang, Cianjur. Menurut Soegih Arto perintah itu langsung dari Letnan Kolonel Daan Jahja, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi. “To, jij (kamu) kita rencanakan untuk tetap tinggal di Jawa Barat…Supaya terus mengganggu militer Belanda yang ada di sini,” kata Daan Jahja seperti dikutip dalam biografi Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Singkat cerita, bertahanlah pasukan Soegih Arto di wilayahnya semula tanpa diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Tentu saja dia tidak lagi menggunakan nama Batalyon 22 Brigade Guntur Divisi Siliwangi, tapi dengan nama baru yakni Pasukan Djaja Pangrengot. Pasukan ini kemudian berubah menjadi unit-unit mandiri yang sepenuhnya liar tanpa garis komando yang jelas kecuali kepada pimpinannya, Soegih Arto. “Saya berlaku layaknya raja kecil,” ujar Soegih Arto. Sebagai kekuatan yang tidak memiliki atasan, Djaja Pangerot tentu saja bertindak otonom. Bukan saja soal operasi militer, segala kebutuhan termasuk logistik harus mencari sendiri. Tak jarang, kata Soegih, mereka kelaparan dan hanya mengandalkan kekayaan hutan setempat. “Kadang kita makan lalapan saja, daun-daun, buah hutan, ular dan bagong (babi hutan),” ujar Moehidin (103 tahun), eks anggota Djaja Pangerot. Suatu hari, Pasukan Djaja Pangerot menghancurkan satu unit patroli militer Belanda di sekitar wilayah Cililin. Mereka lantas dikejar oleh beberapa unit buru sergap militer Belanda selama tiga hari berturut-turut. Saat dalam pengejaran mereka tak sempat mendapat pasokan logistik dari penduduk. Makanan mereka hanya buah-buahan hutan. Suatu senja, mereka sampai di sebuah kampung yang rakyatnya melarat. Mereka tak tega meminta makanan. Ketika istirahat di halaman rumah seorang warga, tetiba mereka melihat seekor kelinci melompat-lompat dan masuk ke kolong rumah. Air liur mereka sontak mengalir. “Kami saling berkedip mata dan diam-diam merencanakan akan membekuk si kelinci itu nanti begitu gelap datang,” kenang Soegih Arto dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid I terbitan Markas Besar LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Malam pun datang. Tanpa ampun, tim eksekusi yang langsung dipimpin oleh Soegih Arto mengendap-endap memasuki kolong rumah. Begitu melihat bayangan putih, Soegih Arto cepat menancapnya dengan sangkur lantas tanpa banyak cakap memotongnya dan mengulitinya dalam kegelapan. Jadilah mereka menikmati santapan malam dengan daging bakar yang lezat. Pagi-pagi mereka terbangun dalam kondisi segar karena baru dipasok energi baru. Saat terbangun inilah, tetiba mereka melihat kelinci yang mereka makan malam tadi masih melompat-lompat dengan riangnya di depan mata. Seseorang lalu berlari ke bekas tempat pembersihan daging yang mereka santap. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat kepala hewan yang terpotong ternyata kepala seekor kucing. Dia kemudian memberitahu seluruh anggota pasukan termasuk kepada sang komandan. Alih-alih marah, Soegih Arto malah tertawa terbahak-bahak. “Ya apa boleh buat, kucing telah jadi mangsa,” ujarnya.
- Bom Berjatuhan di Gunung Halu
ROHIDIN menunjuk ke sebuah tebing yang masih ditutupi hutan lebat. Mulutnya tak henti bercerita dalam bahasa Sunda.Tahun 1947, dia adalah seorang prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang masuk dalam Batalyon 22 Brigade Guntur Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Soegih Arto yang kompinya ditempatkan dalam wilayah Gunung Halu (sekarang masuk Kabupaten Bandung Barat). “Batalyon kami memang dibenci sekaligus ditakuti tentara Belanda. Mereka tak henti-hentinya berusaha menghancurkan kami dan menangkap Pak Soegih, pimpinan kami” kata lelaki berusia 103 tahun itu. Memasuki bulan Oktober 1947, isu bertiup keras bahwa dalam waktu dekat militer Belanda akan menyerang Gunung Halu. Alih-alih menjadi keder, isu tersebut ditanggapi secara dingin oleh Rohidin dan kawan-kawan. Mereka sudah terbiasa dengan perang urat syaraf yang dalam kenyatannya kadang hanya gertak sambal belaka. Serangan Pagi Oktober baru saja memasuki hari ke-13. Suara kokok ayam jantan bersipongan di seantero desa. Embun-embun sebagian masih melingkar di dedaunan. Matahari belum kelihatan. Para petani baru saja mengayunkan langkah kakinya menuju ladang, ketika dari arah Batujajar bunyi suitan mengerikan terdengar bersahutan, disusul ledakan-ledakan membahana menimbulkan situasi gempa. Rohidin yang saat itu baru saja bangun, langsung tersadar. “Kanon! Kanon! Awasss, serangan mortirrrr!” teriaknya mengingatkan semua orang. Bum! Bum! Bum! Orang-orang mulai panik. Suara tangis para bocah bersanding dengan teriakan minta tolong para perempuan. Situasi tak menentu. Untunglah, beberapa saat kemudian rakyat bisa diarahkan ke hutan-hutan untuk mengungsi. Sementara para prajurit Yon 22 berlindung di balik tebing-tebing curam yang dilindungi pepohonan. Tidak merasa cukup dengan tembakan artileri, militer Belanda mengerahkan sekira 4000 serdadunya. Mereka mengepung Gunung Halu dari 4 penjuru angin dan bergerak secara cepat dengan menggunakan truk-truk militer, panser dan tank serta pasukan infanteri. Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan. “Banyak kawan saya gugur dalam penyerangan itu,” kenang Rohidin. Setelah mengerahkan pesawat-pesawat pembom, pertempuran baru berhenti di hari ke-4. Secara resmi pada 17 Oktober 1947, Gunung Halu salah satu basis terkuat TNI di wilayah selatan Bandung dikuasai oleh militer Belanda. “Sebagian pasukan karena kacaunya keadaan, lari atau memilih mundur ke daerah Batalyon 26 pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah,” demikian laporan Mayor Soegih Arto kepada Kolonel A.H. Nasution (Panglima Divisi Siliwangi) yang termaktub dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VI karya A.H. Nasution. Apa yang dinyatakan oleh Soegih Arto itu memang benar adanya. Kendati tidak ada sepucuk senjata pun jatuh ke tangan musuh, namun kondisi moril para prajurit Yon 22 ada alam posisi di titik nadir. Kompi yang ditempatkan di Gunung Halu bisa dikatakan hancur dan berserakan. “Saya sendiri meneruskan perjuangan dengan bergabung ke Siluman Merah pimpinan Aom Achmad (maksudnya Mayor Achmad Wiranatakusumah),” ujar Rohidin. Walaupun bisa dikatakan kalah, para prajurit Batalyon 22 sempat menjatuhkan satu pesawat pembom dalam pertempuran 4 hari itu. Menurut Soegih Arto dalam buku Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto , pesawat tersebut jatuh setelah dihantam senapan mesin 12,7 mm yang ditembakan oleh seorang prajurit dari sebuah bukit. “Itu benar, saya sendiri melihat pesawat itu tertembak dan jatuh,” kata Rohidin. Operasi Militer Sukses Terkuasainya Gunung Halu merupakan prestasi yang sangat memuaskan bagi pihak militer Belanda. Sudah sejak lama mereka mengincar wilayah Batalyon 22 itu karena merasa kegerahan dengan serangan-serangan mematikan kaum gerilyawan yang kerap datang ke wilayah mereka di Batujajar dan Cililin. Dalam buku Letjen (Purn.) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah karya Aam Taram, R.H. Sastranegara dan Iip D. Yahya disebutkan bahwa sejatinya penyerangan-penyerangan terhadap Gunung Halu dan sekitarnya sudah dilakukan sebelumnya oleh para prajurit dari 3-8-RI namun tidak cukup mumpuni. Akhirnya setelah menambahkan dua batalyon dari RPI (Regiment Prinses Irene) dan RS (Regiment Stoottroepen), mereka pun bisa menguasai Gunung Halu. Menurut dokumen Regiment Prinses Irene yang dimuat situs 3grpi.wordpress.com , serangan ke Gunung Halu merupakan operasi militer yang sukses. Dalam hitungan mereka, serangan tersebut selain berhasil memporakporandakan kekuatan Batalyon 22 hingga musnah juga berhasil menewaskan 25 prajurit TNI. “Tidak ada kerugian sedikit pun di pihak kami,” demikian menurut laporan yang termaktub dalam situs di atas. Terkait sebuah pesawat pembom yang berhasil dijatuhkan TNI, dokumen itu pun sama sekali tak menyebutkannya.
- Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen
TAK ada yang lebih populer dari Norwegia selain fyord-fyord cantiknya dan sebagai salah satu pewaris bangsa Viking. Namun, Norwegia bukan dua hal itu semata. Film Brødre (2015) membuktikannya dengan tawaran lebih dari sekadar daya tarik wisata. Film dokumenter berdurasi 110 menit itu memang tak punya action atau drama sebagaimana film-film Hollywood. Namun, film ini mengandung banyak makna. Sederhananya, film ini berkisah tentang keseharian dua bocah: Markus dan Lukas Holm yang digarap sang ibu, Aslaug Holm. Lewat mata kamera sang ibu, penonton diajak mengarungi kehidupan detail rata-rata penduduk Norwegia yang tinggal di pesisir Ibukota Oslo. Selain berkisah tentang harapan, kekecewaan, dan lika-liku kehidupan Markus dan Lukas, sang ibu juga mengungkit bagaimana anak-anak mereka menjalani hidup di bawah naungan para leluhur yang secara turun-temurun merupakan nelayan tangguh. Bersama film garapan sineas Italia Paolo Sorrentino yang memenangkan Academy Awards dan Golden Globe pada 2014, La Grande Bellezza (2013), Brødre akan mengajak kita menyaksikan sisi lain Eropa. Dua film apik ini jadi sajian “Road to Europe on Screen 2019” di Institut Budaya Italia (IIC), Jakarta, Jumat (22/3/2019). Mula Festival Film Eropa Europe on Screen (EoS) tahun ini akan jadi edisi ke-19 yang digelar Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei pada 18-30 April 2019. Tidak hanya di Jakarta, lebih dari 100 film berkualitas juga akan diputar di enam kota lain: Tangerang Selatan, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, dan Yogyakarta. “Tapi kalau untuk jadwal film-filmnya mohon sabar dulu ya. Nanti kita akan umumkan pada 2 April lewat media-media sosial kita. Sementara, yang di situs kita ( europeonscreen.org ) itu masih jadwal tahun lalu,” terang Nauval Yazid, salah satu Festival Co-Directors EoS, kepada Historia. Nauval Yazid, Festival Co-Directors Europe on Screen 2019 (Randy Wirayudha/Historia) Meski ini jadi yang ke-19, bukan berarti festival film asal benua biru ini bermula pada 2000. Festival film dengan durasi terlama dan salah satu yang tertua di Jakarta ini eksis pertamakali pada 1990 dengan nama European Film Festival. Majalah Pertiwi edisi 116 (1990) mengulas, Festival Film Eropa itu diprakarsai Centre Culturel Français (CCF), kini Institut Français d’Indonésie (IFI) atau Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta dalam rangka kerjasama kebudayaan Indonesia dengan Masyarakat Ekonomi Eropa. Festival dihelat pada 20 November-1 Desember 1990; film-filmnya diputar serentak di IFI, Goethe Institut (Jerman), Erasmus Huis (Belanda), British Council (Inggris), dan Institut Cervantes Jakarta (Spanyol). Namun, gelaran kedua baru bisa dihelat pada 1999. Itupun akhirnya batal digelar lantaran beberapa filmnya tak lolos sensor Lembaga Sensor Film, tulis Jonathon Green dan Nicholas J. Karolides dalam Encyclopedia of Censorship. “Awalnya dijadwalkan Festival Film Eropa itu pada September 1999 di Jakarta. Tiga dari sembilan film sudah lolos sensor. Tapi sisanya diperbolehkan diputar setelah dipotong adegan-adegan seksualnya. Penyensoran itu tak bisa diterima komite Festival Film Uni Eropa.” Tiga tahun jeda, hajatan itu comeback dengan nama Europe on Screen (Eos) pada 2003. Sejak itu, festival tersebut rutin digelar tahunan. “Sejak 2003 sampai 2006 EoS istilahnya numpang di JiFFest (Jakarta International Film Festival). Jadi mereka jadi bagian dari salah satu programnya JiFFest. Baru pada 2007 EoS berdiri sendiri,” sambung Nauval. Seratus Film Cuma-Cuma Sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, EoS tahun ini tetap bisa dinikmati cuma-cuma alias gratis. Lebih dari 100 film dari puluhan negara Eropa akan jadi suguhan di tujuh kota sepanjang 18-30 April 2019. “Kalau dirunut per judul, kira-kira totalnya 118 film dari 27 negara Eropa. Tapi film-filmnya memang produksi dari kurun 2016-2017. Dari awal kita selalu mencari filmnya memang dari kurun dua tahun berjalannya festival. Ada juga yang dari 2016, itu film dari Azerbaijan karena memang negara mereka output filmnya tidak banyak per tahun,” ujar Nauval lagi. Bukan hanya dari kedutaan dan pusat kebudayaan negara-negara Eropa, Nauval kadang harus mencari film dari pihak-pihak di luar kedutaan. “Karena enggak semua kedutaan punya kearsipan dan kepustakaan budaya seperti Italia, Prancis, Jerman, Belanda. Lainnya kita harus cari sendiri langsung ke para film-makers , sales agents , atau distributor .” Nauval menambahkan, pihaknya tak pernah menentukan tema-tema besar tertentu. Kalaupun ada isu tertentu yang ingin diangkat, biasanya akan disisipkan di program dokumenter mereka. Seperti tahun ini, EoS mengangkat isu soal tanah dan film Brødre seperti yang sedikit diuraikan di atas, adalah salah satu representasinya. “Kita tetap ingin setiap tahun ada sub- section tersendiri yang mengkangkat sebuah isu. Biasanya untuk kategori dokumenter. Tahun lalu tentang kelautan karena di Uni Eropa tahun lalu lagi ada konferensi tentang kelautan. Tahun ini tentang our land , tanah. Kita ingin angkat isu tentang tanah dari sisi turisme, eksplorasi, hukum, tanah sebagai tempat tinggal, sampai tanah yang jadi sengketa,” ujarnya menutup obrolan.
