Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pertemuan Soeharto dan Dewi di Lapangan Golf
TAK lama setelah menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto bertemu dengan Ratna Sari Dewi di lapangan golf di Rawamangun, Jakarta Timur. Pertemuan itu diatur dengan hati-hati mengingat Dewi adalah istri Presiden Sukarno.
- Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
MESUT Özil, playmaker Jerman, memutuskan pensiun membela timnas Jerman. Playmaker berdarah Turki itu sakit hati dan menumpahkan curhat -nya panjang lebar via akun Twitter pribadi, @MesutOzil1088, Minggu (22/7/2018). Özil merasa dikambinghitamkan secara politis terkait kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018. Fotonya bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Ilkay Gündoğan, yang juga pemain Jerman berdarah Turki, di sebuah acara amal di London, Inggris pada 14 Mei 2018 diungkit oleh sejumlah fans, media Jerman, dan terutama Presiden DFB (Induk Sepakbola Jerman) Reinhard Grindel. “Saya takkan lagi bermain untuk Jerman di level internasional, di mana saya mengalami rasisme dan sikap tidak hormat. Di mata Grindel dan para pendukungnya, saya hanya jadi orang Jerman saat kami menang, namun saya dianggap imigran saat kami kalah,” ketus Özil. Banyak yang bersimpati, namun banyak pula yang ikut mengkritik Özil. Pengamat dan kolumnis sepakbola berdarah Jerman Timo Scheunemann memaparkan, kasus itu mestinya tak jadi besar kalau sedari awal Özil memberi klarifikasi. Mesut Ozil (kedua dari kiri) yang berfoto bareng Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan (kedua dari kanan) beserta Ilkay Gundoğan (kiri) & Cenk Tosun (Foto: Kantor Berita Anadolu Agency) “Foto itu dikritik pedas karena timing -nya sebelum pemilihan presiden Turki. Di Jerman banyak orang Turki sehingga Özil sengaja atau tidak, tentu membantu Erdoğan meraup suara di Jerman. Dalam pernyataannya, Özil membenarkan atau sama sekali tidak mengakui kesalahannya. Beda dengan Gündoğan. Alasan Özil tak melakukannya secara politis naif karena dari sisi sang politisi pasti menggunakan momen tersebut,” ujar sosok yang biasa disapa Coach Timo itu kepada Historia. Meski manajer timnas Oliver Bierhoff dan pelatih Joachim Löw tak menanggapi isu foto itu secara serius sejak awal, sikap diam memicu keresahan di internal Die Mannshaft . “Mereka seharusnya bisa menyuruh Özil membuat pernyataan demi ketenangan dalam tim,” lanjutnya. Alih-alih menjelaskan, Özil malah menyatakan media-media Jerman berstandar ganda lantaran tak memberitakan buruk foto legenda Jerman Lothar Matthäus bersama Presiden Rusia Vladimir Putin. Bagi Timo, kasus Özil dan Matthäus harus dibedakan konteksnya. “Matthäus tak menulis ‘My President’ dan tidak dalam konteks kampanye. Meski Putin juga sangat dikritik di Jerman. Sementara pernyataan ‘My President’ yang ditulis Gündoğan secara tidak langsung diamini Özil, tidak disertai pernyataan seperti contohnya: ‘Tapi saja juga cinta Jerman, kok ’,” sambung Timo. Meski ada hak Özil untuk mendukung Erdoğan –sosok presiden yang oleh publik Jerman dianggap menindas kebebasan pers– sekalipun, diamnya Özil saat foto itu jadi isu politis membuat suasana jadi keruh. “Tidak benar media Jerman mengkritik asal-usul bahkan agama. Kebetulan saya sedang di Jerman dan melihat sendiri kritikan pada Özil. Intinya, dia main jelek dan tidak memberikan penjelasan soal foto. Kalau soal Grindel, bos DFB itu juga dikritik keras. Pakar-pakar bola Jerman menganggapnya amatiran,” lanjutnya. Muasal Imigran Turki di Bumi Jerman Masyarakat berdarah Turki sendiri, sebagaimana dituangkan David Horrocks dan Eva Kolinsky dalam Turkish Culture in German Society Today , merupakan etnis minoritas terbesar di Jerman dengan sebutan Deutsch-Türken. Mereka sudah menetap permanen di beberapa wilayah Jerman pasca-Pertempuran Wien (kini ibukota Austria) antara Koalisi Kristen (Polandia, Lithuania, Austria, Bavaria, Swabia, Saxony, Franconia, Habsburg Hungaria, dan Zaporozhian) melawan Kesultanan Usmani, 12 September 1683. Mereka kemudian mulai dirangkul. Sejumlah orang Turki di Jerman dijadikan serdadu bayaran Kerajaan Prusia pada 1701. Jørgen Nielsen dalam Muslims in Western Europe menuturkan, jumlah terbesar serdadu muslim berdarah Turki di bawah panji Prusia mencapai 1000 orang, yang ditugaskan di unit kavaleri di bawah Raja Frederick William I. Itu berlanjut terus, termasuk saat Prusia diperintah Frederick II. Masyarakat etnis Turki rutin menggelar Türkischer Tag atau Hari Turki sejak 2002 di Berlin (Foto: Wikimedia) “Semua agama sama baiknya, selama mereka bersikap tulus dan bahkan jika orang Turki ingin jadi bagian dari populasi di negeri ini, kami akan membangunkan masjid dan tempat-tempat persembahyangan bagi mereka,” cetus Frederick II pada 1740, dikutip Otto Bardon dalam Friedrich der Grosse. Kata-kata itu terealisasi pada 1779 kala masjid pertama di Jerman dibangun di kompleks Istana Schwetzingen. Pada 1798, situs pemakaman muslim pertama dibangun dalam rangka memakamkan Ali Aziz Efendi, seorang utusan Kekaisaran Ottoman. Hingga abad ke-20, kultur Turki mulai berbaur dalam masyarakat Jerman. Hubungan politik Jerman dan Turki-Usmani kian erat setelah bermitra dalam Perang Dunia I. Bangkitnya Jerman pasca-Perang Dunia II tak lepas dari peran orang-orang Turki. Saat Jerman mengalami krisis buruh pada 1961, pemerintah Jerman Barat meneken perjanjian dengan pemerintah Republik Turki mengenai perekrutan buruh dengan dengan status Gastarbeiter atau buruh tamu. Para buruh itu diperkenankan membawa keluarga untuk bekerja di Jerman. Tumbuhnya komunitas Turki kian meningkat setelah eksodus orang-orang Turki dari Bulgaria pada 1974. Terlepas dari adanya sentimen anti-imigran dari kelompok sayap kanan Jerman, sejak 1990 para buruh Turki mulai mengajukan naturalisasi menjadi warga Jerman jika sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Undang-Undang Kewarganegaraan Jerman. UU itu memperbolehkan naturalisasi dengan syarat seseorang tidak boleh memiliki status dwi-kewarganegaraan. “Kalau kita mengizinkan dwi-kewarganegaraan, tak lama lagi akan ada empat, lima atau enam juta orang Turki di Jerman, bukannya tiga juta,” cetus Kanselir Jerman Helmut Kohl pada 1997, dikutip Philip L. Martin dalam Germany: Managing Migration in the Twenty-First Century . Namun, UU Kewarganegaraan 1999 menetapkan, orang-orang Turki baru bisa mengajukan status warga negara setelah delapan tahun tinggal di Jerman. Sementara, keturunannya tetap diperbolehkan memegang dwi-kewarganegaraan sampai usia 23 tahun dan harus memilih antara Turki atau Jerman setelahnya. Mehmet Scholl, pemain berdarah Turki pertama di Timnas Jerman (Foto: dfb.de) Khusus untuk atlet sepakbola, “naturalisasi” mulai eksis sejak 1993 kala timnas Jerman menjadikan Mehmet Yüksel sebagai pilarnya. Gelandang Bayern Munich kelahiran Karlsruhe, 16 Oktober 1970 itu ibunya, Hella, seorang Jerman dan ayahnya, Ergin Yüksel, seorang Turki. Nama belakangnya berganti “Scholl” setelah ibunya bercerai dan menikah lagi dengan pria asli Jerman, Hermann Scholl. Scholl membuka jalan bagi banyak pemain berdarah Turki lain yang mengikuti jejaknya masuk timnas Jerman. “Makanya saya juga menyayangkan hal yang relatif kecil bisa jadi besar. Soal Özil, karena tidak langsung beri penjelasan: 'Maaf, tak ada maksud politis. Saya sendiri cinta Jerman dan Turki'. Bahwa ada orang rasis (di Jerman), tentu iya. Sayangnya di seluruh dunia juga ada manusia-manusia bumi datar seperti itu. Tetapi menggambarkan Jerman dan DFB rasis, tentu kelewatan,” tandas Timo.
