top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara

    SULIT menyepakati Barus sebagai titik nol Islam masuk ke Nusantara. Pun soal Islam pertama masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M.  Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan klaim yang selama ini disuarakan sebenarnya tak berbukti. "Ada klaim Islam masuk pada 7 M, pada abad pertama Hijriah, tapi tak ada buktinya," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7, di Hotal Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Azra tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Tak cuma orang Islam, orang Yahudi pun sudah datang. Namun, tak jelas, apakah Islam hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. “Kalau saya ya mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red. ),” kata Azra. Azra pun menyebut periwayatan penjelajah muslim, al-Ramhurmuzi dalam kitab  Ajaib al-Hind  yang ditulis sekira 390 H (1000 M). Di dalamnya berisi tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Dengan adanya orang muslim di Sriwijaya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M.  “Tapi nampaknya muslim itu orang asing," kata Azra. "Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah kecil, apalagi massal."  Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaan kerajaan ini salah satunya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibn Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349) “Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibn Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara,” ujar Azra. Kendati begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi masih berlangsung. “Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam, red. ),” tulis Ibn Battutah dalam catatannya.  Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga mempertanyakan konsep yang jelas soal proses Islamisasi. “Sudah pasti saya tak ragu pada abad pertama Hijriah sudah ada orang Islam ke sini. Tapi apakah artinya kalau saya ke Amerika saya mengislamkan Amerika?” ujarnya. Sejauh ini yang diklaim sebagai bukti terawal Islam di Nusantara adalah makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Padahal, menurut Taufik, itu tak langsung membuktikan kalau orang Nusantara sudah diislamkan. “Di Tiongkok sana abad ke-10 M melarang kapal-kapal Arab datang," kata Taufik. "Jadi, mereka berkeliaran ke sini. Ya, wajar abad ke-11 M sudah ada orang Islam yang meninggal di sini." Bukan Pedagang Soal pelaku Islamisasi di Nusantara, Azra membantah jika dilakukan oleh pedagang Gujarat. Ada teori lain yang menurutnya lebih memungkinkan. Dalam periwayatan al-Ramhurmuzi, misalnya, disebutkan raja Sriwijaya pernah mengirimkan surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, Khalifah Bani Umayyah (717-720 M). Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya, maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Belum ada buktinya.  Yang jelas, kata Azra, kedua surat ini menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. “Sehingga dia (maharaja Sriwijaya, red. ) merasa perlu meminta guru yang mengajarkan Islam,” kata Azra.  Azra lebih melihat peran pengembara sufi sebagai agen penyebar Islam di Nusantara. Kalau di Jawa ada Wali Songo. Sementara di wilayah timur, ada tokoh yang dikenal dengan Tiga Datok.  “Orang Sulsel (Sulawesi Selatan) juga mengklaim Tiga Datok yang sama. Setelah puas di NTB mereka berlayar ke Sulsel. Ini juga munculnya setelah abad ke-12 M, pasca Imam al-Ghazali,” kata Azra. Ditambah lagi negeri Gujarat sebelum abad ke-13 M masih merupakan negara Hindu. Mereka bermusuhan dengan Islam. “Kalau ada orang Islam datang diusir,” tegas Azra. Menurut Azra, para pedagang muslim bukanlah yang mengajarkan Islam ke raja. Padahal kala itu peranan kesultanan begitu penting dalam proses penyebaran paham tertentu ke rakyat.  “Memang ada pelaut muslim tapi tidak ada konversi Islam dari pedagang. Tak ada buktinya. Teori ini harus ditolak,” ujar Azra. Teori Mata Air Terkait masuknya Islam ke Nusantara, Azra mengajukan teori yang disebut seperti mata air. Artinya, sumber kedatangan ajaran Islam bisa dari berbagai tempat seperti sumber-sumber mata air.  “Memang semua ada indikasinya. Kita tak bisa mengklaim Islam hanya dari Gujarat. Dari Mesir ada, Irak, Tiongkok juga ada,” kata Azra. Azra menilai teori sejarawan Slamet Muljana cukup masuk akal terkait Islam di Tiongkok dan pengembaraan pelayar Tiongkok muslim ke Indonesia. “Ditambah kita wilayah maritim tempat terjadinya persilangan budaya yang bisa datang dari mana saja,” ujarnya.  Terkait klaim-klaim Islamisasi di Nusantara, menurut Azra, karena sejarah lebih sering menjadi ranah kontestasi. Kontestasi ini disebabkan kepentingan ideologi. “Itulah sejarah sebagai ideologi. Ada kontestasi terhadap sejarah,” tegasnya.

  • Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Sukarno

    PAGI sekali, Mayor Jenderal Ahmad Yani berangkat ke Istana Negara. Dia naik mobil bersama sopirnya, Hasan. Istri dan anak-anak Yani menanti di rumah dengan perasaan berdebar-debar. Hari itu 23 Juni 1962, Yani akan dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). “Hari itu adalah hari yang paling bahagia bagi kami sekeluarga,” kenang Amelia Yani, salah seorang putri Yani dalam biografi ayahnya Profil Prajurit TNI .  “Waktu itu di rumah sudah banyak sekali tamu-tamu yang ingin memberikan ucapan selamat.” Setiba di Istana, Yani tak dilantik sendirian. Ada beberapa Duta Besar (Dubes) yang ikut dilantik berbarengan. Mereka antara lain: Gustaaf Adolf Maengkom (Dubes RI untuk Polandia), Sudjono (Dubes RI untuk Ghana), dan Busono Darusman (Dubes RI untuk Austria). Ketika dilantik sebagai KSAD, Yani tengah berada di usia puncak kariernya, 40 tahun. Dia juga merangkap jabatan penting sebagai Kepala Staf Operasi Pembebasan Irian Barat. Tak mengherankan apabila pada upacara pelantikannya, Presiden Sukarno banyak menyinggung soal Irian Barat. “Saudara-saudara sejak saat sekarang ini lebih-lebih lagi diharap dari saudara-saudara untuk memberikan saudara-saudara punya tenaga sepenuh-penuhnya, semaksimum-maksimumnya kepada perjuangan simultan membebaskan Irian Barat. Kepada Mayor Jenderal Jani terutama sekali dibidang militer,” kata Sukarno dalam pidatonya yang diterbitkan Departemen Penerangan. Yani kemudian mengucapkan sumpah jabatan. Pangkatnya dinaikan setingkat menjadi letnan jenderal. Dengan demikian, Yani resmi telah menjadi orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat. Awalnya Bukan Yani Menurut penuturan Amelia, semula Yani tak termasuk dalam kandidat calon KSAD. Ada beberapa nama perwira tinggi senior lain yang diajukan. Semuanya ditolak oleh Sukarno. Nasution sendiri lebih cenderung kepada wakilnya, Gatot Subroto untuk menduduki jabatan KSAD. Namun pada awal Juni 1962, Gatot meninggal dunia karena serangan jantung. Nasution kemudian mengusulkan beberapa nama lagi. Kali ini menyertakan nama Yani, yang menjadi Deputi II KSAD. Tanpa ada perbantahan, Sukarno langsung setuju. Di mata Istana, Yani punya reputasi gemilang. Pada 1958, Yani sukses menggelar operasi militer penumpasan PRRI di Sumatera pada 1958. Dia lantas merapat ke Istana ketika menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang berada di bawah komando presiden. Dalam waktu 4 tahun sejak memimpin Operasi 17 Agustus di Padang, nama Yani terus melejit. Sebagai perwira profesional, Yani memang mencatatkan prestasi menonjol. Yani juga memperoleh kepercayaan Nasution dan korps perwira AD karena seorang antikomunis garis keras. Meski demikian, pengangkatan dirinya menjadi KSAD terbilang cepat dan mulus. Menurut sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo yang pernah menjadi perwira pembantu Yani di Markas Besar AD, penujukan Yani masih wajar dan sesuai. Wajar dalam arti tak menyalahi tradisi TNI atau melangkahi dari segi senioritas. Saat itu, tak banyak perwira tinggi lain yang melebihi senioritas Yani. “Mungkin Pak Harto yang merasa lebih senior karena pernah bersama Yani sewaktu di Divisi Diponegoro. Akan tetapi orang juga anggap ini tindakan Bung Karno untuk kurangi wewenang dan reputasi Pak Nasution yang jabat KSAD,” ujar Sayidiman kepada Historia . Kata Sayidiman lagi, “ Correct iya, tapi latar belakang politik kental. Itulah hal yang sukar dihindari pada level atas. Apalagi dengan orang seperti Bung Karno sebagai presiden.” Figur Kesukaan Presiden Menurut pakar politik Monash University, Harold Crouch, kendati sama-sama antikomunis, Yani menampilkan citra diri yang berbeda dari Nasution. Ini terlihat dari cara Yani menentang kebijakan Sukarno terhadap PKI. Sebagai orang Jawa, Yani cenderung memperlakukan Sukarno sebagai seorang “bapak” yang bisa saja bertindak salah tetapi tak boleh ditentang secara terbuka. “Dan sebagai orang Jawa yang tak memiliki keislaman yang puritan seperti Nasution, ia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Istana Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia . Kepribadian Yani yang menarik dan luwes menjadi nilai tambah sang jenderal. Karakter demikian memungkinkan Yani mengembangkan hubungan serasi dengan Sukarno. Faktor inilah yang meyakinkan Sukarno untuk menjatuhkan pilihannya kepada Yani. Sesudah upacara di Istana selesai, Yani pulang kerumahnya di Jalan Lembang. Suasana ramai telah menanti. Acara selamatan dipersiapkan atas pelantikan Yani.   “Bapak turun dari mobil disambut ibu dan kami semua,” kenang Amelia. “Bapak tersenyum cerah sekali dan kami ikut merasakan kebahagiaan itu.”*