- Fatwa MUI untuk Gim
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mempertimbangkan mengeluarkan fatwa haram terhadap gim peperangan PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Pemicunya aksi brutal penyerangan ke dua masjid saat salat Jumat di Selandia Baru pada Jumat, 15 Maret 2019. Teroris itu disebut-sebut terinspirasi oleh PUBG. MUI Pusat pun akan mengkaji gim keluaran Tancent Games itu. Sedangkan pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika siap memblokir PUBG bila ada permintaan dari MUI. Dalam Pasal 8 Permen Kominfo Nomor 11 Tahun 2016, PUBG masuk klasifikasi gim yang menunjukkan tindakan kekerasan dan hanya boleh dimainkan oleh pemain berusia 18 tahun ke atas. Warganet pun bereaksi, #PUBGharam menjadi trending topic . Pencinta gim menolak rencana fatwa itu. Mereka menganggap jauh sebelum ada PUBG, sudah banyak gim peperangan. Jauh sebelumnya MUI Jawa Barat telah mengeluarkan fatwa terhadap gim. Hal ini disebut dalam hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang sinergi fatwa MUI dengan lembaga-lembaga fatwa ormas pada 2017 di delapan lokasi yaitu MUI DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, Maluku Utara, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, serta Kabupaten Kampar. “MUI Jawa Barat mengeluarkan fatwa tentang aliran keagamaan yang menyimpang, pencurian aliran listrik, dan permainan elektronik (Royal Game) yang merupakan persoalan umum ( common sense ),” demikian disebut dalam balitbangdiklat.kemenag.go.id , 31 Agustus 2018. Bedanya dengan rencana fatwa untuk PUBG, 12 tahun lalu MUI Jawa Barat mengeluarkan fatwa halal untuk Royal Game. Permohonan fatwa diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Permainan Ketangkasan (APPK). MUI Jawa Barat mengeluarkan sertifikat jawaz atau tidak keberatan pada 1 April 2007. Intinya tidak ada unsur judi dalam Royal Game. Dikutip dari detik.com (25 Desember 2007), untuk mendapatkan fatwa halal itu, APPK disidang empat kali. Bahkan mereka harus memperagakan cara permainan Royal Game. Mereka menjelaskan cara permainannya, yaitu konsumen membeli koin seharga Rp10 ribu untuk 10 kali permainan. Dalam setiap permainan, konsumen akan memperoleh tiket. Makin hebat mainnya, tiket yang diperoleh pun makin banyak. Tiket itu kemudian ditukar dengan hadiah berupa barang dan tidak ada hadiah uang. MUI Jawa Barat diprotes keras oleh organisasi Islam di Bandung seperti Forum Ulama Umat Indonesia dan Syarikat Islam Indonesia. Bahkan MUI Kota Bandung menyalahkan MUI Jawa Barat yang hanya mempertimbangkan fiqih tanpa unsur sosial. MUI Jawa Barat bersikukuh tidak akan mencabut fatwa yang telah dikeluarkannya. Ketua MUI Jawa Barat, KH Hafidz Usman, sebagaimana dikutip okezone.com (27 Desember 2007), mengatakan “kami tidak akan mencabut fatwa atau mengganti fatwa. Namun, kami memiliki aturan bahwa hukum yang pernah kami tetapkan bisa saja berubah di kemudian hari. Hal itu berlaku jika ada sesuatu yang harus dipertimbangkan kembali.” Soal tudingan MUI Kota Bandung, Hafidz menuding balik bahwa MUI Kota Bandung tidak memiliki keberanian dalam memutuskan hukum. “Karena sebelumnya APPK meminta nasihat terlebih dahulu ke MUI Kota Bandung. Namun karena mereka tidak berani ambil keputusan, akhirnya kami yang mengeluarkan fatwa.” Selain APPK, DPP ARKI (Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Rekreasi Keluarga Indonesia) juga mengajukan surat permohonan fatwa ke MUI Pusat tanggal 24 Mei 2007. Suratnya No. 025/DPP/ARKI/V/2007 tentang Permohonan Fatwa Mesin-Mesin Permainan Rekreasi Keluarga Anggota ARKI. Hasil kajian tim MUI terhadap media/mesin permainan yang dikelola perusahaan dalam ARKI disampaikan dalam rapat Komisi Fatwa tanggal 12 September 2007. Komisi Fatwa mengeluarkan keputusannya pada 3 Oktober 2007. Intinya, media/mesin permainan yang dikelola oleh ARKI ada yang boleh (mubah) dan ada yang tidak boleh (haram) karena mengandung unsur judi.
- Nasib Tragis Dokter Pembawa Metode Bedah
SEORANG gadis Jawa berusia 15 tahun mengalami luka bakar serius di dada, perut, dan kaki bagian atas. Orangtuanya Iangsung melarikan ke Rumah Sakit Militer Magelang (kini Rumah Sakit Tentara dr. Sudjono). Tubuh gadis itu dipenuhi bekas luka, sebagian besar alat kelaminnya bahkan tertutup bekas luka yang timbul (parut hipertrofik). Kulit kakinya mengkerut dan kaku (kontraktur). Kondisi itu membuat si gadis kesulitan berjalan. Gadis itu ditangani Norbert Grzywa, yang pada 1930-an bertugas sebagai ahli bedah dan ortopedi di Magelang. Grzywa menganjurkan operasi bedah plastik untuk menghilangkan bekas luka agar si gadis dapat berjalan lagi. Grzywa membuang semua area kulit yang mengkerut dan mengganggu gerak pasien lantas mencangkok kulit baru. Metode bedah itu sudah digunakan sejak Perang Dunia I. Grzywa mendapat pengetahuan itu ketika bertugas di klinik Universitas Wina, Austria di mana Johannes (Jan) Fredericus Samuel Esser memperkenalkan prinsip dasar transplantasi kulit pada 1917. Keberhasilan Grzywa menjajal metode Esser kemudian dituliskannya dalam jurnal medis yang terbit pada 1934 sekaligus memperkenalkan salah satu metode bedah ke Hindia-Belanda. “Sebagai ahli bedah di Rumah Sakit Militer di Magelang, ia menerbitkan sebuah kasus menarik tentang perawatan kontraktur pasca-luka bakar dengan flap arteri Esser,” tulis Barend Haesekaer dalam “A Brief History of the Development of Plastic Surgery in the Netherlands East-Indies”. Grzywa, pria Astro-Hungaria yang lahir di Lemberg (kini Lviv, Ukraina) pada 6 Juni 1891, merupakan ahli bedah dan ortopedi. Pada 1921, dia memutuskan bergabung dengan satuan medis KNIL. Setahun berikutnya dia tiba di Batavia dan membuka praktik di Rijswijkstraat (kini Jalan Majapahit). “Dr. Nobert Gryzwa, Petojo 1, Pojokan Jaga Monyet,” begitu ia memuat iklan di suratkabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië. Pada 1923, Grzywa menemukan tambatan hatinya, Amelie Gotz, dokter keturunan Jerman. Setelah menikahi Amelie, mereka dipindahkan ke Cimahi pada 1926 dan tuga tahun kemudian kembali dipindahtugaskan ke Makassar. Pada 1933, Grzywa