- Gerak Laju Sejarah Roda
SEBUAH roda memainkan peranan besar dalam moda pengangkutan dan transportasi. Sebelum ditemukan roda, manusia menggunakan binatang untuk menarik beban. Pada bangsa Indian Amerika, misalnya, beban ditempatkan pada rangka kayu, membentuk huruf “A”, yang diikat dengan tali dari kulit ke tubuh anjing atau lembu. Bangsa Prancis yang datang di Amerika menamakannya bingkai beban ini travois . Namun, sejatinya, roda sudah digunakan bangsa Aztec di Meksiko tapi lebih untuk membuat mainan tembikar, bukan bagian dari alat transportasi. Bangsa Mesopotamia juga membuat periuk dan mangkuk dari tanah liat yang dibentuk di atas roda yang diputar dengan tangan. Kebutuhan akan moda transportasi dan pengangkutan yang lebih efisien kemudian membawa manusia pada penciptaan roda. Roda Balok Kayu Untuk memindahkan beban yang lebih berat, manusia menggunakan teknik menyeret beban. Balok kayu utuh dipilih sebagai alas untuk menggeser beban berat, misalnya batu besar. Bangsa Mesir kuno melakukannya ketika membangun piramid, 4000-3000 SM. Beberapa balok kayu diletakkan di bawah beban. Ketika beban ditarik maju oleh tenaga hewan, balok yang telah dilewati segera dipindahkan ke bagian depan. Begitu seterusnya hingga beban sampai ke lokasi yang diinginkan. Roda Kayu Bergalur Bukan hanya mengandalkan balok kayu sebagai alas, manusia juga mulai menggunakan semacam kereta luncur. Balok kayu utuh tetap digunakan, diletakkan membujur di bawah kereta. Untuk menjaga kereta tetap di tempatnya, dibuatlah takik pada balok kayu. Dari sinilah cikal-bakal penggunaan roda sekaligus kereta beban. Berkembang sekira 3500-3000 SM, bangsa Sumeria diperkirakan yang mengembangkan kereta beban ini. Mereka, sebagaimana penemuan sebuah kereta dalam kompleks makam Puabi di daerah Ur, membuat kendaraan sederhana dengan dua dan empat roda. Gandar Poros Kayu Dengan membuat takik pada balok kayu, diharapkan roda dapat bergerak dengan kecepatan sama. Namun ternyata roda kayu tak dapat menggelinding atau berputar sempurna, seringkali hanya tergelincir. Kemudian takik tersebut diperluas hingga membentuk seperti gandar atau sumbu penghubung dua roda. Tympani Karena roda yang menyatu dengan porosnya punya kelemahan, muncullah ide memisahkannya. Dibuatlah roda dari kayu berbentuk lingkaran. Di tengahnya disediakan lubang sebagai tempat poros. Guna menjaga roda tak terlepas dari poros, dipasang semacam pasak pada ujung poros. Roda ini sangat tebal dan berat, serta tak dapat melaju kencang. Bangsa Romawi kuno menyebut model ini, yang digunakan sebagai gerobak pertanian, dengan nama tympani . Diceritakan, saat Julius Caesar memasuki daratan Inggris, sekira 55 SM, dia menemukan lukisan yang memperlihatkan masyarakat kuno Inggris telah menggunakan model roda bentuk ini pada kereta tempurnya. Pelek Roda Kayu menjadi bahan utama untuk membuat pelek, sumbu roda, dan pasak. Namun, model ini menimbulkan suara berdecit. Untuk mengurangi suara itu, poros roda dilapisi tembaga dan perunggu. Hingga beberapa lama, pelek dari bahan kayu tetap digunakan. Sekira 1000 SM, pelek dengan bahan logam, seperti pada kereta perang bangsa Celtic, mulai digunakan. Celtic, mulai digunakan. Jeruji Roda Di makam kuno Mesir, tergambar kereta tempur. Pada bagian roda, terlihat sumbu roda yang panjang serta ramping. Bentuk jerujinya terlihat ringan dan artistik. Peleknya menjadi satu dengan jerujinya. Kereta tempur Mesir, sekira 2000 SM, memiliki enam jeruji, sedangkan kereta angkut mempunyai empat jeruji. Penemuan jeruji membuat roda menjadi lebih ringan dan memudahkan bermanuver bagi kereta perang. Bentuk jeruji tak berkembang hingga pada 1802 G.F Bauer mendaftarkan penemuannya berupa susunan banyak kawat jeruji yang menghubungkan pelek dengan poros roda. Pada 1874, James Starley dari Inggris mengembangkannya; jeruji roda dipasang saling bersilang, bersinggungan, yang menjadikan roda lebih kokoh. Pelapis Roda Roda berbahan kayu semula diberi lapisan dari logam yang ditempelkan pada pelek. Pemasangan dilakukan pandai besi. Setelah logam menempel keseluruhan, beberapa bagian dipaku agar tak lepas. Selain itu, di beberapa tempat diberi ikatan, berupa plat logam pula, untuk mencegah ban terlepas dari peleknya. Ban Karet Sekira 1839, Charles Goodyear, seorang pemilik roko alat pertanian yang bangkrut, memperkenalkan teknik vulkanisasi untuk mengolah karet menjadi ban atau pelindung roda. Setelah ban solid digunakan sebagai pelapis roda, Robert William Thomson, insinyur muda dari Skotlandia, memperkenalkan ban berisi udara pada 1847. Ban udaranya dipasangkan pada roda kereta yang ditarik kuda. Hasilnya, laju kereta hampir tanpa goncangan. Kemudian, untuk kali pertama, ban berisi udara untuk roda mobil diperkenalkan Andre dan Eduard Michelin, keduanya usahawan dari Prancis, pada 1895. Roda pun menjadi semakin nyaman untuk digulirkan. Sumber: Stephen Bertman , Ancient Mesopotamia ; Edwin Tunis, Wheels A Pictorial History .