  • Membentuk Ekosistem Kebudayaan

    DIREKTUR Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan 5-9 Desember 2018 nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya. Dengan adanya strategi kebudayaan, dunia seni budaya lebih diakui karena tercantum dalam kerangka kebijakan. Dengan begitu, praktik kesenian beserta perkembangannya bisa lebih terorganisasi dan terstruktur. “Selama ini kesenian dianggap sebagai sebuah bidang yang tidak mapan dalam kerangka kebijakan sehingga pemerintah sulit mengukur,” ujarnya dalam mediabriefing Kongres Kebudayan, Kamis (22/11) di Pulau Dua Restoran. Ketiadaan pembahasan mendalam tentang seni budaya dalam kerangka kebijakan menyulitkan pemerintah dan pelaku seni dalam menyelenggarakan kegiatan seni budaya. Untuk membentuk strategi kebudyaan, Direktorat Kebudayaan telah menyelanggarakan prakongres Kebudyaaan sejak Maret 2018 dengan mengumpulkan data empirik dari 200-an kabupaten/kota. Selain itu, ada 33 bidang dan pelaku budaya yang berkumpul, seperti seniman wayang, komunitas independen, antropolog dll. yang telah memberikan rekomendasi. Pada kongres Desember nanti, kegiatan berupa penyampaian kesimpulan dari rapat-rapat kecil prakongres daerah. Kesimpulan ini kemudian dibahas oleh 17 orang perumus, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Hasil rumusan strategi kebudayan ini kemudian diteruskan kepada presiden untuk disetujui dan ditetapkan menjadi kebijakan yang dijalankan oleh tiap-tiap kementerian. Dengan adanya strategi kebudayaan, pemerintah memiliki arah yang jelas dalam mengembangkan budaya. Masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan juga mempermudah pemerintah dan pelaku seni untuk lebih mengembagkan budaya daerahnya masing-masing dan menciptakan ekosistem kebudayaan yang mapan di masyarakat. “Strategi kebudyaan memastikan sektor seni budaya mapan dalam kerangka kebijakan. Selama ini sektor budaya tidak terlalu diperhitungkan. Hasil konkretnya di masa mendatang pembiayaan kegiatan seni lebih mudah,” kata Hilmar. Namun, hasil konkret atas strategi kebudayaan belum bisa langsung dirasakan. Menurut Hilmar, efek dari masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan baru akan dirasakan betul pada 10-30 tahun mendatang. “Dulu orang tidak kenal budaya Korea, namun sekarang semua orang tahu. Itu karena pemerintahnya menjalankan strategi kebudayaan dan berhasil. Segala bentuk kegiatan seni didukung oleh pemerintah. Harapannya kita bisa seperti itu,” kata Hilmar. Estafet Pencarian Kongres Kebudayaan Desember mendatang menjadi tahap lanjutan dari perumusan kebudayaan nasional yang telah dirintis sejak Kongres Kebudayaan pertama tahun 1918. Pascakemerdekaan, Kongres Kebudayaan pertama kali diselenggarkaan tahun 1948. Panitia kongres bertugas membuat rumusan tentang arah dan strategi kebudayaan untuk mendirikan kebudayaan nasional indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Semangat membentuk kebudayaan nasional dan keluar dari mentalitas negeri jajahan itu terus diupayakan hingga Kongres Kebudayaan tahun 1960. Namun, proses pencarian kebudayaan nasional terputus selama tiga dekade dan baru kembali terlaksana pada 1991. Pascareformasi, Kongres Kebudayaan digelar secara rutin. Namun, Kongres Kebudayan sejak 2003 belum membuahkan hasil. Kongres Kebudayaan, dalam rilisan pers Kementerian Kebudayaan, lebih serupa simposium ilmiah yang memaparkan pemikiran dari para ahli yang meski menarik tapi tak punya sangkut-paut dengan kondisi lapangan. Kongres-kongres itu juga tidak secara langsung melibatkan masyarakat dalam mengelola kebudayan bersama sehingga tak menyentuh masalah sampai ke akar rumput. Dengan penghimpunan data dari tingkat paling kecil, yakni desa dan pegiat seni budaya, Kongres Kebudayan 2018 berusaha menjaring dukungan untuk memapankan sektor budaya dan membentuk ekosistem budaya yang terstruktur dengan mendorong dan membuat jalur komunikasi budaya dari desa sampai ke pusat. “Kongres ini inginnya menjadi kepemilikan luas semua masyarakat agar proses perumusan kebijakan diikuti semua pelaku budaya sehingga ketika jadi kebijakan akan menjadi kepemilikan bersama,” kata Hilmar.

  • Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

    ADA beberapa teori yang dikembangkan para sejarawan soal Islamisasi di Nusantara. Penjelajah asal Portugis, Tome Pires, punya versinya sendiri.  Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menjelaskan, petualangan Tome Pires dimulai pada masa di mana penjelajahan orang-orang Eropa berlangsung.   “Sejak masa Colombus, abad ke-16 adalah abad  discovery . Ada kompetisi arung samudra orang barat ke timur,” kata Sri Margana dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7 2018, di Hotel Grand Inna Maliboro, Yogyakarta, Kamis (22/2). Penjelajahan bangsa Eropa didorong oleh keinginan menunjukkan kehebatan mengarungi samudra. Pun juga rasa haus akan pengetahuan dunia timur.  “Hasil arung samudra paling utama adalah pengetahuan. Segala info tentang dunia timur menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya,” lanjutnya.  Salah satunya Tome Pires yang menyajikan informasi lengkap tentang dunia timur. Dia mencatatnya dalam  Suma Oriental . Yang paling menarik adalah pendapatnya soal hubungan komunitas Tionghoa dan Nusantara, khususnya dalam proses Islamisasi. Ketika datang ke Jawa, Tome Pires mendapati bangsa asing: Arab, Persia, Gujarat, Bengal, dan Melayu. Para pendatang itu, kata Tome Pires, berhasil memperkaya diri dengan berdagang hingga mampu membangun masjid-masjid besar. “Kata Pires, mereka sudah tinggal di Jawa selama 70 tahun. Ini dihitung dari waktu kunjungan Pires. Jadi sudah membawa pengaruh yang besar,” kata Sri Margana. Menurut Tome Pires, jauh sebelum Islam datang, orang Jawa beragama pagan. Ketika bangsa Moor datang, mereka membangun benteng di sekeliling tempat tinggalnya. Mereka mengirim kaumnya untuk berdagang dengan jung, membunuh penguasa Jawa, dan mengangkat dirinya sebagai penguasa baru.  “Dengan demikian mereka berhasil menjadikan diri sebagai penguasa dan mengambil alih kekuasaan dan perdagangan di Jawa,” tulis Tome Pires. Jika itu benar, menurut Sri Margana, pernyataan Tome Pires meruntuhkan mitos tentang kehadiran Islam yang damai di tanah Jawa. Penyebar Islam di Jawa Catatan Pires juga seakan-akan mengklarifikasi tentang para penyebar Islam pertama di Jawa. Orang-orang Moor bukanlah satu-satunya penyebar Islam di Jawa, tapi juga Tionghoa. Tome Pires menulis, para pate atau penguasa di Jawa, bukanlah orang Jawa asli yang berasal dari Jawa. Mereka melainkan Tionghoa, Keling, Persia dan berbagai negeri yang disebutkan sebelumnya. Namun, orang-orang ini sudah merasa lebih penting di kalangan bangsawan dan negeri Jawa secara kesuluruhan, bahkan melebihi orang yang tinggal di pedalaman. Itu karena mereka dibesarkan di tengah orang Jawa yang suka pamer, ditambah kekayaan yang mereka warisi dari para nenek moyang. Pertanyaannya adalah, seberapa akurat informasi yang disebutkan Tome Pires? Dalam tulisannya, dia mengatakan sudah melakukan konfirmasi terhadap infomasi itu.  “Pires bukan hanya mencatat yang dia lihat dan amati. Dia juga melakukan klarifikasi terhadap mitos dan kisah yang dia dengar,” kata Sri Margana. Misalnya, soal hubungan Jawa dan Tiongkok. Menurut Tome Pires, raja Jawa dan Tiongkok tak pernah punya hubungan satu sama lain. Uang tunai Cina dibawa ke Jawa berkat perdagangan. Orang Jawa sudah melakukan perdagangan dengan komunitas Tionghoa jauh sebelum Malaka ada.  “Kisah tentang Putri Cina menikahi orang Jawa itu jadi menurut dia (Pires, red . ) bohong,” kata Sri Margana. Menarik juga memperhatikan kesan Tome Pires terhadap orang Jawa. Katanya, soal kebaikan, harga diri, ketegasan, dan keberanian belum ditemukan di Jawa. Bahkan, keangkuhan orang Melayu, kata Pires, didapatkan dari perangai orang Jawa. “Ini mengejutkan. Jawa selalu disebut baik, sopan, ternyata Tome Pire punya kesan sendiri,” kata Sri Margana.  Dalam hal ini, subjektivitas muncul. Latar belakang sosial dan budaya yang dibawa Tome Pires mempengaruhi cara pandang dalam mencatat hal-hal yang dia temui dalam penjelajahannya, khususnya di Jawa.  “Kalau mau pakai naskah ini sebagai sumber sejarah, harus kritis juga,” kata Sri Margana.