tersandung kasus hukum akibat ketahuan memalsukan laporan pajak tahunan (semacam SPT pajak). Bataviaasch Nieuwsblad edisi 3 Maret 1933 melaporkan, Grzywa dipanggil Dewan Kehakiman karena terbukti mengemplang pajak selama bertugas di Cimahi. Namun, dia beruntung bisa lolos lantaran satuan medis KNIL meminta Dewan Kehakiman menunda penyelesaian kasus Grzywa. Alasannya, Grzywa tengah bertugas di Padang dan sulit untuk mencari dokter pengganti. Dari Padang, Grzywa dipindah ke Magelang dan mempraktikkan ilmu cangkok kulit yang didapatkannya di Wina. Setelah beberapa tahun bertugas di Magelang, Grzywa mengundurkan diri dari dinas militer pada Juni 1938. Ketika Jerman menginvasi Belanda, Mei 1940, orang-orang Jerman dan Austria di Hindia-Belanda tak punya perlindungan hukum. Mereka ditangkapi dan dijadikan tawanan perang, termasuk Grzywa dan istrinya. Setelah penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour, semua tawanan itu dikumpulkan ke Sibolga kemudian dipindahkan ke India. Pengirimannya menggunakan tiga kapal, salah satunya Van Imhoff . Dua kapal berangkat dengan selamat. Namun ketika kapal ketiga, Van Imhoff , baru berlayar sebentar, pesawat pengintai Jepang melintas dan langsung menjatuhkan bom. Celakanya, kapten dan beberapa awak kabur begitu saja menggunakan sekoci. Jangankan membantu menyiapkan sekoci untuk penumpang, kunci ruang tahanan bahkan belum semua dibuka. Grzywa bersama tahanan lain pun kelabakan. Mereka bersusah payah menyelamatkan diri dengan berebut naik sekoci yang tersisa atau berenang ke Pulau Nias. Di sanalah Grzywa terakhir terlihat mengapung. “Kariernya selama 20 tahun di Hindia-Belanda berakhir tragis,” tulis Haeseker.
- Ketika Fasisme Muncul di Muka Bumi
Di sepanjang kota Milan, pria berkemeja hitam berjejal memadati jalanan. Dengan gaya khas, mereka mengacungkan tangan kanan ke udara. Sang pemimpin, Benito Mussolini, mendeklarasikan berdirinya Fasci di Combattimento yang kelak dikenal sebagai Partai Fasis, 23 Maret 1919, tepat hari ini seabad lalu. “Kita adalah manusia-manusia yang mendorong negara ke kancah peperangan dan meraih kemenangan,” seru Mussolini. Fasisme lahir ketika Italia mengalami krisis ekonomi pasca Perang Dunia pertama. Sebagai negara pemenang perang, Italia gagal mendapatkan pembagian wilayah di Afrika Utara. Hutang negara bertumpuk sementara ratusan ribu rakyat Italia menganggur. Mussolini, tokoh Partai Sosialis dan pemimpin redaksi koran Avanti datang menawarkan perubahan. Rezim Il Duce Semula, gerakan Fasis dibawah Mussolini hanyalah kelompok aksi ultranasionalis. Gerakan ini dinamakan Fasci d’ Azione Rivoluzionarea (kelompok pemuda yang ingin perang). Simbol mereka adalah Fasces, tongkat kayu bermata kapak, diadaptasi dari zaman Romawi kuno yang melambagkan hukum dan kekuatan. Salamnya diambil dari gaya legiun Roma, legiun d’ Annunzio, yaitu lengan kanan naik dengan tangan kanan. Mussolini mengusung kampanye Italia Raya seperti masa jaya Imperium Romawi yang tercetus dalam konsep Italia la Prima . Dalam romantika masa lalu, wilayah Italia terbentang dari Negara Italia, Laut Mediterania, Afrika Utara, sampai Ethiopia . Propaganda ini cukup laris termakan rakyat. Pada 1921, tercatat dalam Compendio di Statistica Ellettorale, Partai Fasis berhasil memasuki parlemen dengan raihan 35 kursi di parlemen . “Metode Mussolini kemudian, adalah menyusun Fasis-nya sebagai angkatan perang politik yang privat. Ia beroperasi di luar parlemen, meraih kekuasaan dengan rally jalanan dan mengintimidasi lawan,” tulis Hugh Purcell dalam Fascism: People and Politics . Dalam sepak terjangnya, Partai Fasis disokong oleh kalangan industrialis yang anti-komunis. Partai ini juga mengandalkan unit pasukan khusus bernama S quadirsti . Mereka tak segan menghancurkan lawan politiknya dengan cara berkelahi, bikin rusuh, hingga membunuh. Pertumbuhan Fasis yang pesat membuktikan bahwa Mussolini cakap dalam mengorganisasi. Pada 31 Oktober 1922, dalam usia 39 tahun, Mussolini dilantik menjadi Perdana Mentri termuda Italiadan menandai dimulainya pemerintahan Fasis. Mussolini pun mendapatkan gelar kehormatan dari rakyatnya, Il Duce yang berarti sang pemimpin. Politik Agresif Dalam Today’s Isms , William Ebenstein menyebutkan, Mussolini memerintah secara totaliter dengan ciri: sangat nasionalis chauvinistik, rasialis, militeris, dan imperialis. Dengan tangan besi, perlahan Italia menjadi negara yang stabil. Selama Fasis berkuasa, tiada ditemui unjuk rasa atau mogok kerja. Ketertiban umum harus dibayar dengan kehilangan kebebasan berpendapat. Demi menghasilkan generasi baru Italia, pertumbuhan penduduk digenjot. Bagi Mussolini, pengaruh suatu bangsa amat bergantung pada kekuatan demografi. “Apa artinya 40 juta orang Italia dibandingkan dengan 90 juta orang Jerman dan 200 juta orang Slavia? Apa artinya 40 juta orang Italia dibandingkan dengan 40 juta orang Prancis, ditambah 90 juta penduduk koloni mereka, atau 46 juta orang Inggris ditambah 450 juta orang yang tinggal di koloni mereka?” kata Mussolini dilansir Il Popolo d’Italia , 26 May 1927. Untuk memperoleh bonus demografi, Mussolini menetapkan pajak bagi bujangan serta tunjangan bagi para ibu . Hasilnya, data kependudukan menunjukan dari 93 wanita melahirkan sekitar 1300 orang anak. Kualitas sumber daya manusia Italia meningkat. Di bidang olahraga, Italia muncul sebagai kekuatan baru meski para atlitnya bermain di bawah bayang-bayang ancaman. Setelah kuat di dalam negeri, pemerintahan Fasisme mulai melancarkan politik ekspansi. Langkah pertama adalah dengan menginvasi Ethiopia. Alasan penaklukkan Ethiopia karena negara tersebut termasuk kedalam mandala Italia Irredenta . Di samping itu, Italia membutuhkan ruang hidup bagi populasi penduduknya yang kian bertambah. Dari segi ekonomi, Italia juga membutuhkan Ethiopia sebagai negeri penghasil bahan mentah. Dalam kurun waktu tujuh bulan, tepatnya 5 Mei 1936 , Italia menaklukkan Ethiopia sepenuhnya di bawah komando Marsekal Badoglio. Invasi itu membuat pemimpin Ethiopia , Kaisar Haile Salassie melarikan diri ke Inggris . Liga Bangsa-Bangsa