- Cerita Sukabumi Saat Agresi
Sebagai kanak-kanak, Hetty Kabir masih ingat situasi di Sukabumi pada 26 Juli 1947. Perempuan kelahiran tahun 1937 tersebut melukiskan bagaimana pagi itu belasan pesawat terbang melayang-layang di atas kota sambil melepaskan bom-bom yang menghancurkan beberapa tempat strategis. “Salah satunya Stasiun Kereta Api Sukabumi yang langsung porak poranda terkena bom Belanda,” kenang putri Mayor Harun Kabir, salah seorang perwira Divisi Siliwangi. Sadar akan bahaya mengancam, siang itu juga sebagian besar masyarakat Sukabumi mengungsi ke luar kota. Sementara itu kekuatan Brigade Surjakantjana yang menjadi penanggungjawab kemananan wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur alih-alih melakukan perlawanan, mereka terpaksa mundur ke arah Nyalindung. Di kota yang terletak antara Cianjur dengan Sukabumi tersebut, bekerjasama dengan para pejabat sipil, mereka lantas mendirikan pemerintahan darurat. Demi Lahan Produksi Dalam bukunya Indonesie, (Indonesia, Belanda dan Dunia), H.J. van Mook menyatakan bahwa suatu operasi militer perlu dilakukan guna menduduki beberapa wilayah yang secara politik dan ekonomi sangat penting bagi Belanda. Sukabumi adalah salah satunya, karena di sana terdapat banyak sumber daya ekonomi berupa perkebunan teh, perkebunan kopi dan perkebunan karet terbesar di Asia Tenggara yakni Perkebunan Cipetir. Dengan mengerahkan sekira 1.000 prajuritnya dari Divisi 7 Desember dan Divisi B, Belanda memulai Operasi Produk (aksi militer untuk merebut sumber-sumber ekonomi) ke Sukabumi pada 21 Juli 1947, lewat tengah malam menjelang dini hari. Mereka bergerak dari arah Bogor dan langsung merangsek ke arah Sukabumi dengan terlebih dahulu menduduki Cigombong, Cicurug dan Cibadak, “Mereka yang berkendaraan dan bersenjatakan meriam anti tank, menerobos secara cepat dan tiba-tiba, melanda segala rintangan yang telah para prajurit TNI pasang di jalan raya,” ungkap A.H. Nasution dalam Sebelum pasukan Belanda mencapai Sukabumi, pasukan TNI yang seharusnya bersiap di dalam kota bahkan sudah menghindar ke luar kota. Hal itu teridentifikasi oleh Batalyon IV dari Resimen Tangerang pimpinan Kapten Kemal Idris yang baru saja sampai Sukabumi dalam perjalanannya menuju Cikampek. Menurut salah satu komandan kompi Yon IV Letnan Satu Marzoeki Soelaiman, saat mereka menapakan kaki di Sukabumi suasana terasa lenggang. Nyaris tak ada anggota TNI atau anggota lasykar yang nampak kecuali beberapa seksi yang terlihat bingung karena tak ada komando. “Saya bahkan dapat cerita dari mereka bahwa komandan TNI yang seharusnya bertahan mempertahankan Sukabumi malah kabur dengan membawa sejumlah perempuan Jerman,” ungkap Marzoeki kepada . Tak ingin menanggung kesalahan tersebut, Yon IV Resimen Tangerang akhirnya meneruskan perjalanan menuju Cianjur. Alih-alih bergerak ke Cikampek dan mengepung Jakarta, Yon IV malah pada akhirnya ditugaskan untuk membuat basis di wilayah selatan Cianjur hingga perang berakhir pada Agustus 1949. Mengungsi ke Nyalindung Dari sektor timur, militer Belanda tetiba merangsek Sukabumi. Satu pasukan pelopor yang dilengkapi satu eskadron kavaleri lapis baja langsung menerobos ke dalam kota dan langsung menguasai pusat pembangkit listrik Ubrug. “Pada 26 Juli secara utuh Sukabumi berhasil dikuasai Belanda,” ujar Nasution. Serangan mendadak pihak Belanda membuat sisa pasukan TNI dan lasykar yang bertahan di dalam kota tak sempat menjalankan aksi bumi hangus. Guna menghindar serangan yang lebih gencar, mereka terpaksa menyingkir ke arah Nyalindung bersama para pengungsi. Detik-detik terkuasainya Sukabumi terekam jelas dalam ingatan Hetty Kabir. Masih segar dalam kenangannya rakyat bersama sebagian kecil tentara berduyun-duyun menuju luar kota dengan berjalan kaki, sementara itu pesawat-pesawat pemburu militer Belanda berterbangan di atas kepala mereka. "Sekali-kali, mereka melempari kami bom dan menembak kami seolah mau mempermainkan kami dalam ketakutan," ujar perempuan yang pernah berkarir di Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan) tersebut. Tentu saja mereka tak berdaya menghadapi serangan-serangan tersebut. Korban pun berjatuhan. Di antaranya tembakan-tembakan senapan mesin 12,7 itu menghabisi satu keluarga seorang letnan Siliwangi. "Termasuk bayi munggil anak bungsu sang letnan yang sering saya goda sepanjang jalan itu ikut tewas juga terkenan bom," kenang Hetty. Sejak Juli 1947, Nyalindung resmi menjadi pusat pemerintahan darurat Republik Indonesia di Sukabumi. Pejabat tinggi Republik yang berkedudukan di Sukabumi yakni Hilman Djayadiningrat sendiri tidak pernah menyusul jajarannya ke Nyalindung. Dia memutuskan untuk bergabung dengan Belanda dan diangkat sebagai gubernur Jawa Barat dalam pemerintahan Hindia Belanda versi van Mook.
- Mencari Jejak Hari Anak
SEJAK 1986, Hari Anak Nasional rutin diperingati setiap tanggal 23 Juli. Sebelumnya, peringatan digelar pada tanggal yang berbeda-beda. Betapa rumit menentukan Hari Anak Nasional.
- Bung Karno dan Hari Anak
ANDA mungkin tersenyum haru melihat keakraban Presiden Sukarno dengan anak-anak dalam tayangan video yang sempat menjadi viral tahun lalu. Bung Karno memang dikenal dekat dengan anak-anak. Pada masanya, Bung Karno mengubah sebuah gazebo di tengah lapangan hijau yang menghubungkan Istana Negara dan Istana Merdeka menjadi kelas Taman Kanak-kanak (TK). Putra-putrinya bersekolah di sana. Juga anak-anak dari staf Istana dan penduduk sekitar.