  • Aksi Dunia Untuk Indonesia Merdeka

    MAKAM sederhana di bilangan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan itu mulai dimakan waktu. Beberapa bagian marmernya mulai terkelupas. Tak ada seorang pun warga di sana yang megetahui jasad siapa yang ada di dalam makam usang tersebut, kecuali seorang sepuh bernama Mohammad Ali. “Itu makam Charles Bidien, orang Aceh yang kerjaannya ngejual obat,” ujar kakek kelahiran Pasar Minggu 94 tahun lalu itu. Sebelum meninggal pada akhir 1960-an, Bidien memang kerap datang ke rumah Ali yang merupakan tetangganya di Kalibata Tengah. Selain bercerita soal obat-obatan, kepada Ali Bidien juga sering bercerita tentang pengalaman hidupnya, termasuk saat dia menjadi seorang pelaut di Amerika Serikat (AS). “Dia pernah bilang sama gua , sewaktu masih di Amerika dia bersama kawan-kawannya pernah nahan kapal-kapal Belanda yang akan mengirimkan senjata ke Indonesia. Bener atau enggaknya, gua kagak tau dah ,” kata lelaki Betawi itu seraya tertawa. Apa yang dikisahkan Bidien memang bukan isapan jempol semata. Pasca-Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dukungan banyak mengalir dari mancanegara. AS adalah salah satu negara yang warganya banyak bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia. Berbagai demonstrasi dan aksi boikot kapal Belanda kerap dilakukan untuk menegaskan rasa simpati tersebut. “Bahkan aksi buruh pelayaran itu dipimpin oleh orang Indonesia sendiri seperti Charles Bidien, Addy Marien, dan Masry,” ungkap Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 . Boikot di AS Niat Belanda untuk bercokol kembali di Indonesia mudah tercium oleh dunia. Kendati mereka harus memboncengi pasukan Sekutu saat kali pertama mendarat di Pelabuhan Tanjungpriok, tak ayal orang-orang mengetahui bahwa Hubertus Johannes van Mook dan kroni-kroninya memang tengah mencari kesempatan dalam kesempitan begitu Jepang kalah dari Sekutu. Begitu pula di AS, ambisi Belanda tersebut langsung diketahui secara umum. Alih-alih mendukung, sebagian masyarakat AS justru bergerak menentang niat itu. Menurut Sidik Kertapati, gejolak dukungan masyarakat AS dimulai pada 3 Oktober 1945. Kala itu, bersama orang-orang Indonesia yang tinggal di AS, masyarakat San Francisco melakukan aksi demonstrasi menentang kembalinya Belanda di Indonesia. Mereka membuat barisan panjang sambil mengibarkan bendera merah putih di jalan-jalan dan membawa poster-poster dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris, Enambelas hari kemudian, sekira 200 buruh pelayaran Indonesia pimpinan Charles Bidien dengan didukung para buruh pelayaran AS menjalankan aksi pemogokan dan demonstrasi di New York. Aksi yang dilakukan selama berbulan-bulan itu berhasil memboikot 11 kapal Belanda (dengan cara mengikatnya di pelabuhan) yang akan mengirimkan alat-alat perang dan logistik buat serdadu ke Indonesia. Berkat kerjasama antara kaum buruh pelayaran Indonesia dengan para buruh pelayaran AS yang tergabung dalam National Maritime Union of USA, semua alat perang yang dihibahkan pemerintah AS kepada militer Belanda terpaksa dibongkar kembali. Semua alat perang yang akan digunakan untuk membasmi para pejuang gerakan pembebasan tanah air di Indonesia itu pun akhirnya tak pernah sampai ke Indonesia. Sementara itu, dukungan terhadap Indonesia merdeka juga muncul dari para selebritis Hollywood dan kaum intelektual AS. Sejarah mencatat, Paul Robeson (penyanyi kulit hitam kenamaan AS) menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam suatu aksi demonstrasi. Tak mau kalah oleh Robeson, pasangan penari terkenal AS Paul Draper dan Larry Adler menciptakan suatu jenis tarian yang dipersembahkan untuk perjuangan dan kemerdekaan rakyat Indonesia. Ahli Matematika asal Massachuset’s University Prof. Dirk. J. Struik juga turut hanyut dalam aksi protes terhadap pemerintah Belanda. Salah satu tokoh ACII (Komite Amerika Serikat untuk Kemerdekaan Indonesia) itu bahkan harus kehilangan pekerjaannya gara-gara aksi dukungannya tersebut. Selain Prof. Dirk, ada juga para intelektual AS lain seperti Leo Gallagher yang aktif mendukung kemerdekaan Indonesia di Los Angeles. Buruh Australia Bergerak Aksi yang tak kalah keras terjadi juga di Australia. Di bawah koordinasi ASU (Australian Seamens Union) dan AWWU (Australian Waterside Workers Union), pada awal Oktober 1945 para buruh pelabuhan menjalankan aksi-aksi mendukung Indonesia merdeka. Semula aksi dijalankan dalam bentuk pemogokan-pemogan kecil. Namun lambat laun aksi-aksi kecil itu memicu konflik yang lebih besar. Dalam pernyataan sikapnya, para buruh pelabuhan Australia menuntut: “Kapal-kapal Belanda harus segera menghentikan pengangkutan senjata dan amunisi yang digunakan untuk memerangi rakyat Indonesia. Bagi kami rakyat Indonesia adalah kawan rakyat Australia dalam usaha mengalahkan fasisme Jepang. Mereka berhak merdeka, mengenyam pelaksanaan Piagam Atlantik!” Sementara itu, di Pelabuhan Sidney, sebuah kapal Belanda bernama Karsik yang bermuatan emas dan uang didemo awaknya sendiri. Hal yang sama terjadi pula di Brisbane ketika terjadi pemogokan massal yang melibatkan awak-awak kapal yang bekerja untuk tiga kapal Belanda yakni Kun Hwa, Jansens,  dan Both . Di kota Brisbane sendiri terjadi aksi penolakan untuk mengangkut warga Belanda oleh para sopir taksi dan trem. “Restoran-restoran Tionghoa di Brisbane memberi makan gratis kepada para pemogok dari kalangan buruh Indonesia,” ungkap Sidik. Seiring maraknya aksi pendukungan, KIM (Komite Indonesia Merdeka) mulai didirikan di berbagai kota. Di Sidney, KIM mendapat dukungan luas dari eks tahanan Digul seperti Mohammad Senan, Soewirdjo, dan Soeparman. Aksi-aksi solidaritas terhadap Indonesia semakin keras dilakukan para buruh Indonesia dan Australia di Sydney ketika mereka mengetahui sebagian besar senjata dan alat-alat perang yang dikirim ke Indonesia dipusatkan di sana. Dukungan Buruh Mesir Aksi solidaritas terhadap Indonesia merdeka bukan hanya terjadi di AS dan Australia yang sebagian besar dimotori kaum sayap kiri. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin (organisasi sayap kanan) mengerahkan para pendukungnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Terutama para buruh yang aktif di pelabuhan Port Said dan wilayah Terusan Suez. Alkisah, pada 9 Agustus 1947, tersiar kabar bahwa sebuah kapal Belanda bernama Volendam akan berlabuh di Port Said. Kapal tersebut mengangkut amunisi, 2.000 serdadu Belanda, dan perlengkapan perang yang akan digunakan di Indonesia. Begitu mendengar kabar tersebut, ribuan penduduk dan buruh setempat lantas berkumpul di mulut pelabuhan. Sebagian dari mereka dengan mempergunakan motor boat memboikot pemberian logistik dan air minum ke Volendam yang masih ada di tengah laut. “Mereka yang terdiri dari buruh-buruh militan dari Ikhwanul Muslimin dengan membawa bendera merah putih, mengejar sekelompok motor boat yang memaksa untuk menyuplai makanan dan air minum ke kapal Belanda tersebut. Setelah dekat mereka menggiring kembali motor boat-motor boat itu kembali ke pelabuhan,” demikian laporan jurnalis Suratkabar Al Balagh edisi 10 Agustus 1947 yang dikutip M.Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri . Para awak Volendam tentu saja tidak diam. Alih-alih menghindar, sebagian dari mereka bahkan sudah terlibat adu fisik dengan para demonstran ketika ada sebagian dari para simpatisan Indonesia tersebut berusaha merebut beberapa motor boat dan menguasai Volendam . Melihat situasi itu, salah satu kuasa kapal bernama Mr. Blackfield berteriak bahwa dia akan bertindak sendiri dengan mengerahkan 2.000 serdadu Belanda untuk menghadapi para penyerang. Namun sebelum bentrok berdarah terjadi, Mahmud Sabit Bey (Wakil Kepala Polisi Terusan Suez) berhasil mengendalikan situasi. Setelah menyuruh para buruh untuk kembali ke daratan, dia berusaha untuk memberikan penjelasan sekaligus permohonan agar pihak Volendam tidak bersikeras untuk berlabuh di Port Said. “Anda bayangkan tiap hari mereka disuguhi berita-berita tentang aksi tentara Belanda yang melakukan agresi militer terhadap saudara-saudara se-agama mereka di Indonesia. Mereka sedang marah,” ujar Sabit kepada Blackfield. Setelah melakukan negoisasi alot, Volendam pun meninggalkan lepas pantai Port Said. Mereka baru mendapatkan persediaan makanan dan air ketika masuk ke Pelabuhan Ismailia yang sepenuhnya dikuasai Inggris. Namun begitu meninggalkan Ismailia, lagi-lagi kapal harus menghadapi teror dari para penduduk sepanjang Suez dan Port Said. Teror itu berupa acungan tangan yang mengangkat bendera merah putih dan gemuruh suara orang-orang Arab meneriakan kata “merdeka”.