menegur agresi tersebut yang langsung di jawab Italia dengan keluar dari keanggotaan organisasi. Untuk membesarkan pengaruhnya di Eropa, Italia juga melibatkan diri dalam perang saudara di Spanyol. Italia menyokong tokoh fasis Jenderal Francisco Franco yang ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang dipimpin oleh Manuel Azana dari Partai Komunis. Alasan Italia turut campur dalam kisruh politik Spanyol untuk mencari sekutu Fasis sekaligus langkah awal untuk mem-Fasiskan seluruh Eropa. Di balik itu, terselubung motif kekuasaan. Letak Spanyol yang strategis ingin dijadikan Mussolini sebagai Laut Italia sebagaimana halnya zaman Imperium Romawi. Keok Keberhasilan Mussolini, menginspirasi Adolf Hitler yang kelak mendirikan Partai Nasionalis Sosialis, Nazi di Jerman. Pada 1939, Italia tergabung dalam blok Poros bersama Jerman dan Jepang menggelorakan Perang Dunia Kedua. Lawan yang dihadapi adalah blok Sekutu terdiri dari Inggris, Prancis, Uni Soviet, Amerika Serikat dan negara lainnya. Pengalaman memenangkan perang kecil di Ethiopia membuat Mussolini jemawa. Italia sendiri sebenarnya belum siap untuk menghadapi perang besar. Menjelang pecah perang Italia hanya mengandalkan persenjataan sisa Perang Dunia I. Senapan yang digunakan adalah buatan tahun 1891. Persenjataan itupun tidak diganti hingga akhir Perang Dunia II. Di awal perang, Jerman mampu memenangi berbagai front pertempuran di Eropa. Pun demikian dengan Jepang yang digdaya di Asia Timur Raya. Namun, Italia yang terjun di front Balkan dan Afrika Utara justru keok dimana-mana. Pada 9 Juli 1943, Sekutu berhasil memasuki Italia melalui Pulau Sisilia. Pengaruh Mussolini goyah dan berada di ambang kejatuhan. Hingga pada akhirnya, blok Poros kalah total dari Sekutu. Pada 28 April 1945, Mussolini yang hendak melarikan diri ke Swiss dengan menyamar, berhasil dikenali dan ditangkap kaum partisan komunis. Dia dihukum mati didepan regu tembak. Mayatnya beserta mayat kekasihnya Clara Pettaci dibawa ke Milan. Sesampainya ditengah kota , mayat Mussolini digantung dengan posisi kepala dibawah. Di tempat itu pula ia pernah meneriakkan kalimat berapi-api dihadapan lautan massa yan g memuja kejayaan Fasisme. Berakhirnya hidup Mussolini menandai berakhir pula rezim Fasisme di Italia.
- Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran
DUA set gamelan di pendopo Pura Mangkunegaran itu sedang “menganggur”. Kecuali alat musik-alat musik lain seperti kendang, dua set gamelan tadi ditutupi kain hijau siang itu, 18 Maret 2019. “Kalau Rabu malam sama Jumat malam dimainkan,” ujar Doni Irawan, tour guide Pura Mangkunegaran, kepada Historia . Di depan seperangkat gamelan yang berada di utara, berdiri papan keterangan bertuliskan: Kyai Kanyut Mesem. Usia gamelan itu lebih dari 200 tahun. Saat Raden Mas Said naik takhta menjadi Mangkunegara I, gamelan itu sudah ada. “Nah, (gamelan, red .) itu yang dipakai untuk siaran langsung dengan peralatan radio,” kata Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia . Siaran langsung yang dimaksud Supriyanto adalah live radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1937 yang menyiarkan Kyai Kanyut Mesem dimainkan untuk mengiringi Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur, menari di hadapan Ratu Wilhelmina saat pernikahan Putri Juliana dengan Pangerang Bernhard. “Pas Hari-H, putrinya (Gusti Nurul) nari (di Belanda) diiringi siaran radio langsung dari pendopo ini gamelannya. Gamelannya dari sini, diiringi dari sini,” sambung Supriyanto. Kendala koneksi gelombang sempat melanda pertunjukan itu. "Sambungan terputus selama beberapa menit. Namun, penari melanjutkan dengan tarian anggunnya dan orkestra gamelan dengan permainannya. Ketika koneksi nirkabel dipulihkan, penari dan orkestra bertemu tepat pada iramayang sama," kata Rudolf Mrazek menuliskan pengakuan Gusti Nurul di Engineers of Happy Land: Techlonogy and Nationalism in a Colony . Pentas tari dengan iringan gamelan lintas benua itu mungkin yang pertama di dunia. Ratu Wilhelmina amat terkesan dengan keindahan tari dan keanggunan penarinya. Sejumlah media, termasuk Majalah Life edisi 25 Januari 1937, mengabadikannya. Kini, 82 tahun setelah pentas itu, kondisi gamelan Kyai Kanyut Mesem masih terawat dan berfungsi baik. Namun, ia bukan satu-satunya barang antik milik Mangkunegaran. Di Dalem Ageng yang kini jadi Museum Pura Mangkunegaran, ratusan barang lain terpajang rapi dengan kondisi baik. Beragam perhiasan emas maupun berlian raja dan ratu terpajang dalam beberapa lemari kaca. Di dekatnya, sebuah lemari kaca memuat beberapa replika mini meja-kursi berlapis emas. Dalam keterangan di papan petunjuknya, replika lucu berukuran amat kecil itu merupakan mainan Gusti Nurul semasa kanak-kanak. “Ini hadiah dari Ratu Belanda,” kata Doni. Beragam senjata, mulai dari tombak sepanjang lebih dari dua meter hingga keris sepanjang puluhan sentimeter, juga terpajang dalam lemari-lemari kaca di beberapa sudut ruangan. Beberapa di antaranya sudah berkarat. “Ini masih ada khodam -nya,” kata Doni sambil menunjuk lemari tempat keris-keris itu disimpan. Berseberangan jauh dari keris-keris itu, pedang-pedang hadiah dari kerajaan-kerajaan lain, semisal Turki, berjajar rapi di lemari kaca sebelah kanan dari pintu masuk. Tak jauh darinya, ada lemari kaca yang memuat uang-uang kuno. Banyak dari uang itu berbahan emas. Satu lemari kaca di tengah menyimpan benda unik dengan bentuk asing. Nama benda itu badong. “Ini untuk dipakai raja dan ratu supaya ndak selingkuh,” kata Doni. Tiga sisi dinding ruangan itu dihiasi lukisan-lukisan para raja berikut permaisuri karya Basoeki Abdullah. Hanya Mangkunegara I yang tak ada lukisannya dan diganti dengan gambar matahari dengan cahaya berpencar. “RM Said ndak bisa dilukis, jadinya digambarkan matahari,” lanjut Doni. Sebagian besar barang-barang antik itu masih dalam kondisi baik. Para penerus Mangkunegara I amat memperhatikan perawatan barang-barang itu. “Ada kewajiban turun-temurun untuk memelihara. Biar generasi berikutnya tidak kehilangan sumber, tidak kehilangan arah,” ujar Supriyanto.
- Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno
PENGALAMAN menjabat Panglima Diponegoro meninggalkan kenangan pahit bagi Soeharto. Waktu itu pangkat Soeharto masih kolonel. Dalam amatan Soeharto, kondisi kesejahteraan prajuritnya cukup melarat. Soeharto putar akal bagaimana caranya mendulang uang.
- Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
RUMAH tua namun elegan itu nyaris tanpa isi. Selain satu ruangan yang berisi sedikit foto replika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Sukarno, hanya ruang depan kanan yang memiliki satu meja dan beberapa kursi. Di sinilah tempat Mulyani, juru pelihara rumah, “berkantor”. Pertanyaannya, apa hubungannya Bung Karno dengan rumah yang beralamat Jalan Bhayangkara Nomor 156 A, Kota Sukabumi itu? Jelas-jelas di halaman depan terpampang plang “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir”. Jangankan menjelaskan soal foto Bung Karno, menyoal kapan dan apa yang terjadi terhadap Hatta dan Sjahrir pun sang juru pelihara honorer BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) itu memberi penjelasan menyangsikan. “Iya di sini tempat ditahannya Bung Hatta dan Sjahrir. Kira-kira tahun 1920-an,” ujarnya singkat menerangkan kala Historia berkunjung, 12 Februari 2019. Entah “terpeleset” lidah atau memang tidak tahu, faktanya di era itu Hatta masih sekolah di Belanda. Ia dan Sjahrir baru pulang ke Hindia Belanda (kini Indonesia) pada awal 1930-an dan ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1934. Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul (Papua), lantas Banda Neira (Maluku). Mereka baru diungsikan ke Sukabumi pada awal Februari 1942, saat Hindia Belanda sudah diinvasi Jepang. Kenapa Sukabumi? Untuk menghindari penangkapan atau kerjasama para tokoh politik dengan Jepang, pemerintah kolonial berusaha menyembunyikan mereka. “Belanda sudah mulai panik sejak Januari 1942,” ujar Irman “Sufi” Firmansyah, peneliti sejarah Sukabumi, kepada Historia . Namun, pemerintah mesti hati-hati mencarikan tempat persembunyian. “Ke daerah Sulawesi sudah bahaya karena Jepang sudah sampai ke Tarakan sejak akhir 1941. Kenapa Sukabumi? Dari dulu dianggap paling aman oleh Belanda karena di Sukabumi ada sekolah dan asrama polisi,” lanjutnya. Foto Sukarno yang turut terpajang di salah satu ruangan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Penulis Sukabumi: The Untold Story dan Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi itu juga memaparkan alasan kenapa Belanda memilih memulangkan kedua tahanan politik (tapol) itu ke Jawa. “Bung Hatta pernah bikin artikel di suatu koran yang intinya bersikap anti-Jepang. Tapi saat mau ditarik, sudah keburu beredar dan Belanda percaya bahwa Hatta akan mendukung perlawanan Belanda terhadap Jepang.” Kekhawatiran pemerintah ditambah oleh sikap Sjahrir yang sangat anti-fasis. Itu sebabnya, pemerintah buru-buru mengirim pesawat PBY Catalina ke Banda Neira pada 1 Februari 1942 demi menjemput Hatta dan Sjahrir. Karena semua bawaan dan keluarga bisa diangkut, sisanya terpaksa menyusul dengan kapal. “Peti-peti berisi buku-bukunya Hatta dan Sjahrir enggak bisa diangkut. Akhirnya dibawanya dengan kapal dijaga Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Sementara Mimi dan Lily (anak-anak angkat Sjahrir lainnya) masih bisa ikut. Terbangnya enam jam nonstop sampai ke Surabaya. Di sana terjadi salah paham, sempat ditangkap dan ditahan satu malam. Tapi kemudian setelah dijelaskan pilotnya, mereka dibebaskan dan disediakan hotel,” sambung Sufi. Pada 2 Februari, rombongan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Perjalanan ke Sukabumi dilanjutkan dengan mobil pada 4 Februari. “Ya karena waktu itu belum ada jalur kereta langsung ke Sukabumi, jadinya ke Jakarta dulu. Di Sukabumi ditempatkan di rumah itu yang sebelumnya jadi kediaman perwira senior sekolah polisi Belanda,” kata Sufi. Meski berstatus tahanan politik, Hatta dan Sjahrir lebih bebas beraktivitas di sana. Keduanya dizinkan keluar rumah asal terlebih dulu melapor. Keduanya bahkan diberikan uang saku. “Sehari setelah tiba, kami diimbau untuk melapor ke asisten residen. Lalu kami diberikan 100 gulden untuk keperluan kami selama di Sukabumi,” kenang Sjahrir dalam memoarnya, Out of Exile. Ketika Jepang Datang Banyak tamu yang mengunjungi Hatta dan Sjahrir semasa pengasingan di Sukabumi. Mulai dari tokoh-tokoh macam Soejitno (adik Dr. Tjipto Mangunkusumo), Amir Syarifuddin, Sastra (aktivis Pendidikan), Beb Vuyk (wartawan Belanda), hingga rombongan keluarga seperti Siti Saleha (ibunda Hatta) dan Nyonya Djuhana (kakak Sjahrir). Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia mengungkapkan, tak banyak hal terkait pergerakan yang jadi obrolan para tamu aktivis itu. Justru Sjahrir dan Hatta dirayu Amir untuk membentuk jalinan kerjasama antara para aktivis nasionalis dengan pemerintah Belanda dalam meladeni Jepang. Jika mau, mereka akan “dievakuasi” ke Australia. Sjahrir tak berminat. “Mungkin orasi Amir membuat Hatta tertarik, namun saya tidak. Saya lebih banyak diam. Pertemuan kami berakhir tanpa kesimpulan dan sejak saat itu Amir tak pernah datang lagi,” kata Sjahrir, dikutip Mrázek. Sjahrir tak menafikan bahwa menyerahnya Belanda pada Jepang hanya tinggal waktu. Namun, Sjahrir tetap menolak kooperatif dengan Jepang sebagaimana Hatta kala ditemui Jepang setelah masuk Sukabumi. “Setelah Belanda menyerah pada Jepang, datang Komisaris Polisi Asikin agar kami kembali ke Jakarta. Kami jawab bahwa soal ini nanti akan kami bicarakan dahulu dengan Angkatan Perang Jepang yang datang ke Sukabumi,” ujar Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. Beberapa hari setelahnya, seorang perwira tinggi Kempeitai (Polisi Rahasia Jepang) menemui Hatta dan Sjahrir di rumah itu. Hatta dianjurkan untuk menghadap ke Markas Angkatan Darat (AD) Jepang di Bandung. “Hatta bersedia tapi minta izin dulu ke Jakarta untuk mengantar ibunya pulang ke Bukittinggi via Pelabuhan Tanjung Priok,” sambung Sufi. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang dibuang ke Boven Digul, Banda Neira dan terakhir Sukabumi (Foto: Repro Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil) Di lain kesempatan, Hatta juga kedatangan Kolonel AD Ogura. Dia meminta Hatta dan Sjahrir menghadap Jenderal Harada di Jakarta. “Sekarang ada dua macam kehendak, kedua-duanya dari pihak militer, mana yang harus kutaati,” kata Hatta. Hatta akhirnya memutuskan ke Jakarta sembari mengantar ibunya pulang sebelum menghadap Jenderal Harada, wakil Kepala Staf Tentara ke-16 yang menguasai Jawa. Dalam pertemuan itu, Hatta menegaskan sikapnya sebagaimana dituliskan dalam Mohammad Hatta: Memoir . “Apakah Anda bersedia bekerjasama dengan pemerintahan militer Jepang?” tanya Harada. “Apakah Jepang berniat menjajah Indonesia?” tanya balik Hatta. Dalam responsnya, Harada menyatakan justru niat Jepang adalah membebaskan Asia dari kolonialisme. Berbekal janji Harada sebagai kepanjangan tangan pemerintah Jepang, Hatta berkenan kooperatif. Namun, Hatta tidak bersedia menjadi pejabat resmi pemerintah militer Jepang. Hatta setuju jadi penasihat asalkan tidak bertanggungjawab langsung kepada Jepang. Harada setuju dan Hatta diberikan tempat di Kantor Penasihat Umum. Pertengahan Maret, Hatta benar-benar meninggalkan Sukabumi dan kembali ke Jakarta. Sementara Sjahrir yang enggan ikut bekerjasama, pindah ke Semarang, Cipanas, dan kembali ke Jakarta untuk bergerak di bawah tanah.
- Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Pada 22 Maret 1933 Kamp Konsentrasi Dachau dibuka. Inilah kamp konsentrasi pertama yang dibangun Nazi-Jerman. Kamp ini juga beroperasi terlama sampai 29 April 1945. Jumlah tahanan diperkirakan mencapai 188.000 orang. Korban meninggal yang tercatat sebanyak 32.000, namun ribuan lainnya tak tercatat. Sekitar 10.000 dari 30.000 tahanan dalam keadaan sakit pada saat pembebasan. Salah satu korban meninggal berasal dari Indonesia: R.M. Sidartawan. Sidartawan, mahasiswa hukum di Universitas Leiden sejak 1929. Dia menjabat sekretaris Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Dia juga menjadi anggota Bond van Sociaal-Democratische Studieclubs (Perserikatan Klub-klub Studi Sosial Demokrat). Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , banyak orang Indonesia terutama di Leiden menjadi anggota perserikatan itu. Perserikatan itu dekat sekali hubungannya dengan SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij atau Partai Buruh Sosial-Demokrat), tapi tidak ada hubungan organisatoris. “Bahkan Sidartawan pernah menjadi redaktur majalah perserikatan klub studi itu sekitar tahun 1935,” tulis Poeze. Ketika Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Sidartawan dan anggota Perhimpunan Indonesia ikut melakukan verzet atau perlawanan. Mereka pun menjadi sasaran Nazi-Jerman. Pada pagi 25 Juni 1941, polisi politik Nazi-Jerman, Sicherhetisdienst, menggeledah tempat-tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat pemimpin Perhimpunan Indonesia. Dua di antaranya tertangkap, yaitu Sidartawan dan Parlindoengan Loebis, sedangkan Setiadjit dan Ilderem dapat meloloskan diri. Pengurus Perhimpunan Indonesia 1938. Kiri-kanan: R.M. Sidartawan, Parlindoengan Loebis, dan Ilderem. (ReproDi Negeri Penjajah) Sidartawan dan Loebis dimasukan ke kamp konsentrasi secara berpindah-pindah . Loebis dimasukkan ke empat kamp konsentrasi: Schoorl dan Amersfoort di Belanda, kemudian Buchenwald dan Sachenhausen di Jerman. “Di kamp Buchenwald aku boleh dikatakan beruntung juga. Pekerjaanku tidak terlalu berat. Selama kira-kira enam minggu aku menjadi Stubendienst , kemudian selama kurang lebih dua bulan menjadi komando Schreiber (juru tulis komando),” kata Loebis dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi. Loebis selamat dan kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1994.Sedangkan Sidartawan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia pertama korban Nazi-Jerman. Loebis menerima kabar dari seorang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp bahwa Sidartawan akan dipindahkan lagi ke kamp Dachau untuk Erholung yang artinya beristirahat supaya kekuatannya pulih kembali. “Akan tetapi Kamp Dachau sudah tersohor sebagai Vernichtungslager , artinya kamp di mana para tawanan dibunuh kalau dia kelihatan sudah tidak ada tenaga lagi untuk bekerja,” kata Loebis . Nama Dachau kemudian terkenal dan ditakuti sehingga muncul pameo di Jerman bila seseorang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi orang selalu mengatakan “dia di-Dachau-kan.” “Sampai akhir perang,” kata Loebis, “aku sama sekali tidak mengetahui di mana dan kapan Sidartawan meninggal dunia. Tidak ada seorang pun yang mendapat kabar.” Dalam inmemoriam yang terbit di majalah Indonesia , 21 Juli 1945, disebutkan Sidartawan berturut-turut menempati kamp konsentrasi di Scheveningen, Schoorl, Amersfoort, Hamburg, Neuengamme, dan Dachau. Inmemoriam itu menulis “para penyintas dari kamp konsentrasi yang mengerikan sekarang mengalir ke negara masing-masing itu, membawa sukacita bagi keluarga mereka. Tetapi berapa banyak keluarga yang terbenam dalam duka yang dalam, karena salah satu dari anggota keluarganya telah menyerah pada kehidupan yang sulit di kamp-kamp itu. Sidartawan termasuk yang tidak akan kembali. Sidartawan adalah salah satu orang Indonesia yang menjadi korban lembaga-lembaga Nazi yang buruk itu.” Sidartawan meninggal dunia akibat sakit dan siksaan di Kamp Konsentrasi Dachau pada November 1942.