- Kala Koro Dipelajari
SEBELUM JC Blonk mempublikasikan hasil risetnya berjudul “Koro” pada 1895, koro atau penyakit penyusutan ukuran penis tak dikenal dalam dunia medis Barat. “Blonk adalah orang pertama yang mengenalkan penyakit koro dan membuat konsep bahwa koro adalah penyakit mental yang terikat budaya,” tulis Arabinda Chowdhury dalam “Hundred Years of Koro”. Blonk, petugas medis tingkat dua Pemerintah Hindia Belanda, kali pertama mengenal koro saat bertugas di Sulawesi kala mendapati seorang pasien yang mengeluhkan penisnya mengecil. Lantaran mendapati kasus koro hanya di sekitar Bugis dan Makasar, pria lulusan kedokteran militer itu mulai berpikir koro merupakan sindrom terkait budaya. Blonk lalu meneliti koro lewat seorang jaksa penderita koro yang menjadi pasiennya. Menurut David Mitchell, yang meneliti koro sejak 2002, dalam “Curing Koro”, sebelum riset Blonk muncul, koro baru sebatas lema yang dimuat dalam Kamus Bahasa Bugis karya BF Matthes. Dalam kamus itu Matthes memasukkan lema “koro” dengan makna penyusutan. Di kamus itu Matthes juga memasukkan lema “cakkuruq” dan memberi penjelasan lebih spesifik dibanding “koro”. Daeng Cawang, seorang dukun di Sulawesi yang ditemui Mitchell pada 2008, mengatakan nama penyakit penyusutan penis ini dengan cakkuruq. Istilah koro adalah pemendekan dari cakkuruq dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun karena Blonk telanjur salah melafalkan cakkuruq menjadi koro, istilah inilah yang digunakan dalam penelitian medis di berbagai negara. Masyarakat yang mengenal penyakit koro percaya penisnya mengecil secara tiba-tiba meski kadang kembali ke ukuran asal. Akan tetapi mereka ketakutan kalau penisnya sampai masuk ke perut, mereka bisa mati mendadak. Para penderita umumnya mendatangi dukun untuk mengobatinya. Alih-alih memberi pengobatan secara klinis, para dukun sebetulnya hanya mengobati kepanikan pasien mereka. Ketika para sarjana Belanda seperti Blonk mempelajari koro, mereka menolak anggapan alat kelamin pasien benar-benar menyusut. Analisis Blonk bahwa koro merupakan gangguan mental, benar. Penelitian Blonk segera menarik perhatian sarjana Eropa meski minim detail etnografis. Hal itu menjadi sasaran kritik Mitchell. Terlebih, Blonk tidak menyaksikan langsung serangan koro sehingga tidak tahu keadaan fisik pasien ketika serangan terjadi. Mitchell juga mengkritik Blonk menafikan kesaksian para dukun dan pasien selain minim dalam menjelaskan hubungan budaya dan kepercayaan setempat dengan penyakit koro, termasuk peran dukun dalam penyembuhan koro. Menurut Mitchell, kajian Blonk sangat teoritis. “Penyusutan penis ini datang secara tiba-tiba. Para dukun dan pasien juga megaku melihat penis benar-benar mengecil. Kesaksian mereka tidak bisa ditangguhkan, harus diteliti lagi,” kata Mitchell. Pada 1935, JA Slot memperbaiki penelitian Blonk lewat sebuah riset “Koro in Zuid-Celebes”. Dia mewawancara beberapa pasien yang sudah sembuh dan dukun tradisional bernama Daeng Rahing. Dari Daeng Rahing dia mendapat ciri serangan koro, antara lain penderita mengalami ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Slot juga meneliti cara Daeng Rahing menyembuhkan pasiennya, yakni dengan mendengarkan keluhan pasiennya yang amat panik sebelum menenangkan dan menyakinkan bahwa mereka tidak akan mati mendadak hanya karna penis menyusut. Sarjana Eropa lain yang juga meneliti koro di tahun 1930-an adalah Wulfften Palthe. Menurutnya, gangguan psikologis akibat ketakutan penis mengecil bisa berefek pada keluhan fisik. Jadi, ketika seseorang memiliki gangguan psikologis berupa ketakutan penisnya menyusut, itu akan membuat penis mereka menyusut karena pada dasarnya penis akan menyusut ketika pemiliknya merasa takut. Pada 1961-1980, koro mendapat perhatian lebih dari para ahli medis dengan banyaknya laporan kasus. Pada 1980-an, beberapa kasus epidemi koro bahkan ditemukan di Singapura, Tiongkok, dan India. Setidaknya ada 30 laporan kasus yang diterbitkan selama 1960-1980-an dari berbagai belahan dunia, mencakup beragam latar belakang etnis dan berbagai gangguan psikis dan fisik lain. Koro juga menyebar dan ditemukan di beberapa wilayah baru seperti Afrika Selatan, Selandia Baru, Tanzania, Italia, Amerika Serikat, Inggris, Singapura, dan Kanada. Sindrom ini juga menyerang kalangan-kalangan yang sebelumnya belum pernah terjangkiti, semisal Yahudi, Eropa-India, Yunani-Siprus, Haiti, Ethiopia, Zulu, Skotlandia, Jamaika, Nigeria, dan Italia. Chowdhury menyebut kemunculan koro di berbagai wilayah dan etnis baru menandakan masalah psikologis pasien yang lebih condong pada gangguan dismorfik tubuh (gangguan mental yang membuat pasien tidak percaya pada tubuhnya sendiri) daripada sindrom terikat budaya. Namun, riset Chowdury pada 1998 terbantah oleh temuan Mitchell pada 2002 bahwa di semua masyarakat urusan genitalia pria dan perempuan diatur oleh konstruksi budaya. Aturan budaya inilah yang menjadi muasal ketidakpercayaan diri akan bentuk tubuh. Mitchell menyebut, sejak tahun 2000-an, pandangan terhadap koro jadi makin kompleks. Kondisi sosial, budaya, psikologis, dan fisik pasien menjadi faktor yang harus diperhatikan para ahli psikiatri untuk meneliti koro lebih lanjut.
- Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Hanya selebar daun kelor. Begitulah Bung Karno memandang wilayah Papua bila dibandingkan dengan kepulauan Indonesia yang lain. Meski demikian, presiden pertama RI itu tetap berkeyakinan bahwa setengah dari kepulauan ujung timur Nusantara tersebut adalah bagian dari negeri Indonesia. Saat itu, di kalangan Indonesia, Papua masih bernama Irian Barat. Di Belanda disebut Nederland Nieuw Guinea. “Akan tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam otobiografi Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya dipotong begitu saja tanpa membalas sedikitpun? Apakah orang tidak akan berteriak kesakitan, apabila dipotong ujung jarinya sekalipun hanya sedikit?”Klaim Sukarno bukannya tanpa dasar. Sejak zaman kolonial, Papua merupakan bagian dari Hindia Belanda yang dalam pengakuan kedaulatan akan menjadi bagian Republik Indonesia Serikat. Tapi Belanda bersikap bengal. Dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949, Pemerintah Belanda menolak menyerahkan wilayah itu. Alasannya, secara etnis dan kebudayaan, rakyat Irian Barat berbeda dari Indonesia. Sehingga tak ada alasan bagi Indonesia mengklaim Papua. “Mengapa tidak?” tanya Sukarno. “Apakah mereka (rakyat Papua) lebih mirip dengan orang Belanda yang berpipi merah, berambut jagung dan dengan muka berbintik-bintik itu?” Pusat Sengketa Dalam amatan Sukarno, Papua adalah daerah yang sangat terbelakang. Alamnya berupa hutan lebat dengan gunung-gunung pencakar langit dan rawa yang luas. Menurut Sukarno, Papua tak banyak faedahnya bagi Belanda. Keuntungan yang diperoleh Belanda dari tambang minyak bumi belum sebanding dengan biaya untuk mengolahnya. Pengeluaran khusus juga harus dialokasikan untuk membangun kesejahteraan rakyat Papua. Belanda menginginkan Papua hanya karena alasan psikologis sebagai salah satu negara imperialis yang masih ingin berkuasa. “Di samping itu orang Belanda kepala batu,” kata Sukarno. Belanda ternyata tak senaif seperti yang dikatakan Sukarno. Dari sudut keuntungan, Belanda telah bermain hitung-hitungan. Sejak masa kolonial, selain minyak bumi - Belanda telah menyadari kandungan mineral berupa nikel dan tembaga yang cukup besar tersimpan di bumi Papua. Telaah atas kekayaan alam Papua ini tercatat dalam laporan kepala residen Jan van Echoud berjudul ‘ Nota inzake de economische toekomst van Nieuw-Guinea ’ (nota mengenai masa depan ekonomi Nieuw-Guinea). “Perembukan mengenai menambang mineral hampir seluruhnya melalui Den Haag (Pemerintah Belanda di negeri induk), sedangkan diskusi-diskusi tentang pengambilan kayu dan perikanan pada umumnya mengikutsertakan juga gubernemen di Hollandia (pusat pemerintahan Belanda di Papua),” ungkap sejawan cum arsiparis Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Pemerintah Belanda menurut Drooglever, memang bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua. Pada saat yang sama, Indonesia memperjuangkan wilayah itu terintegrasi dalam kekuasaan Republik. Selama tiga belas tahun lamanya Papua menjadi pusat sengketa antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Ibarat Pisau Belati Sukarno sendiri tak pernah beranjak dari seruan “Sabang sampai Merauke” sebagai wujud keutuhan kedaulatan Indonesia. Maka soal Papua adalah harga mati. Seberapa besar arti Papua di mata Sukarno? Sukarno menguraikannya saat berpidato di Lapangan Banteng pada 18 November 1957. Dalam pidatonya berjudul “Djangan Ragu-ragu Lagi!”, Sukarno mengatakan dalam Undang-Undang Dasar tertulis wilayah Republik Indonesia adalah Indonesia. “Nah, Indonesia itu apa? Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke,” ujar Sukarno. Ini merupakan dasar legal tuntutan Indonesia atas Papua. Legal berlandaskan hukum melalui perundingan dan perjanjian antara Indonesia dengan Belanda. Lantas, apakah Sukarno benar-benar tak mengetahui betapa kayanya sumber daya alam Papua? “ Lha kalau betul-betul Irian Barat itu ndak ada apa-apa, lha kok sampeyan (Belanda) itu nongkrong di Irian Barat itu buat apa?” ujar Sukarno. Nyatanya, Sukarno sangat menyadari potensi Papua secara ekonomi. Menyitir laporan tim geologinya, Sukarno mengatakan Irian Barat kaya akan minyak bumi. Penyelidikan mutakhir saat itu bahkan menyebutkan adanya kandungan uranium. “Demikian pula menurut keterangan-keterangan yang terakhir, di Irian Barat ini kaya dengan uranium. Uranium yang sekarang berharga tinggi di abad atom,” kata Sukarno. “Jadi saudara-saudara, sudah nyata sekali pihak Belanda di Irian Barat ialah untuk mengambil kekayaan kita. Dan kita pun mempunyai alasan-alasan ekonomis untuk menuntut kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik.” Selain itu Sukarno menyebutkan dua alasan lain, yaitu keamanan dan prinsip antikolonialisme. Dari segi keamanan, keberadaan Belanda di Papua ibarat pisau belati yang mengarah kepada Indonesia. Keberadaan Belanda disana juga melambangkan kekuasaan kolonial yang masih gentayangan. Kata Sukarno, “Jikalau imperialisme Belanda masih nongkrong disitu, kita merasa seperti ada pisau dibelakang kita ini. Ada pisau belati dibelakang kita ini, saudara-saudara.” Itulah sebabnya, ketika konflik Irian Barat kian memuncak, Sukarno bertekad untuk membebaskan Papua dengan jalan apapun. Seruan itu dinyatakan Sukarno saat berpidato di Palembang, 10 April 1962. “Tidak perduli PBB bahkan meskipun meminjam tangannya setan, aku tidak perduli. Ya, meskipun tangannya setan. I do not care . I do not mind , asal Irian Barat pada tahun '62 ini juga kembali kepada kita, kepada Indonesia,” kata Sukarno dalam pidatonya yang berjudul “Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun ini juga”. Menurut Asvi Warman Adam sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan atau tanpa daya pikat kekayaan alamnya, Sukarno tetap akan memperjuangkan Papua. Pasalnya, wilayah itu berada dalam lingkup kedaulatan nasional. “Sukarno memperjuangkan Irian Barat dengan atau tanpa mengetahui kekayaan SDA (sumber daya alam) nya,” kata Asvi kepada Historia . “Sejak KMB ditandatangani akhir Desember 1949 Bung Karno merasa bahwa kemerdekaan RI itu belum utuh secara teritorial. Itulah yang diperjuangkannya sampai tahun 1963.”
- Yang Muda yang Keliling Dunia (2)