  • Ratu Sima dalam Catatan Tiongkok

    PADA zaman dulu, hiduplah seorang ratu yang memerintah negerinya dengan tegas. Dia diingat dengan nama Ratu Sima. Saking tegasnya, barang yang tergeletak di jalan tak kan ada yang berani mengambilnya.  Penasaran dengan ketegasan sang ratu, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang. Tas itu diletakkan di perbatasan negara sang ratu. Meski melihat tas itu, orang-orang hanya melewatinya. Tak ada yang berani menyentuhnya. Tas itu tetap di sana hingga tiga tahun lamanya. Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima pun marah besar sampai ingin membunuh putranya itu. Namun, dia keburu dicegah para menterinya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu. Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima memotong ibu jari kaki sang pangeran. Dengan sikapnya, dia ingin memberi contoh kepada rakyatnya. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu. Penguasa Kerajaan Ho-ling Begitulah kisah tentang Ratu Sima dalam Catatan Dinasti Tang . Dia merupakan penguasa Kerajaan Ho-ling yang terletak di Jawa bagian tengah. Menurut catatan itu, sang ratu naik takhta pada 674 M. Dengan demikian, Ho-ling menjadi kerajaan pertama di Jawa bagian tengah. Sayangnya, tak begitu banyak sumber sejarah yang menyebutkan soal keberadaannya. Arkeolog Agus Aris Munandar dalam Kaladesa Awal Sejarah Nusantara menerangkan, selama periode awal masa sejarah hingga 700 M, sumber-sumber sejarah Indonesia utamanya berasal dari Tiongkok. Mereka biasanya adalah duta dari raja-raja kepulauan di selatan yang mempersembahkan upeti kepada para kaisar. Soal Ho-ling, berita Tiongkok menyebutkan di Jawa pada sekira abad yang sama dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara terdapat kerajaan lain. Penyebutan Ho-ling seringkali disamakan dengan She-po (Cho-po) atau Jawa. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menjelaskan, ada dua versi catatan Dinasti Tang yang menyebut soal Ho-ling. Pertama adalah Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) yang dianggap kurang benar. Sedangkan Sejarah Baru Dinasti Tang berisi informasi yang lebih lengkap terutama soal Jawa. "Nama Jawa sudah mulai menggantikan nama Ka-ling,” tulis Groeneveldt. Mirip dengan penjelasan di Sejarah Lama Dinasti Tang , Ho-ling disebutkan terletak di sebuah pulau di samudra selatan. Posisinya di sebelah timur Sumatra dan di sebelah barat Bali. Jika ke utara menuju Kamboja dan jika ke selatan menuju lautan. Penduduknya membuat pertahanan dengan kayu. Bahkan bangunan terbesar juga ditutupi oleh daun palem. Mereka punya balai-balai dari gading. Pun tikar yang terbuat dari kulit terluar bambu. Di bangunan ini raja bertakhta. Kalau makan, penduduknya tak menggunakan sendok atau sumpit. Mereka memasukkan makanan ke mulut dengan jari-jari mereka. Disebutkan juga masyarakat Ho-ling sudah mengenal aksara. Mereka pun telah mengetahui sedikit ilmu astronomi. Negara itu disebut sangat kaya. Terdapat sebuah gua yang airnya mengandung garam dan keluar dengan sendirinya. Raja tinggal di kota Java (Ja-pa). Dia dibantu oleh 32 menteri tinggi.  Di sekeliling negara ini terdapat 28 negara kecil yang mengakui kekuasaan Java. Pendahulu sang raja, Ji-yan, tinggal di sebuah kota di sebelah timur yang bernama Bu-lu-ga-si. Sang raja seringkali memandangi lautan dari pegunungan di Distrik Lang-bi-ya. Catatan itu juga mengabarkan utusan dari Ho-ling rutin datang ke Tiongkok yang tercatat hingga abad ke-9 M.  Berita lain tentang Ho-ling menuturkan adanya aktivitas agama Buddha di She-po. Ini, kata Agus, mungkin juga terjadi dalam periode pemerintahan Ratu Sima.  Menurut Catatan Tripittaka , kitab suci Buddha berbahasa Tionghoa yang disusun sekira 720 M, ada seorang Biksu Buddha bernama Gunawarman. Sang Biksu datang dari Kashmir ke Kerajaan Jawa pada permulaan abad ke-5 M atas undangan ibu suri. Gunawarman tinggal di Jawa selama kurang dari 25 tahun (396-424 M).  Disebutkan pula, pada pertengahan abad ke-7 M, seorang pendeta Buddha bernama Hui-ning belajar di Ho-ling selama tiga tahun, sejak 664 sampai 667 M. Dia berguru kepada seorang biksu Jawa bernama Jnanabhadra. I-Tsing, seorang biksu dari Tiongokok yang pernah bermukim di Sumatra (Sriwijaya) pada pertengahan abad ke-7 M, juga pernah menyebutkan keberadaan kerajaan itu. Dia mencatat adanya kerajaan Ho-ling sebagai negeri yang memiliki pusat pendidikan agama Buddha Hinayana. Setelah berita adanya utusan pada abad ke-9 M, kerajaan ini tak lagi diketahui beritanya. “Mungkin keluarga Kerajaan Ho-ling kemudian bersatu dengan Wangsa Sailendra. Atau malah mungkin saja Sailendrawangsa itu sebenarnya penerus Kerajaan Kalingan,” tulis Agus. Bagaimanapun, seperti kata Groeneveldt, berkat Ho-ling dan Ratu Sima, Jawa memiliki reputasi sebagai negara yang kuat dan terorganisasi. Pun dia memiliki kebudayaan yang memadai.