- Menanti RUU PKS Disahkan
KASUS Agni dan Universitas Gadjah Mada yang berakhir “damai” juga kasus Baiq Nuril yang berakhir pemenjaraan dengan jerat UU ITE menambah panjang deretan kasus kekerasan seksual di tanah air. Mayoritas kasus itu berakhir menyedihkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam laporannya menyebutkan, pada 2018 ada 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang dihimpun dari berbagai layanan aduan, menununjukkan jumlah kekerasan seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Aduan dari para korban yang langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan. Angka-angka tersebut baru mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Padahal, keberanian korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami masih rendah. Minimnya keberanian korban melaporkan kasus yang mereka alami disebabkan terutama oleh masih kuatnya cara pandang bahwa perkosaan merupakan serangan terhadap moral (asusila). Akibatnya, masyarakat malah meragukan dan menyalahkan korban. Pertanyaan-pertanyaan seputar pakaian korban, lokasi, dan waktu kejadian seringkali malah menyudutkan korban alih-alih mengadvokasi. Padahal, kekerasan seksual, mertabat, dan harga diri seseorang bukan semata urusan sopan santun. Banyaknya kasus kekerasan seksual ini membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting untuk segera disahkan. “Hukum Indonesia hanya mengakomodasi kasus perkosaan dengan bukti kekerasan fisik pada tubuh perempuan,” kata Masruchah, komisioner Komnas Perempuan, pada Historia . RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat degan perspektif keadilan untuk korban dan akan mengatur 15 jenis tindak pidana kekerasan seksual. Antara lain, kontrol, intimidasi, eksploitasi, penyiksaan seksual, dan pemaksaan aborsi. RUU juga menjabarkan mengenai hak korban atas perlindungan, penanganan, dan pemulihan. Ide tentang pentingnya payung hukum PKS bermula dari tingginya angka kekerasan seksual sepanjang 2001-2011. Sepanjang dekade tersebut, 25 persen kasus kekersan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. Setiap hari setidaknya 35 perempuan jadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap jam ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual hingga Komnas Perempuan menyebut Indonesia darurat kekerasan seksual. “Itu baru yang lapor. Banyak yang tidak lapor karena intimidasi oleh pelaku dan masyarakat,” kata Masruchah. Pada 2012, Komnas Perempuan meneliti jenis-jenis kekerasan seksual. Setahun setelah itu KP mulai mengusulkan pembentukan payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual. Tiga tahun menunggu, Komnas Perempuan mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas). Proses pembahasan prolegnas dimulai pada awal 2015. Perwakilan dari Komnas Perempuan kemudian menyerahkan naskah akademis untuk pertimbangan rapat Badan Legislasi Nasional pada pertengahan 2016. Setahun kemudian, Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah koordinasi berbagai kementerian terkait RUU PKS. “DPR sendiri menunjuk Komisi VIII sebagai panitia kerja (panja) baru pada awal 2018. Dan sejauh ini panja baru sampai Rapat Dengar Pendapat Umum, semacam konsultasi dengan para pakar, termasuk ormas-ormas besar di Indonesia,” kata Masruchah. RUU PKS dapat menambal produk hukum yang sudah ada, seperti KUHP yang hanya mencakup perkosaan dan pencabulan. Ada juga UU No. 7 th. 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. UU ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut penandatanganan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada 1981. Penandatanganan CEDAW bermula dari usaha feminis negara dunia pertama yang berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam agenda PBB. Menyusul kemudian Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) keluar pada 1979. Deklarasi ini dibahas dalam Konferensi Dekade Perempuan PBB di Kopenhagen pada 29 Juli 1980. Indonesia sepakat untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus diskriminasi terhadap perempuan dari beragam spektrum, salah satunya kekerasan seksual. Meski demikian, karena belum ada payung hukum yang spesifik mengatur tentang kekerasan seksual, perempuan belum kunjung lepas dari jerat sial yang sulit diurai. Kasus Agni dan Baiq Nuril belum memberi hasil yang memihak korban. Sementara, payung hukum yang dinanti masih alot dibahas. “Pembahasan akan dimulai lagi setelah pileg. Ditargetkan disahkan pada Agustus 2019,” kata Masruchah.
- Bukti Penjelajahan Orang Nusantara
Interaksi antarpulau di Nusantara sudah lama terjadi. Pemicunya migrasi penutur Austronesia dari Cina Selatan-Taiwan ke kepulauan Nusantara pada 4000 tahun yang lalu, berlanjut hingga memasuki tarikh masehi. Junus Satrio Atmodjo, Arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan ada bukti kalau orang Indonesia Kuno telah mengarungi laut sejak awal tarikh masehi. "Ini berdasarkan analisis penanggalan karbon pada tinggalan perahu di tepi Sungai Lematang, Sumatra Selatan," katanya dalam acara International Forum on Spice Route 2019, di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). Perpindahan lintas daratan sejak masa prasejarah itu memungkinkan terjadinya pertukaran jarak jauh. Hal ini kemudian memancing beberapa komoditas yang kini dikenal, termasuk bulu burung, rempah, kayu harum, dan beberapa tanaman yang sudah dibudidayakan di Nusantara, seperti pisang, taro (keladi), jeruk, dan mangga. "Para penutur Austronesia membentuk jejaring pertukaran jarak jauh. Misalnya bulu burung di Papua ngepulnya di Raja Ampat, lalu rempah di Maluku," kata Daud Aris Tanudirjo, Arkeolog UGM. Daud mengatakan, mobilitas tinggi itu dimungkinkan setelah para penutur Austronesia mengembangkan teknologi kelautan, seperti di Filipina dan Indonesia utara. Termasuk teknologi double canoe yang mampu berlayar jauh sekaligus membawa banyak beban. "Ini berkembang pesat di sekitar koridor Asia Tenggara," kata Daud. Mekanisme itu kemudian menciptakan jaringan hubungan antarpulau. Buktinya, kata Daud, obsidian Melanesia sampai ke Sabah, Malaysia dan Polinesia (Fiji, Tonga, Samoa), yang membentang 8.000 km. Hal itu telah terjadi sekira 3500 tahun yang lalu. "Lalu pengenalan gerabah dari Asia Teggara ke Melanesia dan Polinesia yang disebut gerabah Lapita pada 3.500-2.700 tahun yang lalu," kata Daud. Pertukaran rempah meluas ke barat. Di antaranya terdapat temuan pitolit (deposit silika di dalam tanaman) pisang di Kamerun pada 2.500 tahun yang lalu. Di Afrika juga ada sisa tanaman yang berasal dari Nusantara, seperti yam, pisang, dan taro (keladi). Tanaman ini hampir pasti dibawa oleh penutur Austronesia. Pun temuan sisa tanaman yang mirip cengkeh di Situs Terqa (Mesopotamia, Syria) sekira tahun 1750 sebelum masehi. "Ini sebenarnya sudah banyak yang membantah katanya itu bukan cengkeh karena kelopaknya ada lima. Tapi melihat ada temuan pitolit pisang sampai di Situs Kor Diji (Pakistan) dari sekira 4.000 tahun yang lalu, mungkin saja cengkeh sudah sampai ke Terqa," kata Daud. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan pula kalau jalur rempah sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum masehi. Orang Mesir Kuno yang memulai, kemudian diikuti bangsa Yunani dan Romawi. Di Nusantara, jalur rempah mulai bangkit ketika awal-awal ekspansi Islam. Bani Umayyah (mulai abad ke-7M) dan Abbasiyah (mulai abad ke-8) yang membangkitkan kembali jalur perdagangan rempah itu. "Kita tahu sebelum Islam masuk, pelaut dan pedagang Islam sudah masuk ke Nusantata," kata Azra. Pelaut asal Persia, Al Ramhurmuzi dalam Ajaib al-Hind ( wonders of the Archipelago ), melaporkan kehadiran pedagang dan pelaut muslim di Palembang, di Kerajaan Sriwijaya. "Ini membangkitkan perdagangan rempah," kata Azra. "Perdagangan rempah kemudian hancur ketika Belanda masuk dan menerapkan monopoli. Ini yang membuat ekonomi rusak."





















