top of page

Sejarah Indonesia

Pengalaman Pasukan Kelaparan

Pengalaman Pasukan Kelaparan

Di era revolusi, logistik sulit didapatkan oleh para gerilyawan. Karena itu tak jarang apapun dijadikan santapan.

Oleh :
24 Maret 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mayor Soegih Arto tengah memberikan santunan kepada masyarakat yang pernah menolong pasukannya saat era revolusi. (Dok. Kolonel Mohammad Rivai).

PADA 17 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani oleh pihak pemerintah Kerajaan Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia. Salah satu klausul dalam kesepakatan tersebut adalah kewajiban bagi Divisi Siliwangi untuk meninggalkan kantong-kantong gerilyanya di Jawa Barat. Maka terjadilah dalam sejarah apa yang dinamakan hijrah pasukan Siliwangi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.


Namun dalam kenyataannya pihak MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta diam-diam memerintahkan kepada Divisi Siliwangi untuk meninggalkan sebagian kecil pasukannya di Jawa Barat. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya para peneliti Pusat Sejarah Kodam VI Siliwangi, beberapa batalyon (satu batalyon setara dengan 700-1000 prajurit) memang diperintahkan untuk tidak ikut hijrah dan bertahan melawan militer Belanda di Jawa Barat.


Salah satu batalyon yang diperintahkan untuk bertahan adalah Batalyon 22 pimpinan Mayor Soegih Arto yang menguasai wilayah Cililin, Gunung Halu, Batujajar dan sebagian wilayah Ciranjang, Cianjur. Menurut Soegih Arto perintah itu langsung dari Letnan Kolonel Daan Jahja, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi.


“To, jij (kamu) kita rencanakan untuk tetap tinggal di Jawa Barat…Supaya terus mengganggu militer Belanda yang ada di sini,” kata Daan Jahja seperti dikutip dalam biografi Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto.


Singkat cerita, bertahanlah pasukan Soegih Arto di wilayahnya semula tanpa diakui secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Tentu saja dia tidak lagi menggunakan nama Batalyon 22 Brigade Guntur Divisi Siliwangi, tapi dengan nama baru yakni Pasukan Djaja Pangrengot. Pasukan ini kemudian berubah menjadi unit-unit mandiri yang sepenuhnya liar tanpa garis komando yang jelas kecuali kepada pimpinannya, Soegih Arto.

“Saya berlaku layaknya raja kecil,” ujar Soegih Arto.


Sebagai kekuatan yang tidak memiliki atasan, Djaja Pangerot tentu saja bertindak otonom. Bukan saja soal operasi militer, segala kebutuhan termasuk logistik harus mencari sendiri. Tak jarang, kata Soegih, mereka kelaparan dan hanya mengandalkan kekayaan hutan setempat.


“Kadang kita makan lalapan saja, daun-daun, buah hutan, ular dan bagong (babi hutan),” ujar Moehidin (103 tahun), eks anggota Djaja Pangerot.


Suatu hari, Pasukan Djaja Pangerot menghancurkan satu unit patroli militer Belanda di sekitar wilayah Cililin. Mereka lantas dikejar oleh beberapa unit buru sergap militer Belanda selama tiga hari berturut-turut. Saat dalam pengejaran mereka tak sempat mendapat pasokan logistik dari penduduk. Makanan mereka hanya buah-buahan hutan.


Suatu senja, mereka sampai di sebuah kampung yang rakyatnya melarat. Mereka tak tega meminta makanan. Ketika istirahat di halaman rumah seorang warga, tetiba mereka melihat seekor kelinci melompat-lompat dan masuk ke kolong rumah. Air liur mereka sontak mengalir.


“Kami saling berkedip mata dan diam-diam merencanakan akan membekuk si kelinci itu nanti begitu gelap datang,” kenang Soegih Arto dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid I terbitan Markas Besar LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia).


Malam pun datang. Tanpa ampun, tim eksekusi yang langsung dipimpin oleh Soegih Arto mengendap-endap memasuki kolong rumah. Begitu melihat bayangan putih, Soegih Arto cepat menancapnya dengan sangkur lantas tanpa banyak cakap memotongnya dan mengulitinya dalam kegelapan. Jadilah mereka menikmati santapan malam dengan daging bakar yang lezat.


Pagi-pagi mereka terbangun dalam kondisi segar karena baru dipasok energi baru. Saat terbangun inilah, tetiba mereka melihat kelinci yang mereka makan malam tadi masih melompat-lompat dengan riangnya di depan mata.


Seseorang lalu berlari ke bekas tempat pembersihan daging yang mereka santap. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat kepala hewan yang terpotong ternyata kepala seekor kucing. Dia kemudian memberitahu seluruh anggota pasukan termasuk kepada sang komandan. Alih-alih marah, Soegih Arto malah tertawa terbahak-bahak.


“Ya apa boleh buat, kucing telah jadi mangsa,” ujarnya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page