  • Depati Amir, Pahlawan Nasional dari Pulau Timah

    UNTUK kali pertama, Provinsi Bangka Belitung menyumbangkan seorang pahlawan nasional. Ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menetapkan enam nama baru pada tahun ini. Salah satu di antaranya ialah tokoh asal Pulau Bangka, Depati Amir.  “Secara kultural, Depati Amir sebenarnya telah diakui sebagai pahlawan bagi masyarakat Bangka. Namanya diabadikan sebagai nama bandar udara di sana,” kata sejarawan dan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman kepada Historia . Depati Amir lahir di Mendara, Bangka tahun 1805. Leluhurnya merupakan bangsawan Bangka yang mengabdi pada Kesultanan Pelembang. Amir berayahkan Depati Barin, pemimpin lokal dengan wilayah kekuasaan Kampung Mendara dan Mentandai. Istilah depati sendiri mengacu pada jabatan tradisional setara kepala sebuah atau beberapa desa. “Depati adalah gelar yang diberikan Sultan Palembang kepada para elite di Bangka,” tulis Erwiza dalam Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung. Pada 1830, Amir diangkat sebagai depati menggantikan Barin, ayahnya. Pengangkatan itu, menurut Erwiza, bukanlah posisi yang didamba Amir. Dia lalu minta berhenti dan memilih jadi orang biasa yang bebas. Meski demikian, Amir tetap memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Bangka. Ketokohan Amir ini menyebabkan pemerintah kolonial Belanda kerap menaruh curiga. Perlawanan Amir kepada Belanda beranjak dari persoalan pribadi. Ini menyangkut urusan kocek dan kepentingan keluarga. Kehadiran Belanda yang mengeruk timah di wilayah kekuasaan ayahnya menyulut bara api bagi Amir sekeluarga. Amir kecewa ketika tuan kongsi (juragan dagang) Belanda di Sungailiat enggan memenuhi tuntutan Amir sebesar 150 gulden, yakni utang pemerintah Belanda kepada ayahnya. Menurut A.A. Bakar dalam Barin, Amir, Tikal: Pahlawan Nasional Yang Tak Boleh Dilupakan , utang Belanda tersebut merupakan sisa harga timah yang dijual oleh Barin kepada tuan kongsi namun belum dilunasi. Kejadian ini bersamaan waktunya ketika parit-parit timah swasta masih banyak. Parit milik Barin adalah yang terbesar di daerah Merawang. Permintaan Amir dimentahkan pemerintah Belanda. Amir mengancam akan menyerang dan menghancurkan Sungailiat dan Merawang. Amir bahkan menambah tuntutannya menjadi 600 gulden setahun dengan alasan ia berhak mendapatkannya selaku putra depati. Residen Belanda di Bangka, F. van Olden, menilai sikap Amir hanya untuk memprovokasi situasi di kawasan itu. Sejumlah pejabat penting dikerahkan untuk meringkus Amir. Mereka antara lain, Kepala Polisi Letnan Campbell, kepala kongsi Belanda di Pangkal Pinang De Bley, dan Kepala Jaksa Demang Arifin. Semuanya tak mampu menangkap Amir.   Tak dinyana, rakyat Bangka mendukung Amir. Banyak dari penduduk kampung Bangka yang mengalami tekanan akibat kerja rodi membangun infratruktur untuk kepentingan birokrasi kolonial. Selain warga Melayu Bangka, kuli-kuli parit timah asal Tionghoa ikut berjuang bersama Amir. Lewat jaringan ini, penyelundupan senjata lewat Singapura yang dibarter dengan timah dapat diperoleh pasukan Amir untuk mempersenjatai diri. Sejumlah demang (pemimpin lokal) dan batin (penghulu adat) berpegaruh juga jadi sekutu Amir. Demang Suramenggala dan Terentang membantu dalam penyediaan senjata, lembing, dan keris. Haji Abubakar, pemuka masyarakat, secara terang-terangan memihak Amir. Urusan tempur, Amir dibantu para panglima seperti Budjang Singkip, Kai Sam, Bangul, Tata, Darip, dan Dahan. Mereka secara tegas melawan beberapa penguasa lokal yang memihak Belanda. Anak-anak buah Amir ini pada 19 Desember 1848 berhasil menangkap putra Batin Mendo Timur di kampung Lukok. Kampung Lukok ikut dibakar. Perlawanan Amir lantas meluas ke berbagai wilayah di sepanjang pantai timur Bangka: Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, Sungailiat. Amir dan pasukannya terus bertahan dari buruan dengan menggalakkan pertempuran kecil satu demi satu. Pemberontakan Amir menjadi isu yang cukup serius di Hindia Belanda seperti dicatat pejabat kolonial dalam Koloniaal Verslaag tahun 1851 dan 1852. Belanda yang kewalahan sampai harus mendatangkan pasukan tambahan dari Palembang dan Batavia. Residen van Olden dalam bukunya De Muiterij van Amir op Banka 1850 menulis satu kisah lengkap tentang perlawanan Amir. Banyak tentara Belanda yang menemui ajal lantaran jebakan-jebakan tak terduga, seperti termakan racun. Selain itu, pasukan Amir diuntungkan dengan mewabahnya penyakit disentri yang saat itu disebut “Demam Bangka” di kalanganan tentara Belanda.     Perlawanan Amir baru dapat ditumpas sesudah dilakukan taktik menohok dari belakang.  Belanda menyuap uang sebesar 1000 dollar Spanyol kepada 7 orang panglima dan 36 pasukan. Mereka terpaksa menyerah lantaran kekurangan logistik dan kelelahan fisik dalam menjalankan perang gerilya. Pada 7 Januari 1851, Amir berhasil ditangkap dalam kondisi sakit di distrik Sungaiselan.  Seperti halnya Pangeran Diponegoro di Jawa, Depati Amir harus mengalami nasib pengasingan karena dianggap pemberontak yang meresahkan. Berdasarkan keputusan tanggal 11 Februari 1851, pemerintah mengasingkan Amir ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebagian pengikut setia Amir juga diasingkan ke  Ambon, Banda, dan Ternate. Setelah pengasingan Amir, Belanda semakin leluasa menjarah timah di bumi Bangka. Ditumpasnya perlawanan Amir mempertegas pembentukan dan pengawasan wijken (kampung) di Bangka dan Belitung. Sistem perkampungan ( Wijkenstelsel ) demikian, kata sejarawan Universitas Indonesia, Servulus Erlan de Robert melokalisasi wilayah berdasarkan etnis untuk memudahkan pengawasan dan meminimalisasi konflik sosial di kawasan tertentu sebagaimana telah dijalankan sejak masa VOC. Amir tak berhenti. Selama di pengasingan, dia tetap berjuang sebagai penasihat perang bagi raja-raja Timor yang juga sedang berjuang melawan penguasaan kolonial. Pada 28 September 1869, Amir wafat dan dimakamkan di Pemakaman Muslim Batukadera, Kupang.

  • Momok Nazi dan Mitos Indonesia dalam Fantastic Beasts

    DI suatu malam tahun 1927, Gellert Grindelwald (Johnny Depp) menghirup udara bebas. Sang penyihir hitam kelas kakap itu melarikan diri dibantu para pengikutnya saat MACUSA atau Kongres Sihir Amerika Serikat berusaha membawanya ke London untuk diadili. Dengan bebasnya Grindelwald, momok teror kejahatan tumbuh lagi dan mengancam, tak hanya dunia sihir, tapi juga dunia manusia biasa. Prolog itu disajikan sutradara David Yates sebagai pengantar sejumlah premis dan klimaks film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald , seri kedua dari trilogi Fantastic Beasts yang juga masih bagian dari “semesta” Harry Potter karya JK Rowling. Plotnya terkonsentrasi pada upaya tokoh utama Newt Scamander (Eddie Redmayne) bersama seorang muggle (sebutan manusia di dunia sihir) yang juga veteran Perang Dunia I, Jacob Kowalski (Dan Fogler). Keduanya berupaya membantu saudaranya, Theseus Scamander (Callum Turner) dan gadis pujaannya, Tina Goldstein (Katherine Waterstone), dua Auror Kementerian Sihir Inggris, untuk menangkap kembali Grindelwald sebelum terlambat. Grindelwald berambisi menciptakan perang, tidak hanya melawan otoritas-otoritas sihir namun juga para manusia dengan goal yang mainstream : menguasai dunia. Premisnya bersengkarut dengan eksistensi Credence Barebone (Ezra Miller) bersama Nagini (Claudia Kim) yang baru saja melarikan diri dari seorang pemilik sirkus. Credence yang penasaran mencari asal-usul dirinya, didekati Grindelwald yang menganggapnya punya kemampuan sihir tinggi. Grindelwald ingin memanfaatkan kemampuan Credence untuk menghabisi musuh bebuyutannya, Profesor Albus Dumbledore (Jude Law). Sebab, Dumbledore diam-diam membantu Newt berangkat dari London ke Paris untuk mencari Grindelwald meski Newt tengah “dicekal” ke luar negeri lantaran acap tak patuh pada Kementerian Sihir Inggris. Klimaksnya, Grindelwald mampu mengumpulkan massa penyihir berdarah murni dan campuran hingga lantas memperlihatkan betapa kejamnya para Auror (aparat otoritas sihir) terhadap para penyihir berdarah murni. Grindelwald kemudian mampu meloloskan diri dari kepungan para Auror setelah membunuh Leta Lestrange (Zoë Kravitz), tunangan Theseus yang juga penyihir berdarah murni, keturunan penyihir ternama Corvus Lestrange. Di ending -nya, David Yates memberi sedikit spoiler tentang kaitan dan apa yang akan terjadi pada seri ketiga Fantastic Beasts 2020 mendatang lewat dua adegan terpisah. Pertama , saat otoritas Kementerian Sihir Inggris bersama Newt mendatangi Dumbledore di Hogwarts jelang perang besar. Kedua , perihal Grindelwald yang mengumpulkan massa dan pasukan sekaligus juga mampu membuat dua sosok berkemampuan dahsyat, Credence dan Queenie Goldstein (Alison Sudol) alias adik Tina Goldstein, berpihak padanya. Bagaimana kisah lengkapnya, tentu Anda mesti menonton sendiri seri The Crimes of Grindelwald ini. Sensasi action dengan efek-efek sihirnya, yang dibangun dengan efek-efek visual ciamik garapan Fremestore dalam porsi besar, akan lebih terasa jika ditonton di bioskop 3D. Terlebih tata suaranya digarap James Newton Howard dengan apik sehingga menambah feel adegan per adegan. Mitos Indonesia dan Perang Dunia Terlepas dari beberapa kritik terkait penulisan dan jalan cerita yang minim twist , The Crimes of Grindelwald cukup menarik, terutama bagi penonton asal Indonesia. Pasalnya, film ini menampilkan makhluk mitos Indonesia bernama Nagini, yang diperankan oleh aktris Korea Selatan Kim Soo-hyun alias Claudia Kim. Rowling sendiri dengan bangga menyebut Nagini merupakan makhluk maledictus, manusia yang dikutuk sebagai siluman binatang yang diambil dari mitologi Indonesia. “Naga adalah makhluk mitos seperti ular dalam mitologi Indonesia, karenanya (dalam film) dinamai Nagini. Kadang mereka digambarkan punya sayap, kadang berwujud manusia setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis, termasuk Jawa, Tionghoa, dan Betawi,” kicaunya di akun Twitter @jk_rowling, 26 September 2018. Karakter Nagini yang diperankan aktris Korea Selatan, Kim Soo-hyun alias Claudia Kim (Foto: Warner Bros Pictures) Karakter Nagini juga diambil dari tokoh pewayangan Dewi Nagagini yang kisahnya bertautan dengan Mahabharata asal India. Menurut Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah , Nagagini merupakan putri raja ular Antaboga yang dikawini untuk jadi salah satu tokoh Pandawa, Bima. Selain pengaitan dengan mitologi Nusantara, dalam The Crimes of Grindelwald sineas amat kentara mengaitkannya dengan fakta historis Naziisme dan Perang Dunia II. Hal itu bisa dilihat dari penyebutan tokoh Grindelwald dengan logat Jermanik (Grindelvald), dan dikaitkan dengan tokoh Adolf Hitler, atau tokoh Albus Dumbledore yang akan menghadapi Grindelwald diibaratkan PM Inggris Winston Churchill, serta markas Grindelwald di Nurmengard diumpamakan seperti Nürnberg/Nuremberg. “Aksi-aksi Grindelwald serupa dengan tahun-tahun di mana Hitler menikmati kekuasaan singkat. Hitler meraih massa dengan menyalahkan kekalahan Perang Dunia I kepada komunis dan Yahudi. Grindelwald juga mengampanyekan perang dengan memanfaatkan mobilisasi massa penyihir berdarah murni, serupa dengan Hitler yang memerangi ras inferior serta mengagungkan darah murni Ras Arya,” tulis Cecilia Konchar Farr dalam A Wizard of Their Age: Critical Essays from the Harry Potter Generation. Sementara, Sara Buttsworth dalam Monsters in the Mirror: Representations of Nazism in Post-war Popular Culture menambahkan, “Grindelwald adalah salah satu figur Hitler (dalam popculture ). Dia menggunakan simbol mistik Deathly Hallows menjadi simbol yang ditakuti sebagaimana Hitler menggunakan simbol mistik Swastika.” Adegan Gellert Grindelwald mengumpulkan massa penyihir berdarah murni (Foto: Warner Bros Pictures) Dalam PD II, Hitler dikalahkan Churchill (Sekutu) pada 1945. Grindelwald juga akan dikalahkan Dumbledore dengan latar belakang era 1945. Lantas, Grindelwald bakal kembali dipenjara di Nurmengard, nama sebuah kastil di Austria yang diibaratkan Nuremberg. Permainan simbol itu makin jelas lewat ironi Kastil Nurmengard, yang dibangun oleh Grindelwald. Hal itu mewakili fakta Nuremberg yang sejak 1933-1938 acap jadi tempat rapat raksasa istimewa Nazi  tapi setelah PD II jadi tempat pengadilan para penjahat perang Nazi. “Grindelwald juga punya slogan ‘For the Greater Good’ (demi kebaikan bersama). Sangat mirip dengan slogan kamp konsentrasi Nazi, ‘Arbeit Macht Frei’ (bekerja untuk kebebasan). Dalam kasus ini, slogan (Grindelwald) bermaksud untuk memperbudak para muggles (manusia),” tandas Christopher E. Bell dalam From Here to Hogwarts: Essays on Harry Potter Fandom and Fiction .