SEBUAH sedan merek Studebaker meluncur pelan ke halaman Istana Negara. Penumpangnya empat orang: tiga pemuda dan seorang lelaki tua. Sedan berhenti di dekat anak tangga Istana. Penumpangnya turun dan menuju sebuah ruangan. Lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda terpajang di dinding salah satu ruangan Istana. Dua orang pemuda lain telah lebih dulu hadir di sana. Mereka adalah Saleh Kamah dan Damardjati, pemuda Indonesia yang berhasrat keliling dunia naik sepeda. Sedangkan para penumpang mobil Studebaker terdiri atas Rudolf Lawalata, Abdullah Balbed, dan Sudjono, anak muda yang berkehendak jelajah dunia dengan jalan kaki. Mereka ditemani Tjokrodiningrat, petugas protokoler DKI Jakarta suruhan Walikota Sudiro. Hari itu, 8 Januari 1955, asa lima pemuda mendekat pada kenyataan. Mereka akan bertemu Presiden Sukarno. Sejak lima pemuda tadi memulai petualangan keliling dunia tiga sampai empat bulan sebelumnya, mereka telah menyatakan harapannya bertemu dengan Presiden. Harapan ini terungkap dalam banyak media kala itu. Sukarno membaca surat kabar dan menyatakan kesediaannya bertemu dengan lima pemuda tersebut. Dia bangga mengetahui ada lima pemuda bertekad keliling dunia sembari memperkenalkan Indonesia ke warga dunia. “Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno kepada Saleh Kamah dan Damarjati, seperti diceritakan Saleh Kamah dalam memoarnya, Catatan Seorang Wartawan . Sukarno juga menghadiahkan sepeda merek Philips untuknya dan Damardjati. Pesan serupa tertuju pula kepada Lawalata, Abdullah Balbed, dan Sudjono. “Anakku… Bawalah dirimu mengelilingi dunia, tapi tunjukanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia,” pesan Sukarno, seperti diungkap Sudjono dalam memoarnya, Rp50 Keliling Dunia . Sukarno membekalkan pula kamera Zeiss Icon, ransel, slide tentang Indonesia, dan baju batik untuk mereka. Pesan Sukarno memompa semangat lima pemuda tersebut. Tak perlu menunggu lama, kelompok pejalan kaki, Lawalata dan Sudjono, langsung meninggalkan Jakarta naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok keesokan harinya. Mereka menuju Singapura dengan modal dengkul. Masing-masing punya 50 rupiah, setara 700 ribu sekarang. Abdullah Balbed harus tinggal beberapa lama di Jakarta lantaran urusan paspornya belum kelar. Dia akan menyusul temannya begitu mereka sampai di Bangkok, Thailand. Kelompok pesepeda berbeda jalan. Mereka terbang naik pesawat KLM (maskapai Belanda) menuju Rangoon, Burma. Dari Rangoon mereka akan melanjutkan bersepeda ke Pakistan Timur, India, Pakistan Barat, Irak, Iran, Mesir, Lebanon, Suriah, Turki, Yunani, Italia, Swiss, Prancis, Jerman Barat, Belanda, Inggris, lalu naik kapal laut ke Amerika, terus ke Jepang, Filipina, dan kembali ke Indonesia. Kritik Tren Keliling Dunia Pertemuan lima pemuda dengan Presiden Sukarno menghidupkan benih-benih petualangan para pemuda lain. Banyak pemuda mengutarakan niatnya keliling dunia dan bertemu Sukarno agar membantu wujudkan hajat mereka. Keadaan ini jadi tidak sehat. “Negara Republik Indonesia bisa bangkrut atau gulung tikar karena keuangannya habis untuk ongkos keliling dunia putra-putrinya tercinta,” tulis Minggu Pagi , 6 Februari 1955. Minggu Pagi menyarankan pemuda Indonesia berpikir lebih jernih. Jangan sembarang ikut tren. “Jangan gegampang pergi keliling dunia kalau tidak punya uang sangu sendiri,” tulis Minggu Pagi . Menurut redaksi Minggu Pagi , berkeliling dunia tidak semudah berkeliling pasar malam. Rencana bisa mudah dibuat di atas kertas, tapi kenyataan di jalan akan selalu jauh berbeda. Bakal banyak kesulitan di jalan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Apa yang diutarakan Minggu Pagi banyak benarnya. Saleh Kamah dan Damardjati kehabisan ongkos di Rangoon. Padahal mereka berencana kerja serabutan untuk memperoleh ongkos jalan. Ternyata mendapat kerja di luar negeri tak semudah yang mereka bayangkan. Saleh Kamah dan Damardjati juga kena masalah administratif di Rangoon. Kedutaan Besar India tak sudi mengeluarkan visa untuk mereka. “Salah seorang staf Kedutaan dengan gusar menyatakan bahwa kami tidak punya persiapan matang. Ia gusar karena kami sebelumnya tidak minta penjelasan dari Kedutaan tentang situasi keamanan dan lain-lain,” kenang Saleh Kamah. Mereka harus balik ke Indonesia. Perjalanan mereka pun berakhir di Burma. Pemuda yang Berhasil Lawalata dan Sudjono berjumpa lagi dengan Abdullah Balbed di Bangkok. Mereka meneruskan berjalan kaki ke wilayah Burma. Mereka bersua dengan medan berat di perbatasan Thailand dan Burma. Hujan turun tiap hari. Air membeceki tanah tempat mereka berjalan. Kaki jadi sulit bergerak. Tapi mereka sampai juga di Burma. Lawalata, Sudjono, dan Abdullah lekas melapor ke Kedutaan Indonesia di Burma. Di sini mereka dapat kabar bahwa Saleh Kamah dan Damardjati terpaksa pulang ke Indonesia lantaran masalah ongkos dan administrasi. Mereka sedih mendengarnya, tapi perjalanan harus tetap dilanjutkan. Lawalata, Sudjono, dan Abdullah berhasil melewati Burma. Mereka masuk India, Asia Barat, dan lanjut menjelajah ke Eropa. Di Jerman Barat mereka menampilkan slide tentang Indonesia kepada orang-orang Jerman Barat. Di sini mereka sadar bahwa Indonesia sama sekali belum dikenal orang dengan baik. “Saya sungguh terkejut karena beberapa dari mereka mengira Indonesia masih hutan melulu. Belum ada kota dengan gedung bertingkat dan jalanan aspal penuh mobil,” kenang Sudjono. Kelompok pejalan kaki harus pergi dari Jerman Barat tanpa Lawalata. “Karena sesuatu hal, dia tidak dapat meneruskan perjalanan,” catat Sudjono tanpa menerangkan lebih jauh alasannya. Sudjono dan Abdullah kemudian terbang ke Amerika Serikat. Mereka memenangi sebuah kuis berhadiah sepeda di sana. Mereka mengaku bahwa sepanjang perjalanan tak bisa selalu berjalan kaki. Ada kalanya naik kendaraan. “Karena izin tinggal di setiap negara dibatasi. Jadi sebagian tempat harus ditempuh dengan kendaraan,” kata Abdullah dalam kata pengantar buku Sudjono. Rute perjalanan selanjutnya Abdullah dan Sudjono ialah Jepang. Tapi hanya Sudjono yang meneruskan perjalanan. Sebab Abdullah memutuskan membuat keluarga dan tinggal di Amerika Serikat. Untuk menyiasati ongkos mahal, Sudjono harus bekerja keras di kapal menuju Jepang. Sudjono akhirnya tiba kembali di Indonesia setelah enam tahun berkeliling dunia. Dia turun dari kapal yang berlabuh di Tanjung Priok. Seperti saat berangkat, Sudjono beroleh kesempatan lagi berjumpa dengan Presiden Sukarno. “Saya benar-benar bangga ketika itu, karena diterima langsung oleh seorang pemimpin yang namanya bergema di berbagai belahan bumi,” kenang Sudjono. Dari perjalanan keliling dunia bermodal dengkul itu, Sudjono mengaku memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan tentang hidup. Di tempat jauh dan asing, cintanya pada negara dan bangsa menjadi lebih kuat. Dia selalu terkenang dengan keluarga, Presiden Sukarno, dan orang-orang yang pernah menyemangatinya keliling dunia. Dan ketika balik ke Indonesia, rindunya terbayar tuntas. Siapa mau ikut jejaknya?