  • Buku Harian yang Hilang

    DARI sebuah lemari, Thea Susetia Kusumo mengambil sebuah buku tebal bersampul coklat muda. Buku itu diperlihatkan kepada Historia kala bertamu ke kediaman sederhanya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Di atas meja kayu tua bertaplak putih sederhana motif renda kembang, buku yang sampulnya mulai lapuk itu diletakkan Thea. Di sampul buku itu tertulis: Gatoet Koesoemohadi’s Dagboek: 12-06-1947 – 20-07-1948. Bersama beberapa foto, buku harian milik suami Thea, Gatut Kusumo Hadi, itu salah satu warisan suami paling berharga. Keseharian Gatut di masa revolusi fisik diabadikan dalam buku itu. Sayang, saat dibuka lembar per lembar, hanya tampak tulisan-tulisan tangan cursive atau huruf-huruf sambung di atas kertas kopian. “Aslinya hilang entah ke mana. Sempat hilang selama 50 tahun. Tapi ya masih bersyukur walau hanya kopian. Tulisan di sampul itu yang menuliskannya rekan almarhum semasa TRIP, Pak Sangki namanya,” jelas Thea kepada Historia. Tutup Buku, Usung Senjata Lahir di Purwokerto, 12 Februari 1928, Gatut termasuk beruntung bisa makan bangku sekolahan sejak kecil lantaran ayahnya seorang wedana. Namun, sejak usia 10 tahun dia sudah harus jadi anak yatim. Setelah ayahnya meninggal dan keluarganya tercerai-berai, Gatut pindah bersama saudara tirinya dan melanjutkan sekolah di Malang. Tetapi situasi pelik di Surabaya sejak akhir 1945 membuat Gatut mesti menutup buku pelajarannya dan menggantinya dengan memanggul senjata. Berangkatlah Gatut ke Surabaya untuk menggabungkan diri ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar 49 Darmo yang lantas melebur ke dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur lewat ketetapan Kongres Ikatan Pelajar Indonesia di Madiun, 21 Juli 1946. Mengutip Sagimun Mulus Dumadi dalam Mas TRIP: Dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan , TRIP berkekuatan lima batalyon di lima kota:  Yon 1000 Mojokerto, Yon 2000 Madiun, Yon 3000 Kediri, Yon 4000 Besuki, dan Yon 5000 Malang. Gatut Kusumo sendiri bertanggung jawab mengasuh Yon 1000. Gatut Kusumo Hadi, Komandan TRIP Komando I. (Dok. Thea Susetia Kusumo) Ketika Belanda merangsek sampai ke Mojokerto pada 17 Maret 1947, Gatut bersama Yon 1000 mengungsi sampai ke Madiun untuk bergabung dengan Yon 2000. Kedua batalyon kemudian melebur jadi TRIP Komando I. Gatut dipercaya jadi komandannya. Di Madiun, TRIP Komando I tak hanya harus waspada terhadap Belanda, tetapi juga dari “saudara” sendiri, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). “Dulu Pak Gatut aslinya sosialis, pengagum Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia. Tapi Pesindo itu justru di bawahnya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan di Madiun (dia) ikut melawan Pesindo yang melebur ke Front Demokrasi Rakyat/FDR PKI, membantu TNI Divisi Siliwangi,” lanjut Thea. Kembalinya Dagboek yang Hilang Tak sampai tiga bulan setelah Madiun Affair September 1948, giliran Belanda menggulirkan Agresi Militer II (19 Desember 1948). “Satu saat, kira-kira di daerah Blitar, waktu gerilya pas Pak Gatut dan kawan-kawannya sedang istirahat di satu desa, ternyata desanya ikut dioperasi (penyisiran) Belanda. Buru-buru mereka kabur dan ini ( dagboek ) ketinggalan. Lalu ditemukan tentara Belanda,” imbuhnya. Sampai revolusi selesai, buku harian itu tetap dibawa sang serdadu Belanda yang tak diketahui namanya pulang ke negaranya. Lima puluh tahun kemudian (1999), buku itu baru dikembalikan sang veteran Belanda via Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. KBRI lalu mengirim buku itu ke Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI), kemudian dioper lagi ke Pusat Paguyuban Mas (Markas) TRIP. “Tentara Belanda itu tahu, ini (buku harian) Tentara Pelajar. Wong tulisane boso londo (tulisannya bahasa Belanda). Zaman itu kan yang biasanya fasih tulis bahasa Belanda pasti pelajar. Lalu dikirim ke Jakarta ke LVRI,” sambung Thea. Sempat lama buku itu tersimpan di LVRI Jakarta. Maklum, kata Thea, saat itu di LVRI isinya lebih banyak eks-TNI, bukan Tentara Pelajar, maka tak ada yang mengenal nama Gatut Kusumo. Buku itu baru bisa “teridentifikasi” oleh GS Joewono, rekan sejawat Gatut yang akrab disapa Sangki. Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi. (Randy Wirayudha/Historia) “Pak Sangki yang mengetahui itu punya Pak Gatut ketika diperlihatkan ke Paguyuban Mas Trip di Jakarta. Sebetulnya sempat hilang betulan. Entah waktu masih di LVRI atau Paguyuban Mas Trip. Tapi Alhamdulillah, bukunya sebelum hilang sempat di- copy dan makanya copy inilah yang diberikan Pak Sangki kepada kami di Surabaya,” tambahnya. Kendati sulit dibaca isinya oleh orang awam lantaran berbahasa Belanda dan tulisan tangannya yang juga sulit terbaca, Thea pernah mencoba menerjemahkannya. “Tidak hanya bahasa Belanda, bahkan di beberapa lembar ada yang bahasa Inggris dan Jerman,” ujar Thea. “Isinya lebih kepada curhat-nya Pak Gatut. Kebanyakan ya cerita tentang keluh-kesahnya tentang percintaan sama pacarnya. Tidak ada tentang urusan ketentaraan. Dia ini kan sebelum nikah sama saya punya pacar juga. Tapi pacarnya dilamar tentara yang berpangkat kolonel. Lha , dia (Gatut) enggak punya pangkat, mana ada Tentara Pelajar punya pangkat, jadi pacarnya yang anak seorang bupati dicuri orang, hahahaha …,” kata Thea sambil tertawa lepas. Sayangnya, Gatut tak pernah tahu buku hariannya yang hilang sudah kembali. (Kopian) buku itu baru sampai ke Surabaya pada 1999, sementara Gatut sudah mangkat pada 19 Juni 1996.

  • Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno

    MASA Mataram Kuno meninggalkan monumen-monumen yang spektakuler. Beberapa di antaranya Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Sambisari. Begitu pula di Jawa Timur, candi-candi peninggalan Kerajaan Singhasari dan Majapahit, masih relatif utuh dan bisa dikagumi keindahannya. Di Jawa Barat tak begitu. Beberapa sisa bangunan masa Hindu Buddha memang berhasil ditemukan. Namun letaknya tersebar dan kondisinya tinggal serakan batuan andesit atau bata. Misalnya Kerajaan Sunda Kuno yang berkembang setelah Kerajaan Tarumanegara runtuh pada abad ke-7 M hingga abad ke-16. Tak mudah menyebutkan di mana saja mereka membangun monumennya. Padahal, menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Tatar Sunda Masa Silam Kerajaan Sunda, Kerajaan Sunda Kuno mendirikan banyak bangunan terutama untuk keagamaan. Tempat-tempat suci itu beberapa kali disebut dalam naskah-naskah keagamaan yang hingga kini masih bertahan. Sayangnya, lokasinya belum diketahui secara pasti. Bangunan Tak Beratap Bangunan yang didirikan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat tak sama dengan bangunan yang dibangun oleh Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit. Kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu membangun monumen biasanya berupa candi dan petirtaan. Arsitektur candinya mempunyai bentuk baku, seperti kaki, tubuh, dan atap.  Berbeda dengan bangunan di Tatar Sunda. Kebanyakan bangunan yang ditemukan tak menunjukkan bentuk lengkap: kaki, tubuh, atap, dan bilik serta relung untuk menempatkan arca dewa.  Candi Cangkuang di Garut memang menunjukkan bentuk kaki, tubuh, dan atap. Namun, menurut Agus, candi itu tak bisa dirujuk karena hasil rekonstruksi yang belum pasti kebenarannya. Karenanya candi itu bukan bukti kalau dulu pernah didirikan bangunan candi baku di wilayah Jawa Barat. Dalam makalah “Bangunan Suci pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis”, yang terbit dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Agus Aris Munandar menyebutkan kalau batur tunggal merupakan bentuk dasar bangunan suci pada masa Kerajaan Sunda Kuno. Ciri arsitekturnya hanya satu teras, terbuat dari batu polos, balok batu atau bata. Biasanya mempunyai tangga atau tak mempunyai tangga.  Kemudian ada pula berupa punden berundak. Bentuknya berteras dua, tiga, atau lebih. Terasnya tersusun dari batu polos atau blok batu. Di bagian tengah teras, terdapat tangga menuju teras teratas. Pada kasus situs di puncak Gunung Tampomas, Sumedang, teras teratas dari pundennya dibatasi pagar batu polos.   Ada juga bangunan pertapaan yang belum diketahui secara pasti. Itu bisa berupa gua-gua yang mirip dengan yang ada di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, atau bangunan pertapaan yang terbuat dari bahan mudah lapuk.  “Apa yang disebut kabuyutan dalam naskah Sunda Kuno sebenarnya adalah bangunan yang mempunyai bentuk dasar demikian, tapi sangat mungkin dilengkapi dengan arca dari pantheon Hindu atau arca bercorak megalitik yang menggambarkan perwujudan leluhur,” tulis Agus. Kalau dibandingkan, bentuk bangunan era Sunda Kuno justru mirip bangunan era akhir Majapahit. Khususnya jika membandingkan beberapa bangunan suci dari masa yang relatif sama. “Terutama ketika Majapahit sedang berjaya, sebagai negara adikuasa di Nusantara saat itu, tak heran kalau Majapahit menjadi acuan bagi wilayah lain di Nusantara, termasuk bagi Kerajaan Sunda,” jelas Agus.  Bahan Tak Tahan Lama Pada masa akhir Hindu-Buddha berkembang bentuk punden berundak yang banyak dipakai sebagai tempat pemujaan. Bangunan-bangunan di Gunung Penanggungan, misalnya, bentuknya punden berundak atau gua pertapaan.  Umumnya, mereka terbuat dari balok batu yang terdiri atas empat teras yang dibangun bersandar pada kemiringan lereng. Gunanya sebagai karsyan , di mana para agamawan atau rsi bermukim dan mengasingkan diri dari keramaian dunia.  Mirip dengan itu, Situs Astana Gede, Kawali, Ciamis (abad ke-14 M) juga memiliki halaman yang berundak-undak. Di sana ditemukan batu-batu bagian dari suatu bangunan yang tahan lama.  Sangat mungkin di kompleks itu terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari bahan yang tak tahan lama. Sebab Prasasti Kawali I menyebut Raja Wastu Kancana pernah bertapa di sana. Padahal, di Kawali tidak ditemukan gua untuk bertapa seperti di Gunung Penanggungan. Jadi, tempat bertapanya kemungkinan bangunan sederhana.  “Jelas di Situs Kawali ada bangunan pertapaan. Bangunan itu tidak permanen, mungkin hanya berbentuk rumah panggung yang ditutup dinding kayu atau terbuka,” jelas Agus.  Banyaknya bangunan yang dibuat dengan bahan mudah lapuk itu juga yang menjadikannya tak lagi tersisa. Misalnya Situs Batu Kalde, menurut BPCB Serang, diperkirakan memiliki arsitektur yang dikelilingi pagar berdenah persegi panjang. Struktur pecahan batu kapur dipakai sebagai pondasi dan balok-balok batu di bagian atasnya. Di sana, tak dijumpai batu-batu yang menunjukkan bekas bagian tubuh atau atap candi. Menurut Agus, candi di daerah Pananjung, Pangandaran itu mungkin dulunya batur terbuka. Lalu di atasnya diletakkan objek pemujaan. Struktur atapnya menggunakan bahan yang cepat rusak. Misalnya tiang dari bambu atau kayu, dan penutup atap dari ijuk. Tentu saja yang bertahan hingga sekarang hanya bagian baturnya.  Meski begitu, menurut Agus, bukan berarti tak ada bangunan candi yang bertubuh lengkap di Jawa Barat. Namun, jika melihat hanya dari penyebutannya di karya sastra keagamaan dan sumber tertulis lainnya dari masa Sunda Kuno, agaknya pencarian terhadap bangunan candi utuh seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menjadi sia-sia.

  • Pemerintah Hindia Belanda Fobia pada Diponegoro

    MUHAMMADIYAH pernah mengadakan kongres di Jogjakarta pada 8—16 Mei Mei 1931. Selain mengajak segenap kader untuk ikut, terselip pesan propaganda yang unik. Salah satu pamfletnya memajang gambar Pangeran Diponegoro tengah menunjuk sebuah masjid. “Itu adalah Diponegoro karya lukisan Bik yang menunjukkan jalan ke Masjid Agung,” kata sejarawan Peter Carey seraya menunjuk pamflet tadi dalam pameran pendahuluan “Kamar Diponegoro” di Museum Sejarah Jakarta, Kota Tua, Jakarta Pusat, 12 November 2018. Pemerintah Hindia Belanda menjadi fobia. Sosok Diponegoro seakan hidup kembali. Untuk mencegah gerakan massa, aparat kolonial yang jengkel membakar semua pamflet atau apapun yang berbau Diponegoro. Adalah Suwardi Suryaningrat orang pertama yang “membangkitkan” Diponegoro setelah wafat di Makassar 8 Januari 1855. Suwardi dikenal sebagai aktivis Indische Partij yang mendirikan sekolah bumiputra Taman Siswa. Sebagai seorang nasionalis, Suwardi menanggalkan status kebangsawannya dan lebih kondang dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Pada awal 1923, Suwardi pernah menulis surat terbuka tentang pentingnya memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro. Surat itu ditujukannya kepada pemimpin dan pengusaha bumiputra. Menurut Suwardi, seyogianya hari wafat Diponegoro jadi memori bersama bagi semua anak negeri di Hindia Belanda. Seruan dalam suratnya pun cukup berani. “Saudara-saudara yang dimuliakan! Bagi kita semua, tanggal 8 Februari adalah tanggal yang amat penting. Hari itu adalah hari peringatan, hari kesedihan bagi anak negeri ini. Khusus untuk orang Jawa. Kenapa? Karena pada tanggal 8 Februari Pangeran Diponegoro yang agung meninggal,” demikian kata Suwardi Suryaningrat dilansir suratkabar Het Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie , 12 Maret 1923. Cuplikan seruan Suryadi Suryaningrat untuk memperingati hari wafatnya Pangeran Diponegoro dalam suratnya yang diwartakanHet Nieuws van het Dag voor Nederlandsch-Indie, 12 Maret 1923. (Martin Sitompul/Historia). Suwardi mengajak agar organisasi kepanduan, sekolah Taman Siswa, ataupun semua orang pergerakan mengabadikan hari wafatnya Diponegoro sebagai hari peringatan umum. Himbauan ini cukup radikal. Di bawah kuasa pemerintahan kolonial, Suwardi melontarkan gagasan untuk menghormati hari wafatnya musuh pemerintah sebagai hari libur nasional.  “Mari kita semua mengingat hari itu dalam emosi - mari kita istirahatkan urusan kita sementara - seperti sekolah, dan mengatakan pentingnya hari ini kepada semua teman-teman,” demikian Suwardi mengakhiri suratnya. Menurut Peter Carey, Suwardi salah menuliskan tanggal kematian Diponegoro (8 Februari). Yang benar adalah 8 Januari. Kesalahan ini mungkin muncul karena kabar simpang siur dari pers Hindia Belanda perihal berita meninggalnya Diponegoro di Makassar. Java Bode menyebutkan 31 Januari 1855; Javasche Courant menyebutkan 3 Februari 1855. Namun nyatanya, seruan Suwardi ini malah diikuti oleh berbagai organisasi pergerakan. Diponegoro dijadikan sebagai ikon perjuangan kaum pergerakan nasional bahkan lintas ideologi. Strategi propaganda demikian cukup ampuh bikin pemerintah kolonial jadi gusar. “Jadi dia tidak dilupakan oleh pihak komunis, pihak nasionalis, dan dari pihak Islam, dia dijunjung tinggi.  Dan Belanda menjadi resah,” kata Carey. “Kalau kita pajang gambar Diponegoro bisa ditangkap oleh polisi Hindia Belanda sebab ini menunjukkan salah satu pembangkangan.”

  • Pahlawan bukan Superhero

    GENERASI sekarang terasing dengan sejarah bangsanya. Ada jarak menganga antara mereka dengan sejarah bangsanya. Keterpisahan mereka berpangkal dari metode pengajaran sejarah yang membosankan di sekolah. Akibatnya warisan berharga sejarah bangsa berupa nilai-nilai kepahlawanan tak sampai ke benak generasi sekarang. “Di SMA saya diajari oleh guru sejarah yang membawakannya secara kronologis. Soal-soal tahun yang disebutkan, itu kemudian yang jadi soal ujian. Jadi kita melihat sejarah itu jadi tegang,” kenang Hanung Bramantyo, sutradara film bertema sejarah, dalam talkshow Hari Pahlawan di Museum Nasional, Jakarta, 17 November 2018. Hanung mengaku bahwa dia penyuka sejarah. Ketertarikannya pada sejarah berpunca dari masa SMP. Dia bertemu dengan guru sejarah yang piawai bercerita. “Guru saya tidak pernah tanya tentang tahun. Dia bercerita kayak orang curhat, cerita tentang Sukarno kecil seperti apa,” tutur Hanung. Hanung kemudian terdorong belajar sejarah lebih lanjut. “Saya mencari buku-buku para tokoh,” lanjut Hanung. Tapi di SMA kegemarannya terhadap sejarah agak terganggu. Metode pengajaran gurunya lebih kaku. Peristiwa ini mengendap di benak Hanung hingga dewasa dan bekerja sebagai sineas. Dia berpikir untuk membuat jembatan antara generasi sekarang dengan masa lalunya. Jembatan itu berupa film bertema sejarah. Hanung melanjutkan bahwa orang sering melihat pahlawan bangsa sebagai superhero . Sempurna dan tiada cela. Nyaris bukan seperti manusia dan hanya memiliki satu sisi. Ini menyebabkan orang susah menggapai nilai-nilai pahlawan bangsanya. “Pahlawan sejatinya manusia biasa. Mereka mempunyai sisi humanis selaiknya orang kebanyakan,” terang Hanung. Mereka kadang merasa takut, cemas, khawatir, dan bimbang. Tapi mereka mampu mengalahkan keadaan tersebut. Inilah sebenarnya gambaran pahlawan. Seseorang yang dekat dengan kehidupan banyak orang dari beragam zaman. Hanung berusaha mengangkat sisi humanis sosok pahlawan dalam sejumlah filmnya. Antara lain Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2016), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Film-film Hanung menuai banyak kritik dari sejarawan dan peminat film. Kritik berkutat pada soal objektivitas dan keakuratan kisah. Hanung menjawab kritik itu. “Film bertema sejarah itu tidak bisa objektif. Justru harus subjektif,” kata Hanung. Hanung mengibaratkan filmnya sebagai ruang tafsir terbuka. Tujuannya adalah merangsang orang belajar sejarah setelah menonton film, bukan membuat orang belajar sejarah melalui film. Aktualisasi Sejarah Triana Wulandari, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mengakui ada masalah dengan pengajaran sejarah di sekolah. “Kurikulum dan guru-gurunya memang masih bermasalah . Itu memang masalah yang terus menerus menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” kata Triana. Triana menjelaskan banyak guru sejarah bukan berlatar pendidikan sejarah. “Ini masalah fundamental,” ungkap Triana. Sejarah memang ilmu terbuka. Siapa saja bisa mempelajarinya. Tetapi tenaga pengajarnya tetap harus memiliki kecakapan di bidangnya. Kecakapan ini diukur lewat jenjang pendidikan sejarah.   Triana sepakat dengan pandangan Hanung bahwa pengajaran sejarah harus kontekstual. Maksudnya, sejarah mesti punya relevansi dengan generasi sekarang. Sejarah tidak bisa lagi diajarkan sebatas hapalan angka tahun dan nama. Sejarah tidak boleh lagi berjarak dengan generasi sekarang. Pahlawan tidak dapat lagi dipandang sebagai sosok superhero . Sejarah terjadi pada masa lalu, tetapi nilai-nilai kepahlawanan selalu aktual sepanjang zaman. “Nilai-nilai itu antara lain keberanian, berbuat kebaikan tanpa pamrih, dan semangat bersatu yang tinggi. Kita juga harus mengangkat sisi-sisi humanis mereka,” tutur Triana. Triana yakin sejarah adalah media untuk menghadirkan nilai-nilai kepahlawanan dan sosok humanis pahlawan dalam tiap zaman pada banyak orang. Sejarah adalah jembatannya. Triana bersama orang-orang di Kemendikbud terus mengupayakan jembatan itu. “Kami dari Direktorat Sejarah sudah berangsur ingin memberikan terobosan. Misalnya bagaimana guru-guru sejarah bisa menggali sejarah lokal.” Kelokalan berarti kedekatan seseorang dengan tempat dimana dia hidup. Ini menjadi penting mengingat apa yang dekat adalah apa yang mudah dipelajari. Pengajaran sejarah hari ini tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Triana menyadari generasi sekarang adalah generasi gawai dan melek teknologi. Generasi hari ini karib dengan beragam aplikasi dan bentuk audiovisual lainnya. Maka Triana berupaya mendekatkan sejarah kepada generasi sekarang dengan mengembangkan aplikasi dan film pendek bertema sejarah. Pahlawan Hari Ini Maidina Rahmawati, pembicara termuda dalam talkshow , berbicara tentang relevansi nilai-nilai kepahlawanan pada hari ini. Menurutnya, nilai-nilai kepahlawanan tak banyak berubah dari zaman ke zaman. Yang berubah ialah medan juang dan lawannya.   “Jika pahlawan dulu dahulu berjuang melawan penjajah, menghapus ketidakadilan akibat penjajahan pihak asing, dan memperjuangkan kemerdekaan, maka perjuangan hari ini bisa berupa melawan kekerasan seksual,” tutur Maidina. Dia aktif sebagai peneliti dalam Institute for Criminal Justice Reform. Maidina menyebut sosok Baiq Nuril sebagai salah satu pahlawan hari ini. Baiq Nuril adalah seorang guru di Nusa Tenggara Barat. Dia korban kekerasan seksual seorang kepala sekolah. Dia berupaya melawan laku durjana tersebut. Tetapi dia justru jadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Mahkamah Agung memutuskan Baiq bersalah. Kepala sekolah di tempat Baiq Nuril mengajar, justru lepas dari semua tuduhan. Dia memperoleh kenaikan jabatan. Karuan aktivis sosial, pegiat hukum, tetangga Baiq Nuril, dan warga biasa meradang dengan keputusan tersebut. Mereka membela Baiq Nuril. “Sikap-sikap positif seperti ini, memperjuangkan keadilan, menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan masih ada,” kata . Maidina. Lawan para pahlawan hari ini bukan lagi penjajah, melainkan orang-orang yang melakukan perbuatan lancung, durjana, dan korup. Kelak nama-nama mereka akan tercatat dalam sejarah masa depan untuk dipelajari generasi esok hari.   Hanung dan Triana berpendapat serupa dengan Maidina. Menurut mereka, nilai-nilai kepahlawanan sangat dekat. Pahlawan bisa siapa saja. Pahlawan seharusnya bukan sosok asing di antara generasi sekarang. Melalui sejarah, mereka tidak terkubur dalam masa lalu. Mereka melakukan perbuatan positif sesuai kapasitas dirinya dan berdampak besar untuk pribadinya sekaligus orang sekitar. Itulah pahlawan, kemarin atau hari ini

bottom of page