- Gudang Garam di Antara Beruang Merah & Paman Sam
LANGIT Helsinki sedang cerah-cerahnya Senin (16/7/2018) pagi itu. Di halaman Presidentinlinna atau Istana Kepresidenan Finlandia, enam bendera berjajar. Dua bendera Amerika Serikat (AS) dan dua bendera Rusia dikibarkan berselang-seling dengan dua bendera Finlandia. Hari itu jadi awal pekan yang ditunggu-tunggu sebagian besar masyarakat politik internasional. Di istana megah berarsitektur neo-klasik itulah pertemuan penting Donald Trump (Presiden AS) dan Vladimir Putin (Rusia) berlangsung. Pertemuan bilateral itu diharapkan jadi babak baru hubungan AS-Rusia pasca-invasi Rusia ke Semenanjung Krimea dan isu gangguan Rusia terhadap Pemilihan Presiden AS 2016. Tentu, pertemuan itu atas restu Presiden Finlandia Sauli Niinistö. Dia pula yang menyambut keduanya di pintu utama yang datang hampir bersamaan– sekira pukul 10 pagi. Ini keempat kalinya Helsinki jadi tempat pertemuan kedua pemimpin negara besar dunia itu sejak era Perang Dingin. Presidentinlinna sendiri tiga kali kedatangan pemimpin AS dan Rusia (pertemuan pertama terjadi di Kedutaan AS di Helsinki), termasuk ketika Rusia masih di bawah panji Uni Soviet. Alasan mengapa ibukota Finlandia itu acap jadi “jembatan” pertemuan AS dan Rusia, selain Finlandia negara netral selama Perang Dingin, ia juga bukan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Selain itu, jarak Finlandia tak terlalu jauh dari AS, apalagi Rusia. Khusus pertemuan kali ini, pemilihan Helsinki juga untuk meringankan jadwal padat Putin yang sehari sebelumnya wajib hadir di laga final PialaDunia 2018. Alasan serupa juga terjadi saat pertemuan Bush-Gorbachev tahun 1990. “Pertemuan (1990) di Helsinki dipilih juga karena dekat dari Moskva. Bush sadar betapa sibuknya Gorbachev saat itu dengan beragam urusan domestik (reformasi Soviet),” ungkap Igor Kochilov dalam Translating History: 30 Years on the Front Line Diplomacy with a Top Russian Interpreter . Gudang Garam Disulap Jadi Istana Usai disambut Niinistö, Trump dan Putin langsung melakukan pembicaraan empat mata di Gothic Hall, ruang bersejarah di istana yang awalnya berupa gudang itu. Presidentinlinna awalnya merupakan gudang garam yang berdiri pada awal abad ke-19. Meski catatan siapa pemilik awal gudang dan kapan ia mulai dibangun belum ditemukan, gudang di atas lahan seluas 3000 meter persegi itu dibeli saudagar bernama Henrik Heidenstrauch pada 1816. Saudagar cum pemilik kapal dagang itu lalu menyulap gudang garam berbahan kayu itu jadi mansion. “Pehr Granstedt yang mendesainnya jadi rumah pribadi nan besar milik Heidenstrauch dengan menghadap ke Pelabuhan Selatan pada 1818. Namun pada 1837, dibeli oleh pemerintah (Grand Duchy of Finland, red. ),” terang James Maurice Richards dalam 800 Years of Finnish Architecture . Pemerintahan Grand Duchy of Finland di bawah Kekaisaran Rusia membelinya seharga 170 ribu rubel. Mansion itu lalu dijadikan istana kediaman Gubernur Jenderal Finlandia Pangeran Alexander Menshikov. Arsitek Carl Ludvig Engel dipercaya menangani perubahan itu. Di tangan Engel, rumah besar itu ditambahi bangunan sayap kanan serta lapangan besar di utara istana. Istana juga dilengkapi aula dansa, aula makan malam, renovasi dapur, dan kapel di lantai dua. Namun, Engel tak melihat hasil akhir istana ini lantaran lebih dulu tutup usia pada 1840. Carl Alexander, putra Engel, meneruskan karya ayahnya hingga rampung pada 1845. Laman kepresidenan Finlandia, tpk.fi , menyingkap, istana ini pertamakali kedatangan tamu agung anggota Kekaisaran Rusia pada 1851, yakni Pangeran Alexander Nikolayevich (kemudian menjadi Tsar Alexander II pada 1855). Parlemen Finlandia (di bawah Kekaisaran Rusia) juga pertamakali dibuka di istana ini pada 1863. Interior istana kembali dipercantik sepanjang 1904-1907 oleh arsitek Johan Jacob Ahrenberg. Dia menambahkan ruang resepsi dan Ruang Tahkta (kini Aula Kenegaraan) yang dihiasi patung Psyche and Zephyr karya Walter Runeberg. Hall of State atau Aula Kenegaraan di Presidentinlinna (Foto: tpk.fi) Saat Finlandia merdeka dari Rusia tahun 1917, istana itu dialihfungsikan menjadi rumahsakit militer sementara di lantai dasar dan kantor Kementerian Luar Negeri Finlandia di lantai duanya. Setelah Finlandia jadi republik, istana itu dikembalikan jadi tempat tinggal kepala negara. Sejumlah barang antik dan benda-benda seni yang tadinya disimpan di istana, dipindahkan ke Museum Nasional dan Museum Seni Ateneum. Hanya tiga presiden yang enggan tinggal di Presidentinlinna. Risto Heikki Rity (1940-1944), Carl Gustaf Emil Mannerheim (1944-1946) tak tinggal di Presidentinlinna karena Perang Dunia II. Sementara, Urho Kaleva Kekkonen (1956-1982) tak tinggal di sana karena dia dan istrinya merasa suara lalulintas di depan istana terlalu berisik. Kekkonen memilih tinggal di vila kepresidenan di Tamminiemi. Presidentinlinna terakhir mengalami renovasi pada 2012-2014. Renovasi itu memakan biaya 45 juta euro. “Proyeknya meliputi pemeliharaan, restorasi, dan konstruksi baru. Istana butuh direnovasi karena kondisi fondasinya memburuk dan butuh diperbaiki,” tandas Anne Puonti, juru bicara staf presiden, di laman resmi kepresidenan Finlandia. Kini, Presidentinlinna hanya berfungsi sebagai venue acara-acara kenegaraan besar. Sejak kediaman resmi presiden Mäntyniemi rampung (1989-1993), tak ada lagi presiden yang tinggal di Presidentinlinna. Sementara, kediaman presiden sebelumnya di Tamminiemi pada 1986 dihibahkan kepada Kekkonen.
- Gugurnya Pahlawan Majapahit
LEMBU Sora tengah menjadi buah bibir di istana Majapahit. Kelakuannya menimbulkan pro-kontra, terutama di antara para menteri. Dia telah menikam Kebo Anabrang hingga tewas yang tengah melawan biang keladi pemberontakan, Ranggalawe. Sebab, dia tak tahan melihat keponakannya itu kelojotan tak beradaya dipiting Kebo Anabrang. Sudah lima tahun berlalu sejak peristiwa itu. Namun, Sang Prabu Wijaya seakan tak pernah ambil pusing dengan tindakan Lembu Sora. Padahal, kalau menurut undang-undang Kutaramanawadharmasastra , yang dijadikan pegangan dalam pemerintahan Majapahit, Lembu Sora mestinya dihukum mati berdasarkan pasal astadusta. Kasak-kusuk itu lama kelamaan sampai ke telinga raja. Wijaya mendengar, semua orang tengah bergunjing soal dirinya yang membiarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Dia dituding berlaku tak adil. Lembu Sora bisa saja dianggap pemberontak karena perbuatannya. Sang Kertarajasa pun diam-diam gundah karenanya. Di sisi lain para menteri menyadari kegundahan padukanya. Patih Nambi mendengar, sang raja sebenarnya punya niatan mencopot Lembu Sora dari kedudukannya sebagai Rakryan Patih Daha. Jabatan itu bakal diberikan kepada Kebo Taruna, putra mendiang Kebo Anabrang. Sementara itu, Kebo Taruna yakin kalau sang raja gundah bukan karena gunjingan para menteri terhadapnya. Sepemahamannya, baginda sebenarnya masih begitu sedih dengan kematian Kebo Anabrang. Lembu Sora sendiri akhirnya berprasangka kalau Kebo Taruna berniat membalas kematian ayahnya. Sudah pasti jika itu terjadi, dia akan meminta bantuan Nambi. Lembu Sora yang sedih mendengar dasas-desus itu, bersama dengan kawannya, Juru Demang dan Gajah Biru, memilih mati. Apa yang oleh sejarah dicatat sebagai pemberontakan Lembu Sora sebenarnya terjadi di tengah luapan prasangka buruk para pejabat Majapahit. Huru-hara itu hanya berselang lima tahun usai pemberontakan Ranggalawe berhasil ditumpas. Serat Pararaton mencatatnya terjadi pada 1300 M. Sama seperti sebelumnya, kekisruhan ini tak disebut dalam Nagarakrtagama. Namun, dipaparkan rinci dalam Kidung Sorandaka. Usai prasangka buruk itu merebak, hubungan Lembu Sora dan Wijaya tak pernah lebih buruk lagi. Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan kedua orang itu tak terpisahkan. Terutama, itu sejak pertempuran mereka melawan serbuan penguasa Glang Glang, Jayakatwang, ke Singhasari. Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana. Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Tentara Kadiri jauh lebih besar jumlahnya daripada sisa tentara Singhasari. Pun ketika mereka akhirnya memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Bupati Wiraraja. Semua itu atas nasihat Lembu Sora. “Sora menasihati, melanjutkan peperangan berarti bunuh diri. Seperti laron memasuki api,” tulis Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan . Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaannya baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam perlawanan terhadap Jayakatwang dan pasukan Mongol. “Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” lanjut Slamet. Karenanya, pastilah bukan tanpa sebab jika kemudian Lembu Sora dikucilkan. Prasangka itu sengaja diembuskan. Lembu Sora menjadi korban iri hati. Kalau di kisah Mahabarata ada tokoh Sengkuni, maka dalam kisah ini tukang adu domba adalah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta. Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton. Dia punya nafsu besar menjadi patih amangku bumi, jabatan yang diduduki Nambi. Namun, dia belum menemukan kesalahan Nambi. Mahapati kemudian menarget Lembu Sora. Pasalnya, jika Nambi jatuh, Lembu Sora paling mungkin menggantikannya. Dia sadar hubungan Lembu Sora dan Prabu begitu rekat. Karena itu, kata Slamet, sebelum menjalankan siasatnya, Mahapatih berusaha bersahabat dengan para menteri. Dia juga menjadikan dirinya kepercayaan sang prabu. “Dia mencari kesempatan baik untuk menyingkirkan Lembu Sora, dengan alasan dia telah membunuh Mahisa Anabrang,” tulis Slamet. Tak ayal, raja, para mentri, termasuk Nambi dan Kebo Taruna terkena hasutannya. Tanpa tahu niat jahat Mahapati, raja mempercayakan kepadanya sebuah surat untuk Lembu Sora. Lewat surat itu raja berkata kalau berdasarkan undang-undang Kutaramanawa , Lembu Sora harus dihukum mati. Namun, dia dibebaskan dari hukuman mati mengingat jasanya. Sebagai gantinya dia akan asingkan ke Tulembang. Setelah membaca surat itu, Lembu Sora menyampaikan jawabannya secara tertulis pula. Isi suratnya menyatakan masih menaruh cinta bakti kepada raja. Dia bersedia menyerahkan jiwa raga di hadapan sang prabu. Dia takkan membantah. Surat itu, dia titipkan pula pada Mahapati. Namun, Mahapati melaporkan kepada sang prabu bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya akan berkhianat. Kedatangan Lembu Sora dan pengikutnya ke istana ditolak. Mereka malah diserang tentara Majapahit yang disiapkan Nambi. Akhirnya, Wijaya lagi-lagi harus kehilangan pahlawannya. Dalam pertempuran itu, Lembu Sora gugur bersama pengikutnya. Mahapati pun tersenyum. Ambisinya sebentar lagi terpenuhi.*
- Perempuan Pertama di Parlemen Bandung
Ketika tahun 1938 pemerintah kolonial akhirnya memberikan hak pilih perempuan pribumi untuk duduk di Dewan Kota, Emma Poeradiredja dan para perempuan aktivis lain senang. Meski hanya mendapat hak pilih pasif, mereka menyambut keputusan itu dengan suka-cita. “Beberapa nama kaum ibu termuat dalam daftar kandidat. Hasilnya boleh menyenangkan kaum ibu, empat orang perempuan Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan Kota,” tulis Maria Ulfah dalam artikelnya “Soal Hak Pilih” yang dimuat di Majalah Istri Indonesia . Emma menjadi satu dari empat perempuan yang terpilih itu. Terpilihnya Emma bukan tanpa dasar. Perempuan yang lahir di Cilimus, Kuningan pada 13 Agustus 1902, itu sejak sekolah aktif di Jong Java dan Jong Islaminten Bond sebagai ketua cabang Bandung. Pasca Kongres Pemuda I tahun 1927, Emma bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi Istri. Dia jadi satu dari sedikit perempuan yang hadir dalam Sumpah Pemuda. Pada April 1930, Emma mendirikan organisasi Pasundan Istri (PASI) dan terpilih menjadi ketua umum. Kala pertama terpilih, usianya 28 tahun. Dia terus menduduki posisi itu selama 40 tahun. Selain di PASI, Emma aktif di Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Dia mengepalai pengiriman Utusan Wanita ke Asian Women Conference di Lahore, India pada 1930. Pada tahun itu juga, sejumlah aktivis perempuan menghelat Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I di Surabaya, Desember 1930. Meski di kongres itu para perempuan masih sebatas mempelajari hak pilih, mereka langsung buka suara begitu aktivis perempuan Belanda tak lagi memperjuangkan hak pilih perempuan bagi semua ras. Hal itu menjadi pokok bahasan KPI –bersama desakan agar pemerintah memberi hak pilih aktif dan adanya wakil perempuan pribumi di Dewan Rakyat– dalam kongres ketiga di Bandung, Juli 1938, di mana Emma menjadi ketuanya. Namun, pemerintah justru kembali menunjuk perempuan Belanda bernama Cornelia Razoux Schultz sebagai wakil perempuan di Dewan Rakyat pada 1939. “Hal itu jadi kekecewaan yang menyakitkan bagi gerakan nasionalis dan organisasi wanita Indonesia. Tentu saja perempuan seperti Emma Poeradiredja dan Maria Ullfah sangat memenuhi syarat untuk posisi anggota Dewan Rakyat,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State . Alhasil, tuntutan perempuan Indonesia kian lantang. Ketika pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan itu, Emma termasuk dari empat perempuan Indonesia yang terpilih jadi anggota Dewan Rakyat. Tiga nama lain yakni Nyonya Soenarjo Mangoenpoespito, ketua Isteri Indonesia, terpilih duduk di Dewan Kota Semarang; Nyonya Soedirman, istri anggota dewan Parindra, duduk di Dewan Kota Surabaya; dan Sri Oemiati, adik terkecil Dr. Soetomo, terpilih untuk mengisi kursi kosong Parindra di Cirebon pada 1941. Terpilihnya empat nama itu menjadi buah dari perjuangan panjang perempuan. Sejak lama, tulis Maria Ulfah, para perempuan mendesak rekannya, kaum lelaki yang memiliki hak pilih, untuk mendukung keinginan mereka mendapatkan hak pilih.





















